• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG WAKTU PENENTUAN HAK HADHANAH ANAK. A. Tinjauan Tentang Hadhanah Menurut Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG WAKTU PENENTUAN HAK HADHANAH ANAK. A. Tinjauan Tentang Hadhanah Menurut Hukum Islam"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG WAKTU PENENTUAN HAK HADHANAH ANAK

A. Tinjauan Tentang Hadhanah Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Hadhanah

Adapun dalam Hukum Islampemeliharaan anak dikenal dengan istilah

hadhanah. Secara etimologi, hadhanahberarti di samping atau berada di bawah

ketiak,35sedangkan secara terminologisnya, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdesannya, karena mereka tidak memenuhi keperluannya sendiri.36

Menurut Ash-sha’ani, pemeliharaan anak disebut dengan Al Hadhanah yang merupakan masdar dari kata Alk Hadhanah yang berarti mengasuh atau memelihara bayi (hadhanah ash syabiyya).Dalam pengertian istilah hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya.37

Sementara itu menurut Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, hadhanah adalah memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri.38Sedangkan menurut

35AbuYahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab, (Beirut: Dar al-Kutub, 1997), Juz II.hlm.212. 36

Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), hlm.65. lihat juga Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia

(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Undang No.1/1974 Sampai KHI),

(Jakarta:Kencana,2004), hlm. 291. 37

Ash-sha’ani, Subulus Salam, Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 819.

38Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, Subulus Salam, Juz 3(Bandung: Dahlan), 1996. hlm. 227.

(2)

pendapat Syeikh Ibrahim Al-Najuri hadhanah adalah memelihara orang yang tidak mampu mengurus diri sendiri dari sesuatu yang menyakitinya, karena belum dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik.39

Selanjutnya Wahbah Az-Zuhaili memberi pengertian hadhanah, menurut bahasa, hadhanah berasal dari kata “al hidlnu” yang berarti“ samping atau merengkuh ke samping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak mumayyiz seperti anak-anak atau orang dewasa tetapi gila.40

Menurut Amir Syarifuddin, hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah putusnya perkawinan.41Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukan bahwa :

“Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiztanpa perintanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.42

Menurut M.Hasballah Thaib, yang dimaksud hadhanah adalah merawat dan mendidik, menjaga dan mengatur orang yang belum mampu mengetahui dirinya sendiri disebabkan gila dan disebabkan masih anak-anak yang belum mumayyiz.43

39Syeikh Ibrahim Al-Najuri, Al-Bajuri, Juz 2, hlm. 195, lihat juga H.A Fuad Said, Perceraian

Menurut Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Alhusna),1994, hlm.215.

40

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam (Wa Adillatuhu), Jilid 10, (Depok: Gema Insani, 2007), hlm.59.

41Amir Syarifuddin, Op .Cit., hlm. 327. 42Sayyid Sabiq, Loc.cit.

43M.Hasballah Thaib dan H. Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, (Medan: Universitas Al-Azhar, 2010) hlm.189.

(3)

Sementara menurut istilah ahli fiqih, hadhanah berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya sebagai seorang muslim.44

Selanjutnya dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasan berpikirnya).Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh perceraian atau karena meninggal dunia orang tua, sementara si anak belum dewasa dan tidak mampu lagi mengurus diri mereka, oleh karenanya diperlukan adanya orang-orang yang bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.

2. Dasar Hukum Hadhanah

Ulama fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya hukum memelihara dan mendidik adalah kewajiban bagi kedua orang tua45, anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya, hal merujuk pada ayat Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 6 yang berarti:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.46” Selain itu, hal ini dapat kita lihat

44Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 129.

45

Muhammad Husain Zhabi, Al-Syari’ah al- Islamiyah: Dirasah Muqaranah baina Mazahib

Sunnah Ea al-Mazahab al-Ja’fariyah, (Mesir: Daral-Kutub al-Hadisa, tth), hlm.170.

46Mushaf, Al-Qu’ran dan terjemaah Al-Qu’ran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustsar, 2009), hlm.560.

(4)

dari dasar hukum hadhanah dalam Islam dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, yang artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan carama’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang itu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan walipun berkewajiban demikian.Apabila keduanya ingin menyapih (belum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kerjakan”.47

Selain itu juga terdapat hadist Rasulullah SAW. sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Al- Baihaqi dan Al-Hakim dari Abdullah bin’ Amru48:

“Bahwa seorang wanita berkata:”ya Rasullulah, sesungguhnya anakku ini, perutku menjadi tempatnya dan payudaraku isapannya dan lambungku menjadi pangkuannya. Ayahnya telah mentalakku dan hendak mengambilnya dariku, maka Rasullulah SAW bersabda: engkau lebih berhak mengasuh/memelihara selama engkau belum menikah”.

Selanjutnya,di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa :

1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; 3) Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

47M.Hasballah Thaib dan H.Marahalim Harahap, Loc.Cit. 48Ash-sha’ani.Op.Cit., hlm.227.

(5)

Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan karena perceraian, maka:

1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang memberi keputusan.

