• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gerakan Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

Turner dan Killian dalam Suryadi (2007) mendefinisikan gerakan sosial secara luas sebagai suatu usaha bersama untuk meningkatkan suatu penentangan perubahan dalam masyarakat di mana usaha tersebut memainkan peran. Kartodirdjo dalam Kamaruddin (2012) mengatakan gerakan sosial adalah gerakan perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu penguasa ataupun negara.

Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap suatu kondisi atau keadaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan tidak terarah, serta tidak memiliki perencanaan yang matang. Orang-orang saling membagi duka, dan mengeluh. Pemimpin dan organisasi dari kebanyakan gerakan, biasanya muncul tidak lama setelah situasi keresahan sosial tercipta. Setelah mengalami tahapan penurunan kegiatan, kadang kala gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen, dan seringkali pula gerakan itu hilang

(2)

begitu saja tanpa bekas yang berarti, Horton dan Kartodirjo dalam Kamaruddin (2012).

Zenden dan Heberle dalam Wahyudi (2005:23) memberikan kriteria gerakan sosial sebagai berikut :

1. Bertujuan untuk membawa perubahan fundamental terhadap tatanan sosial, khususnya dalam institusi dasar properti dan hubungan ketenagakerjaan

2. Suatu kesadaran tentang identitas dan solidaritas kelompok adalah diperlukan bersamaan dengan kesadaran common sense dan tujuan

3. Gerakan sosial selalu terintegrasi dengan serangkaian ide atau suatu ideologi

4. Gerakan sosial berisi anggota-anggota kelompok yang secara formal diorganisasikan, tetapi gerakan sosialnya itu sendiri adalah bukan kelompok yang terorganisir

5. Memiliki aturan yang cukup kuat untuk meneruskan eksistensinya, meski mereka harus merubah komposisi keanggotaannya

6. Gerakan sosial bukan suatu produk, tetapi memiliki durasi

Dalam realitasnya, gerakan sosial yang terjadi di negara-negara mengalami perubahan, di mana perubahan gerakan sosial itu dikategorikan dengan istilah gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru. Gerakan sosial lama dianggap sebagai perlawanan atau perjuangan kelas buruh dalam menuntut keadilan mereka. Gerakan sosial baru dianggap sebagai perluasan makna gerakan sosial

(3)

lama ke arah perjuangan mengimbangi dominasi kekuasaan negara dan perwujudan demokratisasi, Suryadi (2007:119).

Lofland (2003:50) mengatakan dua aspek empiris gelombang yang perlu diperhatikan adalah pertama aliran tersebut cenderung berumur pendek antara lima sampai delapan tahun. Jika telah melewati umur itu gerakan akan melemah dan meskipun masih ada akan tetapi gerakan telah mengalami proses ‘cooled

down’. Kedua, banyak organisasi gerakan atau protes yang berubah menjadi

gerakan sosial atau setidaknya bagian dari gerakan-gerakan tersebut diatas. Organisasi-organisasi ini cenderung selalu berupaya menciptakan gerakan sosial atau jika organisasinya berbeda maka mereka akan dengan sabar menunggu pergeseran struktur makro yang akan terjadi (misalnya krisis kapitalis) atau pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan yang jahat, atau kedua hal tersebut. Serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral, kala itulah gerakan itu bisa dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan.

Gerakan sosial terbentuk melalui serangkaian proses. Ada beberapa tahap terbentuknya gerakan sosial ini. Tahap-tahap tersebut yaitu,

1. Tahap ketidaktentraman karena ketidakpastian dan ketidakpuasan yang semakin meningkat.

2. Tahap perangsangan, yaitu sebuah tahap yang terjadi ketika perasaan ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebabnya sudah teridentifikasi dan saran-saran tindak lanjut sudah diperdebatkan.

(4)

3. Tahap formalisasi, sebuah tahap ketika sosok pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan

4. Tahap institusionalisasi atau tahap pelembagaan, tahap ketika organisasi telah diambil alih dari pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat dan ideologi serta program elah diwujudkan, Horton dan Hunt dalam Martono (2012 : 227).

