• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, dan kemampuan yang berbeda-beda. Maka dari itu manusia sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, dan kemampuan yang berbeda-beda. Maka dari itu manusia sebagai"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah

Manusia memiliki keberagaman sifat, karakter, warna kulit, kepribadian, dan kemampuan yang berbeda-beda. Maka dari itu manusia sebagai subjek yang menjalankan semua keberagaman dan keteraturan kehidupan memiliki hubungan sosial satu sama lain. Setiap individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu ynag bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.1 Dalam hubungan sosial ada yang berjalan dengan sempurna dan ada pula yang berjalan tidak sempurna, semua itu tergantung pada cara menyikapi hal tersebut. Dari hubungan sosial yang tidak harmonis bahkan tidak sempurna maka timbul pemikiran-pemikiran bahkan tindakan-tindakan negatif yang mempengaruhi kehidupan seseorang seperti adanya rasa marah, jengkel, kesal, iri, bahkan dendam terhadap satu sama lain.

Hal-hal negatif yang ada pada diri manusia akibat dari hubungan sosial yang tidak sempurna dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindak kriminal agar perasaan-perasaan itu dapat terpuaskan. Menyikapi hal tersebut banyak orang yang memilih jalan pintas agar segala permasalahan selesai dengan jalan yang cepat, artinya manusia dapat menyelesaikan kehidupannya secara pribadi (bunuh diri),

1 Alamsyah Nurseha, Sanksi Gabungan Tindak Pidana Dalam Pasal 63 Ayat (1) KUHP Persfektif

(2)

saling melukai satu sama lain (fisik dan psikis) bahkan membunuh satu sama lain. Tindak kriminalitas antar jiwa memang rata-rata memilki motif dendam dan tidak puas atas perlakuan orang lain terhadap dirinya, maka dari itu mengontrol diri sendiri merupakan hal yang harus dilakukan agar mencegah tindakan kriminal terjadi.

Supaya keadilan dan tata tertib dapat dipelihara dengan semestinya, perlulah adanya peraturan, adanya hukum, adanya undang-undang yang dapat melaksanakan dengan sempurna dan seksama. Untuk mencegah penyerobotan dalam masyarakat, manusia memerlukan hukum yang mengatur peri kehidupan yang adil, memerlukan hakim sebagai pelaksana hukum, menjaga keadilan, kepentingan-kepentingan bersama dapat dilaksanakan dengan tindakan-tindakan yang diharuskan peraturan itu.2 Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran. Dimana masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, yang terkadang menimbulkan konflik sehingga perlu norma yang mengatur ketertiban dalam kehidupan masyarakat itu sehingga terjamin keamanan, ketentraman, keadilan, kedamaian. 3

Membunuh satu sama lain dapat terjadi dengan beberapa cara, bisa dengan pembunuhan sengaja, dengan rencana, bahkan bisa membunuh orang lain tanpa harus ia yang melakukannya, dengan begitu membunuh orang lain dengan bantuan dari pihak ketiga untuk membunuh seseorang dapat dikategorikan terhadap pembunuhan berencana dengan melibatkan orang lain, meskipun yang

2 Ash-Shiddiqy. M.Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), hlm 1-2 3 C.S.T. Kansil, Christine, dan Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Rineka

(3)

menghendaki seseorang untuk mati adalah yang memiliki rencana tapi bukan ia yang melakukan pembunuhan tersebut kemudian meski yang menjadi pembunuh yaitu yang disuruh melakukan pembunuhan, namun ia tidak menghendaki seseorang itu untuk mati dan apabila tidak ada yang memerintahkan untuk membunuh (inisiator) maka pembunuh tidak akan membunuh siapapun.

Sebagaiamana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini selalu ada seiring dengan perkembangan zaman, kehendak untuk berbuat jahat pasti ada dalam kehidupan manusia. Di satu sisi manusia ingin hidup dengan tentram, damai, tertib, dan berkeadilan, artinya tidak diganggu oleh hal-hal yang mengandung unsur kejahatan. Upaya untuk meminimalisir tingkat kejahatan pun harus terus dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun refresif, yang bersifat preventif misalnya dengan dikeluarkannya peraturan dan undang-undang. Sedangkan yamh bersifat refresip yaitu adanya hukuman-hukuman terhadap pihak-pihak yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran.

Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pembuat agar banyak tidak memperbuat sesuatu jarimah, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat sendiri. Namun hukuman tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat.

Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian pelaku dihukum, maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan. Di samping itu suatu hukuman yang diancamkan terhadap seorang pelanggar, dalam Islam dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar jarimah, sanksi itu sendiri pada

(4)

intinya adalah bukan supaya si pembuat jarimah itu dapat derita karena pembalasan, akan tetapi bersifat preventif terhadap perbuatan jarimah dan pengajaran serta pendidikan.

Pada sekarang ini menjadi dasar penjatuhan hukuman ialah rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim.

Bahkan dalam prakteknya seorang hakim atau penuntut umum dalam melakukan tuntutan dianggap terlalu ringan terutama terhadap pelaku-pelaku tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam hal ini tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa baik penuntut umum atau juga hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal, sehingga mempunyai dampak di samping mempunyai aspirasi dan keadilan masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).4

Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mangakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat

(5)

baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun nonmateri atau gangguan nonfisik, seperti ketenangan, ketenteraman, harga diri, adat istiadat, dan sebagainya.

Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut di antaranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan kehadiran peraturan atau perundang-undangan.5

Hukum adalah petunjuk hidup-- perintah dan larangan yang mengatur tatatertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.6

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang belaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.7

5 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.17 6 E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT: Ichtiar

Baru, 1982), hlm.23

(6)

Hukum pidana (materiel) dirumuskan oleh Pompe, yaitu “keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan dimana pidana itu seharusnya terdapat.”

Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa jus poenale (hukum pidana materiel) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.

Moeljatno, seorang sarjana hukum pidana Indonesia merumuskan hukum pidana yang meliputi hukum pidana materiel dan hukum pidana formel, seperti yang dimaksud oleh Enschede-Heijder dengan hukum pidana sistematik, sebagai berikut:

“Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi atau pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa keadaan mereka yang telah melanggar larangan dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang telah disangka telah melanggar aturan.”8

Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukum adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administrasi,

(7)

disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.

Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan jika ada yang sepadan untuk mengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwa telah merugikan

masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum (pidana).9

Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut “Al-„Uqūbāt” yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua hal tersebut. Syari’at menekankan dipenuhinya hak-hak semua individu maupun masyarakat secara umum. Hukum yang memberi kesempatan penyembuhan kepada masyarakat merupakan perkara pidana, dan kalau ia ditujukan kepada perorangan adalah hal yang merugikan (dan disebut Delik Aduan). Al-Uqubaat sama dikenakan baik kepada kaum Muslimin maupun bukan kaum Muslimin disebut syara Islam. Seorang Muslim tetap akan dihukum karena melakukan suatu tindak pidana sekalipun andaikan hal itu dilakukannya jauh dari Negara Islam.10

Unsur material dalam tindak pidana akan terpenuhi bila di dalamnya terdapat tindakan seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang, baik berupa tindak

9 Ibid, hlm 27

(8)

pidana positif (al-jarimah al-ijabiyyah) maupun tindak pidana negatif (al-jarimah salabiyyah). Dalam melakukan tindak pidana, terkadang tersangka dapat menyelesaikan aksinya. Hal itu dipandang sebagai tindak pidana yang sempurna/telah selesai (al-jarimah al-tāmmah), seperti orang yang mencuri barang dan dia mengeluarkan barang itu dari tempat penyimpanannya. Terkadang tersangka tidak bisa menyelesaikan aksinya. Hal itu dipandang sebagai tindak pidana yang belum sempurna/belum selesai (al-jarimah gair al-tāmmah). Seperti seorang pencuri yang tertangkap sebelum berhasil mengeluarkan barang curian dari tempat penyimpanannya atau tertangkap langsung sebelum sempat menjalankan aksinya.

Tindakan yang dilarang bisa dilakukan oleh satu orang, bisa juga dilakukan oleh sekelompok orang yang bersepakat melakukannya kemudian salah seorang atau sebagian di antara mereka yang menjalankan aksinya atau sebagian di antara mereka saling menghasut untuk melakukannya, atau sebagian di antara mereka saling membantu dan menolong ketika melakukan tindak pidana.11

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 55 ayat (1) KUHP, yaitu: Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.

Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman

11 Abd. Al-Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid 2, ( Jakarta: PT Kharisma Ilmu,

(9)

atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Dari pasal tersebut orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan tindak pidana dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana penyertaan sebagaimana dimaksud oleh pasal di atas.12

Sementara itu dalam Fiqh Jinayah penyertaan melakukan tindak pidana ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sebagaimana diketahui bahwa dalam Syariat Islam terdapat bermacam-macam dan berbeda-beda dalam masalah pidananya, sehingga boleh dikatakan bahwa untuk satu perbuatan tindak pidana tertentu ada hukumnya tersendiri, seperti mencuri dengan hukuman potong tangan, pembunuhan dengan qishash, zina dengan rajam dan lain-lain. Namun perlu ditinjau kembali bahwa tidak semua tindak pidana itu ada ketentuannya dalam nash Al Qur’an maupun Sunnah Rosul. Maka dalam hal ini para hakim diberikan wewenang untuk memberikan hukuman atas penyertaan tindak pidana.

Pembunuhan adalah perampasan atau penghilangan nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh fungsi vital anggota badan karena berpisahnya roh dengan jasad korban. Zaman modern ini tindak kejahatan pembunuhan makin marak terjadi di masyarakat. Pembunuhan merupakan perbuatan keji dan biadab, serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar. Pembunuhan merupakan tindak pidana yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

(10)

Tindak pidana adalah perbuatan yang diatur oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang didsertai ancaman pidana pada barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Wadah tindak pidana ialah Undang-Undang, baik terbentuk kodifikasi yakni KUHP dan diluar kodifikasi yang tersebar luas dalam berbagai peraturan perundang-undangan. 13 inisiaror pembunuhan berencana dsapat sisebut dengan yang menyuruh melakukan (doenplegen)

Dalam fiqh jinayah pembunuhan sengaja merupakan jenis pembunuhan yang paling berat hukumannya karena adanya kesengajaan. Unsur yang membedakan berat ringannya hukuman dari setiap jenis pembunuhan adalah niat pelaku apakah sengaja atau tidak,sebagaimana kaidah fiqh jinayah “pertanggungjawabkan pidana yang dibebankan kepada pelaku berbeda-beda bergantung kepada tingkatan maksu jahat atau i’tikad jahatnya”.14

Dari latar belakang diatas telah dijelaskan bahwasanya dalam hukum positif Indonesia Sanksi bagi Inisiator Pembunuhan berencana Terdapat pada pasal 340 jo. 55 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana dua puluh tahun penjara. Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam dikenai sanksi Ta’zir.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang masalah diatas, Landasan dan cara pandang Hukum pidana islam terhadap sanksi bagi inisiator.

1. Bagaimana unsur-unsur tindak pidana inisiator penbunuhan menurut hukum positif dan hukum pidana Islam?

13 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (cet.I;Jakarta: PT.RajaGrafindoPersada,2002),hlm67 14Enceng Arif Faizal, 2019 hlm.29

(11)

2. Bagaimana sanksi bagi inisiator pembunuhan berencana menurut hukum positif di Indonesia?

3. Bagaimana sanksi bagi inisiator pembunuhan berencana menurut hukum pidana Islam?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana inisiator pembunuhan berencana. 2. Untuk mengetahui sanksi inisiator pembunuhan berencana dalam KUHP

3. Untuk mengetahui sanksi bagi inisiator pembunuh berencana dalam Hukum Pidana Islam.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat penulisan proposal ini adalah a. Teoritis

Secara teoritis penelitani ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang pembunuhan dalam ilmu hukum pada umunya, dan hukum pidana islam pada khususnya terutamanya pada tindak pidana pembunuhan berencana.

b. Praktis

secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi aparat hukum terkait sanksi bagi inisiator pembunuh berencana baik dalam hukum pidana positif indonesia maupun dalam hukum pidana islam.

E. Kerangka Pemikiran

Kejahatan merupakan perilaku seseorang yang melanggar hukum positif atau hukum yang telah dilegistimasi berlakunya dalam suati negara. Ia hadir ditengah masyarakat sebagai model perilaku yang sudah dirumuskan secara Yuridis

(12)

sebagai pelanggar dan dilarang oleh hukum dan telah ditetapkan oleh Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.15

Proses penegakan hukum pidana kerap dipergunakan pasal 55 ayat (1) KUHP yang dapat digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait pasal 55 KUHP itu secara teoritis dikenal dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini, deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari 1(satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab pelaku dari peristiwa itu. dalam suatu peristiwa pidana sangat penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana; seorang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melakukan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut. 16

Menurut Van Hamel Lamintang mengemukakan ajaran mengenai penyertaan itu adalah : “sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan

15 Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 20

16 http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/deelneming-penyertaaan-dalam-peristiwa.html...

