• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan sosial yang terjadi di berbagai negara. Salah satunya di negara berkembang seperti Indonesia. Pengaruh tersebut ditenggarai mengubah arah gerak manusia di berbagai sektor kehidupan, baik meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Tak jarang pengaruh yang menyebabkan perubahan sosial tersebut telah melibatkan manusia secara global, termasuk anak sebagai individu yang memiliki hak yang sama sebagai manusia sekaligus warga negara. Namun, permasalahan yang menyangkut anak, seperti kekerasan dalam pola asuh, tontonan komersial yang kurang mendidik, kasus kekerasan pada anak secara fisik maupun psikis, isu trafficking, eksploitasi anak, pelecehan seksual, Anak Bermasalah dengan Hukum (ABH) hingga kasus anak terjerat narkoba, hingga kini tak kunjung usai untuk diselesaikan. Berbagai permasalahan tersebut, telah menyebabkan lingkungan menjadi tidak responsif bagi anak.

Kondisi demikian, menjadi satu gambaran bahwa kepentingan anak masih menjadi aspek yang terpinggirkan dalam kehidupan. Kenyataan ini pun menegaskan bahwa tidak hanya orang tua dan masyarakat saja yang dirugikan. Melainkan juga negara. Bila hal tersebut terus terjadi, tidak disangsikan bahwa aspek tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa akan mengalami kemunduran. Mencermati hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menangani berbagai permasalahan menyangkut anak melalui Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights

(2)

2

of the Child) yang kemudian dikenal dengan Konvensi Hak Anak. Konvensi tersebut menjadi bagian dari Hukum Internasional yang bersifat mengikat bagi setiap negara peserta. Tujuan utamanya ialah, negara berkewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak anak dengan mengacu pada beberapa prinsip umum yakni : tindakan non-diskriminasi, memprioritaskan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan kelangsungan hidup, perkembangan pada anak, serta memberikan apresiasi pada pendapat yang dikemukakan oleh anak.

Sebagai bentuk tindak lanjut atas tingginya permasalahan dan kasus pada anak di Indonesia, melalui Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta (2012), pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) telah menetapkan program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) pada tahun 2015 yang mengacu pada beberapa bidang pokok. Bidang-bidang tersebut mencakup beberapa hal berikut, yakni : (1). Promosi hidup sehat ; (2). Penyediaan pendidikan berkualitas ; (3). Perlindungan pada anak terkait perlakuan salah ; (4). memerangi HIV/AIDS.

Hingga akhirnya, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagai dasar hukum bagi kehidupan anak di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengakomodir berbagai bidang pokok program PNBAI serta sarana dalam menyikapi berbagai realitas permasalahan yang terjadi pada anak. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah pun berupaya membentuk Kota Layak Anak dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 mengenai aturan Kebijakan/Kota Layak Anak. Tujuannya sebagai bentuk realisasi dari progam PNBAI serta Undang-undang No 23 Tahun 2002. Dimana, Kota Layak Anak menjadi sarana dalam mempercepat

(3)

3

pemenuhan hak anak sekaligus memberikan perlindungan kepada anak selaku warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara.

Dalam Draft RAD KLA Kota Yogyakarta tahun 2012 menyebutkan bahwa saat ini proporsi anak yang tinggal di perkotaan telah mencapai 43,42 % dengan pertumbuhan jumlah anak Indonesia yang mencapai 4,4 % pertahunnya. Jumlah ini menjadi salah satu bukti bahwa anak memiliki muatan kepentingan yang sama sebagai warga negara untuk mengakses kehidupan. Dalam pelaksanaannya, Kota Layak Anak mengacu pada 5 kluster hak anak yang perlu dipenuhi nantinya : pertama, hak kebebasan, kedua hak anak untuk mendapatkan lingkungan dan pengasuhan alternatif, ketiga hak anak untuk mendapatkan kesehatan dasar serta kesejahteraan, keempat, hak mendapatkan pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya serta kelima, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus.

Sementara saat ini, sebuah sumber online (www.setkab.go.id, 2012) menyebutkan bahwa pemerintah telah memfasilitasi setidaknya 60 Kabupaten/Kota untuk menjadi Kota Layak Anak dan 40 Kabupaten/kota diantaranya telah berjalan secara mandiri. Artinya, pembentukan Kota Layak Anak tersebut tidak lagi menjadi bagian dari pilot project pemerintah yang penggunaan anggarannya langsung dari APBN, melainkan menjadi tanggungan dari pemerintah daerah dengan mengalokasikan dana APBD untuk membentuk wilayahnya menjadi Kota Layak Anak berdasarkan indikator yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini turut serta mengambil bagian secara mandiri untuk merealisasikan Kota Layak Anak di wilayahnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Yogyakarta merupakan salah satu kawasan dengan tingkat pertumbuhan migrasi yang tinggi serta wilayah

(4)

4

yang strategis dalam menumbuhkan iklim pendidikan dan ekonomi bagi anak dan warganya. Akan tetapi, kondisi ini justru disinyalir akan menimbulkan tekanan dan permasalahan baru yang lazimnya terjadi pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Penyediaan pelayanan dasar seperti : perumahan, pendidikan, kesehatan, dan peluang untuk kerja dirasakan semakin terbatas. Terlebih, pertumbuhan tersebut diiringi oleh laju bertambahnya penduduk pada kategori anak berusia 0-18 tahun yang rentan memiliki masalah sosial yang umumnya terjadi. Karenanya, anak-anak kerap menghadapi resiko kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, maupun ditempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.

Disamping itu, tekanan kehidupan dengan alasan ekonomi serta pengaruh lingkungan dinilai menjadi latar belakang tingginya permasalahan yang terjadi pada anak. Modernitas dan pengaruh iklim ekonomi industri telah memberikan tekanan pada faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial bagi manusia. Temuan data dari Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak DIY yang diakses melalui (www.republika.co.id, 2012) menjelaskan bahwa Kota Yogyakarta menempati peringkat teratas kasus kekerasan pada perempuan dan anak di tahun 2010 dan 2011.

Data dari Komisi Perlindungan Anak menurut UCAN Indonesia (2012) menyebutkan bahwa tahun 2009, kekerasan pada anak mencapai angka 1.552 kasus, sedangkan di tahun 2010 terdeteksi sebanyak 2.335 kasus yang ditemukan, hingga pada tahun 2011 mengalami kenaikan mencapai 2.508 kasus. Pihak Komisi Nasional Perlindungan Anak menjelaskan bahwa pada tahun 2011 kekerasan yang terjadi banyak dilakukan oleh orang tua kandung dengan persentase sebesar 44,32 %, teman

(5)

5

25,9 % , tetangga 10,9 %, orang tua tiri 9,8 %, guru 6,7 % dan saudara 2 %. Lebih lanjut, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) menyatakan bahwa kekerasan pada anak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain : (1). Disfungsi peran orang tua dalam keluarga yang berdampak pada pertikaian dan broken home ; (2). Pandangan yang keliru mengenai posisi anak dalam keluarga ; (3). Ketidakstabilan emosi pada orang tua sehingga kemarahan kerap kali menyasar pada anak ; (4). Faktor ekonomi dan kemiskinan yang dinilai sangat rentan sebagai penyebab kekerasan pada anak. Untuk itu, agar iklim yang terbentuk dapat kondusif, perhatian pemerintah Kota Yogyakarta terhadap wilayah agar dapat layak terhadap anak menjadi satu hal penting untuk diwujudkan.

Berdasarkan temuan yang terjadi, permasalahan pada anak tentu saja mencuri perhatian yang besar bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya. Untuk itu, sebagai sarana dalam merealisasikan hak anak dan meminimalisir berbagai permasalahan yang melibatkan anak, Pemerintah Kota Yogyakarta, melalui KPMP (Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan) memandang bahwa pemenuhan hak anak dapat diupayakan melalui unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga dan lingkungan sosial anak. Untuk kemudian berlanjut pada basis kelompok masyarakat yang lebih luas melalui struktur kelembagaan yang lebih tinggi di suatu wilayah.

Keluarga dipandang menjadi komponen penting dalam membentuk kebutuhan secara fisik, spriritual, emosi, dan intelektual pada anak. Namun, struktur sosial lainnya di level yang lebih tinggi seperti RW memiliki peran yang jelas tidak dapat dikesampingkan. Rukun warga atau RW memegang peran penting setelah keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan Hak Anak. Karena pada level ini,

(6)

6

relasi antara keluarga dan masyarakat akan dibingkai dalam tatanan sosial yang lebih kompleks. Sehingga dapat menjadi ruang sosial dalam memberikan pengaruh, kesadaran dan pengetahuan mengenai Hak Anak yang secara timbal balik dimiliki oleh keluarga dan masyarakat.

