28
BAB II
LANDASAN TEORI
MUDHARABAH DAN BAGI HASIL
A. Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Secara etimologi kata Mudharabah berasal dari kata dharb
(
ََبَرَض).
Dalam bahasa arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya :a. Dharaba
(
ََبَرَض
)
yang berarti bergerak,b. Dharaba al-sya’i bi syai’ (
َِءَ ْيَّشلَ ِبَِ ِءَ ْيَّشلَاَ َبَرَض)
yang berarti mencampur,c. Dharaba fi al-ardl (
َِضَْرََلاْاَِْفََِبَرَض)
yang berarti bepergian.1Diantara jumlah itu, terdapat kata yang dijadikan oleh sebagian besar ulama fiqih sebagai akar kata dari mudharabah, yaitu dharaba fi al-ardl yang artinya bepergian ke suatu wilayah untuk urusan dagang.
Dalam fiqh muamalah, definisi terminologi bagi mudharabah diungkapkan oleh beberapa ulama madhzab2 sebagai berikut :
1
Ahmad Warso Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Cet. Ke-25, (Surabaya : Pustaka Progresif, 2002), hlm. 815.
2
Muhammad, Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah, (Yogyakarta : BPFE, 2005), hlm. 51.
a. Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
b. Malikiyah berpendapat, bahwa mudharabah adalah penyerahan uang muka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
c. Hambali berpendapat, bahwa mudharabah adalah penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
d. Syafi’iyah berpendapat, bahwa mudharabah adalah penyerahan sejumlah uang dari pemilik modal kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah akad antara pemilik modal
(shahibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib), dengan syarat bahwa
keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha tersebut dibagi berdua sesuai dengan kesepakatan.
Dalam konteks perbankan syariah, definisi terminologi mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%) dan pihak
lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha dalam
mudharabah dibagi menurut kesepakatan di awal kontrak. Apabila usaha
tersebut mengalami kerugian yang bukan diakibatkan oleh kelalaian pengelola, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan apabila kerugian tersebut diakibatkan oleh kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.3
Dalam akad mudharabah, perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul maal (pemegang polis). Dengan akad mudharabah surplus underwriting dari hasil operasi perusahaan dibagi antara perusahaan dan peserta. Dasar perhitungan mudharabah dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang surplus underwriting yang diperoleh.
2. Dasar Hukum Mudharabah
Secara umum, dasar hukum al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW, Ijma’, dan Qiyas berikut ini :
a. Al-Qur’an َ َ َ َ َ َ َ .... ةيلاا
Artinya : “Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari
sebagian karunia Allah”.(Qs. Al-Muzzammil : 20)
3
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hlm. 95.
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surat Al-Muzzammil : 20 adalah adanya yadhribun yang sama dengan akar kata
mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ .... ةيلاا َ
Artinya : ”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu”.(Qs. Al-Baqoroh : 198)
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.(Qs. Al-Jumuah :
10)
Inti dari Surat Al-Baqoroh : 198 dan Surat Al-Jumuah : 10 adalah mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha. b. Hadits Nabi Muhammad SAW
ََلاَقَُهَّنَاَاَمُهْ نَعَُاللهَ َيِضَرَ ِساَّبَعَُنْبِاَىَوَر
َ
َ:
َِدْبَع َُنْبَ ِسَاَّبَعلْاَنَُدِِّيَسَ َناَك
َِهِبَ ُكُلْسَََيَلاَْنَاَِهِبِحَاَصَىَلَعََطََرَ تْشِاًَةَبََرَاَضُمَ َلَاَلمْاََعَفَداَذ
ِاَ ِبِِّلَط
ُ
لما
َِبَ ْيَِتَْشَيََلاَوَ ًيًَداَوَِهِبَ ُلِزْنَ يَلاَواًرَْبَ
ََكِلاَذََلَعَ فَ ْنِاَفَِةَبْطَرَِدَبَكَ َتاَذَ ًًَةَّباَدَِه
ََُهَزَاَجَأَفََمَّلَسَوَِهْيَلَعَُاللهَيَّلَصَِاللهََلْوُسَرَُهَطَْرُشََغَلَ بَ فََنَمَض
(
َِناَرْ بَطَُهاَوَر
َ)
Artinya :“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak yang
berparu-paru basah. Jika menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rosulullah SAW dan dia pun memperkenankannya”.
(HR. Thabrani).
