• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBAIKAN BERSAMA YANG MENAFIKAN INDIVIDU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBAIKAN BERSAMA YANG MENAFIKAN INDIVIDU"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KEBAIKAN BERSAMA YANG MENAFIKAN INDIVIDU

1. Pengantar

Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Eksistensi manusia menjadi sangat berarti ketika ia mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang individu di dalam kehidupan sosial di mana berbagai individu dengan segala kekhasan dan keunikan bercampur di dalamnya. Kehidupan sosial inilah yang kemudian membawa manusia mengalami perjumpaan satu dengan yang lain. Ketergantungan manusia dengan manusia yang lain menjadi tampak di dalam upaya untuk berkembang secara pribadi. Manusia tidak dapat hidup dan berkembang sebagai pribadi di dalam isolasi atau keterasingan dari masyarakat manusia. Ia menghayati kehidupan bersama yang sifatnya komunikatif.1 Maka,

keberadaan manusia, bahkan awal mula beradanya di dunia, merupakan buah dari hubungan antarpribadi, ada bersama dengan yang lain.

Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon (makhluk politik). Dengan zoon politicon dimaksudkan sebuah tata hidup bersama. Manusia itu tidak tinggal sendirian. Ia tinggal dan hidup di dalam polis. Polis adalah cetusan bahwa manusia itu hidup dalam ‘kesempurnaan’ dan dalam sebuah tata hidup yang teratur. Hal ini juga berarti bahwa segala kecemasan, duka, gembira, sedih, dan ungkapan kegembiraan manusia berlangsung di dalam polis. Singkatnya, keseharian hidup manusia itu hanya ditemukan di dalam polis dan tidak berada di ‘tempat yang lain’. Dan tujuan satu-satunya hidup dalam polis adalah ‘achieving the good life’. Manusia sebagai zoon politicon halnya juga dimaksudkan bahwa manusia dari kodratnya ingin menata dirinya dan sosialitasnya secara baik dan teratur demi sebuah kebaikan bersama.

Namun sejarah mencatat bahwa untuk mencapai kebaikan bersama ini (common good) kebebasan individu sering dikorbankan dan dinafikan. Individu-individu harus mengorbankan kebebasannya demi sebuah ideologi. Halnya dapat dilihat secara jelas di dalam goresan sejarah kemanusiaan, terutama di abad ke-20. Rezim Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler di Jerman dan kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Joseph Stalin yang telah melenyapkan jutaan manusia dalam kamp-kamp konsentrasinya merupakan bukti nyata pemberangusan kebebasan individu. Sungguh hal ini merupakan suatu ironi karena para pemimpin totaliter atau diktator membantai jutaan manusia demi sebuah cita-cita luhur, yaitu kesejahteraan bersama dan bahkan demi kebebasan itu sendiri. Sebut saja Adolf Hitler yang mengklaim bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang berasal dari satu ras dan keturunan bangsa yang sama, yaitu suku Arya. Hitler meluncurkan propaganda-propoganda untuk menanamkan kebenaran palsu, yaitu bahwa orang Yahudi pantas untuk dimusnahkan. Mereka pantas untuk dimusnahkan karena cerita konspirasi orang-orang Yahudi untuk menguasai dunia, juga mereka dianggap sebagai simbol kemunafikan dan ketidakjujuran di seluruh sistem.2 Propaganda anti-semitisme Hitler

bertujuan untuk kebaikan bersama suku Arya, tetapi mengeksklusi yang lain (Yahudi).

Dalam sejarah Indonesia, pembantaian jutaan manusia juga pernah tercatat. Jutaan manusia dibantai karena dianggap ikut ambil bagian di dalam G-30 S/PKI. Propoganda-propaganda terutama melalui media massa memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa para komunis memang layak untuk dimusnahkan dari bumi pertiwi Indonesia. Para komunis seolah-olah layak untuk dimusnahkan demi kebaikan bersama rakyat Indonesia. Para

1 Bdk. P. Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 116.

(2)

komunis dilihat sebagai ancaman terhadap kebaikan bersama Bangsa Indonesia. Itulah ide yang mendasari peristiwa berdarah yang tergores di dalam sejarah Indonesia. “Pemerintahan Orde Baru kerap menulisnya sebagai sebuah kemenangan Pancasila melawan Komunisme.”3

