• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek penggunaan sarcocystis singaporensis untuk pengendalian biologis populasi tikus sawah (rattus argentiventer)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prospek penggunaan sarcocystis singaporensis untuk pengendalian biologis populasi tikus sawah (rattus argentiventer)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK PENGGUNAAN Sarcocystis singaporensis

UNTUK PENGENDALIAN BIOLOGIS POPULASI

TIKUS SAW AH (Rattus argentiventer)

MUCHRODJI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

(3)

ABSTRAK

MUCHRODJI.

Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer). Dibimbing oleh Y ANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI.

Tikus sawah merupakan hama penting tanaman padi di Indonesia, karena banyak tanaman padi yang gagal panen karena diserang oleh tikus. Berbagai jenis rodentisida banyak diproduksi khususnya jenis rodentisida kimia, temyata membawa akibat yang kurang baik bagi lingkungan. Jenis rodentisida biologis (bio rodentisida) masih sangat sedikit dikembangkan bahkan masih sangat jarang, padahal jenis bio rodentisida termasuk ramah lingkungan.

Salah satu jenis bio rodentisida yang dikembangkan oleh PPPG Pertanian Cianjur adalah Sarcocystis singaporensis. Sarcocystis singaporensis merupakan jenis mikroorganisme parasit yang spesifik hidup dalam tubuh tikus. Mikroba tersebut dapat berkembang biak dalam tubuh ular python (python reticulatus). Organisme tersebut bereproduksi seksual dalam usus halus ular python dan menyebar lewat feses (dalam bentuk sporocyst) melalui air ke berbagai spesies tikus. Dalam tubuh tikus, parasit tersebut melipatgandakanjumlahnya di dalam sel pembuluh darah hingga membentuk cyst (kista) dalam otot, yang berakibat tikus mati. Parasit ini tidak membahayakan baik bagi ular maupun manusia. .

Dosis Sarcocystis singaporensis dalam membunuh tikus betina maupun jantan tidak dipengaruhi kelas umur tikus. Lama kematian pada tikus betina akibat pemberian Sarcocystis singaporensis tidak berbeda nyata baik pada anak maupun dewasa. Lama kematian tikus jantan kelas umur anak lebih cepat daripada tikus

(4)

MUCHRODJI. Prospect of Sarcocystis singaporensis for the Population Control Biologically of Field Rats (Rattus Argentiventer). Under the direction of Y ANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUST ARI.

Rice field rats are important pests of paddy crop in Indonesia, because many unsuccessful paddy crop attacked by rats. Many rodenticide types are produced, specially chemical rodenticide type, actually bring effect of unfavourable to environment. Biological rodenticide types (bio rodenticide) are still developed slimmest even still very rare, though bio rodenticide types are environmental

friendliness. .

Bio rodenticide type that developed by PPPG Pertanian is using Sarcocystis singaporensis. It is specific parasite microorganism type lives in rats body. S. singaporensis reproduces sexually in the intestine of reticulated python (Pyhton reticulatus) and transmitted via faeces (in form of sporocyst) to various rats species (Jaekel, 2001). In rats body, the parasite mUltiplies inside the cell of blood vessel until it forms cyst in muscle, causing rats become death. This parasite not endanger both for human being and also snake.

Dosage of S. singaporensis in killing male and also female rice field rats do not related by age class rats. So effect on giving Sarcocystis singaporensis on day of death at female rice field rats do not related by age class rats, but day of death the young male rats quicker than adult rats.

(5)

©

Hak cipta milik Muchrodji, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(6)

TIKUS SAW AH

(Rattus argentiventer)

MUCHRODJI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis

Nama Mahasiswa NRP

Program Studi Sub Program Studi

Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

Muchrodji E 051040255

llmu Pengetahuan Kehutanan Konservasi Biodiversitas

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Dr. Ir. Abdul Haris ustari, MScF.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua

Pr0rm

Studi

セ@

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc.F

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengendalian populasi tikus, dengan judul Prospek Peogguoaao Sarcocystis singaporensis uotuk PeogeodaJiao Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer). Penelitian dilakukan di Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian mulai bulan Agustus sampai bulan Oktober 2005.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MScF selaku komisi pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Giri Suryatmana, selaku kepala PPPG Pertanian, Ibu Dr. Ir. Paristiyanti N, MP, Bapak Ir. Adang S, M.Si, Bapak Ir. Cahyana Y A., serta berbagai pihak yang telah banyak memberikan bantuan saran selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak-anakku tercinta, serta ibu alas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung Jawa Tengah pada tanggal 5 April 1970 dari ayah Amat Sapari dan ibu Suliyah. Penulis merupakan putra ke-tujuh dari tujuh bersaudara.

Tahun 1989 penulis lulus dari STM Pembangunan Temanggung jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Tahun 1992 melanjutkan pendidikan pada jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka dan'lulus pada tahun 1999. Tahun 2001 penulis mengikuti pendidikan AKTA mengajar IV yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surakarta.

(10)

Halarnan

OAFT AR lSI ... x

OAFTAR TABEL ... xii

OAFTAR GAM BAR ... xiii

PENOAHULUAN Latar Belakang ... I Perurnusan Masalah ... 3

Kerangka Pernikiran ... 4

Hipotesis ... 5

Tujuan Penelitian ... ; ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Tikus Sawah ... 7

Pengendalian Populasi Tikus secara Urnurn ... 9

Tekno logi Pengendalian Tikus Sawah dengan Sarcocystis singaporensis .. I I METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Ternpat Penelitian ... : ... 13

Bahan dan Alat-alat ... セ@ ... 13

Jenis dan rnetode pengurnpulan data ... 19

Rancangan Percobaan ... 19

Metode Analisis Oata ... 21

. HASIL OAN PEMBAHASAN Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis terhadap Tingkat Kernatian Tikus Betina ... 25

Tingkat Kernatian Tikus Betina pada Berbagai Oosis ... 26

Kernatian Tikus Betina Kelas Urnur Anak dan Oewasa ... 27

Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis ... . Terhadap Lama Kernatian Tikus Betina ... . Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis tcrhadap ... 30

Tingkat Kernatian Tikus Jantan ... 30

Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Berbagai Oosis ... 31

Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Kelas Urnur Anak dan Oewasa ... 32

Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis ... 33

Terhadap Lama Kernatian Tikus Jantan ... 33

Gejala Urnurn yang Terjadi Akibat Pernberian Sarcocystis singaporensis. 36 Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida ... 38

Biaya Produksi Pelet ... 38

(11)

XI

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 42

Saran ... 42

DAFT AR PUST AKA ... 43

(12)

Halaman

Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ... 15

Tabel 2 BentukILay out data ... 20

Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam ... 22

Tabel4 Jumlah dan persentase kematian tikus betina ... 26

Tabel5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina ... 27

Tabel 6 Rata-rata lama kematian tikus betina ... 28

Tabel 7 Jumlah dan persentase kematian tikus jantan ... 31

Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan ... 32

Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan ... 33

[image:12.573.37.434.21.756.2]
(13)

DAFT AR GAMBAR

Halaman

Gambar I. Kerangka pemikiran penelitian ... 5

Gambar 2. Tikus sawah ... 7

Gambar 3. Siklus hidup tikus ... 8

Gambar 4 Siklus hidup Sarcocystis singaporensis ... 12

Gambar 5 Tikus dalam wadah penampungan ... 13

Gambar 6 Ciri-ciri tikus jantan dan betina pada kelas umur anak dan dewasa ... 14

Gambar 7 Penimbangan tikus ... 15

Gambar 8 Ular python dalam kandang ... 16

Gambar 9 Proses isolasi sporocyst dari feses ular python ... 17

Gambar I 0 Sporocyst.. ... 17

Gambar 11 Neubauer Haemocytometer ... 18

Gambar 12 Proses pembuatan pele!... ... 19

Gambar 13 Persentase kematian tikus ... , ... 25

Gambar 14 Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis ... 29

Gambar 15 Persentase kematian tikus jantan ... 30

Gambar 16 Lama kematian tikusjantan kelas umur anak dan dewasa ... 34

Gambar 17 Gejala-gejala tikus saki!... ... 37

(14)

Halaman

Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ... 15

Tabel 2 BentuklLay out data ... 20

Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam ... 22

Tabel 4 Jumlah dan persentase kematian tikus betina ... 26

Tabel5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina ... 27

Tabel 6 Rata-rata lama kematian tikus betina ... 28

Tabel 7 Jumlah dan persentase kematian tikus jantan ... 31

Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan ... 32

Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan ... 33

[image:14.564.36.456.39.750.2]
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rodensia merupakan salah satu hewan yang tergolong sangat banyak

spesiesnya. Terdapat lebih dari 2700 spesies rodensia di dunia Menurut Aplin et

al. (2003), 42% dari semua spesies mamalia di bumi adalah rodensia. Salah satu

jenis rodensia yang ban yak terse bar di Asia adalah tikus. Beberapa jenis tikus

dimanfaatkan manusia sebagai sumber protein hewani (dikonsumsi) pada

beberapa negara, namun sebagian besar merupakan hama yang bersifat merusak

tanaman maupun gudang, salah satu diantaranya adalah tikus sawah (Rattus

argentiventer). Tikus tersebut menyerang tanaman pertanian di Indonesia maupun

beberapa negara Asia lainnya.

