• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang dalam tahap pembangunan diberbagai sektor, 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang dalam tahap pembangunan diberbagai sektor, 1"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang dalam tahap pembangunan diberbagai sektor,1 termasuk didalamnya sektor perekonomian. Pembangunan yang dilakukan tentu saja akan membutuhkan modal atau investasi yang besar. Keterbatasan modal dalam negeri serta kurangnya Sumber Daya Manusia terampil dan keterbatasan akses pasar, menyebabkan Indonesia membutuhkan adanya pengaturan yang dapat mengembangkan iklim investasi sehingga investor asing ingin menanamkan modalnya di Indonesia.2

Alasan pertama suatu negara mengundang modal asing adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna memperluas lapangan kerja. Masuknya modal asing, tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai dapat terlaksana seperti mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong eksport non-migas untuk menghasilkan devisa, alih tekhnologi, membangun prasarana dan daerah tertinggal.3 Hal ini

1

Indonesia merupakan Negara yang memerlukan modal asing masuk kedalamnya untuk dapat mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong eksport nonmigas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi membangun sarana dan prasarana, mengembangkan daerah tertinggal dan memperluas lapangan pekerjaan, eksploitasi sumber daya alam karena tidak memiliki alat untuk mengeksploitasi, dll, sebagaimana tertulis dalam Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia: Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Cet. ke-1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007), hlm. 13

2

Dalam perkembangan iklim di Indonesia pun setidaknya terdapat beberapa faktor penting yang menjadi tujuan investor, diantaranya: (1) faktor buruh murah; (2) dekat dengan sumber daya / bahan mentah; (3) mencari market baru; (4) lisensi dan alih teknologi; (5) fasilitas / insentif; dan (6) status Negara-negara dalam perdagangan internasional, sebagaimana tertulis dalam Sujud Margono, Hukum Investasi Asing Indonesia, Cet ke-1, (Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 1

3

Ridwan Khairandy, Modul Hukum Investasi, (Yogyakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm. 19

(2)

dikarenakan, dalam dekade terakhir ini batas nonfisik antar negara semakin sulit untuk membedakannya dan bahkan cenderung tanpa batas (borderless state), atau sering juga disebut sebagai era globalisasi.4

Dalam era liberalisasi dan globalisasi ekonomi, penanaman modal atau investasi tidak hanya merupakan kebutuhan penting bagi suatu negara dalam pengembangan pembangunan ekonomi, namun juga merupakan sarana pengembangan suatu industri,5 karena foreign direct investment is the lifeblood of

4

Saat ini globalisasi (pada umumnya) telah diterima luas tanpa konversi. Globalisasi yang diartikan sebagai integrasi Negara dan manusia dari seluruh dunia yang menjadikan pasar global, tuntutan peningkatan daya saing, efesiensi, efektifitas, produktifitas dengan harapan membawa kesejahteraan bagi semua masyarakat dunia. Sebenarnya globalisasi mengandung banyak arti bagi orang yang berbeda dan dari sudut pandang yang berbeda pula. Dalam pengertian yang lain, globalisasi diartikan sebagai gejala menyatunya dunia oleh dan berkat kemajuan transportasi dan elektronik yang canggih. Teori globalisasi mula-mula dilontarkan oleh para ahli-ahli ilmu sosial Marxis dan aliran radilkal lainnya. Menurut teori Marxis, kapitalisme merupakan kekuatan yang menyatukan dunia untuk pertama kalinya, ia merupakan kekuatan progresif karena mampu meruntuhkan modal produksi dan sistem sosial yang tradisional. Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, cet. I, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 17. Thomas L Friedman membagi globalisasi kedalam tiga fase. Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan antara dunia lama dan dunia baru, hingga sekitar tahun 1800. masa itu disebut oleh Friedman sebagai globalisasi 1.0. proses ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi sedang. Globalisasi 1.0 terkait dengan negara dan otot. Maksudnya dalam fase globalisasi ini, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global,adalah seberapa gigih, seberapa besar otot, seberapa besar tenaga kuda, seberapa besar tenaga angin dan seberapa besar tenaga uap yang dimiliki suatu negara serta seberapa besar kreatifitas untuk memanfaatkannya. Fase globalisasi 2.0 berlangsung sekitar tahun 1800 hingga 2000 dengan diselingi masa Depresi Besar serta Perang Dunia I dan II. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang keukuran kecil. Dalam globalisasi 2.0, pelaku perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global, adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Kekuatan dibalik globalisasi ini adalah terobosan dibidang perangkat keras, berawal dari kapal uap dan kereta api, hingga kemudian telepon dan computer. Fase globalisasi 3.0 menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil sekaligus melapangkan permainan. Kalau motor penggerak globalisasi 1.0 adalah mengglobalnya Negara, globalisasi 2.0 motor penggeraknya adalah mengglobalnya perusahaan, uniknya globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang ditemukan untuk berkerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global. Fenomena yang memungkinkan, memberdayakan dan melibatkan individu serta kelompok kecil dengan mudah dan mulus menjadi global dengan sebutan tatanan dunia datar (flat world flatform). Tatanan dunia datar adalah konvergensi(penyatuan) antara computer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serat optic yang memungkinkan mereka mengakses lebih banyak materi diseluruh dunia dengan murah juga secara digital, serta work flow softwere (perangkat lunak alur kerja) yang memungkinkan individu-individu diseluruh dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari manapun, tanpa menghiraukan jarak antara mereka. Thomas L. Friedman, The World Is Flat: Sejarah Singkat Abad ke-21, cet ke-I, (Jakarta: Dian Rakyat, 2006), hlm. 8.

(3)

the global economy.6 Penanaman modal menjadi suatu hubungan ekonomi internasional yang tidak terelakkan sebagaimana hubungan ekonomi internasional lainnya, karena penanaman modal menjadi suatu tuntutan guna memenuhi kebutuhan suatu negara, perusahaan dan juga masyarakat. Adanya perbedaan georafis, kondisi wilayah, potensi sumber daya alam, kemampuan sumberdaya manusia, penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi menyebabkan negara berada dalam interdependensi. Hubungan tersebut terjadi karena masing-masing pihak saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan atau kepentingannya, dimana hal tersebut ditunjang adanya kesepakatan masyarakat internasional dalam liberalisasi dan globalisasi ekonomi, sehingga terjadi peningkatan hubungan penanaman modal internasional.7

Kegiatan-kegiatan Penanaman modal ataupun international commercial

transaction pada dasarnya, memerlukan suatu transparansi dan kepastian hukum

dalam pelaksanaannya, karena kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan pihak-pihak yang saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang kemudian akan menimbulkan hubungan hukum diantara mereka. Kepastian dan perlindungan hukum yang jelas, akan memberikan rasa aman dan mendorong para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan, bagi calon investor, adanya transparansi dalam proses dan tata cara penanaman modal, sangatlah diperlukan karena akan menciptakan suatu kepastian hukum serta menjadikan segala sesuatunya menjadi mudah diperkirakan (predictable), sebaliknya tidak adanya transparansi dan kepastian hukum akan membingungkan

5 Erika, “Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing di Bidang Pertambangan

Minerba”, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009) hlm. 2

6

Calvin A. Hamilton & Paula I. Rochwerger, “Trade and Investment: Foreign Direct Investment Through Bilateral and Multirateral Treaties”, 18 N.Y. Int'l L. Rev. 1, New York State Bar Association, Winter, 2005, hlm. 3

7

Rosdiyah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, cet. II, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 1.

