• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kesepakatan dalam bentuk perjanjian jual beli.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menjadi kesepakatan dalam bentuk perjanjian jual beli."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Kegiatan bisnis dan perdagangan sebagai salah satu pilar dari perekonomian suatu negara, pada prinsipnya adalah merupakan suatu proses yang secara mendasar ditandai dengan adanya transaksi perdagangan barang dan jasa antar pihak, proses mana adalah merupakan suatu aktivitas yang menggambarkan proses bernegosiasi dan bersepakat mengenai sesuatu hal yang menjadi obyek transaksi tersebut, khususnya dalam hal ini adalah terjadinya proses jual beli terhadap suatu obyek yang menjadi kesepakatan dalam bentuk perjanjian jual beli.

Keberadaan obyek perjanjian jual beli semakin menjadi penting ketika menyangkut obyek yang berupa komoditi minyak bumi. Hal ini mengingat ketergantungan dunia terhadap kesinambungan ketersediaan minyak bumi hingga sampai saat ini tidak tergantikan, yang mana kondisi yang demikian tersebut secara umum juga terjadi di Indonesia. Begitu penting dan strategisnya komoditi minyak bumi tersebut, hingga kemudian negara Republik Indonesia secara tersurat dan tersirat memberikan proteksi yang kuat terhadap pengelolaan dan pemanfaatannya melalui Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.

Sebagai perwujudan dari amanah yang diberikan oleh Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 tersebut di atas, pemerintah Indonesia kemudian memberlakukan Undang Undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan dan Undang

(2)

Undang nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, serta Undang Undang nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, yang kemudian pada tahun 2001 penerjemahan amanah Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 tersebut harus dirangkai ulang melalui pemberlakuan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.1

Undang-undang tentang migas yang baru ini memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan regulasi yang berlaku sebelumnya, dan yang terpenting terkait dengan materi penelitian tesis ini adalah dengan berlakunya undang undang yang baru ini kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan perniagaan atas komoditi minyak dan gas bumi dapat pula dilaksanakan oleh koperasi, usaha kecil dan badan usaha swasta.2

Pada saat masyarakat pelaku bisnis mulai diberikan keleluasaan untuk memperniagakan komoditi yang sebelumnya dilarang oleh undang undang, maka

1

Dana Moneter Internasional memiliki program penyelamatan krisis ekonomi yang bersifat baku dan mengikat bagi negara yang menerima bantuannya. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia menandatangani letter of intent yang isinya berkaitan dengan sektor riil, yakni masalah privatisasi, restrukturisasi perbankan dan liberalisasi ekonomi, – Lihat I. Wibowo, Negara Centeng : Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2010) hlm. 113 – yang secara konkrit harus dilaksanakan dalam beberapa program yang diantaranya adalah pembaharuan peraturan hukum sektor migas; restrukturisasi Pertamina; menjamin ketentuan fiskal dan peraturan tentang eksplorasi dan produksi tetap kompetitif dengan standard internasional; serta mengijinkan harga domestik produk migas bersaing dengan harga internasional. – Lihat Rincian Langkah dan Jadwal Reformasi RI – IMF, (http://www.seasite.niu.edu, 24 Januari 2012) – Alhasil tekanan-tekanan tersebut di atas melahirkan perubahan yang mendasar pada regulasi mengenai pengelolaan eksploitasi dan eksplorasi minyak bumi dan gas, negara pada akhirnya memang harus mengubah pandangan dalam menafsirkan amanah Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yakni dalam bentuk diberlakukannya Undang Undang nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

2

(3)

tentunya terdapat hal-hal yang menarik untuk dikaji yakni bagaimana ketika suatu hukum positif di ranah hukum publik melahirkan subyek hukum baru di bidang hukum privat terkhusus hukum perjanjian, sehingga akan menjadi lebih lengkap jika kajian tersebut ditindak lanjuti dengan suatu penelitian yang mengambil judul. “Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Jenis High Speed Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa”.