(13)

tetapi dalam kenyataanya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material.

Penyertaan (deenleming) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.

Dalam pasal 55 KUHP bahwa klasifikasi pelaku adalah:

1. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana.

2. Orang yang meyuruh melakukan (doenpleger). Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu hanya merupakan suatu alat (instrumen) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut pasal 44, umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak berani melakukan sendiri, telah menyuruh C ( seorang gila) untuk melemparkan granat tangan kepada B, bila C betul-betul telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C dapat dihukum karena tidak dapat

(14)

dipertanggung jawabkan, sedang yang dihukum sebagai pembunuh ialah A.

b. Telah melakukan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut pasal 48, umpamanya A berniat membakar rumah B dengan mendorong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C menurut membakar rumah itu, ia tidak didapat dihukum karena dipaksa, sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, dihukum sebagai pembakar. c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah

menurut pasal 51, misalnya seorang Insfektur polisi mau membalas dendam kepada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu dalam kamar tahanan. Ia menyuruh B seorang agen polisi dibawah perintahnya supaya menangkap dan memasukan dalam tahanan orang tersebut dengan dikatakan, bahwa orang itu tersangka mencuri. Jika B melaksanakan suruhan itu, ia tidak dapat dihukum atas merampas kemerdekaan orang karena ia menyangka bahwa perintah itu syah, sedang yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah si Inspektur polisi.

d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali misalnya A berniat akan mencuri sepeda yang sedang disimpan dimuka kantor pos. Ia tidak brani menjalankan sendiri, akan tetapi ia dengan menunggu ditempat agak jauh minta tolong pada B mengembalikan sepeda itu dengan dikatan, bahwa itu adalah

(15)

miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak salah mencuri, karena elemen “senjata” tidak ada. Yang dihukum sebagai pencuri tetap A.

3. Orang yang turut berbuat melakukan (madepleger). “Turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan” harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana itu. disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu.

4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekuasaan, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan pidana itu (uitlokker).17

Dalam Fiqh jinayah Inisiator pembunuhan berencana termasuk turut serta melakukan jarimah (Isytirak fi al jarimah) ialah melakukan jarimah secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keleluasaan dengan berbagai bentuk.18

Tindak pidana adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya pula beberapa orang yang masing-masing berandil dalam melaksanakannya. Apabila dilakukan oleh beberapa orang, bentuk kerjasama antara mereka tidak keluar dari empat kondisi berikut:

17 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya

lengkap pasal-demi pasal, (Bogor. Politeia, 1985), hlm 73-74

(16)

1. Pelaku turut melakukan tindak pidana (madeplegen), yakni melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain ( memberikan bagianya dalam melaksanakan pidana tersebut).

2. Pelaku mengadakan kemufakatan (kesepakatan / samenspaning) dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.

3. Pelaku menghasut (menggerakan /uitlokken) orang lain untuk melakukan tindak pidana.

4. Pelaku memberi bantuan (medeplictige) atau kesempatan untuk dilakukannya tindak pidana dengan berbagai cara, tanpa turut melakukan.

Untuk mengategorikan keturutsertaan baik langsung maupun tidak langsung sebagai tindak pidana, ada dua syarat umum yang harus terdapat di dalamnya. Pertama, para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah keturutsertaan langsung atau keturutsertaan tidak langsung. Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman atas pelanggarannya. Jika perbuatan yang dihubungkan kepadanya tidak demikian, berarti tidak ada tindak pidana dan selanjutnya tidak ada istilah keturutsertaan.19

Adanya sanksi dimaksudkan untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban hidup manusia sehingga terpelihara dari kerusakan dan berbuat kerusakan; selamat dari berbuat kebodohan dan kesesatan; tertahan dari berbuat maksiat dan mengabaikan ketaatan. Oleh karena itu, sanksi hanya diberikan kepada orang-orang

