• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti yaitu sesuatu yang diciptakan Tuhan yang selalu berhubungan secara timbal–balik dengan makhluk lain. Secara fisik, manusia merupakan makhluk yang lemah, namun manusia mempunyai kemampuan lebih yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain sehingga hal tersebut dapat menutupi kelemahan manusia di faktor fisik. Kelebihan tersebut adalah akal-budi (Pratama, 2011: 1).

Segala bentuk kebudayaan, sistem kemasyarakatan dan tatanan hidup terbentuk oleh interaksi dan benturan kepentingan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Manusia, lingkungan, dan teknologi merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dengan teknologinya, manusia dapat mengubah lingkungan. Namun pada dasarnya, pola perilaku manusia juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan, contohnya saat menentukan lokasi untuk dijadikan tempat hunian. Sejak zaman prasejarah dan masih hidup di gua-gua, manusia telah mempertimbangkan aspek lingkungan dalam memutuskan goa yang akan dihuni, secara tetap maupun sekadar untuk tempat singgah kala berburu. Manusia dapat bertahan hidup pada zaman dahulu karena manusia dapat menciptakan api, senjata, pakaian, rumah dan unsur budaya lainnya, singkatnya manusia dapat menciptakan berbagai macam instrumen baik itu material maupun immaterial yang dapat menopang kehidupannya (Pratama, 2011: 1). Dorongan manusia untuk mempunyai tempat tinggal pertama kali adalah karena keterbatasan untuk berpindah, sehingga mau tak mau manusia harus mencari tempat untuk berdiam (Taim Putriana, 2002: 25).

Pengertian permukiman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah daerah tempat bermukim atau perihal bermukim. Permukiman sendiri menurut Subroto (1985: 1177), memiliki pengertian yaitu tempat manusia bertempat tinggal dan melakukan aktivitas

(2)

sehari–hari, baik berupa aktivitas yang bersifat individu maupun aktivitas kolektif yang mengharuskan adanya interaksi antar individu. Permukiman terbentuk oleh suatu komunitas, komunitas ini dalam pengertian umum merupakan masyarakat yang memiliki rasa satu. Masyarakat sendiri terbentuk dari suatu kesatuan hidup manusia yang bersifat mantap dan terikat oleh adat istiadat dan rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1980: 162).

Telah diketahui bahwa manusia menciptakan budaya mereka sendiri. Budaya dalam kasus ini suatu rumah tentu dapat menjelaskan suatu identitas dan dapat menjelaskan orang yang menghuninya lewat kajian tinggah laku. Menurut Koentjaraningrat (1980:200-201) ada tiga dimensi kebudayaan, yaitu kebudayaan ide yang merupakan hal yang kita sebut konsep, kebudayaan tingkah laku, dan kebudayaan materi. Arkeologi merupakan suatu disiplin yang ditujukan untuk menjelaskan dan juga merekontruksi suatu sejarah budaya masa lampau berdasarkan data yang sifatnya material. Ketika belajar mengenai arkeologi, maka kita secara tidak langsung akan berusaha untuk mempelajari berbagai macam dimensi dalam kebudayaan tersebut, karena suatu dimensi material tidak mungkin lepas dari dimensi-dimensi yang lainnya (Pratama, 2011: 5).

Dalam penelitian ini, kajian arkeologi pemukiman akan diterapkan di suatu lokasi yang ditempati oleh masyarakat Portugis atau yang kerap dikenal kaum Mardijker di Kampung Tugu. Dalam skripsi yang ditulis Winarni (2012, 2), dikatakan arkeologi pemukiman (settlement archaeology) merupakan suatu bentuk studi atas perkembangan “pola pemukiman” (settlement patern) manusia, yang merupakan bagian dari analisis atas interaksi adaptif antara manusia dengan lingkungannya. Dengan demikian pola pemukiman dapat menunjukkan tempat tinggal manusia, susunan bangunan, sifat dan watak bangunan yang pada gilirannya dapat merefleksikan alam lingkungannya, tingkat penguasaan teknologi serta prananta yang berlaku dalam komunitas (Dwiyanto, 1994: 29). Dengan kata lain, pola pemukiman merupakan suatu strategi adaptasi manusia dengan lingkungannya sesuai dengan tingkat kemajuan teknologi dan sistem sosial masyarakat yang bersangkutan (Faizaliskandiar, 1998: 9).

