• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

MATEMATIKA REALISTIK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Utami Murwaningsih, Erika Laras Astutiningtyas Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

E-mail: utamimurwaningsih@yahoo.co.id ABSTRAK

Tujuan penelitian: (1) Terlaksananya pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) Melakukan penilaian ahli terhadap perangkat pembelajaran, (3) Melakukan uji terbatas keterbacaan dan simulasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) Melakukan uji coba terbatas perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, dan (5) Menghasilkan perangkat pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama.Metode penelitian adalah pengembangan model 4-D (four D model) . Subjek uji coba terbatas perangkat pembelajaran adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Sukoharjo tahun pelajaran 2012/ 2013. Hasil penelitian: (1) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara teoretis, (2) Perangkat pembelajaran telah dinilai ahli dengan nilai tiga atau dapat digunakan dengan sedikit revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas,dan (5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP. Kata kunci:perangkat pembelajaran, pendekatan pembelajaran matematika realistik

PENDAHULUAN

Salah satu ciri penting matematika adalah memiliki objek abstrak, sehingga kebanyakan siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Menurut Soedjadi (1999: 41), sifat abstrak tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika sekolah. Namun sebagai seorang guru, harus berusaha mengurangi sifat abstrak tersebut sehingga memudahkan siswa menangkap materi yang diberikan. Sebagai guru perlu memahami cara-cara penyampaian materi pelajaran. Di samping penguasaan materi, cara menyajikan atau menyampaikan materi matematika merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai seorang guru matematika. Standar proses pembelajaran yang ditetapkan pemerintah melalui Permendiknas No. 41 tahun 2007 yaitu, mendorong siswa dan guru melakukan aktivitas eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

Kenyataan yang ada di SMP Negeri 2 Sukoharjo, pembelajaran matematika masih menggunakan pembelajaran secara konvensional, yaitu pembelajaran yang dimulai dari definisi atau teorema, contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal penerapan dalam masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan pembelajaran berpusat pada guru (guru aktif dan siswa pasif). Guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima. Kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi dan negosiasi melalui interaksi antara siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru kurang dikembangkan. Pembelajaran tersebut tidak memberi kedempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan berbagai alternatif

(2)

pemecahan masalah. Pada akhirnya siswa menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran matematika realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai langkah awal dalam proses pembelajaran. Siswa diminta mengorganisasikan dan mengidentifikasikan aspek-aspek matematika yang terdapat pada masalah tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mendeskripsikan, menyederhanakan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut menurut cara mereka sendiri baik secara individu maupun kelompok, berdasarkan pengalaman atau pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, para siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian-pengertian matematika yang meningkat abstrak (Soedjadi, 2001:3).

Menurut Marpaung (2001: 4 – 5), PMR ini memiliki prospek lebih berhasil untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, seperti pendekatan strukturalistik, empiristik dan mekanistik. Karena pendekatan strukturalistik, bagi siswa terlalu abstrak, sehingga sangat sedikit siswa yang mampu memahami struktur itu. Pendekatan empiristik, lebih mudah diterima siswa, tetapi kurang berarti dalam kemampuan matematis, sebab kurang memuat komponen matematika vertikal. Pendekatan mekanistik boleh dikatakan tidak ada maknanya dilihat dari sudut matematika, karena kurang menanamkan pengertian. Sedangkan PMR bertolak dari masalah-masalah yang kontekstual, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, artinya mereka bebas mengkomunikasikan ide-idenya. Guru membantu membandingkan ide-ide dan membimbing untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang lebih baik. Sehingga, dalam PMR pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan di berbagai sekolah. Namun sifat-sifat, definisi dan teorema itu diharapkan seolah-olah ditemukan kembali oleh siswa melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran. PMR mendorong siswa untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang diperolehnya.

De Lange (1987: 72), mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses “conceptual

mathematizing” atau matematisasi konseptual, yang dapat digambarkan seperti pada Gambar 1

berikut.

Gambar 1Matematisasi Konseptual (Conceptual Mathematizing) (a)

(b) (c)

(d)

Real World

Mathematizing and Reflection Mathematizing in Aplication

(3)

Berdasar uraian di atas, pembelajaran matematika perlu diarahkan pada aktivitas-aktivitas yang mendorong siswa untuk belajar secara aktif baik mental, fisik maupun sosial. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengaitkan konsep-konsep matematika dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran siswa aktif dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).

Penelitian pengembangan perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik yang telah dilaksanakan peneliti pada tahun pertama, telah menghasilkan: (1) Penetapan dan pendefinisian segala sesuatu yang diperlukan dalam pembelajaran, dengan menganalisis tujuan dan batasan materi pelajaran; (2) Perancangan perangkat pembelajaran sehingga diperoleh prototipe perangkat pembelajaran contoh yang meliputi (a) penyusunan tes beracuan patokan, (b) pemilihan media, (c) pemilihan format dan (d) perancangan awal bahan ajar matematika dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik yang meliputi: (1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan (5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP.

Peneliti perlu melanjutkan penelitian tahun kedua yang akan melakukan uji terbatas terhadap perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan pada tahun pertama. Penelitian tahun kedua ini didasarkan atas dua pertimbangan. Pertimbangan pertama, bahwa pengembangan perangkat pembelajaran yang dilakukan pada tahun pertama belum dilakukan expert judgement yang menilai kualitas perangkat pembelajaran yang telah dihasilkan, sehingga ada perbaikan sebelum diuji cobakan. Pertimbangan kedua, bahwa pengembangan perangkat pembelajaran yang dilakukan pada tahun pertama baru pada tahap pendefinisian dan perancangan perangkat pembelajaran, belum di uji cobakan, sehingga perlu penelitian tahun kedua yaitu tahap pengembangan.

Berdasar latar belakang masalah, dirumuskan tujuan khusus penelitian tahun kedua sebagai berikut: (1) Terlaksana pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) melakukan penilaian ahli terhadap perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (3) melakukan uji terbatas keterbacaan dan simulasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) melakukan uji coba terbatas perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, dan (5) menghasilkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama.

METODE PENELITIAN

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini tergolong penelitian pengembangan, yaitu pengembangan perangkat pembelajaran matematika realistik, meliputi: (1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan

(4)

(5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP. Bersamaan denganitu dikembangkan pula instrumen penelitian berupa: (1) Lembar Penilaian Validator Terhadap Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian, (2) Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran,(3) Lembar Observasi Aktivitas Siswa Selama Mengikuti Proses Pembelajaran,(4)Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan Pembelajaran dan (5) Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan Pembelajaran.

Model pengembangan yang digunakan adalah dengan memodifikasi model 4-D (Four D

model) dari Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974: 5-9). Prosedur pengembangan perangkat

pembelajaran terdiri dari tiga tahap, yaitu:a) pendefinisian (define),b) perancangan (design), c) pengembangan (develop), dan (d) penyebaran (desseminate), sebagaimana terlihat pada Gambar 2 berikut.

