• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang metode tradisi lisan dan gotong-royong.

1. Robert Sibarani, 2014, mengangkat topik Kearifan lokal Gotong-Royong

Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba, yang menjelaskan bahwa konsep

gotong-royong dalam perumpamaan Batak Toba sebagai memori kolektif, bahkan sebagai penyimpan kegotong-royongan dalam masyarakyat Batak Toba. Berdasarkan memori kolektif itu, konsep kegotong-royongan mencakup nilai gotong-royong, yakni saling mendukung, mengiakan, menyetujui, membantu, atau seia sekata, bekerja sama, sama sama bekerja, memahami, dan mendukung. Pada setiap tradisi kelahiran, tradisi perkawinan, dan tradisi kematian terdapat kearifan lokal gotong-royong, yang terimplementasi dalam kebersamaan, kesepakatan, saling membantu, dan kerja sama dalam melaksanakan tradisi kelahiran dan tradisi perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

2. Lister Berutu, 2013, mengangkat topik Gotong-Royong Pada

Masyarakat Pakpak di Sumatera Utara, yang menjelaskan bahwa

berbagai potensi budaya daerah perlu dikaji lebih lanjut sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan dalam proses penerapan pembangunan yang berpartisipatif dengan nilai-nilai gotong-royong, musyawarah dan mufakat masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia umumnya,

(2)

begitu halnya dengan masyarakat Pakpak. Pada masyarakat Pakpak, sistem gotong-royong sangat jelas terlihat pada upacara adatnya, juga pada sistem ekonomi dan mata pencaharian. Disini juga dijelaskan bagaimana gotong-royong pada saat kerja bakti seperti pembangunan bale, jalan atau jembatan, pemandian umum, tempat ibadah, dan tempat-tempat lainnya. 3. Andika Mustaqim, dalam Jurnal Wanasastra yang berjudul

Gotong-Royong Dalam Dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas Karya Andera Hirata, mengusung dengan konsep kemasyarakatan yang ada di

Indonesia yakni gotong-royong dan kesetiakawanan sosial. Semua karya yang ditulis mengandung dua konsep yang menjadi akar sosial bangsa Indonesia, yang kini tyelah hampir saja ditinggalkan. Dwilogi ini mengingatkan kembali tentang tradisi gotong-royong dan kesetiakawanan sosial yang hampir diabaikan oleh semua elemen bangsa ini.

(http://www.academia.edu/5471211/JURNAL_WANASATRA.)

2.1.1 Kearifan Lokal

Menurut Balitbangsos Depsos (Sibarani, 2014:115), bahwa kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif.

Menurut Sibarani (2014:129), “Kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap akal

(3)

budi dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan sosialnya.”

2.1.2 Gotong-royong

Sibarani (2014:55) membagi gotong-royong menjadi dua jenis yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yakni:

1. Gotong-royong tolong-menolong, ini biasanya terjadi pada aktivitas pertanian, aktivitas sekitar rumah tangga, aktivitas pesta dan pada peristiwa bencana dan kematian.

2. Gotong royong kerja bergantian disebut juga dengan marsiadapari. Dalam hal marsiadapari, kegiatan ini dilakukan dengan cara bergantian. Dimana seorang individu/keluarga mendatangi masyarakat yang ingin dimintai bantuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Kegiatan marsiadapari biasanya dilakukan pada saat pembukaan lahan, bercocok tanam dan panen. Akan tetapi, masyarakat yang menolong tidaklah diberi upah berupa uang , akan tetapi pemprakarsa akan kembali bekerja di kebun/ladang orang yang membantunya sesuai dengan waktu dimana masyarakat itu membantunya

3. Gotong-royong kerja bakti, biasanya bersifat untuk kepentingan umum yang dikelompokkan dua tipe, yakni yang pertama kerja bakti atas inisiatif warga masyarakat dan yang kedua ialah kerja bakti karena dipaksakan atau disuruh.

