• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak bukan saja sebagai karunia terbesar bagi pasangan suami istri dalam membangun rumah tangga, tapi juga terhadap agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab itu, hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B) UUD 1945 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”1

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.2 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak di inginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.3

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orangtua, yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

1

AM. Mujahiddin, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Ruang Lingkup

Perlindungan Terhadap Anak dan Istri), dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV NO.

290 Januari 2010, Jakarta:Mahkamah Agung, Hal. 72

2

Bismar Siregar, dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), Hal. 23

3

(2)

Pokok-Pokok Perkawinan, menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak yang bersangkutan dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupu n sosial.4

Setiap orang yang melakukan pemeliharaan anak harus memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya, yang merupakan hak-hak anak peliharaannya. Pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 1979 menentukan bahwa hak-hak anak berupa: kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya.5

Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan anak, yang sesungguhnya bersandar pada hati nurani orangtua. Dalam kenyataannya banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini, yang mempengaruhi perkembangan kehidupan anak. Dalam lingkup rumah tangga, rasa aman, bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi akan lahir dari rumah tangga yang utuh dan rukun. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak Di Indonesia,(Bandung: Refika Aditama, 2008), Hal.1

5

(3)

kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.6

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.7

Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan, berakar dari rumah tangga. Orang tua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Ada kecenderungan orang tua melempar tanggung jawab pendidikan anaknya hanya pada sekolah. Lalu, mereka menyerahkan waktu anaknya kepada kemajuan teknologi visual, TV dan internet. Tidak jarang, ibu muda menyuapi bayinya sembari matanya terpaku pada tayangan kekerasan. TV berperan membuat jarak sosial dalam relasi keluarga melebar. Ada juga anak yang mengunduh tayangan pornograpi melalui internet. Anak menonton tanpa kendali, dininabobokkan dan disuapi pengetahuan TV tanpa didampingi orang tua. Anak-anak sekolah berjudi, bermain game online di warnet.Tak jarang ada yang berhutang dan mencuri agar bisa mengikuti kemajuan IT.8

Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga adalah meliputi:9

6

Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta:Merkid Press, 2012), Hal. 1

7

Ibid, Hal. 2

8

https://studibudaya.wordpress.com/2010/02/05/penelantaran-anak-kejahatan-kemanusiaan/ diakses pada tanggal 5 September 2015 pukul 07.02 WIB

9

Erna Ratnaningsih dan Umi Lasmina, Hukum Keluarga, Masalah Perempuan, dan

(4)

1. Suami, istri dan anak.

2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Adapun bentuk tindak kekerasan di dalam lingkup rumah tangga, yaitu meliputi:10

1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu:

4. Penelantaran rumah tangga meliputi dua tindakan, yaitu:

a) Orang yang mempunyai kewajiban secara hukum atau karena persetujuan atau perjanjian memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut.

b) Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan / atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

10

(5)

Banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tua disebabkan oleh berbagai alasan, terutama kemiskinan dan kurangnya tanggungjawab orang tua terhadap pola pengasuhan dan perawatan anak, dan beban ekonomi yang cenderung lemah mengakibatkan anak selalu menjadi korban.11 Kemiskinan selalu dijadikan argumentasi menjawab kasus penelantaran anak. Alasan ini diterima masyarakat seperti hal wajar. Ada yang sengaja dibuang keluarganya dan terlunta-lunta sebagai gelandangan dan pengamen. Penelantaran anak tidak hanya merugikan si anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya. Kasus penelantaran anak sangatlah sering terjadi di Indonesia, namun penanganannya sangatlah kurang diperhatikan.12

Dapat dikemukakan dalam penelitian ini diangkat dua (2) kasus tentang penelantaran anak yang diputus dengan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. Adapun kasus pertama yaitu penelantaran anak terjadi di Kota medan dengan terdakwa yaitu Drive Loni E yang terjadi pada bulan Agustus 2013 yang akibat dari perbuatannya anak mengakibatkab sakit baik fisik, mental maupun sosial yang telah diputus oleh pengadilan medan dengan putusan nomor 2.632/Pid.B/2013/PN-Mdn. Kasus kedua yaitu terjadi di Kota Rantau Perapat dengan terdakwa bernama Kriston Sianturi menelantarkan anaknya dengan cara tidak memberikan nafkah terhadap ke empat anaknya setelah bercerai dari Rosmaida br. Saragih, sehingga Rosmaida melaporkan kejadian tersebut kepada