Menurut Prakash (1988), jenis tikus yang merupakan hama utama adalah

Rattus argentiventer, tersebar luas di Indonesia tetapi terbatas di daerah padang

rumput dan sawah. Tikus sawah merupakan hama penting pada tanaman padi

yang mulai menyerang sejak benih padi masih di gudang, bibit di persemaian,

tapaman vegetatif dan juga generatifnya. Laju perkembangan populasi tikus

termasuk tinggi karena siklus hidup tikus mencapai umur dewasa sangat cepa!,

masa kebuntingannya sang at pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak

yang banyak pada setiap kebuntingan (10-13 ekor). Tikus bisa makan jenis

makanan lainnya jika tidak ada padi, tikus bisa makan jagung, singkong, ubi,

kelapa, dan tebu. Kerusakan serius tanaman padi terjadi pada tahun 1915, 1931

dan 1933 di Cirebon Jawa Barat dimana beberapa ribu hektar tanaman padi rusak.

Ledakan populasi tikus pada lahan padi terjadi lagi pada tahun 1961 dan 1963 di

Jawa dan Madura dengan perkiraan kerusakan masing-masing mencapai 35% dari

1.000.000 ha dan 28% pada lahan 822.000 ha (Prakash 1988). Serangan hama

tikus di Kabupaten Tegal, pada bulan April 2004 telah merusak 214 ha lahan

tanaman padi, dimana 42 ha diantaranya mengalami puso (Anonim 2002).

Kerusakan padi akibat serangan tikus juga terjadi di Padang dengan luas wilayah

77 ha (Anonim 2003).

Pengendalian populasi tikus dilakukan secara fisik, kimialsenyawa beracun,

(16)

gropyokan, pengemposan, perangkap dan lain-lain. Pengendalian dengan eara ini memerlukan tenaga dan biaya yang cukup besar, tidak dilakukan secara teratur dan tidak berkelanjutan sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian umpan beracun dari bahan-bahan kimia sintetis maupun baban-baban alami beraeun seperti akar tegari (Dianella sp), asam bongkrek dan lain-lain. Pengendalian tikus dengan racun bahan kimia dapat mengganggu keseimbangan lingkungan (Anonim 2003). Pengendalian biologi dapat dilakukan dengan menggunakan predator tikus seperti ular dan burung hantu yang telah dilakukan di kabupaten Tegal dan beberapa daerah lainnya. Pengendalian secara biologi sangat dipengaruhi oleh kemampuan/kapasitas dan selera predator. Pengendalian tikus secara mikrobiologi dilakukan dengan menggunakan bakteri, virus, dan protozoa yang salah satunya adalah dengan menggunakan Sarcocystis singaporensis.

Sarcocystis singaporensis merupakan mikroba parasit yang spesifik hidup pada hewan perantara tertentu yaitu pada tikus (Rattus norvegicus). Mikroba tersebut dapat berkembang biak juga pada ular python (Python reticulatus) (Dubey et al. 1989). Organisme tersebut bereproduksi seksual dalam usus halus ular python dan menyebar lewat feses dalam bentuk sporocyst (sporokista) melalui air ke berbagai spesies tikus. Dalam tubuh tikus, parasit tersebut melipatgandakan jumlahnya di dalam sel pembuluh darah hingga membentuk cyst (kista) dalam oto!, yang berakibat tikus menjadi mati ([PPPG Pertanian] 2004). Sarcocystis singaporensis dapat digunakan sebagai agen bio kontrol dan dapat mengurangi populasi hama tikus sebesar 70-90% dalam jangka waktu 2 minggu. Paras it ini tidak membahayakan baik bagi ular maupun manusia (Jaekel 1999).

(17)

3

Perumusan Masalab

Tikus sawah merupakan hama tanaman padi yang sangat penting di Indonesia, karena mengakibatkan kerusakan yang cukup besar. Tikus dapat merusak pesemaian yang baru disebar atau yang sudah berumur 1-2 minggu. Disamping itu tikus juga merusak tanaman padi yang baru bunting dan tanaman padi yang sudah berumur kira-kira I bulan. Satu ekor tikus dapat merusak 100 batang padi dalam I malam (Rismunandar 1981).

Pengendalian tikus sudah banyak dilakukan baik secara preventif maupun kuratif. Pengendalian secara preventif biasanya dilakukan dengan cara pengaturan pola tanam, namun hasilnya masih kurang memuaskan karena tidak semua petani serentak melakukan hal yang sarna. Pengendalian secara kuratif dilakukan dengan berbagai cara baik secara mekanis misalnya "gropyokan", secara kimia misalnya dengan menggunakan rodentisida kimia maupun non kimia, maupun dengan pengendali biologi/mikrobiologi. Pengendalian secara kuratif inipun dirasakan masih diperlukan teknologi yang efektif, efisien. serta relatif aman terhadap lingkungan.

Salah satu teknologi pengendalian tikus yang saat ini mulai dikembangkan di PPPG Pertanian adalah dengan menggunakan S. singaporensis. Pengendalian tikus dengan teknologi ini termasuk ramah lingkungan serta metode pelaksanaannya relatif mudah. Disamping itu S. singaporensis mempunyai peluang yang sangat tinggi untuk dibudidayakan di Indonesia dengan menggunakan ular python sebagai hewan inang yang banyak tersebar di Indonesia, sehingga ketersediaannya terjamin.

(18)

dapat diketahui efisiensi penggunaannya, sehingga bio rodentisida ini dapat diaplikasikan bagi para petani khususnya.

Kerangka Pemikiran

Efektivitas pengendaIian populasi tikus dengan menggunakan S. singaporensis diduga sangat dipengaruhi oleh kelas umur dan jenis kelamin tikus.

Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat efektivitas dosis S. singaporensis tersebut maka tikus dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur. Jenis kelamin tikus terdiri dari jantan dan betina, sedangkan kelas umur pada penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu anak dan dewasa. 8ayi tikus tidak dikaji dalam penelitian karena hidupnya sangat tergantung pada induknya. Penentuan kelas umur didasarkan dengan pendekatan karakteristik reproduksi baik pada jantan maupun betina.

Pengendalian populasi tikus pada dasarnya dilakukan dengan mempengaruhilmengganggu struktur/piramida populasi tikus. Gangguan dapat dilakuka!1 dengan beberapa cara antara lain:

• Mengurangi sebanyak mungkin bayi yang lahir, yaitu dengan mengurangi betina reproduktif.

• Mengganggu proses reproduksi yaitu dengan mengganggu perbandingan antar jenis kelamin (sex rasio) dengan mempengaruhi/mengurangi jumlah tikus

betina atau jantan.

• Mengurangi jumlah populasi secara langsung dengan mengurangi jumlah populasi pada berbagai kelas umur maupun jenis kelamin.

(19)

5

r.f

Anak

f-+

Pemberian S.

r.f

Jantan

f

singaporensis

dengan dosis

l.t

Dewasa

セ@

I

Tikus • 0

100.000

I--.

Dosis efektif S. singaporensis untuk

Sawall

·r

Anak

f-+

• 200.000 membunuh tikus

• 300.000

I.[

Betina

t

セ@

Dewasa

f-+

Populasi tikus Gangguan sawah

I+-

struktur [image:19.570.70.476.58.777.2]

terkendali populasi tikus

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Tingkat efektivitas S. singaporensis diduga berbanding lurus dengan dosis 2. Semakin tinggi kelas umur, diduga semakin tinggi dosis S. singaporensis yang

dibutuhkan untuk membunuh tikus.

セ@ 3. Setiap je·nis kelamin diduga membutuhkan dosis S. singaporensis yang berbeda.