Ada beberapa macam gotong-royong menurut Koentjaraningrat skripsi Roya Kokumo, (2011: 34), yakni :

(4)

2. Tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga; 3. Tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara

4. Tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian. Aktivitas pertanian seperti halnya yang sangat berkaitan dengan bercorak tanam, orang bisa mengalami musim sibuk, tetapi sebaliknya juga musim lega. Dalam aktivitas rumah tangga, misalnya ada orang yang memperbaiki atap rumahnya. Adapun tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara, dalam aktivitas ini merangsang bagi para pembantu bersifatlangsung, ialah ikut merayakan pesta, ikut menikmati makanan enak dan seterusnya.

Kata gotong-royong berasal dari bahasa Jawa yaitu gotong dan royong. Gotong atau menggotong berarti mengangkat benda yang berat yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama, sedangkan kata royong mencerminkan penikmatan hasil pekerjaan secara adil, sesuai dengan besar sumbangan yang diberikan. Dengan demikian, gotong-royong itu berarti bekerja secara bersama-sama dan menikmati hasil pekerjaannya dengan adil. Namun saja tradisi gotong-royong tidak hanya dikenal di pulau Jawa saja.

Berbagai daerah di Indonesia memiliki istilah gotong-royong. Di Jawa dipakai istilah sambatan atau gugur gunung, Ambon dipakai istilah mahosi, Bali dipakai istilah subak, Batak dipakai istilah marsiadapari, Kalimantan Tengah dipakai istilah lemeh, sedangkan Sulawesi Utara menggunakan istilah mapalus.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sibarani 2014:9) disebutkan bahwah gotong-royong diartikan sebagai bekerja bersama-sama, tolong-menolong, bantu-membantu. Mereka yang melakukan gotong-royong karena adanya sifat senasibsepenanggungan dalam masyarakat. Mereka bersama-sama dalam suka maupun duka. Dalam kegiatan gotong-royong tolong-menolong

(5)

ataupun gotong-royong kerja bakti terdapat kesepakatan atau kemufakatan untuk apa, kapan, dimana, atau di tempat siapa bergotong royong, hal tersebut harus dimusyawarahkan terlebih dahulu.

Teori gotong-royong dalam masyarakat sebagaimana yang kita ketahui adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah, dan ringan. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong-royong antara laindalam hal mata pencaharian seperti menanam padi, pembukaan lahan pertanian, pembukaan perkampungan baru, pembuatan rumah, pelaksanaan upacara adat, juga kegiatan lainnya. Sikap gotong-royong itu seharusnya dimiliki oleh seluruh elemen atau lapisan masyarakat.

Dengan demikian, segala sesuatu yang akan dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan dan pastinya pembangunan di daerah tersebut akan semakin lancar dan maju. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong-royong maka hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

Gotong-royong dalam Batak Toba disebut dengan marsiadapari. Marsiadapari adalah bertukar tenaga kerja. Masyarakat Batak Toba sering menyebut kata marsiadapari ini dengan marsirumpa. Tetapi perlu diketahui bahwa marsiadapari dan marsirumpa adalah dua kata yang berbeda arti. Perbedaan antara kedua kata tersebut terletak pada praktik kerjanya. Pada dasarnya kedua kata ini mempunyai makna yang sama yaitu gotong-royong. Marsiadapari adalah saling tukar tenaga kerja sedangkan marsirumpa ataupun mangarumpa adalah saling memberikan bantuan umum. Dua kata tersebut mempunyai makna yang sama yaitu gotong-royong ataupun yang lebih sering disebut kerja sama.