(17)

yang melanggar yang disertai maksud jahat, agar mereka tidak mau mengulanginya kembali. Selain itu, sanksi tersebut menjadi pencegah bagi orang lain agar tidak berbuat hal yang sama. Dengan demikian sanksi itu harus bersifat objektif. Berkenaan dengan ini dirumuskan sebuah kaidah, yaitu:

َاهِب ُبِل اَطُمْلا َوُهَف ُةَي اَن ِج يَنَج ْنَم ُّلُك

”setiap orang yang melakukan jarimah maka dialah yang harus mempertanggungjawabkannya”

Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang harus mempertanggungjawabkan suatu perbuatan jarimah adalah mereka yang melakukan perbuatan tersebut yang didasari dengan maksud jahat. Sedangkan orang yang tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak dengan perbuatan tersebut tidak boleh dituntut. Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT:

ي َرْخُأ َر ْزِو ٌة َر ِزا َو ُر ِزَت َلا َو

ج

يَب ْرق اَذ َناَك ْوَل َو ٌءْيَش ُهْنِم ْلَمْحُي لآ َاهِلْم ِح ىَلإ ٌةَلَقْثُم ُعْدَت ْنِإ َو

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya . . .” (QS. Fathir : 18)

ِو ُةا َر ِزا َو ُر ِزَتَّلاأ

َرْخُأ َر ْز

يَعَس اِمَّلاَإ ِناَسْنِلاِل سْيَلل ْنَأ َو

“Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. al. Najm : 38-39)20

20 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam),

(18)

Adakalanya suatu perbuatan jarimah terjadi karena adanya kerjasama di antara beberapa pelaku. Di antara mereka ada yang berbuat langsung dan ada pula

yang tidak, tetapi menjadi sebab (perantara) terjadinya. Mereka yang berbuat langsung disebut dengan pelaku mubasyir, sedang yang tidak disebut al-mutasabbib. Pelaku langsung adalah pelaku yang secara langsung, perbuatannya menimbulkan akibat. Sedangkan pelaku tidak langsung adalah pelaku yang akibat perbuatannya menyebabkan terjadinya perbuatan jarimah atau sesuatu terjadi. Mereka yang turut serta berbuat tidak langsung, adakalanya disertai dengan maksud jahat dan adakalanya tidak. Orang yang berbuat tidak langsung tidak akan dikenai pertanggungjawaban pidana bila ia melakukannya tidak disengaja atau tidak disertai dengan maksud jahat. Sedangkan orang yang berbuat langsung akan dikenai pertanggung jawaban pidana, sesuai dengan kaidah:

ِرِشَابُمْلا َلِا ُمْكُحْلا َفْيض ِضُا ُبِ بَسَتُمْلا َو ُرِشاَبُمْلا َعَمَتْخا اَذِإ

“Apabila bersatu antara yang berbuat langsung dengan yang tidak maka hukuman diberikan kepada yang berbuat langsung.”

Misalnya, seseorang menggali sumur dengan tidak ada maksud untuk mencelakakan orang lain. Kemudian ada orang orang lain yang menjatuhkan seseorang lainnya ke dalam sumur itu sehingga menyebabkan mati. Orang yang membuat sumur itu tidak dikenai pertanggung jawaban pidana karena tidak ada maksud jahat, sedangkan yang menjatuhkan dikenai pertanggung jawaban pidana. Adapun orang yang berbuat langsung selamanya akan dikenai pertanggungjawaban meskipun tidak disengaja atau tidak disertai dengan maksud jahat, sesuai dengan kaidah:

(19)

ْد ِمَتْعَي ْمَل ْنِا َو ٌنِمَاض ُرِشَابُمْلا “Orang yang berbuat langsung akan dikenai pertanggungjawaban meski-pun tidak disengaja.”

Misalnya, seorang sopir menabrak seseorang sehingga menyebabkan orang tersebut mati. Sopir tersebut akan dikenai pertanggungjawaban pidana, meskipun ia melakukannya tanpa disengaja.