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua, pemeliharaan tersebut meliputi: masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok bagi anak. Jadi meskipun diantara suami istri telah putus ikatan perkawinan diantara mereka namun kewajiban pemeliharaan anak tetap menjadi tanggung jawab keduanya sampai anak di bawah umur tersebut telah dewasa atau mandiri. Islam juga telah mengajarkan kewajiban bertanggung jawab itu secara tegas, sebagaimana dijelaskan pada hadist Rasullulah SAW, yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, yang artinya berbunyi:” Laki-laki wajib memelihara keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban dalam hal itu. Perempuan

(6)

wajib memelihara (segala sesuatu) dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban dalam hal itu”.49

3. Syarat-Syarat Orang Yang Berhak Melaksanakan Tugas Hadhanah

Setiap anak yang masih di bawah umur memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam membentuk fisiknya maupun akhlaqnya. Seorang yang melakukan tugas hadhanah anak mempunyai andil dalam hal tersebut, sehingga memerlukan sikap yang arif, perhatian yang penuh dan kesabaran. Menurut M.Hasballah Thaib, karaktertik orang tua ideal bagi anak haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan kepribadian yang yakni: 1. Bertaqwa kepada Allah, 2. Mempunyai sifat ikhlas, 3.Berakhlak mulia, 4. Mempunyai sikap dan berkata benar, 5. Mempunyai sifat adil, 6. Bersikap sopan, 7. Bersisikap sabar, 8.Bersifat pemaaf, 9. Rukun dalam rumah tangga, 10. Memenuhi kebutuhan anak, 11. Membina kreatifitas anak, 12. Berdedikasi mendidik dan bertanggung jawab.50

Selanjutnya hukum Islam mengemukan ada beberapa persyaratan yang terkait dengan hadhanah atas anak yang harus dimiliki seseorang agar bisa melaksanakan tugas hadhanah,baik wanita maupun laki-laki. Syarat-syarat itu dibagi ulama fiqih dalam tiga katagori, yakni: a. syarat umum untuk wanita dan pria, b. syarat khusus untuk wanita, c. syarat khusus untuk pria51.

a. Syarat umum untuk pria dan wanita yang melakukan hadhanah

Adapun syarat umum untuk orang yang dianggap berhak melaksanakan tugas

hadhanah atas anak, diantaranya:

49M. Hasballah dan Zamakhsyari, Pendidikan dan Pengasuhan Anak(Menurut Al-Qur’an dan

Sunnah), (medan:Perdana Mulya Sarana, 2012), hlm.57.

50

Ibid., hlm.24-57.

51Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm.121-125.

(7)

1. Berakal

Orang gila dan idiot tidak boleh menjadi pelaksana hadhanah karena keduanya juga membutuhkan orang lain untuk mengurus keperluan mereka. Selain itu untuk mengurus diri sendiri saja mereka tidak mampu, apa lagi untuk mengurus keperluan orang lain.

Ulama Mahzab Malikiyyah mensyaratkan seorang yang dapat melaksanakan tugas hadhanah haruslah orang cerdas.Seorang yang melaksanakan hadhanah tidak boleh orang yang bodoh (idiot) dan boros.Tujuannya agar harta milik anak yang dipelihara tidak dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak perlu.52

Jadi apabila seseorang itu tidak berakal maka ia tidak berhak untuk melakukan tugas hadhanah karena ia sendiri tidak dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga hanya mereka yang memiliki akal yang dapat melaksanakan tugas hadhanah.

2. Baligh (dewasa)

Hendaklah merekayang melakukan tugas hadhanah adalah mereka yang sudah baligh/dewasa, berakal, tidak terganggu ingatannya, karena hadhanah adalah merupakan pekerjaan memerlukan tanggung jawab. Sementara itu ulama Mazhab Malikiyyahmenambahkan agar yang melakukan tugas hadhanah adalah mereka yang tidak memiliki/menderita penyakit menular yang dapat membahayakan mahdhun (anak yang diasuh).53

52

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darulfikir, 2011), hlm.66.

53Muhammad Ibnu Al-Syarbaini, Al-Iqna’, (Mesir: Mathba”ah al-Risalah, tth), Juz II, hlm.150.

(8)

3. Memiliki kemampuan dan kemauan dalam melakukan hadhanah dan mendidik

mahdhundan juga tidak terikat dengan suatu perkerjaan yang bisa mengakibatkan

tugas hadhanah menjadi terlantar.

Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara, dan juga mampu untuk menjaga kesehatan dan kepribadian anak. Jadi orang lemah, baik karena sudah lanjut usia, sakit, maupun sibuk tidak berhak untuk mengurus anak.

Wanita yang berkerja diluar rumah (wanita karier) yang sibuk dengan perkerjaannya sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus anak juga tidak termasuk katagori orang yang berhak mengurus hadhanah anak. Akan tetapi jika kerjanya tidak menghambatnya dalam mengurus anak, ia tetap berhak untuk mengurusnya.54Jadi wanita yang berkerja diluar rumah masih memenuhi syarat menjadi (pengasuh).

4. Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik

Orang yang dapat dipercaya memegang amanah, artinya seseorang yang melakukan hadhanah hendaklah orang yang dapat dipercaya memegang amanah., maka orang yang tidak amanah tidak berhak untuk melakukan hadhanah anak. Adapun yang termasuk dalam katagori tidak amanah adalah orang fasik baik laki-laki ataupun perempuan yang memiliki sifat, apabila dititipkan sesuatu dia tidak pernah menyembunyikannya, suka menipu, suka berkata tidak santun, pemabuk, pezina sering melakukan perbuatan yang dilarang (perkara yang diharamkan oleh Allah SWT). Namun Ibnu Abidin menjelaskan kefasikan yang menghalangi hak untuk

(9)

mengurus anak adalah kefasikan seorang ibu yang menyia-nyiakan anak, ia tetap berhak melaksanakan hadhanah anak meskipun sudah terkenal fasik, dengan syarat selama si anak belum mencapai usia mampu menggerti kefasikan ibunya. Namun jika sudah mengerti maka anak tersebut harus dijauhkan dari ibunya untuk menyelamatkan masa depan akhlak si anak. Disamping itu bagi laki-laki yang fasik dan pemarah maka ia tidak berhak mengurus hadhanah anak.55Ulama Mazhab Malikiyyah mensyaratkan tempat dan lingkungan untuk mengurus hadhanah anak haruslah kondusif.Orang yang rumahnya tempat berkumpulnya orang-orang fasik tidak berhak untuk melakukan hadhanah anak, ataupun lingkungan rumah yang membahayakan seperti tempat yang sering terjadi tindakkan kejahatan.56

Jadi orang melaksanakan tugas hadhanah anak hendaklah orang yang berakhlak mulia karena orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh sebab itu ia tidak layak melakukan tugas hadhanah. 5. Beragama Islam

Mereka yang kafir tidak boleh melaksanakan hadhanah anak kecil yang beragama Islam, karena hadhanah itu adalah semacam kekuasaan dan wewenang. Sebagaimana Allah SWT melarang orang kafir (bukan muslim) menguasai orang Islam, yang ditegaskan dalam firmanNya Surat An-Nisa’ ayat 141, yang artinya berbunyi:

55Ibid. 56Ibid.

(10)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.

Namun dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat tentang hal tersebut,boleh atau tidaknya anak diasuh oleh non muslim (tidak beragama Islam).57 Menurut Mazhab Syafi’iyyah dan Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa hadhanah atas seorang yang muslimah atau muslim, maka yang berhak untuk melakukan hadhanah adalah haruslah orang yang seagama dengan anak(beragama Islam), karena orang non muslim tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, hal ini sejalan dengan firman Allah SWT Surat An-Nisa’ ayat 141 tersebut di diatas. Disamping itu juga dikhawatirkan jika yang melaksanakan hadhanah itu bukan muslim, maka akan membawa atau mempengaruhi anak yang diasuh (madhun)masuk ke dalam agamanya.Akan tetapi Mazhab Hanafiyyah dan Mazhab Malikiyyah, tidak mensyaratkan yang melaksanakan hadhanah haruslah seorang yang beragamaIslam, selama anak itu belum mumayyiz (dibawah umur tujuh tahun).Menurut merekahak

hadhanah seorang ibu terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan secara Islam

tidak menjadi gugur disebabkan ibu tidak beragama Islam, kecuali jika anak itu sudah

mumayyiz58. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW, pernah menyuruh anak memilihuntuk berada di bawah asuhan ayahnya yang muslim atau pada ibunya yang musyrik, tetapi anak itu memilih ibunya. Lalu

57

Abdurahman al-juzairi, Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Araba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid IV. hlm. 596-598, lihat juga: Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Op.Cit., hlm. 122.

58Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana,2004), hlm.174.

(11)

Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada ayah”.

Jadi sebaiknya orang yang melaksanakan tugas hadhanah hendaklah orang seagama dengan si anak (beragama Islam), agar anak lebih terpelihara baik secara fisik maupun secara akhlaknya, sehingga tidak menimbulkan mudharat.

b. Syarat khusus bagi wanita(hadhinah) yang melaksanakan tugas hadhanah

Menurut para ahli fiqih syarat khusus bagi pria yang melaksanakan tugas

hadhanah adalah sebagai berikut59:

1. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang belum kawin lagi setelah putusnya perkawinan dengan suaminya. Artinya jika yang melakukan tugas hadhanah adalah ibu kandung dari anak yang diasuh, disyaratkan tidak menikah dengan lelaki lain. Hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah SAW, yaitu: “Engkau (ibu) lebih berhak mengasuh anakmu, selama engkau belum kawin dengan lelaki lain”. Jadi ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum kawin dengan laki-laki lain. Hal ini disebabkan dikhawatirkan suami kedua dari si ibu yang tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami sebelumnya, selain itu biasanya suami kedua cenderung resah dan kurang ikhlas dengan keberadaan anak kecil tersebut bersama ibunya, akibatnya anak akan merasa kurang kasih sayang, tentunya, hal ini akan mempengaruhi psikis anak tersebut. Kecuali jika wanita tersebut menikah lagi dengan kerabat anak yang diasuhnya, maka ia boleh

(12)

mengasuhnya. Hal ini dikarenakan bila suamidari ibu si anak adalah muhrim anak maka ia akan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Sehingga

kebersamaan anak tersebut dengan istrinya tidak membuat resah karena adanya hubungan kekerabatan yang dapat menimbulkan kasih sayang60.