(6)

Gotong-royong yang dimaksud dalam budaya marsiadapari adalah seperti adanya sebuah kelompok kerja di suatu daerah. Kelompok kerja ini membuat suatu kesepakatan, yaitu: Pertama, kelompok kerja tersebut akan terlebih dahulu menentukan ke lahan atau ke tempat siapa memulai pekerjaan tersebut. Kedua, makanan (sarapan, makan siang, atau snack) untuk para kelompok kerja, apakah disediakan pemilik lahan pekerjaan atau dibawa masing-masing.Setelah disepakati barulah para kelompok kerja ini mulai bekerja sesuai dengan kesepakatan. Pekerjaan yang akan dikerjakan oleh para kelompok kerja ini ditentukan oleh orang yang bersangkutan. Kelompok kerja tersebut tidak boleh menentukan pekerjaan yasng akan dikerjakan, baik itu pekerjaan berat maupun pekerjaan ringan. Para kelompok kerja harus siap atas pekerjaan yang sudah ditentukan oleh orang yang bersangkutan. Demikian seterusnya bergantian mulai dari orang pertama sampai orang terakhir.

Sedangkan mangarumpa atau marsirumpa adalah saling memberikan bantuan umum. Misalnya, jika desa tersebut membersihkan jalan umum ataupun membangun balai desa, semua warga masyarakat ikut serta bekerja sama dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut. Warga masyarakat tidak akan mendapatkan upah. Semua saling memberikan bantuan baik itu tenaga maupun makanan dan minuman untuk para pekerja. Tetapi kebiasaan gotong-royong tersebut sudah semakin memudar.

2.2 Teori yang Digunakan 2.2.1 Tradisi Lisan

Folklor berasal dari bahasa Inggris yakni folk dan lore. Folk adalah kelompok dari orang-orang yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang

(7)

membedakannya dari kelompok lain, misalnya mata pencarian, bahasa, agama, dan lain-lain. Sedangkan lore adalah tradisi dari folk itu sendiri yang diwariskan secara turun-temurun melalui lisan atau dengan tutur kata, atau melalui suatu contoh yang disertai dengan perbuatan. Jadi definisi folklor adalah sebagian dari kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional, diantara anggota-anggota dari kelompok dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai perbuatan.

Tradisi lisan adalah salah satu cara masyarakat untuk menyampaikan sejarah lisan melalui tutur/lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu dan membentuk karakter generasi masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi masa mendatang (Sibarani 2014:2-3).

Menurut Sibarani (2014 :251-252), “Tradsi lisan dapat dikaji dari latar belakang ilmu sastra. Semua struktur seperti latar, alur, gaya bahasa, penokohan dan unsur estetika lain sejak dulu menjadi fokus penting dalam kajian sastra. Apabila hanya mengkaji teks tradisi lisan dari segi ilmu sastra, kajian itu hanya kajian sastra, bukan kajian tradisi lisan dari latar belakang ilmu sastra.”

Pesan atau amanat sebagai kandungan tradisi lisan dari sudut ilmu sastra menjadi sangat penting diungkapkan, tetapi amanat atau pesan itu mesti dikaitkan dengan konteks tradisi. Kajian ilmu sastra tidak hanya mengkaji kesastraan dari tradisi lisan, tetapi lebih jauh mampu mengkaji keseluruhan tradisi lisan secara holistik dengan kekhasan kajian dari sudut ilmu sastra. Penelitian tradisi lisan harus dapat mengungkapkan kebenaran bentuk dan isi suatu tradisi lisan. Dengan demikian, diperlukan kajian ilmu sastra yang relevan untuk mengkaji tradisi lisan

(8)

dengan tetap mempertimbangkan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), isi (makna, atau fungsi, nilai atau norma, dan kearifan lokal), dan model revitalisasi atau pelestarian seperti pengelolaan, proses pewarisan, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebuah tradisi lisan.