Sebagaimana diketahui bahwa hubungan sebab dan akibat akan senantiasa ditemui dalam setiap peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-sehari yang merupakan rangkaian kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.19

Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi, menimbulkan teori baru yang menggeneralisasi (generaliserende theorie). Teori yang menggeneralisir (generaliserende theorie) ini pada pokoknya menjelaskan satu faktor saja, yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai sebab (causa). Ke dalam teori yang menggeneralisir masih dapat dibagi atas beberapa teori-teori seperti akan dikemukakan di bawah ini:

1) Teori adaequaat (sesuai, seimbang) von Kries

Teori von Kries biasa juga disebut teori generaliserend yang subjektif adaequaat, oleh karena beliau berpendapat, bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yaitu yang sebelumnya telah dapat diketehui oleh pembuat.

Umpamanya orang yang menaruh brandglas di antara jerami lebih dahulu telah mengetahui, atau secara patut dapat menduga (jadi dapat diramalkan dengan

(20)

kepastian lebih dahulu) akan terjadinya akibat kebakaran. Menurut teori von Kries yang harus dicari ialah pengetahuan atau dugaan pembuat sebelum (ante factum) terwujudnya akibat. Teori tersebut dinamakan juga subjectieve prognose. Adaequaat artinya sebanding, sesuai, sepadan. Perbuatan pembuat delik harus sepadan, sesuai, atau sebanding dengan akibat, yang sebelumnya, dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.

2) Teori objectiv-nachttraglicher Prognose

Teori Rumelin tersebut mengajarkan, bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi.

Menurut rumusan Moeljatno (1978 : 74), bahwa kalau ukuran yang dipakai Rumelin bukan ramalan, tetapi menetapkan mesti timbulnya akibat, maka beliau rupanya menyetujui teori Rumelin. Jadi menurut Moeljatno, bahwa akibat itu, dengan mengingat keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudah terjadinya delik dapat ditetapkan secara harus atau mesti terjadi.21

3) Teori gabungan (Verenigings Theorie)

Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat

21

(21)

akibat yang dilarang undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.22

Dalam Fiqh Jinayah, istilah tindak pidana bisa disebut dengan istilah jarimah. Para Ulama berbeda pendapat mengenai penyertaan (Isytirak fi al-Jarimah), contohnya ketika terjadi demontrasi atau tawuran pelajar, maka sanksi yang diberikan terhadap pelaku berbeda-beda pendapat.

1) Hukuman pokok (Al-‘Uqubat Al-Ashliyah)

Yaitu hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.

2) Hukuman pengganti (Al-‘Uqubat Al-Badaliyah)

Yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti hukuman diyat/denda bagi pembunuh sengaja yang dimaafkanqishashnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.

3) Hukuman tambahan (Al-‘Uqubat Al-Taba’iyah)

Yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.23

4) Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyah)

22

http://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-prof-lobby-luqman/ ... (tanggal 02 april 2012)

23 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT Raja

(22)

Hukuman pelengkap yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim.

Hukuman pelengkap sejalan dengan hukuman tambahan karena keduanya merupakan konsekuensi/akibat dari hukuman pokok. Perbedaan keduanya: hukuman tambahan tidak mensyaratkan adanya putusan tersendiri dari hakim, sedangkan hukuman pelengkap mensyaratkan adanya putusan tersebut. Contoh hukuman pelengkap adalah mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong ke lehernya. Hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan hukuman tersebut.24

Menyuruh melakukan (doen plegen) bentuk menyuruh melakukan ini terjadi apabila orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Menyuruh yaitu dimana aucturintelectualis menyuruh auctor physicus (dalam hal ini auctor physicus yang tidak dapat diminta pertanggung jawabannya) untuk melakukan tindak pidana. Auctur intelectualis tidak berbuat secara langsung, melainkan menggunakan orang lain sebagai alat untuk mngendalikan auctor physicus tersebut. Dari pengertian diatas dapat dipahami beberapa hal. Pertama peserta yang ada pada doenplegen yaitu :

1. Auctur intelectualis sebagai pembuat tidak langsung 2. Auctor physicus sebagai pembuat langsung

Kedua yang menjadi ciri dari doenplegenyaitu : 1. Alat yang dipakai adalah manusia

24 Abd. Al. Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid 3, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu,

(23)

2. Alat tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan .

Turut serta tidak lansung melakukan tindak pidana. Ahmad Hanafi mendefinisikan turut berbuat tidak lansung ini sebagai perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang dengan cara mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain, atau memberikan bantuan dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan. Ada beberapa perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan siapa pelaku pembunuhan dalam kasus turut serta tidak langsung ini25, menurut pendapat ulama kalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad, orang yang menyuruhlah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan karena orang yang disuruh hanyalah alat yang digerakan oleh si penyuruh. Sedangkan menurut abu Hanifah, orang yang menjadi pelaku pembunuhan adalah orang yang disuruh dimana dalam kasus menyuruh melakukan pembunuhan ini tidak sampai pada tingkat paksaan, artinya orang yang disuruh masih memiliki pilihan untuk melakukan atau tidak.

