• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN TEKNOLOGI ELISA UNTUK PEMETAAN PENYAKIT SISTISERKOSIS PADA SAPI BALI DI BALI DAN NUSA TENGGARA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN TEKNOLOGI ELISA UNTUK PEMETAAN PENYAKIT SISTISERKOSIS PADA SAPI BALI DI BALI DAN NUSA TENGGARA."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1

PEMANFAATAN TEKNOLOGI ELISA UNTUK PEMETAAN PENYAKIT SISTISERKOSIS PADA SAPI BALI

DI BALI DAN NUSA TENGGARA

Nyoman Sadra Dharmawan1, I Made Damriyasa1, I Gede Mahardika2 1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

2Fakultas Peternakan Universitas Udayana Email: nsdharmawan@unud.ac.id

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi te nta n g prevalensi dan penyebaran penyakit sistiserkosis pada sapi bali di Bali dan Nusa Tenggara yang akan dipakai membuat peta penyakit (mapping). Penelitian dilakukan dengan memeriksa serum sapi bali yang diperoleh dari peternak menggunakan teknik ELISA (Bio-X Diagnostics’s Cysticercosis Antigen ELISA Kit). Hasil pemeriksaan ELISA terhadap 91 sampel serum sapi yang berasal dari seluruh kabupaten/kota di Bali, dengan cut off 0,193, menunjukkan ada 7 serum positif (7,69%). Ketujuh serum positif tersebut, berasal dari Buleleng (1), Gianyar (2), Denpasar (2), dan Klungkung (2). Sementara, hasil pemeriksaan ELISA terhadap 92 sampel serum sapi yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (Lombok dan Sumbawa) dengan cut off 0,295, menunjukkan ada 4 serum positif (4,35%). Tiga serum positif berasal dari Lombok dan satu serum positif dari Sumbawa. Melalui penelitian ini, dapat dibuat peta penyakit sistiserkosis pada sapi bali di wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat. Disarankan agar petugas kesehatan hewan lebih teliti saat melakukan pemeriksaan post mortum, terutama pada sapi-sapi asal wilayah yang positif.

Kata Kunci: ELISA, Pemetaan, Sistiserkosis, Sapi Bali

APPLICATION OF ELISA FOR CYSTICERCOSIS MAPPING ON BALI CATTLE IN BALI AND NUSA TENGGARA

ABSTRACT

This study aims to obtain information on the prevalence and distribution of bali cattle cysticercosis in Bali and Nusa Tenggara which will be used to map this disease. The study is conducted by examining the serum of bali cattle obtained from the farmers by ELISA (Bio-X Diagnostics's Cysticercosis ELISA Kit ELIGA Kit). The results of ELISA examination of 91 serum samples from all regencies in Bali, with a cut off of 0.193, shows that there are 7 positive serum (7.69%). The seven positive serum are originated from Buleleng (1), Gianyar (2), Denpasar (2), and Klungkung (2). Meanwhile, results of ELISA examination of 92 serum samples from West Nusa Tenggara (Lombok and Sumbawa), with cut off 0.295, shows that there are 4 positive serum (4.35%). Three positive serum are originated from Lombok and one from Sumbawa. In the future, this study can be used to formulate the bali cattle cysticercosis map in Bali and Nusa Tenggara Barat. Additionally, we recommend the government to be more accurate when conducting post mortum examination, especially on the cattle which comes from the positive area.

(3)

2

PENDAHULUAN

Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit parasit tropis yang terabaikan dan bersifat zoonosis. Sistiserkosis disebabkan oleh infeksi tahap larva atau bentuk kista (Cysticercus) pada hewan, sedangkan bentuk dewasa berupa cacing pita menyebabkan taeniasis pada manusia. Untuk kelangsungan hidupnya, cacing pita memerlukan manusia sebagai hospes definitif dan ternak sapi atau babi sebagai hospes perantara. Salah satu spesies cacing pita penting adalah Taenia saginata yang ditemukan pada usus manusia, sementara bentuk kistanya disebut Cysticercus bovis menginfeksi otot sapi. Manusia terinfeksi cacing pita bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang mengandung C. bovis. Sebaliknya, sapi akan terinfeksi larva cacing pita bila menelan telur T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses.