(4)

calon investor yang seringkali mengakibatkan biaya yang cukup mahal.8 Tidak hanya kepastian dalam proses dan tata cara penanaman modal yang dibutuhkan untuk memberikan rasa aman kepada investor, namun kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa juga diperlukan untuk dapat menarik modal investor masuk ke dalam wilayah teritori suatu Negara karena penyelesaian sengketa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari transaksi-transaksi internasional dalam investasi dan perdagangan luar negeri.

Dunia globalisasi dan privatisasi telah menghasilkan jumlah pihak-pihak transaksi internasional yang besar serta diikuti oleh fenomena-fenomena sengketa dan litigasi terhadapnya.9 Dalam hubungan hukum yang ditimbulkan dari adanya suatu perjanjian/transaksi antara para pihak, baik penanam modal asing dengan partner lokal dan/atau dengan pemerintah melalui sebuah joint operation atau

joint venture dapat memungkinan terjadinya suatu perbedaan interpretasi,

perbedaan pendapat ataupun pengingkaran pelaksanaan kewajiban perjanjian, benturan kepentingan, ataupun adanya kerugian dalam perjanjian yang dibuat yang kemudian berujung pada adanya suatu sengketa dalam kerjasama mereka. Untuk mengatasi sengketa dan permasalahan tersebut, maka Para pihak akan mencari penyelesaian melalui peradilan umum yang dibentuk oleh Negara atau melalui arbitrase. Sehubungan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, Hans Van Houtte mengatakan bahwa,10 “dispute in international trade are not

8 Anna Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2009), hlm. 8

9

Robert Briner, Kepala International Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC), mengatakan bahwa, “Globalization and privatization have produced an ever-growing number of parties to international transactions, with all the disputes and litigious phenomena this entails,” sebagaimana tertulis dalam Robert Briner, “Philosophy and objectives of the Convention”, dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm.13

10

Hans Van Houtte, The Law of International Trade, (London: Sweet & Maxwell Limited, 1995), hlm. 383

(5)

always resolved by court, contracting parties often agree that possible disputes concerning the contract will be settled through arbitration.”

Terdapat suatu fakta bahwa para pihak dalam joint venture di Indonesia sebagian besar memilih arbitrase internasional sebagai tempat penyelesaian sengketa,11 hal ini dikarenakan, arbitrase merupakan sistem alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki sifat paling formal. Dalam proses arbitrase, para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada pihak ketiga yang netral dan berwenang untuk memberikan putusan yang mengikat para pihak. 12 Susan Choi dalam penulisannya mengungkapkan,13 “Arbitration has become a

popular method for the resolution of disputes arising from international commercial transactions. In the international context, arbitration can provide an alternative to litigation in courts that may be unfamiliar to one party. Parties have the freedom to choose the procedural and substantive law that will govern the dispute and can select arbitrators based on their expertise in a certain area. Other potential advantages include efficiency, simplicity and, manageable costs.”

Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa, karena keuntungan-keuntungan yang

11

Ridwan Khairandy mengatakan bahwa keuntungan yang dapat diambil oleh para pihak pengusaha dalam memilih arbitrase sebagai penyelesaian sengketanya adalah karena; (1) Netralitas dari dewan arbitrase yang dipilih, artinya tidak memiliki national character; (2) Pelaksanaan putusan arbitrase mungkin lebih bernilai dari pihak yang dimenangkan daripada putusan pengadilan, karena cenderung siap untuk dilaksanakan berdasarkan Konvensi New York 1958; (3) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sifatnya rahasia dan tidak terbuka untuk umum, seperti litigasi dalam pengadilan; (4) Para pihak dalam penyelesaian melalui arbitrase bebas untuk memilih prosedur penyelesaian sengketa tersebut; (5) Para pihak bebas untuk memilih anggota arbitrator; (6) Keluwesan dalam prosedur arbitrase, artinya, akan menghemat biaya; (7) Putusan arbitrase dapat disepakati sebagai putusan akhir dan mengikat, artinya tidak dapat ditinjau lagi, dan (8) Para pihak memiliki keleluasaan untuk sepakat mengenai tempat dimana proses arbitrase tersebut akan dilakukan, sebagaimana tertulis dalam Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 193

12

Sujud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 110

13

Susan Choi, “Judicial Enforcement of Arbitration Awards Under The ICSID and New York Conventions”, New York University Journal of International Law and Politics, Fall 1995-Winter 1996, 28 N.Y.U. J. Int'l L. & Pol. 175, hlm. 175

(6)

dimilikinya, yaitu bersifat rahasia, efektif serta merupakan metode penyelesaian sengketa bisnis internasional yang diterima secara umum.14 Robert L. Bonn memberikan paparan tentang menguntungkannya menggunakan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa investasi, bisnis, dan dagang internasional. Dia mengatakan bahwa,15 “the increasingly widespread use of arbitration to handle

contract related disputes could be explained by the advantages the system enjoys in comparison to court litigation, inter alia:

1. The use of decision makers of arbitration disputes are experts in the subject matter in dispute;

2. An arbitration hearing is more flexible than a court of law where expert testimony can only be introduced through the somewhat cumbersome system of expert witnesses. When this expertise is combined with the relative absence of restraints on the arbitrator-especially in the area of evidence admitted to the forum, the manner in which he conducts the hearings;

3. The lack of binding precedents of the system of arbitration shows flexibility in which, the public legal system does not enjoy. The principles guiding the dispute resolution process can thus rest on custom rather than on law, whether it be trade custom, as in commercial arbitration, or custom of the shop, as in labor arbitration;

4. Arbitration is economical because it can dispense with lawyers and expert witness fees;

14

Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan, “international commercial arbitration is a way of resolving disputes which the parties choose for themselves. It is private, it is effective and in most parts of the world, it is now the generally accepted method of resolving international business disputes,” sebagaimana tertulis dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration, Third Edition, (London: Sweet & Maxwell, 1999), hlm. 1

15

Robert L. Bonn, “Arbitration: An Alternative System for Handling Contract Related Disputes”, diambil dari Disertasinya yang berjudul, “Commercial Arbitration: A Study in the Regulation of Interorganizational Conflict," (New York: New York University, 1971), Administrative Science Quarterly, Vol. 17, No. 2 (Jun., 1972), hlm. 257

(7)

5. Arbitration process is speedy and faster than national court, in which, its speed means that less time need be spent on particular cases and faster because crowded court dockets often result in delay;

6. Arbitration provides secrecy since it is not a public forum and, unless specifically requested by the parties themselves, neither records nor transcripts of hearings are maintained;

7. Arbitration affords more certainty because of the absence of the possibility of legal appeal; and

8. Arbitration is the maintenance of business relationships. Finally, many argue that due to its speed, economy, and flexibility, parties are able to maintain a business relationship, while they settle a dispute that has arisen between them.

Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim memberikan pandangan yang berbeda tetapi hampir serupa mengenai alasan-alasan para pengusaha menyukai arbitrase, yaitu:16

1. Arbitrase menawarkan kebebasan, kepercayaan dan keamanan. 2. Arbitrase menawarkan arbiter yang memiliki keahlian (expertise)

dalam penyelesaian sengketa.

3. Proses arbitrase cepat dan hemat biaya. 4. Sistem arbitrase bersifat rahasia. 5. Sistem arbitrase bersifat nonpreseden.

6. Arbiter arbitrase lebih peka dalam pemeriksaan perkara, penerapan hukum dalam perkara serta penjatuhan putusannya adil.

7. Putusan arbitrase bersifat final dan tidak dapat diajukan banding. 8. Arbitrase bersifat efektif serta modern.

Arbitrase, diluar dari keuntungan-keuntungan yang dimilikinya sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis internasional yang banyak dipergunakan oleh para pelaku usaha internasional pada dasarnya memiliki esensi yang sangat

16

Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang Di Indonesia”, dalam Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2: Arbitrase di Indonesia, hlm. 19-22

(8)

penting. Sebuah putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh suatu badan arbitrase (badan arbitrase internasional maupun ad hoc) tidak dapat berdiri sendiri, putusan tersebut memerlukan suatu penetapan pengadilan nasional dalam hal pelaksanaannya, agar putusan tersebut dapat secara efektif dilaksanakan dan dijalankan dalam teritori suatu Negara. Huala Adolf menyatakan bahwa,17 “despite those positive traits that arbitration has, the efficacy of arbitration

awards lies on its enforcement. Arbitration will be an effective or efficient way of the resolution of the dispute if its awards, in the end of the day, are voluntarily adhered to by the parties.”

Serupa dengan Huala Adolf, Alan Redfern dan Martin Hunter menambahkan bahwa,18 ”the process of resolving disputes by international

commercial arbitration – a practice which increases in popularity each year – only works because it is held in a place by a complex system of national laws and international treaties.” Sebagaimana pernyataan yang dikatakan oleh Alan

Redfern dan Martin Hunter tersebut, putusan arbitrase akan efektif apabila dilaksanakan dalam tempat dimana didalamnya terdapat sistem hukum nasional dan perjanjian/traktat internasional yang rumit (kompleks). Putusan arbitrase secara teoritis mengikat para pihak yang bersengketa, sebagaimana ketentuan Pasal III Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Award (“Konvensi New York”) mengatur bahwa, “each Contracting State shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with rules of procedure of the territory where the award is relied upon…”19 namun, pada

17

Huala Adolf, “Improving the Enforcement of International Arbitration Awards in ASEAN Countries”, ASEAN, hlm. 2, didapat dari http://www.aseanlawassociation.org/10GAdocs/ Indonesia6.pdf, diakses pada 14 Desember 2010, 16:00 WIB

18

Alan Redfern, loc.cit.

19

Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, 10 Juni 1958, Pasal 3, didapat dari, www.uncitral .org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/NYConvention, diakses pada 17 Desember 2010, 12:40 WIB

(9)

kanyataannya pelaksanaan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan oleh badan arbitrase hanyalah bersifat sukarela. Efektifitas suatu putusan arbitrase memerlukan kepastian dan perlindungan hukum dalam pelaksanaannya, putusan arbitrase tersebut tetap harus dilaksanakan dengan prosedur yang sama berdasarkan penetapan dalam bentuk putusan ataupun perintah dari sebuah forum pengadilan yang memiliki pengaruh yang sama apabila ingin memperoleh kepastian dalam pelaksanaannya.20

Pada dasarnya, berbicara mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing memang tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan, permohonan penetapan pelaksanaan terhadap suatu putusan arbitrase agar dapat dilaksanakan dalam teritori suatu Negara tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of

interest) antara pihak-pihak yang bersengketa. Keren dan Andrew Tweeddale

menyatakan bahwa,21 “once an award has been given, the parties’ interests

become diametrically opposed. The successful party will wish to enforce the award and the unsuccessful party will wish to prevent enforcement.” Bahkan

permasalahan yang seringkali dibahas dalam arbitrase adalah masalah eksekusi putusan arbitrase internasional itu sendiri, karena pada dasarnya, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di suatu negara. Disamping itu, cara dan prosedur eksekusi untuk putusan arbitrase internasional juga bervariasi dari suatu negara ke negara lainnya.22

20

Arbitration Act Inggris yang merupakan hukum arbitrase tertua di dunia, yaitu sejak tahun 1889 mengatur bahwa, “an award made by the tribunal pursuant to an arbitration agreement may, by leave of the court, be enforced in the same manner as a judgment or order of the court to the same effect,” sebagaimana tertulis dalam Keren Tweeddale & Andrew Tweeddale, a practical approach to Arbitration Law, (London: Blackstone Press Limited, 1998), hlm. 177

21

Keren Tweeddale, op.cit., hlm. 291

22

Indah Lisa Diana, “Ketertiban Umum Sebagai Dasar Penolakan Dilaksanakannya Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia”, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 1, didapat dari www.pemantauperadilan.com, diakses pada Kamis, 9 Desember, 2010, 10.00 WIB

(10)

Perbedaan cara dan prosedur eksekusi tersebut kemudian dijawab dengan Konvensi New York yang kemudian diundangkan pada 10 Juni 1958 dan hingga saat ini telah diikuti oleh 145 Negara di dunia untuk mengakomodir suatu pengaturan universal terhadap pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.23 Kehadiran dari Konvensi New York adalah untuk menghadirkan suatu persamaan persepsi, universalitas pengakuan dan pengaturan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional kepada para Negara anggotanya.24 Universalitas persepsi dan pengaturan tentang putusan arbitrase asing yang ditentukan oleh Konvensi New York 1958 tersebut pada kenyataannya, masih sangatlah sulit dilaksanakan dalam teritori suatu Negara, dikarenakan, terdapat perbedaan cara dan prosedur eksekusi putusan arbitrase internasional dalam berbagai Negara di dunia yang disebabkan oleh adanya kebebasan Negara-Negara dalam menentukan hukum nasionalnya sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase khususnya arbitrase asing. 25