Contoh lain pemberangusan kebebasan individu atas dalil kebaikan bersama adalah RUU anti porno dan penerapan hukum syariat di Indonesia. Kedua hal ini memiliki tujuan untuk kebaikan bersama masyarakat Indonesia, tetapi halnya sangat diskriminatif dan membelenggu kebebasan individu. Negara belum secara tajam membedakan antara moralitas publik (yang termasuk wewenang negara) dan moralitas pribadi (yang tidak termasuk wewenang negara). Sehingga tentang baju apa yang hendak dipakai oleh perempuan atau batas waktu bagi perempuan keluar malam bukanlah urusan negara. Hal yang perlu diurus negara adalah segala urusan seksual dengan orang di bawah umur. Menjual, memiliki, gambar porno, apalagi terlibat dalam aktivitas yang menyangkut ketelanjangan, atau hubungan seks dengan anak harus dilarang dan dihukum keras oleh negara.

Tulisan ini akan mencoba melihat bahwa pemberangusan kebebasan individu kerap disebabkan oleh dalil kebaikan bersama. Eksistensi individu kerap dilebur dengan eksistensi kolektif seperti masyarakat, kelompok, bangsa dan negara. Akan dipaparkan bahwa ada ketegangan antara kepentingan individu dan kepentingan publik (societas). Di akhir tulisan ini akan dipaparkan pentingnya ruang publik dan diskursus politik sebagai jalan tengah terhadap ketegangan antara kepentingan inidivu dan publik (bersama).

2. Kebaikan: Tujuan Hidup Manusia

Hidup manusia selalu mengejar kebaikan. Siapa pun yang hidup pasti mengejar hidup baik. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan kehidupan yang tidak baik, penderitaan dan kekacauan. Dalam bukunya Nicomachean Ethic, Aristoteles menyatakan bahwa tujuan dari semua perbuatan manusia adalah kebaikan. “Every art and every inquiry, and similarly every action and choice, is thought to aim at some good; and for this reason the good has rightly been declared to be that at which all things aim.”4 Dengan kata lain

kebaikan adalah sesuatu yang kepadanya segala sesuatu tertuju. Kebaikan adalah itu yang selalu dikejar dan dirindukan oleh semua manusia. Keburukan tidak pernah menjadi objek kehendak manusia secara langsung. Ajaran Aristoteles ini penting, karena keburukan tidak pernah menjadi tujuan dari perbuatan manusia. Dengan akal budinya, manusia tidak pernah meletakkan sesuatu yang buruk dalam dirinya (in se) sebagai tujuan yang hendak dikejar.5

Dari etika, Aristoteles mengurai filsafat politiknya. Kalau dalam etika setiap manusia dalam polis mengejar kebaikan, maka dalam filsafat politik, manusia dan komunitasnya mengejar kebaikan tertinggi. Dengan kebaikan tertinggi itu dimaksudkan bahwa manusia dari kodratnya ingin menata dirinya dan sosialitasnya secara baik dan teratur demi sebuah kebaikan bersama.

Selanjutnya Aristoteles memperkenalkan suatu term penting yaitu telos, tujuan, yang diartikan sebagai sesuatu yang di dalamnya suatu tindakan atau aktivitas mencapai kepenuhannya. Halnya dimaksudkan sebagai sesuatu yang kepadanya tindakan berakhir atau

3 Armada Riyanto, “Gerakan-Gerakan Pencerahan: Panorama ‘Sembulan-Sembulan’ Sejarah Politik Indonesia”, dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No.1, Maret 2009. hlm. 29.

4 Aristotle, The Nicomachean Ethics, translated by David Ross, Revised with an Introduction and Notes by Lesley Brown, Oxford: Oxford University Pers, 2009, hlm.3. Dalam catatan kaki selanjutnya buku

Nicomachean Ethic akan disingkat dengan NE dan dalam sistem pengutipan akan digunakan penomoran baris. NE 1094a 1-3.

(3)

berhenti. Ajaran Aristoteles ini disebut Teleologi.6 Baik buruk suatu tindakan atau perbuatan

tergantung dari tujuannya. Logika berpikir ini sangatlah penting untuk menilai dan mengkritisi suatu perbuatan. Sehingga tidak dengan sendirinya perbuatan yang tampaknya baik adalah baik, dan perbuatan yang tampaknya buruk adalah buruk. Halnya demikian karena kita harus menyelidiki intensi atau tujuan dari perbuatan itu sendiri.