Pada tahun 2010 melalui peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, pemerintah Kota Yogyakarta merintis Pilot Poject Kampung Ramah Anak sebagai pengembangan Kota Layak Anak yang saat ini tengah direalisasikan di Kota Yogyakarta. Program ini menjadi satu-satunya pengembangan Kota Layak Anak di Indonesia yang menggunakan kelompok RW (Rukun Warga) di wilayah Kampung sebagai basisnya. Melalui pengembangan ini, diharapkan Kampung Ramah Anak menjadi sarana dalam memberikan ruang yang responsif terhadap Hak Anak sesuai dengan program PNBAI dan UU No 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Perempuan dan Anak.

Dalam realisasinya, pilot project Kampung Ramah Anak telah dikembangkan di dua wilayah Kampung di Kota Yogyakarta yakni : di RW 11 Kampung Badran dan RW 7 Kampung Dagaran. Bila ditinjau secara geografis dan sosiologis, terdapat karakteristik dan perbedaan yang nyata dari dua kampung tersebut. Bila Kawasan Dagaran RW 7 merupakan kawasan padat penduduk yang jauh dari bantaran sungai, tidak demikian halnya dengan wilayah RW 11 Kampung Badran. Wilayah RW 11 Kampung Badran memiliki posisi geografis yang berada di dekat bantaran Sungai Winongo dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.

Lazimnya kawasan yang terletak di dekat bantaran sungai, Kampung Badran menjadi pilihan tempat tinggal bagi para kaum urban yang bermigrasi ke wilayah

(7)

7

Kota Yogyakarta. Sebagai kaum urban, mereka umumnya mengadu nasib dengan melakoni pekerjaan yang tidak tetap di sektor informal perkotaan. Sehingga kelompok masyarakatnya memiliki kategori penghasilan menengah ke bawah dengan rata-rata pendidikan yang masih minim. Disamping itu, bertempat tinggal di wilayah bantaran sungai menjadi pilihan utama karena akses air sebagai sumber kehidupan dirasa lebih murah diperoleh serta harga tanah dan sewa rumah relatif terjangkau. Meskipun bentuk dan tata letak bangunan tidak tertata secara teratur. Namun, oleh penduduk, hal ini tetap saja dianggap mampu mengakomodir kehidupan masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.

Inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kampung di wilayah pinggir sungai kerap diidentikkan sebagai wilayah kumuh yang erat dengan potret kemiskinan. Serta dianggap bersinggungan dengan masalah sosial yang rentan menimpa anak. Disamping itu, aspek sejarah yang melekat sejak lama di Kampung Badran telah memberikan image negatif yang melekatkan nama Kampung Badran sebagai Kampung Preman di era tahun 1970-an. Hingga kini, stigma tersebut belum dapat pudar dan masih dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang bermukim di Kampung Badran. Permasalahan dalam fenomena tersebut, lantas dilihat oleh pemerintah kota melalui KPMP sebagai celah dalam memperbaiki wilayah Badran secara umum. Bergulirnya program kampung ramah anak, dinilai menjadi suatu terobosan yang dapat merekonstruksi kondisi sosial dan anak di wilayah tersebut. Sebagai bentuk kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah, program Kampung Ramah Anak telah melalui proses dan tahapan panjang agar implementasinya responsif terhadap warga di RW 11 Kampung Badran.

(8)

8

Meski demikian, sebagai sebuah implementasi program, Kampung Ramah Anak tidak lepas dari beragam permasalahan. Realitas yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa nilai sejarah serta kemajemukan kondisi sosial, ekonomi, budaya yang dialami oleh masyarakat di RW 11 Kampung Badran telah menyajikan ruang bagi warganya untuk mengkonstruksi dan memberikan makna secara subyektif terhadap keberadaan Kampung Ramah Anak saat ini. Hal ini senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Berger dan Luckhman (1990) bahwa suatu fenomena yang terjadi pada masyarakat, tidak terlepas dari suatu sejarah yang khas, sehingga keberadaannya tidak dapat digeneralisir begitu saja melalui narasi besar. Melainkan terjadi melalui proses dialektis yang berjalan secara simultan dengan basis pengetahuan akal sehat serta realitas yang akhirnya diproduksi sebagai produk sosial baru dalam masyarakat yang bersangkutan. Konstruksi sosial dan makna menjadi sebuah realitas yang terakumulasi oleh adanya pengetahuan dan pengalaman kehidupan dari warga masyarakatnya. Sehingga dalam implementasi Kampung Ramah Anak yang terjadi, proses dialektis terhadap realitas akan berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan. Serta keberadannya tidak dapat dilepaskan dari beragam peran aktor, pengetahuan dan proses interaksi sosial, sosialisasi dan tindakan subyektif yang dilakukan oleh masyarakatnya.

Sejauh ini, seringkali program yang hadir dalam masyarakat merupakan kepanjangan tangan dari program pemerintah yang dipaksakan untuk direalisasi. Hak Anak yang menjadi indikator dalam program Kampung Ramah Anak, telah mengalami kondisi dilematis dengan kenyataan sosial yang terjadi. Meskipun dalam tataran teori masyarakat seringkali ditempatkan sebagai subjek dna objek. Namun,

(9)

9

membentuk realitas sosial baru di wilayah kampung, tidak akan pernah lepas dari kondisi sosial dan budaya di wilayah tersebut.

Berangkat dari hal tersebut, selama ini penelitian dengan pendekatan kualitatif mengenai konstruksi dan makna kampung ramah anak memang belum tersedia. Penelitian yang ada cenderung mengarah pada evaluasi pelaksanaan program Kota Layak Anak yang dilakukan melalui pendekatan kuatitatif. Pada penelitian kali ini, permasalahan mengenai konstruksi dan makna menjadi kajian menarik untuk diteliti. Hal ini karena, penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan berpijak pada perspektif konstruksi sosial dan makna yang lahir dari sudut pandang warga selaku subjek dan objek program yang tengah diimplementasi. Sejauh mana konstruksi warga mengenai kampung ramah anak yang selama ini telah diidealisasi dalam program. Konstruksi sosial menjadi suatu proses yang berlangsung secara dialektis dan bertujuan membangun pengetahuan dan realitas yang tengah terjadi. Sedangkan makna dalam konstruksi sosial hadir dalam setiap kenyataan subyektif yang ada dalam diri individu. Kenyataan subjektif yang berbeda-beda tersebut nantinya akan menyebabkan keberagaman dalam makna yang dibentuk oleh individu mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 di Kampung Badran mengenai program“Kampung Ramah Anak”?

(10)

10

2. Bagaimana warga memaknai “Kampung Ramah Anak” yang di Implementasikan di RW 11 Kampung Badran, Yogyakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memahami konstruksi sosial mengenai Kampung Ramah Anak yang dilakukan oleh warga RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.

2. Untuk menganalisis konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran terkait dengan pelaksanaan Program Kampung Ramah Anak di wilayah Badran.

3. Untuk memahami makna Kampung Ramah Anak bagi warga RW 11 Kampung Badran, Yogyakarta.

1.4. Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis

1. Memberikan pemahaman secara utuh mengenai konstruksi sosial dan makna yang dibangun oleh warga masyarakat RW 11 mengenai Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.

2. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama di bidang ilmu sosial. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan yang relevan untuk penelitian sejenis di masa mendatang.

B. Manfaat Praktik

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada pembaca. Sehingga, para pembaca mampu memahami konstruksi sosial dan makna yang dibangun

(11)

11

oleh masyarakat RW 11 mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.

2. Memberikan kajian sekaligus pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan yang berkaitan dengan Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran maupun Kampung lainnya yang akan mengimplementasikan program Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta.

1.5 Penelitian Terdahulu

Kota Layak Anak menjadi salah satu kebijakan program yang dinilai strategis dalam menjamin kesejahteraan pada anak. Keberlangsungan Kota Layak Anak dalam beberapa tahun ini, telah banyak menghasilkan penelitian dan tinjauan teoritis yang hadir sebagai upaya memberikan gambaran secara holistik mengenai pelaksanaan Kebijakan Kota Layak Anak di Indonesia.

Salah satu penelitian dari Henry Purwoko (2010) mengenai Efektivitas kemitraan antar stakeholder dalam mewujudkan Kota layak anak (KLA) di Surakarta tahun 2016 menunjukkan bahwa pelaksanaan kemitraan Kota Layak Anak di Kota Surakarta dinilai belum mampu terlaksana secara efisien. Hal ini karena ketidakjelasan pada aturan dan pengelolaan jaringan kemitraan yang buruk. Sehingga memunculkan hambatan teknis pada pola komunikasi dan distribusi informasi. Komitmen dan kemauan menjadi titik point untuk membawa perubahan pada hubungan kemitraan dari seluruh stakeholder.

Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Dodi Widiyanto dan R. Rijanta (2012), keduanya menjelaskan mengenai lingkungan kota layak anak (child-friendly city) berdasarkan persepsi orangtua di kota yogyakarta. Penelitian menjelaskan

(12)

12

bahwa ada beberapa faktor dalam menganalisis kondisi lingkungan yang ramah anak. yakni, kebijakan yang dihasilkan pemerintah, kondisi lingkungan dan perencanaan untuk anak itu sendiri.