23

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Status of 1958 - Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), didapat dari http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/NYConv ention_status.html, diakses pada 17 Desember 2010, 12:40 WIB

24

Albert Jan Van Den Berg, Ketua Netherlands Arbitration Institute, Rotterdam yang mengatakan bahwa, “two basic actions contemplated by the New York Convention: (1) the first action is the recognition and enforcement of foreign arbitral awards, i.e., arbitral awards; and (2) the second action contemplated by the New York Convention is the referral by a court to arbitration,” sebagaimana tertulis dalam Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of 1958: An Overview”, Commercial Arbitration Yearbook, Vol. XXVIII, 2009, hlm. 1

25

Jan Paulsson, Vice President of London Court of International Arbitration mengatakan hal yang sebaliknya bahwa, “broadly speaking, the New York Convention was intended to make it easier to enforce an arbitral award rendered in one country in the courts of other countries. Therefore, the Convention focuses squarely on imposing certain obligations on the judge at the place of enforcement. It does not create obligations for the courts at the place of arbitration—that would have been beyond the scope of the Convention. So each country remains free to make whatever rules it wishes with respect to the grounds on which they might invalidate an award rendered in their territory,” sebagaimana tertulis dalam Jan Paulsson, “Awards set aside at the place of arbitration” dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm 2

(11)

Hefin Rees menambahkan tentang fakta sulitnya menerapkan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam hukum nasional negara dalam pernyataannya,26 “there is a tension that lies at the heart of the relationship of the

courts and arbitration. On the one hand, the concept of arbitration as a consensual process, reinforced by the ideas of transnationalism, leans against the involvement of the mechanisms of state through the medium of a municipal court. On the other side, there is the plain fact, palatable or not, that it is only a court that possesses coercive powers which can rescue the arbitration if it is in danger of foundering.”

Fakta tambahan lainnya yang membuat putusan arbitrase sulit untuk dilaksanakan adalah bahwa Negara-Negara bebas dalam menentukan peraturan apapun tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional sehubungan dengan ordre public-nya (ketertiban umum). Erman Rajagukguk mengatakan bahwa,27 “the national character of public policy indicates that the

decision is up to the national country concerned. Therefore, each country can rule whether public policy and its related issues are part of the country’s public policy. Courts around the world have recognized that article V of the Convention is discretionary.”

Indonesia merupakan anggota Konvensi New York 1958 sejak tahun 1981,28 dan telah menghasilkan beberapa peraturan perundang-undangan yang

26

Hefin Rees, “Relationship Between National Courts and International Commercial Arbitration ”, disampaikan dalam Seminar on International Commercial Arbitration, 13 Mei 2010, didapat dari http://hefinrees.wordpress.com/2010/06/14/relationship-between-national-courts-and-international-commercial-arbitration/#References, diakses pada 14 Desember 2010

27

Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in Several Asian Countries: The Refusal of Foreign Arbitral Awards Enforcement On The Grounds of Public Policy” presented in the 3rd Asian Law Institute (ASLI) Annual Conference on “The Development of Law in Asia: Convergence versus Divergence?”, Shanghai May 25-26, 2006, hlm. 2

28

Pada tanggal 5 Agustus 1981, Indonesia meratifikasi Konvensi New York melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang Telah Ditandatangani Di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959 (“Keppres 34/1981”)

(12)

menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi New York, seperti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (“Perma 1/1990”) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Diterbitkannya peraturan perundang-undangan tersebut adalah untuk mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan Konvensi New York serta kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang bersengketa dalam perkara penanaman modal atau commercial trade/transaction pada suatu forum arbitrase internasional.

Kehadiran UU 30/1999 diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam hal penyelesaian sengketa commercial, serta untuk memperbaiki ambiguitas sistem hukum acara penyelesaian sengketa yang semenjak diterbitkannya Keppres 34/1981 masih menggunakan hukum acara perdata dan Perma 1/1990. UU No. 30/1999 telah menggunakan asas resiprositas

(reciprocity) dan terdiri dari 82 pasal yang secara luas telah mengatur hal - hal

terkait dengan arbitrase serta berusaha mengatur seluruh aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional.

Dengan adanya UU 30/1999, Perma 1/1990 dan dengan diratifikasinya Konvensi New York tersebut melalui Keppres 34/1981, Investor dan pedagang asing pada umumnya memperoleh jaminan hukum bahwa putusan arbitrase asing yang telah diperoleh dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Tineke Louise Tuegeh Longdong mengatakan dalam disertasinya bahwa,29 “setidaknya perlindungan hukum dalam arti dapat tidaknya putusan arbitrase yang telah diputuskan di luar negeri mendapat pengakuan dan pelaksanaan di Indonesia menjadi syarat mutlak apabila ingin

29

Tineke Louise Tuegeh Longdong, “Pelaksanaan Konvensi New York 1958: Suatu Tinjauan Atas Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Luar Negeri Mengenai Ketertiban Umum”, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009) hlm. 6

(13)

diciptakan suatu suasana penanaman modal asing yang menarik bagi investor asing.”

UU 30/1999 yang diharapkan dapat memberikan suatu kepastian dan perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa dalam arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya, pada kenyataannya masih belum dapat memberikan angin segar. Hal ini dapat dilihat dalam sengketa kontrak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi antara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (“Pertamina”) dan Karaha Bodas Company L.L.C. (“KBC”), serta Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) yang telah diputus oleh Badan Arbitrase Internasional Swiss dikarenakan wanprestasi yang dilakukan oleh Pertamina dan PLN terhadap KBC.30

Sengketa ini bermula pada tahun 1994 dimana terdapat Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract atau “JOC”) dimana KBC, suatu perusahaan yang didirikan di Cayman Islands, Inggris, diberikan kuasa untuk mengembangkan proyek Geothermal (panas bumi) Karaha Bodas berkapasitas 400 MW yang berlokasi di wilayah Karaha dan Telaga Bodas di Jawa Barat. Kontrak yang kedua adalah Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract atau “ESC”) antara KBC dan Pertamina dengan PLN atas nama Pertamina. Dalam perkembangan pelaksanaan kontraknya, karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intent, pada 20 September 1997 presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN telah menangguhkan pelaksanaan proyek JOC dan ESC sampai keadaan ekonomi pulih. Pada 1 November 1997, proyek tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1997 dapat dijalankan kembali, namun, pada tanggal 10 Januari 1998 diterbitkan

30

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 tentang Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), 9 September 2008, didapat dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/53470896b4ed5c05 212ca1aa874fc609, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB

(14)

kembali sebuah Keppres Nomor 5 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa proyek ESC dan JOC tersebut kembali ditangguhkan.

