• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU PADA PT GILLAND GANESHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU PADA PT GILLAND GANESHA"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU

PADA PT GILLAND GANESHA

SKRIPSI

YUSDA MARDHIYAH H34052212

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

YUSDA MARDHIYAH. Analisis Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada

PT Gilland Ganesha. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RATNA WINANDI). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan pun semakin meningkat. Sektor pertanian ada untuk menunjang kebutuhan pangan. Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor penting bagi sektor pertanian karena menghasilkan tanaman bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Tanaman bahan pangan tersebut diantaranya dihasilkan oleh komoditi sayuran. Sayuran yang beredar di pasaran saat ini masih didominasi oleh sayuran yang diproduksi dengan sistem pertanian konvensional (non-organik). Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sistem ini memberikan dampak negatif terhadap lingkungan maupun makhluk hidup. Pertanian organik lahir sebagai alternatif untuk memperbaiki sistem konvensional tersebut. Sayuran organik merupakan salah satu komoditi dari pertanian organik yang umum dikonsumsi masyarakat.

Manfaat yang terkandung dalam sayuran organik diduga mendorong meningkatnya permintaan masyarakat akan sayuran organik. Sementara, sebagian besar sayuran organik diperoleh masyarakat melalui retail modern. Adanya permintaan ini memacu retail modern untuk menyediakan sayuran organik. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan retail akan pasokan sayuran organik. PT Gilland Ganesha (PT Giga) merupakan salah satu perusahaan yang memanfaatkan adanya peluang usaha pasokan sayur organik kepada retail- retail modern. Namun, PT Giga masih mengalami kendala dalam menjalankan usahanya, terutama yang berkaitan dengan mutu. Mutu dalam hal ini merupakan segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan. Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan suatu pendekatan untuk memaksimumkan daya saing perusahaan untuk mencapai tingkat mutu yang diharapkan demi tercapainya kepuasan pelanggan, sehingga perlu dianalisis mengenai penerapan manajemen mutu PT Giga untuk mencapai pemenuhan keinginan pelanggan. Pelanggan PT Giga merupakan retail-retail modern yang terletak di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Konsep MMT menghendaki kendali mutu yang terintegrasi. Sementara, PT Giga memiliki hubungan kerjasama dengan beberapa Petani Mitra dalam pemenuhan permintaan sayuran organik. Sistem kendali mutu yang terintegrasi demi tercapainya tingkat mutu yang diinginkan harus dilakukan mulai dari tingkat Petani Mitra sebagai produsen sayuran organik. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis penerapan MMT pada PT Giga, (2) menganalisis prioritas faktor- faktor yang mempengaruhi masalah penerapan MMT pada PT Giga, (3) menganalisis hubungan kemitraan antara PT Giga dan Petani Mitra yang menguntungkan.

Penelitian dilaksanakan di PT Giga yang terletak di Cibinong (Kabupaten Bogor). Analisis kemitraan dilakukan terhadap Petani Mitra PT Giga di daerah Cipanas (Cianjur), serta Cisarua dan Darmaga (Bogor). Penelitian dilakukan selama bulan Februari hingga Mei 2009. Penerapan MMT pada PT Giga dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan teknik, unsur, serta prinsip MMT. Metode

(3)

Analytical Hierarchy Process (AHP) yang diolah menggunakan Software Expert Choice 2000 digunakan untuk menganalisis prioritas faktor penyebab permasalahan penerapan MMT pada PT Giga. Sementara, kemitraan yang dijalankan dianalisis secara deskriptif serta melalui penghitungan R/C rasio Petani Mitra. Penghitungan R/C rasio ini menggunakan Software Microsoft Excel 2007. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan pengisian kuesioner AHP. Data sekunder diperoleh dari studi literatur serta data-data dari PT Giga, Ditjen Hortikultura dan BPS.

Teknik manajemen mutu dilakukan PT Giga pada aktivitas pengadaan, penanganan, dan distribusi sayuran. PT Giga sudah memiliki unsur-unsur dan prinsip-prinsip MMT. Namun, masih terdapat beberapa diantaranya yang belum dilakukan secara maksimal. Penggunaan metode AHP menghendaki dibuatnya struktur hirarki terlebih dahulu. Struktur hirarki yang terbentuk terdiri dari empat tingkat. Tingkat I merupakan fokus yaitu identifikasi penyebab permasalahan MMT di PT Giga. Tingkat II merupakan masalah, tingkat III merupakan faktor penyebab, dan tingkat IV merupakan jenis penyebab. Berdasarkan pengolahan metode AHP, didapatkan permasalahan utama dalam penerapan MMT adalah masalah ketidaksesuaian mutu yang dipengaruhi oleh faktor MoU. Prioritas permasalahan MMT di PT Giga selanjutnya yaitu masalah ketidaksesuaian waktu yang dipengaruhi oleh faktor jarak, masalah tingginya biaya yang dikeluarkan yang dipengaruhi oleh faktor tarif, dan masalah kurangnya jumlah pasokan yang dipengaruhi oleh faktor alam. Jenis penyebab permasalahan MMT sebagian besar masih dalam kontrol PT Giga. Analisis perbandingan R/C rasio pada Petani Mitra menghasilkan bahwa kemitraan yang dijalankan sudah menguntungkan karena menghasilkan nilai R/C rasio lebih dari satu. Nilai R/C rasio Petani Mitra I, baik atas biaya total maupun tunai apabila memasok sayuran kepada PT Giga menghasilkan nilai yang lebih kecil dibandingkan apabila memasok kepada pihak lain. Begitu juga dengan Petani Mitra II. Walaupun dihasilkan nilai R/C rasio yang lebih kecil, tetapi volume penjualan Petani Mitra kepada PT Giga lebih besar. Berbeda dengan kedua Petani Mitra lainnya, R/C rasio Petani Mitra III atas biaya total dan tunai menghasilkan nilai yang lebih besar apabila memasok kepada PT Giga. Adapun, kemitraan ini berbentuk pola dagang umum, di mana masih terdapat dua poin perjanjian yang belum dipenuhi Petani Mitra, yaitu poin pengantaran sayuran serta dalam hal pemenuhan kualitas dan kuantitas sayuran yang dipesan.

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah PT Giga dan retail hendaknya melakukan evaluasi dan revisi mengenai MoU yang berlaku terutama dalam ha l menetapkan standar baku sayuran organik yang akan dipasok. Standar baku ini sebaiknya dirumuskan oleh kedua belah pihak. Standar baku yang telah terbentuk hendaknya disosialisasikan kepada petugas sortir masing-masing store, kemudian PT Giga sebaiknya membuat kontrak dengan Petani Mitra dengan mencantumkan rata-rata volume dan jenis sayuran yang akan dipesan setiap harinya, dengan begitu terdapat komitmen dari kedua belah pihak dalam hal jaminan pasokan sayuran. Kelebihan maupun kekurangan pasokan akibat adanya perjanjian ini dapat diatasi PT Giga dengan menambah sarana cold storage. Untuk melengkapi keterbatasan penelitian ini, selanjutnya dapat diadakan penelitian mengenai preferensi konsumen akan sayuran Giga Organic.

(4)

ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU

PADA PT GILLAND GANESHA

YUSDA MARDHIYAH H34052212

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada PT Gilland Ganesha

Nama : Yusda Mardhiyah

NRP : H34052212

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Ratna Winandi, MS.

NIP. 19530718 197803 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS.

NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada PT Gilland Ganesha” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2009

Yusda Mardhiyah

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Agustus 1987. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Dalius dan Ibunda Darsevmon.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Rimba Putera Bogor pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 4 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 1 Bogor diselesaikan pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005, kemudian diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2006.

Selama mengikuti pendidikan di IPB, Penulis tercatat sebagai anggota International Association Student in Agriculture and Related Sciences (IAAS) tahun 2006-2007 dan UKM Gema Almamater tahun 2007-2008. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan sementara seperti kepanitiaan Young Entrepreneur Seminar 2007 (YES 2007), Agriculture Conference and Writing Competition (ACTION)-MISETA IPB 2007, 3rd Banking Goes to Campus Plus (BGTC) 2008, dan lain sebagainya.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada PT Gilland Ganesha”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) serta menganalisis prioritas faktor- faktor yang mempengaruhi penerapannya pada PT Gilland Ganesha (PT Giga).

Hasil penelitian ini berimplikasi pada manajemen mutu yang dilakukan PT Giga dengan cara memberikan informasi mengenai manajemen mutu yang selama ini dijalankan sehingga diharapkan manajemen mutu PT Giga dapat dilaksanakan lebih maksimal. Penerapan manajemen mutu secara terpadu ini pada akhirnya akan meningkatkan dayasaing PT Giga dalam industri. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat berguna bagi para pembaca, khususnya bagi PT Giga.