4. Biaya produksi pelet bio rodentisida diduga tidak lebih dari Rp 300,- per butir.

Tujuan Peuelitiau

Penelitian ini bertujuan untuk:

I. Menentukan dosis S. singaporensis yang tepat untuk mengendalikan populasi tikus sawah bagi kelas umur terlentu.

2. Menghitung biaya produksi pelet bio rodentisida pada. tingkat dosis pengendalian yang paling efektif dan efisien.

Maufaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menyusun:

(20)
(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Tikus Sawah

Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama utama tanaman di daerah Asia Tenggara. Secara alami tikus menyukai tempat yang berair dengan rumput yang tebal seperti tanaman padi (Aplin 2003). Tikus sawah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Ounia : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Subklas : Theria

Ordo : Rodentia

Sub ordo : Myomorpha

Famili : Muridae

Sub famili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : argentiventer

Gambar 2. Tikus sawah

[image:21.568.70.445.88.750.2]
(22)

panenan ganda, potensi reproduktif betina diperkirakan 5 kali lebih cepat dibandingkan dengan di arealdaerah panenan tunggal (Twigg 1988). Hal terse but sesuai dengan pendapat Rismunandar (1981) yang mengemukakan bahwa daya reproduksi tikus sangat bergantung pada sistem pertanian di suatu daerah. Pada daerah dengan penanaman padi hanya 1 kali setahun, untuk selanjutnya sawahnya dibiarkan tandus (kosong), memberikan peluang kepada tikus untuk 2 kali bunting dan paling banyak 3 kali. Robinson dan Kloss (1916) dalam Aplin et al. (2003)

ュセョケ。エ。ォ。ョ@ bahwa aktivitas musim berkembang biak tergantung pada sistem perputaran penanaman padi, dengan musim berkembang biak sekali pada area panen sekali setahun dan dua kali musim berkembang biak pada area dengan dua kali panen setahun. Menurut [Depkes

1

(2005) siklus hidup tikus secara umum dapat dilihat pada gambar 1

Lahir

Gambar 3. Siklus hidup tikus

Menurut Aplin et al. (2003), tikus sawah betina mulai ovulasi pada berat badan 31-40 g, atau sekitar umur 28 hari. Namun demikian, sebagian besar betina jarang mengalami kehamilan pertamanya sampai berat tubuhnya mencapai 60-120 g. Jantan terlihat matang lebih lambat (kira-kira umur 59 hari) dengan berat badan lebih dari 90 g. Seekor tikus dalam 1 kali melabirkan dapat menghasilkan 10-13 ekor nyinying.

[image:22.568.76.471.265.748.2]
(23)

9

menyentuh, mendengar, melihat, dan mengeeap. Disamping mempunyal kemampuan indera, tikus juga mempunyai kemampuan fisik antara lain menggali, memanjat, meloneat, melompat, menggerogoti, berenang dan menyelam (Priyambodo 1995; [Depkes] 2005).

Pengendalian Populasi Tikus secara Umum

Pengendalian hama secara umum dapat dilaksanakan dengan beberapa cara antara lain secara mekanis, mengatur pola tanam, membasmi tanaman inang yang ditempati hama secara alami, secara biologis, dengan bahan kimia, dan karantina (Rismunandar 1981).

Pengendalian hama secara mekanis

Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan mencari tikus sawah dan membunuhnya, memasang perangkap, atau dengan mengeringkanlmenggenangi petakan-petakan sawah. Pengendalian secara mekanis yang dilakukan secara perorangan dalam areal yang luas, tidak akan berhasil dengan memuaskan. Pengendalian dengan cara ini dapat efektif dilakukan secara bersama-samaJgotong royong, berencana dan terarah sepanjang ada tanaman.

Pengendalian secara kulur teknis dengan mengatur pola tanam (rotasi) Pengendalian dengan mengatur pola tanam (rotasi) dilakukan dengan mengatur jadwal penanaman untuk menghindari serangan hama atau sering disebut sebagai pengendalian secara alamiah. Pengendalian ini dapat juga dilakukan dengan melakukan pengendalian tanaman inang yang ditempati hama dilakukan untuk berkembang biak. Pengendalian dengan cara ini akan beIjalan efektif j ika diusahakan bersama-sama dalam suatu daerah. Pengendalian dengan eara ini tidak banyak mengeluarkan biaya, yang penting patuh kepada peraturan yang telah digariskan dan dilaksanakan bersama-sama di seluruh daerah.

Pengendalian secara biologis

(24)

dikembangbiakkan dalam laboratorium untuk kemudian disebarkan di daerah tempat hama berjangkit. Hasil pengendalian dengan eara ini sangat bergantung pada iklim dan bantuan para petani, dalam bentuk tidak akan menyemprot tanamannya dengan insektisida yang dapat mematikan parasit yang sedang disebarkan.

Pengendalian seeara kimia

Pembasmian dengan bahan kimia dilakukan dengan menggunakan umpan beracun baik racun alami (akar tuba, tembakau, larutan biji bengkuang dan lain-lain) maupun dengan bahan kimia sintetis. Pengendalian tikus dengan menggunakan umpan beracun atau perangkap berumpan racun dianjurkan digunakan di daerahltempat yang tidak dapat dieapai oleh hewan domestik dan anak-anak. Pestisida untuk pengendalian tikus (Rodentisida) yang terdaftar dan diizinkan penggunaannya di Indonesia dapat dilihat pada lampiran I.

Pengendalian secara karantina

Pengendalian dengan eara karantina dilakukan dengan menjaga pelabuhan udara dan laut agar tidak ada hama atau penyakit baru masuk ke dalam negeri. Pemasukan hama dan penyakit tersebut biasanya "membonceng" pada buah-buahan, biji-bijian, beras, tepung dan berbagai barang yang diimpor. Bila terdapat bahan pangan yang mengandung sesuatu hamaJpenyakit maka seluruhnya dapat dihaneurkan atau segera diisolasi dan difumigasi dengan methylbromida atau lainnya (disucihamakan). Jalur komunikasi antar negara melalui laut dan udara yang sangat intensif serta arus manusia yang keluar masuk dari negara-negara tetangga memudahkan dinas karantina kebobolan hama baru.

Menurut Rismunandar (1981), Pengendalian hama tikus pada prinsipnya dilakukan dengan dua cara yaitu preventif dan kurati£ Kedua cara tersebut mempunyai paling sedikit 4 target yaitu:

a. Menghindarkan adanya kerusakan tanaman padi musim hujan sebelum bunting.

(25)

11

d. Mengendalikan tikus ketika padi sedang menguning atau palawija sedang masak.

Teknologi PengendaIian Tikus Sawah dengan Sarcocystis singaporensis

Menurut Dubey et al. (1989) Sarcocystis berasal dari bahasa Yunani Sarcos= daging dan kystiF gelembung. Jenis Sarcocystis terdiri dari berbagai spesies, namun yang digunakan dalam pengendalian populasi tikus pada saat ini adalah Sarcocystis singaporensis. S. ;,ngaporensis merupakan protozoa parasit yang diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Ordo : Eucoccidiorida Sub ordo : Eimeriorina Famili : Sarcocystidae Sub famili : Sarcocystinae Genus : Sarcocystis

Secara alami inang dari S. singaporensis adalah ular python (Python reticulatus). Berdasarkan penelitian, S. singaporensis padajenis ular Python sebae

(26)

" ' - I .. セNLN@

lion.., .. I •... \< <'til

Gambar 4 Siklus hidup Sarcocystis singaporensis

Sarcocystis singaporensis merupakan "host-specific protozoan" yang ditemukan oleh V. Zaman di Singapura. Mikroba terse but bereproduksi secara seksual di dalam usus halus ular python dan disebarkan melalui feses (dalam bentuk sporocyst) pada berbagai spesies tikus, khususnya Rattus spp. dan Bandicota spp, yang merupakan mediaJinang perantara (Jaekel 2001).

Parasit tersebut berkembang biak dalam sel pembuluh darah sarnpai membentuk "muscle cyst' dalam tubuh tikus yang mengakibatkan kematian tikus. Untuk memproduksi sporocyst, maka tikus yang terinfeksi oleh S. singaporensis dan telah membentuk "muscle cyst" tersebut diberikan sebagai pakan bagi ular python. Efek dosis infeksi buatan yang tinggi dengan menggunakan parasit tersebut dapat digunakan sebagai agen bio kontrol, yang dapat mengurangi populasi tikus 70-90% dengan waktu kurang lebih 2 minggu (Jaekel 2004).

[image:26.575.68.495.55.732.2]
(27)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2005 di Departemen Lingkungan Hidup dan Biofarming, Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian Cianjur.

Bahan dan Alat-alat

Tikussawah

Sumber tikus

Tikus sawah yang dijadikan hewan percobaan dikumpulkan dari sawah yang ada di Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur. Pencarian tikus dilakukan pada siang hari dengan melibatkan beberapa orang. Tikus ditemukan dalam lubang persembunyian yang berada pada pematang sawah dan pada tumpukan jerami sisa panen. Tikus ditangkap dengan menggunakan tangan dan dimasukkan ke dalam kotaklwadah penampungan sementara. Tikus hasil tangkapan tersebut dikumpulkan dalam wadah dan dipisahkan antara jantan dan betina. Pencarian tikus dilakukan selama bulan Juni s.d Agustus 2005

(28)
[image:28.568.177.367.45.187.2]

Gambar 7 Penimbangan tikus

Penentuan tikus uji dilakukan secara acak dengan cara undian sesuai kebutuhan dan dimasukkan ke dalam kandang pengujian sesuai dengan kelompoknya, masing-masing terdiri dari 3 ekor dengan ulangan sebanyak 3 kali. Pembagian kelompok tikus dapat dilihat pada Tabel I.