Zande dan James dalam Suryadi (2007:120) menyederhanakan tipe gerakan sosial yang berdasarkan basis ideologi:

1. Gerakan-gerakan revolusioner, yaitu gerakan yang mengubah masyarakat dengan menentang nilai-nilai fundamental. Gerakan revolusioner mendukung penggantian kerangka nilai yang ada. Sebagai contoh kelompok nasionalis hitam yang muncul pada akhir tahun 1960-an

2. Gerakan-gerakan reformasi yaitu, gerakan yang berusaha untuk memodifikasi kerangka kerja dari skema nilai yang ada. Gerakan reformasi mengupayakan perubahan-perubahan yang akan mengimplementasikan kerangka nilai yang ada secara lebih memadai. Sebagai contoh gerakan hak sipil di Amerika Serikat oleh Martin Luther King

3. Gerakan-gerakan perlawanan, yaitu gerakan utuk memblokir atau mengeliminasi perubahan yang sudah dilembagakan sebelumnya. Gerakan perlawanan merupakan suatu gerakan balasan. Sebagai contoh gerakan perlawanan kaum kulit putih terhadap hak-hak sipil kaum kulit hitam di Amerika Serikat

(5)

4. Gerakan-gerakan ekspresif, yaitu gerakan yang kurang konsen dengan perubahan institusional. Gerakan ini berusaha merenovasi atau memperbaharui orang-orang dari dalam, seringkali dengan menjanjikan suatu pembebasan di masa depan. Sebagai contoh adalah gerakan ratu adil.

Gerakan sosial yang beragam dapat disederhanakan dan ditipologikan dilihat dari “Besarnya perubahan sosial yang dikehendaki” (skala) dan “ tipe perubahan yang dikehendaki” seperti yang terlihat dalam tipologi Aberle dalam Triwibowo (2006: xvii-xx) berikut :

BESARAN

TIPE

Perubahan Perorangan Perubahan Sosial

Sebagian Alternative Movements Reformative Movements

Menyeluruh Redemptive Movements Transformative Movements

Alternative Movements berupaya untuk mengubah sebagian perilaku

orang, seperti tidak merokok. Sementara Redemptive Movements mencoba mengubah perilaku perorangan secara menyeluruh, seperti dalam bidang keagamaan. Tipe berikutnya yakni Reformative Movements mencoba mengubah masyarakat namun dengan ruang lingkup yang terbatas, seperti gerakan persamaan hak kaum perempuan. Transfromative Movements adalah gerakan

(6)

yang mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh seperti gerakan komunis di Kamboja. Gerakan di jelaskan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu;

1) Pendekatan Moral Ekonomi

Aspek pokok yang memicu gerakan pada pendekatan ini adalah :

a) Reaksi terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup komunitasnya yang berada dalam kondisi subsistensi

b) Faktor kepemimpinan sebagai faktor kunci gerakan dan umumnya berasasl dari kalangant elit desa atau patron.

2) Pendekatan Ekonomi Politik

Gerakan pada dasarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual terhadap perubahan yang dikalkulasikan merugikan dan mengancam mereka. Keputusan melakukan gerakan terletak pada individu yang menganggapnya sebagai pilihan yang efektif dan efisien. Mendasarkan diri pada konsep manusia sebagai makhluk yang mempunyai kesadaran pribadi individual dan selalu menggunakan perhitungan rasional (kalkulasi untung rugi) dalam bertindak. Atas dasar asumsi ini terdapat perbedaan antara rasionalitas individu dan kelompok, Mustain (2007:335). Hasil penelitian Popkin yang ditemukan tentang hasil studi gerakan reklaiming di Vietnam menjelaskan bahwa ada sebagian kelompok petani yang tidak mau melakukan gerakan perlawanan walaupun mereka tengah mengalami krisis subsistensi jangka pendek yang diakibatkan oleh perubahan yang dihasilkan oleh penetrasi kapitalis. Sebaliknya, beberapa kelompok petani

(7)

melakukan perlawanan walaupun mereka tidak mengalami krisis jangka pendek atau jangka panjang. Alasannya, selain perlawanan yang diperhitungkan tidak akan menyelesaikan masalah, juga dipertimbangkan masih ada jalan kompromistis yang dinilai lebih diuntungkan. Faktor lain yang menjadikan tidak melakukan perlawanan adalah karena tidak tercapainya kesepakatan antara para individu untuk melakukan gerakan perlawanan bersama. Kelompok yang melakukan perlawanan yang didasari atas hasil kesepakatan bersama dan berdasarkan perhitungan rasional dinilai sebagai cara yang efektif dan efisien untuk keluar dari kondisi subsisten yang membelenggu mereka, Popkin dalam Mustain (2007: 336).