Sebagaimana diketahui, transaksi bisnis sangatlah identik dengan kontrak, sebab bisnis saat sekarang, dalam bidang apapun hampir tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan suatu kontrak,3 yang mana kontrak tersebut pada hakikatnya memiliki makna yang sama dengan perjanjian seperti yang disampaikan oleh Agus Yudha Hernoko yakni :

Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III title Kedua Tentang “Perikatan-perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu : “Verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.4

Selaras dengan hal tersebut di atas, maka dengan demikian transaksi bisnis yang dilakukan para pelaku bisnis perniagaan bahan bakar minyak selalu akan bersandar pada perjanjian yang disepakati, yang dalam hal ini perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal,5 dan terhadap

3Munir Fuadi, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek : Buku Keempat, (Bandung : Penerbit

PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 2.

4Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,

(Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 13.

(4)

perjanjian ini kemudian melahirkan suatu perikatan di antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian, perikatan mana ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu.6

Terkait dengan materi penelitian ini, maka dengan demikian bentuk prestasi yang penting untuk dicermati adalah prestasi untuk memberikan sesuatu, yakni suatu prestasi yang terlahir dari perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan,7 yang di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata terhadap perjanjian ini diberikan title sebagai Perjanjian Jual Beli.

Terdapat satu hal penting dari perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut di atas yang patut mendapat perhatian, yakni para pihak yang melakukan transaksi, khususnya dari sisi keberadaan pihak penjual. Pada dasarnya para pihak yang membuat suatu perjanjian secara hukum selalu terikat untuk dapat membuktikan atau dibuktikan bahwa mereka adalah subyek hukum yang cakap dan wenang menurut hukum.

Cakap dalam artian memiliki kecakapan bertindak ini mempunyai makna kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum.8 Namun demikian untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, khususnya terkait dengan pembahasan dalam tesis ini, cakap menurut hukum belumlah cukup untuk secara sempurna suatu

6Lihat Pasal 1234 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 7Pasal 1457 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

8Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika,

(5)

subyek hukum melakukan perjanjian jual beli bahan bakar minyak. Diperlukan suatu keadaan tertentu berikutnya yang wajib dipenuhi ketika subyek hukum yang dimaksud akan melakukan perbuatan hukum memperjual belikan komoditi minyak bumi tersebut di atas.

Keadaan tertentu berikutnya yang wajib dipenuhi adalah suatu keadaan subyek hukum yang memiliki kewenangan menurut hukum, sebagaimana dapat digambarkan sebagai berikut :

“Kecakapan bertindak” menunjuk kepada kewenangan yang umum, kewenangan umum untuk menutup perjanjian – lebih luas lagi, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya – sedang “kewenangan bertindak” menunjuk kepada yang khusus, kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang khusus. Ketidakwenangan hanya menghalang-halangi untuk melakukan tindakan hukum tertentu.9

Gambaran tersebut secara jelas menyatakan bahwa para pihak bisa saja dinyatakan sebagai pihak yang cakap menurut hukum akan tetapi untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti salah satunya adalah membuat Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak membutuhkan kewenangan tertentu yang secara khusus akan diberikan oleh undang undang, dan bagaimana kewenangan tersebut dapat diperoleh pihak penjual adalah salah satu bagian dari obyek penelitian ini.

Selain dari hal tersebut di atas, terdapat beberapa persoalan yang juga perlu mendapatkan perhatian, yakni yang pertama mengenai kesepakatan para pihak yang mendasari terwujudnya perjanjian tersebut di atas. Secara mendasar tercapainya kesepakatan tersebut ditandai dengan adanya persesuaian kehendak antara kedua

9J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian : Buku II, (Bandung :

(6)

belah pihak yang membuat perjanjian, dan secara proses timbulnya persesuaian kehendak tersebut adalah sebagaimana yang diterangkan oleh J. Satrio yakni :

Untuk tercapainya kesepakatan, maka tentu harus ada satu pihak yang menawarkan-ada penawaran (aanbond)-dan ada yang menerima penawaran tersebut-akseptasi. Diterimanya/diakseptirnya penawaran-kalau dipenuhi juga syarat-syarat yang lain-menimbulkan perjanjian. Dengan demikian, maka yang namanya “kesepakatan” sebenarnya terdiri dari penawaran dan akseptasi (akseptasi penawaran tersebut).10