Keterangan: : garis pelaksanaan

: garis siklus yang mungkin dilaksanakan : garis hasil kegiatan

: kegiatan : hasil kegiatan

Tahun II : (draf IV/ draf I yang telah direvisi) perangkat pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik di Sekolah Menengah Pertama yang telah di uji coba terbatas

Gambar 2. Modifikasi Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran dari Model 4-D (Four D

Model) Peng em b a n g a n (d ev elo p ) Ta h u n II Validasi Ahli Revisi

Uji Terbatas Keterbacaan & Simulasi RPP Tertentu

Revisi

Uji Coba Terbatas Perangkat Pembelajaran Analisis Analisis Revisi Draft I Draft II Draft III Draft IV Analisis

Hasil Penilaian, ko-reksi dan saran per-baikan dari Ahli

Data hasil Uji Terbatas Keter-bacaan & Simulasi

RPP Tertentu

Data hasil Uji Coba Terbatas

Perangkat Pembelajaran

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang telah disusun dalam bentuk draft I (hasil penelitian tahun I), selanjutnya dilakukan penilaian oleh ahli (validator). Hasil validasi yang sudah dilakukan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel1 Daftar Nama Validator Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian

No Nama Validator Pekerjaan Keterangan

1. Dr. Herry Agus Susanto, M.Pd.

Dosen Pend. Matematika Univet Bantara Sukoharjo

Validator Perangkat Pembela-jaran dan Instrumen Penelitian

2. Joko Sungkono, S.Si.M.Sc.

Dosen Pend. Matematika Universitas Widya Dharma

Validator Perangkat Pembela-jaran dan Instrumen Penelitian

3. Dra. Dewi Susilowati, M.Pd.

Dosen Pend. Matematika Univet Bantara Sukoharjo

Validator Perangkat Pembela-jaran dan Instrumen Penelitian

4. Sri Hutomo, S.Pd.M.Pd.

Guru Matematika Kelas VIII SMP Negeri 2 Sukoharjo

Validator Perangkat Pembela-jaran dan Instrumen Tes Hasil Belajar 5. Sumaryani, S.Pd. Guru Matematika Kelas IX

SMP Negeri 2 Sukoharjo

Validator Perangkat Pembela-jaran dan Instrumen Tes Hasil Belajar 6. Dwi Agus Sri

Kuncoro, S.Pd.

Guru Matematika Kelas VII SMP Negeri 2 Sukoharjo

Validator Perangkat Pembela-jaran dan Instrumen Tes Hasil Belajar 7. Kenang Tri

Hatmo, S. Pd.M.Pd.

Guru Bahasa Indonesia Kelas IX SMP Negeri 2 Sukoharjo

Validator Khusus Bahasa pada Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian

Tabel 2 Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Perangkat Pembelajaran

No Perangkat Yang Dinilai

Banyak Validator Memberi Nilai 1 2 3 4

1. Buku Siswa (BS) 0 0 5 1

2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 0 0 0 6

3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 0 0 6 0

4. Buku Petunjuk Guru (BPG) 0 0 3 3

5. Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa (Kisi-kisi, Lembaran Soal, Alternatif Jawaban dan Pedoman Pemberian Skor)

0 0 6 0

Keterangan nilai:

1 : Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi 2 : Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi

3 : Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi 4 : Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi

(6)

Tabel 3Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Instrumen Penelitian

No Instrumen Yang Dinilai

Banyak Validator Memberi Nilai 1 2 3 4

1. Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran

0 0 5 1

2. Lembar Observasi Aktivitas Siswa 0 0 4 2

3. Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan Pembelajaran

0 0 2 4

4. Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan Pembelajaran

0 0 2 4

5. Lembar Penilaian Validator Terhadap Perangkat dan Instrumen Penelitian

0 0 1 5

Keterangan nilai:

1:Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi 2:Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi

3:Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi 4:Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi

Pada umumnya para validator memberikan catatan dan saran perbaikan RPP ini pada komponen: (a) alokasi waktu, (b) apersepsi dan motivasi, (c) pengkodean SK, KD, dan indikator (d) perkiraan waktu untuk setiap kegiatan, dan (e) beberapa kesalahan penulisan/ejaan. Namun demikian revisi terhadap RPP pada tahap ini hanya peneliti lakukan terhadap: apersepsi dan motivasi, pengkodean SK, KD, dan indikator dan kesalahan penulisan/ejaan. Untuk revisi terhadap alokasi waktu dan perkiraan waktu akan peneliti lakukan setelah pelaksanaan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu.

Saran perbaikan Buku Siswa ini pada komponen: (a) Penomoran (b) Beberapa kesalahan hitung dan (c) kesalahan penulisan/ejaan. Secara umum LKS dinilai baik dan sangat baik oleh validator, sehingga bisa digunakan tanpa revisi. Validator menilai penampilan LKS menarik, mudah dipahami, dan telah sesuai dengan langkah-langkah pendekatan pembelajaran matematika realistik. Tetapi ada sedikit revisi di penulisan tanda seru (!) pada perintah soal. Sesuai saran validator, tanda seru (!) tersebut dihilangkan, sehingga tidak rancu antara tanda seru atau simbol faktorial (!) yang ada di matematika. Pada LKS ini sebagian besar soal untuk kegiatan siswa telah diberikan petunjuk yang sangat detail, hal ini membuat siswa malas dalam berpikir dan cenderung membatasi kreativitasnya. Sebaiknya proporsi soal yang diberi petunjuk langkah demi langkah dikurangi, sedangkan soal yang tanpa ditertai petunjuk langkah-langkah pengerjaan ditambah. Hal ini akan menuntut siswa berpikir secara kritis.

Koreksi, saran dan masukan para validator terhadap buku petunjuk guru umumnya berupa: (a) pencantuman alokasi waktu dan tujuan, dan (b) materi dan perintah soal diperjelas. Saran

(7)

validator terhadap perangkat tes hasil belajar umumnya berupa: (a) kesesuaian penulisan butir soal dengan indikatornya, (b) pengurutan soal, dan (c) koreksi terhadap kesalahan penulisan pada beberapa soal, alternatif jawaban dan pedoman pemberian skor

Revisi terhadap instrumen penelitian pada tahap ini hanya peneliti lakukan dengan membetulkan beberapa kesalahan penulisan/ pengetikan/ ejaan pada beberapa instrumen penelitian sesuai dengan koreksi, saran dan masukan dari beberapa validator.

Setelah semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft I tersebut direvisi menjadi dratf II, selanjutnya dilakukan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu. Tujuan kegiatan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu ini adalah untuk memperoleh masukan apakah semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dapat jelas dibaca dan dipahami serta dapat dilaksanakan di lapangan. Idealnya semua RPP dapat diujicobakan pada kegiatan ini. Namun karena keterbatasan waktu, sehingga hanya dua RPP, yaitu RPP I dan RP II yang sempat diujicobakan. Kegiatan ini telah dilaksanakan selama tiga hari dengan jadwal kegiatan sebagaimana tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4 Jadwal Kegiatan Uji Keterbacaan dan Simulasi RPP Tertentu

No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Keterangan

1. 2. 3. Selasa, 12 Maret 2013 Sabtu, 16 Maret 2013 Senin, 18 Maret 2013. 09.15-10.35 07.30-09.45 09.45-11.15 Uji keterbacaan Simulasi RPP I Simulasi RPP II

a. Semua siswa yang menjadi subjek uji keterbacaan diminta membaca semua kalimat yang terdapat pada: Buku Siswa, LKS, Lembar Soal Tes dan Lembar Angket Respon Siswa, kemudian menanyakan kalimat-kalimat yang kurang dipahami. b. Calon pengamat dan guru mitra

diminta membaca semua kalimat pada perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, kemudian menanyakan kalimat-kalimat yang kurang mereka pahami.

Selama pelaksanaan simulasi pe-neliti bertindak sebagai guru (pengajar), calon guru mitra dan calon pengamat mengamati dan mengecek kesesuaian perkiraan waktu yang tercantum pada RPP dan LKS dengan pelaksanaan simulasi.

(8)

Berdasarkan paparan hasil uji keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk tidak melakukan revisi terhadap semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft II, tetapi langsung menggunakannya pada kegiatan simulasi RPP tertentu pada hari berikutnya.