3) Pendekatan Historis

Gerakan ini dipahami sebagai akibat dari terjadinya penyimpangan dan ancaman terhadap nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang dimiliki. Harapan-harapan yang sering timbul dalam gerakan itu antara lain adalah harapan akan datangnya masyarakat atau negara yang adil dan tentram dan makmur. Biasanya negara utopis yang dijadikan itu diikuti dengan harapan akan hadirnya seorang Juru Selamat di lingkungan masyarakat, Mustain (2007:349).

Haynes dalam Alisjahbana (2005:150) mengatakan untuk melakukan gerakan perlu kelompok aksi yang terdiri atas jumlah populasi yang relatif besar, yang berpotensi melakukan perubahan. Hal ini dapat dipahami mengingat faktor

(8)

organisasi merupakan wadah bertemunya pemimpin dengan anggota. Gerakan resistensi diasumsikan tidak dapat terjadi bila tidak ada organisasi dan pemimpin yang menggerakkannya. Ledakan gerakan kolektif sektor informal di perkotaan terjadi karena ada organisasi yang mewadahi dan pemimpin kelompok aksi yang berusaha menyuarakan dan mendengar apa yang menjadi tujuan mereka.

Dahrendorf (2004:34-35) menyebutkan terdapat tiga kondisi yang mendukung kemunculan sebuah struggle group, yang sering kali menjadi pendorong penyebab terjadinya konflik, yaitu:

1. Komunikasi terus menerus diantara orang-orang senasib

2. Adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi, mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok

3. Legitimasi kelompok di mata komunitas yang lebih luas atau setidaknya tidak ada tekanan komunitas yang efektif terhadap kelompok

Tujuan pergerakan adalah mendidik dan memenangkan mayoritas publik yang lebih besar yang terus meningkat dan untuk menggerakkan mayoritas publik menuju kekuatan yang efektif yang membawa masalah sosial. Hanya dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pergerakan menegakkan nilai-nilai dan pemegang kekuasaan melanggarnya, dapatkah masyarakat dipengaruhi dan dan digerakkan ke tingkat kebutuhan yang diperlukan mereka untuk bertindak. Moyer (2004:17).

(9)

Gerakan sosial atau “civil society” ini menunjukkan pentingnya aktor organisasi civil society seperti Ormas, Ornop, Organisasi Komunitas; Media dan Universitas.

1. Koalisi antar Organisasi Civil Society.

Dalam hal ini, masih terdapat potensi yang dapat dikembangkan. Sebagai contoh, Universitas merupakan sumber yang sangat besar dimana para mahasiswa dapat menjadi relawan dalam berbagai kegiatan sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya manusia. Perlu diaktifkan media cetak dan elektronik untuk mendukung agenda gerakan sosial secara sistematik dan terukur. Pembuatan opini publik yang rutin dan tidak sporadis akan dapat menekan berbagai pihak yang menentang atau mendukung suatu isu.

2. Dukungan dana dari pemerintah.

Gerakan sosial dan organisasi civil society sering sekali mengalami kekurangan di pemerintahan untuk operasional baik rutin maupn program. Uang dari pemerintah yang sebenarnya dari rakyat ini dikembalikan ke rakyat yang berada di civil society . Selama ini subsidi pada organisasi kemasyarakatan juga telah dilakukan (misalnya melalui APBD) namun sifatnya lebih berupa bantuan “sogokan” agar mereka tidak kritis terhadap pemerintah.

(10)

3. Aliansi dengan kekuatan di ranah politik (partai politik) dan ekonomi (perusahaan).

Hal seperti ini dapat saja dianggap aneh karena gerakan sosial sebenarnya merupakan upaya organisasi civil society dalam mengupayakan atau menentang perubahan sosial yang seringkali tidak mendapat perhatian dari kedua ranah tersebut. Beragamnya organisasi dan kelompok yang berada di ranah politik dan ekonomi tersebut sehingga masih membuka peluang untuk keja sama.