Kesepakatan yang menjadi syarat dari lahirnya perjanjian yang sah selalu harus melalui proses bertimbal balik yakni, menawarkan dan mengakseptasi tawaran tersebut. Sejalan dengan prinsip tersebut, di dalam perjanjian jual beli juga sangat bernuansa “konsensualisme” ketika mencermati bunyi pasal 1458 Kitab Undang Undang hukum Perdata yakni, “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.11

Terkait dengan hal tersebut di atas, sangatlah mempunyai dasar yang kuat ketika kemudian Subekti lebih jauh menyatakan bahwa :

Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (“mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga.12

Maka dengan demikian dalam konteks perjanjian jual beli, kesepakatan tersebut dapat dinyatakan sempurna ketika kedua belah pihak secara tegas 10 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.

163.

11Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 8. 12______, Hukum Perdjanjian, Op Cit, hlm. 89.

(7)

memberikan penawaran dan akseptasi secara bertimbal balik tentang harga dan barang yang dimaksud, harga dan barang mana adalah merupakan unsur pokok yang bersifat essensil, yang berarti unsur pokok tersebut selalu harus ada dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada.13

Adalah sesuatu hal yang mustahil jika suatu perjanjian dibangun dari sebuah ketidaksepahaman ataupun ketidaksepakatan, kecuali perjanjian itu lahir dari suatu keadaan dwaling, dwang ataupun bedrog. Selain dari hal tersebut perjanjian adalah sebuah perbuatan hukum dua pihak, oleh karenanya dapat disebut sebagai duorum vel plurium in idem placitum consensus, atau dengan kalimat yang lain, perjanjian hanya dapat timbul dengan kerja sama dari dua orang atau lebih atau perjanjian dibangun oleh perbuatan dari beberapa orang,14 yang kemudian pada proses berikutnya, kesepakatan tersebut mempunyai peran sentral dalam menentukan kapan saatnya sebuah perjanjian lahir ataupun menilai apakah terhadap suatu peristiwa tertentu telah lahir sebuah perjanjian.

Kesepakatan adalah syarat yang bersifat subyektif di dalam perjanjian selain syarat subyektif tentang Kecakapan Para Pihak sebagaimana telah diulas sebelumnya, dan berikutnya adalah menyangkut hal-hal yang bersifat obyektif dari syarat-syarat yang harus mampu dipenuhi ketika pihak-pihak tertentu akan membuat perjanjian. Pemenuhan syarat-syarat keabsahan perjanjian tersebut diperlukan agar para pihak

13J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 57

14Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

(8)

dapat secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga terkait dengan perjanjian yang dibuatnya tersebut.15

Syarat obyektif yang pertama adalah apa yang lazim disebut sebagai “suatu hal tertentu” yang jika dimaknai sebagai “apa yang diperjanjikan harus cukup jelas”, maka syarat ini adalah suatu hal yang sangat penting untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.16 Sehingga dengan demikian adalah hal yang sangat logis ketika undang undang mensyaratkan agar prestasi yang menjadi obyek perjanjian adalah suatu hal tertentu, karena jika tidak disyaratkan demikian, maka bagaimana akan dapat ditentukan apakah seseorang telah memenuhi prestasinya atau belum.17 Syarat obyektif yang kedua yang terhadapnya keabsahan perjanjian di sandarkan adalah suatu sebab yang halal. Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak secara terang menjelaskan perihal syarat ini selain yang dijelaskan di dalam Pasal 1320 yang tak lain memuat tentang syarat-syarat sahnya perjanjian itu sendiri. Namun demikian secara doktrin Kitab Udang Undang Hukum Perdata mengadopsi syarat kausa dari Code Civil Perancis yang bersumber dari pandangan Domat dan Ponthier.18 Menurut pandangan mereka kausa suatu perikatan adalah sebagaimana yang didefinisikan sebagai berikut :19

Daya / alasan yang menggerakkan debitur untuk mau menerima perikatan, yang dipakai sebagai dasar keterikatan debitur. Tetapi yang diterima sebagai

15J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 125 16Subekti, Hukum Perdjandjian, Op. Cit, hlm. 20. 17J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 294 18Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 193 19J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 294

(9)

kausa bukan semua daya / alasan penggerak yang menyebabkan debitur mau mengikatkan diri, tetapi hanya daya penggerak yang langsung saja.