Semua data hasil pelaksanaan simulasi RPP I dan RPP II tersebut peneliti gunakan sebagai bahan diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra untuk merevisi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft II menjadi draft III. Dari hasil diskusi itu diperoleh masukan (data) sebagai berikut. (1) Berdasarkan jadwal pelajaran yang berlaku di sekolah itu (SMP Negeri 2 Sukoharjo) dan juga di beberapa SMP di Sukoharjo, mata pelajaran matematika untuk satu kali tatap muka adalah dua jam pelajaran (2 x 40 menit). (2) Berdasarkan program semester dan kebiasaan guru mitra dan calon pengamat bahwa materi itu diajarkan dengan alokasi waktu 15 jam pelajaran dan untuk setiap KD diajarkan selama tiga jam pelajaran.

Berdasarkan paparan data hasil uji keterbacaan dan simulasi RPP I, RPP II serta hasil diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra di atas, peneliti memutuskan untuk melakukan revisi terhadap semua perkiraan waktu untuk beberapa kegiatan pada semua RPP, perkiraan waktu pada semua LKS, Buku Siswa halaman 2, Revisi terhadap instrumen Lembar Observasi Aktivitas Siswa.

Uji coba perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan untuk memperoleh data atau masukan dari guru, siswa dan para pengamat (observer) terhadap semua perangkat pembelajaran serta untuk mengetahui reliabelitas instrumen lembar observasi, sebagai dasar untuk melakukan revisi (penyempurnaan) draft III menjadi draft IV (draft final). Berikut ini dipaparkan secara singkat pelaksanaan dan hasil uji coba perangkat pembelajaran dan hasil analisisnya masing-masing serta revisi perangkat pembelajaran berdasarkan hasil uji coba di lapangan dengan jadwal kegiatan sebagaimana tercantum pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Jadwal Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran

No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Jml Siswa Hadir 1. 2. 3. Selasa, 19 Maret 2013 Senin, 8 April 2013 Selasa, 9 April 2013 07.00-08.20 07.40-09.00 08.20-09.40

Uji Coba Perangkat I (Himpunan) Postes LTHB Himpunan 36siswa 36 siswa 36 siswa 4. 5. 6. Selasa, 9 April 2013 Rabu, 10 April 2013 Selasa, 23 April 2013 09.55-11.25 07.00-08.20 08.20-09.40

Uji Coba Perangkat II (Perbandingan) Postes LTHB Perbandingan 36siswa 36 siswa 36 siswa 7. 8. 9. Selasa, 30 April 2013 Selasa, 7 Mei 2013 Selasa, 4 Mei 2013 07.00-08.20 07.00-08.20 07.00-08.20

Uji Coba Perangkat III (Aritmatika Sosial) Postes LTHB Aritmatika Sosial 36siswa 36 siswa 36 siswa

(9)

Siswa yang menjadi subjek uji coba perangkat ini adalah siswa kelas VII G SMP Negeri 2 Sukoharjo, sebanyak 36 siswa dengan kemampuan akademik yang beragam, ada siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Sebagai guru mitra dan pengamat pada kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6 Nama Guru Mitra dan Pengamat pada Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran

No. Nama Pekerjaan Pendidikan

Terakhir Sebagai

1. Dwi Agus Sri Kuncoro, S.Pd.

Guru Matematika Kelas VII SMP Negeri 2 Sukoharjo S1 Pendidikan Matematika Guru Mitra 2. Sumaryani, S.Pd.

Guru Matematika Kelas IX SMP Negeri 2 Sukoharjo S1 Pend. Matematika Peneliti/Pengamat kemampuan guru 3. Januar Budi Asmari, S.Pd. Dosen Pendidikan Matematika Univet Bantara Sukoharjo Mhs. S2 Pend. Matematika PPs UNS Pengamat kemampuan guru

Rancangan yang akan digunakan dalam uji coba perangkat pembelajaran adalah two-group

design. Sampel pertama sebagai kelas eksperimen yang dikenai perangkat pembelajaran dengan

pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik,yaitu kelas VII G, sedangkan sampel kedua sebagai kelas kontrol yang menggunakan perangkat pembelajaran konvensional, yaitu kelas VII H. Sebelum dikenai perlakuan, dilakukan uji keseimbangan dengan rumus t-test independent. Setelah diketahui data tersebut homogenitas dan normal, maka langkah selanjutnya adalah menghitung data dengan rumus t-test sebagaimana hasil pada Tabel 7.

Berdasarkan tabel 7, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol pada materi aritmatika sosial. Rerata untuk kelas eksperimen adalah 78,056 sedangkan rerata kelas kontrol adalah 68,778, sehingga prestasi belajar matematika siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada prestasi belajar siswa pada kelas kontol. Dengan kata lain, prestasi belajar matematika siswa yang dikenai pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang dikenai pembelajaran konvensional bagi siswa kelas VII SMP Negeri 02 Sukoharjo pada materi aritmatika sosial. Demikian juga untuk materi Perbandingan dan Himpunan.

(10)

Tabel 7 Hasil Uji Coba Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan PembelajaranMatematika Realistik terhadap Prestasi Belajar

N o

Materi Normalitas Homogenitas t-test Keputusa

n 1. Aritmatika Sosial a. Eksperimen b. Kontrol L= 0,126< 0,148 L= 0,136< 0,148 𝝌𝟐= 1,845 < 3,841 t =3,105 > 1,987 Ho ditolak 2. Perbandingan a. Eksperimen b. Kontrol L= 0,126< 0,148 L= 0,136< 0,148 𝝌𝟐= 1,845 < 3,841 t =6,247 > 1,987 Ho ditolak 3. Himpunan a. Eksperimen b. Kontrol L= 0,126< 0,148 L= 0,136< 0,148 𝝌𝟐= 1,845 < 3,841 t =2,045 > 1,987 Ho ditolak

Tabel 8 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran

Pertemuan (RP) I II III Rata-rata

Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D ketidakcocokan (D) 15 3 14 4 15 3 14,67 3,33 Percentace of agreement

(R) 83,33 % 77,78 % 83,33 % 81,48 %

Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel

Tabel 9 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Aktivitas Siswa

Pertemuan (RPP) I II III Rata-rata

Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D ketidakcocokan (D) 158 4 159 3 157 4 158 3,7 Percentace of agreement (R) 97,53 % 98,15 % 96,91 % 97,53 %

(11)

Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 diperoleh informasi bahwa percentasce of agreement(R) lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran maupun lembar observasi aktivitas siswa, baik untuk setiap pertemuan maupun secara keseluruhan  75 %, berarti lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran dan lembar observasi aktivitas siswa ini reliabel (Grinnel, 1998:160), sehingga dapat digunakan sebagai instrumen lembar observasi draft IV (draft final) tanpa revisi. Hal itu berarti pula bahwa data kemampuan guru mengelola pembelajaran dan data aktivitas siswa yang dikumpulkan menggunakan kedua lembar observasi dalam pelaksanaan uji coba perangkat pembelajaran ini valid.

Revisi perangkat pembelajaran selain perangkat tes hasil belajar siswa dari draft III menjadi draft IV didasarkan atas hasil analisis efektivitas pembelajaran dengan menggunakan lima indikator, yaitu: (a) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (b) aktivitas siswa, (c) respon guru, (d) respon dan minat siswa dan (e) kesesuaian antara perkiraan waktu perencanaan dengan pelaksanaan di kelas, maka berikut ini dipaparkan kelima data hasil uji coba perangkat pembelajaran beserta hasil analisisnya masing-masing.