Bogor, Juli 2009

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian kepada :

1. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing akademik, pembimbing gladikarya, sekaligus pembimbing skripsi, yang telah memberikan arahan, waktu, dan kesabarannya dalam membimbing Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ir. Netty Tinaprilla, MM selaku dosen penguji utama pada ujian sidang Penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

3. Etriya, SP, MM selaku dosen penguji perwakilan komdik Dept. Agribisnis pada sidang Penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

4. Orang tua (Ibu dan Bapak), kakak serta adik tercinta (Uni Efri, Ihsan, dan Rifka) untuk setiap dukungan, cinta kasih, dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

5. Pihak PT Gilland Ganesha (Bapak Miko, Ibu Wiwi, Mas Yandi, Bapak Rahmat, Mba’ Aria, Mba’ Yayuk, Mba’ Sari, Bapak Harto dan karyawan PT Giga lainnya) atas waktu, kesempatan,dan informasi yang diberikan. 6. Para petani mitra dan pelanggan PT Gilland Ganesha atas waktu,

kesempatan,dan informasi yang diberikan.

7. Saudari Dina Wening Ati D yang telah melakukan penelitian bersama Penulis di PT Gilland Ganesha. Terima kasih atas kebersamaan, kerjasama dan dukungannya.

8. Sahabat-sahabatku (Hepi, Ayu, Tiara, Amel, Reza, Wiwi, Rika, Sari, Sod Retno, Dian L dan teman-teman “Omda Bogor” lainnya), teman-teman AHP’ers (Clara, Tiara A dan Rina), teman-teman A1 kamar 42 (Annisa, Mila dan Fuji), atas semangat selama penelitian hingga penulisan skripsi. 9. Saudari Rina Yoanita R yang telah bersedia menjadi pembahas pada

seminar Penulis serta teman-teman satu bimbingan skripsi : Nurul, Lizna, dan Sule.

(10)

10. Keluarga keduaku (Keluarga Cemara: Gusri Cemara, Devi Euis, Agnes Bonsai dan dan Abah Najmi serta keluarga Desa Tambakmekar Subang) atas doa, kebersamaan dan semangat yang diberikan pada saat gladikarya dan juga pada saat penyusunan skripsi ini.

11. Pondok Putri 26 (Ana dan Aqsa) sebagai “sponsor” seminar dan sidang Penulis.

12. Ka’ Irfan yang selalu menjadi guru dan mentor Penulis.

13. Teman-teman Tahu Logay (Angkatan 2005 SMAN 1 Bogor) atas semangatnya.

14. Teman-teman Agribisnis Angkatan 41 khususnya kepada A’ Duta dan Teh Intan atas tips dan semangatnya.

15. Teman-teman Agribisnis Angkatan 42 dan 43 lainnya, serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas bantuannya.

Bogor, Juli 2009

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 7 1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Pertanian Organik ... 8

2.2. Sayuran ... 8

2.2.1. Sifat Sayuran ... 8

2.2.2. Penanganan Pasca Panen Sayuran ... 10

2.2.3. Pengusaha Perantara Sayuran ... 14

2.2.4. Pengendalian Mutu Sayuran ... 15

2.2.5. Standar Pangan Organik ... 17

2.3. Penelitian Terdahulu ... 19

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 22

3.1.1. Konsep Kualitas ... 22

3.1.2. Konsep MMT ... 24

3.1.3. Konsep Kemitraan dan Pendapatan Usahatani ... 27

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 30

IV METODE PENELITIAN ... 35

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

4.2. Data dan Instrumentasi ... 36

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 36

4.4. Metode Pengolahan Data ... 37

4.4.1. Analisis Deskriptif ... 37

4.4.2. Metode AHP ... 37

4.4.3. Analisis Pendapatan Usahatani ... 45

4.4.4. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)... 46

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ... 48

5.1. Lokasi Perusahaan ... 48

5.2. Sejarah Perusahaan ... 48

5.3. Konsumen PT Giga ... 50

5.4. Visi dan Misi ... 51

5.5. Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan ... 52

5.6. Aktivitas Perusahaan ... 55

(12)

VI MANAJEMEN MUTU TERPADU ... 58

6.1. Teknik Pengendalian Mutu ... 58

6.1.1. Teknik Pengendalian Mutu pada Proses Pengadaan Sayuran ... 58

6.1.2. Teknik Pengendalian Mutu pada Proses Penanganan Sayuran ... 62

6.1.3. Teknik Pengendalian Mutu pada Proses Distribusi Sayuran ... 65

6.2. Unsur-Unsur MMT ... 65

6.2.1. Sumber Daya Manusia (SDM) ... 65

6.2.2. Standar ... 65

6.2.3. Sarana ... 67

6.2.4. Pengorganisasian ... 68

6.2.5. Audit Internal ... 69

6.2.6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)... 69

6.3. Prinsip-Prinsip MMT ... 70

6.3.1. Fokus pada Konsumen dan Keterlibatan Konsumen. ... 71

6.3.2. Konsisten terhadap Tujuan ... 72

6.3.3. Keterlibatan Seluruh Karyawan ... 73

6.3.4. Keputusan Berdasarkan Data dan Fakta ... 74

6.3.5. Berorientasi Proses ... 74

6.3.6. Fokus pada Perbaikan Terus-Menerus ... 75

6.4. Identifikasi Masalah Penerapan MMT ... 76

6.4.1. Tingginya Biaya yang Dikeluarkan ... 76

6.4.2. Ketidaksesuaian Waktu ... 77

6.4.3. Kurangnya Jumlah Pasokan Sayuran Organik ... 77

6.4.4. Ketidaksesuaian Mutu Sayuran Organik ... 78

6.5. Analisis Prioritas Masalah dan Faktor Penyebab Masalah Penerapan MMT di PT Giga ... 79

6.5.1. Struktur Hirarki Permasalahan ... 79

6.5.2. Analisis Prioritas Permasalahan, Faktor Penyebab, dan Jenis Penyebab Masalah MMT ... 82

6.6. Analisis Kemitraan dan Perbandingan R/C Rasio ... 87

6.6.1. Analisis Kemitraan ... 87 6.6.2. Analisis R/C Rasio ... 90 VII PENUTUP ... 96 7.1. Kesimpulan ... 96 7.2. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN ... 100 ii

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Konsumsi Perkapita Sayuran di Indonesia, 2003-2006 ... 2

2. Volume Permintaan, Penjualan, dan Selisih permintaan Sayuran Organik PT Giga, Februari 2009 ... 5

3. Prinsip MMT ... 26

4. Skala Banding Berpasangan untuk Pengisian Matriks Pembanding Berpasangan ... 41

5. Ilustrasi Matriks Pendapat Individu ... 42

6. Ilustrasi Matriks Pendapat Gabungan ... 43

7. Ringkasan Perhitungan Pendapatan Usahatani ... 46

8. Tugas dan Wewenang pada Struktur Organisasi PT Giga ... 54

9. Aktivitas Harian PT Giga ... 57

10. Hasil Pengolahan Vertikal pada Tingkat II ... 82

11. Hasil Pengolahan Vertikal pada Tingkat III untuk Permasalahan Ketidaksesuaian Mutu ... 84

12. Evaluasi Kemitraan ... 90

13. Perbandingan R/C rasio Petani Mitra kepada PT Giga dan Non-PT Giga ... 92

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Mutu Hortikultura ... 16

2. Proses Pengendalian Mutu Sayuran secara Umum di pasar Swalayan dari Tingkat Pemasok ke Konsumen ... 17

3. Konsep Standardisasi Pangan Organik ... 18

4. Kerangka Pemikiran Operasional ... 34

5. Abstraksi Struktur Hirarki Permasalahan Penerapan MMT ... 39

6. Diagram Alir Metode AHP dalam Menganalisis Penyebab Permasalahan MMT di PT Giga ... 45

7. Logo PT Giga ... 52

8. Struktur Organisasi PT Giga ... 53

9. Perlakuan Pascapanen Petani Mitra ... 61

10. Teknik Pengendalian Mutu pada Proses Penanganan Sayuran di PT Giga ... 64

11. Struktur Hirarki Penyebab Masalah Penerapan MMT di PT Giga .... 81

12. Hasil Pengolahan Vertikal Struktur Hirarki Permasalahan dan Penyebab Masalah Penerapan MMT di PT Giga... 83

13. Hubungan Kemitraan antara Petani Mitra dan PT Giga ... 88

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 ... 101 2. R/C Rasio Komoditi Caisim per 10 m2 Bapak Titis

(Petani Mitra I) ... 102 3. R/C Rasio Komoditi Caisim per 10 m2 Bapak Fandi

(Petani Mitra I) ... 103 4. Rasio Komoditi Caisim per 10 m2 Bapak Bashir

(Petani Mitra I) ... 104 5. R/C Rasio Komoditi Kangkung per 10 m2 Bapak Titis

(Petani Mitra I) ... 105 6. R/C Rasio Komoditi Kangkung per 10 m2 Bapak Fandi

(Petani Mitra I) ... 106 7. R/C Rasio Komoditi Kangkung per 10 m2 Bapak Bashir

(Petani Mitra I) ... 107 8. R/C Rasio Komoditi Horenzo per 10 m2 Bapak Santoso

(Petani Mitra II) ... 108 9. R/C Rasio Komoditi Selada Keriting per 10 m2 Bapak Santoso (Petani Mitra II) ... 109 10. R/C Rasio Komoditi Bayam per 10 m2 Bapak Yudi

(Petani Mitra III) ... 110 11. R/C Rasio Komoditi Caisim per 10 m2 Bapak Yudi

(Petani Mitra III) ... 111 12. R/C Rasio Komoditi Kangkung per 10 m2 Bapak Yudi

(Petani Mitra III) ... 112

(16)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan pangan dunia terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia terus meningkatkan peranan sektor pertanian agar dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Peranan sektor pertanian terhadap perekonomian dapat terlihat dalam kontribusi sektor pertanian terhadap keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan salah satu indikator ekonomi makro untuk mengetahui peranan dan kontribusi suatu sektor terhadap pendapatan nasional. Rata-rata kontribusi PDB sektor pertanian selama kurun waktu 2005-2008 adalah sebesar 13,64 persen (BPS 2008). Sektor pertanian juga memiliki kedudukan penting bagi negara karena sektor ini memberikan banyak manfaat bagi masyarakat seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja, kontribusi devisa negara, serta sebagai penunjang pemenuhan pangan dan gizi masyarakat.