Apa yang dipaparkan tersebut di atas dapat lebih diperjelas oleh suatu peristiwa hukum jual beli suatu barang, yang menurut Subekti maksud dari sebab atau kausa suatu perjanjian jual beli tersebut adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri yakni : pihak satu menghendaki hak milik sesuatu barang, pihak yang lain menghendaki uang dari harga penjualan barang tersebut.20 Terkait dengan peristiwa tersebut, untuk selanjutnya Subekti lebih memperjelas lagi dengan menerangkan sebagai berikut :21

Dengan demikian, maka kalau seseorang membeli pisau di toko dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai suatu sebab atau causa yang halal, seperti jual beli barang-barang lain. Lain halnya, apabila soal membunuh itu dimaksudkan dalam perjanjian, misalnya : si penjual hanya bersedia menjual pisaunya, kalau si pembeli membunuh orang. Isi perjanjian sekarang menjadi sesuatu hal yang terlarang.

Hal-hal pokok dan mendasar tersebut di atas menjadi suatu hal yang prinsip untuk menjadi bahan kajian terhadap perjanjian jual beli bahan bakar minyak yang menjadi obyek penelitian tesis ini. Meskipun dalam kajiannya tersebut tidak dibatasi pada substansi perjanjian saja, namun demikian juga terhadap pelaksanaan perjanjian hingga nilai-nilai keseimbangan di dalam perjanjian yang dapat memberikan pengaruh terhadap keseimbangan hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam perjanjian, yakni apakah di dalamnya telah tercapai keseimbangan equilibrium

20Subekti, Hukum Perdjandjian, Op. Cit, hlm. 21. 21Ibid.

(10)

atau telah sampai pada tahapan keseimbangan proporsional yang mengandung proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.22

B. Perumusan Masalah.

Dari paparan latar belakang masalah tersebut di atas, pada akhirnya dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Jenis High Speed Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra dengan PT. Buma Niaga Perkasa dapat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian ?.

2. Bagaimana pertanggung jawaban para pihak jika terjadi kegagalan pemenuhan kewajiban secara kontraktual ?

3. Apakah telah tercapai Azas Keseimbangan di dalam Perjanjian Jual Beli tersebut ?.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Jenis High Speed Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra dengan PT. Buma Niaga Perkasa dapat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.

b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban para pihak dalam perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut di atas ketika terjadi kegagalan pemenuhan kewajiban secara kontraktual.

(11)

c. Untuk mengukur tingkatan dan kualitas azas keseimbangan yang terkandung di dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Jenis High Speed Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra dengan PT. Buma Niaga Perkasa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dilihat secara teoritis dan praktis, yakni seperti uraian sebagai berikut :

a. Secara teoritis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum dan dapat menambah pengetahuan mengenai Perjanjian Jual Beli dalam perniagaan domestik bahan bakar minyak.

b. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan bahan kajian keilmuan di dalam khazanah ilmu hukum, serta dapat menjadi bahan masukan bagi para pelaku bisnis di bidang perniagaan secara umum maupun secara khusus untuk komoditi bahan bakar minyak, dalam melakukan proses negosiasi pra-kontraktual hingga penyusunan perjanjian jual belinya. E. Keaslian Penelitian.

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, didapatkan kesimpulan bahwa belum pernah dilakukan penelitian dan penulisan ilmiah yang mengambil judul : “Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Jenis High Speed Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra dengan PT. Buma Niaga Perkasa”.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diyakini bahwa belum pernah ada penelitian dengan judul : “Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Jenis High Speed

(12)

Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra dengan PT. Buma Niaga Perkasa”. Namun demikian apabila terdapat materi penelitian yang serupa dengan materi penelitian tesis ini, maka penelitian tesis ini adalah tetap bagian dari rangkaian penelitian yang terkait dengan Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak, yang juga sebagai upaya untuk memperkaya khazanah keilmuan di bidang hukum.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori Di dalam kajian tesis ini tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai kerangka teori yang memiliki peran sebagai landasan berfikir dan alat untuk melakukan analisis terhadap isu persoalan hukum yang diangkat di dalam tesisi ini, dengan tujuan untuk memberikan ilustrasi dan penjelasan terhadap suatu permasalahan tersebut. “Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variable bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori variable bersangkutan memang dapat mempengaruhi variable tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”.23

Menurut W.L. Neuman, yang pendapatnya dikutip oleh Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan bahwa :

“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang beriterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.24

23J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2003),

hlm 192-193.

24HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung : Penerbit Refika

(13)

Otje Salman dan Anton F. Susanto pada kelanjutannya memberikan kesimpulan mengenai pengertian teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yakni sebagaimana berikut :

“teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”25 Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini yang pertama adalah Teori Sociological Jurisprudence.

Pada dasarnya Teori ini dipergunakan untuk memberikan jawaban atas kepentingan-kepentingan yang tidak seimbang di dalam kelompok masyarakat. Ada yang terlampau dominan, dan ada pula yang terpinggirkan, dan untuk menciptakan dunia yang beradab, ketimpangan-ketimpangan structural itu perlu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional.26

Di dalam teori ini mempunyai pandangan bahwa hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau suatu tertib hukum tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan, dan menjamin pemuasan kebutuhan-kebutuhan maksimal dengan pengorbanan yang minimal.27

25 Ibid, hlm. 23

26Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,

(Yogyakarta: Penerbit Genta Publisihing, 2010), hlm. 155.

(14)

Menurut Roscoe Pound, kepentingan-kepentingan yang dimaksudkan tersebut adalah terdiri dari tiga kelompok kepentingan, yaitu kepentingan umum (negara), sosial, dan kepentingan pribadi.28

Hukum mempunyai beberapa tugas dan fungsi, yang salah satunya adalah sebagai regulasi penyeimbang, bahkan ketika dirasakan institusi negara dipandang terlalu dominan maka hukum akan menjadi dominan untuk mereduksinya hingga sampai pada titik keseimbangan kepentingan yang menjadi tujuan hukum tersebut diciptakan.

Teori keseimbangan kepentingan ini atau lazim dikenal sebagai Teori

Sociological Jurisprudence, mampu memberikan penjelasan ketika Undang

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menggantikan Undang-Undang nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Undang Undang nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan apabila dicermati pemberlakuan undang undang tentang migas yang baru tersebut dilatarbelakangi oleh keyakinan tentang adanya dominasi negara terhadap pengelolaan sumber daya alam khususnya minyak dan gas bumi yang harus lebih diseimbangkan, seperti yang menjadi keyakinan di dalam pandangan Roscoe Pound tersebut di atas.

Sebagaimana yang tercermin di dalam Letter of Intent yang menjadi kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan IMF, sebuah tatanan masyarakat yang baru diyakini sebagai pilihan yang tepat bagi rakyat Indonesia saat itu (dengan segala problematikanya), yang berisikan harapan tentang keadaan masa depan gemilang

(15)

umat manusia : “Dengan pasar bebas umat manusia akan memasuki gerbang pintu keemasan yang membahagiakan”.29

Tatanan masyarakat baru tersebut di atas adalah apa menjadi tujuan hukum tersebut diciptakan, dan hal ini sejalan dengan apa yang menjadi focus utama dari konsep social engineering, yakni interest balancing, dan tujuan akhir dari hukum yang diterapkan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju.30

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tersebut diberlakukan, Pemerintah Indonesia (bersama-sama IMF) bertujuan untuk melakukan perubahan tatanan masyarakat yang lebih baik, sebagaimana keyakinan Pound bahwa hukum tidak lagi dilihat sekedar sebagai tatanan penjaga status quo, tetapi juga diyakini sebagai sistem pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana.31

Teori yang kedua yang dipergunakan adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Keadilan dan Teori Kemanfaatan Hukum. Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah : keadilan, kegunaan dan kepastian hukum, namun demikian meskipun ketiganya tersebut merupakan nilai dasar dari hukum, namun diantara nilai-nilai tersebut terdapat suatu spannungsverhaltnis, yakni suatu ketegangan satu sama lainnya.32

29I.Wibowo, Op. Cit. hlm. 51.