Hasil penilaian kemampuan guru mengelola pembelajaran untuk setiap pertemuan, tampak bahwa pada pertemuan pertama dan kedua beberapa kemampuan guru baru mencapai cukup baik, yaitu kemampuan guru dalam hal: (1) memotivasi siswa/mengkomunasikan tujuan pembelajaran, (2) menghubungkan pelajaran saat itu dengan sebelumnya, (3) menginformasikan langkah-langkah pembelajaran/membahas PR, (4) menjelaskan soal/masalah kontekstual, (5) mengarahkan siswa untuk menemukan jawaban dan cara menjawab soal, (6) mengoptimalkan interaksi siswa dalam bekerja, (7) memimpin diskusi kelas/menguasi kelas, (8) mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri dan menarik kesimpulan, (9) mengarahkan siswa untuk membuat/menegaskan rangkuman materi pelajaran dan (10) kemampuan mengelola waktu. Namun demikian pada pertemuan berikutnya terdapat peningkatan menuju baik, bahkan sangat baik. Hal itu wajar mengingat pembelajaran itu masih relatif baru bagi guru mitra maupun bagi siswa. Sedangkan bila ditinjau secara keseluruhan rata-rata kemampuan guru mengelola pembelajaran matematika realistik dan antusias siswa adalah baik, kecuali kemampuan dalam hal menginformasikan langkah-langkah pembelajaran/membahas PR, memimpin diskusi kelas/ menguasi kelas, dan mengelola waktu baru mencapai cukup. Berarti dari 17 komponen yang dinilai 14 komponen (82,35%) baik dan tiga komponen (17,65%) cukup.

Pembelajaran ini efektif ditinjau dari kemampuan guru mengelola pembelajaran. Namun demikian beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup itu akan dipertimbangkan untuk merevisi perangkat pembelajaran yang dikembangkan, yaitu dengan memperjelas beberapa kegiatan pada RPP, khususnya pada beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup baik dilakukan guru tersebut.

Hasil pengamatan aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran ditinjau dari aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan dan untuk setiap

(12)

pertemuan dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Pada pertemuan I, semua aktivitas siswa berada pada batas toleransi waktu ideal yang ditentukan. Pada pertemuan II dan IV terdapat satu aktivitas yang berada di bawah batas toleransi waktu ideal dan dua jenis aktivitas yang berada di atas batas toleransi waktu ideal yang ditetapkan. (2) Aktivitas yang kurang dari batas toleransi waktu ideal adalah mendengarkan/ memperhatikan guru dengan aktif, yaitu: 10,88 % (pertemuan II) dan 11,19 % (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu ideal 15 % - 25 %. (3) Aktivitas yang melebihi batas toleransi waktu ideal adalah membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar. Aktivitas membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar ini sebesar 15,2% (pertemuan II), 13,96% (pertemuan III) dan 12,11% (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu ideal 2 % - 12%. Berdasarkan paparan di atas, maka pembelajaran ini efektif ditinjau dari aktivitas siswa. Namun demikian tiga jenis aktivitas mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru dan membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar perlu digunakan sebagai pertimbangan untuk melakukan revisi terhadap RPP dan LKS. Revisi tersebut adalah dengan mengurangi beban pertanyaan pada LKS/ Buku Siswa dan merubah perkiraan waktu beberapa kegiatan pada RPP.

Angket respon guru terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran diberikan kepada tiga orang guru matematika masing-masing satu orang guru kelas VII, kelas VIII dan kelas IX di SMP Negeri 2 Sukoharjo. Hasil angket menunjukkan bahwa semua guru memberikan respon yang positif atau sangat positif, terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran matematika realistik pada materi Aljabar ini. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan, berarti pembelajaran ini efektif, ditinjau dari respon guru.

Hasil angket respon siswa terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa dari 24 komponen perangkat dan pelaksanaan pembelajaran sebanyak 22 komponen (91,67 %) direspon positif oleh lebih dari 60 % siswa dan dua komponen (8,33 %) direspon positif oleh kurang dari 60 %. Sehingga berdasarkan kriteria yang ditentukan di bab IV, menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut efektif ditinjau dari respon siswa. Komponen yang direspon positif oleh kurang dari 60 % siswa adalah suasana pembelajaran. Dalam hal itu justru mayoritas siswa, yakni 59,46 % menyatakan tidak senang dan hanya 40,54 % siswa yang menyatakan senang. Di samping itu siswa yang menyatakan suasana pembelajaran itu baru hanya 54,05 % dan yang menyatakan tidak baru 45,95%. Hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan tidak senang dengan suasana pembelajaran itu mungkin disebabkan dalam PMR ini dituntut siswa lebih aktif dalam belajar sejak awal pembelajaran dan guru tidak banyak memberi cara menyelesaikan masalah. Suasana pembelajaran seperti itu sangat berbeda dari kebiasaan mereka yang banyak pasif sebagai pendengar dan selalu dijelaskan serta diberi contoh pembahasan soal. Atau karena biasanya kebanyakan siswa kurang suka bila disuruh maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal atau mempresentasikan jawaban, sedangkan dalam PMR kegiatan ini merupakan kegitan inti pembelajaran. Sedangkan hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan bahwa suasana

(13)

pembelajaran di kelas itu tidak baru, kemungkinannya adalah karena PMR ini masih relatif baru bagi guru mitra, sehingga masih agak sulit untuk menciptakan suasana pembelajaran yang benar-benar sesuai dengan tuntutan PMR yang tampak jelas berbeda dari biasanya.

Berdasarkan pengamatan selama uji coba perangkat pembelajaran tentang kesesuian antara perkiraan waktu pada RPP dan LKS dengan pelaksanaan di lapangan, ternyata terdapat perkiraan waktu pada RPP yang masih kurang tepat dengan pelaksanaan dan terdapat satu kegiatan pada RPP yang sulit dilaksanakan. Beberapa kegiatan yang kurang tepat antara perkiraan waktu pada RPP dengan pelaksanaan antara lain kegiatan: (1) memotivasi siswa, (2) mengingatkan materi prasyarat, (3) menyelesaikan masalah dan (4) membandingkan jawaban masing-masing kegiatan terdapat selisih antara dua sampai tiga menit. Sedangkan satu kegiatan yang sulit dilaksanakan di lapangan adalah penilaian proses, meskipun hanya dilakukan secara tidak formal. Hal itu mengingat terlalu banyaknya siswa di kelas dan guru lebih memfokuskan pemberian bimbingan terbatas secara individual pada saat siswa mengerjakan LKS dan soal latihan.

Berdasarkan analisis deskreptif terhadap: (1) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (2) aktivitas siswa, (3) respon guru, (4) respon dan minat siswa dan (5) kesesuaian antara perkiraan waktu perencanaan dengan pelaksanaan di kelas menunjukkan bahwa pembelajaran selama uji coba di kelas VIIG SMP Negeri 2 Sukoharjo menggunakan perangkat PMR pada materi Aljabar efektif. RPP, Buku Siswa, LKS dan Buku Petunjuk Guru draft III baik atau valid, meskipun untuk menjadikannya sebagai draft IV (draft final) masih diperlukan beberapa revisi.

Beberapa revisi tersebut secara garis besar dilakukan dengan: (1) Menyesuaikan perkiraan waktu beberapa kegiatan pada RPP dengan pelaksanaan di lapangan, (2) Memperjelas beberapa kegiatan pada RPP, (3) Menyesuaikan halaman buku siswa, petunjuk dan alternatif jawaban pada Buku Petunjuk Guru, dengan revisi pada Buku Siswa dan LKS serta dengan menambahkan alternatif penyelesaian yang dilakukan siswa di lapangan. Revisi perangkat tes hasil belajar siswa dari draft III menjadi draft IV (draft final) dalam penelitian ini adalah didasarkan dari hasil analisis validitas dan reliabilitas perangkat tes. Berdasarkan hasil anates, secara keseluruhan perangkat tes ini cukup dapat mengukur dengan tepat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Hasil analisis reliabilitas perangkat tes, ternyata memiliki reliabilitas sangat tinggi, berarti perangkat tes ini memiliki keajegan sangat tinggi untuk digunakan sebagai alat penilaian hasil belajar siswa.

Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti memutuskan bahwa perangkat tes hasil belajar siswa draft III untuk dijadikan draft IV (draft final), masih memerlukan revisi. Revisi tersebut secara garis besar dilakukan dengan cara: (1) Mengurangi banyak butir soal yang berfungsi untuk mengukur KD yang sama, (2) Merevisi kisi-kisi tes, alternatif jawaban siswa dan pedoman pemberian skor sesuai dengan revisi pada butir soal tes.

(14)

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data dan diskusi hasil penelitian, melalui prosedur pengembangan perangkat pembelajaran Model 4-D (Four D-Model) yang dimodifikasi hanya sampai pada tahap pengembangan (develope), dapat disimpulkan bahwa: (1) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara teoretis, (2) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah dinilai ahli dengan nilai 3 atau dapat digunakan dengan sedikit revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas, dan (5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP.

DAFTAR PUSTAKA

Marpaung, Y. 2001. “Pedekatan Realistik dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Pendidikan Matematika realistik” di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tanggal, 14 - 15 Nopember 2001.

Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. ---. 2001. “Pemanfaatan Realitas dan lingkungan dalam Pembelajaran Matematika”.

Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education (RME) di UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001.

Thiagarajan, S. , Semmel, D. S. dan Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Teacher

(15)

PENGGUNAAN MODEL Connecting, Organizing, Reflecting and Extending

(CORE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

MATEMATIS SISWA SMP

Grifin Ryandi Egeten1), Louise M. Saija2)

1) Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: 15juni1992@gmail.com

2) Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia

Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: louise_saija@yahoo.com Abstrak

Dilaporkan bahwa saat ini 70% siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang rendah. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMP merupakan masalah yang besar yang harus diatasi. Untuk itu diperlukan suatu solusi sehingga siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menggunakan model pembelajaran connecting, organizing, reflecting and extending (CORE). CORE memacu siswa lebih kritis dalam mengumpulkan data dari suatu masalah, mempersiapakan rencana penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah dan juga lebih teliti dalam memecahkan suatu masalah. Oleh karena itu pada penelitian ini model CORE digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMP. Siswa SMP Negeri 1 Parongpong Bandung Barat digunakan sebagai sampel. Sampel dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: kelompok kontrol, yang diberi perlakuan pengajaran konvensional dan kelompok eksperimem yang diberi perlakuan pengajaran model CORE. Dari hasil analisis data dengan menggunakan statistik uji-𝑡 pada tingkat signifikansi 𝛼 = 0.05 diperoleh bahwa model pembelajaran CORE menghasilkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah lebih baik dibanding dengan pembelajaran konvensional. Didasarkan pada hasil ini, model pembelajaran CORE dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.

Keywords: Model CORE, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Siswa SMP.

PENDAHULUAN

Kemampuan pemecahan masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran matematika karena memberikan keuntungan bukan hanya pada saat belajar tetapi memberikan kesanggupan untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah termasuk masalah sehari – hari (Pimta et al., 2009). Klegeris et al., (2012) juga memaparkan hal yang selaras bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah akar dari segala bentuk pendidikan karena menyanggupkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir.

Kemampuan pemecahan masalah yang baik adalah kunci untuk mendapat solusi yang berguna dalam pembelajaran matematika. Tindakan untuk berpikir terhadap konsep matematika merupakan hal yang sulit bagi siswa (Huang et al., 2012). Kemampuan pemecahan masalah itu melibatkan kesanggupan untuk melakukan pertimbangan yang baik, menganalisis, memberikan pendapat yang membangun, dan pengembangan akan strategi maupun ide – ide yang baru. Hal tersebut didapati dalam pembelajaran matematika, dan semuannya itu berdampak pada pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa (Woodward et al., 2012). Sajadi et al., (2013)

(16)

melaporkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kesulitan bagi banyak siswa karena proses mencari solusi dari masalah tersebut kompleks.

Sebagian kecil siswa sering mencoba untuk mendorong dirinya sendiri untuk dapat memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika, untuk menjadi lebih tekun, mampu membuat suatu pendekatan yang berbeda, dan dapat membuat solusi (Kennedy & Stoyonova, 2012). Itu sebabnya pencapaian pembelajaran matematika anak SMP hanya kecil yaitu 6 %. Didapati bahwa 1 % siswa yang akan belajar matematika, 29 % siswa yang akan menggunakan matematika dalam kehidupan mendatang, dan 70 % siswa yang tidak akan pernah mau membutuhkan matematika (Huang et al., 2012).

Model pembelajaran dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan menolong siswa menjadi lebih efektif dalam belajar (Sajadi et al., 2013). Untuk menolong pencapaian yang rendah tersebut, kemampuan pemecahan masalah harus dipertajam dengan menggunakan model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,

Reflecting, and Extending). Model CORE berlandaskan pada teori konstruktivisme yang mampu

membuat siswa menjadi lebih aktif, kreatif, kritis, dan membangun sendiri pengetahuan yang mendalam tentang matematika melalui sarana yang ada (Azizah et al., 2012). CORE ialah

connecting: Dalam belajar matematika siswa perlu dihubungkan pengetahuan yang sudah

dipelajari dan yang akan dipelajari karena setiap pengetahuan yang diperoleh berguna untuk menyelesaikan masalah. Pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah bukan berasal dari guru, melainkan diperoleh dengan menghubungkan berbagai sumber pengetahuan sehingga membangun pengetahuan yang mendalam akan matematika dan ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah (Marais & Nalize, 2011), organizing: mengorganisir pengetahuan tersebut sehingga membuat suatu keterkaitan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dan pengetahuan yang akan diperoleh. Untuk mempermudahnya siswa dapat bekerja sama dalam kelompok melalui diskusi. Dengan berdiskusi terjadi interaksi sesama siswa dalam kelompok, hal ini membantu siswa mengerti mengkaitkan semua informasi pengetahuan yang ada menjadi suatu rencana pemecahan yang baik (Ase & Hansson, 2012), reflecting: siswa harus meningkatkan proses berpikir dengan cara membuat suatu kesimpulan dari materi yang diajarkan, menyelesaikan soal yang diberikan, dan merenung untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut, bila terdapat kesalahan dalam menyelesaikan soal siswa dituntun untuk berpikir menemukan jawaban yang benar dan tepat dan ini semua dilakukan di dalam kelompok masing - masing (Clark & Marie, 2009), extending: diberikan soal secara individu kepada siswa, untuk melatih siswa untuk mengerti materi yang diajarkan. Pemberian soal yang lebih tinggi tingkat kesulitannya memberikan sebuah kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan apa yang telah dipelajari dan soal tersebut harus dikerjakan sendiri (Kaur & Berinderjeet, 2011).

Dengan adanya kemampuan connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan dulu dengan sekarang), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting (membuat

(17)

kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi)mampu melatih siswa memecahkan suatu masalah (Azizah et al., 2012). Dengan demikian model CORE dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Berdasarkan uraian diatas perlu untuk diteliti suatu penelitian ilmiah tentang penerapan model connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.

METODE PENELITIAN

Dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat diterapkan model pembelajaran connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE). CORE merupakan model pembelajaran yang membantu siswa untuk belajar mandiri dengan menggunakan teknik connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan yang sudah ada dengan yang akan dipelajari), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting (membuat kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi). Metode penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut:

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena dari awal penelitian sampai pada tahap akhir penelitian ini menuntut penggunaan angka yang diolah dengan menggunakan statistik.