Produk tanaman bahan makanan mendominasi total PDB pertanian dibandingkan komoditi lainnya. Tanaman bahan makanan tersebut salah satunya dihasilkan oleh tanaman hortikultura. Tanaman hortikultura terdiri dari tanaman buah, sayuran, tanaman hias, dan tanaman biofarmaka. Jenis tanaman ini banyak diusahakan sebagai tanaman rakyat, oleh karenanya subsektor hortikultura menyerap cukup banyak tenaga kerja yaitu sebanyak 3.773.250 orang pada tahun 2006 (Ditjen Hortikultura 2008).

Selain menyerap tenaga kerja, subsektor hortikultura juga memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat yang dapat terlihat pada jumlah PDB hortikultura. Sejauh ini, kontribusi hortikultura pada PDB cenderung meningkat. Pada tahun 2007, PDB hortikultura sebesar Rp 76,79 trilliun, tahun 2008 diperkirakan menjadi Rp 80,29 trilliun, atau terjadi peningkatan sebesar 4,55 persen.

Sayuran merupakan salah satu komoditi penting pada subsektor hortikultura. Gizi yang terkandung dalam sayuran turut memberikan nutrisi yang dibutuhkan masyarakat. Manfaat yang terkandung dalam sayuran mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi sayuran. Konsumsi sayuran perkapita Indonesia dapat terlihat pada Tabel 1.

(17)

Tabel 1. Konsumsi Perkapita Sayuran di Indonesia, 2003-2006

Tahun Konsumsi Perkapita (Kg/Tahun)

2003 34,52

2004 33,49

2005 35,33

2006 34,16

Sumber : BPS (2008)

Sayuran yang tersedia saat ini masih didominasi oleh sayuran yang diproduksi melalui sistem konvensional yaitu masih mengandalkan asupan kimiawi buatan pabrik untuk meningkatkan produktivitas. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pertanian konvensional memberikan banyak dampak negatif terhadap lingkungan maupun makhluk hidup. Oleh karena itu, pertanian organik lahir sebagai alternatif untuk memperbaiki sistem konvensional.

Pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi tanaman yang berasaskan daur-ulang hara secara hayati. Pertanian organik sebagai bagian pertanian yang akrab lingkungan perlu segera dimasyarakatkan atau diingatkan kembali sejalan dengan semakin banyaknya dampak negatif terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian (Sutanto 2002). Pemerintah pun turut mendukung pengembangan pertanian organik melalui program “Go Organic 2010” yang mendorong hasil produksi pertanian organik untuk memenuhi permintaan yang ada. Salah satu produk pertanian organik yang umum dikonsumsi masyarakat adalah sayuran organik.

Selain melalui sistem pemasaran langsung, produk sayuran organik dipasarkan melalui pasar retail modern. Retail-retail modern ini merespon permintaan masyarakat akan sayuran organik. Sayuran organik pun dipasarkan dengan harga relatif lebih mahal dibandingkan sayuran yang diproduksi secara konvensional sehingga sayuran organik mulai diminati oleh retail-retail modern. Perkembangan produk sayuran organik yang dijual di pasar retail modern juga mengalami peningkatan (International Trade Center 2007). Semakin bertambahnya jumlah retail mengakibatkan kebutuhan yang besar pula pada jumlah pasokan yang diminta. Kebutuhan tersebut termasuk di dalamnya kebutuhan akan pasokan sayuran organik. Perkembangan retail modern ini

(18)

merupakan sebuah peluang dalam usaha pasokan sayuran organik. PT Gilland Ganesha (PT Giga) merupakan salah satu perusahaan yang memanfaatkan peluang ini. Aktivitas bisnis yang dijalankan berupa pengadaan, penanganan, dan distribusi sayuran organik. Produk sayuran organik PT Giga dikenal oleh masyarakat dengan merek Giga Organic.

Perkembangan jumlah retail- retail modern saat ini turut memperluas potensi pasar PT Giga. Namun, dengan berkembangnya potensi pasar tersebut, perusahaan-perusahaan sejenis juga akan semakin tumbuh sebagai respon dari adanya permintaan pasar. Persoalan mutu merupakan salah satu aspek penting agar dapat bertahan di tengah persaingan yang ada. Mutu seringkali diartikan sebagai kepuasan pelanggan. PT Giga sebagai bagian dari industri berusaha mewujudkannya dengan mengutamakan persoalan mutu. Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan suatu pendekatan untuk memaksimumkan daya saing perusahaan untuk mencapai tingkat mutu yang diharapkan demi tercapainya kepuasan pelanggan. Konsepnya bermula dari manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yang harus diintegrasikan pula dengan tahapan pelaksanaan fungsi–fungsi manajemen agar terwujud kerja sebagai kegiatan produksi yang berkualitas. Demi terwujudnya hal tersebut, manajemen mutu pada PT Giga perlu dilaksanakan secara terpadu.

1.2. Perumusan Masalah

PT Giga merupakan salah satu perusahaan agribisnis yang mengusahakan komoditi sayuran organik. Perusahaan ini memulai bisnis sayuran sejak tahun 2007. Walaupun relatif baru dibandingkan perusahaan sejenis lainnya, PT Giga telah berhasil memasok sayuran organik kepada retail-retail modern dan memiliki posisi yang sejajar dengan beberapa perusahaan pendahulunya seperti Parung Farm, Organic Land, Berkah Organic, Bukit Organik dan lain sebagainya. Bahkan, PT Giga berhasil menjadi main supplier pada beberapa store dimana pada store tersebut tidak ada pemasok sayuran organik selain PT Giga.

Sayuran organik merupakan salah satu produk hortikultura yang memiliki ciri antara lain mudah rusak (perishable) atau tidak tahan lama disimpan, memerlukan tempat atau ruangan yang luas, memiliki ukuran besar yang beragam (voluminous), dan harga pasar ditentukan oleh mutunya. Berdasarkan ciri-ciri

(19)

tersebut, maka sayuran organik perlu mendapatkan penanganan yang intensif dimulai dari proses pra panen, panen, hingga pemasaran sehingga dapat sampai di tujuan dengan keadaan yang masih segar. Oleh karenanya, sistem pengendalian mutu yang baik dan terintegrasi dari mulai hulu hingga hilir perlu diperhatikan. Saat ini, PT Giga belum memiliki lahan untuk memproduksi sayuran organik sendiri. Terputusnya kendali mutu pada suatu sistem seringkali menyebabkan mutu produk yang dihasilkan kurang maksimal sehingga perlu untuk dikaji sistem manajemen mutu yang diterapkan PT Giga selama ini.

Berbagai kondisi yang terjadi dalam industri sayuran organik perlu diantisipasi agar PT Giga dapat mempertahankan pelanggan serta meningkatkan daya saingnya di tengah persaingan yang semakin tinggi intensitasnya. Salah satu strategi yang dapat diterapkan perusahaan untuk mempertahankan posisinya di tengah persaingan tersebut adalah melalui perbaikan kualitas terus-menerus sehingga memenuhi atau bahkan melebihi harapan pelangganya. Filosofi ini dikenal dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau dikenal juga dengan Total Quality Management (TQM). Penerapan MMT dalam suatu perusahaan dapat memberikan manfaat utama yang pada gilirannya meningkatkan laba serta daya saing perusahaan yang bersangkutan (Tjiptono 2003).

Konsep MMT menghendaki kendali mutu yang terintegrasi. Sementara, PT Giga memiliki hubungan dengan beberapa Petani Mitra dalam pemenuhan permintaan sayuran organik. Sistem kendali mutu yang terintegrasi untuk tercapainya mutu sayuran organik yang diinginkan, harus dilakukan mulai dari tingkat Petani Mitra sebagai produsen sayuran organik. Saat ini, jumlah Petani Mitra yang dapat memenuhi permintaan PT Giga masih relatif terbatas karena petani produsen yang ada saat ini sudah memiliki pasar tersendiri untuk menjual produknya. Keterbatasan jumlah produsen sayuran organik mempengaruhi jumlah sayuran yang dipasok ke PT Giga. Sedangkan, dari terbatasnya jumlah petani organik tersebut, masih terdapat Petani Mitra yang kurang dapat memenuhi tingkat mutu yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya selisih antara permintaan dan penjualan PT Giga kepada retail. Selisih tersebut dapat terlihat pada Tabel 2.