4. Penekanan pada ranah politik.

Masalah yang dibahas dalam gerakan sosial berkaitan dengan keputusan politik formal seperti UU. Dalam hal ini, organisasi civil society dapat mencapai tujuan gerakan sosial dengan melakukan penekanan pada aktor dalam ranah politik, misalnya anggota legislatif (DPR/D). Penekanan dapat berupa petisi atau “class actions” sehungga para aktor yang mempunyai otoritas politik tersebut dipaksa untuk menghasilkan suatu kebijakan baru yang sesuai dengan aspirasi civil society yang pada awalnya dilakukan melalui gerakan sosial. Sujatmiko dalam Triwibowo (2006: xxiv)

2.2. Perlawanan (Resistensi)

Scott (2000:381) menjelaskan tidak mudah untuk menentukan di mana kerelaan berakhir dan perlawanan di mulai, karena keadaan menjadikan banyak orang miskin menyelubungi perlawanan mereka dalam bahasa konformitas

(11)

publik. Arti kata kerja ‘melawan’ (to resist) sebagaimana tertera di kamus adalah ‘mengusahakan sekuat tenaga untuk menahan atau membalas kekuatan atau efek dari’. Perlawanan kelas memuat tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya: sewa, pajak, gengsi ) yang dibuat oleh kelas atas ( tuan tanah, petani kaya, negara) berhadapan dengan kaum yang kalah itu. Perlawanan berfokus pada basis materi hubungan antar kelas dan pertarungan antar kelas, berlaku baik sebagai tindakan perlawanan perorangan maupun kolektif, juga bentuk-bentuk perlawanan ideologi yang menentang definisi situasi yang dominan menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Akhirnya, perlawanan berfokus pada maksud ketimbang pada konsekuensi, sehingga di mana ada bukti kuat untuk maksud di balik aksi, maka perlawanannya, sesuai dengan itu, diperkuat.

Perlawanan menurut Zubir (2002) dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai gerakan sosial atau

social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial,

politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.

Timbulnya perlawanan menurut Alisjahbana (2005:167-169) terurai ketika menggambarkan bagaimana pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang tidak berkuasa, antara mereka yang memiliki aksesbilitas dengan mereka yang tidak memiliki, antara mereka yang memiliki modal kecil, terus terjadi dalam setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah dalam pengembangan

(12)

melakukan perlawanan (resistensi). Resistensi dilakukan ketika mereka harus dihadapkan pada sebuah perlakuan yang menurut mereka keterlaluan atau diluar batas kewajaran. Keberanian kelompok ini melakukan perlawanan (resistensi) adalah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatarbelakangi, antara lain:

1. Adanya model penataan sektor informal yang selalu menggunakan pendekatan represif, bukan persuasif.

2. Adanya sikap ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberadaan sektor informal sehingga selalu dimarginalkan.

3. Terbungkamnya suara sektor informal. Budaya top down dalam setiap pembuatan kebijakan yang mengatur sektor informal menyebabkan terjadinya resistensi terhadap kebijakan pemerintah kota.

4. Adanya kesan negatif yang ditempelkan pemerintah terhadap keberadaan sektor informal.

5. Berhembusnya era reformasi, era reformasi memberikan ruang kepada sektor informal untuk mengadakan resistensi.

Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana (2005:39-41) dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi.

(13)

Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil yang lebih besar dibandingkan resistensi yang dilakukan secara terang-terangan.

Alisjahbana (2005:130) mengatakan perlawanan yang dilakukan oleh sektor informal berdasarkan perlawanannya dapat ditipologikan menjadi dua :

a) Resistensi (perlawanan) secara terang-terangan.