َ َلاَقَِهْيِبََأَْنَعَ ٍبْيَهُصَِنْبَِحِلَاَصَْنَع
َ:
ََّمَلَسَوَِهْيَلَعَُاللهََّىلَصَِاللهَ ُلْوُسَرَ َلاَق
َِْيِعَّشلَِبََِّرُ بْلاَُطََلاْخَأَوَُةَضََرَاَقُلمْاََوٍَلَجَاَ َلَ
ِاَُعْيَ بلَْاَُةَكََرَ بلَْاََّنِهْيَِِفََثَلاَث
َ
َِل
َِعْيَ بْلِلََلاَ ِتْيَ بْل
(
َََِاَُهاَوَر
هَجَاَمَُنْب
َ)
Artinya :“Dari Shalih bin Suhaib ra bahwa Rosulullah SAW, bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradha (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (HR.Ibnu Majah).
c. Ijma’
Rosulullah SAW pernah melakukan mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari padanya (Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat menjadi Rosul.4
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi akan pengelolaan harta anak yatim secara
mudharabah.5 Apabila harta anak yatim tersebut diinvestasikan secara
mudharabah, maka harta tersebut tidak akan termakan oleh zakat.
Karena zakat dapat diambilkan dari return of investment (keuntungan) bukan dari modal, sehingga harta amanat tersebut senantiasa berkembang, bukan berkurang.
d. Qiyas
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), hlm. 31.
5
Wahbah Azzuhaily, seperti yang dikutip oleh Muhammad,6 menyatakan bahwa : “Mudharabah dapat dianalogikan dengan Al-Musaqoh (perkongsian antara pemilik dan pengelola tanah pertanian dengan imbalan hasil panen) karena kebutuhan manusia terhadapnya, dimana sebagian mereka memiliki dana tetapi tidak cukup mempunyai keahlian mengolahnya manakala sebagian lain mempunyai keahlian yang tinggi dalam usaha tetapi tidak mempunyai dana yang cukup untuk menompangnya”. Bentuk usaha ini akan menjembatani antara buruh
(labour) dan modal (capital), dengan demikian akan terpenuhilah
kebutuhan-kebutuhan manusia sesuai dengan kehendak Allah SWT ketika menurunkan syariat-Nya.
3. Rukun dan Syarat Mudharabah a. Rukun Mudharabah7antara lain :
1) Pelaku (pemilik modal dan pengelola usaha)
Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (modal). 2) Objek mudharabah (modal dan kerja)
Pemilik modal menyerahkan modal dalam bentuk uang tunai atau barang yang sudah dia rinci berapa nilai uangnya, sedangkan pelaksana kerja menyerahkan kerja dalam bentuk keahlian,
6
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Cet. Ke-3, (Yogyakarta : UII Press, 2003), hlm. 16.
7
Adiwarman A. Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet. Ke-3, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 205-206.
ketrampilan, kemampuan menjual (selling skill), kemampuan mengatur (management skill), dan lain-lain. Menurut Fuqoha, modal mudharabah tidak boleh berbentuk barang tetapi uang tunai, karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal
mudharabah. Namun para ulama’ madzhab Hanafi
membolehkannya, dengan syarat nilai barang yang dijadikan modal harus disepakati pada saat awal akad oleh shahibul maal dan
mudharib. Menurut Fuqoha, modal mudharabah juga tidak boleh
dalam bentuk hutang, karena berarti shahibul maal tidak memberikan kontribusi apapun pada mudharib, padahal mudharib telah bekerja. Para ulama’ Syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad.
3) Persetujuan kedua belah pihak (ijab qobul)
Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara pengelola usaha pun setuju dengan peranannya untuk mengkontribusikan kerja.
4) Nisbah keuntungan
Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapat imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul maal mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan antara shahibul maal dan
mudharib harus ditentukan berdasarkan kesepakatan diawal akad
dan dinyatakan dalam bentuk prosentase, bukan berdasarkan porsi setoran modal.8
b. Syarat Mudharabah9
1. Dana mudharabah (modal)
a) Harus dalam bentuk uang tunai dan dinyatakan jelas jumlahnya. b) Harus segera diserahkan kepada mudharib, agar dapat
melakukan usaha. 2. Keuntungan
a) Pembagian keuntungan antara mudharib dan shahibul maal, berdasarkan nisbah sesuai kesepakatan awal.
b) Nisbah pembagian keuntungan harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam akad secara tertulis.
c) Pembagian keuntungan hanya untuk satu pihak, tidak sah akadnya.
d) Bersifat mutlak, artinya tidak mengikat mudharib dalam usaha-usahanya memperoleh keuntungan.