Tabell Pembagian kelompok tikus uji

Jenis Kelas Dosis Sarcocystis singaporensis

kelamin Umur 0 100.000 200.000 300.000

Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Jantan

Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Betina

Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Kandang tikus uji yang digunakan adalah kotaklbaki yang terbuat dari plastik dan ditutup dengan menggunakan kawat kassa untuk mencegah tikus keluar dari kandang. Pakan yang diberikan adalah gabah dan minumnya air yang diberikan secara tidak terbatas. Alas kandang berupa sekam padi yang dihamparkan hingga semua permukaan baki tertutupi. Alas kandang diganti setiap 1 minggu sekali atau bila kondisinya sudah terlalu kotor atau basah.

Sporocyst

(29)
[image:29.568.176.370.46.188.2]

15

Gambar 7 Penimbangan tikus

Penentuan tikus uji dilakukan secara acak dengan cara undian sesuai kebutuhan dan dimasukkan ke dalam kandang pengujian sesuai dengan kelompoknya, masing-masing terdiri dari 3 ekor dengan ulangan sebanyak 3 kali. Pembagian kelompok tikus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel I Pembagian kelompok tikus uji

Jenis Kelas Dosis Sarcocystis singaporensis

kelamin Umur

a

100.000 200.000 300.000

Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Jantan

Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Betina

Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor

Kandang tikus uj i yang digunakan adalah kotaklbaki yang terbuat daTi plastik dan ditutup dengan menggunakan kawat kassa untuk mencegah tikus keluar dari kandang. Pakan yang diberikan adalah gabah dan minumnya air yang diberikan secara tidak terbatas. Alas kandang berupa sekam padi yang dihamparkan hingga semua permukaan baki tertutupi. Alas kandang diganti setiap I minggu sekali atau bila kondisinya sudah terlalu kotor atau basah.

Sporocyst

(30)
[image:30.568.71.458.125.735.2]

Lingkungan Hidup dan Bio Fanning PPPG Pertanian Cianjur dalam kandang C2. Ular python tersebut dipelihara dalam kandang yang terbuat dari beton dan diberi pagar kawat kassa. Setiap kandang memiliki fasilitas yang sarna dan diberi perlakuan yang sarna, yaitu disediakan air minum, tempat berendam dan diberi pakan berupa tikus dengan jenis yang sarna.

Gambar 8 Ular python dalam kandang

(31)
[image:31.568.79.454.42.331.2]

17

Gambar 9 Proses isolasi sporocyst dari feses ular python

Suspensi sporocyst hasil isolasi tersebut masih terdapat beberapa unsur lain (kotoran) yang terikut bersama sporocyst, sehingga saat penghitungan jumlah sporocyst harns dilakukan dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan. Sporocyst dalam larutan feses tersebut dapat dikenali dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40x. Bentuk sporocyst dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar ) 0 Sporocyst

[image:31.568.77.459.64.685.2]
(32)

beberapa kotak. Hasil rata-rata penghitungan tersebut kemudian dibagi dengan volume kotak untuk tiap cm3 (I x 10""). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan alat tersebut temyata suspensi tersebut mengandung 3.350 sporocyst per 0,1 III (1 III

=

33.500, 10 III

=

335.000). Oleh karena itu untuk mendapatkan suspensi dengan konsentrasi 100.000 sporocyst per 10 III dilakukan pengenceran.

Gambar II Neubauer Haemocytometer

Pengenceran dilakukan dengan menggunakan rumus V I x N I = V2 x N2,

hingga diperoleh jumlah sporocyst 100.000 per 10 Ill. Hasil pengenceran terse but kemudian diuji kembali untuk memastikan jumlah sporocyst yang akan diberikan dalam perlakuan penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil 95.000/10 Ill. Untuk menjaga kualitas suspensi sporocyst, larutan tersebut disimpan dalam pendingin pada suhu 4-1

O°c.

PeJet

(33)
[image:33.568.93.444.42.249.2]

19

Gambar 12 Proses pembuatan pelet

Jenis dan metode pengumpuJan data

Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data-data tersebut diperoleh secara langsung dari percobaan yang dilakukan, maupun dengan cara melakukan studi literatur serta diskusi dengan pihak-pihak yang berkompeten. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini

antara lain terdiri dari:

• Tingkat kematian: dilakukan dengan cara menghitung frekuensi jumlah tikus yang mati selama I bulan

• Lama kematian: dilakukan dengan cara menghitung jumlah hari sampai tikus mati dari hari ke-J sampai hari ke-30.

• Gejala yang terjadi pada tikus: dilakukan dengan cara mengamati berbagai gejala yang tetjadi pada tikus sejak diberi periakuan.

Rancangan Percobaan

(34)

Penelitian ini dipisahkan antara jantan dan betina dengan menggunakan

rancangan acak kelompok (RAK), karena diduga kelas umur (anak dan dewasa)

pada setiap jenis kelamin menimbulkan sumber keragaman. Yang menjadi

perlakuan adalah pemberian S. singaporensis dan yang menjadi kelompok adalah

kelas umur. Unit percobaan adalah 3 ekor tikus sawah yang ditempatkan pada

kandang yang sama sehingga secara keseluruhan akan diperlukan 48 ekor tikus

sawah. Percobaan ini dilakukan 3 kali ulangan sehingga total kebutuhan tikus

sawah adalah 144 ekor. Bentuk/lay out data dalam percobaan ini dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel2 BentukILay out data

Jenis kelamin tikus: Betina

Oosis Sarcocystis singaporensis

KelompokIKelas (x 1000) lumlah Rerata Umur/ulangan 0 100 200 300 TKj YKj

00 01 D2 D3

Anak BI 1 YOII Y III Y2I1 Y311 TKII YK II

2 Y012 YI12 Y212 Y312 TKI2 YKI2 3 Yo 13 Y113 Y213 Y313 TK13 YKI3

Oewasal B2 I Y021 Y I21 Y221 Y321 TK21 YK21

セオ。@ 2 Y022 Y 122 Ym Y322 TK22 YK22 3 Y023 Y123 Y223 Ym TK23 YK23 lumlah (TPi) TPI TP2 TP3 TP4 Yij Yij

Jenis kelamin tikus: Jantan

Oosis Sarcocystis singaporensis

KelompokIKelas (x 1000) Jumlah Rerata Umur/ulangan 0 100 200 300 TKj YKj

00 01 D2 D3

Anak JI I YOII YI11 Y2I1 Y3I1 TKII YKI1

2 Y012 Y I12 Y212 Y312 TK12 YKI2 3 YO 13 Y113 Y213 Y313 TK13 YK13

Oewasal 12 1 Y021 Y I21 Y221 Y321 TK21 YK21

tua 2 Y022 Y122 Ym Ym TK22 YK22

3 Y023 YI23 Ym Ym TK23 YK23 J umlah (TPi) TPI TP2 TP3 TP4 Yij Yij Keterangan:

(35)

21

Metode Analisis Data

Analisis data dalam rancangan percobaan penelitian ini digunakan metode analisis sidik ragam dan uji LSD (Least Significant Different).

Analisis Sidik Ragam Model Linier

Model Iinier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok dengan model matematika sebagai berikut:

Y

ij

=

!!

+

'tj

+

i3j

+

Ejj

dimana:

Yijk = tingkat respons (masing-masing terhadap: tingkat kematian, dan lama kematian) dari pengaruh pemberian dosis S. singaporensis ke-i serta kelompok kelas umur ke-j

!! rata-rata respons

'tj pengaruh pemberian dosis S. singaporensis ke-i i3j pengaruh kelompok/kelas umur ke-j

Ejj = galat dari pemberian dosis S. singaporensis ke-i serta kelompok kelas umur ke-j

Hipotesis yang Diuji

Pengujian untuk pengaruh per1akuan:

Ho

=

'I

= ,,=

'3

=

'4

=

0 セ@ tolak Hojika fィゥエBBャセ@ F Tabel (a, dbp, db,)

HI = minimal ada satu i dim ana 'ti

*

0

i=\,2,3,4

Pengujian untuk pengaruh kelompok:

Ho

=

セi@

=

セR@

=

0 セ@ tolak Hojika Fhitkdompok> F Tabel (a, dh>, db,)

HI = minimal ada satuj dimana セェ@

*

0 j = 1,2
(36)
[image:36.568.66.476.0.762.2]

Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam Sumber Perlakuan Kelompok Galat Total Db

dbp = t-I dbk = b-I dbg dbt = tb-J

JK JKP JKK JKG JKT

Y .. '

(L:rif)'

Faktor koreksi (FK) =

rJ rJ

Perhitungan derajat bebas (db)

db"" = t·1 db,,,

=

b-I

db ... セ@ = t(r-I) db,oml = t. r·1

Perhitungan Jumlah Kuadrat (JK)

JK,oul

=

LLY;/ - FK

JK"," = (Iy;'/r) - FK

JK.,I

=

(LY,'lt) - FK

jセ@

=

JK,oul - JK,.,wru.. - JK""ompok

Perhitungan Kuadrat Tengah (KT)

KT"" = JKp/dbp

KT "I = JK./db,

KT ... セ]@ JKg/db.