Waktu dan Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini berlokasi di Parongpong Bandung Barat. Waktu untuk penelitian adalah empat minggu, mulai dari tanggal 12 November 2013 sampai tanggal 04 Desember 2013. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP Kelas VIII di Bandung. Yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah sekolah SMP Negeri 1 Parongpong. Pemilihan sampel akan dilakukan dengan teknik simple random sampling sehingga diperoleh dua kelompok yang berbeda yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen berjumlah 37 orang dan kelompok kontrol berjumlah 36 orang.

Prosedur

Langkah – langkah yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Langkah Pertama:

Dalam melakukan penelitian ini terdapat alat dan bahan yang diperlukan untuk menjalankan penelitian ini, bahan penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

(18)

No. Nama Bahan Peruntukan

1 Buku Paket Diperlukan untuk mengajar materi ajar.

2 Kertas (A4) Diperlukan untuk print out soal, LKK, dan LKM.

3 Spidol Untuk menulis di papan tulis

4 Tinta Printer Untuk mencetak dokumen penelitian

Sementara peralatan utama yang diperlukan dan diperuntukkan diuraikan pada tabel berikut: No. Nama Alat Peruntukan

1 Lap Top Diperlukan guru untuk membuat soal, LKK, LKM, dan instrument penelitian termasuk bahan ajar diluar buku paket. 2 Printer Diperlukan untuk mencetak semua soal, LKK, dan LKM. 3 LCD Menampilkan bahan ajar yang berasal dari lap top.

Langkah Kedua:

a. Memilih bahan ajar

Bahan ajar yang dipilih harus disesuaikan dengan waktu dan silabus yang ada. Bahan ajar yang ditetapkan pada penelitian ini adalah sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Bahan ajar ini untuk SMP kelas VIII dan tepat dengan waktu yang diharapkan yaitu pada bulan November 2013.

b. Membuat RPP, LKK, LKM

Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja kelompok (LKK), dan lembar kerja mandiri (LKM) yang sesuai dengan materi ajar yaitu SPLDV. LKK dan LKM yang dibuat harus menuntun siswa kearah soal – soal pemecahan masalah agar dapat melatih kemampuan pemecahan masalah siswa. Hal ini diperlukan agar mempersiapkan pengajar dalam mengajar dengan baik pada setiap pertemuan.

c. Menyusun Instrument

Instrument yang dibuat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa. Jumlah soal dalam instrument yaitu lima soal. Soal – soal ini dibuat sesuai dengan materi, standar kompetensi, kompetensi dasar sesuai dengan silabus dan soal – soal ini dibuat dengan bimbingan dari dosen.

Langkah Ketiga:

a. Melakukan uji coba instrumen pada sampel uji coba instrument

Instrument yang telah dibuat akan diuji cobakan pada siswa SMP kelas VIII diluar dari sampel penelitian.

(19)

Data dari hasil uji coba instrument dikumpulkan untuk dihitung validitas dan reliabilitas instrument tersebut. Tujuan untuk mengetahui soal yang valid dan tidak valid. Soal yang valid akan dilakukan pada pretes dan postes.

Langkah Keempat:

a. Menentapkan sampel penelitian

Pada penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah siswa SMP Negeri 1 kelas VIII Parongpong Bandung Barat.

b. Mengelompokkan sampel penelitian

Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 73 siswa yang akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu 37 siswa kelompok eksperimen dan 36 siswa kelompok kontrol. Pembagian kelompok ini dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling.

Langkah Kelima:

a. Pretes

Soal yang telah selelah diuji cobakan dan sudah dilihat kevalidannya akan digunakan

menjadi pretest. Pretest ini diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum mulai proses belajar mengajar untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siwa.

b. Perlakuan

Selama penelitian ini berlangsung akan diberikan perlakuan yang berbeda terhadap

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen akan mendapat perlakuan model pembelajaran CORE dan kelompok kontrol mendapat perlakuan pembelajaran konvensional. Perlakuan akan dilakukan selama delapan pertemuan sesuai dengan RPP yang dibuat.

c. Postes

Soal yang diberikan pada pretest akan diberikan juga pada pertemuan terakhir pada

penelitian ini dengan kompetensi dasar yang sama bentuk soal yang sama namun berbeda kandungan angka pada setiap soal. Postes juga menjadi bagian untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis.

Langkah Keenam:

Data dikumpulkan dengan menggunakan instrument (soal pretest postest) untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Data dari kedua kelompok dianalisis dengan menggunakan statistic uji-t namun sebelumnya normalitas distribusi data setiap kelompok terlebih dahulu diuji melalui uji normalitas. Selanjutnya kehomogenan varians kedua data juga diuji melalui uji homogenitas. Dari hasil statistik uji-t akan didapat informasi perbedaan tingkat kemampuan pemecahan masalah dari kedua kelompok. Mengacu pada hasil uji-t maka dapat ditarik suatu kesimpulan.

(20)

Langkah Ketujuh:

Menarik kesimpulan yang menunjukkan bahwa model CORE mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswap SMP dan model CORE ini pantas digunakan sebagai model pembelajaran matematika dalam proses belajar – mengajar.

Data, Instrument, dan Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan langkah – langkah diatas, data akan diperoleh dari hasil tes kemampuan pemecahan masalah pretes dan postes dengan menggunakan instrumen penelitian yang ada. Instrumen penelitian ini terdiri dari lima soal mewakili semua kompetensi dan valid. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi dan data dari hasil pretes – postes. Kuesioner tentang sikap siswa terhadap model pembelajaran yaitu model CORE, soal – soal pemecahan masalah, serta pelajaran matematika.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis validitas butir soal, analisis reliabilitas, uji normalitas, dan uji beda dua rata – rata (uji – t). Analisis validitas butir soal digunakan untuk melihat kevalidan dari instrument yang dibuat, analisis reliabilitas untuk melihat soal yang diandalkan, uji normalitas untuk melihat data merupakan sebaran secara normal sehingga dapat dilakukan perhitungan statistik, dan uji beda dua rata – rata digunakan untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah dengan model CORE dibanding dengan konvensional.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini belum selesai dilakukan, masih dalam proses. Penelitian dengan model CORE untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah sudah pernah diteliti oleh Wijayanti tahun 2012 dengan judul “penerapan model connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP” yang dilakukan di Bandung menarik kesimpulan bahwa: 1) Siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model CORE terbukti mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah. 2) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model konvensional. 3) Siswa memberi respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE. Wijayanti menerapkan model CORE pada kelas VIII dengan materi bangun ruang sisi datar dan membuat kelompok. Ada juga penelitian yang dibuat oleh Kumalasari dengan judul “peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP melalui pembelajaran matematika model CORE” menarik kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok eksperimen siswa yang belajar dengan model CORE lebih baik daipada kelompok kontrol yang belajar melalui pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini, terdapat beberapa nilai baru yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu penggunaan model

(21)

CORE dengan materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Cara membuat kelompok pada model CORE menggunakan rangking pertemanan, tidak hanya dari hasil pretes dan postes. Dengan perbedaan tersebut akan diteliti apakah model CORE dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP?

SIMPULAN DAN SARAN

Salah satu alternatif pembelajaran matematika yang disajikan pada penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan model connecting, organizing, reflecting, and

extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.

DAFTAR PUSTAKA

Ase dan Hansson. (2012). The Meaning of Mathematics Instruction in Multilingual Classroom:

Analyzing the Importance of Responsibility for Learning. Education Study

Mathematics, 81: 103 – 125.

Azizah L, Mariani S, dan Rochmad. (2012). Development of Devices The CORE Model

Constructivism Mathematic Connection. Unnes Journal of Mathematics Education

Research, 2 (1), 101.

Clark dan Marie A. (2009). When Privilege Meets Poverty: Using Poetry in The Process of

Reflection. Journal on Excellence in College Teaching, v20 n2 p125 – 142.