Seorang calon pemimpin sering diekspos oleh media massa sendang memberi bantuan dan sumbangan kepada orang-orang miskin. Di sini kita tidak bisa terburu-buru menilai bahwa calon pemimpin tersebut adalah seorang dermawan. Ia bisa saja melakukannya karena demi kebaikan itu sendiri (membantu orang miskin) atau demi suatu pencitraan diri agar mendapat simpati rakyat. Namun pada umumya, kebanyakan dari mereka yang telah terpilih menjadi pemimpin lupa kepada mereka yang miskin dan kecil. Mereka sering melihat politik sebagai sarana untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, tentu mereka juga ingin memperkaya diri mereka sendiri.

Dari contoh kecil di atas konsep tujuan (telos) yang digagas oleh Aristoteles kiranya dapat dimengerti secara lebih jelas. Membantu orang miskin adalah baik, tapi halnya menjadi berbeda bila aktivitas membantu orang miskin hanya dilakukan hanya untuk suatu pencitraan diri. Aktivitas memberi belum menjadi keutamaan baginya, karena tujuannya hanya supaya dilihat masyarakat bahwa dirinya baik. Ia tidak melakukannya demi kebaikan itu sendiri.

Berkaitan dengan tujuan suatu tindakan, Aristoteles membedakannya di dalam dua pengertian, yaitu tujuan sebagai aktivitas itu sendiri dan tujuan sebagai produk atau hasil dari suatu aktivitas sehingga tujuan terpisah dari aktivitas. “But a certain difference is found among ends; some are activities, others are products apart from the activities that produce them.”7 Misalnya, berterima kasih kepada seseorang. Dalam contoh ini, tindakan berterima

kasih sekaligus merupakan tujuan. Sedangkan dalam membuat patung, produk dalam bentuk patung merupakan tujuan dari tindakan. Dengan kata lain tindakan membuat patung bukan merupakan tujuan, tetapi patung sebagai sebuah produk adalah tujuan dari tindakan itu.

Setelah menguraikan arti kebaikan dan memperlihatkan bahwa dalam kenyataan terdapat sekian banyak kebaikan yang menjadi arah dan tujuan dari setiap tindakan, Aristoteles meyakini bahwa pasti ada kebaikan yang paling tinggi. Menurut Aristoteles, kebaikan tertinggi adalah kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan yang seperti apa? Menurutnya, eudaimonia adalah nama dari kebaikan tertinggi yang dapat dicapai oleh seseorang dan seseorang dikatakan bahagia apabila ia memiliki konsep yang tepat tentang kebaikan tersebut.8 Bagi Aristoteles, arti kebahagiaan bukanlah sebuah deskripsi atau analisis tentang

sebuah perasaan, tetap lebih mengacu pada suatu pola atau model hidup yang baik. Karena itu Aristoteles menunjukkan bahwa kebahagiaan sering kali disamakan dengan hidup baik dan melakukan yang baik. Kebahagiaan bukanlah suatu keadaan bahagia. Aristoteles mengatakan: “it is not a state; for if it were it might belong to someone who was asleep throughout his life.”9 Kebahagiaan bukanlah hasil atau prestasi yang bisa dinikmati untuk selamanya.

Kebahagiaan adalah suatu tindakan keuatamaan yang dilakukan berkali-kali. Keutamaan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi habitus. Dengan kata lain kebahagiaan adalah aktivitas itu sendiri.

Mengapa kebahagiaan menjadi kebaikan tertinggi? Aristoteles menjawab demikian:

6 Ibid.

7 NE 1094a 3-5.

8 Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik: Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles, Maumere: Penerbit Ledalero, 2010, hlm. 77.

(4)

Now we call which is in itself worthy of pursuit more final than that which is worthy of pursuit for the sake of something else, and that which is never desirable for the sake of something else more final than the things that are desirable both in themselves and for the sake of that other thing, and therefore we call final without qualification that which is always desirable in itself and never for the sake of something else.10

Kebahagiaan merupakan tujuan dari semua tindakan manusia karena di dalam dirinya sendiri itu pantas untuk dikejar. Kebahagiaan dikejar demi kebahagiaan itu sendiri dan bukan demi sesuatu yang lain. Kebahagiaan merupakan tujuan tertinggi dan yang paling sempurna dalam dirinya sendiri. Kebahagiaan tidak membutuhkan sesuatu yang lain di luar dirinya untuk membuat dirinya layak untuk dikejar. Ia dikejar demi kebahagiaan itu sendiri, bukan demi sesuatu yang lain di luar dirinya.