Fh;hmg =KTp1KT.

FTabel = F o:(dbp; dbg)

Kesimpulan: KT KTP KTK KTG Fhit KTP/KTG KTKlKTG

o Untuk perlakuan pemberian dosis S. singaporensis: Bila Fh;_ > Fa (p, dbg) maka tolak

Ho, artinya perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap fespons

o Untuk kelompok kelas umur tikus: Bila Fh; .. ns > Fa (k. dbs) maka tolak Ho, artinya

(37)

23

Apabila Ho ditolak, maim dilakukan uji lanjut dengan uji LSD (Least Siginificant Different)

Uji LSD

[KT;

LSD = t =taf2(dbg

)fb-b-LSD=t=

tan

(dbg}..J2KT glb Uj i hipotesis (Yi = Xi)

• Ho: '! = '2 = 0

セ@

I Xi -

Xl

I

Ho:

'!

= '3 = 0 セ@

IXi -ii31

Ho:

'!

=

'4

= 0 セ@

IXi -Xii

Ho: '2

=

'3 = 0 セ@

IXi-ii31

Ho: '2

=

'4

=

0 セ@

IXi -Xii

Kesimpulan:

• Apabila pengujian hipotesis tersebut lebih besar dari LSD, maka

Ho

ditolak, artinya teljadi perbedaan yang nyata antara periakuan

• Apabila pengujian hipotesis tersebut kurang dari LSD, maka Ho diterima, artinya artinya pada perlakuan terse but tidak ada perbedaan yang iiyata

Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida

Analisis biaya produksi bio rodentisida dilakukan berdasarkan biaya produksi peletJumpan yang dibuat dengan pemberian dosis S. singaporensis yang paling efektif. Komponen biaya produksi terdiri dari:

I. Penyediaan ular

2. Pengolahan sporocyst

3.

Pembuatan pellet

4. Pembuatan Bio Rodentisida 5. Pengemasan

(38)
(39)

HASIL

DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pernberian Dosis Sarcocystis Singaporensis terhadap Tingkat Kernatian Tikus Betina

Hasil penelitian pada tikus betina secara urnum menunjukkan bahwa perlakuan pemberian berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan 300.000 memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kematian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam hasil analisis sidik ragam yang tersaji pada Lampiran 8. Namun demikian berdasarkan hasil analisis terse but temyata kelompok kelas umur tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kematian tikus.

Pemberian perlakuan berbagai dosis Sarcocystis singaporensis terhadap tikus betina rata-rata menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Namun demikian sampai pada batas tertentu tingkat kematian mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar 13. Penurunan tersebut diduga tidak akan linier sejalan dengan peningkatan dosis bila dilihat dari pola penurunan tingkat kematian yang relatif kecil (0, II). Tingkat kematian tertinggi secara umum terjadi pada dosis 200.000 sporocyst.

120,00 : 100,00

c:

80,00

to

ii

E 60,00

'"

I

セ@

40,00

セ@

0

20,00

0,00

I

0 100.000 200.000 300.000

Oasis

! -+-Anak _______ Dewasa セ@ Rata-rata !

I !

[image:39.571.72.460.383.588.2]
(40)

Tingkat Kernatian Tikns Betina pada Berbagai Dosis

Hasil pereobaan perlakuan berbagai dosis sporocyst mengakibatkan kematian tikus, kecuali perlakuan dosis 0 sporocyst (kontrol) tidak ada tikus yang mati. Hal ini membuktikan bahwa pelet yang diberikan tidak berpengaruh terhadap kematian tikus. Namun demikian seeara umum perlakuan pemberian berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan 300.000 memberikan pengaruh sangat nyata seperti ditunjukkan pada hasil anal isis sidik ragam yang tersaji pada Lampiran 8 dan hasil uji LSD yang tersaji pada Tabel 5.

Pemberian pelet dengan dosis 100.000 sporocyst mengakibatkan total kernatian tikus sebanyak 61, II %, dengan kernatian tikus betina kelas umur anak sebesar 66,67%, sedangkan tikus betina kelas urnur dewasa sebesar 55,56%. Perlakuan dosis 200.000 sporocyst memberikan pengaruh yang sarna seperti perlakuan dosis 100.000 sporocyst namun mengakibatkan jumlah kematian tikus lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 100.000. Total kematian tikus akibat perlakuan ini adalah sebesar 88,89% dari total tikus uji yang digunakan. Kematian tertinggi teJjadi pada kelompok tikus betina kelas umur anak yaitu sebesar 100%, sedangkan tikus betina kelas umur dewasa yaitu sebesar 77,78%. Total kematian tikus akibat pcrlakuan dosis,JOO.OOO sporOcyst adalah sebesar 77.78% dari total tikus uji yang digunakan. Kernatian pada tikus betina kelas umur anak sebesar 88,89% lebih tinggi dari pada tikus betina kelas umur dewasa sebesar 66,67%. Persentase kematian pada dosis 200.000 dan 300.000 sesuai dengan hasil penelitian Jaekel (2005) yang menyatakan dosis antara 200.000 -400.000 sporocyst manlpu mengurangi populasi tikus sawah sebesar 70-90%. Jumlah dan persentase kematian tikus betina disajikan pada Tabel4.

Tabe I 4 J urn lah dan persentase kematian tikus betina

Kelas Dosis Sporocyst Jumlah

Umur 0 100.000 200.000 300.000

L

%

L

%

L

%

L

%

L

%

Anak 0 0,00 6 66,67 9 100,00 8 88,89 23 63,89 Dewasa 0 0,00 5 55,56 7 77,78 6 66,67 18 50,00 Jumlah 0 0,00 II 61,11 16 88,89 14 77,78 41 56,94

(41)

27

semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Meskipun pada dosis 300.000 sporocyst terjadi penurunan tingkat kematian, namun diperkirakan tidak akan terjadi secara linier dengan peningkatan dosis sporocyst yang diberikan. Kondisi tersebut dapat dilakukan pendekatan dengan hasil penelitian terhadap tikus jantan kelas umur anak juga mengalami penurunan pada dosis 300.000 sporocyst, namun pada tikus jantan dewasa mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diduga pada dosis mulai 200.000 sporocyst akan teIjadi tingkat kematian tikus yang relatif stabil.

Uj i LSD pengaruh dosis terhadap tingkat kematian tikus menunjukkan bahwa perlakuan 100.000, 200.000 dan 300.000 sporocyst berbeda sangat nyata dengan perlakuan 0 sporocyst (kontrol), demikian juga antara perlakuan 100.000, dan 200.000. Sedangkan perlakuan 100.000 maupun 200.000 dengan 300.000 sporocyst secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan seperti tersaji pada Tabel 5. Berdasarkan dlita tersebut, dapat diketahui bahwa dosis yang efektif daIi efisien dalam membunuh tikus, yaitu 200.000 sporocyst. Hal terse but disebabkan pada dosis tersebut mampu memberikan efek maksimal terhadap kematian tikus betina seperti pada pemberian dosis yang lebih tinggi, namun dengan jumlah yang lebih rendah diharapkan dapat lebih efisien dalam penggunaannya.

Tabel 5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina Dosis Sporocyst 0 100.000 200.000 300.000

0 0 0,61** 0,89** 0,78**

100.000 0 0,28** 0,17*

200.000 0 0,11*

300.0()0 0

Keterangan:' Berbeda nyata pada taraf 5% •• berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Kematian Tikns Betina Kelas Umur Anak dan Dewasa

(42)

Kecenderungan tingkat kematian tikus betina kelas umUT anak lebih tinggi dibandingkan dengan tikus betina kelas umur dewasa secara umum disebabkan daya Uihan tubuh tikus betina kelas umur anak lebih rendah. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perkembangan tubuhnya belum sempuma. Hasil penelitian ini sangat menguntungkan dalarn kegiatan pengendalian populasi tikus, karena bio rodentisida ini efektif untuk semua kelas umur tikus betina. Dengan demikian target dari pemberian umpan dengan menggunakan bahan aktif S. singaporensis ini dapat ditujukan baik untuk tikus betina kelas umur anak maupun dewasa dengan efektivitas yang sarna.