Huang T H, Liu Y C, dan Chang H C. (2012). Learning Achievement in Solving Word-Based

Mathematical Questions through a Computer-Assisted Learning System. Educational

Technology & Society, 15 (1), 248 – 259.

Kennedy dan Stoyonova N. (2012). What are You Assuming?. Mathematics Teaching in Middle School, v18 n2, 86 – 91.

Kaur dan Berinderjeet. (2011). Mathematics Homework: A Study of Three Grade Eight

Classrooms in Singapore. International Journal of Science and Mathematics Education,

v9 n1 p187 – 206.

Klegeris A, Bahniwai M, dan Hurren H. (2013). Improvement in Generic Problem-Solving

Abilities of Students by Use of Tutor-less Problem-Based Learning in Large Classroom Setting. Life Sciences Education, Vol. 12, 73 – 79.

Marais, dan Nalize. (2011). Connectivism as Learning Theory: The Force Behind Changed

Teaching Practice in Higher Education. Journal for Education and Social Enterprise,

v4 n3 p173 – 182.

McDonald B. (2013). Evaluation instruments used in Problem-Based Learning. University of Trinidad and Tobago.

Pimta S, Tayruakham S, dan Nuangchalerm P. (2009). Factors Influencing Mathematic

(22)

Polya. G. (2008). How to Solve It. United States of America: Princeton University Press.

Sajadi M, Amiripour P, dan Malkhalifeh M R. (2013). The Examining Mathematical Word

Problems Solving Ability under Efficient Representation Aspect. Mathematics

Education Trends and Research, 1 – 11.

Woodward J, Beckmann S, Driscoll M, Franke M, Herzig P, Jitendra A, Koedinger K R, dan Ogbuehi P. (2012). Improving Mathematical Problem Solving in Grades 4 Through 8. Institute of Education Sciences, p6.

(23)

STUDI LITERATUR: PENGGUNAAN STRATEGI SCAFFOLDING DALAM

MENINGKATKAN KEMAMPUAN HIGHER ORDER THINKING SISWA

Nur Wahidin Ashari

Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154, email: arhie_bilingual@yahoo.co.id

Abstrak

Peningkatan kemampuan Mathematical Higher Order Thinking sudah menjadi tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Namun kenyataanya beberapa hasil studi memperlihatkan bahwa kemampuan Mathematical Higher Order Thinking siswa di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini diakibatkan karena masalah matematika yang diberikan disekolah masih tergolong dalam Lower Order Thinking yang sifatnya rutin. Selain itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa startegi pembelajaran yang digunakan guru masih monoton dan berpusat pada guru. Sesuai dengan Taksonomi Bloom yang telah direvisi Lower Order Thinking mencakup mengingat, mengetahui, dan mengaplikasikan sedangkan Higher Order

Thinking mencakup menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Studi literatur ini

mengkaji tentang pengaruh strategi scaffolding terhadap kemampuan Higher Order

Thinking siswa.

Kata kunci: Higher Order Thinking, Taksonomi Bloom, Strategi Scaffolding

PENDAHULUAN

Berpikir adalah sebuah proses yang melibatkan operasi-operasi mental, seperti induksi, deduksi, klasifikasi dan penalaran, selain itu berpikir adalah sebuah proses representasi secara simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian riil dan menggunakan representasi itu untuk menemukan prinsip-prinsip esensial objek dan kejadian tersebut, berpikir diartikan pula sebaai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan inferensi atau judgment yang baik. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa berpikir merupakan suatu proses mengolah informasi yang melibatkan operasi mental dan menghasilkan suatu representasi secara simbolis dari informasi tersebut (Arends, 2008, 43).

Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis diklasifikasikan menjadi dua tingkat berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas, digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna, kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).

Peningkatan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi sudah selayaknya menjadi tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Kemampuan bepikir khususnya berpikir tingkat tinggi perlu mendapat perhatian yang serius karena sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa

(24)

pembelajaran matematika masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang bersifat prosedural (Suryadi, 2012, 2).

Higher Order Thinking berarti memberi tantangan dan mengembangkan penggunaan

pikiran, sedangkang lower thinking berarti, rutin, penerapan mekanistis dan tidak berpikir secara luas. Tantangan disini berarti memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan penggunaan pikiran. Hal ini akan muncul ketika siswa harus menginterpretasi, analisis, atau memanipulasi informasi. Masalah disini tidak akan terpecahkan melalui penerapan pengetahuan sebelumnya secara rutin (Newmann, 1988).

Higher order thinking juga dapat dilihat dari Taxonomy of Educational Objective dari

Bloom, yang dikenal sebagai Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom membagi dua tingkat pemikiran kognitif yaitu Lower Order Thinking dan Higher Order Thinking, seperti yang di jelaskan oleh (Thompson, 2008) yaitu

“The thinking skills in Bloom Taxonomy considered LOT include knowledge and comprehension, while the thinking skills of analysis, synthesis and evaluation are considered HOT. Application often falls into both categories”.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher

order thinking dengan mudah dapat dikenali apabila fitur – fitur utama dari kemampuan berpikir

tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur – fitur tersebut yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu: (1) non algorithmic, (2) komplex, (3)

multiple solutions (banyak solusi), (4) melibatkan nuance judgment dan interpretasi, (5) multiple criteria (banyak kriteria), (6) uncertainty (ketidakpastian), (7) melibatkan self-regulation proses –

proses berpikir, (8) melibatkan imposing meaning (menentukan makna), (9) bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha).

Berkaitan dengan masalah yang membutuhkan Higher order thinking, siswa Indonesia pada umumnya belum bisa menyelesaikannya. Hal ini juga diperjelas oleh hasil TIMSS untuk kelas dua SLTP (eight grade), memperlihatkan bukti lebih jelas bahwa soal–soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2012,2). Hal ini dikarenakan berpikir tingkat tinggi berbeda dari perilaku yang lebih konkret, sifatnya kompleks dan tidak dapat diturunkan menjadi rutinitas rutinitas yang lebih pasti (Arends, 2008,43).

Kebanyakan siswa sudah mampu mencapai lower thinking namun sebagian kecil siswa yang mampu higher order thinking. Bahkan menurut penilaian 3 tahunan “PISA at Galance 2009” (OECD, 2010) tidak lebih dari 10% siswa di Indonesia yang bisa mencapai higher order

thinking dan berada pada peringkat 63 dari 65 negara.

Menanggapi masalah siswa yang pada umumnya tidak mampu menyelesaikan masalah yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, telah banyak berkembang model – model pembelajaran untuk mengatasi masalah ini. Namun, dilain pihak ketarampilan berpikir tingkat

(25)

tinggi tidak dapat diajarkan dengan menggunakan pendekatan – pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan ide – ide dan ketarmpilan konkret (Arends, 2008, 44).

PEMBAHASAN Higher Order Thinking

Solso, (1995) menyatakan bahwa berpikir adalah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi oleh interaksi yang kompleks dari sifat mental dari penilaian, abstraksi, penalaran, membayangkan dan pemecahan masalah.

Mayer (Solso, 1995) menyatakan bahwa terdapat tiga ide dasar tentang berpikir yaitu:

(1) Berpikir bersifat kognitif yaitu, menghasilkan “secara internal” dalam akal namun disimpulkan dari perilaku.

(2) Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif.

(3) Berpikirdiarahkan untukdanmenghasilkanperilaku"memecahkan" masalahataudiarahkan padasolusi.

Sedangkan menurut (Arends, 2008) definisi berpikir adalah:

(1) Sebuah proses yang melibatkan operasi – operasi mental, seperti induksi, deduksi, klarifikasi, dan penalaran.