Infeksi C. bovis pada sapi ditemukan hampir di seluruh dunia (Taresa et al., 2011; Dharmawan et al., 2012). Dampak ekonomi yang disebabkan oleh penyakit ini merugikan berbagai pihak. Kerugian terbesar dialami oleh industri daging, karena daging yang terinfeksi harus dimusnahkan, tidak boleh dikonsumsi. Cacing T. saginata juga ditemukan hampir di seluruh dunia. Hasil penelitian di Bali pada 2002-2009 menemukan 80 kasus taeniosis dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2013; 2015). Tingginya kejadian taeniasis di Bali terkait kegemaran masyarakat mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Upaya penanggulangan zoonosis tersebut sebenarnya tidak sulit, salah satunya dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi.

Namun, permasalahannya sampai sekarang data epidemiologi kejadian infeksi C. bovis pada sapi di Indonesia tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini akibat sulitnya melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Biasanya diagnosis sistiserkosis dilakukan setelah hewan disembelih (post mortum) dengan menemukan parasitnya melalui pemeriksaan kesehatan daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah sapi dengan melakukan palpasi, teraba adanya benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular. Namun, cara deteksi seperti ini sensitifitasnya rendah, terutama pada hewan yang terinfeksi ringan (Gonzalez et al., 2006).

Saat ini telah banyak dikembangkan uji imunodiagnostik untuk deteksi sistiserkosis pada hewan. Metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dilaporkan memberi hasil baik (Dharmawan et al., 2010). Agar uji memberi nilai sensitifitas dan spesifisitas baik, metode diagnostik ini telah dikembangkan dengan menggunakan antigen sistiserkus yang sesuai dan

(4)

3

sekarang telah tersedia dalam bentuk komersial. Dengan adanya metode ini, perlu diterapkan di lapangan untuk dipakai melakukan pemetaan penyakit dengan cara mendeteksi kejadian sistiserkosis pada sapi di Indonesia, khususnya di Bali dan Nusa Tenggara.

METODE PENELITIAN Lokasi dan pengambilan sampel

Lokasi pengambilan sampel adalah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB. Sampel serum diambil dari sapi bali yang dipeliharan peternak. Sampel darah yang diperoleh akan disentrifus untuk memperoleh serum. Serum yang didapat disimpan pada suhu -20oC sampai akan digunakan.

Pemeriksaan antibodi terhadap C. bovis

Deteksi antibodi terhadap C. bovis serum sapi bali yang diperoleh dari peternak dilakukan dengan uji ELISA. Teknik uji ELISA yang digunakan mengikuti prosedur resmi yang di keluarkan oleh Bio-X Diagnostics’s Cysticercosis Antigen ELISA Kit. Adapun garis besar prosedur tersebut adalah sebagai berikut. Pertama Persiapan Sampel, sampel serum, kontrol positif dan kontrol negatif diencerkan dengan larutan Trichloroacetic acid (TCA). Pengenceran dilakukan dalam tabung Eppendorf, dengan cara mencampurkan 150 µl TCA dengan 150 µl serum, lalu di vortek. Hal yang sama dilakukan juga untuk kontrol. Semua tabung kemudian diinkubasikan selama 20 menit pada suhu kamar, kemudian di vortek ulang. Sentrifus tabung selama 10 menit pada 12000 g. Sementara tabung disentrifus, siapkan seri baru dari tabung Eppendorf yang mengandung 150 µl cairan penetral (neutralising solution). Ambil 150 ml supernatan dari setiap tabung TCA dan pipet ke dalam tabung penetral, kemudian divortek dengan baik. Hasil akhir pengenceran ini akan diperoleh perbandingan antara sampel dan kontrol sebesar 1:4.