Candrika Pradipta Apsari (2011) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa dalam Pelaksanaan Kebijakan Program Kota Layak Anak di Kota Surakarta telah dilaksanakan berdasarkan Pedoman Kota Layak Anak dengan prosedur yang melibatkan : Pengumpulan baseline data, penentuan indikator, pengidentifikasian permasalahan anak, serta berbagai kegiatan dalam pelaksanaan pengembangan Kota Layak Anak hingga proses evaluasi dan monitoring. Disamping itu, dalam penelitian ditemukan hambatan dalam proses pelaksanaan pengembangan Kegiatan Kota Layak Anak di Surakarta yakni permasalahan mengenai komunikasi, serta minimnya sosialisasi kepada masyarakat hingga proses pendanaan program.

Secara umum, masalah yang diangkat dalam penelitian terdahulu, lebih banyak menyoroti pada kajian evaluasi terhadap kebijakan program Kota Layak Anak yang telah dilaksanakan di daerah tertentu dengan menggunakan perspektif dari pihak pemerintah selaku penyelenggara program. Belum sampai pada aspek kajian yang secara substantif membahas pemahaman masyarakat tatkala Kota Layak Anak terimplementasi sebagai sebuah program pemerintah. Dengan demikian, penelitian yang mengangkat permasalahan konstruksi sosial dan makna secara integratif mengenai Kampung Ramah Anak belum ada hingga saat ini. Sehingga, dianggap perlu sebagai kajian untuk memahami realitas sosial program yang diambil berdasarkan persepsi warga yang bersangkutan.

(13)

13 1.6 Definisi Konseptual

A. Kampung Ramah Anak Sebagai Implementasi Kebijakan KLA

Sebagai upaya mempercepat pemenuhan hak pada anak, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) telah berinisitif membentuk program Kampung Ramah Anak. Kampung Ramah Anak diselenggarakan di dua wilayah sebagai bentuk pilot project. Istilah Pilot project (proyek percontohan) merupakan kegiatan yang menjadikan suatu kelompok

masyarakat dalam suatu wilayah sebagai percontohan bagi kawasan lainnya, serta berjalan sesuai dengan sasaran program yang telah dibentuk dalam aturan. Implementasi kebijakan ini memuat aturan yang telah terlegitimasi secara hukum, sehingga seluruh komponen yang terlibat bersama-sama melakukan tindakan dalam mencapai tujuan kebijakan.

Dalam penerapan Kampung Ramah Anak, wilayah Kampung dianalisis sebagai satu kesatuan unit terkecil setelah keluarga untuk dapat mengakomodir berbagai indikator Kampung Ramah Anak yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan menurut UNICEF melalui Innocenty research menjelaskan bahwa kata ramah anak berarti menjamin kondisi anak beserta haknya dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, Kampung Ramah Anak dapat didefinisikan sebagai tempat memberikan ruang interaksi agar masyarakat lebih mudah dalam sosialisasi dan pembangunan kesadaran mengenai hak-hak pada anak. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kota Layak Anak Kota Yogyakarta (2012:113) menjelaskan bahwa : Kampung ramah anak adalah satuan program yang dilakukan oleh warga yang tergabung dalam rukun kampung berupa usaha pemenuhan hak sipil anak untuk memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi realistik menuju kampung yang mampu memberi kenyamanan, layak huni, dan layak kembang dengan dasar kesehatan, pendidikan serta

(14)

14

perlindungan hukum berdasarkan inisiatif mandiri. Program ini dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan rukun wilayah dan rukun tetangga sebagai pemenuhan kebutuhan dasar hidup.

Seperti halnya Kota Layak Anak, pengembangan program Kampung Ramah Anak yang hadir di RW 11 Kampung Badran memiliki landasan hukum yang meliputi aturan sebagai berikut :

1. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.

2. Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak- hak anak (Convention on The Rights of The Child)

3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.

4. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.

Disamping itu, dalam usaha membentuk Kampung Ramah Anak, ada prasyarat penting yang perlu dipenuhi. yakni : Adanya komitmen pengambil kebijakan di tingkat lokal dan inisiatif dari masyarakat yang bersangkutan. Setelah kedua hal tersebut dipenuhi, Ifa Aryani (LSPPA, 2012) menjelaskan bahwa ada beberapa langkah dalam pembentukan Kampung Ramah Anak yaitu :

(15)

15 Gambar 1.1

Langkah Pembentukan Kampung Ramah Anak

Sumber : Ifa Aryani (LSPPA, 2012)

Tahapan-tahapan tersebut menjadi pijakan dalam membentuk Kampung Ramah Anak agar sesuai dengan program yang telah dirancang secara berkelanjutan. Serta mencapai tujuan sesuai indikator penilaian berjenjang yakni tingkatan pratama, madya, nindya, utama dan berakhir pada, kampung ramah anak sebagai tingkat yang ideal. Setelah semua dipenuhi, pengembangan Kampung Ramah Anak akan berlanjut pada tataran yang lebih masif yakni tingkat kecamatan dan berakhir pada penguatan tujuan utama Kota Layak Anak itu sendiri.

Kampung ramah anak merupakan wujud nyata peningkatan kepedulian yang menjamin pemenuhan anak di tingkat kampung serta memastikan upaya memberikan perhatian pada kebutuhan aspirasi, perhatian, serta penghargaan pada anak tanpa adanya diskriminasi (RAD KLA Yogyakarta, 2012 : 3). Hal ini sesuai dengan tujuan dasar dari program Kampung Ramah Anak yang merupakan bentuk tindak lanjut Kota Yogyakarta menuju Kota Layak Anak serta dapat menemukan isu

Sosialisasi Kebijakan Kota Layak Anak

Membangun komitmen bersama Focus Grup Discussion Pembentukan gugus tugas Kampung Ramah Anak dan

Forum Anak Workshop penyusunan program kegiatan Pendampingan Monitoring dan Evaluasi

(16)

16

strategis mengenai anak sekaligus memecahkannya dengan kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan dan perlindungan anak.

Disamping itu, dalam Rencana Aksi Daerah KLA Yogyakarta (2012 : 3) juga menyebutkan bahwa Kampung Ramah Anak diharapkan dapat mempercepat proses pemenuhan hak anak. Sehingga wilayah yang bersangkutan diharapkan layak secara fisik maupun non fisik dalam memenuhi kebutuhan dan hak-hak pada anak. Pembangunan kampung ramah anak diharapkan dapat menyatukan komitmen dan sumber daya kampung, masyarakat dan dunia usaha yang berada di kampung untuk dapat menghormati, menjamin dan memenuhi hak anak, melindungi anak dari tindakan kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan diskriminasi dan mendengar pendapat anak yang direncanakan secara sadar, menyeluruh dan berkelanjutan.

Untuk mencapai itu semua, diperlukan adanya peran serta pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk menciptakan sebuah kebijakan yang berpihak terhadap anak. Adapun wujud kebijakan tersebut berupa sarana dan prasarana penujang fisik bagi anak dan aktivitas wilayah dengan program kegiatan kampung ramah anak yang bertujuan memenuhi hak-hak pada anak (Rencana Aksi Daerah KLA Yogyakarta, 2012 : 3).

Sebagai langkah awal, pada tanggal 22 Juli 2010 diadakan launching Kampung Badran Menuju Kampung Ramah Anak oleh Walikota Kota Yogyakarta di RW 11 Kampung Badran. Menurut Ifa Aryani (2012), dipilihnya Kampung Badran dan sebagai pilot project pengembangan Kampung Ramah Anak tidak lepas dari pertimbangan berikut :

1. Jumlah anak yang cukup signifikan hingga mencapai angka 275 anak dengan kategori usia 0-18 tahun. Anak-anak tersebut hidup dan tumbuh dengan latar

(17)

17

belakang kehidupan sosial-budaya yang beragam. Sehingga diharapkan dapat menjadi contoh untuk wilayah lain dalam penerapan sekaligus pendampingan program ke depan.

2. Adanya motor penggerak dalam rangka memotivasi wilayah bersama-sama dengan lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah.

3. Di Kampung Badran RW 11 Kelurahan Bumijo terdapat bibit lembaga yang memiliki potensi untuk dapat ikut serta berperan dalam pemenuhan hak anak. 4. Adanya dukungan para pihak, baik dari kecamatan, kelurahan, dunia usaha,

organisasi masyarakat di wilayah yang dinilai antusias kegiatan ini.

5. Kampung Badran mewakili zona utara yang memiliki lokasi padat penduduk dan letaknya dekat dengan bantaran sungai Winongo. Sehingga banyak warga pendatang dengan variasi kelas yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke bawah datang. Alhasil, dengan kondisi ekonomi dan sosial yang tidak memadai, maka hal tersebut, disinyalir memiliki kaitan terhadap perlakuan pola asuh orang tua pada anak-anaknya.