(3)

Indonesia terutama di bagian timur terkenal dengan kekayaan rempah–rempahnya yang bernilai sangat mahal bahkan melebihi harga emas ataupun batu mulia pada sekitar abad XV. Hal ini yang membuat bangsa Eropa yaitu Portugis, Belanda dan Spanyol datang ke benua Asia. Eropa bukanlah kawasan yang paling maju di dunia pada permulaan abad XV, juga bukan merupakan kawasan yang paling dinamis (Ricklefs, 2008: 40).

Sebelum Belanda muncul di Nusantara (1596), pelayar Portugis telah membangun suatu jaringan Bandar niaga untuk menguasai rantai perdagangan rempah-rempah antara kepulauan Maluku dan Eropa. Perdagangan yang sangat menguntungkan itu, diserang terus oleh pelaut-pelaut Belanda. Sebab, Raja Spanyol Philip II, yang adalah musuh bebuyutan orang Belanda, mewarisi tahta Portugal pada tahun 1580 (Heuken, 2003:53).

Perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang kaya dan kuat itu menyerang pos serta rute pelayaran Portugis di seluruh Asia untuk merebut pelabuhan, benteng atau kota Portugis di mana saja baik di India, Sri Lanka, Malaya, Maluku maupun Tiongkok (Heuken, 2003:54). Setelah Berjaya sekitar 130 tahun di Malaka, Portugis takluk kepada pasukan Belanda dan menyerahkan Malaka kepada Belanda. Setelah menaklukan Malaka, Belanda pun menaklukkan Maluku dan Ternate dari tangan Portugis sebagai daerah jajahannya. Takluknya Malaka dan Maluku dari tangan Portugis membuat bangsa Portugis menjadi tawanan perang oleh Bangsa Belanda. Bangsa Belanda pun membawa orang–orang Portugis sebagai tawanan perang itu ke Batavia. namun orang-orang Portugis tersebut, bukanlah orang-orang Portugis asli, tetapi Portugis yang sudah bercampur dengan berbagai Bangsa di Afrika, India dan Malaka. Bangsa Belanda menyebutnya dengan “Portugis Hitam”. Portugis Hitam tersebutlah yang menjadi cikal bakal masyarakat Portugis di Kampung Tugu.

Bangsa Portugis yang menjadi tawanan perang Bangsa Belanda dibawa ke Batavia dengan syarat mendapatkan kebebasannya. Tetapi kebebasannya itu harus dibayar dengan beralih agama menjadi Protestan dan mengubah semua nama yang masih mengandung Portugis. Bangsa Portugis dikenal sebagai penyebar agama Khatolik di bagian timur Indonesia, terutama daerah Maluku. Dengan keterpaksaan, para tawanan perang itu

(4)

mengikuti persyaratan yang diajukan oleh Bangsa Belanda. Orang Portugis dan juga Portugis peranakan, tidak diijinkan oleh pemerintah Kumpeni mengamalkan agama mereka dalam wilayah kekuasaannya selama abad ke-17 dan ke-18 (Heuken, 2003: 55). Bangsa Portugis pun menjadi umat agama Protestan, mengubah bahasa Portugis menjadi bahasa Belanda dan mengubah semua nama yang mengandung Portugis dan mereka menjadi bangsa yang merdeka di Batavia. Mardijker memiliki arti merdeka atau orang yang dimerdekakan (Heuken, 2003: 56). Kaum mardijker ini lah yang pertama menempati Kampung Tugu, salah satu kampung tertua di Jakarta.

Kampung Tugu sebagai daerah tua dan diperkirakan keberadaannya telah berlangsung sejak kurang lebih pada pertengahan abad ke-5. Hal ini didasarkan atas batu bertulis (prasasti) yang ditemukan di daerah Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu Selatan (Dinas Museum dan Sejarah, 1993: 21). Permukiman Kampung Tugu ini terdapat pada wilayah Kelurahan Semper Barat yang merupakan daerah administratif Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Kampung Tugu terletak kurang lebih 4 km sebelah tenggara pelabuhan Tanjung Priok. Jika dilihat dari keadaan geografisnya, Kampung Tugu merupakan dataran rendah (Kristiandi, 2010: 41).