11

http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=aticle&sid=647, diakses pada tanggal 8 September 2015 Pukul 21.35 Wib

12

(6)

polisi. Dalam kasus ini Kriston Sianturi diputus oleh Pengadilan Rantau Prapat dengan putusan nomor: 498/Pid.B/2014/PN-Rap.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengakaji dan membahas secara mendalam tentang topik skripsi yang berjudul: “Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk penelantaran anak dan faktor-faktor penelantaran anak?

2. Bagaimana ketentuan undang-undang yang terkait dengan penelantaran anak? 3. Bagaimana penerapan Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak (Studi Terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas yang telah diuraikan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor-faktor terhadap penelantaran anak

(7)

2. Untuk mengetahui peraturan Undang-undang yang terkait terhadap penelantaran anak

3. Untuk melihat bagaimana penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap.

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana.

b. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat penegak hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya dalam menerapkan sanksi pidana pada kasus penelantaran anak di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini dengan judul “Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran

(8)

Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini penulisan memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulisan dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan kepustakaan

1. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni

straf, baar, dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah

yang pernah digunakan baik dalam perandang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut:13

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya.

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: R. Tresna dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana H.J van Schravendijk

13

Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana,( Jakarta : Raja Grafindo Persada 2002), Hal 67 – 68

(9)

dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin, dalam bukunya "Hukum Pidana". Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUD'S 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)].

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.

Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana I". Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana.

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk dalam bukunya "Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia".

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3). 7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam: berbagai tulisan beliau,

misalnya dalam buku Azas-azas Hukurn Pidana.

Dari istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar

(10)

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.14

Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan (aliran) dualisme:

15

1. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu “tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan yang dapat dihukum”.16 Pompe mangatakan, bahwa “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.17 Pompe mengadakan pembagian eleman Strafbaar feit atas:18 a. Wederrechtelijkheid ( unsur melawan hukum)

b. Schuld (Unsur kesalahan)

c. SubsocialeI (unsur bahaya/gangguan/merugikan)

14

Adami Chazawi, Ibid , Hal. 69.

15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi ke-2, (Medan:USU-Press, 2010) , Hal. 73.

16

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,1997) ,Hal. 174

17

Ibid, Hal. 182.

18

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana ,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Hal. 104

(11)

2. Menurut Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”.19

3. H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh Undang-undang.20

4. Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.21 Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:22

a. Harus ada suatu perbuatan manusia.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan.

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang– undang.

19

Ibid., hlm. 182.

20

Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 81

21

(12)

Jika di atas diterangkan tentang pandangan dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Ada pandangan lain yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat para ahli yang berpandangan

monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana

seperti berikut:23

1. J.E.Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan defenisi

strafbaar feit menjadi dua pengertian:

24

a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (Feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.

b. Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers,25

23

Adami Chazawi, Op.Cit, Hal. 75

24

Bambang Poernimo, Op, Cit, Hal. 91

25

Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,(Jakarta:Bina Aksara, 1987), Hal.136

sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur yang tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini ternyata defenisi tindak pidana yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa pidana juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers

(13)

hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungan dengan si pembuat. 2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

3. H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh di hukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

4. Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oeh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari simons apa sebabnya “

Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena:

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang–undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam Undang–undang, dan

(14)

c. Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechmatige

handeling.26

5. Menurut Jan Remmelink,27

6. J. Baumann dalam sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

bahwa sekilas tampak bahwa membatasi pengertian “bahaya” ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum (rechtsgoederen) yang dilindungi oleh hukum.

28

Dari beberapa pendapat para sarjana diatas, maka dapat dikemukakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang baik disengaja atau tidak disengaja, yang apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan suatu peraturan yang ada maka akibat dari perbuatannya diberikan sanksi sesuai hukuman yang ada dalam peraturan tersebut.