2. Wanita yang melaksanakan tugas hadhanah merupa mahram (wanita yang haram untuk dinikahi) anak, contohnya ibu,nenek, saudara perempuan ibu dan seterusnya.

3. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang menyayangi si anak dan memiliki sifat yang baik. Menurut ulama Mazhab Malikiyyah wanita yang mengasuh anak tersebut tidak boleh memiliki sikap yang tidak baik seperti pemarah dan membenci anak tersebut, karena berdampak tidak baik bagi si anak.

4. Apabila anak yang diasuh masih dalam usia menyusui dengan wanita pengasuhnya, tetapi air susunya tidak ada atau wanita yang mengasuh tersebut tidak mau menyusui anaknya, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh (melaksanakan tugas hadhanah). Hal ini dikemukan oleh ulama Mazhab Syafi’iyyah dan Mazhab Hambali.61

5. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang tidak berhenti melaksanakan tugas hadhanah meskipun tidak diberikan upah hadhanah karena

60

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fi Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah (Panduan

Hukum Keluarga Sakinah), Terjemahan Harits Fadli dan Ahmad Khotib, (Solo: Era Intermedia,2005),

hlm. 593. 61Ibid.

(13)

secara ekonomi ayah sianak sedang mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah. Syarat ini ditetapkan oleh ulama Mazhab Hanafiyyah.62

c. Syarat khusus bagi laki-laki (hadhin) yang melaksanakan tugas hadhanah

Bagi seorang laki-laki yang melaksanakan tugas hadhanah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Jika pengasuhnya adalah muhrim

Para fuqaha membolehkan laki-laki untuk melaksanakan hadhanahbagi anak perempuan namun haruslah laki-laki yang muhrim bagi si anak, baik anak tersebut masih kecil ataupun telah mumayyiz, baik itu karena tidak ada wanita yang berhak melakukan hadhanah baginya atau mungkin ada tetapi tidak memenuhi kualifikasi

hadhanah. Namun menurut ulama Hanafiyyah dan Hambali hendaknya anak

perempuan tersebut berusia masih kecil atau jika anak yang hendak diasuh itu cantik parasnya maka usianya maksimal tujuh tahun. Tujuan ini tidak lain agar tidak terjadi khalawat antara keduanya63.

2. Jika yang mengasuh bukan muhrim

Jika orang yang melakukan tugas hadhanah adalah laki-laki yang bukan muhrim bagi anak, maka diperbolehkan dengan syarat pengasuh (laki-laki) tersebut haruslah memenuhi kualifikasi hadhanah, yakni ada wanita bersama laki-laki tersebut yang ikut membantu memelihara anak tersebut.64

4. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Syarat Hadhanah

62

Loc, Cit, hlm. 69.

63

Ibid.

64Tuzaemah T. Yanggo, Fiqih Anak, (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak

(14)

a. Hal-hal yang mengugurkan hadhanah

Menurut ulama Malikiyyah, hak hadhanah gugur dengan 4 (empat) sebab, yaitu:

1. Perginya perempuan (hadhinah) ke tempat yang jauh.

Maksudnya perginya hadhin ke tempat yang jauh dengan menempuh jarak lebih dari 133 KM, jika wali dari anak asuh pergi atau hadhinahnya (perempuan yang melaksanakan hadhanah) maka wali dari anak asuh berhak mengambil anak tersebut dari hadhinah, dan gugurlah haknya mengasuh anak, kecuali ia membawa serta anak itu (mahdhun) dalam perjalanan. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hak mengasuh anak dianggap gugur jika hadhinah yang berstatus janda pergi ke tempat lain yang jauh, sehingga ayah anak yang diasuh tidak dapat mendatangi anaknya dalam jangka waktu setengah hari, untuk kemudian kembali sampai ke rumah.65

Adapun bagi hadhinah selain ibu si anak maka haknya gugur hanya dengan berpindah tempat tinggal. Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hak seseorang untuk mengasuh anak menjadi gugur jika ia pergi dengan niat untuk pindah, baik jaraknya jauh maupun dekat. Ulama Hambali berpendapat bahwa hak mengurusanak gugur jika orang yang mengurusnya berpergian jauh dengan menempuh jarak yang membolehkan shalat qashar.66

65

Wahbah Az-Zulahaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan) Jilid 10,Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, ( Jakarta:Darul fikir, 2011), hlm. 70.

(15)

2. Bila ia menderita penyakit yang membahayakan.

Hak seseorang dalam melaksanakan tugas hadhanah gugur jika iamenderita penyakit yang membahayakan seperti gila, lepra, dan kusta. Hal ini menurut pendapat ulama Mazhab Hambali.