Setelah mendapatkan kemerdekaannya, kaum Mardijker menempati Kampung Tugu untuk tempat tinggal mereka. Pada awalnya hanya terdapat 23 keluarga kaum Mardijker yang menempati Kampung Tugu. Ketika itu Tugu masih berupa kawasan hutan dan rawa-rawa yang merupakan sarang nyamuk malaria dan berbagai sumber penyakit lainnya. Di sana mereka berusaha bertahan hidup dengan berburu binatang liar, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan (Mulyani dan Dwiharti, 2011: 69).

Di Kampung Tugu saat ini, terdapat sisa peninggalan satu rumah yang berdiri sejak tahun 1850 (Kristiandi, 2010: 47). Rumah khas kaum Mardijker ini dibangun dengan konsep bagian dalam lebih rendah dari halaman depan, memanjang kebelakang dan berbahan dasar kayu dan bambu. Seiring dengan berkembangnya jaman, rumah ini telah mengalami perubahan, semula dindingnya terbuat dari bilik saat ini telah menjadi dinding tembok (Kristiandi, 2010: 47). Kekhasan lain dari rumah ini adalah lambang khusus pada bagian

(5)

atap rumah, yaitu lambang bintang segi delapan, yang merupakan sebuah simbol atau lambang dari kepercayaan pemilik rumah (Kristiandi, 2010: 47).

Setelah mendapatkan kebebasan dan ditempatkan di Kampung Tugu pada tahun 1661, pada Tahun 1678, kaum marjdikers dengan bantuan pendeta Melchior Leydekker mendirikan sebuah gereja yang juga difungsikan sebagai sekolah pertama di Kampung Tugu. Sebelum masuk di Kampung Tugu, para kaum mardijker beribadat di Gereja Protestan Sion. Gereja ini dikenal dengan Gereja Protestan Tugu. Namun Gereja Tugu sekarang yang terlihat berdiri kokoh merupakan bentuk bangunan yang ketiga sejak awal pembangunanya. Pada awal pembangunan, Gereja Tugu dibangun dengan arsitektur sederhana berbahan dasar kayu. Seiring berjalannya waktu, keadaan Gereja Tugu I mengalami banyak kerusakan, sehingga Gereja Tugu I direnovasi secara total. Pada tahun 1738 gedung Gereja Tugu I dirobohkan dan dibangun gedung gereja yang baru serta ditahbiskan oleh Ds. Dirk Van Der Tijd (Kristiandi, 2010: 44). Gereja Tugu pada tahun 1740 dihancurkan dan dibakar oleh kerusuhan kaum tionghoa (Mulyadi dan Dwiharti, 2011: 70). Pada tahun 1748 Gereja Tugu dibangun kembali dengan bantuan biaya dari tuan tanah Justinus Vinck, pemilik tanah Cilingcing dan Pasar Senen (Heuken, 2003: 68). Gereja Tugu dibangun menghadap sungai cakung dengan diseberangnya terdapat beberapa permukiman kaum Mardijker. Sungai cakung hingga tahun 1960 merupakan sungai yang memiliki peranan penting bagi jalur transportasi menuju Batavia bagi para kaum Mardijker.

Adapun alasan pemilihan Kampung Tugu sebagai lokasi penelitian ialah karena Kampung Tugu memiliki keunikan tersendiri sebagai salah satu kampung tertua yang ditempati bangsa portugis di Jakarta. Pada awalnya hanya sebuah rawa–rawa yang membentang luas, namun para kaum mardijker dapat mengubah lahan rawa–rawa tersebut menjadi sebuah permukiman yang sudah terkenal dari Abad ke-17. Kampung Tugu juga memiliki pola pemukiman masyarakat yang menarik untuk diteliti, karena pada kondisi sekarang, di wilayah Kampung Tugu hanya tersisa 1 rumah tua yang dibangun sekitar pertengahan Abad ke-19 dan 1 bangunan gereja yang dibangun pada pertengahan Abad ke-18. Kondisi Kampung Tugu sekarang juga telah mengalami perubahan yang signifikan,