(20)

Tabel 2. Volume Permintaan, Penjualan, dan Selisih Pemenuhan Permintaan

Sayuran Organik PT Giga, Februari 2009

Sumber : PT Giga, diolah

Data penjualan pada Tabel 2 merupakan jumlah akhir yang diterima oleh retail yang merupakan bagian dari jumlah yang dikirimkan PT Giga kepada retail. Kesenjangan permintaan dan penjualan ini tidak sesuai dengan keinginan retail yang menghendaki sayur yang diterima sesuai dengan sayuran yang dipesan. Hal ini menimbulkan keluhan dari retail. Permasalahan keluhan tersebut terkait dengan mutu, dimana mutu seringkali diartikan sebagai kepuasan pelanggan. Selain itu, selisih tersebut juga dihasilkan ole h adanya sayuran reject. Banyaknya sayuran reject yang dihasilkan bergantung pada retail yang dituju. Toko Kemchicks dan Harvey Nichols merupakan pelanggan PT Giga dengan jumlah sayuran reject paling tinggi yaitu sekitar lima belas persen1

. Hal ini tidak sesuai harapan PT Giga, dimana pihak manajemen menghendaki semua barang yang diterima oleh perusahaan dari Petani Mitra dapat dikirimkan semuanya kepada retail atau maksimal jumlah sayuran reject yang dihasilkan sebanyak satu persen sehingga semua permintaan dari retail dapat terpenuhi. Oleh karena itu, PT Giga perlu melakukan antisipasi untuk mengatasi hal ini dengan memperhatikan manajemen mutu yang diterapkan sehingga persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi.

Saat ini, PT Giga belum dapat memproduksi sayuran organik sendiri sehingga masih mengandalkan pasokan dari para petani organik yang menjalin hubungan kemitraan dengan PT Giga. Menurut Hadiati (2007), produk yang mempunyai keunggulan bersaing mensyaratkan pasokan bahan baku yang tepat dalam hal waktu, mutu, dan jumlah. Hubungan dengan pemasok merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan MMT. Hubungan dengan pemasok untuk memenuhi beberapa aspek ketepatan tersebut akan mempengaruhi proses

1

Berdasarkan wawancara dengan divisi marketing PT Gilland Ganesha.

Nama Retail Permintaan (kg) Jual (kg) Selisih

(kg) (%)

Kemchicks 1147,45 542,8 -604,65 -52,7

Superindo 2863 1491,5 -1371,5 -47,9

(21)

bisnis internal perusahaan.Terjalinnya hubunga n baik dengan pemasok akan mendukung ketersediaan bahan baku sesuai kebutuhan. Hal ini akan memperlancar proses produksi untuk menghasilkan produk yang memiliki keunggulan bersaing. Oleh karena itu, PT Giga tetap harus melakukan kendali mutu yang dimulai dari Petani Mitra karena kesenjangan antara permintaan dan penjualan yang terjadi sangat terkait dengan kualitas di tingkat petani sebagai produsen. Kualitas yang kurang baik yang dihasilkan produsen mempengaruhi jumlah sayuran yang layak untuk dipasok kepada proses selanjutnya. Pengendalian mutu harus dilakukan secara holistik dimulai dari bagian para petani yang memasok sayurannya kepada PT Giga.

Sesuai dengan konsep kemitraan yang merupakan bentuk hubungan PT Giga dengan petani mitra, hubungan kerjasama yang dijalankan tersebut haruslah menguntungkan kedua pihak. Untuk itu, perlu diketahui apakah insentif yang diberikan kepada Petani Mitra menguntungkan atau tidak dari segi ekonomi maupun pengetahuan mengenai mutu sayuran organik. Hal tersebut dapat memberikan informasi kepada PT Giga mengenai langkah untuk mengubah atau tidak kebijakan yang ada bagi petani sehingga pasokan sayuran kepada PT Giga dapat ditingkatkan baik kuantitas maupun mutunya.

Sayuran yang sesuai dengan harapan pelanggan baik dari segi kuantitas dan mutunya akan semakin meningkatkan kepuasan. Proses menciptakan produk yang sesuai dengan harapan pelanggan tersebut dilakukan melalui aktivitas-aktivitas manajemen mutu. Oleh karena itu, penerapan manajemen mutu penting untuk diperhatikan. Hambatan- hambatan yang mempengaruhi PT Giga dalam menerapkan manajemen mutu juga penting untuk diatasi. Hal ini sesuai dengan konsep MMT yang menekankan kepada perbaikan terus- menerus. Proses perbaikan tersebut harus dilakukan langsung pada akar penyebabnya, sehingga manajemen mutu yang dilakukan PT Giga dapat berjalan efektif. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini akan membahas :

1) Bagaimana penerapan MMT pada PT Giga?

2) Bagaimana prioritas faktor- faktor yang mempengaruhi masalah penerapan MMT pada PT Giga?

3) Apakah kemitraan PT Giga dengan Petani Mitra menguntungkan?

(22)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi PT Giga di atas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Menganalisis penerapan MMT pada PT Giga.

2) Menganalisis prioritas faktor- faktor yang mempengaruhi masalah penerapan MMT pada PT Giga.

3) Menganalisis hubungan kemitraan antara PT Giga dan Petani Mitra yang menguntungkan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut :

1) Sebagai bahan pertimbangan dan pedoman bagi PT Giga dalam penerapan MMT.

2) Sebagai bahan pemikiran dan keterangan yang diharapkan dapat menunjang penelitian-penelitian sejenis.

3) Sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga- lembaga pemerintah atau swasta mengenai penerapan MMT.

4) Bagi penulis sendiri berguna sebagai menambah pengalaman dalam menerapkan ilmu yang diperoleh untuk menghadapi permasalahan yang terjadi di lapang.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mempelajari teknik, konsep, masalah serta faktor yang mempengaruhi manajemen mutu PT Giga. Penelitian dilakukan di PT Giga dengan komoditi sayuran organik. Analisis kemitraan dilakukan melalui analisis pola dan evaluasi kemitraan yang dijalankan serta melalui analisis perbandingan R/C rasio Petani Mitra PT Giga.

Pendapatan yang yang dimaksud dalam penghitungan R/C rasio Petani Mitra adalah pendapatan petani untuk komoditi bayam, kangkung, caisim, horenzo, dan selada keriting. Pemilihan komoditi ini berdasarkan bahwa komoditi tersebut dijual petani kepada PT Giga dan pihak selain PT Giga, sehingga dapat diperbandingkan harga jualnya dalam rangka analisis perbandingan R/C rasio.

(23)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Organik

Istilah pertanian organik dalam Bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari istilah organic agriculture dan organic farming yang ditemui dalam literatur-literatur berbahasa Inggris. Istilah pertanian organik mulai populer pada tahun 1980-an. Beberapa kalangan kemudian mencoba mencari padanan katanya atau mencoba mengadaptasikannya dengan bahasa lokal. Lahirlah istilah pertanian alamiah, pertanian alami, pertanian selaras alam, dan sebagainya. Oleh karena kebanyakan metode yang digunakan dalam bertani organik berasal dari pengetahuan-pengetahuan lokal petani, maka sering juga pertanian organik disebut sebagai pertanian tradisional (Saragih 2008).

Pracaya (2003) memberikan pengertian pertanian organik sebagai pertanian yang mirip dengan kelangsungan kehidupan hutan karena kesuburan tanaman berasal dari bahan organik secara alamiah. Pengertian lain, pertanian organik adalah sistem pertanian (dalam hal bercocok tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan, dan lain sebagainya.

Sementara itu, menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 2002), pertanian organik merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dapat mendukung lingkungan. Sistem produksi organik didasarkan pada standar produksi yang spesifik dan tepat, bertuj uan pada pencapaian agro-ekosistem yang optimal, berkelanjutan baik secara sosial, ekologi, maupun ekonomi. Jadi, pertanian organik adalah sistem pertanian sehat yang berwawasan lingkungan dengan tujuan untuk melindungi keseimbangan ekosistem alam dengan meminimalkan penggunaan bahan-bahan kimia dan merupakan praktik bertani alternatif secara alami yang dapat memberikan hasil yang optimal.

2.2. Sayuran

2.2.1. Sifat Sayuran

Sayuran mempunyai sifat yang berbeda dengan komoditi pertanian lainnya, yaitu sifa t utamanya yang mudah rusak. Sifat ini menyebabkan adanya

(24)

ketergantungan yang tinggi antara konsumen dan pasar, juga antara pasar dan produsen. Berikut ini adalah sifat sayuran (Rahardi 1999):

1) Tidak tergantung musim

Sayuran dibedakan menjadi tanaman sayuran semusim dan tahunan. Produk sayuran tersebut setiap hari dapat diperoleh. Walaupun terdapat juga beberapa jenis sayuran tahunan yang pada saat-saat tertentu jumlahnya sedikit dan harganya mahal, tetapi pada saat panen raya harganya kembali normal. Karena sifatnya yang tidak tergantung musim maka sayuran dapat dibudidayakan kapan saja asal syarat tumbuhnya terpenuhi.