Langkah kedua mengambil plate, keluarkan dari kemasannya, kemudian distribusikan sampel dan kontrol ke dalam plate masing-masing 100 µl per well. Inkubasi plate pada suhu 21 ± 3o C selama satu jam di atas microplate shaker pada kecepatan 700-800 rpm. Setelah itu bilas plate dengan solotion washing dengan membolak-balikkan plate, isi solotion washing pada plate dengan mempergunakan pipet tetes dan kemudian dibilas plate tersebut sekali lagi, ulangi hal

(5)

4

tersebut dua kali lagi berhati-hati unrtk menghindari pembentukan gelembung di mikro well. Setelah plate dicuci tiga kali lanjutkan ke langkah berikutnya yaitu menambahkan 100 ml konjugat untuk setiap well. Cuci plate seperti yang dijelaskan di atas. Tambahkan 100 µl dari solusi chromogen untuk setiap plate. Solusi chromogen harus benar-benar berwarna dalam well. Jika terlihat warna biru, berarti solution atau pipet telah terkontaminasi. Inkubasi pada suhu 21 ± 3o C. Kemudian tambahkan 50 µl larutan penghenti (stop solution) per well, warna kemudian akan berubah dari biru menjadi kuning. Baca optical densities di setiap well menggunakan pembaca spektrofotometri plate reader dan 450 nm filter. Hasil dibaca secepatnya setelah solotion penghenti ditambahkan dari chromogen yang mengkristal dalam well.

Analisis Data

Prevalensi kejadian infeksi C. bovis pada sapi bali di Bali ditetapkan dengan persentase menggunakan analisis point prevalence berdasarkan hasil uji ELISA. Data disajikan dalam bentuk gambar dan dianalisis secara deskriptif. Penyebaran kejadian infeksi sisitiserkosis dibuat berdasarkan asal sapi yang serumnya terdeteksi positif, lalu dituangkan dalam gambar peta penyakit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Asal sapi, jumlah, jenis kelamin, dan kondisi kandang sapi yang diambil serum untuk deteksi antibodi di wilayah Bali dapat dilaporkan secara ringkas, seperti terlihat pada Tabel 5.1. Tabel 1. Asal, Jumlah, Jenis Kelamin dan Kondisi Kandang Sapi yang Diambil Serum untuk

Deteksi Antibodi Terhadap Sistiserkus Secara Serologis

Asal Sampel

Jumlah Jenis Kelamin Kondisi Kandang (Lantai) Jumlah Seropositif (ekor) Jantan Betina Semen Tanah

Buleleng 10 3 7 4 6 3 Karangasem 10 1 9 0 10 3 Tabanan 10 2 8 0 10 1 Klungkung 10 3 7 8 2 1 Gianyar 10 3 7 2 8 1 Denpasar 10 3 7 3 7 0 Badung 10 2 8 3 7 0 Bangli 10 7 3 1 9 0 Jembrana 10 2 8 4 6 0 Jumlah 90 26 64 25 65 9

(6)

5

Pemeriksan terhadap adanya antibodi sistiserkus pada 90 sampel serum sapi bali tersebut, menggunakan teknik laboratorium berbasis ELISA. Pembacaan hasil uji ELISA, dilakukan pertama dengan cara mengamati adanya perubahan warna yang terjadi di setiap sumuran, hanya menggunakan mata (naked-eye ELISA). Selanjutnya, pengamatan dilakukan dengan pembacaan menggunakan ELISA plate reader (Multiskan TM Go microplate spectrophotometer: Thermo Scientific, Vantaa, Finland). Gambar1, menunjukkan hasil pemeriksaan menggunakan ELISA plate reader.

Gambar 1. Hasil ELISA reader terhadap 90 serum sapi bali dengan absorbance value 405, ditemukan 3 positif asal Buleleng, 3 positif asal Karangasem, dan masing-masing 1 positif asal Tabanan, Gianyar, dan Klungkung

Dari Gambar 1, dengan nilai cut off 0,193, jelas terlihat bahwa ada sembilan sampel serum yang positif. Kesembilan serum positif tersebut berasal dari Kabupaten Buleleng (3), Karangasem (3), Tabanan (1), Gianyar (1), dan Klungkung (1). Ini berarti prevalensi sistiserkosis pada sapi bali di Bali adalah 10%. Hal menarik dari penelitian ini adalah prevalensi tertinggi (30%) ditemukan pada sapi asal Buleleng dan Karangasem. Sementara, di Gianyar yang selama ini penderita/karier Taenia sagianata pada manusia hampir setiap tahun terlaporkan, prevalensi sistiserkosis pada babi hanya 10%.