(6)

karena dari daerah permukiman telah berubah menjadi daerah industri dan garasi kontainer. Oleh karena itu, berdasarkan uraian peneliti berasumsi bahwa dengan mempelajari pola permukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu dan aspek – aspek yang mempengaruhi terbentuknya dan berkembangnya pola pemukiman Portugis tersebut sangat penting dan berguna dalam merekontruksi kehidupan masa lampau di Kampung Tugu.

I.2 Permasalahan

Dari data dan uraian di atas terdapat beberapa permasalahan yang akan dicoba dijawab dalam penelitian ini. Permasalahan itu adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pemukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu.

2. Aspek – aspek apa yang mempengaruhi terbentuknya permukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu.

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian kali ini di antaranya ialah guna mengetahui bentuk dan model pola persebaran permukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu serta guna mengetahui aspek–aspek yang membentuk adanya pola pemukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu. Tujuan lain dari penelitian ini untuk mengetahui perkembangan permukiman di Kampung Tugu pada masa kolonialisme Belanda Indonesia pada tahun 1840 hingga tahun 1950. Sasaran dalam penelitian mengenai pola pemukiman ini adalah didapatnya informasi tentang situs permukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu yang berasal dari kolonialisme Belanda yang lebih mendalam beserta aspek – aspek pendukungnya. Sasaran terakhir dari penelitian ini ialah untuk mempertahankan dan melestarikan bangunan kuno yang ada di kawasan permukiman Kampung Tugu agar menjadi kawasan Cagar Budaya.

(7)

I.4 Keaslian Penelitian

Studi maupun penelitian tentang kawasan Kampung Tugu sudah banyak dilakukan. Penelitian di Kampung Tugu sendiri lebih banyak dititik beratkan pada musik “kerocong tugu” yang merupakan warisan budaya seni dan juga Gereja Protestan Tugu yang merupakan salah satu gereja tua di Batavia yang dibangun oleh masyarakat Portugis di Kampung Tugu. Penelitian yang lain lebih mengangkat tentang bahasa yang pernah digunakan pada masyarakat Portugis di Kampung Tugu yaitu bahasa Kreol. Penelitian – penelitian itu rata–rata merupakan penelitian sejarah, antropologi, sosiologi dan etnomusikologi.

Lilie Suratminto (2004) dalam artikelnya yang berjudul Bahasa Kreol Portugis di Kampung Tugu: Warisan Budaya Kolonian di Jakarta di Ambang Kepunahan yang dimuat dalam arsip Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, menjabarkan tentang sejarah masuk dan terciptanya bahasa Kreol Portugis di Indonesia dengan kosakata bahasa Kreol – Bahasa Indonesia. Lilie Suratmiko (2004), menambahkan bagaimana perkembangan, hubungan dan juga kepunahan bahasa Kreol Portugis ini di Indonesia.

Chysanti Arumsai (2007) dalam makalah yang berjudul Keroncong Tugu: The Beat of Nationalism from Betawi, Jakarta, Indonesia memuat tentang keroncong Tugu sebagai identitas bangsa Indonesia. Dalam makalah ini lebih menitik beratkan tentang apresiasi masyarakat tentang warisan keroncong Tugu dari masyarakat Portugis dan betawi.

Selain itu juga oleh Victor Ganap (2006) dalam tesisnya yang berjudul Krontjong Toegoe: Sejarah Kehadiran Komunitas dan Musiknya di Kampung Tugu, menjelaskan tentang sejarah masyarakat Kampung Tugu lewat warisan budaya mereka yaitu keroncong.