Selanjutnya, Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan menjadi kebaikan tertinggi karena di dalam dirinya terdapat prinsip self-sufficient. Artinya bahwa kebahagiaan itu cukup dalam dirinya sendiri. Self-Sufficiency tidak berarti bahwa kebahagiaan merupakan suatu kebaikan yang terpisah dari kebaikan-kebaikan lainnya, tetapi dia ada dalam semua kebaikan lain dan sekaligus berbeda dari kebaikan-kebaikan tersebut. Kebahagiaan bukan sekadar dilihat sebagai tujuan dominan hidup seseorang, tetapi juga suatu aktivitas.11 Jadi Aristoteles

menyatakan bahwa kebahagiaan menjadi kebaikan tertinggi karena kebahagian “is something final and self-sufficient, and is the end of action.”12

Immanuel Kant melihat bahwa tidak adahal lain yang baik secara mutlak kecuali kehendak baik. Kehendak baik sebagai kehendak yang baik pada dirinya, tidak tergantung pada yang lain, tanpa pamrih, tanpa syarat.13 Dengan meninggalkan pamrih-pamrihnya,

kehendak baik di dunia akan terwujud dalam pelaksanaan kewajiban. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa bagi Kant, baik itu wajib. Sehingga ketika kita melihat orang yang kelaparan di pinggir jalan, kita wajib untuk memberinya makan. Kita memberinya makan bukan untuk menunjukkan kemurahan hati kita, tetapi karena halnya sebagai kewajiban. Selanjutnya Kant menggagas tentang imperatif kategoris. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Impertatif ini bersifat a priori.14 Lalu pertanyaan yang muncul adalah apakah

mungkin ada sebuah imperatif a priori murni, yang dilakukan tanpa tujuan tertentu. Bagi Kant, tujuan yang mendasari imperatif kategoris adalah manusia itu sendiri. Dengan demikian, manusia bukanlah sarana, melainkan tujuan an sich. Bila tindak kekerasan dilakukan dengan dalil demi mencapai kebaikan bersama, bagi Kant, halnya bukanlah kebaikan sebab tindakan itu membuat manusia sebagai sarana dan memberangus eksistensi manusia.

Edward Moore mendefinisikan ‘baik’ sebagai itu yang tidak dapa didefinisikan. Baginya, ‘baik’ merupakan sifat primer, sehingga segala usaha untuk mendefiniskan kata ‘baik’ pasti gagal.15 Karena ‘baik’ adalah sifat primer, maka ‘baik’ tidak terdiri atas

bagian-bagian lagi, tidak dapat dianalisa, dan tidak dapat direduksi pada sesuatu yang lebih mendasar lagi. Oleh karen itu, usaha untuk mengidentifikasikan ‘baik’ dengan salah satu sifat, seperti ‘nikmat’ atau ‘yang diinginkan’ adalah sebuah distorsi. Bagi Edward Moore, ‘baik’ adalah ‘baik’.

10 NE 1097a 30-35.

11 J. L. Ackrill, Essays on Plato and Aristotle, Oxford: Oxford University Press, 1997, hlm. 182. 12 NE 1097b 20.

13 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 145. 14 Ibid., hlm. 148, Kant merangkum imperatif kategorisnya sebagai berikut: “Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan Anda sndiri dapat menjadi sebuah Hukum alam yang Universal.”

(5)

Dari beberapa gagasan para filosof yang telah dipaparkan di atas, kiranya jelas bahwa kebaikan adalah itu selalu dikejar manusia dan ia tidak bisa direduksi atau disamakan dengan nilai-nilai lain. Baik adalah baik itu sendiri. Kebaikan juga selalu pro eksistensi manusia, bukan memberangusnya. Dengan demikian halnya menjadi absurd bila kebaikan bersama memberangus atau bahkan meniadakan eksistensi individu. Pada hakekatnya, kebaikan bersama juga seharusnya mengafirmasi kebaikan individu.

3. Individu dan Societas: Ketegangan Antara Yang Adil dan Yang Baik

Dalam diskursus filsafat politik kontemporer terdapat dua kubu yang memiliki pendirian yang berbeda dan kerap saling bertentangan satu sama lalin. Kedua kubu tersebut adalah kaum liberal dan komunitarian. Kaum liberal membela hak-hak individu yang di dasarkan pada konsep ‘yang adil’. Sementara itu, kubu komunitarian membela hak-hak kolektif dengan mendasarkannya pada konsep ‘hidup yang baik’. Perdebatan dan pertentangan kedua kubu tersebut dapat dipahami sebagai berikut.