3. Bila ia fasik atau pengetahuan agamanya kurang

Hak seseorang untuk mengurus anak juga gugur jika ia fasik atau pengetahuan agamanya kurang, seperti misalnya ia tidak dapat dipercaya untuk mengurus anak karena tidak tercapainya kemaslahatan dalam asuhannya. Pendapat ini telah disepakati oleh para ulama.67

4. Bila ia sudah menikah lagi

Hak seorang hadhinah (khususnya ibu) jika ia sudah menikah lagi, kecuali jika jika hadhinah menikah dengan muhrim si anak.Akan tetapi, jika suami ibu dari anak tersebut memiliki kasih sayang pada anak, maka hak hadhanah ibu tersebut masih berlaku.68Berbeda dengan pendapat ulama Mazhab Syafi’iyyah, bahwa hak hadhanah ibu gugur secara mutlak disebabkan perkawinannya dengan laki-laki lain, baik laki-laki tersebut memiliki kasih sayang maupun tidak.69

b. Kembalinya hak melaksanakan tugas hadhanah

Meskipun ada hal-hal yang menghalangi seseorang untuk dapat melaksanakan tugas hadhanah atas anak maka hal tersebut dapat dibatalkansebagaimana menurut pendapat para ulama mazhab, yaitu70:

67Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm.753.

68

Ibnu Qudmah, Al-Mughni, (Beirut: Daral-Kitab Al-Arabi, 1972), Jilid VII, hlm.300. Lihat juga Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit, hlm.132.

69Wahbah Az-Zulahaili, Jilid 10, Op.Cit., hlm.71. 70Op.Cit., hlm. 72.

(16)

1. Menurut ulama Mahzab Malikiyyah

Ulma mazhab Malikiyyah, berkata jika hak seorang hadhinah telah gugur karena adanya uzur, seperti sakit, tempat yang membahayakan, pergi atau pindah tempat, dan pergi untuk menunaikan ibadah haji, kemudian uzur itu hilang karena sembuh dari penyakit atau tempatnya sudah aman, atau pulang dari berpergian maka haknya atas hadhanah anak kembali lagi, hal ini karena uzur atau penghalang yang mengugurkan haknya telah hilang.Kaidahnya menyebutkan, “jika penghalangnya hilang maka sesuatu yang tadinya terlarang menjadi tidak”.

Selanjutnya jika seorang hadhinah menikah lagi dengan seorang lelaki lain yang bukan muhrimnya dan melakukan hubungan suami istri, atau ia pergi jauh tanpa uzur, kemudian menjanda lagi baik karena perceraian, karena perkawinanya dibatalkan,maupun karena kematian suaminya atau ia kembali lagi dari perjalanan jauh yang tidak ada uzur maka haknya untuk melaksanakan tugas hadhanah tidak kembali lagi meskipun penghalangnya sudah tidak ada. Hal ini dikarenakan gugurnya hak hadhanahitu dari dirinya sendiri dan tidak ada uzur.71

2. Ulama Mazhab Hanafiyyah, mazhab Syafi’iyyah dan Hambali

Mereka berpendapat,jika hak hadhinah gugur karena adanya penghalang, namun kemudian penghalang itu hilang maka hak hadhanah anak itu kembali lagi kepadanya, baik penghalang itu karena terpaksa seperti sakitatau penghalang itu karena keinginannya sendiri seperti kawin, berpergian dan fasik. Akan tetapi, menurut Mazhab Hanafiyyah hal itu harus langsung tanpa menunda-nunda waktu

(17)

bagi perempuan yang dicerai ba’in meski sebelum selesai iddahnya, namun jika dicerai raj’i maka ia harus menunggu masa iddahnya dulu.

Ulama Mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa wanita yang dicerai masih berhak mengurus hadhanah anaknya secara langgsung sebelum selesai masa iddahnya, dengan syarat mendapat izin dari suami. Namun jika suami tidak memberi izin maka wanita itu tidak berhak atas hadhanah anaknya.72

Namun hal tersebut berbeda menurut pendapat ulama Mazhab Hambali,bahwa wanita yang dicerai tetap berhak mengurus/melaksanakan tugas

hadhanah atas anaknya, meskipun cerai raj’i dan belum selesai masa iddahnya. 5. Berakhirnya hadhanah

Dalam Hukum Islam belum ada ketentuan mengenai batas waktu berakhirnya

hadhanah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya.Hadhanah berhenti apabila

anak sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti makan, minum, mandi dan berpakaian sendiri73.Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu mengenai waktu berakhirnya, hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri sendiri.Jika si anak telah dapat memenuhi semua ketentuan tersebut, maka masa hadhanah telah habis.74

72

Ibid.

73

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat , (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.183. 74Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Terjemahan Moh. Thaib, ( Bandung :PT. Al-Ma’arif, 1997), hlm. 173.

(18)

Pemeliharaan atas anak dimulai kelahiran, tetapi dalam hal terjadi perceraian orang tua maka pemeliharaan itu dapat berakhir saat anak tersebut mencapai umur tertentu.Namun terhadap hal tersebut para fuqaha berbeda pendapat mengenai berakhirnya hadhanah.