30Bernard L. Tanya dkk,Op. Cit. hlm. 161 31Ibid. hlm. 162

(16)

Di dalam pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang undang berlaku sebagai undang undang bagi yang membuatnya, secara terang memberikan pemahaman bahwa pada prinsipnya perjanjian yang disepakati merupakan hukum bagi yang membuatnya dan kepada hukum itulah mereka tunduk dan mematuhinya, dan sebagai bagian dari suatu system hukum, maka dengan demikian perjanjian tersebut haruslah memenuhi nilai-nilai dasar hukum tersebut di atas

Setiap perjanjian yang dibuat dan sepakati, di dalamnya pasti memuat berbagai kepentingan dari pihak-pihak yang membuatnya, yang sudah barang tentu terhadap kepentingan-kepentingan tersebut berposisi saling bertentangan satu dengan yang lainnya, dan untuk dapat membuatnya setimbang maka dibuatlah kesepakatan yang berisikan hak-hak dan kewajiban secara bertimbal balik, dengan demikian kesetimbangan yang sempurna tersebut merupakan nilai keadilan bagi kedua belah pihak.

Keadilan di dalam perjanjian menjadi unsur yang sangat penting dan mutlak harus ada ketika Radburch menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas untuk mengemban nilai keadilan bagi kehidupan konkret manusia, dengan demikian keadilan sebagai suatu nilai memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif. Normatif berarti keadilan sebagai landasan moral hukum sekaligus sebagai parameter bagi hukum positif, konstitutif bermakna keadilan harus menjadi unsur yang mutlak bagi hukum.33

Keadilan sendiri oleh Aristoteles dimaknai sebagai berbuat kebajikan atau kebajikan yang utama yang berkonsisten terhadap asumsi “untuk hal-hal yang sama

(17)

diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional”34. Keadilan model ini lebih merujuk kepada keadilan distributive yakni suatu model keadilan yang identik dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional35, namun demikian ketika keadilan merambah pada proses penegakan hukum maka konsep keadilan tersebut mulai bergeser pada model korektif (remedial), yakni bagaimana ketika hukum memberikan koreksi koreksi terhadap kesetimbangan yang terganggu, yang mana bentuk keadilan yang seperti ini pada prinsipnya menjadi ukuran bagi asas-asas tehnikal yang mengatur hal pengadministrasian atas proses penerapan aturan hukum36.

Pada saat perjanjian (sebagai hukum) disepakati dan dijalankan, pada intinya diharapkan terdapat sebuah kemanfaatan di dalamnya, khususnya bagi para pihak sebagaimana perjanjian tersebut dikonstruksikan. Apabila merujuk pada pemahaman kemanfaatan sebagai nilai dasar hukum adalah sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh hukum itu sendiri, maka dengan demikian di dalam perjanjian haruslah memiliki kemanfaatan atau finalitas yang dapat dikonstruksikan sebagaimana berikut :

Setiap perjanjian mempunyai tujuannya sendiri yang khas, dan tiap perjanjian sebenarnya adalah upaya melaksanakan akibat tertentu dari perjanjian yang mereka sepakati bersama, di dalam mana terletak tujuan bersama atau kausa perjanjian.37

Nilai dasar hukum yang ketiga adalah apa yang disebut dengan kepastian hukum. Perjanjian sebagai sebuah norma hukum, sebenarnya adalah sumber

34Agus Yudha Hernoko, Op. Cit. hlm. 48 35Bernard L. Tanya dkk, Op. Cit. hlm. 45

36 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum Dari

Zaman Yunani Kuno Sampai Abad Ke-20, (Bandung : Penerbit Nuansa,2010), hlm. 36-37

(18)

kepastian tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang membuatnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nieuwenhuis bahwa :

“Mekanisme kontrak menciptakan jaringan relasi kepercayaan (vertrouwensrelaties) yang memiliki pengaruh stabilisasi hubungan antar manusia tidak jauh berbeda dibandingkan dengan perundang-undangan”,.38 Maka cukup tepat bila dinyatakan bahwa, dalam hal perjanjian terbentuk, maka dapat dituntut (di muka hukum) pemenuhan dan akibat hukum dari perjanjian tersebut, dan oleh karenanya dalam konteks penegakan hukum, para penegak hukum tidak saja melekatkan sanksi hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang undangan, tetapi juga berkenaan dengan pemenuhan perjanjian tersebut.39