4. Manfaat Sistem Mudharabah
Salah satu keistimewaan dari sistem mudharabah adalah peran ganda dari
mudharib yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra mudharib adalah
wakil shahibul maal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada harta
8
Ibid., hlm. 206.
9
Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Perbankan Syariah, (Jakarta : LPFE Usakti, 2004), hlm. 72.
mudharabah. Ada beberapa manfaat dari konsep mudharabah yang
diterapkan dalam asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah yaitu : a. Asuransi akan menikmati bagi hasil pada saat keuntungan usaha
meningkat.
b. Asuransi akan lebih selektif dan prudent (hati-hati) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
B. Bagi Hasil
1. Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit
sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.
Secara definitif profit sharing diartikan : “distribusi beberapa bagian laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus yang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.10
Sistem bagi hasil dengan metode profit and loss sharing merupakan prinsip dasar dalam transaksi investasi, namun di Indonesia saat ini mengenal dua metode yakni profit sharing dan revenue sharing. Profit
sharing adalah bagi hasil yang basis perhitungannya berdasarkan pada
keuntungan yang diterima perusahaan. Sistem investasi dengan profit
10
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 18.
sharing telah banyak dikenal masyarakat melalui lembaga pasar modal,
reksadana dan lembaga bagi hasil lainnya. Pada lembaga-lembaga tersebut, masyarakat dapat berinvestasi dengan prinsip “High Risk High Return” adalah memperoleh bagi hasil yang melebihi tingkat suku bunga bank konvensional atau bahkan dana investasinya berkurang atau justru hilang. Sedangkan revenue sharing adalah sistem bagi hasil yang basis perhitungannya berdasarkan pada pendapatan yang diterima perusahaan. Dengan menggunakan metode revenue sharing, maka dana investasi nasabah tidak akan berkurang atau minimal tidak mendapat bagi hasil.11 2. Keunggulan Bagi Hasil
Sistem bagi hasil menjadi karakteristik tersendiri bagi perusahaan karena memiliki beberapa keunggulan,12 antara lain :
a. Transaksi berdasarkan bagi hasil tidak melanggar keadilan. Dalam bisnis hasil dari setiap perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam berhak mendapatkan keuntungan jika perusahaan untung, sebaliknya jika perusahaan merugi, maka peminjam juga turut menanggung risiko kerugian tersebut.
b. Transaksi berdasarkan bagi hasil lebih fleksibel dan menguntungkan. Hal ini menyebabkan tumbuhnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, karena perusahaan membuka kesempatan yang sangat luas dalam bisnis. Yang semuanya merupakan infrastruktur yang
11
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta : Zikrul Hakim, 2003), hlm. 106.
12
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islami, Cet. Ke-2, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 111.
memberikan peluang kepada kedua belah pihak untuk memetik keuntungan yang adil dan proporsional.
c. Transaksi berbasis bagi hasil membuka munculnya inovasi usaha kecil. Dalam sistem bagi hasil perusahaan lebih tertarik dalam kemitraan usaha. Dimungkinkan bagi perusahaan untuk memiliki gagasan berupa proyek dan menawarkan kepada calon-calon investor untuk ikut menanamkan modal dalam rangka untuk membiayai proyek tersebut. d. Dalam sistem bagi hasil, perusahaan tidak akan pernah mengalami
negative spread. Negative spread adalah tingginya tingkat bunga
deposito dari pada bunga kredit, sehingga perusahaan akan mengalami kerugian yang luar biasa besarnya. Dalam perusahaan praktek-praktek dilaksanakan dengan menggunakan instrumen-instrumen keuangan yang bertumpu pada pembagian keuntungan dan kerugian.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil13 a. Faktor Langsung
Diantara faktor-faktor langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah tingkat investasi (Investment Rate), jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (Profit Sharing Ratio).
1) Investment Rate merupakan presentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika perusahaan asuransi menentukan
rate sebesar 70%, hal ini berarti 30% dari total dana dialokasikan
untuk memenuhi likuiditas.
13
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hlm. 140.
2) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode ini, yaitu : rata-rata saldo minimum bulanan dan rata-rata total saldo harian.
Investment Rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk
diinvestasikan, akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.