Nilai dan norma budaya tradisi lisan sebagai warisan masa lalu yang harus dipahami maknanya pada komunitas masa lalu, bagaimana nilai dan norma budaya itu dapat dilestarikan, direvitalisasi, dan direalisasikan pada generasi masa kini, untuk mempersiapkan generasi masa depan yang damai dan sejahtera. Di sini dapat kita ketahui bahwa tradisi lisan memiliki bentuk dan isi, di mana bentuk yang dimaksudkan dapat dibagi atas:

a) Teks, merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi.

b) Ko-teks, merupakan keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, proksemik, kinesik, dan unsur material lainnya, yang terdapat dalam tradisi lisan.

c) Konteks, merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial, situasi, dan idiologi tradisi lisan.

Isi yang terdapat dalam tradisi lisan yakni, isi tradisi yang berupa nilai atau norma yang pada umumnya menjelaskan tentang makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai atau norma tradisi lisan yang dapat digunakan untuk membentuk kehidupan sosial itu disebut dengan kearifan lokal. Dalam hal ini isi dapat dipilah jadi beberapa pembentukannya, pertama, isi adalah makna atau maksud dan fungsi atau peran. Kedua, ialah nilai atau norma, yang dapat diinferensikan dari makna atau maksud dan fungsi atau peran dengan adanya kenyakinan terhadap

(9)

nilai atau norma itu. Ketiga, adalah kearifan lokal yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan sosial secara arif.

Wujud dari tradisi lisan itu sendiri berupa: (1) tradisi berbahasa dan beraksara lokal (2) tradisi kesusastraan lisan (3) tradisi pertunjukan dan permainan rakyat (4) tradisi upara adat dan ritual (5) tradisi teknologi (6) tradisi pelambangan atau simbolisme (7) tradisi kesenian musik rakyat (8) tradisi pertanian tradisional (9) tradisi kerajinan tangan (10) tradisi kuliner atau masakan tradisional (11) tradisi pengobatan tradisional (12) tradisi panorama dan kondisi lokal (Sibarani 2014:49).

Jenis pengetahuan yang dapat digali dari tradisi lisan adalah (1) usage (cara-cara penggunaan) (2) folkways (kebiasaan rakyat) (3) mores atau ethics (moral atau etika) (4) norms (norma) (5) custom ( adat-istiadat) (6) skill (keterampilan) (7) competence (kompetensi atau pengetahuan) (8) aesthetics (keindahan) (Sibarani 2014:50-51).

2.2.2 Konsep Kearifan Lokal Gotong-Royong

Istilah gotong-royong dalam masyarakat Batak Toba yaitu marsirimpa atau marsirumpa yang berarti mengerjakan suatu kegiatan secara bersama-sama secara tanpa mengharapkan sebuah upah. Hampir semua aspek kehidupan orang Batak Toba pada zaman dahulu diselesaikan dengan gotong-royong. Gotong-royong dilakukan karena seorang individu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan di ladangnya dengan cepat, suatu pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat kalau dilakukan secara bersama-sama. Di samping praktik dalam mengerjakan kegiatan yang berhubungan dengan mata pencaharian mulai menanam, mengelola, dan memanen diselesaikan dengan gotong-royong. Selain itu juga, pelaksanaan

(10)

upacara adat dalam siklus kehidupan mulai dari upacara perkawinan sampai upacara kematian, gotong-royong juga dilakukan.Pekerjaan umum seperti pembukaan kampung, perbaikan jalan, perbaikan irigasi, pendirian rumah, maupun ritual-ritual religi juga dilakukan dengan gotong-royong.

Sibarani 2014:39) berdasarkan memori kolektif masyarakat Batak Toba, terdapat tujuh konsep gotong-royong. Konsep gotong-royong itu adalah (1) saling memahami, (2) saling menyepakati, (3) saling mendukung, (4) saling membantu, (5) sama-sama merencanakan, (6) saling bekerja sama,dan (7) sama-sama bekerja.