KBC kemudian mengajukan masalah tersebut ke badan arbitrase Swiss untuk diproses dengan gugatan wanprestasi terhadap Pertamina dan PLN. Pada tanggal 18 Desember 2000, Kemudian Badan Arbitrase Internasional Swiss berdasarkan ketentuan arbitrase United Nations Commission on International

Trade Law (“UNCITRAL”), menghukum Penggugat untuk membayar kepada

Tergugat ganti rugi sejumlah US$ 266.166.654 berikut 4% bunga setahun, antara lain dengan memblokir aset-aset perusahaan yang menurut Tergugat menjadi milik dari Penggugat yang terletak dalam wilayah Amerika Serikat. Pertamina kemudian mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap putusan arbitrase internasional tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tentang pembatalan putusan arbitrase asing yang dikeluarkan Badan Arbitrase Internasional Swiss, kemudian KBC mengajukan kasasi terhadap Putusan tersebut kepada Mahkamah Agung yang kemudian

mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor

01/BANDING/WASIT.INT/2002 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertamina kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung yang berakhir dengan Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 yang dalam putusannya menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina terhadap Putusan Banding Mahkamah Agung.

Dari uraian tersebut diatas, dapat dilihat bagaimana pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam teritori suatu Negara masih menuai banyak permasalahan sehubungan dengan penggunaan hukum nasional di masing-masing Negara khususnya di Indonesia. Melihat dari perkara Pertamina melawan KBC diatas mengindikasikan bahwa walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 dan telah menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang arbitrase, pengakuan dan pelaksanaan mengenai putusan arbitrase internasional dalam sistem hukum Indonesia masihlah sulit diterapkan serta menuai kontroversi-kontroversi hukum

(15)

penyelesaian sengketa investasi serta bisnis dan perdagangan internasional. Berdasarkan permasalahan dan perkara tersebut diatas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibawah Konvensi New York 1958 dengan judul “PENERAPAN

DAN PELAKSANAAN KETENTUAN KONVENSI NEW YORK 1958 SEHUBUNGAN DENGAN KETENTUAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM UU 30 TAHUN 1999 (STUDI KASUS: PERTAMINA MELAWAN KARAHA BODAS COMPANY L.L.C.).”

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sesuai dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C.?

2. Bagaimanakah penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia? 3. Bagaimanakah pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sesuai atau tidaknya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C.

2. Untuk mengetahui penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia.

(16)

3. Untuk mengetahui pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?

D. Manfaat/Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan-bahan hukum yang ada, khususnya dalam mata kuliah hukum penyelesaian sengketa dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya terkait dengan sesuai atau tidaknya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2. Manfaat Praktis:

a. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai sesuai atau tidaknya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C..

b. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia.

c. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah diundangkannya Undang-Undang

(17)

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

d. Bagi masyarakat pada umumnya, dapat memberikan kontribusi pengetahuan hukum dan menjadi referensi khususnya mengenai penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, karena penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi dalam isu penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu penelitian dimana pengetahuan atau teori tentang obyek yang sudah ada dan ingin memberikan gambaran tentang obyek penelitian, dalam hal ini memberikan gambaran dan penjelasan yang sebenarnya terjadi dalam praktek penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 beserta hambatan-hambatan pelaksanaannya dengan ketentuan yang berlaku mengenai arbitrase dalam lingkup Hukum Arbitrase Internasional yaitu Convention

on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958, Elizabeth II Arbitration Act 1996 (Undang-Undang Arbitrase Inggris

(18)

Federal Amerika Serikat), United States Uniform Arbitration Act (Undang-Undang Arbitrase Amerika Serikat), United Nations

Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law,

UNCITRAL Arbitration Rules; Agreement Between The Government of

The Republic Of Indonesia And The Government of The United Kingdom of Great Britain And Nothern Ireland For The Promotion And Protection of Investments 1976 (Bilateral Investment Treaty Indonesia dan Inggris)

serta Hukum Arbitrase Indonesia (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On

The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang

Telah Ditandatangani Di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959, Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing); Hukum Acara Perdata (Herziene

Indonesisch Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering (BRV), Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan Hukum Penanaman Modal (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal); serta Peraturan Perundang-Undang terkait lainnya.

3. Jenis Data yang dikumpulkan

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari:

(19)

Data sekunder adalah merupakan data yang diperoleh dari suatu sumber yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan meliputi:

a. Bahan Hukum Primer.

Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam hal ini penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa LN Tahun 1999 Nomor 138 TLN Nomor 3872; Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On The

Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang

Telah Ditandatangani Di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959; Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman LN Tahun 1970 Nomor 74, TLN 2951; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman LN Tahun 2004 Nomor 8 TLN Nomor 4358; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN Tahun 2004 Nomor 53, TLN Nomor 4389 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal LN Tahun 2007 Nomor 67 TLN 4724; dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, LN Tahun 1968 Nomor 32, TLN Nomor 2852)

b. Bahan Hukum Sekunder.

Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam Penelitian ini, penulis juga menggunakan buku-buku ilmiah, bahan-bahan kuliah,

(20)

makalah-makalah dan jurnal yang berkaitan dengan penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

c. Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tersier yang digunakan penulis adalah bahan hukum yang didapat dari majalah-majalah, koran, internet dan kamus. 4. Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis data secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh akan dikemukakan dan dianalisis lebih mendalam untuk memperoleh jawaban dari masalah yang akan diteliti.31 5. Pengambilan Kesimpulan

Metode yang digunakan dalam mengambil kesimpulan adalah metode yang bersifat deduktif yaitu suatu metode yang membahas hal-hal yang bersifat umum (teori-teori, ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan) dan dibandingkan dengan data yang bersifat khusus (empiris dan praktek).

F. Kerangka Teori

Perkembangan perekonomian suatu Negara, terlebih lagi bagi Negara berkembang, sangat ditentukan dari pertumbuhan PMA ataupun commercial

trading. Arus penanaman modal bersifat fluktuatif, tergantung dari iklim investasi

Negara yang bersangkutan. Bagi penanam modal, sebelum melakukan investasi terlebih dahulu akan melakukan penilaian terhadap aspek-aspek yang turut mempengaruhi iklim penanaman modal, yaitu: keuntungan ekonomi, kepastian hukum dan stabilitas politik. Oleh karenanya bagi Negara-negara berkembang, untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat yaitu; pertama ada economic opportunity (investasi mampu memberikan keuntungan

31

(21)

secara ekonomis bagi investor); kedua, political stability (investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik); dan ketiga legal certainty atau kepastian hukum.32

Faktor-faktor untuk dapat menarik investor asing untuk menanamkan modalnya dalam teritori suatu Negara tersebut tetap tidak dapat dipisahkan dari adanya suatu sistem hukum penyelesaian sengketa transaksi komersial internasional, karena hukum penyelesaian sengketa memberikan suatu jaminan hukum kepada para investor terhadap modal yang ditanamkannya tersebut. Transparansi, kejelasan dalam pengaturan tata cara, penerapan suatu doktrin hukum internasional, serta prosedur pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan penyelesaian sengketa oleh badan internasional menjadi elemen penting yang harus ada dalam hukum penyelesaian sengketa karena dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada investor asing.

Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim investasi, diperlukan aturan yang jelas dimana kata kunci untuk mencapai kondisi ini adalah adanya penegakkan supremasi hukum (rule of law).33 Berhubungan dengan penelitian tentang kepastian dan perlindungan hukum terhadap penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka diperlukanlah suatu kepastian hukum yang menjamin adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dalam suatu transaksi komersial internasional ataupun dalam penanaman modal.

Pada dasarnya, terdapat dua teori yang saling berkonflik namun berkaitan dengan PMA di Indonesia, dimana teori-teori tersebut berpengaruh terhadap pembentukan perilaku hukum suatu Negara.34 Teori-teori tersebut adalah Teori

32 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 27

33 Erman, ibid. hlm 34

34 Menurut Sornarajah, “Theoritical Conflicts have had an impact on shaping legal

attitudes to foreign investment”, dalam M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, second edition, (United Kingdom: Cambrige University Press, 2004, hlm. 50

(22)

Liberal (Liberal Theory atau Classical Theory) dan Teori Ketergantungan (Dependency Theory).

Teori Dependensi telah lama dikenal dalam hubungan suatu Negara dengan Negara lain dalam lingkup yang lebih global, dan teori ini sangat erat hubungannya dengan PMA terutama dengan penanaman modal secara langsung atau dikenal dengan “direct investment”. Teori Dependensi atau Teori Ketergantungan dalam hal ini sangatlah mempercayai PMA sebagai suatu ancaman atas pertumbuhan ekonomi penerima modal tersebut.35

Teori ini merupakan teori perkembangan suatu Negara karena dasar dari teori ini adalah suatu keniscayaan bahwa dari sejak awal, kapitalisme berkembang sebagai suatu sistem yang multinasional. Teori Dependensi sangat dipengaruhi oleh beberapa ahli, yaitu; Karl Marx dalam Berkembang dan Tidak Berkembang (Development and Underdevelopment), Paul Baran dalam Kemunduran Ekonomi dan Kemajuan Ekonomi (Analysis on Economic Backwardness and Economic

Growth), Gunder Frank dalam Analisa atas Perkembangan atas Sesuatu yang

Tidak Berkembang (Analysis of The Development of Underdevelopment), dan juga Samir Amin dalam Ketidakseimbangan Pembangunan (Unequal Development). 36

Teori ini percaya bahwa pada dasarnya Negara maju hanya memanfaatkan kelemahan dari Negara berkembang, karena Negara berkembang sangat membutuhkan kehadiran dari PMA baik secara langsung dan tidak langsung. Hal ini dikarenakan adanya pandangan dari Negara maju dalam hal ini yang menilai dari keadaan dimana dengan adanya PMA, Negara berkembang pada dasarnya sudah meraih peningkatan pendapatan kotornya walaupun secara fakta banyak

35

Nisa Istiani, “Teori Ketergantungan (Dependency Theory) dan Teori Liberal (Liberal Theory)”, dalam Modul Hukum Investasi, dikumpulkan oleh Ridwan Khairandy, (Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), Hal 260

36

(23)

kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh para penanam modal tidak dilakukan oleh mereka.

Hal ini dapat dilihat dari segi penggunaan tenaga kerja yang murah dan sumber daya alam yang berlimpah yang mana pemerintah Negara penerima tidak mampu untuk mengelola dan mengolahnya. Adanya kewajiban seperti transfer teknologi, dan pelatihan dan pembinaan SDM yang terkadang tidak dilakukan oleh perusahaan PMA yang berasal dari negara maju membuat Negara berkembang menjadi tidak dapat mengembangkan sendiri kemampuannya dan juga menyebabkan distorsi, hambatan pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan keseimbangan pendapatan (dalam hal ini akan selalu dependen dengan kehadiran investor asing Negara maju). Mengenai penggunaan Sumber Daya Alam yang berlimpah secara semena-mena merupakan alasan lain yang dikemukakan teori ketergantungan karena dengan ini menimbulkan kecenderungan bahwa Negara berkembang tidak diberikan kompensasi yang semestinya dilakukan oleh perusahaan PMA yang berasal dari negara maju atas penggunaan sumber daya alam yang semena-mena itu. Hal ini diperparah karena seringkalinya modal asing yang masuk dari Negara Maju masuk kedalam bidang-bidang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh Negara berkembang, dan dengan demikian, investasi-investasi seperti itu hanya akan mendorong meningkatnya tingkat kemiskinan di Negara berkembang dan tingginya ketergantungan Negara berkembang kepada Negara maju.

Oleh karena itu, maka teori dependensi sangat bersifat preventif dengan adanya hal-hal seperti itu, karena pada dasarnya PMA oleh Negara maju di dalam suatu teritori Negara berkembang dimaksudkan untuk dapat memberi kemampuan independensi kepada Negara berkembang, namun pandangan Negara maju adalah sebaliknya. Karena Negara maju pada dasarnya hanya menekankan pada pentingnya keterbukaan dan peniadaan semua upaya atau kebijakan penanaman modal terkait yang merintangi dan menghambat lancarnya penanaman modal tersebut (Teori Liberal).37

37

(24)

Berbeda dengan teori dependensi, dimana, teori liberal ini sangat erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi liberal. Teori ini berpendapat bahwa Negara berkembang sangatlah kekurangan modal atau tidak mempunyai simpanan yang memadai untuk memiliki teknologi asing dan keahlian yang memadai untuk membantu pembangunan Negara di Negara berkembang. Dengan demikian PMA memberikan suplai modal yang dibutuhkan oleh Negara berkembang dengan membawa modal segar dari luar negara tersebut. Pandangan yang terbentuk dari teori ini adalah seluruh kebijakan hendaknya ditujukan untuk kepentingan swasta dan bukan untuk melayani kepentingan publik yang tidak produktif sehingga tidak menghasilkan akumulasi kapital. Karena itu anggaran pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan jasa pelayanan publik tidak dianggap sebagai basis bagi industrialisasi dan modernisasi. Menurut paham ini, sektor-sektor usaha/perekonomian dan yang selama ini difungsikan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan pokok rakyat harus diswastanisasi, karena jalan keluar bagi paham ini adalah pemotongan subsidi dan adanya privatisasi.38

Dari kedua teori tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa, Indonesia berada di dua teori, dimana disatu sisi Indonesia berpihak kepada teori dependensi dimana kepastian dan perlindungan hukum kepada perusahaan PMA dibatasi / tidak diatur secara jelas dan terkadang Indonesia berpihak kepada teori liberal, dimana para pihak asing diberikan suatu kepastian iklim penanaman modal dengan banyaknya bidang usaha yang dibuka beserta pemberian-pemberian insentif ataupun fasilitas-fasilitas penanaman modal lainnya.