Ini identik dengan perlawanan secara terbuka dalam artian sektor informal siap untuk berhadap-hadapan secara langsung dengan pemerintah, resistensi ini bersifat konfrontatif. Bentuk-bentuk melawan petugas secara langsung saat akan ditertibkan seperti eker-ekeran, memblokade jalan dan membakar alat peraga, mengintimidasi dengan senjata tajam, resistensi dengan kekerasan, kemudian dengan sengaja berjualan ditempat-tempat terlarang, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, yang terakhir mendatangi camat dan meminta izin secara paksa

b) Resistensi (perlawanan) tersembunyi,

Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari konfrontasi langsung dengan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam resistensi main kucing-kucingan dengan aparat penertiban, kongkalikong dengan “orang dalam”, menebus barang dagangan untuk berjualan lagi, mencari tempat yang agak tersembunyi, membatasi jumlah sektor informal oleh sektor informal “senior”, membetuk paguyuban sektor informal dan mengumpulkan iuran untuk ‘keamanan’, mencari dukungan Lembaga

(14)

Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa, dan melawan kekuatan modal.

Scott dalam Alisjahbana (2005:130) menjelaskan resistensi secara terang-terangan tersebut dikategorikan sebagai resistensi yang sungguh-sungguh karena : (1) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif, (2) berprinsip atau tanpa pamrih, (3) mempunyai akibat-akibat revolusioner, (4) mengandung gagasan atau tujuan untuk meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Bentuk resistensi lainnya adalah resistensi sehari-hari, yaitu melahirkan bentuk resistensi yang khas dan digunakan dengan cara yang paling praktis demi mengatasi permasalahan secara seketika, cepat, dan bisa selamat. Resistensi sehari-hari bersifat insidental atau epifenomenal bercirikan : (1) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (2) bersifat untung-untungan dan berpamrih (nafsu akan kemudahan, (3) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner dan (4) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada. Contoh perlawanan bersifat insidental adalah petani Asia Tenggara yang menyembunyikan padi dan harta miliknya dari pandangan mata sang kolektor pajak, memprotes pengenaan pajak yang tinggi, tetapi ia juga berupaya untuk memastikan bahwa untuk keluarganya ada cukup banyak padi.

Scott (2000:51-52) mengatakan bahwa perlawanan sebagai pemikiran dan simbol. Scott berusaha memahami perlawanan “binatang yang berpikir” dan berjiwa sosial yang namanya petani itu, tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka yaitu makna yang mereka berikan pada tindak tanduk mereka. Simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis yang mereka ciptakan merupakan

(15)

latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari perilaku mereka. Betapapun parsialnya atau tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-aksi mereka. Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus adalah suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelas dan tegas adalah pertama, baik invensi maupun aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan” (unmoved

movers). Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar kembali, sebagaimana adanya

untuk mempengaruhi kesadaran, dan dari sinilah timbul intensi dan aksi selanjutnya. Aksi perlawanan dan pemikiran tentang (atau makna dari) perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk yang seluruhnya sama dengan dunia materi sebagaimana perilaku. Akhirnya bagaimana kita dapat memahami bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari itu tanpa merujuk pada itikad (intensi), gagasan, dan bahasa manusia-manusia yang mempraktekkannya.

Gerakan perlawanan wong cilik atau pedagang berbeda dengan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani ataupun buruh. Banyak perlawanan yang diakhiri dengan kekerasan berhadapan dengan aparat negara. Perlawanan yang ditimbulkan oleh pedagang memang tidak jarang menimbulkan kekerasan. Semakin represif model penataan yang dilakukan oleh pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang diberikan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebaliknya, semakin keras sikap PKL terhadap pemerintah, semakin keras pula tindakan pemerintah. Dari sudut kebijakan, perlawanan yang dilakukan PKL meliputi tiga kategori:

(16)

1) Perlawanan yang dikembangkan utuk menolak lahirnya peraturan daerah, dilakukan dengan cara demonstrasi, memimta izin secara paksa kepada camat dan lurah, membentuk paguyuban PKL, dan mencari dukungan dan mahasiswa.

2) Perlawanan terhadap program relokasi berupa melakukan demonstrasi, membentuk paguyuban dan mencari dukungan LSM dan mahasiswa.