Cerita rakyat masyarakat Batak Toba pada umumnya berkembang dari generasi kegenerasi dari nenek moyang sampai generasi zaman sekarang ini disampaikan melalui tulisan buku maupun lisan. Pada cerita rakyat masyarakat Toba memiliki nilai-nilai tradisi yang dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur atau landasan untuk mengambil suatu tindakan atau kebijakan yang akan dilakukan di dalam kehidupan. Salah satu nilai yang dapat dilihat dari suatu cerita rakyat masyarakat Batak Toba adalah gotong-royong. Gotong-royong atau saling membantu dalam cerita rakyat tercipta karena adanya kebutuhan atau permasalahan yang sedang dihadapi oleh suatu komunitas masyarakat untuk mepercepat terselesaikan suatu pekerjaan maupun suatu pemasalahan.

2.2.3 Jenis Kearifan Lokal Gotong-Royong

Terdapat 14 (empat belas) jenis gotong-royong pada masyarakyat Batak Toba, yang direpresentasikan dalam terminologi yang berbeda dan digunakan dalam ranah yang berbeda pula. Jenis-jenis gotong-royong itu adalah:

1. Marsiadapari atau marsialapari, yakni gotong-royong yang digunakan dalam pertanianuntuk mengerjakan sawah atau ladang secara bergantian;

(11)

2. Marhobas, yakni gotong-royong yang dilakukan di bidang upacara adatuntuk mempersiapkan makanan pada pesta adat;

3. Marjule-jule, yakni gotong-royong yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kampung atau persekutuan dengan cara memberi sejumlah uang atau beras jika ada anggota kampung atau persekutuan mengadakan acara adat seperti mengawinkan anak atau acara saurmatua/sarimatua “acara kematian orang tua”;

4. Mangindahani, yakni gotong-royong dengan memberikan sejumlah nasi yang telah dimasak dirumahnya dibawa ke anggota warga kampung yang melaksanakan acara adat;

5. Manuppahi, yakni gotong-royong dengan memberikan sejumlah uang secara sukarela kepada orang yang mengundang pada acara adat.

6. Mangulosi, yakni gotong-royong dengan memberikan ulos ‘kain tradisi Batak’ pada waktu ada upacara adat;

7. Mamboan sipirni tondi, yakni gotong-royong dengan memberikan beras pada waktu ada acara adat;

8. Marria raja, yakni gotong-royong yang berupa rapat para orang tua dalam merencanakan pelaksanaan dalam suatu acara adat.

9. Maranggap, yakni gotong-royong dengan menjaga perempuan yang baru melahirkan. Kadang-kadang, tradisi ini disebut melek-melehan, yang berarti berjaga-jaga atau menjagai perempuan yang baru melahirkan; 10. Margugu, yakni gotong-royong dilakukan bersama-sama mendanai suatu

keperluan umum

11. Mangalelang, yakni gotong-royong yang dilakukan dengan cara mengumpulkan sejumlah uang secara sukarela dari masyarakat dalam

(12)

suatu acara yang telah ditentukan untuk membangun fasilitas umum seperti rumah ibadah atau pelaksanaan upacara;

12. Marsiurupan, yakni gotong-royong yang dilakukan saling membantu kepada keluarga atau warga yang berkekurangan atau membutuhkan; 13. Marsipature hutana be, yakni gotong-royong yang dilakukan secara

bersama-sama antara masyarakyat desa dan masyarakyat perantau untuk bersama-sama memperhatikan dan membantu kampung halaman masing-masing. Sekelompok orang dari desa tentu bekerja sama dengan masyarakat perantau dari desa itu memperhatikan dan memperbaiki kampungnya; dan

14. Pauli dalan, pauli mual, pauli bondar, yakni usaha bersama untuk memperbaiki sarana-prasarana umum. Sarana prasarana umum yang digotong-royongkan itu bermacam macam seperti jalan, sumur, tali air, rumah, dan kampung.