Untuk membantu pelaksanaan kegiatan Kampung Ramah Anak, KPMP membentuk gugus tugas kota layak anak. Gugus tugas Kota Layak Anak merupakan institusi yang dibentuk sebagai sarana dalam merumuskan konsep dan pengembangan Kampung Ramah anak serta menjalin interaksi sosial melalui mekanisme bottom-up dalam merealisasikan kampung ramah anak sebagai unit dasar pembentukan Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta. Dalam merealisasikan Kampung Ramah Anak, maka gugus tugas Kota Layak Anak lantas melakukan 3 tahapan berikut : 1). Tahapan pertama di tahun 1 mengambil fokus pada sosialisasi Program Kegiatan Kampung Ramah Anak di wilayah sasaran, 2). Tahapan kedua di

(18)

18

tahun 2 mengambil fokus pada pelembagaan meliputi : Penguatan kelembagaan Kampung Ramah Anak, workshop kampung ramah anak yang bertujuan untuk membangun sistem dan jaringan sosial, monitoring, evaluasi dan pelaporan pendampingan, 3). Tahapan ketiga di tahun 3 berfokus pada kemandirian yang berupa : pemantapan program, monitoring, evaluasi dan pendampingan, menjadi pendamping bagi kampung lain di sekitarnya untuk menuju kampung ramah anak.

Selanjutnya, pada proses pendampingan dan pembinaan, dilakukan secara berkelanjutan dengan jangka waktu selama 2 tahun atau sesuai dengan kebutuhan wilayah. Meskipun demikian, dalam kurun waktu tersebut pendampingan dapat dihentikan dengan alasan berikut : 1). Hilangnya komitmen dari masyarakat pada program Kampung Ramah Anak, 2). Tidak ada tindak lanjut atas rencana kegiatan yang sudah disepakati dengan tim pendamping, 3). Tidak menyampaikan laporan kemajuan kegiatan, 4). Alokasi bantuan dana yang diberikan tidak sesuai dengan peruntukan dan tujuan yang telah disepakati.

Dalam Buku Pedoman Kampung Ramah Anak Kota Yogyakarta (2012) dijelaskan bahwa proses pembinaan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memastikan pelaksanaan kegiatan dan komitmen masyarakat dalam mewujudkan kampung ramah anak. Pembinaan dilaksanakan untuk dapat memberikan solusi yang berguna dalam mengatasi permasalahan anak. Sekaligus bentuk pengoptimalan pelaksanaan program kegiatan di Kampung Ramah Anak. Proses pendampingan dilaksanakan oleh tim pendamping Kota Layak Anak dan tim pendamping Kampung Ramah Anak. Pelaksanaan Pembinaan dilakukan dengan cara berikut : analisa laporan, koordinasi dan kunjungan lapangan. Hasil pendampingan digunakan sebagai masukan bagi pembinaan selanjutnya.

(19)

19

B. Kluster Hak Anak Sebagai Indikator Kampung Ramah Anak

Dalam pengembangan Kebijakan Kota Layak Anak, pelaksanaannya tidak lepas dari hak dasar pada anak yang menjadi lokus penting dalam pemenuhan hak anak. Lokus tersebut lahir melalui Konvensi Hak Anak yang kemudian dijabarkan ke dalam kluster yang memuat : kepentingan terbaik bagi anak, sikap nondiskriminasi, hak kelangsungan hidup, hak untuk hidup bagi anak dan penghargaan pada hak anak. Dari kluster tersebut lantas memuat indikator yang menjadi tolak ukur dalam melihat tindakan warga RW 11 Kampung Badran dalam memenuhi Hak Anak. Pemerintah Kota Yogyakarta bekerjasama dengan gugus tugas kota layak anak melakukan kontrol sosial dari masing-masing indikator yang ada dalam memenuhi hak anak. Hak anak yang dimaksud merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh orang tua, masyarakat dan pemerintah kepada anak. Dengan demikian, anak akan terhindar dari diskriminasi, memiliki perlindungan khusus, serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan. Hal ini penting guna tercapainya pemenuhan hak anak secara mendasar. Keberadaan Hak Anak merupakan salah satu upaya yang terintegrasi untuk mewujudkan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) di seluruh wilayah di Indonesia. Di wilayah RW 11 Kampung Badran, hak anak berpijak pada 5 kluster yang telah ditetapkan pemerintah serta dijabarkan ke dalam 61 indikator hak anak. Kluster tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Hak Sipil dan Kebebasan

Hak Sipil dan kebebasan ditandai dengan hak untuk mendapatkan hidup serta kebebasan berdasarkan hukum yang berlaku. Disamping itu, hak kebebasan ditandai dengan memberikan ruang kepada anak untuk dapat mengutarakan pendapat, gagasan dan pikiran melalui berbagai forum kegiatan. Seperti yang telah dijelaskan

(20)

20

UUD 1945 Pasal 28 mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat serta berkumpul bagi warga negara. Upaya merealisasikan hak anak tersebut ditandai dengan keberadaan Forum Anak Kota (FAKTA) sebagai salah satu wadah aspirasi anak dalam mengaktualisasikan diri, Pengadaan Profil Anak di setiap wilayah, Kartu Identitas Anak (KIA), Partisipasi anak dalam berbagai kegiatan wilayah, Pembentukan kelompok anak berdasarkan minat dan bakat, hak anak untuk memperoleh Akte Kelahiran.

2. Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif

Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif menitikberatkan pada upaya peningkatan kesadaran pada anak mengenai usia perkawinan dan kesehatan reproduksi. Sehingga diharapkan dapat bersinergis dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) yang ada dimasing-masing daerah untuk mendampingi anak yang bermasalah dengan hukum, kasus pernikahan dini, anak miskin, anak berkebutuhan khusus dan lain-sebagainya.

3. Hak mendapatkan Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan

Hak untuk mendapatkan kesehatan dasar dan kesejahteraan menitikberatkan pada pemenuhan hak anak untuk mendapatkan gizi, ASI ekslusif, hak tumbuh kembang, imunisasi, layanan posyandu, serta menciptakan kawasan bebas asap rokok, hingga upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi sekaligus pendampingan bagi ibu hamil dan menyusui.

4. Hak memperoleh Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni Budaya

Pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar dalam pembangunan suatu negara. Oleh sebab itu, hak pendidikan pada anak selaku generasi penerus bangsa,

(21)

21

perlu menjadi agenda dan prioritas utama. Salah satunya dapat merujuk pada kegiatan pemenuhan hak anak untuk dapat mengakses pendidikan baik di tingkat formal dan informal, mengikuti wajib belajar 12 tahun, penyediaan sarana dan prasarana untuk menunjang pendidikan dan penyediaan ruang bermain yang layak bagi anak, pendidikan alternatif, PAUD dan lain sebagainya.

5. Hak Mendapatkan Perlindungan Khusus

Pada indikator ini, pemenuhan hak anak untuk memperoleh perlindungan khusus ditandai dengan pendampingan pada anak yang bermasalah secara hukum, penyelesaian kasus terhadap anak korban kekerasan, eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang terlibat narkoba, serta pendampingan bagi anak korban bencana alam yang terjadi di suatu wilayah.

1.7 Kerangka Teoritik

A. Fenomenologi Alfred Schutz

Dunia mengandung realitas sosial yang memiliki pola, struktur sosial dan berbagai perangkat tatanan yang menunjang kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Untuk memahami hal tersebut, pendekatan dalam teori sosiologi terus berupaya menafsirkan realitas yang mengandung bagian-bagian tersebut agar dapat dimaknai secara bersama oleh individu. Dalam menafsirkan realitas, salah satu pendekatan yang digunakan ialah fenomenologi. Secara istilah fenomenologi berasal dari kata Phainoai yang berarti „menampak‟ dan phainomenon merujuk pada „yang menampak‟. Fenomenologi dipelopori oleh Edmund Husserl. Ia telah merefleksikan pemikiran Weber secara filosofis melalui pendekatan fenomenologi. Bagi Husserl fenomenologi merupakan upaya dalam mempelari fenomena yang melibatkan

(22)

22

manusia dalam kehidupan, tanpa harus mempertanyakan substansi dasar penyebab terbentuknya realitas. Sehingga, Husserl memandang bahwa fenomenologi merupakan metode analisis secara transedental dalam mengkaji sesuatu yang hanya muncul dipermukaan.

Ide tersebut masih terbilang abstrak untuk dipahami. Realitas yang terjadi tidak mungkin dimengerti tanpa mempertanyakan substansi sebagai asal muasal suatu realitas. Hingga kemudian, fenomenologi Husserl menarik minat Alfred Shuctz untuk menjembatani tradisi fenomenologi filsafat yang dibawa oleh Edmund Husserl menuju fenomenologi yang dirasa lebih memberikan makna dalam kehidupan. Meskipun pada mulanya, Shutz sendiri bukanlah seorang sosiolog, ia seorang bankir yang menaruh minat dalam dunia pendidikan.