Selain itu juga dalam skripsi Agnes Kristiandi (2010) yang berjudul Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Dalam skripsi Agnes Kristiandi (2010) ini, menjelaskan penyusunan suatu perencanaan lanskap wisata sejarah Kampung Tugu, dengan menampilkan lanskap, termasuk budaya masyarakat, yang merepresentasikan lanskap perkampungan Portugis pada masa kolonial Belanda. Dalam skripsi ini juga dijelaskan tentang pola pemukiman

(8)

masyarakat Portugis di Kampung Tugu, namun penjelasan tersebut merujuk pada tahun 1940 dan masih dibutuhkan penelitian mendalam dari segi arkeologi.

Penelitian tentang pola pemukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu tergolong masih jarang yang menulis. Beberapa penelitian hanya sebatas wilayah Kampung Tugu itu sendiri. Oleh karena itu, secara garis besar penulis ingin membahas lebih detail tentang pola pemukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu dan juga memberi gambaran tentang aspek–aspek yang mempengaruhi terbentuknya permukiman tersebut.

I.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penalaran yang dipakai bersifat induktif, yaitu suatu penalaran untuk mendapatkan data yang mendukung dalam pemecahan suatu masalah. Data tersebut digunakan sebagai penarik kesimpulan melalui analisis dan sintesis. Penalaran ini bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris melalui proses analisis data (Tanudirjo, 1988: 34).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Metode ini menekankan pada pengumpulan dan penyajian fakta–fakta tanpa harus melakukan pengujian hipotesis. Penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai suatu fakta atau gejala yang disertai dengan analisis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu semua bentuk informasi dapat dianggap sebagai data. Penelitian ini menitik beratkan pada sumber primer dan sumber sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan langsung dari lapangan berupa komponen–komponen dalam permukiman masyarakat Portugis, seperti rumah tinggal, bangunan peribadatan, tempat pemakaman dan komponen pendukung permukiman Portugis di luar permukiman Kampung Tugu. Data sekunder merupakan kajian kepustakaan, peta, maupun foto–foto yang menyangkut masalah permukiman Portugis serta acuan – acuan lain yang mendukung penelitian ini.

Model pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan keruangan, yaitu lebih banyak menekankan pada benda–benda arkeologi sebagai satu kumpulan atau himpunan dalam satu satuan ruang daripada sebagai satu satuan benda

(9)

tunggal yang berdiri sendiri. Penelitian ini lebih mengarah kepada hubungan antar komponen–komponen dalam satu situs, yaitu permukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu.

Sesuai dengan kajian dan metode penalaran yang digunakan, maka tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

I.5.1 Tahap Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dicari dengan melakukan observasi ke lokasi Kampung Tugu Jakarta untuk mendapatkan data yang diperlukan sehingga mendapatkan gambaran mengenai permukiman Portugis di kawasan tersebut. Observasi adalah pengamatan langsung ke lapangan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak mugkin untuk keperluan penelitian di Kampung Tugu. Langkah ini juga bertujuan untuk mendapatkan data arkeologis berupa komponen fisik Portugis–Kolonian yang berupa bangunan permukiman dan komponen pendukung permukiman Portugis di Kampung Tugu. Selain melakukan observasi juga melakukan pendokumentasian yang relevan sebanyak mungkin untuk keperluan penelitian.

Dalam proses ini juga dilakukan pencarian data maupun dokumen yang diperlukan ke instansi–instansi yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti Lembaga Arsip Nasional, Pusat Arkeologi Nasional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DKI Jakarta, dan Pemerintah Kota Jakarta.

Jenis data yang kedua adalah jenis data yang sifatnya sekunder yang meliputi kajian pustaka. Studi pustaka ini dimaksudkan untuk memperoleh data tekstual yang berkaitan dengan lokasi tempat penelitian dilakukan baik secara historis maupun saat ini. Adapun buku–buku yang banyak dipakai merupakan buku–buku yang membahas konsep–konsep arkeologi pemukiman, antropologi dan sejarah sosial yang membahas mengenai wilayah Kampung Tugu. Selain itu juga menggunakan studi pustaka dari arsip kota Jakarta dan juga suatu data pictorial yang berupa peta dan foto – foto yang membahas mengenai permukiman masyarakat Kampung Tugu, Jakarta.