(7)

6

Pada penelitian di NTB telah berhasil dikumpulkan sampel serum sapi yang berasal dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Asal, jumlah, dan jenis kelamin sapi yang diambil darahnya dapat dilaporkan secara ringkas, seperti terlihat pada Tabel 5.1.

Tabel 2. Asal, jumlah, jenis kelamin sapi yang diambil serum untuk penelitian

No. Asal Jenis Kelamin Jumlah

Jantan Betina

1. Lembar, Lombok Barat 14 22 36 2. Gerung, Lombok Barat 12 1 13

3. Jakem, Lombok Barat 1 0 1

4. Labuhan Badas, Sumbawa 2 0 2

5. Empang, Sumbawa 2 1 3

6. Plampang, Sumbawa 4 0 4

7. Lape, Sumbawa 6 0 6

8. Moyo Hulu, Sumbawa 1 14 15

9. Moyu Utara, Sumbawa 6 0 6

10. Moyo Hilir, Sumbawa 5 0 5

11. Lenangguar, Sumbawa 9 0 9

Jumlah 62 38 100

(8)

7

Sesuai dengan kit yang tersedia, dari 100 serum yang terkumpul dari NTB, 92 diantaranya diuji dengan Elisa untuk deteksi atibodi terhadap C. bovis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari pemeriksaan ELISA yang dilakukan secara duplo, dengan nilai cut off 0,295, terdeteksi ada 4 (empat) serum positif. Tiga serum positif merupakan serum sapi yang berasal dari Lombok, yaitu 2 (dua) dari Lembar dan 1 (satu) dari Gerung. Sementara, 1 (satu) serum positif lainnya berasal dari Plampang, Sumbawa (Gambar 2). Ini berarti prevalensi sistiserkosis pada sapi di NTB adalah 4,35%. Lewat hasil penelitian ini, bisa dibuat peta penyakit sisitiserkosis pada sapi bali di wilayah Bali dan NTB (Gambar 3).

Penelitian yang dilakukan sejak 2002, kerjasama Tim Universitas Udayana Denpasar Bali, Asahikawa Medical University Jepang, dan Kemneterian Kesehatan Republik Indonesia, memperlihatkan bahwa sebagian besar cacing pita Taenia yang dikoleksi lewat studi epidemiologi diidentifikasi sebagai Taenia saginata. Mayoritas infeksi tersebut terjadi di Kabupaten Gianyar (Wandra et al., 2015). Sementara itu, pada laporan Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, diketahui bahwa pada tahun 1977, prevalensi sistiserkosis pada sapi di empat kabupaten di Bali, yaitu Badung, Gianyar, Klungkung dan Tabanan berturut-turut adalah 3,3%, 16,9%, 1,2% dan 8,3% (Dharmawan et al., 2012). Pada laporan terakhir dari Swastika et al. (2016), telah menkonfirmasi kejadian sistiserkosis pada babi di Karangasem.

Dari hasil penelitian ini dapat dibuat luaran penelitian berupa pemetaan kasus sistiserkosis di Bali, seperti tersaji pada Gambar 3. Di samping itu, berdasarkan hasil pemetaan dapat dibuat konsep strategi penanggulangan sistiserkosis di wilayah tersebut. Salah satu konsep yang harus diterapkan adalah lebih meningkatkan metode pemeriksaan post mortum terhadap sapi-sapi yang dipotong dalam rangka penyediaan daging untuk dikonsumsi masyarakat. Sesuai dengan hasil loka karya yang pernah dilakukan, selain perlu menerapkan surveilans taeniasis/sisitiserkosis secara aktif dan pasif, kegiatan seperti pengawasan kesehatan terhadap penjual lawar dan keluarganya perlu dilakukan secara periodik. Selanjutnya peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat, terutama pada anak sekolah dengan fokus pada higiene personal, sanitasi lingkungan, cara pemeliharaan sapi dan babi yang baik, sangat dianjurkan (Wandra et al., 2015).