Terkait dengan hal tersebut, dalam tataran penerapan kepastian hukum, terdapat beberapa faktor yang menurut Jan Michiel Otto memberikan pengaruh terhadap timmbulnya ketidaksesuaian aturan hukum dengan pelaksanaannya, yang dapat mempengaruhi tingkat kepastian hukum yang nyata, yakni sebagai berikut :40

a. Aturan-aturan hukum itu sendiri;

b. Instalasi-instalasi yang membentuk dan menerapkan hukum, dan;

c. Lingkungan sosial yang lebih luas yaitu politik, ekonomi dan sosial budaya. Lebih utuh lagi menurut Radburch, untuk dapat diterapkannya keadilan membutuhkan suatu keadaan finalitas atau kemanfaatan, dan untuk dapat memastikan keadilan dan keadaan kemanfaatan tersebut dapat tercapai maka dibutuhkan suatu kepastian, dan jika ketiga hal ini dikembalikan kepada pemahaman hukum sebagai

38Herlien Budiono, Op. Cit. hlm. 209 – 210. 39Ibid, hlm. 209

(19)

gagasan kultural, maka pada prinsipnya hukum memang terdiri dari tiga aspek, yakni keadilan (= menunjuk kesamaan hak dan kewajiban di depan hukum), kemanfaatan (=menunjuk kepada tujuan keadilan, yakni memajukan kebaikan dalam kehidupan manusia), dan aspek kepastian (= menunjuk pada jaminan bahwa hukum yang di dalamnya berisi keadilan dan norma kemanfaatan benar-benar berfungsi sebagai hukum yang ditaati).41

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran atau ide. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.42

Selanjutnya, Sumaryadi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud dengan konsep, yang mana sebuah konsep berkaitan dengan definisi operasional. “Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional”.43

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut.

41Bernard L. Tanya dkk, Op. Cit. hlm. 130

42 Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta : Penerbit LP3ES, 1999),

hlm.34.

43 Sumandi Suryasubrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo

(20)

Definisi operasional perlu disusun, untuk memberikan pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional atas beberapa variable yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegassan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisis masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.44

Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya pengertian dan pemahaman yang bias tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka sangatlah penting utnuk dikemukakan konsepsi dalam bentuk definisi operasional sebagai berikut :

a. Yang dimaksudkan dengan Perjanjian Jual Beli disini adalah persetujuan saling mengikat antar penjual dan pembeli, penjual sebagai pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang telah dibelinya.45 atau sebagaimana yang telah diuraikan pada halaman 6 dan 7 dalam proposal tesis ini.

b. Bahan Bakar Minyak Jenis High Speed Diesel, adalah merupakan obyek dari penjanjian jual beli tersebut di atas, yakni bahan bakar minyak solar yang memiliki angka performa cetane number 45, yang umumnya digunakan untuk

44Ibid, hlm. 5

(21)

mesin diesel yang umum menggunakan system injection pump dan electronic injection.46

c. PT. Prayasa Indomitra Sarana dan PT. Buma Niaga Perkasa, adalah para pihak yang bersepakat dan membuat perjanjian jual beli di atas, dalam kedudukannya secara berturut-turut sebagai penjual dan pembeli. Pada dasarnya PT. Prayasa Indomitra Sarana adalah Badan Usaha Swasta yang mendapatkan ijin dari pihak yang berwenang untuk melakukan perniagaan umum bahan bakar minyak, yang dalam aktivitasnya adalah termasuk melakukan pembelian bahan bakar minyak melalui jalur impor yang kemudian menyimpannya sebagai stock persediaan sebelum kemudian diperjual belikan. Di dalam penelitian ini, khusus hanya untuk menelaah perbuatan hukum PT. Prayasa Indomitra ketika memasarkan bahan bakar minyak tersebut kepada konsumen di dalam negeri, yang salah satunya melalui perjanjian jual beli bahan bakar minyak dengan PT. Buma Niaga Perkasa. PT. Prayasa Indomitra sebagai salah satu badan usaha swasta cukup dapat mewakili subyek hukum yang diberikan keleluasaan memperdagangkan komoditi Minyak Bumi sebagaimana yang diatur oleh Undang Undang nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

(22)

“Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inqury) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan”.47

Sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, yakni penelitian yang bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya. Sedangkan analisis diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa buku, peraturan perundangan, disertasi, tesis dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa.48

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yakni suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.49

Di dalam penelitian yuridis normatif terbagi dalam beberapa kategori :50 a. Penelitian terhadap azas-azas hukum, yang lazim disebut sebagai studi

dogmatic atau doctrinal research.

47Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 13 48Ibid, hlm. 17

49 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit PT. Rajagrafindo

Persada, 2010), hlm. 38

50

(23)

b. Penelitian terhadap sistematika hukum, yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum.

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, yang bertujuan untuk mengukur sampai sejauh mana hukum positif yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya.

2. Metode Pendekatan

Di dalam suatu penelitian hukum dapat dilakukan dengan berbagai metode pendekatan untuk didapatkan berbagai informasi dari segala aspek mengenai persoalan ataupun fenomena yang sedang diteliti. Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode sebagai berikut :51

a. Pendekatan undang undang (statute approach) b. Pendekatan kasus (case approach)

c. Pendekatan histori (historical approach)

d. Pendekatan komparatif (comparative approach) e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Maka dengan demikian di dalam penelitian ini metode pendekatan yang akan digunakan adalah Metode Pendekatan Undang Undang, yakni suatu metode pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.52

51 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media

Group, 2010), hlm. 93

(24)

3. Sumber Data.

Berdasarkan sifat, jenis serta metode penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder yang dimaksudkan antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Dalam penelitian ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah menggunakan :53

a. Bahan Hukum Primer

Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung terhadap pihak yang terkait dengan permasalahan di atas untuk melengkapi dan mendukung data-data ini, agar penelitian menjadi lebih sempurna.

b. Bahan Hukum Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier

Data tertier yaitu data yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap data primer dan data sekunder yang berupa kamus,

53 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Ubiversitas Indonesia Press,

(25)

ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal, serta laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini.

4. Tehnik Pengumpulan Data.

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

Selain dari tehnik pengumpulan data tersebut di atas juga akan dilakukan wawancara dengan para pihak yang terkait sebagai informasi, untuk kepentingan informasi pelengkap menyangkut peristiwa hukum konkrit yang menjadi obyek penelitian, dan sepanjang memang diperlukan dalam penelitian ini.

5. Analisis Data.

Analisis data adalah merupakan sebuah proses mengorganisasi dan mengurutkan data ke dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan.

Analisis data yang digunakan adalah secara deskriptif kualitatif. Analisa data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui rehabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban, kemudian dilakukan

(26)

pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis data ini diharapkan akan dapat memberikan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat direpresentasikan dalam bentuk deskriptif.54

Referensi

Dokumen terkait

Melihat keseharian Pak Surwandono yang bekerja keras sebagai driver ojek disabilitas dengan kondisi daksa di bagian tubuhnya, untuk itulah diwujudkannya dalam sebuah karya

Dari grafik diatas pengaruh variasi panjang lengan terhadap nilai reduksi gerak translasi pada sistem utama , dapat disimpulkan pengaruh variasi panjang lengan

Ketika penampungan air laut sebagai bahan baku pembuatan garam telah cukup banyak dan terjaga ketersediannya pada sekitar pertengahan musim kemarau sebagian kolam

[r]

Berdasarkan hasil analisa mineralgrafi yang didukung analisa x-ray mapping dan ditampilkan secara tampilan spectro electron microscpe, dapat dikatakan bahwa contoh-contoh

Sistem navigasi adalah suatu sistem yang dapat mempermudah untuk mengetahui suatu tempat dengan kata lain Navigasi atau pandu arah adalah

Penerapan EA ini nantinya akan melibatkan baik program manajemen maupun metodologi dokumentasi berbasis kerangka kerja (framework) yang akan digunakan untuk

Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Paru Jember, menunjukkan bahwa pada tahun 2017 kasus TB Paru sebanyak 662 orang yang positif TB baik dari kasus baru