Kaum liberal memiliki asumsi bahwa manusia memiliki martabat yang sama. Dengannya kaum liberal menuntut perlakuan politis dan hukum yang sama tanpa memandang perbedaan gender, ras, agama dan ideologi.16 Dengan kata lain gagasan politik liberal

didasarkan pada konsepsi ‘yang adil’. Mereka mengiginkan negara bersikap netral atas pelbagai konsep “hidup yang baik” yang diusung oleh komunitas-komunitas kultural dan religius yang berbeda. Netral berarti bahwa konsepsi hidup yang baik tidak boleh hanya merujuk pada konsep baik dari komunitas tertentu dan menerapkannya untuk tatanan hidup bersama. Sebuah tatanan politis yang berlaku bagi semua pihak tidaklah dapat dibangun atas dasar konsep-konsep partikular karena tidak akan dapat diterima oleh semua pihak.17 Dengan

kata lain, di dalam ‘kita’ yang berdaulat kebebasan individu tidak mendapat tempat. Bila konsep hidup baik yang diusung oleh kelompok tertentu diterapkan kepada semua kelompok, maka halnya tidak lain adalah monisme moral. Dalam konteks ini, monisme moral adalah semua bentuk upaya untuk menjadikan suatu konsep tunggal tentang hidup ‘yang baik’ sebagai universal. Bagi Berlin, monisme moral inilah yang menjadi akar dari totaliterisme.

Sementara kaum komunitarian mengkritisi kaum liberal dari asumsi bahwa stabilitas suatu negara hanya dapat dicapai dengan berlandaskan pada konsep ‘hidup yang baik’. Mereka melihat bahwa kaum liberalis mengabaikan kenyataan bahwa konsep tentang ‘yang adil’ dapat menghasilkan integrasi politis hanya jika keadilan dimengerti oleh para anggota sebuah komunitas sebagai sesuatu ‘yang baik’. Bila konsep hidup ‘yang baik’ tidak mendapat tempat dalam tatanan hidup bersama, maka struktur politik akan berkembang otonom tanpa inentitas dan moralitas.18 Selain itu kaum komunitarian juga mengkritisi kaum liberal yang

melandaskan pandangan politik mereka pada martabat manusia yang universal. Halnya berarti bahwa kaum liberal melihat semua individu sama saja. Di titik inilah kaum komunitarian melihat ada bahaya bahwa individu atau kelompok tertentu kehilangan perbedaannya atau keunikannya. Oleh karena itu mereka menawarkan politik identitas yang berdasar budaya lokal, etnisitas, ras dan agama untuk sebagai tandingan terhadap liberalisme individualistis.19 Inilah hal yang ingin dipertahankan dan dibela oleh kaum komunitarian.

16 Bdk. Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia?, Maumere: Penerbit Ledalero, 2011, hlm. 14.

17 Bdk. F. Budi Hardiman. Op. Cit., hlm. 175. 18 Bdk. Otto Gusti Madung, Op. Cit. hlm. 22.

(6)

Dari ketegangan antara kaum liberalis dan komunitarian, halnya menjadi jelas bahwa ada ketegangan kepentingan antara individu dan kolektif (societas). Individualitas sering harus tunduk entitas kolektif. Hal ini secara jelas tampak dalam pemikiran Hegel dan Karl Marx. Keduanya menganggap bahwa manusia dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu alam yang lebih luas. Bagi Hegel, sejarah adalah suatu perjuangan abadi dari berbagai kekuatan spiritual besar yang mengejawantah dalam bentuk institusi-intstitusi (negara, ras, kerajajaan dll), atau dalam individu-individu istimewa. Bagi Marx, perjuangan sejarah mendapat bentuk konkretnya dalam pertarungan antara berbagai kelompok yang secara sosial telah terkondisikan, kaum borjuis dan kaum proletar.20 Kedua

tokoh ini percaya bahwa kekacauan maupun perang yang terjadi di dalam sejarah manusia adalah bagian dari sebuah perjuangan sejarah menuju suatu titik yang lebih baik. Bagi mereka, sejarah adalah suatu proses dialektis. Manusia adalah bagian kecil dari sejarah. Oleh karena itu individu pada dasarnya tidak pernah bebas. Ia hanyalah bagian dari entitas yang lebih besar, entitas kolektif, suatu bangunan keseluruhan.