2) Mempunyai risiko tinggi

Umumnya produk sayuran sifatnya mudah busuk sehingga umur tampilannya pendek. Seiring dengan berlalunya waktu, harganya juga semakin turun sampai akhirnya tidak bernilai sama sekali. Terdapat juga komoditi sayuran yang tahan lama yang biasanya tergolong dalam sayuran umbi. Namun, jenis ini tetap saja berisiko tinggi dalam penanganannya karena tidak jarang komoditi ini menjadi cacat/rusak akibat perlakuan fisik yang kurang hati-hati. Padahal, mata rantai penanganan pasca panennya, yaitu selama pengangkutan dan pemasarannya, tidak mungkin terhindar dari perlakuan fisik, terutama bila jarak dari kebun ke pasar atau konsumen cukup jauh.

3) Perputaran modalnya cepat

Walaupun risikonya tinggi, namun perputaran modalnya cepat. Hal ini erat kaitannya dengan umur tanaman untuk produksi yang singkat dan adanya permintaan pasar yang tidak pernah berhenti karena setiap hari masyarakat membutuhkan sayuran.

4) Karena sifatnya yang mudah busuk/rusak dan umur tampilan yang pendek maka letak lokasi usaha dari produsen ke konsumen sebaiknya lebih dekat. Keadaan ini sangat menguntungkan karena dapat menghemat biaya transportasi.

(25)

2.2.2. Penanganan Pasca Panen Sayuran

Menurut Sumoprastowo (2004), sayuran merupakan tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan daun, buah, biji, umbi, tunas, atau bunga. Sayuran meskipun telah dipetik, dikemas, diangkut dan dipasarkan, sayuran tersebut masih terus hidup. Selama disimpan, pada sayuran segar berlangsung perubahan kimiawi yang akan mengubah penampilan, cita rasa, dan kualitasnya. Perubahan itu disebabkan oleh pengaruh enzim. Sayuran mengandung zat gula yang rendah dan mengandung lebih banyak zat tepung, maka perubahannya berjalan lambat. Semakin tua sayuran dipetik, semakin tinggi pula kandungan zat tepungnya, dan perubahannyapun semakin lambat.

Salah satu cara menjaga sayuran tetap segar dalam waktu agak lama dengan menekan kegiatan enzim. Hal itu dilakukan dengan jalan mendinginkan sayuran pada suhu yang tepat. Bagian dalam sayuran terdapat susunan jaringan yang menyerupai gelembung halus yang penuh dengan sari makanan yang banyak mengandung air. Jika jaringan tersebut terkena tekanan pada dinding selnya maka cairan akan keluar dan sayuran akan mengering, keras, dan kaku. Sayuran lalu menjadi layu dan bersamaan dengan itu tekstur dan vitaminnya ikut hilang. Sayuran juga banyak mengandung air, sehingga sayuran berdaun lebih sensitif apabila terkena udara panas atau tekanan. Hampir semua jenis sayuran memerlukan kelembaban yang tinggi selama disimpan.

Setiap sobekan, memar, atau kerusakan lain yang menimpa jaringan sayuran akan memberi jalan bagi mikroba untuk masuk. Oleh karena itu, penanganan sayuran dengan sangat hati- hati sejak sayuran dipetik sampai kepada tangan konsumen sangat vital. Suhu yang tinggi akan merangsang berkembangbiaknya mikroba. Sebaliknya, suhu yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba. Kelembaban yang tinggi juga akan mencegah kelayuan dan kekeringan pada sayuran. Jika sayuran ditangani dengan hati-hati dan baik, maka bukan vitalitas dan aromanya saja yang terlindungi, akan tetapi keutuhan zat-zat makanan atau gizi yang terkandung di dalamnya ikut terjaga.

Kondisi fisik sayuran tersebut menyebabkan dibutuhkannya perlakuan khusus terutama ketika pasca panen sayuran, misalnya pada saat sortasi,

(26)

pembersihan, pengemasan, pengangkutan dan pengolahan hasil. Adapun, tujuan penanganan pasca panen ini antara lain :

1) Agar sayuran yang telah dipanen tetap baik mutunya atau tetap segar seperti waktu diambil,

2) Agar sayuran menjadi lebih menarik (warna, rasa, atau aroma), 3) Agar sayuran dapat memenuhi standar perdagangan,

4) Agar mutu sayuran selalu terjamin untuk dijadikan bahan baku bagi konsumen industri yang memerlukannya, dan

5) Agar hasil sayuran lebih awet dan sewaktu-waktu dapat digunakan atau dipasarkan dengan kualitas yang tetap terjamin.

2.2.2.1. Pembersihan

Dalam kegiatan pasca panen sayuran segar, pembersihan merupakan salah satu tindakan penting sebelum sayuran diproses lebih lanjut. Pembersihan bertujuan untuk membuang kotoran dan bagian sayuran yang tidak penting, serta menyingkirkan komoditi lain yang terikut. Hal ini penting bukan hanya untuk menghemat biaya dan tenaga pada proses yang lebih lanjut, tetapi juga menyingkirkan sumber-sumber kontaminasi.

2.2.2.2. Sortasi

Setelah proses pembersihan, kegiatan selanjutnya adalah sortasi. Sortasi adalah proses pemisahan dan penggolongan berdasarkan kualitas dan keseragaman. Dasar sortasi dapat dilakukan dengan salah satu atau beberapa prinsip pemisahan berikut :

1) Ukuran berat, 2) Bentuk, 3) Sifat permukaan, 4) Warna, dan 5) Tingkat kematangan/kemasakan. 2.2.2.3. Penyimpanan

Penyimpanan dilakukan dengan maksud untuk dapat mempertahankan kualitas produk selama disimpan. Penanganannya dilakukan melalui upaya

(27)

memperpanjang umur pengendalian, laju transpirasi, respirasi, dan infeksi penyakit atau jamur, serta mempertahankan produk dalam keadaan yang paling berguna bagi konsumen. Selain itu, penyimpanan juga dilakukan untuk tujuan menghindari turunnya harga akibat kelimpahan sayuran di pasaran, kemudian menunggu sampai harga stabil. Teknologi penyimpanan produk hortikultura (termasuk sayuran) yang terutama adalah pendinginan.

2.2.2.4. Pengemasan (packing)

Kemasan adalah suatu tempat atau wadah yang digunakan untuk mengemas suatu produk. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan. Selain itu, pengemasan juga merupakan penunjang bagi transportasi, distribusi, dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran.

Usaha komoditi sayuran memiliki jenis kemasan yang umum digunakan. Pengangkutan dari lahan ke pasar atau toko swalayan biasanya digunakan peti kayu atau keranjang, baik yang terbuat dari anyam-anyaman maupun dari plastik. Sedangkan, di swalayan pada umumnya digunakan kotak atau lembaran plastik. Pada prinsipnya, kemasan-kemasan tersebut berfungsi sebagai :

1) Wadah atau tempat,

2) Penunjang cara penyimpanan dan transportasi, 3) Alat pelindung dalam pemasaran, dan

4) Memperindah penampilan.

Banyak cara yang dapat ditempuh dalam pembuatan kemasan sayuran. Namun, dalam menentukan kemasan yang akan digunakan ada beberapa syarat yang perlu dipertimbangkan, seperti persyaratan berikut (Sumoprastowo 2004) : 1) Tidak Mengandung Racun

Hal ini berarti tidak mengandung zat yang dapat mengganggu kesehatan manusia.

2) Harus Cocok Dengan Bahan yang Dikemas.

Kesalahan dalam memilih bahan kemasan dapat berakibat sangat merugikan, misalnya produk yang seharusnya dikemas dengan kemasan yang transparan, tetapi yang dilakukan adalah sebaliknya, sehingga untuk

(28)

mengetahui isi kemasan, harus dibuka terlebih dahulu. Hal ini akan merusak segel dan dapat menurunkan kualitas.

3) Harus menjamin sanitasi dan syarat-syarat kesehatan.

Telah dikemukakan bahwa bahan kemasan tidak boleh racun, yang berarti kesehatan konsumen tidak boleh terganggu oleh bahan kemasan. Walaupun demikian, bahan kemasan yang tidak toksik pun tidak boleh digunakan bila dianggap tidak dapat menjamin sanitasi atau syarat-syarat kesehatan. Contohnya karung, bila digunakan untuk mengemas bahan makanan yang dalam penggunannya bahan tersebut tidak mengalami pembersihan atau pencucian sebelum dikonsumsi, maka karung tidak dibenarkan penggunaannya.

4) Dapat mencegah pemalsuan.

Umumnya, komoditi yang banyak dipalsukan adalah yang memiliki pasaran baik, misalnya sayuran dari jenis hibrida. Membuat kemasan yang spesifik merupakan cara untuk mencegah pemalsuan.