3) Perlawanan terhadap penggusuran, dilakukan dengan adu mulut, memblokade jalan, mengintimidasi aparat dan melakukan demonstrasi.(http://repository.library.uksw.edu/bitstream/handle/1234567

89/737/D_902009006_BAB%20I.pdf?sequence=2)

Untuk kejadian sektor informal, kasus di Kodya Malang sebagian menunjukkan hal tersebut. Di mana sektor informal bekerja sama dengan mahasiswa, lewat ormas kemahasiswaan seperti: HMI, PMII, PEMKRI dan GMKI, (yang tergabung dalam kelompok Cipayung) memeperjuangkan nasibnya kepada walikota Malang, bahkan LSM pun turut bekerja sama dengan mereka. Destabilistas sosial tersebut bisa terjadi apabila bentuk kerja sama tersebut telah mencapai tahap dimana masing-masing pihak tersebut merasa bahwa artikulasi-artikulasi keinginan dan kepentingan mereka tidak pernah didengar dan diwadahi secara proporsional oleh pengambil kebijakan, Yustika (2000 : 203).

(17)

Balridge dalam Alisjahbana (2005:54-57) mengklasifikasikan gerakan perlawanan akan mengalami serangkaian kondisi atau fase-fase tertentu yaitu :

1. Fase Pragerakan (Premovement Stage )

Fase ini muncul karena ada tekanan dan diskriminasi sosial. Kondisi ini bersinergi dengan meningkatnya harapan. Fase pragerakan adalah suatu fase merasakan adanya tekanan struktur atau kondisi sosial yang tidak memuaskan yang dialami oleh individu.

2. Fase Membangun Kesadaran (Awakening Stage)

Pada fase ini sedikitnya ada dua faktor yang mampu membantu membangunkan kesadaran untuk melakukan mobilisasi, yaitu para pemimpin yang kharismatik dan proses resosialisasi. Resosialisasi diperlukan sebab kelompok terhimpit sering menerima begitu saja dan benar-benar percaya bahwa mereka lebih rendah dan tidak berharga. Usaha ini untuk membawa kelompok tertindas menghargai kekuatan sendiri dan dengan begitu, mereka tergugah serta mampu melakukan gerakan resistensi

3. Fase Membangun Gerakan (Movement Building Stage)

Fase ini meliputi pengorganisasian gerakan, perumusan tujuan, dan strategi mobilisasi aksi. Dalam proses pengorganisasian diusahakan terwujud perilaku yang terstruktur, kepemimpinan semakin jelas, tujuan semakin konkret, serta kegiatan terencana secara rutin.

(18)

4. Fase Mempengaruhi Kelompok Sasaran (Influence Stage)

Pada fase ini diharapkan terbentuk semacam ideologi atau cita-cita perubahan. Pada fase ini tugas gerakan adalah mengubah “publik lawan” menjadi partisipan dan mendorong partisipan pasif menjadi kekuatan aktif serta melakukan proses perekrutan dan anggota simpatisan tambahan

5. Fase Capaian/ Keluaran (Outcome Stage)

Fase ini dilakukan pengkonsolidasian atau pelestarian hasil capaian. Fase ini akan muncul apabila gerakan yang dilakukan berhasil dan mampu diintegrasikan ke dalam sejumlah struktur sosial masyarakat.

Hobshawn dalam Alsijahbana (2005:139) menjelaskan tujuan resistensi adalah untuk menjalankan sistem demi kerugian minimal bagi dirinya. Resistensi dengan tujuan bisa memukul balik, kemudian bisa menghasilkan negoisasi tentang Pemerintah Kota dan dalam waktu tertentu dapat mempengaruhi kebijakan sistem yang berjalan.

Referensi

Dokumen terkait

Film animasi merupakan salah satu media yang dapat dengan mudah menyampaikan nila-nilai positif dan budi pekerti pada anak dengan memberikan gambar yang menarik

Perancangan proses dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan data dan mempelajarinya untuk disusun menjadi struktur data yang teratur

Mitra Bestari adalah para ahli di bidang hukum yang berasal dari Universitas di Indonesia dan / atau dari luar negeri, yang mempunyai kompetensi untuk menelaah naskah sesuai

53 NO Urusan Pemerintahan Organisasi Perangkat Daerah Pelaksana Kebijakan Uraian Program / Kegiatan Indikator Program/kegia tan Rumus Target Indikator

Secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan erosi yaitu : iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia.. Faktor iklim

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Menurut Siagian (1994), pembangunan merupakan suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu negara atau

Penelitian ini dilakukan di pasar Bringharjo dan Giwangan dengan objek buruh gendong perempuan. Makalah ini menjelaskan tentang beban kerja dengan pendekatan ergonomi dengan