4. Ruang Publik dan Diskursus Politik

Salah seorang filosof yang terkenal menggagas pentingnya ruang publik adalah Hanah Arendt. Terhadap ruang publik, Hannah Arendt memberikan dua definisi. Pertama, ruang publik dilihat sebagai ‘ruang penampakan’. Ruang publik sebagai ruang penampakan berarti ruang di mana saya sebagai manusia dikenali sebagai manusia oleh yang lain karena saya berada di antara manusia. Dengan kata lain, ruang penampakan adalah ruang dimana saya bisa memperlihatkan diri pada orang lain sebagaimana orang lain memperlihatkan diri pada saya. Di dalamnya manusia ada, yaitu menampakkan diri secara eksplisit.

Suatu ruang penampakan publik bisa selalu diciptakan kembali di manapun individu itu secara politis berkumpul bersama, yaitu di manapun manusia secara bersama melakukan tindakan dan ucapan. Namun karena ia menciptakan tindakan, maka ruang penampakan ini sangat rapuh dan hanya ada jika diaktualisasikan dengan melakukan perbuatan atau mengucapkan kata-kata.21

Jelas bahwa kebebasan berpendapat dan bertindak adalah bagian dari ruang penampakan. Dengan mengucapkan kata-kata dan melakukan perbuatan, seseorang menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Ia menunujukkan dirinya kepada yang lain. Halnya mengandaikan bahwa ruang penampakan mengandaikan kebebasan dan pluralitas. Di dalamnya setiap orang bebas untuk berkata-kata dan bertindak untuk menunjukkan dirinya kepada yang lain. Perbuatan dan tindakan merupakan bentuk pemenuhan manusia sebagai makhluk politis. Sementara di dalam negara totaliter, kebebasan berpendapat dan bertindak menjadi serta pluralitas adalah hal-hal yang tidak mungkin. Orang yang memiliki pendapat yang berbeda akan dijadikan sasaran terror. Ketunggalan dan ketidakbebasan itulah yang ada di dalam totaliterisme.

Kedua, ruang publik sebagai ‘dunia bersama’. Ruang publik sebagai “dunia bersama”, dalam arti dunia yang kita pahami bersama, hidupi bersama, adalah dunia yang adalah umum atau sama bagi kita semua, yang berbeda dari tempat kita yang privat di dalamnya. Dunia bersama tidaklah sama dengan bumi atau alam. Kalau bumi atau alam adalah ruang bagi seluruh makhluk hidup, maka dunia adalah sebuah kategori khas bagi manusia. Dunia menghubungkan dan sekaligus memisahkan manusia pada waktu yang sama.22 20 Bdk. Ibid., hlm. 153.

21 Maurizio Passerin d’Entéves, Filsafat Politik Hannah Arendt, (terj.) M. Shafwan, Yogyakarta: Qalam, 2003, hlm. 129-130.

(7)

Menghubungkan berarti menyatukan kita bersama dan menjaga perasaan kita untuk tidak menyakiti atau melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain. Memisahkan berarti menampilkan identitas kita yang unik baik identitas personal atau sosial demi terwujudnya tindakan politik. Ruang publik sebagai dunia bersama adalah ruang di antara orang-orang yang memiliki dunia bersama tersebut. Hal ini bisa diibaratkan dengan orang-orang yang mengelilingi sebuah meja. Ketika meja tersebut diambil, maka hilanglah kebersamaan mereka.

Manusia memasuki ruang publik sebagai dunia bersama karena mereka mengingini sesuatu yang adalah milik mereka sendiri atau milik bersama untuk mensejahterakan hidup mereka di dunia ini. Dengan kata lain, dengan pengertian ini, manusia memasuki ruang publik sebagai dunia bersama karena ada kepentingan pribadi dan bersama yang ingin dicapai. Di dalam ruang publik inilah dimungkinkan adanya kebebasan berpendapat. Di dalamnya kepentingan individu dan publik dikomunikasikan. Dengan adanya ruang publik ini, kepentingan publik (kebaikan bersama) tidak memberangus kepentingan individu.