5) Kemudahan dan keamanan dalam mengeluarkan isi.

Isi kemasan harus dapat diambil dengan cara yang mudah dan aman, dengan kata lain tidak banyak yang terbuang, tercecer, atau tersisa di dalamnya. 6) Kemudahan pembuangan kemasan bekas.

Kemasan bekas pada umumnya adalah sampah yang merupakan masalah dalam penanganannya. Biasanya untuk menarik minat para konsumen, dibuatkan kemasan yang praktis dan bermanfaat untuk kegunaan lain.

7) Ukuran, bentuk, dan berat harus sesuai.

Ukuran kemasan perlu mendapat perhatian, karena mempunyai hubungan erat dengan penanganan selanjutnya, baik dalam penyimpanan, pengangkutan, maupun sebagai alat untuk menarik perhatian konsumen. Adakalanya kemasan didesain sedemikian rupa sehingga bentuknya indah dan menarik. Hemat energi merupakan daya tarik produsen untuk selalu berusaha mengurangi berat kemasan yang digunakan karena dengan berkurangnya berat, berarti energi yang dibutuhkan untuk pengangkutan akan berkurang. Selain itu, biaya pengangkutan juga berkurang karena biasanya tarif angkutan diukur berdasarkan berat kemasan.

(29)

8) Biaya yang rendah.

Biasanya untuk mempertahankan produk agar dapat terjangkau oleh daya beli konsumen, pihak produsen menekan atau menurunkan biaya pengemasan sampai batas dimana kemasan masih dapat berfungsi dengan baik. Hal ini penting karena konsumen akan melakukan pilihan terhadap produk yang sama yang ditawarkan dengan harga lebih rendah.

9) Syarat-syarat khusus.

Selain syarat yang telah disebutkan di atas, masih terdapat syarat-syarat khusus yang perlu diperhatikan, misalnya kemasan sayuran untuk daerah tropis berbeda dengan kemasan untuk ekspor ke daerah yang lebih dingin (subtropis). Demikian pula untuk daerah kelembaban tinggi, syaratnya berbeda dengan daerah kering.

2.2.3. Pengusaha Perantara Sayuran

Menurut Rahardi (1999), tataniaga merupakan salah satu cabang aspek pemasaran yang menekankan bagaimana suatu produksi dapat sampai ke tangan konsumen. Tataniaga dapat dikatakan efisien apabila mampu menyampaikan hasil produksi kepada konsumen dengan biaya semurah- murahnya dan mampu mengadakan pembagian keuntungan yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga.

Tataniaga mempunyai tiga fungsi utama, yaitu pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Pengangkutan merupakan fungsi pertama yang perlu diperhatikan dalam distribusi sayuran. Biasanya lahan sayuran terletak jauh dari daerah pemasaran, sehingga diperlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk mempercepat distribusi, mengingat bahwa sayuran merupakan produk yang mempunyai masa kesegaran yang relatif pendek.

Pengusaha perantara sayuran atau distributor merupakan salah satu pihak yang berperan dalam proses penyampaian produk sayuran kepada konsumen akhir. Aktivitas distribusi atau penyaluran tersebut merupakan bagian dari tataniaga sayuran dimana produk disampaikan kepada konsumen melalui perantara. Salah satu fungsi tataniaga yang dilakukan distributor adalah pengangkutan.

(30)

Pengusaha perantara sayuran adalah pengusaha yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi sayuran, melainkan sebagai penyalur produksi sayuran. Peran pengusaha perantara sayuran semakin penting karena :

1) Tidak semua informasi pasar diketahui oleh pengusaha produsen sayuran, 2) Meningkatnya biaya distribusi sehingga lebih menguntungkan menggunakan

jasa penyalur,

3) Kesibukan produsen untuk kelancaran proses produksi sayuran mengharuskan memakai jasa penyalur, dan

4) Semakin jauhnya jarak konsumen yang harus dilalui pengusaha produsen sayuran.

Berikut ini beberapa pengusaha perantara sayuran :

1) Pedangang pengumpul, yaitu pedagang yang mengumpulkan hasil pertanian dari pengusaha/petani produsen, dan kemudian memasarkannya kembali dalam partai besar kepada pedagang lain.

2) Pedagang besar, yaitu pedagang yang membeli hasil pertanian dari pedagang pengumpul dan atau langsung dari pengusaha/produsen, serta menjual kembali kepada pengecer dan pedagang lain dan atau kepada pembeli untuk industri, lembaga, dan pemakai komersial yang tidak menjual volume yang sama pada konsumen akhir.

3) Pedagang pengecer, yaitu pedagang yang menjual barang hasil pertanian ke konsumen dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dalam partai kecil.

2.2.4. Pengendalian Mutu Sayuran

Mutu produk hortikultura akan terbentuk pada saat panen dan penentuan mutu tersebut akan terbentuk di pasar. Kesadaran dan pengetahuan adanya hubungan yang nyata ini melahirkan konsep produksi yang berorientasi pasar (market-led production concept), yang berarti bahwa manajemen produksi komoditas hortikultura ditujukan khusus pada pemuasan kebutuhan konsumen.

(31)

MUTU

PRODUKSI PASCA PANEN

PASAR

Gambar 1. Siklus Mutu Hortikultura

Sumber : Joyce (2003), diacu dalam Zulkarnain (2002).

Pasar akan menentukan persyaratan standar mutu komoditas, yang harus mampu dicapai oleh proses budidaya, kegiatan pascapanen demi mempertahankan mutu yang telah dicapai agar dapat diterima di pasar (Joyce 2003, diacu dalam Zulkarnain 2002). Pada pasar swalayan, pengendalian mutu sayuran dilakukan dalam rangka mendapatkan bahannya dari pemasok, yaitu mulai dari kegiatan sortasi secara berulang-ulang pada saat barang sampai di pasar swalayan yang bersangkutan sampai siap dijual (mutu terbaik). Kegiatan sortasi berulang dilakukan dengan pertimbangan bahwa produk sayuran bersifat mudah rusak (sensitif terhadap seranga n mikroorganisme) dan masih hidup (masih dapat melakukan respirasi dan transpirasi).

Syarat mutu penerimaan sayur ditunjukkan oleh karakteristik seperti daun hijau segar dan tidak kekuningan atau coklat, daun tidak berlubang, batang/tangkai daun tidak lecet atau patah, tidak berbau yang tidak enak, warna cerah dan mengkilap, tidak layu dan tidak berserangga. Suprayitna (2006) menyatakan bahwa sebelum swalayan memutuskan untuk memasok sayuran, biasanya swalayan tersebut telah menetapkan standar kualitas tertentu.

(32)

Pemasok

Pasar Swalayan

Gambar 2. Proses Pengendalian Mutu Sayuran Secara Umum di Pasar Swalayan dari Tingkat Pemasok Hingga ke Konsumen

Sumber : Hubeis (2007) 2.2.5. Standar Pangan Organik

Pengembangan pertanian organik membutuhkan beberapa sarana pendukung, seperti adanya standar, sistem sertifikasi, pelabelan dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk meminimalisasi penipuan kepada konsumen. Menurut International Organization for Standardization (ISO), standar adalah spesifikasi teknis atau dokumen setara yang tersedia untuk masyarakat, yang dihasilkan dari adanya kerjasama dan konsensus atau persetujuan umum yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengalaman agar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat serta diakui oleh badan yang berwenang baik dalam tingkat nasional, regional atau internasional. Sertifikasi adalah sebuah sistem

Pengiriman

Pembersihan

Sortasi

Sortasi dan Penimbangan

Pengemasan

Peragaan

Penyimpanan

Penjualan

(33)

pengesahan kesesuaian produk terhadap standar yang dapat diterapkan. Pengesahan ini dapat dilakukan oleh : (a) pihak pertama (supplier ), (b) pihak kedua (costumer), (c) pihak ketiga (lembaga independen).

Adanya standar nasional tentang pangan organik dan pertanian organik dianggap sangat penting keberadaanya karena merupakan acuan legal yang harus dianut produsen pangan organik, pengolah pertanian serta usaha- usaha pemasarannya. Oleh karena itu, pada awal tahun 2002, Departemen Pertanian menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai konsep sertifikasi pertanian organik. Dalam pengumuman tersebut, sertifikasi organik akan disusun berdasarkan Pedoman Standar Produksi, labelling, dan pemasaran bagi pangan organik. Organik Non Organik Perlindungan konsumen JAMINAN Mengurangi keresahan dipasarkan - Nasional - Internasional

Gambar 3. Konsep Standardisasi Pangan Organik

Sumber : Winarno (2002), diacu dalam Hadiyanti (2005).

Indonesia memiliki standar nasional sistem produksi, penanganan pasca panen, pelabelan, dan pemasaran produk pertanian organik yang dibuat pada tahun 2002. Standar nasional ini dibuat dengan mengadopsi standar pertanian organik yang sudah diakui internasional seperti Codex Alimentaruis Commision (GL-1999, Rev I -2001), IFOAM Basic Standards of Agriculture 2000, dan USDA Final Rule National Organic Program 2000.