(9)

8

Gambar 3. Peta kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali dan NTB

KESIMPULAN DAN SARAN

Prevalensi sistiserkosis pada sapi bali di Bali: 7.69% dan di NTB: 4.35%. Penyebarannya di Bali meliputi Desa Sinabun Buleleng, Desa Ketewel Gianyar, Desa Serangan Denpasar, Desa Tangkas Klungkung; di NTB meliputi Desa Lembar dan Gerung Lombok Barat, serta Desa Plampang Sumbawa. Disarankan agar petugas kesehatan hewan lebih teliti saat melakukan pemeriksaan post mortum, terutama pada sapi-sapi asal wilayah yang positif. Perlu studi yang sama dilakukan di NTT.

DAFTAR PUSTAKA

Bragazza LM, Vas AJ, Passos AD, Takayanagui OM, Nakamura PM, Espindola NM, Pardini A, Bueno EC. 2002. Frequency of serum anti-cysticercus antibodies in The population of rural Brazilian community (Cassia Dos Coqueiros, SP) determined by ELISA and immunoblotting using Taenia crassiceps antigens. Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo. 44 (1): 7-12.

Das S, Mahajan RC, Ganguly NK, Sawhney IM, Dhawan V, Malla N. 2002. Detection of antigen B of Cysticercus cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58.

Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode pemeriksaan kesehatan daging babi di Rumah Potong Hewan Denpasar. Tesis S2. Institut Pertanian Bogor.

(10)

9

melalui kajian parasitologi dan serologi. Disertasi S3. Institut Pertanian Bogor.

Dharmawan NS. 2009. Fenomena penyakit cacing pita daging babi di Bali dan peran laboratorium klinik dalam menegakkan diagnosis. Hal.: 152-164. Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek. Editor: Tim BPMU Unud. Vol 1. Cetakan II. Udayana University Press. Denpasar.

Dharmawan NS., Dwinata IM, Damriyasa IM. 2010. Evaluasi antigen dari cairan kista Taenia saginata untuk uji serologis Taenia saginata sistiserkosis. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hibah Strategis Nasional 2009. Lembaga Penelitian Unud.

Dharmawan NS. 2012. Roadmap penelitian: studi sistiserkosis dan taeniasis pada hewan dan manusia. Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah FKH Unud Denpasar, Kamis 15 Maret 2012. 8 halaman.

Dharmawan NS, Swastika K, Putra IM, Wandra T, Sutisna P, Okamoto M, Ito A. 2012. Present Situation and Problems of Cysticercosis in Animal in Bali and Papua. J. Vet. 13 (2): 152-160.

Dharmawan NS, Dwinata IM, Swastika K, Damriyasa IM, Oka IBM, Astawa INM. 2013. Protein spesifik cairan kista Cysticercus bovis pada sapi bali yang diinfeksi dengan Taenia saginata. J. Vet. 14(1): 78-84.

Dorney P, Phiri I, Gabriel S, Speybroeck N, Vercruysse J. 2002. A sero-epidemiological study of bovine cysticercosis in Zambia. Vet Parasitol. 104 (3): 211-215.

El-Moghazy FM and Abdel-Rahman H. 2012. Cross-reaction as a common phenomenon among tissue parasites in farm animals. Global Veterinaria 8 (4): 367-373.

Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham AL III. 2006. Control of the taeniosis / cysticercosis complex: future developments. Vet. Parasitol. 139(4): 283-292.

Gonzalez LM, Villalobos N, Montero E, Morales J, Sanz RA, Muro RA, Harrison LJ, Parkhouse RM and Garate T. 2006. Differential molecular identification of Taeniid spp. and Sarcocystis spp. cysts isolated from infected pigs and cattle. Vet. Parasitol., 142: 95-101.

Husain N, Jyotsna, Bagchi M, Huasain M, Mishra MK, Gupta S. 2001. Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for immunodiagnosis of neurocysticercosis. Neurol India. 49 (4): 375-379.

Ito A, Sako Y, Ishikawa Y, Nakao M, Nakaya K, Yamasaki H. 2002. Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. 147-155. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis – An Emergent and Global Problem. IOS Press. Amsterdam.

Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig PS, Ito A. 2006. Taeniasis / cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-S148.