2.2.4 Fungsi Kearifan Lokal Gotong-Royong

Nilai kearifan lokal Budaya Batak telah berakar dan sangat dekat dengan masyarakatnya. Nilai daripada kearifan lokal budaya Batak tersebut meliputi; kreativitas budaya, pola kesantunan, kerja keras, gotong-royong, kecerdasan, rasa syukur, rasa percaya diri, rasa persatuan dan norma-norma budaya yang ada.

Etnis Batak sebagai masyarakat Indonesia yang berbudaya jelas sangat mencintai adat istiadat (Paradaton). Hal ini hadir dan telah mendarah daging dalam kehidupan sebagai orang Batak. Makanya, ada istilah bagi orang Batak “Parsadaan di paradaton” artinya; bersatu dalam adat. Wujud Kearifan Lokal sebagai pembentukan karakter yang masih murni dalam peradatan orang Batak

(13)

seperti; Tarombo, Paradaton (Upacara adat), konsep falsafah “Dalihan Natolu”, dan Tradisi Lisan serta dukungan situs budaya, merupakan kebiasaan yang masih melekat dalam masyarakat Batak. Oleh Karena itu, sangat kaya sebenarnya kearifan lokal masyarakat Batak dalam basis Cagar Budayanya.

Dari suatu nilai budaya terutama dalam masyarakat desa, adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Contoh dari konsepsi ini ialah nilai gotong-royong, sebab nilai gotong-royong ini mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena hampir semua karya manusia itu biasanya dilakukannnya dalam rangka kerja sama dengan orang lain.

Nilai gotong royong merupakan latar belakang dari segi aktifitas tolong-menolong antara warga sedesa dan berdasarkan pada hakikat hubungan antara manusia dengan sesamanya. Orientasi hubungan antara manusia dengan sesamanya ini ialah rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong-royong).

Demikianlah keadaanya pada masyarakat bahwa nilai-nilai budaya adalah berfungsi tertinggi bagi kelakuan setiap individu dalam masyarakat. Adat istiadat dalam masyarakat desa berfungsi sebagai pengatur kelakuan setiap anggota masyarakatnya.

Oleh sebab itu, gotong-royong tolong-menolong dan gotong-royong kerja bakti yang didasarkan pada hakikat hubungan antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya adalah sesuai dengan nilai- nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat di daerah tersebut.

(14)

Fungsi kearifan lokal ada dua yaitu :

1. Kearifan lokal inti kesejahteraan

yang meliputi budaya kerja atau etos kerja, disiplin, pendidikan,kesehatan, gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan.

2. Kearifan lokal inti kedamaian

yang meliputi kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan social, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa bersyukur.

Referensi

Dokumen terkait

Daun : Warna hijau, merupakan daun majemuk dengan bentuk elliptical, kedudukannya mengelompok pada batang, panjang daun mencapai 30 cm, lebar 0,5-2 cm, jumlah daun 2-8 helai,

Batubara daerah Ransiki, Papua Barat menarik untuk diteliti karena berada pada Formasi Tipuma yang berumur Pra-Tersier.. Batubara Pra-Tersier ini diharapkan memiliki

Aspek teknis yaitu tinggi bangunan, Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan 6Koefisien Lantai Bangunan (KLB) pada proyek Perumahan Puri Indah Marsawa lebih kecil dari

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... Pembuatan Santan cream Dengan

Jika anda tidak menggunakan alat untuk jangka waktu yang panjang atau pada malam hari, anda dapat mengubahnya OFF untuk menghemat

keuntungan usaha budidaya udang vanname secara finansial ditinjau dari sistem tambak yang digunakan, serta untuk mengetahui sensitivitas usaha budidaya udang

Penelitian yang dilakukan Pushkareva (2016) tentang rancangan program permainan didaktik matematika dengan Adobe Flash menghasilkan kesimpulan bahwa merancang program

penerimaan sumber pendapatan negara yang diperoleh dari kontribusi wajib pajak.. rakyat, dimana peraturan pungutannya diatur dalam undang-undang