Sayuran organik tergolong kepada jenis pangan organik. Standar pangan organik di Indonesia dikeluarkan oleh Departemen Pertanian Indonesia dalam bentuk SNI pangan organik (SNI No. 01-6729-2002).

KASAT MATA (konsumen) Pemerintah Tidak banyak berbeda STANDAR LABEL 18

(34)

2.3. Penelitian Terdahulu

Rahmawaty (2004) melakukan penelitian mengenai analisis penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) pada perusahaan katering penerbangan PT Aerowisata Catering Service (ACS), Tangerang. Konsep manajemen mutu di PT ACS telah terdefinisi dengan baik. Hal ini dapat terlihat dengan telah diperolehnya sertifikat ISO 9001 : seri 2000 yang terintegrasi dengan konsep keamanan pangan, tetapi dalam pelaksanaanya masih terdapat kekurangan dalam hal kedisiplinan karyawan untuk melaksanakan sistem manajemen mutu yang telah ada.

Prioritas permasalahan yang diutamakan oleh PT ACS dalam penerapan manajemen mutu adalah permasalahan mutu, biaya, jumlah, kontinuitas dan waktu. Untuk subkriteria permasalahan utama diprioritaskan adalah mutu main course, hal ini disebabkan mulai dari pengadaan bahan baku hingga main course siap disajikan ke konsumen, memerlukan tahapan-tahapan yang cukup panjang dan membutuhkan penanganan yang baik. Sub kriteria masalah yang berpengaruh kecil terhadap manajemen mutu adalah waktu pengangkutan. Hasil identifikasi kinerja manejemen mutu PT ACS berdasarkan Analytical Hierarchy Process (AHP) menunjukkan bahwa sosialisasi visi dan misi perusahaan terhadap karyawan cukup baik, sedangkan unsur manajemen yang masih kurang penerapannya adalah unsur diklat.

Sugiharti (2005) menganalisis penerapan MMT pada perusahaan distributor sayuran CV Bimandiri. Secara keseluruhan penerapan MMT di CV Bimandiri jika dilihat dari ketersediaan dan penerapan unsur-unsur MMT, masih belum sempurna dan dalam tahap pengembangan. Pada umumnya, unsur- unsur MMT tersebut telah tersedia, namun pelaksanaannya belum maksimal. Misalnya kegiatan pendidikan dan pelatihan yang hanya dilaksanakan sekali dan hanya untuk bagian-bagian tertentu saja.

Berdasarkan hasil pengolahan dengan metode AHP dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber permasalahan di perusahaan adalah kegiatan penanganan. Kegiatan tersebut memiliki permasalahan diantaranya masih terdapat sayuran yang lolos sortir, pengemasan dan pada teknik pembagian.

(35)

Faktor penyebab permasalahan tersebut yang paling utama adalah SDM, sistem, alat, dan bahan.

Ashriana (2007) meneliti tentang permasalahan yang terkait mutu pada UD Buah Segar, perusahaan supplier buah-buahan. Penelitian ini melakukan analisis terhadap penerapan MMT perusahaan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan MMT dengan menggunakan metode AHP. Secara keseluruhan, penerapan MMT di UD Buah Segar jika dilihat dari ketersediaan unsur-unsurnya masih dikatakan belum sempurna dan dalam tahap pengembangan. Pada umumnya unsur-unsur MMT tersebut telah tersedia, namun dalam pelaksanaannya masih belum maksimal, misalnya untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan hanya bersifat informal. Pelaksanaan paling optimal terdapat pada unsur standar karena perusahaan telah menetapkan standar sesuai keinginan konsumen melalui proses negosiasi kerja (standard purchase order).

Berdasarkan hasil pengolahan dengan metode AHP didapatkan bahwa masalah utama yang sangat mempengaruhi penerapan manajemen mutu pada UD Buah Segar adalah permasalahan biaya. Kriteria harga produk juga harus diperhatikan dalam menghasilkan produk yang bermutu. Mengefisienkan biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan produk adalah hal yang penting demi mendapatkan harga produk yang tidak terlalu mahal. Hal ini sangat mempengaruhi kelancaran kegiatan operasional perusahaan. Permasalahan mutu menjadi prioritas kedua, permasalahan kontinuitas menjadi prioritas ketiga, sedangkan masalah waktu menjadi prioritas terakhir untuk dicari solusinya.

Beberapa penelitian terdahulu mengkaji penerapan manajemen mutu terpadu suatu perusahaan diawali dengan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi manajemen mutu perusahaan. Permasalahan yang dihadapi masing-masing perusahaan beragam sesuai kondisi dan jenis perusahaan. Permasalahan tersebut diidentifikasi terutama setelah perusahaan merasakan adanya sesuatu yang menghambat perusahaan dalam pencapaian tujuannya terutama dalam hal pencapaian mutu yang optimal. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu diidentifikasi dan dianalisis sebab dan akibatnya sehingga perusahaan dapat mengambil langkah untuk mengatasinya. Beberapa penelitian terdahulu tersebut menghasilkan bahwa mutu produk merupakan prioritas utama masalah MMT.

(36)

Penelitian ini mengkaji penerapan MMT pada PT Giga, dimana kegiatan utama perusahaan bergerak pada bidang pemasaran sayuran organik. Pengkajian dilakukan dengan menganalisis proses penerapan manajemen terpadu pada PT Giga, menganalisis prioritas permasalahan ya ng terjadi serta penyebabnya melalui metode AHP seperti yang dilakukan penelitian sebelumnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tentang MMT sebelumnya adalah dalam hal penggunaan analisis deskriptif dalam mengkaji penerapan MMT serta penggunaan metode AHP dalam menganalisis prioritas masalah penerapan MMT beserta faktor-faktor penyebabnya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada perusahaan serta komoditi yang diteliti, yaitu PT Giga dengan komoditi sayuran organik. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji hubungan perusahaan dengan pemasoknya melalui analisis kemitraan yang menguntungkan melalui penghitungan pendapatan di tingkat petani dengan menggunakan perbandingan R/C rasio petani sehingga dihasilkan informasi bagi perusahaan. Informasi tersebut berguna sebagai dasar untuk analisis mengenai hubungan kemitraan yang dijalankan antara PT Giga dan Petani Mitra apakah telah telah menguntungkan.

(37)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Kualitas

Kehadiran falsafah baru tentang mutu atau kualitas produk berbeda dengan cara pandang konvensional. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari produk seperti performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (ease of use), estetika (esthetics), dan sebagainya (Gasperz 2005). Sementara, falsafah baru mutu produk memfokuskan pada orientasi konsumen (consumer oriented), dimana tanggung jawab mutu merupakan tanggung jawab seluruh organisasi dan manajemen. Dasarnya adalah manajemen kualitas merupakan tanggung jawab organisasi secara lebih luas (responsibility of organization wide). Berbeda dengan cara tradisional yang fokusnya menilai hasil- hasil atau produk yang cacat, falsafah baru tentang mutu produk meliputi seluruh langkah proses produksi diamati dan upaya perbaikan secara terus- menerus (continueing improvement).

Kualitas seringkali diartikan sebagai kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) atau konformasi terhadap kebutuhan atau persyaratan (conformance to the requirements). Kualitas pada hakikatnya merupakan cara pengelolaan organisasi. Sebagaimana halnya dengan keuangan dan pemasaran, kualitas telah menjadi unsur hakiki dari manajemen modern. Keefektifan pengelolaan kualitas telah menjadi syarat penting demi manajemen industrial itu sendiri.

Pendapat para ahli serta badan standardisasi mengenai definisi kualitas yang diacu dalam Ariani (2002) adalah sebagai berikut:

1) Menurut Juran (1962), kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya.

2) Menurut Crosby (1979), kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness.

3) Menurut Deming (1982), kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa mendatang.

(38)

4) Menurut Feigenbaum (1991), kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.

5) Menurut Scherkenbach (1991), kualitas ditentukan oleh pelanggan; pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut.

6) Menurut Elliot (1993), kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung waktu dan tempat, atau dapat dikatakan sesuai dengan tujuan.

7) Menurut perbendaharaan istilah ISO 8402 dan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-8402-1991), kualitas adalah keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tersamar. Istilah kebutuhan diartikan sebagai spesifikasi yang tercantum dalam kontrak maupun kriteria-kriteria yang harus didefinisikan terlebih dahulu.

8) Menurut Goetsch dan Davis (1995), kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan.

Konsep kualitas harus bersifat menyeluruh, baik produk maupun prosesnya. Kualitas harus dibangun sejak awal, dari penerimaan input hingga perusahaan menghasilkan output bagi pelanggannya. Setiap tahapan dalam proses produksi maupun penyediaan jasa atau pelayanan juga harus berorientasi pada kualitas tersebut. Hal ini disebabkan setiap tahapan memiliki pelanggan. Pelanggan yang dimaksud adalah proses selanjutnya dan pemasok suatu proses adalah proses sebelumnya.