Pawlowski Z and Schultz. 1972. Taeniasis and cysticercosis (Taenia saginata). Adv. Parasitol. 10: 269-343.

Pinto PS, Vaz AJ, Germano PM, Nakamura PM. 2000. Performance of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130.

Prasad KN, Prasad A, Verma A, Singh AK. 2008. Human cysticercosis and Indian scenario: a review. J. Biosci. 33 (4): 571-582.

Samie K, Assefa A, Get A. 2015. Review on bovine cysticercosis and its public health importance’s in Ethiopia. Acta Parasitologica Globalis 6 (1):20-28.

(11)

10

Sarti E, Schantz PM, Avila G, Ambrosio J, Medina-Santillen R, Flisser A. 2000. Mass treatment against human taeniasis for the control of cysticercosis: a population-based intervention study. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94 (1): 85-89.

Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C, Sako Y, Margono SS, Craig PS, Ito A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388-390.

Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of taeniasis / cysticercosis in Indonesia. Parasitol International. 55: S161-S165.

Taresa G, Melaku A, Bogale B, Chanie M. 2011. Cyst viability, body site distribution and public health significance of bovine cysticercosis at Jimma, South West Ethiopia. Global Veterinaria. 7(2): 164-168.

Thrusfield, M. 2007. Veterinary Epidemiologi. 3rd Ed. Balckwell Publishing Co. Oxford. UK. Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Raka Sudewi AA., Depary AA., Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO, Yamasaki H, Nakaya K, Craig PC, Ito A. 2007. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38 (Supp 1): 140-143).

Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan NS, Sako Y, and Okamoto, M. 2013. Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia: Past and Present Situations. Parasitology. Parasitology. 140: 1608-1616.

Wandra T, Swastika K, Dharmawan NS, Purba IE, Sudarmaja IM, Yoshida T, Sako Y, Okamoto M, Diarthini NLPE, Laksemi DAAS, Yanagida T, Nakao M, Ito A. 2015. The present situation and towards the prevention and control of neurocysticercosis on the tropical island, Bali, Indonesia. Parasites & Control. 8:148. DOI 10.1186/s13071-015-0755-z. Willingham AL III and Engels D. 2006. Control of Taenia solium cysticercosis / taeniosis.

Adv. Parasitol. 61:509-566.

Xiao N, Yao JW, Ding W, Giraudoux P, Craig PS, Ito A. 2013. Priorities for research and control of cestode zoonoses in Asia. Infectious Disesases of Poverty 2:16. doi: 10.1186/2049-9957-2-16.

Gambar

Gambar 1. Hasil ELISA reader terhadap 90 serum sapi bali dengan                    absorbance value 405, ditemukan 3 positif asal Buleleng, 3                    positif asal Karangasem, dan masing-masing 1 positif asal                   Tabanan, Gianyar, d
Tabel 2.  Asal, jumlah, jenis kelamin sapi yang diambil serum untuk penelitian
Gambar 3.  Peta kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali dan NTB

Referensi

Dokumen terkait

Tanggung jawab hukum dokter dalam malpraktik administrasi berupa pelanggaran terhadap ketentuan administrasi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Pelanggaran

¾ Retensio urin adalah tidak adanya proses berkemih spontan 6 jam setelah kateter menetap dilepascan atau dapat berkemih spontan dengan sisa urin > 200 ml pada pasien pasca

Berdasarkan Tabel 2.1 diatas mengenai perbandingan antara pembuatan tugas akhir dengan penelitian sebelumnya bahwa terdapat perbedaan dari segi sistem operasi yaitu

Hal ini diharapkan dapat berdampak pada penerimaan produk cookies fungsional berbasis tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn, yang memiliki nilai

Pada akhirnya, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan kritik secara mendasar atas pemberlakuan syari‘ah yang dilakukan di Indonesia, termasuk di Aceh, dalam bidang-bidang

Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang

Penelitian ini fokus pada aspek etika dalam Professional Judgment yang muncul sebagai konsekuensi perubahan dari Rule Based menjadi Priciple Based dalam

2..'. #un*ak kera teradi pada saat obat men*apai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Mama kera adalah lamanya obat mempunyai e$ek $armakologis. /eberapa