Pengaruh Pemberian Dosis Sarcocystis Singaporensis

Terhadap Lama Kematian Tikus Betina

Lama Kematian Tikus Betina pada berbagai dosis

Berdasarkan hasil percobaan diketahui rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis dan kelas umur adalah 15,81 hari. Lama kematian tikus tercepat terjadi pada hari ke-13 (terjadi pada perlakuan dosis 200.000 dan 300.000 sporocyst) dan

エ・イゥセュ。@

adalah pada hari ke-23 (terjadi pada dosis 100.000 dan 200.000 sporocyst).

Tabel6 Rata-rata larna kematian tikus betina

Kelas Vmur Dosis Rata-rata

100.000 200.000 300.000

Anak 17,33 15,67 14,78 15,93

Dewasa 16,17 16,33 14,61 15,70

Rata-rata 16,75 16,00 14,69 15,81

(43)

18,00 i -17,50

t--17,00

+----16,50 エMMMMM[ZMᄋMZ[MM]]]セセssセ⦅]⦅⦅⦅]@

._ 16,00

t-セ@ セZZセt-セ@ ヲセ⦅t-セ@

-

⦅セ⦅@ セセ@

______

MセM NML⦅セ@

... -._-::.::: __

ZZZ⦅セᄃN⦅[NL⦅@

.... _____ . ___ .

1400+--·-13:50 -I',

M]MセMMZMセセ@

13,00

100.000 200.000 300.000

Dosis

,-- --- --- - - - --- I

I--+-Anak _____ Dewasa -...- Rata-rata ,I

L __________________________________ l

---

-Gambar 14 Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis 29

I

II

Berdasarkan hasil pengamatan terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi dosis semakin cepat terjadi kematian tikus. Namun demikian berdasarkan hasil analisis sidik ragam seperti tersaji pada Lampiran 10, diketahui bahwa perlakuan dosis (100.000, 200.000, 300.000 sporocyst) tidak berpengaruh terhadap lama kematian tikus betina. Hal terse but disebabkan aktivitas S. Singaporensis mempunyai fase tertentu dalam perkembangbiakannya. Kondisi tersebut diduga sesuai dengan aktivitas S. cruzi seperti dijelaskan oleh Dubey (1989) yang dalam perkembangbiakannya me1alui berbagai tahapan tertentu. Kondisi tersebut mengakibatkan S. cruzi maupun S. singaporensis membutuhkan waktu tertentu untuk dapat mengakibatkan kematian tikus.

Lama Kematian Tikus Betina pada Kelas Umur Anak dan Dewasa

[image:43.567.85.448.46.233.2]
(44)

Pengaruh Pemberian Dosis Sarcocystis Singaporensis terhadap Tingkat Kematian Tikus Jantan

Hasil penelitian pada tikus jantan secara umum menunjukkan bahwa perlakuan pemberian berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan 300.000 memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kematian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam hasil analisis sidik ragam yang tersaji pada Lampiran 15. Namun demikian berdasarkan hasil analisis tersebut temyata kelompok kelas umur tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kematian tikus. Hasil penelitian tersebut cenderung sarna dengan yang terjadi pada tikus betina pada penelitian ini.

Pemberian perlakuan berbagai dosis Sarcocystis singaporensis terhadap tikus jantan rata-rata menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Seperti pada tikus betina perlakuan dosis 0 sporocyst tidak memberikan pengaruh terhadap kematian tikus jantan, tidak ada tikus jantan yang mati. Dosis 100.000 sporocyst mengakibatkan kematian sebesar 61,11%, dosis 200.000 sporocyst mengakibatkan kematian sebesar 77,78%, sedangkan dosis 300.000 sporocyst mengakibatkan kematian sebesar 94,44% seperti terlihat pada Gambar 15.

co

'"

セ@ E Q)

""

<1'

120,00 ' - .

100,00 80.00 60.00 40,00 20,00 0.00

o

- _ .. _ _ .. _ ... _ .. ·_·-1

r O T

100.000 200.000 300000

Oasis

-I

I

,

I I

[image:44.568.71.444.234.711.2]
(45)

31

Berdasarkan gambar tersebut rata-rata terjadi peningkatan persentase kematian dari dosis 100.000, 200.000 dan 300.000 sporocyst. Penurunan kematian tikus jantan akibat perlakuan dosis ini teljadi pada tikus kelas umur anak pada pemberian dosis 300.000 sporocyst. Peningkatan kematian tikus jantan dewasa pada dosis 300.000 sporocyst dan penurunan tingkat kematian tikus jantan ke las umur anak pada dosis yang sarna menunjukkan bahwa mulai dosis 200.000 sporocyst tingkat kematian tikus diduga relatif stabil.

Tingkat Kematian Tikus Jantan pada Berbagai Dosis

Perlakuan dosis 0 sporocyst atau pelet tanpa sporocyst tidak memberikan pengaruh terhadap kematian tikus sarna dengan yang teljadi pada tikus betina. Hal tersebut berbeda dengan perlakuan 100.000, 200.000, dan 300.000 semua memberikan pengaruh terhadap kematian tikus seperti terlihat pada Tabel 7. Kondisi tersebut sarna dengan yang teljadi pada tikus betina pada penelitian ini.

Pemberian pelet dengan dosis 100.000 sporocyst secara umum mengakibatkan total kematian tikus sebesar 61,11%. Kematian tikusjantan kelas umur anak mencapai 77,78%, sedangkan kelas umur anak 44,44%. Total kematian tikus akibat perlakuan dosis 200.000 sporocyst meningkat bila dibandingkan dengan perlakuan dosis 100.000 sporocyst menjadi sebesar 77,78% dari total tikus uji yang digunakan. Kematian tertinggi terjadi pada kelompok tikus jantan kelas umur anak yaitu 100%, sedangkan tikus jantan kelas umur dewasa 55,56%. Semua tikus uji kelas dewasa 100% mati akibat pelakuan dosis 300.000 sporocyst, sedangkan pada kelas umur anak mati hingga 88,89%. lumlah dan persentase kematian tikus jantan pada penelitian ini tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 lumlah dan persentase kematian tikus jantan

Kelas Dosis Sporocyst lumlah

Umur 0 100.000 200.000 300.000

L

%

L

%

L

%

L

%

L

%

Anak 0 0,00 7 77,78 9 100,00 8 88,89 24 66,67

Dewasa 0 0,00 4 44,44 5 55,56 9 100,00 18 50,00

(46)

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui adanya kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus sesuai dengan hipotesis penelitian ini. Hasil uji LSD pemberian dosis terhadap kematian tikus jantan menunjukkan bahwa semua perlakuan 0 sporocyst berbeda dengan perlakuan 200.000 dan 300.000 sporocyst, namun antara perlakuan 200.000, dan 300.000 secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan seperti terlihat pada Tabel8.

Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan

Dosis

o

100.000 200.000 300.000 0 0 100.000 0,61 0 200.000 0,78" 0,17 0

Keteraogao:' Berbeda oyata pada taraf5%" berbeda sangat oyata pada taraf 1%

300.000 0,94"

0,33 0,17 0

Berdasarkan uji LSD tersebut dapat diketahui bahwa dosis yang efektif dan efisien dalam membunuh tikus jantan adalah pada dosis 200.000 sporocyst. HasH tersebut sarna dengan dosis efektif dan efisien dalam membunuh tikus betina hasH penelitian ini.

Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Kelas Vrnur Anak dan Dewasa

(47)

33

bahan aktif S. singaporensis ini dapat digunakan baik untuk tikus sawah jantan maupun betina pada kelas umur anak maupun dewasa dengan efek yang sama.

Pengaruh Pern berian Dosis Sarcocystis Singaporensis Terhadap Lama Kernatian Tikus Jantan

Berdasarkan hasil percobaan diketahui secara umum dosis sporocyst mempengaruhi lama kernatian tikus jantan. Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis dan kelas umur adalah 16,30 hari seperti tersaji pada Tabel 9. Lama kematian tikus tercepat teljadi pada hari ke-13 (terjadi pada perlakuan 300.000 sporocyst) dan terlama adalah pada hari ke-23 (terjadi pada 200.000 sporocyst).

Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan

Kelas Umur Dosis Rata-rata

100.000 200.000 300.000

Anak 15,67 15,44 15,00 15,37

Dewasa 18,33 17,00 16,33 17,22

Rata-rata 17,00 16,22 15,67 16,30

Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan dengan セッウゥウ@ 100.000

"

sporocyst merupakan peringkat terlama yaitu 17,00 ィ。イセ@ diikuti dengan perlakuan dengan dosis 200.000 sporocyst (16,22 hari) dan dosis 300.000 (15,67 hari) seperti terlihat pada Tabel 9. Rata-rata lama kematian tikus jantan kelas umur anak adalah 15,37 hari, sedangkan tikusjantan kelas umur dewasa adalah 17,22 hari, teljadi perbedaan 1,85 hari antara kelas umur tersebut. Berdasarkan data tersebut, terlihat kecenderungan bahwa kelas umur tikus jantan mempengaruhi lama kematian seperti terlihat pada Gambar 16.