Ketidakpastian landasan pengaturan (dualisme landasan) yang dimiliki oleh Hukum Penanaman Modal yang menyebabkan ketidakpastian pemihakan pengaturan terhadap subjek dan objek hukum seperti diatas, berlaku pula dalam landasan pengaturan hukum penyelesaian sengketa, dimana disatu sisi, Indonesia menjamin kepastian dan perlindungan hukum dengan menerbitkan undang-undang penyelesaian sengketa tetapi disatu sisi lainnya, undang-undang-undang-undang tersebut tetap menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum akan terus membawa akibat hukum tanpa perlindungan yang pasti.

38

(25)

Berbicara mengenai kepastian hukum, hukum pada dasarnya harus mampu menciptakan kepastian (predictability), stabilitas (stability), dan keadilan (fairness) untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi.39 Prediktabilitas mengandung arti bahwa hukum harus dapat menciptakan kepastian, yaitu kepastian hukum. Dengan adanya kepastian, investor dapat mengukur tindakan-tindakan yang akan dilakukannya. Dalam prediktabilitas, hukum diciptakan untuk mampu memprediksikan kemungkinan pelanggaran yang terjadi dan perkembangan ekonomi pasar.40

Kapasitas hukum dalam stabilitas adalah bahwa hukum harus mencerminkan keseimbangan kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya. Hukum harus menciptakan keterpaduan antara para pihak.

Fungsi hukum sebagai fairness (keadilan) mencerminkan bahwa hukum haruslah menciptakan nilai-nilai keadilan bagi para pihak dan mencegah terjadinya praktek-praktek diskriminasi atau ketidakadilan bagi para pihak yang terlibat didalamnya.

Unsur lain yang harus dipenuhi untuk tercapainya kepastian hukum yang menjamin perlindungan kepada pihak perusahaan PMA sehingga tiga fungsi hukum tersebut dapat tercapai, Indonesia haruslah memiliki sistem hukum yang efektif karena sistem hukum yang efektif akan memperluas kesempatan berusaha, mengundang investasi dan membangun ekonomi. Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum mengandung tiga unsur, yaitu structure, substance dan

legal culture.41

39 Leonard J. Theberge, “ Law and Economic Development”, dalam Erman Rajagukguk,

Hukum dan Pembangunan, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 52.

40

Siti Anisah, “Implementasi TRIMs Dalam Hukum Investasi Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, (Nomor 5 Tahun 2003): 37.

41

Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton and Company, 1984), hlm. 5-6

(26)

Pertama adalah structure.42

“This is the structure of the legal system, its skeleton or framework, the

durable part, which gives a kind of shape and definition to the whole. The structure of a legal system consist of element of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction (this is, what kind of cases they hear, and how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many member sit on the Federal Trade Commision, what a president can (legally) do or not do, what procedures the police departement follows, and so on. Structure, in a way, is a kind of cross section of legal system – a kind of still photograph, which freezes the action.”

Berdasarkan uraian Friedman menguraikan bahwa struktur sebagai unsur dalam sistem hukum, struktur ini meliputi institusi-institusi yang diciptakan oleh sistem hukum mencakup judikatif, eksekutif dan legislatif. Struktur dalam implementasinya merupakan sebuah bentuk berkaitan satu dengan yang lain dalam sistem hukum.

Kedua adalah Substance, dalam substance dikemukakan bahwa:43

“By this is meant the actual rules, norm and behaviour patterns of people

inside the system. This is, first of all, “the law” in the popular sense of term – the fact that the speed limit is fifty-five miles in a hour, that “by law” a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar substance also means the “product” that people within the legal system manufactured.”

Dikatakan bahwa substance meliputi peraturan perundang-undangan, norma-norma, dan keputusan-keputusan. Substansi hukum sebagai suatu unsur dalam sistem hukum merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma-norma dan perilaku masyarakat yang terdapat dalam sistem tersebut.

42

id.

43

(27)

Ketiga adalah legal culture.44

“By this we mean people’s attitude toward law and legal system – their

belief, values, ideas and expectations. In other word, it is the part of the general culture which concerns the legal system. The legal system, in other word, is the climate of social thought and social force which determines how law is used, avoided or abused. Without legal culture, the legal system is inert – a dead fish lying in basket, not a living fish swimming in its sea”

Legal culture menurut Friedman meliputi pandangan, nilai, ide dan sikap yang menentukan bekerjanya sistem hukum. Pandangan dan sikap masyarakat terhadap budaya hukum dipengaruhi oleh sub-culture. Pandangan dan sikap ini yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum. Tanpa budaya hukum, suatu sistem hukum tidak akan berdaya.

Teori-teori diatas akan digunakan dan telah dianggap relevan oleh penulis untuk melakukan analisa terhadap permasalahan-permasalahan dalam penulisan yang meneliti tentang penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Penulis juga akan melihat bahwa apakah sistem Hukum Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam hal tersebut diatas telah memberikan unsur predictability, stability dan

fairness.

G. Kerangka Konseptual

Penelitian ini akan menggunakan beberapa istilah dan untuk menghindari ketidakjelasan definisi, maka istilah-istilah tersebut mencakup antara lain :

1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dimana putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan tetap, berdasarkan hukum atau dengan persetujuan para pihak yang bersengketa.

44

(28)

2. Arbitrase asing adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa yang berada di luar wilayah Indonesia.

3. Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

4. Arbiter adalah hakim yang terdiri dari satu orang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

5. Public policy (ketertiban umum), dipergunakan

sebagai alasan untuk menolak berlakunya putusan arbitrase asing yang didasari suatu kondisi ketertiban umum suatu Negara.

6. Exequatur adalah penetapan yang dikeluarkan

oleh Mahkamah Agung RI atau Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa satu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di dalam wilayah RI.

7. Null and void adalah keadaan dimana suatu

perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, dinyatakan tidak dapat memenuhi unsur-unsur perikatan yang berikatan dengan Pasal 1320 ayat 1 dan 2 yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga mengenai Perikatan.

8. Voidable adalah keadaan dimana suatu

perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, dinyatakan tidak dapat memenuhi unsur-unsur perikatan

(29)

yang berikatan dengan Pasal 1320 ayat 3 dan 4 yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga mengenai Perikatan.