Menurut Mazhab Hanafiyyah, berahirnya hadhanah atas seorang anak laki-laki yaitu ketika mencapai umur tujuh tahun, sedangkan untuk anak perempuan saat mencapai umur sembilan tahun.Namun menurut Mazhab Syafi’iyyah berakhir

hadhanah atas anak baik itu anak perempuan ataupun laki-laki saat mereka berumur

tujuh tahun,jika anak tersebut telah berusia tujuh tahun atau lebih dan ia telah berakal maka ia dapat memilih dipelihara oleh ayah atau ibunya dengan dua syarat, yakni: a. kedua orang tuanya adalah orang yang memiliki hak asuh pada dirinya; b. anak tersebut memiliki akal yang sehat.75Jika anak tersebut adalah anak laki-laki, ia memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan bersama ayahnya pada siang hari, agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan bila ia merupakan anak perempuan dan ia memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam. Namun jika si anak memilih tinggal bersama kedua orang tuanya, maka dilakukan undian, bila si anak diam atau dengan kata lain tidak memilih maka ia ikut bersama ibunya.76Selanjutnya Mazhab Hambali sependapat dengan Mazhab Syafi’iyyah tentang berahirnya hadhanah atas anak tidak ditentukan, jika seorang anak mumayyiz, maka ia berhak memilih untuk ikut ibu atau

75

Saleh M. Fauzan, Op.Cit. hlm.755.

76Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terjemahan Masykur A.B, dkk, (Jakarta: Lentera, 2008), hlm. 417.

(19)

ayahnya, kakeknya, neneknya atau siapapun yang dipilihnya77. Namun Mazhab Malikiyyah berbeda pendapat tentang hal tersebut, menurut Mazhab ini berakhirnya

hadhanah anak laki-laki yaitu ketika ia baligh, sedangkan terhadap anak perempuan

yaitu hingga ia dicampuri suaminya, kecuali jika ada sesuatu yang ditakutkan setelah

baligh, “Ibnu Hazm berkata, bahwa seorang ibu berhak melakukan hadhanahterhadap

anak laki-laki atau perempuan hingga haid atau bermimpi, disertai dengan mumayyiz dan kesehatan badan.”78

Mengenai batas waktu pemeliharaan anak menurut Pasal 45 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2) Kewajiban yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Jadi pemeliharaan anak akan terus menjadi tanggung jawab orang tua selama belum berakhirnya masa hadhanah. Hadhanah berakhir apabila anak tersebut telah mandiri atau mampu menghidupi dirinya sendiri.

B. Orang Yang Berhak Mengasuh Anak Pada Saat Tenggang Waktu Penentuan Hak Hadhanah Anak

1. Urutan Orang-Orang Yang Berhak Melaksanakan tugas Hadhanah

Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami isteri atas

hadhanah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan

77Jail Mubarok, Pengadilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.196.

78

Yusuf Qasim, Huquq Al-Usrah, hlm. 398, Lihat juga Abdul Majid Mahmud Matyhlub,

Panduan HUkum Keluarga Sakinah, TerjamahanHarits Fadly dan Ahmad Khotib, (Solo: Era

(20)

orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga yang sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah tersebut. Menurut Ibnu Rusyd,

hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan kelemah lembutan bukan dengan

dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, wala’, walad dan warisan.79Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanahseperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan ayah, adik perempuan ibu, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan.80Sementara menurut Al Hamdanibahwa orang yang berhak pengasuhan anak adalah orang yang lebih mampu mengasuh dan mendidik anak tersebut, karena orang yang mengabaikan pemeliharaan anak atau tidak bertanggungjawab terhadap anak tidak layak mendapatkan hak pengasuhan anak.81

Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak hadhanah atas anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut.Menurut mereka naluri keibuan lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Selanjutnya ulama fiqih juga mengemukan bahwa apabila anak tesebut telah mencapai usia tertentu, maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak

79Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan Imam Ghazali Said, (Jakarta:Pustaka Amani, 2007), hlm. 526.

80

Ibnu Rusyd, Maqaddimah Ibn Rusyd, Juz II, (Darul Fikr, tth), hlm 258-259

81Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 265.

(21)

tersebut sebagai pelindung.Oleh sebab itu maka ulama fiqih lebih mendahulukan kaum wanita daripada kaum pria.82

Urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah anak, menurut ulama fiqih adalah sabagi berikut:

1) Ibu dari si anak;Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian atau meninggalnya suaminya, sebab ia merupakan orang yang paling sayang dan lembut terhadap si anak daripada orang lain. Hal ini juga diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan, bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW, kemudian berkata,“wahai Rasulullah,sesungguhnya anak laki-lakiku ini,baginya perutku itu waddah, kamarku itu hawa, dan kedua putting susuku itu minuman, namun bapaknya menceraikanku dan ingin merebutnya dariku.” Selanjutnya Rasulullah bersabda, “kamu lebih berhak atasnya, sepanjang kamu tidak menikah lagi”.Namun hak hadhanah ibu atas anaknya dapat beralihkarena disebab ibu penzina, pencuridanistri yang telah menikah lagi dengan laki-laki yang bukan muhrim dari anak yang diasuh.83

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pengasuhan anak berada ditangan ibunya, selama tidak ada sesuatu alasan yang dapat menghalangi si ibu melakukan pekerjaan pengasuhan anak.Membentuk anak-anak agar menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya adalah tujuan dari pendidikan Islam. Oleh karena itu,

82Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan) Jilid 10,Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) hlm. 61.

83

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fi Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah (Panduan Hukum

Keluarga Sakinah), Terjemahan Harits Fadli dan Ahmad Khotib, (Solo: Era Intermedia, 2005), hlm.

(22)

untuk mencapai tujuan dimaksud diperlukan pembinaan dan pemeliharaan yang tepat, karena anakmerupakan potensi bangsa dan agama sehingga perlu dikembangkan untuk kematangan pribadinya.