(48)

2000 ,

-ゥセZァァ@

+-

]M]ゥeMセセセセセ[[セMセM

セセセセ]QQセ@

セ]M]@

14:001----·c 12,00 i ---. -- -. ---

--m 10,00

+----

---

-::c

セZァァ@

r ---

MMセMM

---

セMM

セZァァ@

F -

NセZM

, --- _ _

__

セ@

I 100.000 I 200000 I 300.000 I

I dッッセ@

- - - ,

I-+-Anak __ Dewasa --.-Rata-rata I

- - -- - -

-Gam bar 16 Lama kematian tikus jantan kelas umur anak dan dewasa

Hasil analisis sidik ragam terhadap kelompok menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap lama kematian tikus sawah. Hal ini berarti bahwa kelas umur tikus (anak dan dewasa) mempengaruhi lama kematian tikus. Hasil ini berbeda dengan tikus betina pada penelitian ini. Perbedaan ini diduga antara tikus jantan dan betina memiliki struktur organ yang berbeda yang berpengaruh terhadap lama kematian tikus pada masing-masing jenis kelamin. Perbedaan lama kematian yang terjadi tikus jantan diduga karena struktur organ tikus jantan kelas umur anak relatif belum sempuma dibandingkan dengan tikus jantan dewasa. Hal itu sesuai dengan pendapat Aplin (2003) yang menyatakan bahwa tingkat kedewasaan tikus jantan cenderung lebih lama bila dibandingkan dengan tikus betina. Perbedaan lama kematian tersebut sesuai dengan hasil uji LSD pengaruh kelas umur terhadap lama kematian tikus seperti pada Tabel 10 yang menunjukkan bahwa lama kematian tikus jantan kelas umur anak berbeda nyata dengan tikus jantan kelas umur dewasa. Selisih waktu kematian antara keduanya relatif keeil (1,85 hari), meskipun bila dibandingkan dengan tikus betina pada penelitian ini lama kematian tikus jantan relatif.lama.

Tabel 10 Hasil uji LSD pengaruh kelas umur terhadap kematian tikus jantan Kelas Umur

Anak Dewasa

Anak

o

Dewasa 5,56'

o

[image:48.571.81.457.45.254.2]
(49)

35

Penelitian ini secara umum kurang dapat membandingkan dengan hasil penelitian lainnya khususnya terhadap masing-masingjenis kelamin maupun kelas umur tikus, karena hingga penyusunan tesis ini belum ada referensi yang mendukung. Oleh karena itu pembanding dalam penelitian ini dilakukan terhadap semua jenis kelamin maupun kelas umur tikus sesuai dengan data referensi yang ada.

Pengaruh dosis baik pada tikus jantan maupun tikus betina kelas umur anak maupun dewasa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi persentase kematian tikus. Namun demikian persentase kematian tersebut diduga tidak linier sebanding dengan peningkatan dosis S. Singaporensis yang diberikan. Persentase kematian tikus sawah jantan maupun betina akibat penggunaan dosis 200.000 sporocyst yang diberikan mencapai 77,78-88,89%. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Jaekel (2005) yang menyatakan bahwa penggunaan S. Singaporensis dapat menurunkan populasi antara 70-90%. Bila dibandingkan dengan pengendalian cara lain penggunaan bio rodentisida ini lebih efektif seperti ditunjukkan dari hasil uji lapangan di Lop Buri Thailand, yang menyatakan bahwa kerusakan hanya mencapai 0,5%. Pengendalian secara konvensional dengan menggunakan racun akut seperti seng phospida dan pagar berlistrik mengakibatkan kerusakan antara 1,6-1,1%, sedangkan bila tanpa penanganan berakibat kerusakan hingga 5,8% (Jaekel 2005). Namun demikian berdasarkan hasil penelitian Suhana (2003), Cara pengendalian tikus di sawah irigasi dengan pemasangan perangkap bubu (Trap Barier System) terbukti lebih efektif pada pengendalian tikus sawah di Sukamandi dibandingkan dengan cara pengendalian tikus lainnya, yaitu gropyokan, pengoboran, dan pemasangan umpan. Berdasarkan penelitian terse but diduga bio rodentisida juga kurang efektif pada pengendalian tikus di sawah irigasi, karena pada dasarnya penerapan bio rodentisida sama dengan penerapan pemasangan umpan.

(50)

rodentisida kimia seperti Klerat RM hanya membutuhkan waktu 4-6 hari, terlebih lagi dengan cara gropyokan atau pengemposan yang hanya membutuhkan waktu 1 hari. Namun demikian kondisi tersebut diduga dapat lebih menguntungkan dalam kegiatan pengendalian populasi tikus karena dapat mengatasi adanya sifat tikus yang sangat curiga terhadap benda asing yang baru ditemuinya (neo-phobia) (Priyambodo 1995). Dengan demikian konsumsi bio rodentisida diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan rodentisida kimia, sehingga persentase kematian tikus lebih tinggi.

Gejala Urn urn yang Terjadi Akibat Pernberian

Sarcocystis singaporensis

Sarcocystis singaporensis dalam bentuk sporocyst dalam pelet yang diberikan pada tikus berdasarkan hasil percobaan terbukti sangat mempengaruhi tingkat kematian. Secara umum efek pemberian umpan yang mengandung sporocyst terjadi 10 hari setelah perlakuan. Tanda-tanda secara fisik yang terlihat akibat perlakuan teisebut baik tikus betina maupun jantan kelas umur anak dan dewasa adalah rambut terlihat kasar/berdiri dan bagian muka terlihat membengkak. Disamping itu juga terlihat pelupuk mata mulai mengecil dan

sebagian mengeluarkan "air mata. AJctivitas tikus secara umum terlihat sangat berbeda sekali antara tikus yang sakit (perlakuan 100.000, 200.000, dan 300.000 sporocyst) dengan tikus yang sehat (perlakuan 0 sporocyst).

(51)

lebih mudah untuk ditangkap, dan juga menyebabkan sedikit pengurangan kesuburan menurut (Jaekel et af. 1999 dan Dubey 1989). Gejala terse but secara umum sama dengan sapi yang terinfeksi oleh S. cruzi yang juga berakibat mirip seperti pada tikus yang terinfeksi S. singaporensis.

Tikus dengan bulu tubuhnya berdiri dan mata berair

tikus lumpuh kaki belakang

Gambar 17 Gejala-gejala tikus sakit

Berdasarkan pengamatan secara visual dari frekuensi pemberian pakan dan air minum, diketahui bahwa pola konsumsi pakan dan minum tikus pada minggu pertama relatif tinggi. Namun setelah mulai hari ke-IO konsumsi jumlah air dan pakan yang diberikan mulai terjadi penurunan, kondisi tersebut berangsur-angsur makin menurun bersamaan dengan peningkatan kematian tikus.

Hidung berdarah Mata berair

[image:51.571.84.440.127.256.2] [image:51.571.77.434.266.699.2]
(52)

Produksi bio rodentisida dengan bahan aktif Sarcocystis singaporensis, pada prinsipnya terdiri dari proses produksi pelet, proses produksi dan isolasi sporocyst.

Biaya Produksi Pelet

Pelet yang digunakan untuk percobaan ini dibuat berdasarkan komposisi pelet produk Biofarming PPPG Pertanian Cianjur. Pelet tersebut merupakan hasil penelitianiuj i coba dari berbagai bahan, dan dianggap sebagai suatu komposisi yang paling disukai oleh tikus sawah. Proses pembuatan pelet masih dilakukan semi otomatis. Proses pencampuran, pencetakan, pengecilan ukuran, dan pengeringan dilakukan secara manual dengan menggunakan alat bertenaga listrik. Proses pengolahan dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia hampir pada . setiap tahap pengolahannya.

Berdasarkan hasil perhitungan biaya pembuatan pelet seperti pada lampiran diketahui diperlukan biaya sebesar Rp 2.655.000. Perhitungan tersehut dilakukan .dengan memperhatikan kapasitas optimum alat yang digunakan. Pelet dari proses produksi dengan menggunakan sejumlah bahan tersebut diperkirakan menghasilkan 100.000 butir pelet kering. Dengan demikian diperkirakan harga tiap butir pelet berkisar pada Rp 26,55,- - Rp

27,-Biaya Produksi Sporocyst

Sporocyst yang digunakan dalam percobaan ini adalah hasil pengolahan feses ular yang dipelihara oleh Departemen Lingkungan Hidup dan Biofarming PPPG Pertanian Cianjur. Dengan demikian penentuan harga sporocyst dipengaruhi oleh pemeliharaan ular python dan proses isolasinya.