Dengan menampilkan dua arti ruang publik di atas, Arendt bermaksud membuka cakrawala baru kita bagaimana menghayati eksistensi sebagai manusia politis. Manusia politis berarti setiap orang terpanggil untuk berpartisipasi di dalam ruang publik untuk menata tata hidup bersama. Perlu dimengerti bahwa keterlibatan seseorang dalam tindakan politik tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesejahteraan bagi diri, tetapi lebih untuk merealisasikan pelbagai prinsip intrinsik kehidupan politik, seperti kebebasan, pluralitas, keadilan, solidaritas dan tanggung jawab. Dengan demikian jelaslah bahwa para pemerintah yang melihat politik sebagai saranan untuk memeroleh kekuasaan dan memperkaya diri adalah hal yang bertentangan dari prinsip intrinsik kehidupan politik. Keterlibatan setiap orang di dalam ruang publik dimaksudkan untuk mewujudkan prinsip intrinsik politik yang di dalamnya kepentingan individu dan publik tidak saling mengeksklusi. Di dalam ruang publik ini pulalah suatu diskursus diperoleh.

Diskursus merupakan keseluruhan dari apa yang dimaksud dengan diskusi.23 Dengan

kata lain politik menggunakan bahasa sebagai sarana efektif. Bila dalam diskusi halnya hanya berurusan dengan tukar pikiran atau adu argumentasi, di dalam diskursus diandaikan ada segala ketentuan rasional yang mencakup pengertian yang mendalam tentang suatu hal. Diskursus menjadi penting sebab halnya adalah komunikasi interpersonal. Habermas melihat societas itu dalam relasi komunikatif interpersonal. Komunikasi ini menjadi penting sebab kita baru dapat mengabstraksi kepentingan-kepentingan individual kita menjadi kepentingan bersama jika kita berada dalam proses komunikasi dengan orang-orang lain.24

Bagi Habermas, diskursus bukanlah konsensus sebgaiman dilihat dalam artian formal seperti melakukan tanda tangan kesepakatan tertentu.25 Tetapi diskursus memiliki isi rasional

yang dapat dimengerti oleh setiap orang yang terlibat dalam komunikasi interpersonal tersebut. Diskursus juga bukan hanya sebuah bentuk komunikasi, melainkan suatu paradigma emansipatoris. Halnya berarti bahwa diskursus mempunyai paradigma yang membebaskan societas dari keterbelengguan kepalsuan. Sebagai contoh, bila di dalam suatu negara

presentasikan pada Kuliah Umum Filsafat Komunitas SALIHARA, 6 April 2011, yang diselenggarakan oleh Komunitas SALIHARA bekerja sama dengan HIVOS, Jakarta, pdf, diakses tanggal, 23 Oktober 2014.

23 Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 59.

24 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 186.

(8)

fenomena korupsi menjadi sesuatu yang umum, maka usaha untuk memerangi korupsi menjadi tidak mungkin. Di sini, seolah-olah korupsi menjadi suatu yang biasa saja. Namun dengan diskursus, halnya menjadi jelas bahwa semua orang mengerti bahwa di dalam dirinya korupsi adalah sesuatu yang harus diberantas dan diperangi.

Ruang publik dan diskursus menjadi dua hal yang sangat penting untuk menyatukan dan mengabstraksikan antara kepentingan individu dan publik (societas). Ruang publik akan terbentuk ketika setiap orang menyadari dirinya sebagai makhluk politis. Halnya dimaksudkan bahwa ia berada dengan yang lain. Oleh karena itu panggilan untuk menata hidup bersama sesuai dengan kepentingan individu dan publik menjadi suatu keniscayaan. Partisipasi di dalam ruang publik ini memungkinkan adanya komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal inilah yang kemudian menjadi suatu diskursus. Dengan diskursus politik, kepentingan individu dan kepentingan bersama (soscietas) tidak akan saling meniadakan atau mengeksklusi.

5. Penutup

Manusia pada dasarnya mengejar kebaikan. Kebaikan adalah itu yang kepadanya semua manusia tertuju. Namun dalam ranah politik ada ketegangan antara kebaikan bagi individu dan kebaikan bersama (societas). Dalam sejarah kemanusiaan halnya menjadi jelas bahwa eksistensi individu sering diberangus oleh dalil kebaikan bersama. Kebaikan kolektif sering diidentikkan dengan kebaikan indvidu. Padahal, bila halnya demikian kebaikan kolektif sering meniadakan kebaikan individu. Halnya sangat jelas dalam rezim totaliter yang memberangus jutaan manusia dengan alasan demi kebaikan bersama. Di sini kebaikan bersama yang hendak diwujudkan telah merampas jutaan jiwa manusia. Pada titik ini pula halnya menjadi bertolak belakang dengan konsep kebaikan sebagai pro eksistensi manusia. Bila kebaikan bersama memberangus eksistensi manusia, maka itu tidak bisa disebut sebagai kebaikan.