Keragaman konsep mutu secara umum maupun khusus di bidang pangan erat kaitannya dengan era mutu itu sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tahun 1920-an lebih menekankan pada inspeksi (pengukuran), tahun 1960-an mengarah ke pengendalian mutu dengan teknik statistika (grafik, histogram, tabel, diagram

(39)

pencar, dan rancangan percobaan), tahun 1980-an berorientasi ke jaminan mutu (membangun mutu) dan tahun 1990-an terfokus kepada manajemen mutu stratejik Hubeis (2007).

Keragaman mutu disebabkan banyak hal. Keragaman mutu hasil pertanian disebabkan oleh faktor-faktor seperti bibit/benih, kesuburan tanah, iklim, cara budidaya, serta penanganan pasca panen. Saat ini pemerintah mengatur tentang pengendalian mutu yang dinyatakan dalam bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengacu pada ISO 9000.

Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa pengendalian mutu bukan suatu kegiatan tersendiri yang dapat dilakukan oleh bagian inspeksi saja, tetapi mencakup keseluruhan bagian (kegiatan terencana), mulai dari desain, pemasaran, rekayasa, pembelian, produksi, pengemasan dan pengangkutan, juga meliputi pemasok bahan baku dan pelanggan. Hal ini ditujukan untuk mencapai kesesuaian produk (inspeksi dan kontrol mutu terhadap kedatangan baha n baku, produk jadi, dan perubahan mutu selama penyimpanan), pengkelasan (sekumpulan spesifikasi, seperti ukuran, berat, warna, cacat), dapat diterima atau ditolak secara objektif dan subjektif, serta standardisasi (prosedur uji untuk produk).

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa penggerak dari pengendalian mutu adalah manajemen karena dapat melakukan identifikasi perubahan mendasar yang diakibatkan oleh faktor kerja kelompok, visi sistem, dan tanggung jawab. Fungsi manajemen di sini adalah membantu mempelajari proses yang ada dan menganalisis perbaikannya, misalnya menyusun batas (tertinggi, rata-rata, terendah), penggunaan statistik, dan jumlah rata-rata produk cacat yang dapat diterima (derajat toleransi). Permasalahan mutu bukan sekedar masalah pengendalian mutu produk yang dihasilkan atau standar mutu produk, tetapi sudah bergerak ke arah penerapan dan penguasaan TQM menuju world class performance yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan ISO 9000.

3.1.2. Konsep Manajemen Mutu Terpadu (MMT) 3.1.2.1. Pengertian MMT

Manajemen Mutu Terpadu (MMT) dalam Bahasa Inggris disebut juga dengan Total Quality Management (TQM). TQM berasal dari kata Total yang

(40)

berarti keseluruhan atau terpadu, Quality yang berarti kualitas, dan Management yang telah disamakan dengan manajemen dalam Bahasa Indonesia yang diartikan dengan pengelolaan. Manajemen didefinisikan sebagai proses planning, organizing, staffing, leading, dan controlling terhadap seluruh kegiatan dalam organisasi (Ariani 2002).

Seperti halnya dengan kualitas, MMT atau TQM juga memiliki berbagai macam definisi. Menurut Slack (2000), diacu dalam Rampersad (2001), TQM adalah suatu displin metode yang mendefinisikan masalah, mengamatinya, menentukan akar penyebabnya, membuat tindakan, memeriksa keefektifan dari tindakan tersebut, menentukan standar dari solusi-solusi, dan mengevaluasi proses yang terjadi.

Menurut Nasution (2005), TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungannya. Gasperz (2005) mendefinisikan MMT sebagai suatu cara meningkatkan performansi secara terus- menerus (continuous performance improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia.

3.1.2.2. Prinsip Dasar dan Unsur MMT

Konsep MMT memuat prinsip-prinsip dasar yang pada akhirnya akan menentukan berhasil tidaknya penerapan MMT. Oleh karena itu, prinsip dasar dari MMT sangat berperan dalam pelaksanaannya. Menurut Hensler dan Brunell (1993) yang diacu dalam Tjiptono (2003), prinsip utama MMT terdiri dari kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta, serta perbaikan berkesinambungan. Sementara, menurut Rampersad (2001), prinsip-prinsip MMT dapat terlihat pada Tabel 3.

(41)

Tabel 3. Prinsip MMT

1) Fokus pada konsumen dan keterlibatan konsumen.

• Perusahaan mengunjungi pelanggan secara berkala.

• Pelanggan dimengerti dan dipahami.

• Kebutuhan pelanggan diintegrasikan dengan proses perusahaan.

• Melakukan lebih daripada yang pelanggan harapkan.

• Memuaskan konsumen adalah prioritas utama.

• Perubahan kebutuhan konsumen dikumpulkan secara sistematis dan diarahkan untuk perbaikan.

• Mencegah segala keluhan sekaligus bereaksi cepat terhadap keluhan yang datang.

2) Konsisten pada tujuan.

• Membangun dan mengkomunikasikan sebuah visi dan misi yang inspiratif kepada setiap tingkatan di perusahaan.

• Formulasi sebuah sasaran yang SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, dan Time spesific).

• Seluruh manajer konsisten di setiap tingkah lakunya dalam memperhatikan tujuan.

• Memberikan pedoman dalam peningkatan mutu.

• Terdapat sebuah komitmen pada manajemen puncak.

3) Keterlibatan seluruh karyawan.

• Keterlibatan sukarela dan total dari setiap orang.

• Kerjasama dalam menghimpun pengetahuan dan sinergi berdasarkan komunikasi terbuka, penghormatan, dan kepercayaan.

Keterampilan dibangun berdasarkan “learning by

doing”.

• Keputusan berdasarkan mufakat.

• Situasi yang ada terbuka untuk didiskusikan.

• Menanamkan pengetahuan.

• Memberdayakan karyawan.

Pendekatan entrepreneurship (mandiri) dan kepemimpinan pada seluruh tingkatan bisnis.

4) Keputusan berdasarkan data dan fakta.

• Bekerja berdasarkan fakta, bukan perasaan.

• Penyebab dan akibat dari masalah dianalisis melalui pengukuran yang diketahui.

• Data dikumpulkan dan diinterpretasikan berdasarkan tujuan.

• Pengukuran berdasarkan keragaan dan seluruhnya ditinjau ulang dengan data.

• Biaya kualitas dianalisis.

5) Berorientasi proses.

• Pelanggan internal juga dipuaskan kebutuhannya.

• Proses lebih penting daripada hasil, serta tujuan bekerja tidak hanya ditentukan dari penerimaan.

• Keefektifitasan proses selalu diukur.

• Keluaran distandardisasi.

• Proses didokumentasi berdasarkan skema dan prosedur standar.

• Pemasok dihargai sebagai mitra dan hubungan jangka panjang dibangun.

• Budaya MMT ditularkan kepada pemasok.

• Variasi dari proses direduksi secara berkelanjutan.

6) Fokus pada perbaikan terus-menerus.

• Karyawan memperbaiki diri dan kerjanya serta saling menolong dalam perbaikan pada perusahaan.

• Masalah dihargai sebagai makna peningkatan dan kesempatan utnuk memperbaiki proses.

• Penekanan pada pencegahan masalah daripada perbaikan.

• Peningkatan dilakukan secara terstruktur, lintas fungsional, prinsipil, dan berkesinambungan.

• Adanya lingkungan kerja kondusif sebagai pedoman peningkatan terus-menerus.

• Peningkatan secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.

Sumber : Rampersad (2001)

Gambar

Tabel 1.  Konsumsi Perkapita Sayuran di Indonesia, 2003-2006       Tahun  Konsumsi Perkapita (Kg/Tahun)
Tabel 2. Volume Permintaan, Penjualan, dan Selisih Pemenuhan Permintaan    Sayuran Organik PT Giga, Februari 2009
Gambar 1.  Siklus Mutu Hortikultura
Gambar 2. Proses Pengendalian Mutu Sayuran Secara Umum di Pasar Swalayan         dari Tingkat Pemasok Hingga ke Konsumen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemilihan prinsip tersebut untuk dijadikan metode adalah karena prinsip koneksi visual dengan alam memiliki hasil penelitian yang paling kuat untuk merespon stress,

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana sifat fisis dan sifat mekanik papan komposit yang dihasilkan dari campuran serat batang pisang dan serat kulit durian

Umumnya ruang-ruang yang terdapat pada organisasi linear merupakan ruang dengan karakteristik serupa, baik dari ukuran, bentuk, maupun fungsi. Untuk membedakan derajat

T Sig.. Koefisien Total Hutang sebesar 0,001 menunjukkan bahwa setiap Total Hutang penambahan sebesar satu satuan, maka akan diikuti oleh kenaikan laba nilai laba

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh biaya produksi terhadap besar penerimaan per kilogram dodol, untuk menganalisis hubungan jumlah produksi terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kesembuhan pada penderita yang memiliki PMO lebih besar (55,4%) daripada penderita yang tidak memiliki PMO (35,7%) sehingga

metode yang sama dengan penelitian ini maka.. akan menghasilkan hasil yang

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, belajar sosial (juga dikenal sebagai belajar observasional atau belajar vicarious atau belajar dari model) adalah proses belajar