(53)

39

umur maksimum ular 3 tahun, dan tiap bulan setiap ular mengeluarkan feses sebanyak 2 kali, maka harga sebuah feses ular sebesar Rp

136.944,-Proses isolasi sporocyst dilakukan dengan menggunakan peralatan laboratorium dan tenaga manusia Proses isolasi diperlukan ketelitian dan keterampilan kerja yang cukup tinggi, mengingat kesalahan dalam isolasi sangat berdampak dalam keberhasilan pembuatan bio rodentisida. Berdasarkan hasil perhitungan biaya pembelian feses dan biaya proses isolasi sporocyst diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp 4.388.889,-. Proses isolasi ini diasumsikan menghasilkan larutan sporocyst dengan kandungan 5.000 sporocyst per 1 ,.d. Dengan asumsi tiap feses dapat diperoleh larutan sebanyak 50 ml dengan kandungan sporocyst yang sama, maka harga untuk tiap 200.000 sporocyst sebesar Rp 18,-.

Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida

hセウゥャ@

perhitungan biaya produksi pelet dan sporocyst yang dilakukan sangat

menentukan harga bio rodentisida yang diproduksi. Demikian juga halnya dengan hasil penelitian terhadap jumlah dan lama kematian, maka penentuan biaya produksi bio rodentisida yang efektif dalam pengenrlalian tikus ウ。セᆬ。ィ@ dapat diketahui.

Hasil penelitian Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) diketahui bahwa dosis yang efektif dan efisien dalam membunuh tikus sawah adalah dosis 200.000 sporocyst. Berdasarkan hasil tersebut analisis biaya produksi bio rodentisida untuk liap pelet diketahui sebesar Rp 44,11,- - Rp

(54)

Biaya Aplikasi Bio Rodentisida

Bio rodentisida yang diproduksi dalam bentuk pelet ini dapat digunakan sebagai umpan untuk menarik perhatian tikus sawah karena menggunakan bahan-bahan yang disukai oleh tikus sawah (hasil penelitian PPPG Pertanian, tidak dipublikasikan). Bahkan dalam pengembangan lebih lanjut dapat ditambahkan bahan lain yang mampu meningkatkan efektivitas bio rodentisida, maupun bahan lain yang dapat menghindari hewan non target untuk mengkonsumsinya. Bio rodentisid.a dengan bahan aktif Sarcocystis singaporensis ini aman baik bagi hewan maupun manusia, serta memberikan hasH yang signifikan. Hal tersebut menurut Dubey (1989), disebabkan spesies Sarcoystis lebih spesifik hidup pada inang perantara daripada inang utama. Pernyataan terse but diperkuat dengan hasH penelitian bahwa Sarcocystis singaporensis memberikan hasH negatif pada uji coba hamster (Macaca auratus), merpati (Columba livia), M natalensis, dan Microtus spp.

Penggunaan bio rodentisida ini dapat dHakukan pada tempat-tempat yang diduga banyak tikus, sehingga diharapkan dapat mencapai hasH yang maksimal. Dalam aplikasinya, menurut Priyambodo (1995) dan Rochman (1992), tempat umpan tersebut sebaiknya menggunakan wadah yang bersifat alami atau wadah yang bukan buatan pabrik seperti bum bung bambu, sabut atau tempurung kelapa. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi adanya sifat tikus yang sangat curiga terhadap benda asing yang baru ditemuinya (neo-phobia). Waktu pelaksanaan pengendalian sebaiknya dilakukan pada saat populasi rendah, sebelum masa tanam, seperti disarankan oleh Jaekel (2005) dan Priyambodo (1995).

(55)

.,.

(dengan asumsi efektivitasnya sarna dengan bio rodentisida). Harga eceran per bungkus (isi 12 butir) pada bulan Maret 2006 adalah Rp 2000,-, sehingga dibutuhkan biaya sebanyak Rp 100.000,-. Berdasarkan perhitungan tersebut, terlihat biaya pengendalian tikus sawah dengan menggunakan bio rodentisida .sedikit lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan rodentisida kimia Klerat RM. Biaya tersebut relatif lebih mahal dalam pengadaan peralatan dan bahan pengendaliannya bila dibandingkan dengan pengendalian secara gropyokan, pengoboran, maupun komposan dengan menggunakan belerang. Namun demikian pengendalian cara ini memerlukan tenaga kerja yang banyak dan hams terkoordinasi (Suhana 2003).

Hasil uji coba Tim Departemen Lingkungan Hidup dan Biofarming PPPG Pertanian (tidak dipublikasikan), menunjukkan bahwa temyata S. singaporensis strain Thailand kurang efektif membunuh tikus di Cianjur, dibandingkan dengan S. singaporensis strain Cianjur dengan menggunakan dosis yang sarna. Berdasarkan hal tersebut diduga strain S. singaporensis sangat mempengaruhi kemampuan membunuh tikus sawah strain tertentu pula. Berdasarkan hal tersebut penggunaan strain S. singaporensis sebaiknya disesuaikan dengan tempat tikus akan dikendalikan agar pep.gendalian dapat dilakukan secara efektif dan efisien .

. ':;

(56)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

I. Dosis S. singaporensis berpengaruh terhadap tingkat kematian tikus jantan maupun tikus betina.

2. Dosis S. singaporensis tidak berpengaruh terhadap lama kematian tikus jantan maupun tikus betina

3. Dosis S. singaporensis tidak berpengaruh terhadap tingkat kematian kelas umur baik tikus jantan maupun tikus betina.

4. Dosis S. singaporensis berpengaruh terhadap lama kematian kelas umur tikus jantan tetapi tidak berpengaruh pada kelas umur tikus betina.

5. Dosis S. singaporensis yang paling efektif untuk membunuh tikus baik jantan maupun betina pada kelas umur anak maupun dewasa adalah sebesar 200.000 sporocyst.

6. B iaya produksi bio rodentisida dengan bahan aktif S. singaporensis untuk satu hektar tanaman padi adalah Rp 91.200,-.

Saran

I. Perlu dilakukan uji coba secara riil di lapangan, agar diperoleh hasil yang lebih kongkrit.

2. Perlu dilakukan kajian terhadap efektivitas Sarcocystis singaporensis terhadap lama penyimpanan baik dalam bentuk feses, sporocyst, maupun pelet yang

siap pakai.

3. Perlu dilakukan kajian resistensi tikus terhadap Sarcocystis singaporensis. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap berbagai kemungkinan

(57)

43

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Puluhon Ha Padi Puso Di Kabupaten Tegal. http://www.lin.go.idl detaiLasp?idartcl=060504UkkT0001&by==topic [4 Maret 2005].

Anonim. 2003. Racun Ti/cus Rusak Lingkungan. http://www.mediaindo.co.idl newsprint.asp?ld=20030905005 50771 &Jenis=c&cat_ name=Lingkungan Jumat, 05 September 2003 00:00 WIB [tanggal 20 jan 2005].

-Aptin KP, Brown PR, Jacob J,Krebs CJ & Singleton GR. 2003. Field Methods for Rodent Studies in Asia and the Indo Pacific. Melbourne: BPA Print

Group.

Bykovskii V, Kandybin NV. 1988. Biological Principles, Development, and Perspectives of the Use of Bacteria and Viruses. Di dalam: Prakash I.

Rodent Pest Management. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc.

Davis DE. 1988. Population Principles. Di dalam: Prakash I. Rodent Pest Management. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Pedoman Pengendalian Tikus Khusus di Rumah Sakit. http://www.depkes.go.idlindex.php?option=com _downloads & Itemid=50&func=selectcat&cat= I 0 [4 Maret 2005].

Dubey JP., Speer CA., Fayer R.1989. Sarcocystosis of Animals and Man.

Gambar

Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ..............................................................
Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ..............................................................
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2. Tikus sawah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Target khusus dalam program IbM ini adalah mengaplikasikan teknologi pemanfaatan mesin paving block untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi paving local masyarakat

Untuk memulai monitoring, user bisa memilih button “Start”, jika ingin menghentikan user bisa memilih button “Stop”, button “Grafik” untuk menampilkan data secara grafik

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Pengaruh Struktur Modal, Kebijakan Dividen, dan Profitabilitas terhadap Harga Saham Perusahaan Sektor Konstruksi dan Real Estate

Ips, XI Ipa, Ips, dan XII Ipa, Ips karena seluruh siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari menerima pelajaran Aswaja. Wawasan yang dimaksud adalah Pengetahuan siswa-siswi di

Dengan mempertimbangkan berbagai keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun sebelumnya, maka peranan tahunan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten

Sumber: BPS Provinsi

Hasil uji t secara parsial belanja barang dan jasa serta variabel belanja modal berpengaruh signifikan terhadap PDRB provinsi Jambi, sementara belanja pegawai tidak berpengaruh

1 I Ketut Garwa, SSn.,MSn Perbaikan Proses Produksi Dan Fumigasi Dalam Meningkatkan Kualitas Ekspor Gamelan Bali Ke luar Negeri Seni Karawitan FSP STRATEGIS NAS.