Pemikiran schutz sangat kental dengan pengaruh weberian dan fenomenologi Husserl. Ia berhasil menjembatani fenomenologi transedental yang telah dikemukakan oleh Husserl dan pengaruh tindakan dalam perspektif weberian. Serta membawa fenomenologi menemukan metode analisis yang dapat diaplikasi dalam penelitian secara empiris. Menurutnya, peranan fenomenologi dalam tataran praxis dapat dilakukan melalui pengamatan yang dilakukan terhadap pola perilaku dan relasi sosial dalam masyarakat. Subyektifitas dari aktor dipandang penting dalam membuat objek memiliki makna (Salim, 2006 : 169).

Shutz juga menyatakan bahwa dunia realitas sosial memuat intersubyektif (kesadaran bersama) yang hadir melalui stock of knowledge yang akan melahirkan tindakan subyektif bagi individu. Melalui pengetahuan yang hadir dalam akal sehat individu, maka dari sanalah akan muncul sistem kontruksi yang dinilai memiliki karakteristik tertentu. Dalam stock of knowledge tersebut, mengandung beberapa

(23)

23

unsur yang sifatnya mengikat yakni : makna (meaning), intensitas, waktu, serta isi yang mengandung content isi. Unsur-unsur tersebut merupakan bentuk tipifikasi yang akan menghasilkan realitas secara intersubyektif. Tipifikasi merupakan pengkategorian tanda dalam mengarahkan manusia untuk mendekati realitas secara objektif. Sehingga, manusia dapat menyadari dunia yang dibentuk secara bersama melalui kesadaran intersubjektif. Kesadaran intersubjektif merupakan kesadaran yang muncul sebagai penerimaan secara bersama realitas objektif yang terjadi.

Shutz juga menjelaskan bahwa keberadaan pengalaman di dalam maupun diluar individu dengan beragam sistem yang melekat secara sosial merupakan tipifikasi yang dibutuhkan dalam membentuk dunia yang intersubyektif bagi individu. Dengan demikian, hubungan tersebut akan menjadi dasar pijakan bagi schutz untuk dapat menghubungkan dunia akal sehat secara intersubyektif dengan keilmuan melalui fenomenologi sosial.

B. Perspektif Konstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas Luckhmann

Dari pemikiran Alfredz Shutz tersebut, seorang sosiolog dari New School For Social Research bernama Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann yang merupakan sosiolog dari University of Frankfrut menaruh minat yang besar dalam pengembangan fenomenologi sebagai acuan dalam melihat terbentuknya kehidupan masyarakat. Fenomenologi Shutz dijadikan pijakan dalam pengembangan teori yang berakar dari tradisi tindakan subyektif Weber dan fakta sosial Durkheim. Serta melihat masyarakat sebagai kenyataan objektif yang bersemayam sebagai realitas subyektif dalam kesadaran yang dimiliki oleh individu. Keduanya menggunakan realitas sosial dan pengetahuan sebagai dasar membentuk konstruksi sosial dalam masyarakat.

(24)

24

Pada tahun 1966, Berger dan Luckhmann menuangkan pemikiran tersebut dalam buku yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociological of Knowledge. Dalam buku tersebut, Berger dan Luckmann mencoba untuk mensintesiskan pemikiran Durkheim-parsonian mengenai struktur, Weber mengenai makna yang menghasilkan tindakan subyektif individu, Marx mengenai konsep dialektika serta Mead mengenai interaksionisme simbolik dalam proses sosialisasi. Dari proses dialektis teori-teori tersebut, Berger dan Luckhmann menghasilkan teori konstruksi sosial yang membentuk hubungan antara struktur dan individu dalam kehidupan sosial secara dialektis.

Menurut keduanya, proses sosial terjadi karena adanya hubungan objektif (struktur sosial) serta subyektif (individu) melalui proses interaksi dan tindakan subyektif dari individu. Berger memposisikan struktur sosial sebagai salah satu penyebab dari perubahan, namun ia tak mengabaikan peran individu sebagai manusia yang memiliki rasional dalam berpikir serta bertindak. Sehingga individu terus dapat menciptakan realitas secara obyektif melalui moment dialektis. Agar konstruksi sosial tersebut dapat terus terpelihara, maka dibutuhkan rangkaian secara simultan. Oleh Berger dan Luckhmann rangkaian proses tersebut dikenal dengan : objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Berikut gambaran tiga momentum dialektis menurut pemikiran Berger dan Luckhmann :

(25)

25 Gambar 1.2

Tiga momentum Simultan dalam Pemikiran Berger dan Luckhman

Sumber : Riyanto, Geger.2002. Peter L.Berger : Persepektif Metateori Pemikiran.Jakarta :LP3ES.(Hal 112)

Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckhmann, kehadiran realitas dan pengetahuan menjadi kunci dalam memahami kehidupan sehari-hari. Realitas merupakan sesuatu yang hadir sebagai fenomena yang disadari memiliki keberadaan dan karakteristik pengetahuan. Sedangkan pengetahuan merupakan kepastian bahwa fenomena yang hadir itu bersifat nyata (real) dan memiliki karakteristik spesifik (Berger, 1990:1). Kehidupan sehari-hari akan memuat realitas yang akan menghadirkan pengetahuan baru bagi masyarakat. Kehadiran pengetahuan yang secara terus menerus terakumulasi dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk common sense dalam diri individu. Menurut Berger common sense merupakan dasar pengetahuan yang dimiliki secara sadar dan bersamaan oleh individu lainnya, serta terwujud dalam kegiatan rutin yang dijalani oleh individu dalam kehidupan sehari-hari (Berger, 1990:34). Keberadaan common sense tersebut kemudian akan menjadi pengetahuan yang dapat dimiliki oleh individu secara bersama-sama dalam menjalani kehidupan.

Dimensi Struktur Sosial Keteraturan Yang Objektif

Dimensi Manusia Rasionalitas-Subyektif

(26)

26

1. Objektivasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial

Kehadiran pengetahuan dan realitas dalam kehidupan, tentu saja tidak dapat diterima begitu saja dalam diri individu. Hal ini karena individu dalam kehidupan memiliki makna subyektif yang berbeda-beda dalam memahami suatu realitas sosial. Realitas sosial merupakan kemampuan anggota masyarakat untuk dapat menyadari sekaligus memahami tindakan individu yang lahir dalam struktur sosial masyarakat. Kehadiran realitas akan berpengaruh pada makna subyektif yang diciptakan oleh individu dalam menjalani kehidupannya. Dalam sebuah masyarakat, heterogenitas makna menjadi hal yang pasti terjadi. Meskipun demikian, disisi lain, individu tentu saja dapat memaksakan makna subyektif yang hadir dalam realitas sosial tersebut. Hal ini agar realitas objektif dapat terjaga dan terpelihara sebagai suatu kenyataan yang dapat diterima secara pengetahuan dunia akal sehat yang intersubyektif. Serta dapat dijalankan dalam kegiatan rutin sehari-hari. Proses inilah yang disebut sebagai obyektivasi. Melalui dasar pengetahuan yang diobjektivasi tersebut, individu akan menghadapi realitas di luar dirinya.

Objektivasi akan membentuk realitas objektif yang hadir sebagai upaya untuk memelihara realitas sosial yang tengah dijalani. Melalui realitas objektif yang hadir dalam ruang sosial, maka aktivitas manusia akan terus diproduksi secara berulang agar dapat memenuhi kebutuhan dan aktivitas individu dalam masyarakat. Melalui produksi dan pemeliharaan aktivitas, masyarakat sebenarnya tengah membentuk tatanan sosial yang teratur. Tujuannya agar manusia mengalami transformasi dari ketertutupan–dunia secara relatif yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Sehingga berguna membuatnya berada pada kestabilan hidup. Perlu diingat

(27)

27

bahwa, tatanan sosial bukanlah kodrat dari alam, ia hadir sebagai perwujudan produk aktivitas manusia yang juga hadir sebagai representatif keadaan.

Agar realitas objektif yang terobjektivasi dapat terpelihara, maka perlu memuat pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan atau institusionalisasi, terjadi dari aktivitas yang dilakukan individu sebagai manusia, diwujudkan melalui tindakan individu yang secara berkesinambungan membentuk kebiasaan. Tindakan individu tersebut mengandung proses pengidentifikasian diri yang secara objektif berlangsung dalam diri individu. Sehingga dilakukan oleh individu dengan melibatkan dasar arti objektif pada setiap tindakan yang dilakukan.