Dalam diskursus filsafat politik kontemporer pertentangan antara kepentingan indvdu dan kepentingan kolektif disarikan dalam konsep ‘yang adil’ dan ‘yang baik’. Para pembela hak-hak individu berada dalam kubu liberalisme, sementara para pembela hak-hak kolektif berada dalam kubu komunitarian. Kaum liberal mendasarkan tata hidup bersama pada apa ‘yang adil’. Halnya berarti bahwa setiap individu mempunyai martabat yang sama dan memilki hak-hak yang sama tanpa ada sikap diskriminatif. Kelemahan dari konsep ini tentu ciri khas dari suatu kelompok akan dihilangkan karena semua dilihat sama. Sementara kaum komunitarian membela hak-hak kolektif dan mendasarkan tata hidup bersama pada apa ‘yang baik’ bagi societas. Suatu konsep hidup yang baik menjadi tujuan bersama dari seluruh individu yang ada di dalamnya. Tentu halnya bisa berujung pada totaliterisme. Individu tidak memiliki kebebasan untuk memilih apa yang baik baginya scara individu.

(9)

yang sejenisnya memiliki isi rasional yang understable bagi semua yang terlibat dalam komunikasi interpersonal.26

DAFTAR PUSTAKA

Ackrill, J. L.. Essays on Plato and Aristotle, Oxford: Oxford University Press. 1997.

Arendt, Hannah. Asal-Usul Totaliterisme, Jilid III: Totaliterisme. (terj.) J. M Soebijanto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995.

Aristotle. The Nicomachean Ethics. translated by David Ross, Revised with an Introduction and Notes by Lesley Brown, Oxford: Oxford University Pers. 2009.

Berlin, Isaiah. Empat Esai Kebebasan. terj. A. Zaim Rofizi. Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute. 2004.

Hadi, P. Hardono. Jati Diri Manusia Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.1996

Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

---. Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia. 2004.

Koten, Yosef Keladu. Partisipasi Politik: Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles. Maumere: Penerbit Ledalero. 2010.

Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia?. Maumere: Penerbit Ledalero. 2011.

Passerin d’Entéves, Maurizio. Filsafat Politik Hannah Arendt. (terj.) M. Shafwan. Yogyakarta: Qalam. 2003.

Riyanto, Armada. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius. 2011.

---. Menjadi-Mencintai, Berfilsafat Teologis Sehari-hari.Yogyakarta: Kanisius. 2013.

(10)

Sumber Internet dan Jurnal:

Eddie S. Riyadi Langgut-Terre, Manusia Politis Menurut Hannah Arendt: Pertautan antara Tindakan dan Ruang Publik, Kebebasan dan Pluralitas, dan Upaya Memanusiawikan Kekuasaan, Makalah yang di presentasikan pada Kuliah Umum Filsafat Komunitas SALIHARA, 6 April 2011, yang diselenggarakan oleh Komunitas SALIHARA bekerja sama dengan HIVOS, Jakarta, pdf, diakses tanggal, 23 Oktober 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaku- kan di Ghana (Morrison, 2004) menunjukkan bahwa tidak semua guru telah mendapat pelatihan untuk menjadi pendidik untuk

AUGMENTED REALITY TECHNOLOGY SEBAGAI MEDIA INFORMASI UNTUK MEMPERKENALKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran,

Pada dosis 5 % dan 10 % teh hitam mampu menurunkan ketebalan dinding arteri koronaria tikus putih hingga tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang tidak diberi diet tinggi

Kolaka Timur yang termuat dalam Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung Nomor : 23.7/PGWS/PP-DPUP/VII/2016 tanggal 25 Juli 2016, yang ditetapkan sebagai penyedia pengadaan

11 Juni 2013 tentang Penetapan Penyedia Barang / Jasa Kegiatan APBD Tahun Anggaran 2013 Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi Kabupaten Labuhanbatu Selatan1. Nomor Paket

Selanjutnya, cara memotivasi guru TK di Kecamatan Gunungpati agar memanfaatkan mendongeng sebagai teknik penyampaian nilai- nilai budi pekerti kepada anak didiknya

Para petani akan dikumpulkan di balai desa dan di beri penyuluhan dan pengetahuan tentang konservasi lingkungan, dampak negatif penggunaan pestisida anorganik secara