2) Jika hak hadhanah seorang ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak pindah kepada ibunya istri (nenek si anak). Selain itu, seorang nenek adalah keluarga terdekat setelah ibu. Selanjutnya biasanya nenek lebih menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya dibanding yang lainnya.84

3) Selanjtunya setelah hak asuh ibu dan nenek (ibu dari ibu) tiada, maka hak tersebut di ambil alih oleh nenek (ibu dari ayah) dari anak tersebut.85Penyebab nenek dari ibu (ibu dari ibu) lebih diutamakan dari pada nenek dari ayah (ibu dari ayah), meskipun kedua-duanya sama-sama dekat namun karena nenek dari ibu merupakan kerabat dari ibu sianak, sedangkan hak hadhanah atas anak lebih diutamakan pada garis keturunan ibu, sehingga kerabat dari ibu lebih diutamakan dibanding kerabat dari pihak ayah.86Namun hal yang berbeda dikemukan oleh Saleh.Al- Fauzan, menurutnya jika setelah hak asuh ibu dan nenek (ibu dari ibu) tiada, maka hak tersebut diambil ahli oleh ayah kandung si anak. Hal ini karenaayah juga memiliki kedekatan dengan anaknya di banding yang lain setelah ibu dan nenek.87

84Al- Fauzan Saleh Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm.750.

85Wahbah Az-Zuhaili, Jilid 10, Op.Cit. hlm. 62. 86Ibid.

87

(23)

4) Setelah orang-orang telah di sebutkan di atas gugur haknya, maka yang seterusnya yang melaksanakan tugas hadhanah adalah saudara kandung perempuan dari ibu si anak. Sebab, mereka memiliki hubungan yang lebih kuat dengannya dalam masalah warisan.88

5) Kemudian baru saudara perempuan seibu, yang dianggap keibuan, sebab ibu lebih diutamakan dibandingkan ayah, baru kemudian saudara perempuan seayah. 6) Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung selanjutnya barulah anak

perempuan dari saudara seayah. 7) Bibi yang sekandung dengan ayah 8) Bibi yang seibu dengan ayah 9) Bibi yang seayah dengan ayah 10) Bibinya ibu dari pihak ibunya 11) Bibinya ayah dari pihak ibunya 12) Bibinya ibu dari pihak ayahnya 13) Bibinya ayah dari pihak ayah.

Namun hal berdbeda dikemukan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah ia berkata, bahwa:

“Bibi dari ayah itu lebih utama dari bibi yang berasal dari pihak ibu.Demikian pula wanita dari pihak ayah lebih utama dari wanita dari pihak ibu.Maka, mereka lebih berhak mengasuh anak dibanding wanita dari pihak ibu. Karena hak perwalian ada pada pihak sang ayah. Demikian pula kerabatnya.Walaupun, itu dengan ayah kandungnya sendiri.Dalam syariah di sebutkan bahwa bibinya Hamzah didahulukan dari bibinya Shafiyah.Oleh karena Shafiyah sendiri tidak

88

(24)

memintanya, sedang Ja’far telah meminta untuk menjadi wakil dari bibinya Hamzah.Maka jika dia tidak ada, tetap seperti ini.”89

Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa, “Semua dasar syariat menyebutkan bahwa kerabat ayah itu harus didahulukan daripada kerabat ibu. Barangsiapa yang mendahulukan kerabat ibu daripada kerabat ayah dalam hak asuh anak, maka ia telah menyalahi ushul dan syariah.”90

Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram di atas, atauada tapi tidak memenuhi syarat untuk melakukan pemeliharaan atas anak, maka hak hadahanah atas anak tersebut dapat beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memilih hubungan darah. Hak hadhanah anak beralih kepada91:

14) Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas ( ayah dari ayah si anak) 15) Saudara laki-laki sekandung

16) Saudara laki-laki seayah

17) Saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 18) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 19) Paman yang sekandung dengan ayah 20) Paman yang seayah dengan ayah 21) Pamannya ayah yang sekandung

22) Pamannya ayah yang seayah dengan ayah

Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut di atas maka hak hadhanah beralih pada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat yaitu diantaranya92:

23) Ayah ibu (kakek)

89

Ibid.

90

Ibid.

91Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hlm. 588. 92Ibid.

(25)

24) Saudara laki-laki seibu

25) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 26) Paman yang seibu dengan ayah

27) Paman yang sekandung dengan ibu 28) Paman yang seayah dengan ibu 29) Paman yang seayah dengan ayahe

Akan tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat baik dari sisi ibu maupun sisi ayah, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.93

Sementara urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 156 yang berbunyi:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; ayah;

b. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; c. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

d. Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya;

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak

hadhanah pula;

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);

(26)

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Maksud dari urut-urutan ini adalah agar hadhanah anak tetap bersama kerabatnya sehingga ia tidak merasa asing hidup dalam sebuah rumah tangga. Selanjutnya tujuan dari urutan ini dalam rangka menjaga sistem mahram bagi seorang muslim, apalagi bila nanti sudah dewasa, tidak boleh berkhalwat bersama seorang dari lain jenis yang bukan dari mahramnya. Urutan mereka yang melaksanakan tugas

hadhanah, yang satu lebih diutamakan daripada yang lain juga mendahulukan para

wali sianak karena wewenang mereka untuk memelihara anak kecil, jadi jika para walinya sudah tidak ada, atau ada tapi ada sesuatu alasan yang mencegah untuk melakukan tugas hadhanah ini, maka berpindahlah ia ke tangan kerabat lainnya yang lebih dekat.