Syarat utama penjatuhan pidana terhadap penelantaran anak adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang, hal ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya sebagai prinsip kepastian, Undang-undang pidana sifatnya harus pasti, di

26

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal. 176

27

Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama ,2003), Hal. 64 - 65

28

(15)

dalamnya harus dapat diketahui yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Pada prinsipnya tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Namun unsur-unsur tindak pidana secara keseluruhan pada umumnya dapat dibagi atas:29

Penelantaran rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga maka dapat dijabarkan bahwa unsur-unsur tindak pidana menelantarkan anak adalah:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang obyektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan:

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

30

a. Unsur kelakuan yang disebut dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah perbuatan menelantarkan dalam rumah tangga dimana kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga seharusnya memberikan

29

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002), Hal. 59

30

(16)

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut. Sedangkan unsur akibat yang ditimbulkan adalah terlantarnya rumah tangga yang telah dibangun atas dasar kesepakatan dalam ikatan pernikahan.

b. Unsur hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan menurut beberapa penulis Belanda berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan strafbaar feit, sekalipun tambahan. Sehingga unsur ini lebih condong untuk memandangnya sebagai elemen perbuatan pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. Untuk hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan penelantaran istri adalah suami tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada istri maupun anak.

c. Untuk unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana dalam Pasal 9 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tidak mengatur hal-hal yang dapat memberatkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penelantaran istri maupun anak.

d. Tindakan penelantaran dalam rumah tangga setelah keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah menjadi perbuatan melawan hukum pidana dimana ada sanksi pidana yang mengaturnya secara khusus dalam Undang-Undang tersebut. Unsur perbuatan melawan hukum obyektif yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah:

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

(17)

e. Unsur melawan hukum yang subyektif merupakan sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung pada bagaimana sikap batinnya terdakwa.Pengetahuan tentang sifat melawan hukum yang subyektif ini relatif belum lama, dapat disimpulkan dalam tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga yang menjadi unsur melawan hukum yang subyektifnya adalah niat suami.

2. Anak dan Penelantaran Anak

Pembicaraan tentang anak tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya instansi dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.31

1. Menurut convention on the right of the child (konvensi hak anak) pada tanggal 20 November 1989, yang telah diartikan oleh Indonesia, disebutkan dalam

Berbicara tentang anak, maka banyak dapat kita lihat beraneka ragam mengenai pengertian anak. Oleh karena itu, umur menentukan apakah seseorang tersebut dikategorikan anak-anak atau tidak. Beberapa pengertian anak menurut hukum dapat diartikan sebagai berikut:

31

(18)

Pasal 1 pengertian anak, adalah: semua orang yang dibawah umur 18 tahun, kecuali Undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal. 32

2. Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan.33

Adapun beberapa Undang-undang yang terkait tentang pengertian anak antara lain, sebagai berikut:34

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, menysaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

4. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia mendefenisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

5. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia anak bekerja adalah 15 tahun.

32

Ibid, Hal. 13

33

Undang-undang no 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat ( 1 ).

34

Adi Supeno, kriminalisasi Anak ( Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa

(19)

6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dinotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.

Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan kepentiangan usaha kesejahteraan sosial, serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi serta kematangan mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus.35

Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan dengan cara membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis attau pengamen, anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, dan jenis pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.

36

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Mengkaji mengenai masalah kekerasan bukanlah suatu hal mudah, sebab kekerasan pada dasarnya adalah merupakan tindakan agresif yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Misalnya tindakan memukul, menusuk, menendang, menampar, meninju, menggigit, semuanya itu adalah contoh daripada bentuk-bentuk kekerasan. Disamping hal-hal itu juga, kadang-kadang kekerasan merupakan tindakan yang normal, namun tindakan yang sama pada suatu

35

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Hal. 564

36

(20)

situasi yang berbeda akan disebut penyimpangan.37

Situasi dimana suatu tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai tindakan agresif dan kapan tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan normal dan situasional. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bersifat bertahan (deffense) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.38

Dalam pandangan klasik suatu tindak kekerasan (violence) menunjukan kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan Undang-undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau dapat mengakibatkan kematian pada seseorang, defenisi sangat luas sekali karena menyangkut pula perbuatan mengancam di samping suatu tindakan nyata. Namun demikian kekerasan dilihat dari persfektif kriminologi, kekerasan ini menunjukan kepada tingkah laku yang berbeda-beda baik motif maupun mengenai tindakannya seperti perkosaan dan pembunuhan.39

Kejahatan kekerasan oleh Yesmil Anwar40

37

diartikan sebagai: “Penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan

http://digilib.unila.ac.id/8890/2/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 5 September 2015 pada pukul 08.08 WIB

38

Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: PT. Ghalia, 2002), Hal. 11

39

Romli Atmasasmitha, Teori & Kapita Selekta Kriminolog, (Bandung: PT. Eresco, 1992), Hal. 55.