3) Nisbah (Profit Sharing Ratio)
a) Salah satu ciri al-mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian.
b) Nisbah antara perusahaan satu dengan perusahaan lainnya dapat berbeda.
c) Nisbah juga dapat berbeda-beda dari waktu ke waktu dalam satu perusahaan.
d) Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.
b. Faktor tidak Langsung
1) Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah.
a) Perusahaan asuransi dan nasabah melakukan pembagian (share) dalam pendapatan dan pembiayaan (profit and sharing). Pendapatan yang dibagi hasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya.
b) Jika semua biaya ditanggung oleh perusahaan asuransi, hal ini disebut revenue sharing.
2) Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting).
Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
4. Rumus-rumus Bagi Hasil
Sistem bagi hasil dapat diterapkan dalam empat model14 yaitu :
a. Sistem bagi hasil berdasarkan pendapatan (Revenue Sharing System,
RSS), adalah sistem bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan (revenue) yang diperoleh sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Model bagi hasil ini digunakan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1) Posisi lembaga pembiayaan pada saat negosiasi akad lebih kuat dari pada penerima pembiayaan. Posisi ini terbalik setelah akad terjadi yaitu posisi penerima pembiayaan lebih kuat dari pemberi pembiayaan, ini terjadi karena pada saat pembagian hasil usaha penerima pembiayaan berubah menjadi pemberi hasil usaha dan pemberi pembiayaan berubah menjadi penerima hasil usaha.
2) Meminimalisir moral hazard dari penerima pembiayaan yang akan merugikan pemberi pembiayaan, misalnya manipulasi laporan
14
Muhammad Nafik, Perhitungan Kontribusi Asuransi Syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 3.
keuangan yang cenderung membesarkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghindari pembayaran bagi hasil.
3) Antara penerima dan pemberi pembiayaan belum terbentuk hubungan yang saling amanah (percaya).
b. Sistem bagi hasil berdasarkan laba kotor (Gross Profit Sharing System,
GPSS) atau bagi hasil berbasiskan laba kotor (Sharing System for Based of Gross Margin, SSBGM) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan
pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya (biaya variabel produksi atau harga pokok produksi, atau harga pokok pembelian) yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model GPSS digunakan dengan pertimbangannya adalah antara penerima dan pemberi pembiayaan mulai terbentuk hubungan yang saling amanah (percaya).
c. Sistem bagi hasil berdasarkan laba operasi bersih (Operating Profit
Sharing System, OPSS) atau bagi hasil berbasiskan laba operasi kotor (Sharing System for Based of Operating Profit, SSBOP) adalah sistem
bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya variabel (biaya variabel produksi atau harga pokok produksi atau harga pokok pembelian) dan biaya-biaya tetap serta biaya lain-lain baik yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model ini digunakan dengan pertimbangannya adalah antara penerima dan pemberi pembiayaan telah terbentuk hubungan yang saling amanah
(percaya). Model ini sangat sesuai pada sistem kerjasama dengan menggunakan musyarakah.
d. Sistem bagi hasil berdasarkan laba bersih (Net Profit Sharing System,
NPSS) atau bagi hasil berbasiskan laba bersih (Sharing System for Based of Net Profit, SSBNP) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan
pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya variabel (biaya variabel produksi, atau harga pokok produksi, atau harga pokok pembelian) dan biaya-biaya tetap serta biaya-biaya lain-lain baik yang dikeluarkan dalam proses produksi dan telah dikurangi pajak perusahaan yang harus dibayarkan. Model ini digunakan dengan pertimbangan antara penerima pembiayaan dan pemberi pembiayaan karena benar-benar telah saling dapat dipercaya, transparan, dan profesional sehingga kemungkinan moral hazard sangat kecil. Model ini sangat sesuai pada sistem kerjasama dengan menggunakan
musyarakah.
5. Ketentuan Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing), Esensi dari kontrak
mudharabah adalah kerjasama untuk mencapai profit berdasarkan
akumulasi komponen dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui komponen ini. Risiko juga menentukan keuntungan (profit) dalam kontrak mudharabah. Pihak investor menanggung risiko kerugian dari modal yang telah diberikan, sedangkan pihak mudharib menanggung risiko tidak mendapatkan keuntungan dari hasil pekerjaan dan
usaha yang telah dijalankannya. Dengan catatan, apabila kerjasama tersebut tidak menghasilkan keuntungan (profit).