Sedangkan legitimasi menyediakan makna yang diperlukan untuk melahirkan makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna yang sudah ada pada proses kelembagaan. Hal ini terjadi, karena makna dalam aktivitas kelembagaan tidak dapat hanya diingat, melainkan perlu rumusan yang dapat menjadi aturan bagi masyarakat. Legitimasi menjadi aturan yang memuat kekuasaan sehingga sifatnya mengikat dan “memaksa” masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan patuh dan menerima realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Disamping itu agar realitas yang terobjektivasi tersebut dapat diterima sebagai pengetahuan akal sehat intersubyketif, maka diperlukan perantaraan orang yang berpengaruh (significant others). Orang yang berpengaruh tersebut dapat disebut sebagai aktor peranan. Tujuannya agar dapat menghubungkan realitas objektif dengan budaya spesifik sebagai makna subyektif dalam diri individu. Aktor yang berperan akan melakukan proses sosialisasi dalam rangka mendistribusikan pengetahuan agar dapat ditransformasikan dalam realitas subyektif individu. Sehinga keberadaan aktor sebagai agen konstruksi berperan dalam setiap tindakan yang

(28)

28

menyangkut kelembagaan. Kehadiran aktor jelas berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan setiap aktivitas yang tengah berlangsung dalam kelembagaan. Dalam objektivasi lanjutan, realitas objektif yang terobjektivasi akan memuat signifikasi. Dalam proses signifikasi, realitas akan memuat sistem tanda yang meliputi : bahasa, gesture tubuh, artefak dan lain-lain. Sekalipun tanda memiliki makna yang sangat beragam. Namun, melalui proses signifikasi, realitas objektif diyakini dapat terpelihara serta dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui bahasa. Bahasa menjadi sarana dalam menegaskan realitas objektif secara terus menerus dan berulang. Melalui bahasa, interaksi manusia dalam objektivasi dapat terjadi. Sekaligus dapat memunculkan penilaian masyarakat terhadap perilaku yang dinilai menyimpang dari keteraturan yang telah disepakati. Sehingga membuat masyarakat menjadi bagian yang memiliki dominasi untuk memaksa dan mengarahkan individu dalam menjalani aktivitas kehidupan.

2. Internalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial

Pengetahuan akal sehat secara intersubyektif yang membentuk realitas objektif tidak hanya berhenti pada objektivasi semata. Untuk dapat diterima sebagai kesadaran bersama oleh masyarakat, realitas objektif tersebut perlu diterima oleh individu sebagai kesadaran yang memuat makna subyektif. Proses ini disebut sebagai internalisasi. Tujuannya agar apa yang diterima sebagai pengetahuan dalam masyarakat, dapat serupa diterima sebagai pengetahuan dan makna subyektif bagi individu yang lain.

Bagi Berger dan Luckhmann (1990:185) proses ini disebut sebagai pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas. Dengan demikian, manusia akan dilibatkan secara dialektis, sehingga keterlibatannya mampu memposisikan manusia

(29)

29

sebagai individu di dalam realitas objektif yang tengah berlangsung. Individu diharapkan mampu menyerap secara subjektif realitas yang dialami oleh orang lain. Disinilah internalisasi melibatkan sosialisasi sebagai sarana dalam mentransformasikan realitas yang telah terlegitimasi sebelumnya.

Sosialisasi menjadi penting untuk dilakukan kepada inividu karena manusia tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat secara langsung. Manusia membutuhkan waktu dan proses untuk dapat memahami realitas sosial yang terjadi. Sehingga membuat individu tersebut mengalami proses ontogentic, yakni membuat dirinya menjadi bagian dari masyarakat. Serta akan membawa individu untuk berjalan secara konsisten dalam dunia obyektif masyarakat. Melalui proses belajar mengenai apapun yang telah terobjektivasi. Serta menghubungkannya dalam suatu integrasi pola yang memiliki makna bagi dirinya sendiri.

Realitas yang mengalami internalisasi akan memuat sosialisasi yang terbagi menjadi dua bagian, yakni : sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer diartikan sebagai sosialisasi yang dialami oleh individu pertama kali di masa kanak-kanak, sosialisasi ini disebut juga sebagai sosialiasi tataran pertama, kehadirannya memiliki bagian yang erat dengan realitas sosial. Karena dunia dalam diri individu dapat terbentuk. Serta menyangkut pengenalan individu pada lingkungannya untuk pertama kali. Pada sosialisasi primer, aspek bahasa tidak dapat dikesampingkan. Bahasa merupakan unsur penting yang digunakan sebagai sarana pengungkapan realitas. Dengan bahasa, aktor yang berperan dalam mendistribusikan pengetahuan dapat menanamkan secara kuat realitas objektif yang memuat makna kelembagaan, nilai dan norma yang tengah dijalani oleh masyarakat. Sehingga tidak dapat dilupakan dalam kesadaran subyektif individu.

(30)

30

Setelah melalui sosialisasi primer, individu akan masuk pada tataran berikutnya, yakni sosialisasi sekunder. Sosialisasi ini merupakan kelanjutan dari sosialisasi primer yang akan memberikan pengaruh baru pada individu. Sehingga individu akan mengalami proses dialektis yang mengarahkan dirinya pada proses pengidentifikasian mengenai realitas objektif yang dipenuhi oleh kelembagaan dan aturan yang terlegitimasi. Sehingga manusia akan terkotak-kotak pada wilayah realitas subyektifnya masing-masing. Seperti yang disampaikan oleh Berger dan Luckhamnn (1990:187) bahwa setelah manusia mengalami sosialiasi di tahapan primer, maka manusia akan masuk ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya. Individu diharapkan mampu mengidentifikasikan subyektif dirinya sesuai dengan nilai dan norma dalam realitas objektif yang telah ada. Dengan begitu, individu dapat memiliki persamaan dengan struktur sosial yang ada pada lingkungan dan sosialisasi sebelumnya. Melalui mekanisme demikian, sosialisasi sekunder dapat membentuk individu untuk menjalankan peranannya sesuai dengan pembagian kerja yang telah hadir dalam realitas objektif sebelumnya. Proses tersebut berlangsung secara timbal balik, sehingga membuat individu memiliki keterikatan pada kenyataan baru yang membuatnya menjadi bagian dari anggota masyarakat.

Sosialisasi yang terjadi dalam tahap internalisasi mengalami dua kemungkinan dalam membentuk realitas. Pertama, keberhasilan sosialisasi dapat terjadi, tatkala adanya keterpaduan realitas yang dibentuk oleh kenyataan subjektif maupun kenyataan objektif dari individu yang bersangkutan. Artinya aktor sosialisasi menjadi salah satu faktor penentu dalam menyampaikan makna penting dari realitas sosial yang dijalaninya. Namun, manakala terjadi kemajemukan dari para aktor sosialisasi, kemungkinan makna hanya dapat diterima secara absurd dan

(31)

31

setengah-setengah. Makna subyektif tidak dapat diterima secara tunggal. Hal inilah disebut sebagai kondisi “asimetri” yang menjadi salah satu penyebab ketidakberhasilan sosialisasi sekunder. Bila hal ini terjadi, maka tidak menutup kemungkinan, makna yang seharusnya ditangkap secara utuh, hanya akan ditangkap secara parsial. Serta masyarakat tersebut kemungkinan tidak dapat menjaga tatanan dan struktur sosial yang sudah ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kedua, sosialisasi yang berjalan baik, dapat menghasilkan proses “identifikasi” subjektif dan norma dalam diri individu. Dengan demikian, individu akan mentransformasikan peranan dirinya agar mampu mengidentifikasikan diri sebagai anggota masyarakat yang juga turut memiliki bagian “peranan” seperti yang sebelumnya ditransformasikan oleh orang-orang yang berpengaruh. Identifikasi yang terjadi bersifat subyektif dalam memahami pengakuan pada diri sendiri. Diri merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mula-mula diambil dari orang-orang yang berpengaruh terhadap entitas diri sendiri (Manuaba, 2010 :14). Dengan demikian, kehadirannya menjadi wujud identitas ke-diri-an” individu yang lahir dari sebuah realitas masyarakat objektif. Sehingga, keberhasilan sosialiasasi akan menghasilkan masyarakat yang terpelihara, sedangkan kegagalan sosialisasi akan membuat sulitnya pemeliharaan tradisi dan tatanan sosial masyarakat.

3. Eksternalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial

Ketika manusia menciptakan kesadaran baru dalam hidupnya, manusia sebenarnya tengah melakukan proses dialektis untuk memberikan perlakuan secara timbal balik dalam kehidupannya. Proses tersebut terjadi melalui pencurahan diri individu ke dalam dunia sosial budaya dan kebudayaan yang bersifat nonmaterial.