40

Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosio cultural

(21)

memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak”.

Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan:41

F. Metode Penelitian

“Perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. Menurut penjelasan ini, kekerasaan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.”

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bambang Sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya ilmiah ada beberapa 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu:

1. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di

41

(22)

perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).42

2. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian huku m non doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Atau yang disebut juga sebagai Socio Legal Research.43

Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis penelitian

Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier serta menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu “Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”

2. Sumber Data

Data dalam penelitian dapat diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer terdiri dari bahan-bahan hukum yang

undangan, catatan-catan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah:

1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945

42

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ), Hal. 81

43

(23)

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga

4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentamg Hak Asasi Manusia

5. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6. Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn 7. Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap

b) Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen–dokumen resmi44

c) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan Iain-lain.

, jadi bahan hukum sekunder ini bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, dalam hal ini bahan acuan yang berisikan informasi tentang bahan primer yaitu berupa tulisan / buku yang berkaitan tentang penelantaran anak

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yaitu penelitian terhadap

44

(24)

literatur–literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan perkerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal, dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.45

G. Sistematika Penulisan

Dari hasil analisis ini diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan serta memberikan saran seperlunya. Dalam penulisan skripsi ini, data yang dianalisis adalah dengan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisa data–data dan diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan atas hal-hal yang terkait dalam penulisan skripsi ini.

Agar terdapat suatu alur pemikiran yang tertip dan teratur secara sistematis maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas lima bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab awal yang akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Dimana bab ini akan memuat dan menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang, perumusan masalah,

45

(25)

tujuan dan manfaat masalah penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: BENTUK - BENTUK DAN FAKTOR - FAKTOR

PENELANTARAN ANAK

Bab ini akan membahas tentang bagaimana bentuk-bentuk dan faktor-faktor yang terjadi pada penelanataran anak.

BAB III: KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN PENELANTARAN ANAK

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang ketentuan-ketentuan yang terkait dengan penelantaran anak seperti ketentuan penelantaran anak menurut KUHP, penelantaran anak menurut UU No. 39 Tahun 1999, penelantaran anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002, dan penelantaran anak menurut UU No. 23 Tahun 2004.

BAB IV: PENERAPAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK ( STUDI PUTUSAN NO: 2632 PID.B/2013/PN-MDN DAN PUTUSAN NO: 498 PID.B/2014/PN-RAP )

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang penerapan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak ( studi putusan no: 2632 pid.b/2013/pn-mdn dan putusan no: 498 pid.b/2014/pn-rap )

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab akhir dimana akan dirumuskan mengenai kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang timbul. Kemudian dari hasil penulisan tersebut akan diakhiri dengan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pigmentasi gingiva terhadap pekerja pengasapan ikan di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara,

KETERKAITAN JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN FIP IKIP PADANG DENGAN LAPANGAN KERJA.. DI SUMATERA BARAT

Terdiri dari dari empat atau semua atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim

This study is intended to identify the elements of noun phrase, the types of noun phrases which mostly occur in the football news and the average length of those noun

Lantaran bilangan pelajar-pelajar yang diambil bagi mengikuti program Sarjana Muda Pendidikan Teknik dan Vokasional ini adalah sebahagian daripada usaha untuk memenuhi

Untuk info lebih lengkap mengenai tarif dan bea masuk gula, dapat dilihat di website Directorate General of Costum Taiwan , dengan memasukan 1703 atau 1704 (yang

2. Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penyuluhan. Fasilitas ini juga menentukan kenyamanan dalam penyampaian penyuluhan baik dari pemberi materi maupun

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk nitrogen dan kompos jerami memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap rata-rata jumlah