9. Reciprocity adalah asas timbal balik, suatu

keadaan dimana Indonesia terikat dengan Negara lain dalam suatu perjanjian internasional, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

10. Commercial adalah Pemerintah RI hanya

melaksanakan putusan luar negeri yang bersifat dagang.

11. Due process of law adalah pihak yang

diwajibkan melaksanakan putusan arbitrase asing harus telah diberikan cukup kesempatan untuk membela diri.

12. Ex aequo et bono adalah kewenangan yang

dapat disepakati oleh para pihak untuk diberikan kepada arbiter untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan

13. Arbitrability adalah putusan arbitrase yang

mengandung pokok perkara yang tidak dapat diselesaikan dengan arbitrase.

14. Country of Origin adalah Negara yang

menjatuhkan putusan arbitrase.

15. Forum Shopping adalah suatu tindakan yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari putusan yang paling menguntungkan baginya kepada jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang memiliki kewenangan yang sama dimana putusan tersebut sebenarnya telah mengikat para pihak yang bersengketa.

16. Anti-suit injunction adalah suatu putusan yang

dijatuhkan oleh pengadilan atau badan arbitrase yang melarang pihak yang kalah dalam arbitrase untuk melakukan atau melanjutkan penyelesaian sengketa kepada jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang memiliki kewenangan yang sama.

17. BIT (Bilateral Investment Treaty) adalah suatu perjanjian investasi antara dua Negara yang mengatur tentang suatu pengaturan, promosi, perlindungan hingga penyelesaian sengketa

(30)

terhadap investasi yang dilakukan oleh pihak Negara yang mengikatkan diri, individu maupun badan (perusahaan) yang berada dalam jurisdiksinya ke dalam teritori pihak lainnya.

18. MIT (Multilateral Investment Treaty) adalah suatu perjanjian investasi antara beberapa Negara (lebih dari dua) di dunia internasional yang mengatur tentang suatu pengaturan, promosi, perlindungan hingga penyelesaian sengketa terhadap investasi yang dilakukan oleh pihak Negara yang mengikatkan diri, individu maupun badan (perusahaan) yang berada dalam jurisdiksinya ke dalam teritori pihak lainnya.

19. Konvensi New York 1958 adalah suatu

perjanjian internasional (konvensi) yang mengatur negara anggotanya persamaan persepsi, prosedur serta tata cara pengakuan terhadap putusan arbitrase asing sebagai keputusan yang bersifat mengikat dan pelaksanaannya dalam jurisdiksi mereka.

20. UNCITRAL (United Nations Commission on

International Trade Law) adalah badan PBB yang didirikan berdasarkan

Resolusi Sidang Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) pada tanggal 17 Desember 1966 untuk mengangkat secara progresif harmonisasi dan unifikasi hukum dagang internasional.

21. Model Law adalah hukum yang dapat diadopsi

oleh negara - negara anggota PBB yang bertujuan agar aspek - aspek hukum yang terkandung dalam perdagangan internasional tersebut dapat diakomodasi secara mudah dan terdapat suatu persamaan pengaturan tentang arbitrase.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan thesis ini akan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kerangka teoritis, kerangka konseptual dan sistematika penulisan.

(31)

Bab II : Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Dalam Lingkup Internasional

Bab ini akan membahas mengenai Sejarah Konvensi New York 1958: (1) Latar Belakang lahirnya Konvensi New York 1958, (2) Konvensi New York 1958 sebagai dasar pelaksanaan arbitrase Internasional; Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Berbagai Negara: (1) Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Amerika Serikat, dan (2) Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Inggris; Model Law – UNCITRAL: (1) UNCITRAL Model Law sebagai Instrumen Arbitrase Internasional, (2) Pengaturan Arbitrase dalam Model Law.

Bab III : Tinjauan Umum Terhadap Pengakuan Dan Pelaksanaan Arbitrase Asing Di Indonesia

Bab ini akan menguraikan mengenai Sejarah dan Landasan Hukum Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: (1) HIR dan BRV sebagai Landasan Utama Hukum Arbitrase Indonesia, (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia, (3) UNCITRAL Arbitration Rules sebagai Landasan Hukum Arbitrase Internasional dalam Lingkup Hukum Nasional, (4) Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 sebagai Bentuk Ratifikasi Konvensi New York 1958, (5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990; Sikap Pengadilan Indonesia terhadap Putusan Arbitrase Asing sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: (1) Trading Corporation of Pakistan

Limited v. PT Bakrie Brothers, (2) Navigation Maritime Bulgare v. PT Nizwar,

(3) E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto, (4) PT Batu Mulia

Utama v. Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’ Enterprises Societe Routiere Colas (“SSC”); Diterbitkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa serta ruang lingkupnya terhadap Putusan Arbitrase Asing.

(32)

Bab IV : Penerapan dan Penerapan dan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi New York 1958 Sehubungan dengan Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Bab ini akan membahas mengenai Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase asing dalam perkara Pertamina melawan KBC; UU 30 Tahun 1999 Tidak Menerapkan Secara Utuh Pasal V Konvensi New York 1958; dan Penerapan dan Pelaksanaan Konvensi New York dalam UU 30 Tahun 1999 mengalami Banyak Hambatan: (1) Substansi Hukum Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan Konvensi New York: ((a) UU 30/1999 tidak Menerapkan Ketentuan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Konvensi New York 1958, (b) UU 30/1999 tidak

friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, (c)

Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam UU 30/1999 Tidak Konsekuen, (d) Pengaturan Landasan Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Indonesia sangatlah Sempit Cakupannya dan Tidak Jelas), (2) Aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, (3) Budaya Hukum Masyarakat terhadap Arbitrase Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial.

Referensi

Dokumen terkait

mengembangkan aspek fisik, keseimbangan antara bermain aktif dan pasif, tidak berbahaya, memiliki nilai kebaikan, memiliki aturan dan tujuan yang jelas [14]. Jumlah

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (Berita Negara Republik

Untuk pengawasan dan pembinaan dari pemerintah terhadap kegiatan usaha pertambangan di wilayah masyarakat hukum adat, perlu penggembangan instrumen- instrumen

(2008) menyatakan bahwa salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada

Sutarwi, Pujiasmanto B, Supriyadi 2013, Pengaruh Dosis Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kacang Tanah (Arachis Hypogaea (L.) Merr)

program studi, nama dan kode mata kuliah, semester, sks, nama dosen pengampu; b) capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada mata kuliah; c) kemampuan akhir yang

Salah satu argumentasi penafsiran ayat ba„ud}atan fama> fawqaha>, menurut al-Ra>ziy dalam kitabnya Mafa>tih} al-Ghayb, adalah berdasarkan sebab turunnya ayat

Jenis penelitian adalah operational research untuk mengetahui nilai pemakaian dan investasi obat, mengetahui jumlah pemesanan optimum dan waktu pemesanan kembali