(32)

32

Individu mengalami proses eksternalisasi yang menempatkan posisinya lebih dominan dalam menciptakan produk sosial bernama masyarakat. Produk sosial yang dihasilkannya merupakan akumulasi dari beragam aktivitas yang telah menjadi dunia bentukan (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia sendiri. Menurut Berger dan Luckmann (1990 :75) kondisi tersebut merupakan bentuk keharusan antropologis yang memiliki sifat sui generis. Artinya keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam lingkungan interioritas yang tertutup tanpa gerak. Manusia membutuhkan ruang gerak, ia hadir dan memiliki kebebasan sikap. Melalui keterbukaan sikap dan pencurahan manusia dalam dunia sosialnya akan memungkinkan untuk manusia dapat melaksanakan aktivitas dalam kehidupan (Berger, 1990 : 67). Melalui aktivitas tersebut, manusia dapat mengembangkan diri menjadi seorang individu dalam kebudayaan material dan immaterial di masyarakat melalui hubungan yang timbale balik secara berkesinambungan.

Melalui proses eksternalisasi, manusia mengalami “ke-diri-an” yang memuat kenyataan subyektif individu serta tidak dapat dilepaskan dari eksternalisasi kehidupan yang sebelumnya telah dilakukan. Sehingga individu akan membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia sosial (Berger, 1994 : 6-7). Agar aktivitas dan pencurahan diri manusia dalam realitas objektif dapat berjalan, maka individu memerlukan kesadaran sebagai suatu hal yang sifatnya sui generis. Sedangkan untuk memunculkan kesadaran, maka individu memerlukan motivasi yang perlu dihadirkan dalam struktur dan tatanan sosial. Motivasi yang dimaksud akan menjadi menjadi kekuatan dalam memelihara kesadaran manusia dalam menjaga realitas objektif yang tengah berlangsung. Manusia merupakan produsen dalam melahirkan kesadaran untuk membentuk realitas baru. Kesadaran tersebut

(33)

33

lantas dimanifestasikan oleh manusia melalui tindakan subyektif individu. Melalui tindakan tersebut, individu seolah memiliki ke-diri-an secara subyektif dalam proses eksternalisasi yang terjadi. Individu akan menyesuaikan diri dengan keberadaan nilai, norma, aturan dan aktivitasnya dalam masyarakat. Dalam menjalani proses eksternalisasi, individu rupanya dapat menjadi makhluk sosial yang juga membutuhkan orang lain. Proses membutuhkan orang lain inilah yang menumbuhkan nilai kolektivitas pada manusia di ranah struktur sosial. Kemunculan kolektivitas tersebut, akan membuat manusia menghasilkan beragam kebudayaan yang bersifat materiil maupun imateriil yang mengandung unsur, ketertiban, nilai, dan bahasa. Dengan demikian, manusia sebagai individu akan terus mengupayakan terwujudnya situasi lingkungan yang stabil terhadap kondisi perilaku dan tindakannya. Serta memodifikasi produk sosialnya tatkala dirasa tidak mampu lagi mengakomodir kebutuhan individu dalam masyarakat.

C. Identitas dalam Dinamika Perubahan Sosial Kampung Badran

Perubahan sosial menjadi hal yang dipastikan terjadi dalam setiap masyarakat. Sekalipun perubahan sosial tersebut terbilang lambat, masyarakat tidak akan stagnan dan terus akan menjalani realitas sosial. Perubahan sosial menjadi serangkaian peristiwa yang membawa manusia pada dimensi sejarah baru. Serta memuat aspek akulturasi, asimilasi dan enkulturasi dalam budaya yang dilakukan. Perubahan sosial membawa manusia menyadari kondisi yang dinilainya tidak lagi relevan dalam kehidupan sosial. Salah satunya mengenai permasalahan identitas. Keberadaan identitas menjadi hal yang penting, karena identitas menjadi suatu ciri yang membedakan manusia dengan orang lain.

(34)

34

Dalam akar filsafat, menurut Aini (dalam widayanti, 2009 : 14) pembentukan identitas terbagi dalam tiga pendekatan, yakni : primordialisme, konstruktivisme dan instrumentalisme. dalam pendekatan primodrialisme menjelaskan bahwa identitas sebagai sesuatu yang diperoleh secara alami (given) yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang turun temurun. Sedangkan pendekatan konstruksivisme menjelaskan bahwa identitas merupakan proses sosial yang kompleks melalui ikatan budaya yang dibangun dalam masyarakat. Pendekatan instrumentalis, identitas sebagai sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan demi kekuasaan.

Identitas menjadi suatu bentuk peneguhan eksistensi seorang individu dan kelompoknya. Menurut Kinasih (2005:3) identitas menjadi sebuah dimensi keniscayaan yang melekat dalam hubungan antar manusia karena keberadaan seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok etnik, agama, tradisi dan bahasa dalam sebuah sisem kebudayaan tertentu. Manusia secara individu maupun berkelompok akan menempatkan dirinya pada koridor identitas dalam sebuah konteks budaya. Dengan adanya identitas, maka individu akan diakui keberadannya sekaligus eksistensinya dalam ruang sosial. Jeefrey Weeks yang dikutip oleh Kinasih (2005:4) menjelaskan mengenai pentingnya identitas bagi seorang individu :

Identitas adalah tentang belonging, tentang persamaan sejumlah orang dan tentang apa yang membedakan kamu dengan orang lainnya. Sebagai sesuatu yang paling mendasar. Identitas akan memberikan seseorang rasa tentang lokasi pribadi, inti yang stabil bagi individualisme.

Sense of belonging dalam konteks ini akan memberikan rasa aman bagi individu. Rasa aman akan memberikan stabilitas dalam sistem sosial yang tengah dijalani oleh individu dalam masyarakat. Melalui identitas, individu diluar masyarakat akan memberikan penilaian yang secara disadari membentuk kedirian

(35)

35

bagi individu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Barker (2009:173) bahwa identitas sosial merupakan harapan atau pendapat orang lain mengenai kedirian.

Namun, perlu kiranya untuk disadari, bahwa identitas suatu waktu dapat berubah bentuk seiring perubahan sosial yang kembali terjadi. Karena sifatnya yang bukan taken for granted, identitas dapat digunakan secara tidak konsisten. Disesuaikan dengan kebutuhan dari individu dan kelompok yang bersangkutan. Bagi Jean Baudrillard, dekonstruksi terhadap identitas menjadi hal yang pasti dalam menyesuaikan identitas dengan kebutuhan bagi individu dan kelompoknya. Penyesuaian tersebut terjadi sebagai langkah dalam membentuk identitas yang bernilai positif. Hal ini sebagai langkah misidentification yang berarti, upaya mengidentifikasikan identitas yang terlanjur melekat agar mendapatkan pandangan serta pernilaian yang lebih baik dari orang lain (susetyo dikutip Kinasih, 2005:8).

Bangunan identitas lahir dalam proses yang panjang. Aturan, nilai, norma dan iklim politik suatu wilayah menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perubahan identitas yang melekat dalam diri individu maupun kelompok sosial tertentu. Untuk membentuk identitas yang berfungsi dalam menentukan keberadaan diri suatu kelompok, konstruksi identitas menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam diri individu dan kelompok. Untuk itu, identitas menjadi suatu hal yang dapat dikonstruksikan dalam kehidupan individu.

Upaya yang dilakukan ialah melalui sosialisasi. Identitas dibangun pada saat sosialisasi yang dilakukan oleh individu kepada individu lainnya. Dengan begitu, identifikasi mengenai unsur pembentuk identitas dapat diinternalisasikan secara maksimal. Sebagai contoh adalah identitas yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua akan memperkenalkan individu kepada dunia realitas

(36)

36

beserta tatanannya serta memberikan pelajaran yang memuat realitas sosial sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Agar dapat diidentifikasikan oleh anaknya. Proses ini berlangsung terus menerus. Sehingga anak akan memiliki identitas sosial sebagaimana yang telah dibentuk oleh orang tuanya terdahulu. Begitu juga dalam kelompok sosial, identitas menjadi hal yang senantiasa terus dicari, dipelajari untuk kemudian dilekatkan pada suatu kelompok. Melalui simbol, teks, tanda yang dapat digunakan sebagai sarana dalam merepresentasikan individu dan kelompok tersebut dalam kehidupan. Tentu saja, dengan tujuan melegalisasi identitas yang telah dibentuk agar sesuai dengan harapan dari kelompok

I.8 Metode Penelitian

Sebagai upaya menjawab permasalahan penelitian mengenai konstruksi sosial dan makna Kampung Ramah Anak di RW 11 Kampung Badran, maka peneliti menggunakan metode penelitian secara kualitatif. Penggunaan penelitian kualitatif merupakan bentuk proporsi yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna dibalik sebuah fenomena sosial. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi : a).Pendekatan penelitian, b). Unit analisis, c). Teknik pengumpulan data serta d) Analisis data untuk menghasilkan kesimpulan.

A. Pendekatan Penelitian

Sebagai upaya untuk menjawab masalah penelitian, peneliti menggunakan strategi penelitian melalui pendekatan fenomenologi. Alfred Schutz (dikutip oleh Denzin dan Lincoln, 2009 : 336) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologi berfungsi untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu menafsirkan dan menjelaskan pengetahuan yang merupakan (taken for granted) dan dimaknai oleh individu.