(2) Sebuah proses representasi secara simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian riil dan menggunakan representasi simbolis itu untuk menemukan prinsip – prinsip esensial objek dan kejadian tersebut. Representasi simbolis (abstrak) itu biasanya diperbandingkan dengan operasi – operasi mental yang didasarkan pada fakta dan kasus – kasus tertentu di tingkat konkret.

(3) Kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan inferensi atau judgement yang baik.

Sebaiknya sekolah lebih memberikan pembekalan pada siswa untuk berpikir. Siswa harus dilatih untuk mempertanyakan isi, misalnya membedakan antara fakta dan opini, kesimpulan sementara dan kesimpulan tetap, faktor yang relevan dan yang tidak relevan; generalisasi yang yang benar, mengadakan klasifikasi dan sebagainya (Harsanto, 2011).

Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis diklasifikasikan menjadi dua tingkat, berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas, digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna, kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher

(26)

tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur – fitur tersebut yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu:

(a) Higher order thinking bersifat non algorithmic, artinya, jalur tindakan tidak ditetapkan

sebelumnya.

(b) Higher order thinking cenderung bersifat komplex. Jalur totalnya tidak “visibel” (secara

mental) dilihat dari sudut manapun.

(c) Higher order thinking sering mendapatkan multiple solutions (banyak solusi), masing –

masing dengan kerugian dan keuntungannya masing – masing, dan bukan sebuah solusi tunggal.

(d) Higher order thinking melibatkan nuance judgment and interpretasi.

(e) Higher order thinking melibatkan penerapan multiple criteria (banyak kriteria), yang

kadang – kadang bertentangan satu sama lain..

(f) Higher order thinking sering melibatkan uncertainty (ketidakpastian). Tidak semua yang

berhubungan dengan tugas yang harus ditangani telah diketahui.

(g) Higher order thinking melibatkan self-regulation proses – proses berpikir. Kita tidak dapat

menengarai higher – order thinking dalam individu bila orang lainlah yang menentukan setiap langkahnya.

(h) Higher order thinking melibatkan imposing meaning (menentukan makna), menemukan

struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan.

(i) Higher order thinking bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha). Ada banyak

pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya. Tahun 1956 Bloom menyampaikan gagasan dalam bentuk taksonomi yang dikenal dengan “Taksonomi bloom” yang disajikan dalam bentuk hirarki. Taksonominya bloom memberikan pemetaan ranah kognitif dalam kategori berpikir. Bloom membagi tingkat berpikir menjadi enam tingkatan yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis, dan berpikir evaluative atau berpikir kreatif (evaluation).

Tahun 1990-an Lorin Anderson, murid dari Bloom membuat revisi dari taxonomy gurunya. Revisi yang dilakukan oleh Anderson ini menggunakan kata kerja dari setiap kategori dan penyusunan kembali tahapan-tahapan yang ada di dalam taxonomy sebelumnya.

Menurut (Thompson, 2008, 98) Kemampuan berpikir pada taksonomi Bloom mempertimabangkan LOT mencakup pengetahuan dan pemahaman, sementara kemampuan berpikir seperti analisis, sintesis, dan evaluasi dikategorikan sebagai HOT. Aplikasi berada dianatara baik HOT maupun LOT.

a. Menganalisis

Tujuandomain menganalisismencakup belajaruntuk menentukanbagianyang relevan ataupenting dari sebuahpesan (membedakan),cara-caradi manabagian - bagianpesaninidiatur(mengorganisir)dan tujuandasar daripesan(menghubungkan)

(27)

5 17 3 11 10 25 9 15 31

(a) Membedakan melibatkan membandingkan bagian-bagian dari seluruh struktur dalam hal relevansi atau pentingnya. Membedakan terjadi ketika seorang siswa mendiskriminasikan informasi relevan dari informasi yang tidak relevan, atau informasi penting dari informasi yang tidak penting, dan kemudian berada pada informasi yang relevan atau penting.

(b) Mengorganisirmelibatkan identifikasiunsur-unsurkomunikasiatau situasidan mengenalibagaimana mereka cocok bersamake dalam strukturyang jelas. Dalam

mengorganisir, mahasiswamembangun koneksisistematis dan

koherenantarabagianinformasi yang disajikan.Pengorganisasianbiasanya terjadiinconjuctiondengan membedakan. Istilahalternatif untukpengorganisasian adalahmenyusun, mengintegrasikan, menemukankoherensi,menguraikan, dan melakukan pengecekan.

(c) Menghubungkanterjadi ketikasiswamampumemastikansudut pandang, prasangka, nilai-nilai, atau tujuan komunikasidasar. Menghubungkanmelibatkanprosesdekonstruksi, di mana siswamenentukanmaksuddaripenulismateri yang disajikan. Sebuahistilahalternatif adalahmendekonstruksi. Menghubungkandapat dinilaidengan menyajikanbeberapa materitertulis atau lisandan kemudianmemintasiswa untukmembangun ataumemilihdeskripsi daripenulisatau titikpandangpembicara, niat, dan sejenisnya.

Dalam Taksonomi Bloom, tingkat analisis adalah di mana siswa menggunakan pertimbangan sendiri untuk mulai menganalisis pengetahuan yang telah mereka pelajari. Pada poin ini, mereka mulai memahami struktur yang mendasari untuk pengetahuan dan juga mampu membedakan antara fakta dan opini (Kelly, 2002).

Salah satu jalan untuk melihat kemampuan siswa dalam menganalisis masalah adalah guru mengajukan pertanyaan “bagaimana jika?” (what if …?). Harta, (2008) menyatakan bahwa pertanyaan ini membuat siswa memeriksa kembali soal dan melihat apakah pengaruh perubahan ini terhadap proses penyelesaian dan juga jawabannya. Dengan jalan ini siswa akan menganalisa apa yang terjadi sehingga akan meningkatkan berfikir kritisnya. Berikut contohnya.

Yani mengambil empat kartu bilangan bernilai 31, 5, 9 dan 10. Berapakah total nilai kartu-kartu bilangan

tersebut?

Dengan proses penjumlahan sederhana diperoleh jawaban 55. Sekarang ajukan pertanyaan: Bagaimana jika…?

Bagaimana jika Yani mengambil empat kartu dengan total nilai 55? Kartu bilangan manakah yang diambilnya?

Banyak jawaban terhadap pertanyaan ini. Artinya, terdapat banyak jawaban benar. Soal terakhir ini lebih memerlukan analisa, bukan sekedar latihan penjumlahan.

Gambar

Gambar 2. Modifikasi Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran dari Model 4-D (Four D  Model)
Tabel 2 Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Perangkat Pembelajaran
Tabel 3Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Instrumen Penelitian
Tabel 4 Jadwal Kegiatan Uji Keterbacaan dan Simulasi RPP Tertentu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menjembatani antara Mahasiswa dengan Mahasiswa atau antara Mahasiswa dengan Dosen pengampu, sistem eLearning juga menyediakan menu forum yang dapat digunakan

Penetaan lingkungan pemukiman penduduk perdesaan Belanja Pengadaan Konstruksi, Pemb/ Peningkatan Jalan Lingkungan/Gertak (Paket..

Dalam hasil kajian ini penulis berharap dapat menyumbangkan pemikiran kegiatan pemberdayaan Majlis Taklim khususnya di Desa Rambah Hilir Timur, mengenai strategi

[r]

Based on the fact found in the result and dis- cussion, there are several conclusions can be made regarding the objective of the research; (1) Both configuration method of

Abstract : the objectives of this study were to find out the consumers’ perceptions and attitudes toward two brands of automatic motorcycle products, namely Yamaha Mio and Honda

Kementerian Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan teremahannya (Bandung: CV Mikraj Khazanah Ilmu, 2013), h.113.. yang lebih mendalam tentang materi-materi yang ada didalam

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata sebagaimana telah diubah terakhir dengan