Sekilas pengertian turut serta memiliki persamaan dengan berserikat melakukan tindak pidana. Namun pengertian turut serta berbeda dengan berserikat dalam melakukan tindak pidana. Turut serta dapat terjadi tanpa menghendaki ataupun bersama-sama menghendaki hasil dari perbuatan tindak pidana atau perbuatan yang dimaksud. Sedangkan berserikat melakukan tindak pidana adalah sama-sama melakukan dan menghendaki, demikian juga hasil dari perbuatan pidana juga sama-sama menghendaki. Dalam turut serta dibedakan antar pelaku

(24)

utama dan pembantu, sedangkan dalam berserikat keduanya merupakan pelaku utama.26

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan atau tindak pidana yang dilakukukan seseorang. Adanya pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan untuk keadilan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak dari adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, terlepas dari manfaat yang harus dicapai.

Langkah-langkah penelitian

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis yakni memaparkan dan menganalisis secara kritis masalah yang berkaitan dengan tindak pidana Inisiator pembunuhan berencana.

2. Jenis data

Jenis data yang digunakan adalah kualitatif yaitu data tentang tinjauan peraturan-peraturan, teori-teori tentang masalah yang berhubungan dengan tindak pidana inisiator pembunuhan berencana

3. Sumber data

26Haliman, hukum pidana menurut Adjaran Ahli sunnah wal Djamaah, Bulan Bintang, jakarta,

(25)

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah primer dan didukung dengan data sekunder

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data utama yang dipakai dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi sumber primer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Sumber data skunder

Sumber data skunder adalah berupa data tulisan-tulisan, pendapat yang diperoleh dari berbagai literarur, buku-buku, jurnal ilmiah maupun media elektronik yang berkaitan dengan pembahasan

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan study perpustakaaan atau library research, yaitu mengadakan pemahaman terhadap bahan-bahan yang tertuang dalam buku-buku dan kitab-kitab pustaka yang berkaitan erat dengan masalah yang sedang diteliti. Yaitu dilakukan dengan cara membaca, mempelajari menelaah, memahami dan menganalisa serta kemudian menyusunnya dari berbagai literatur dan peraturan yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini.

5. Analisis Data

a. Mengumpulkan dan mengklarifikasi semua data yang ada dalam metode kualitatif.

(26)

b. Menganalisis dan kualitatif dalam buku penelitian dan penerapannya, sehingga penelitian ini bertujuan ke permasalahan yang tertera dalam latar belakang masalah dan kerangka pemikiran

(27)

Referensi

Dokumen terkait

3.8-46 menggunakan jaringan hotspot namun juga jumlah pemakaiaan bandwidth yang dibutuhkan untuk menunjang pembelajaran disekolah seperti; ruang lab, ruang kantor,

Hal ini menjadi perhatian ketika mendesain sistem proteksi busbar karena ketika terjadi arus gangguan eksternal bernilai besar dapat menyebabkan arus yang dihasilkan pada

Waktu pengaliran dapat diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi panjang aliran maksimum dari saluran samping dengan kecepatan rata-rata aliran pada saluran tersebut..

Langkah pembelajaran dalam pemberian workshop ini guru diberikan tugas penyus una n Silabus dan RPP yang kemudian guru dalam penyusunan RPP dibagi menjadi beberapa

Pada parameter panjang akar, hasil terbaik dicapai oleh perlakuan 15.3 hal ini dikarenakan merupakan dosis optimum bagi pemberian mikroba untuk beradaptasi dengan

(3) Dalam hal bukti biaya transportasi tidak disediakan oleh penyedia jasa transportasi, maka Pelaku Perjalanan Dinas membuat daftar pengeluaran riil yang disetujui

Dari pembahasan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Analisis faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan seorang calon

Yang dimaksud dengan jenis penilaian adalah berbagai tagihan yang harus dikerjakan oleh murid setelah melakukan kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu jenis penilaian