(37)

37

Penafsiran tersebut dilalui dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar mengenai realitas yang nampak nyata di mata setiap orang yang berpegang teguh pada ”sikap alamiah”. Hal ini dikarenakan pemikiran manusia menghasilkan kesadaran constitutive maupun kesadaran reconstutive yang dibentuk tidak secara kebetulan, melainkan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Begitu pula kesadaran mengenai Kampung Ramah Anak, keberadaannya bukan terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk secara sosial. Melalui, pendekatan fenomenologi inilah, peneliti dapat melihat realitas secara nyata. Dengan cara mengkonseptualisasikan kenyataan sebagai gambaran realitas yang utuh dan holistik. Upaya konseptualisasi dilakukan dengan memusatkan perhatian mengenai konstruksi sosial dan makna Kampung Ramah Anak ditinjau dari sejarah, pengetahuan, kesadaran dan tindakan subyektif serta pengalaman kehidupan sosial sehari-hari individu sebagai subyek sekaligus objek penelitian.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RW 11 Kampung Badran, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Dipilihnya lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Kampung Badran merupakan wilayah urban yang terletak di dekat bantaran Sungai Winongo. Lazimnya wilayah urban, posisi kampung yang dekat dengan bantaran sungai seringkali dinilai tidak responsif pada kebutuhan anak di berbagai bidang kehidupan. Baik menyangkut pendidikan, kesehatan, ekonomi sosial, budaya dan lingkungan. Selain itu, sejarah kelam yang menunjukkan Kampung Badran sebagai Kampung Hitam menambah image negatif yang hadir di wilayah tersebut.

(38)

38 C. Unit Analisis

Dalam penelitian ini, penentuan unit analisis dimaksudkan agar dapat memfokuskan kajian penelitian. Objek yang dipilih ditentukan sesuai dengan kriteria yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam penelitian kualitatif, unit analisis menempati posisi sebagai sumber data yang menghadirkan manusia sebagai informan dan narasumber dalam penelitian. Sehingga manusia memiliki peran yang sangat penting sebagai individu yang memiliki informasi dan data yang dibutuhkan oleh peneliti guna menjawab permasalahan penelitian. Dalam pelaksanaannya, peneliti dan narasumber disini memiliki posisi yang sama. Narasumber bukan sekadar memberikan tanggapan pada apa yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki kepada peneliti selama proses pengumpulan data. Dalam penelitian ini subyek penelitian terdiri dari beberapa informan, sebagai berikut :

1. Ketua RW 11 Kampung Badran yang merupakan beperan sebagai informan untuk penggalian informasi yang akan dilakukan oleh peneliti.

2. Ketua RT di wilayah RW 11 Kampung Badran, yang meliputi : Ketua RT 47, 48, 49, 50 dan 51.

3. Pengurus atau “Kader” yang bertugas sebagai pendamping maupun penunjang kegiatan Program Kampung Ramah Anak di RW 11 Kampung Badran. Kader merupakan aktor sekaligus agen pelaksana program kegiatan Kampung Ramah Anak yang secara struktural berada langsung dibawah komando Ketua RW 11 Kampung Badran.

4. Warga meliputi anak dan orang tua di RW 11 Kampung Badran, Kelurahan Bumijo, Jetis, Kota Yogyakarta

(39)

39

5. Gugus Tugas Kota Layak Anak yang terdiri dari KPMP Kota Yogyakarta dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat seperti : LSPPA, SOS Children Village dan Wadah Titian Harapan yang merupakan pelaksana advokasi dalam penyelenggaraan pilot project Kampung Ramah Anak di RW 11 Badran.

D. Teknik Penentuan Informan

Subyek penelitian dilakukan ketika peneliti mulai masuk ke lapangan dan selama melakukan proses penelitian. Dalam menentukan subyek penelitian, peneliti menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive dan snowball sampling dapat dilihat pada skema berikut :

Gambar 1.3. Proses Penentuan Informan

Sumber : (Adaptasi dari Proses Pengambilan Sampel Menurut Sugitono, 2002:56)

Dipilihnya teknik purposive sampling didasarkan pada kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahan yang diteliti secara mendalam. Sehingga mampu menjadi key informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Disisi lain, dipilihnya teknik snowball sampling didasarkan pada upaya pengambilan informan secara bebas pada siapapun yang ditemui di lapangan. Dimana peneliti akan mencari informasi dari orang yang dianggap mengetahui informasi yang lebih jelas atas dasar

B A C D E G H I

(40)

40

rekomendasi dari informan sebelumnya. Teknik pengambilan sampel dengan cara ini memuat unsur jumlah yang sedikit dan lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2009:54). Menurut Creswell bahwa dalam penelitian fenomenologi jumlah informan yang diharapkan berkisar sekitar 5-25 orang, agar dapat mengungkapkan makna di balik fenomena yang ada (Kuswarno, 2009 :57). Dalam penelitian ini, informan yang digunakan sebanyak 40 orang yang terdiri dari Ketua RW 1 orang, Pengurus wilayah sebanyak 15 orang, warga RW 11 Kampung Badran sebanyak 20 orang, gugus tugas kota layak anak sebanyak 2 orang dan Instansi KPMP sebanyak 2 orang. Meski demikian, jumlah informan sebagai sumber data tidak dapat ditentukan banyaknya. Namun lebih didasarkan pada pertimbangan pada kedalaman data dan banyaknya informasi yang dapat diperoleh.

E. Sumber Data

Sumber data merupakan komponen yang penting dalam sebuah penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori yang meliputi : sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini menitiberatkan pada aspek data berupa kata-kata, tindakan serta lokasi yang ditujukan untuk menjawab permasalahan mengenai konstruksi sosial dan makna Kampung Ramah Anak bagi warga masyarakat di RW 11 Kampung Badran. Kata-kata yang menjadi sumber data berasal dari informan atau narasumber ketika peneliti melakukan interaksi sosial dan wawancara mendalam. Sedangkan sumber data yang berupa tindakan dapat diamati melalui pola interaksi sosial, komunikasi sosial dan tindakan sosial dari warga RW 11 Kampung Badran dalam kehidupan sehari-hari.

(41)

41

Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data yang tertulis dan dokumentasi baik melalui foto maupun video yang memiliki keterkaitan dengan fokus masalah penelitian. Dokumentasi sebagai sumber data sekunder menjadi salah satu penunjang guna mendapatkan gambaran secara utuh dalam proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Sumber data sekunder yang dibutuhkan oleh peneliti meliputi beberapa hal yaitu : Informasi secara lengkap mengenai keadaan geografis wilayah penelitian, kondisi sosiologis masyarakat di wilayah RW 11 Kampung Badran, dokumentasi tertulis dari KPMP Kota Yogyakarta hingga indikator program Kampung Ramah Anak yang telah dirancang oleh gugus tugas pelaksana Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta. Namun, dalam penelitian ini peneliti mengalami kesulitan untuk dapat mengakses data sekunder mengenai jumlah anak yang melakukan pernikahan dini di RW 11 Kampung Badran. Data tersebut sebenarnya dibutuhkan untuk menganalisis asumsi dan pendapat dari masyarakat mengenai banyaknya kasus pernikahan dini yang terjadi di wilayah RW 11 Kampung Badran. Karena permasalahan pernikahan dini menyangkut pemenuhan kebutuhan hak anak mengenai pengasuhan alternatif.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menjadi komponen penting sebagai upaya untuk mendapatkan data yang berguna menjawab permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi tiga hal berikut : 1. Wawancara

Proses pengumpulan data dilakukan oleh peneliti melalui wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam melibatkan proses percakapan

Gambar

Gambar 1.3. Proses Penentuan Informan
Gambar 1.4. Skema Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembelajaran dengan romobongan belajar maksimum 36 siswa Proses pembelajaran dengan romobongan belajar maksimum 32 siswa Proses pembelajaran dengan romobongan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berharga bagi perusahaan dalam pengelolaan sumber daya manusia beserta segala kebijakan yang berkaitan

Menurut Suyanti (2010: 111) pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari proses pembelajaran yang lebih

Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa tahanan kapal model dalam kondisi datar juga memiliki tren naik ketika dihubungkan dengan kecepatan kapal.Pada kondisi datar, nilai tahanan

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji proses koreksi terrain dan contoh penerapannya pada citra Landsat TM; Kemudian artikel tentang “Perbandingan Teknik Orthorektifikasi Citra

Dalam teks, muncul kata-kata tertentu yang dominan dan dinaturalisasikan kepada pembaca. Kata tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai peristiwa tutur. Kata-kata

Suasana yang mendukung tersebut diantaranya adalah dengan menerapkan sistem asrama (boarding school). Karena dengan mengkondisikan peserta didik dalam asrama akan bisa

Pada era sebelum deregulasi Pakjun'83, industri perbankan nasional ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam pengaturan pagu kredit