(10)

Selain perolehan data dari studi pustaka, data juga diperoleh dari wawancara. Wawancara merupakan proses interaksi dan komunikasi antara peneliti dengan informan dalam pengumpulan data, sehingga diharapkan dapat mengungkap data tambahan untuk mengetahui sejarah permukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu yang di dalam studi pustaka tidak diketahui dan juga tidak diperoleh dalam pengamatan. Narasumber dalam penelitian ini memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menganalisa. Wawancara ini akan dilakukan dengan para responden yang mengetahui tentang keadaan permukiman Portugis di Kampung Tugu, dalam hal ini responden merupakan keturunan dari bangsa Portugis Marjdikers, dan yang memang berkecimpung di dalam kawasan Kampung Tugu, seperti penghuni permukiman Portugis itu sendiri, penjaga permakaman, dan juga yang berkecimpung dalam Gereja Protestan Tugu.

I.5.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggabungkan data lapangan (hasil observasi) dan data pustaka beserta hasil wawancara sehingga didapatkan hasil yang komprehensif dalam menjawab permasalahan. Tahap ini mengkorelasikan data kondisi geografis dengan data komponen permukiman Portugis akan menghasilkan pola pemukiman Portugis, serta mengkorelasikan sejarah kota Batavia dengan data komponen permukiman Portugis dan data pendukung permukiman Portugis akan menghasilkan jawaban tentang aspek – aspek yang mempengaruhi terbentuknya pola pemukiman Portugis tersebut. Dengan terkumpulnya semua data tersebut, maka peneliti akan melakukan identifikasi berdasarkan nama, fungsi, arah hadap dan lokasi komponen–komponen pola pemukiman Portugis di Kampung Tugu, Jakarta. Dalam analisis ini diharapkan dapat memperoleh gambaran pola pemukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu beserta aspek – aspek yang mempengaruhi terbentuknya permukiman masyakarat Portugis tersebut.

I.5.3 Interpretasi Data

Semua data yang telah diambil atau diperoleh kemudian dilakukan interpretasi terhadap data tersebut. Hasil dari interpretasi ini berupa gagasan atau ide yang

(11)

melatarbelakangi adanya bentuk pola pemukiman masyarakat Portugis di Kampung tugu serta aspek–aspek yang mempengaruhi terbentuknya permukiman tersebut.

I.5.4 Kesimpulan

Tahap terahkir ini merupakan tahap untuk mengetahui karakteristik komponen– komponen permukiman Portugis maupun komponen pendukungnya. Tahap kesimpulan bertujuan mengetahui secara jelas gambaran karakteristik pola pemukiman masyarakat Portugis di Kampung Tugu, Jakarta, beserta aspek–aspek yang mempengaruhi terbentuknya permukiman masyarakat Portugis tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kondisi tersebut dan beberapa penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini akan dilakukan analisa performa lube oil cooler existing serta melakukan

Namun demikian, dilihat selama kurun waktu lima tahun, Indeks Ketimpangan Williamson di Kabupaten Magelang cukup rendah, hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat

Dari hasil analisis dan pembahasan diperoleh bahwa banyaknya tanaman jagung dan banyaknya jagung muda mempengaruhi hasil produksi jagung artinya keterlibatan kedua

Adanya stigma masyarakat yang di lontarkan kepada ibu single parent cerai hidup, seperti hal nya yang di tulis oleh (Muslim, 2019), dalam kasus ibu single parent cerai

Simulasi ini bertujuan mengetahui jika sistem ini dapat digunakan dengan baik sebagai sumber STS, kerena profil tegangan pada kedua sumber yaitu 13,8 kV.Baik sumber-A maupun

Penulis mengungkapkan bahwa hipotesis nol atau nihil (H 0 ) dalam penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan kecerdasan interpersonal antara anak sulung, anak tengah,

Penelitian tersebut mengambil permasalahan mengenai pelaksanaan perjanjian kerjasama antara mitra usaha dengan rental Rezta Transport serta perlindungan hukum bagi

Dengan demikian diharapkan melalui kunjungan lapangan, utamanya dapat ditarik pembelajaran (lesson learned) untuk menjadi masukan dalam penyusunan rencana kebijakan. o