2. Pihak Yang Berhak Mengasuh Anak Pada Saat Tenggang Waktu Penentuan Hak Hadhanah Anak

Secara syari'at, hak hadhanah anak berada dipihak ibu, apalagi jika si anak dalam usia yang masih di bawah umur dan menyusui. Secara hukum positif maupun ketentuan Hukum Islam juga mendukung bahwa seorang ibu memiliki hak hadhanah anak yang diutamakan.Adapun sebab hak hadhanah anak lebih diutamakan berada pada ibu, karena ibu pada dasarnya memiliki sifat sabar, lembut, waktu yang cukup untuk mengasuh, dan lebih menyayangi serta cinta pada anaknya.Sebaliknya, seorang bapak memiliki kewajiban merawat anak-anaknya. jika siibu tidak memenuhi syarat untuk melakukan tugas hadhanah. Begitu juga sebenarnya denganorang yang lebih

(27)

berhak mengasuh anak saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah adalah ibu dari si anak atau bila ibu tidak ada, maka kerabat dari garis keturunan ibu dapat menggantikannya.94Hal ini sejalan dengan hak hadhanah atas anak yang belum mumayyiz yang diutamakan kepada ibu. Namun apabila saat terjadi sengketa

hadhanah anak tersebut berada pada ayahnya maka tidak dapat dilakukan

serta-merata pengambilan anak dari si ayah secara paksa, oleh karenanya anak tidak mungkin dipaksakan karena akan sulit dilaksanakan dan menyangkut perasaan anak perlu diperhatikan. hal ini dikhawatirkan dapat menganggu psikologi si anak, sehingga diutamakan kepentingan anak (for the best interest of the child),95sehingga si anak dapat berada dalam pengawasan ayahnya sampai hakim menentukan siapa yang berhak melaksanakan tugas hadhanah atas anak tersebut.

Maka jelaslah bahwa jika terjadi perselisihan tentang hak hadhanah pada saat belum adanya keputusan tentang siapa yang lebih berhak untuk melaksanakan tugas

hadhanah atas anak-anak yang masih di bawah umur berada pada ibu kandung dari si

anak namun demikan bukan berarti si ayah tidak berhak memelihara anak tersebut untuk sementara, jika saat tersebut si anak sudah terlanjur berada dalam perawatan si ayah, baik itu karena keinginan si anak sendiri ataupun karena suatu keadaan tertentu, maka si anak boleh berada dalam perawatan/pemeliharaan si ayah sampai hakim memutuskan siapa yang lebih berhak diantara keduanya.

94

Hasil Wawancara dengan Mucsin, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kab.Simeulue, Tanggal 21 Mei 2013.

95Hasil Wawancara dengan Mardiah, Hakim Mahkamah Syar’iyah Sinabang, Tanggal17 Mei 2013.

(28)

Didahulukannya seorang ibu untuk mengasuh anaknya, karena sang ibu biasanya lebih dekat dan lebih sayang terhadap anak yang dilahirkannya. Seorang ayah pun tetap tidak bisa menyamai kasih sayang seorang ibu bahkan dari istri si ayah sekalipun.Ibnu Abbas juga pernah berkata kepada seorang laki-laki, “bau ibunya, tempat tidurnya dan asuhanya, lebih baik untuk anak itu daripada kamu, kecuali anak tersebut tidak menyukainya dan menentukan pilihannya sendiri”.96

Referensi

Dokumen terkait

Alat pengendali kecepatan atau yang lebih dikenal dengan polisi tidur merupakan salah satu alat rekayasa lalu lintas yang berfungsi untuk mengendalikan kecepatan kendaraan yang

Secara garis besar, kebijakan yang pro terhadap keterlibatan kaum perempuan dalam pemerintahan Iran dapat dilihat dalam beberapa undang-undang seperti dalam pasal 20

Fauzan mengatakan tidak sedikit orang yang bertanya mengenai shalat Shubuh Jum‟at terutama ketika bulan puasa, orang yang tidak perah mengikuti shalat Shubuh Jum‟at

umum serta pelanggarannya diancam dengan hukuman yang berupa suatu penderitaan atau siksaan. Dari defenisi diatas dapat kita menggolongkan kasus tersebut sebagai

Didapatkan melalui S tudi ini bahwa alternatif terbaik berdasarkan biaya untuk Perencanaan Perbaikan Tanah untuk Jalan di Bukit adalah Penggunaan Geomembran

Hasil penelitian ini didukung teori yang dikemukakan oleh Buchari (2000), dimana Buchari mengatakan bahwa dengan adanya strategi yang baik terhadap bauran pemasaran seperti

Adanya motivasi dalam bekerja merupakan kekuatan untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan serta dapat membantu meningkatkan produktifitas yang tinggi. Selain dimiliki