• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

KERANGKA TEORI

II.1 Kerangka Teori

Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Singarimbun, 1995 : 37).

Berdasarkan rumusan diatas, maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.

II.1.1 Implementasi Kebijakan

II.1.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara untuk mencapai sasaran tersebut. Komponen yang ketiga yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama. Cara inilah yang disebut dengan implementasi (Wibawa, 1994:15).

(2)

15

Implementasi merupakan sebuah penempatan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun nilai dan sikap. Dalam oxford advance leaner dictionary dikemukakan bahwa implementasi adalah put something into effect yang artinya adalah penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak ( Susilo, 2007:174)

Implementasi kebijakan dalam arti yang luas dipandang sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai sistem, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran maupun sebagai hasil (Winarno, 2002:101).

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak pernah diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan program-program (Nugroho, 2006:31).

(3)

16

Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan proses perencanaan program/kebijakan. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (Subarsono, 2005:87).

Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003:9) meyatakan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

II.1.1.2 Model-Model Implementasi Kebijakan

Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi, para ahli merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi

(4)

17

suatu kebijakan. Berikut akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para ahli.

a. Model top-down oleh Sabatier dan Mazmanian

Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Putra (2003:86) ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom up.

Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian ini terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hierarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.

Model Top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazamanian akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat single atau penuh. Penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari sistem lain.

b. Model Bottom - Up oleh Smith

Model yang dikemukakan oleh Smith (dalam Putra, 2003:90) ini memandang implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses

(5)

18

kebijakan dari perspektif perubahan sosial politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu : 1. Idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya. 2. Target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya. 3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan. 4. Environmental factor, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik).

Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar-menawar antara formulator dan implementor kebijakan.

(6)

19

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana, karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses negoisasi, atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group.

c. Model Van Meter dan Van Horn

Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002: 103)

Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam) variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Variabel-variabel tersebut adalah : (Winarno, 2002: 110-119)

(7)

20

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap sistem-sistem yang menentukan pencapaian kebijakan. Pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran–ukuran dasar dan tujuan kebijakan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran–ukuran dasar dan tujuan kebijakan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus.

2. Sumber-Sumber Kebijakan

Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

3. Komunikasi Antar Organisasi dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke dalam suatu oraganisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasi-interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang bertentangan, para

(8)

21

pelaksana akan mengahdapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan.

4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana

Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan

b. Tingkat pengawasan hierarkis terhdap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif)

d. Vitalisasi suatu organisasi

e. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontaldan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.

5. Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

Sekalipun dampak dari sistem-sistem ini pada implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, sistem-sistem ini mungkin

(9)

22

mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

6. Kecenderungan pelaksana(implementors)

Van Meter dan Van Horn mengidentifikasikan tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.

Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Ukuran-ukuran Dasar dan tujuan-tujuan Pencapaian Sumber: Winarno, 2002:111 Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Karakteristik badan-badan pelaksana Kondisi ekonomi, sosial dan politik Kebijaksanaan

Sumber-sumber

Kecender ungan pelaksana

(10)

23 d. Model George C. Edwards III

Model implementasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat dari sisi administrasinya.Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial serta fasilitas-fasilitas.

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan sifat demokratis.

(11)

24

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. (Subarsono, 2005:94).

II.1.2 Kinerja Implementasi Kebijakan

Pada dasarnya kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (Mahsun, 2006:25). Maka dari pengertian tersebut, dapat diambil pokok pemikiran yang penting, yaitu bahwa untuk mengetahui suatu kinerja, caranya bukan hanya dengan mengukur, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara menggambarkan; dan kinerja tidak terbatas pada ruang lingkup manajemen

(12)

25

perusahaan saja. Hal ini dikatakan karena pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja suatu hal, kita akan selalu menggunakan kata “mengukur”. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi “mengukur kinerja pegawai” ataupun “mengukur kinerja keuangan” yang memiliki ruang lingkup hanya pada manajemen perusahaan saja.

Ketika kata “kinerja” ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik, maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah dirumuskan tersebut berhasil dijalankan/diimplementasikan, bukan dalam tahap evaluasi. Karena sebelum sampai pada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno dalam Marpaung 2008:23).

Dari pendapat Winarno di atas, dapat disimpulkan bahwa mengetahui kinerja dari implementasi suatu kebijakan menjadi suatu tahap yang penting, karena melalui proses tersebut dapat diketahui apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan tidak menghasilkan dampak yang substansial.

(13)

26 II.1.3 Pengarusutamaan Gender

Kesamaan hak perempuan dan laki-laki dimulai dengan adanya emansipasi pada tahun 1950 dan 1960-an, serta diperkuat pula dengan adanya deklarasi yang merupakan hasil dari konferensi PBB pada tahun 1975 yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu, dikembangkanlah berbagai program pemberdayaan perempuan, yaitu mulai diperkenalkannya tema World In Development (WID) atau Perempuan dalam Pembangunan (Departemen Kehutanan, dalam Marpaung, 2008:26). Mulai dikenalnya konsep WID dilanjutkan dengan dirumuskannya konvensi penghapusan segala tindak diskriminasi terhadap perempuan (Convention for Eliminating Discrimination Againts Women atau CEDAW).

World In Development (WID) atau Perempuan dalam Pembangunan, bermaksud mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan. WID didasarkan pada suatu pemikiran mengenai perlunya kemandirian bagi perempuan agar pembangunan dapat dinikmati oleh semua pihak. Timbulnya pemikiran perempuan dalam pembangunan (WID) menjadi sangat menarik karena disadari bahwa perempuan merupakan sumber daya manusia yang sangat berharga sehingga perempuan yang posisinya acap sekali termarjinalkan perlu diikutsertakan ke dalam pembangunan. Istilah WID ini pertama sekali dicetuskan oleh Women’s Committee of the Washington D.C Chapter of the Society for International Development pada awal tahun 1970-an. Mulai pada saat itulah WID ini dipakai sebagai pendekatan terhadap isu-isu perempuan dan pembangunan

(14)

27

dimana sebagian besar ide, konsep dan solusinya didasarkan dari paradigma modernisasi (Nugroho, 2008:138).

Dalam pelaksanaannya akhirnya terlihat bahwa konsep WID gagal menghapus masalah diskriminasi terhadap perempuan. Masih banyak terlihat kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebagai respon dari gagalnya konsep WID tersebut maka muncul konsep baru yang dikenal dengan konsep Gender dan Pembangunan (Gender And Development/GAD). Konsep ini lebih didasarkan kepada suatu pendekatan mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses-prose pembangunan. Pendekatan ini juga lebih memusatkan pada isu gender dan tidak melihat pada masalah perempuan saja (Nugroho, 2008: 140).

Kata “gender” selalu diidentikkan dengan jenis kelamin, padahal makna yang sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, diperlukan strategi. Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai dari proses

(15)

28

pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral.

Konsep pengarusutamaan gender pertama sekali muncul saat Konferensi PBB untuk perempuan ke IV di Beijing tahun 1995. PUG didesakkan sebagai strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah dan organisasi yang relevan untuk memewujudkan kesetaraan gender. (Komnas Perempuan diakses pada tanggal 18 Maret 2015)

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) mendefenisikan PUG sebagai:

“Strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan program dalam seluruh lingkup politik, ekonomi dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan dan ketidakadilan tidak ada lagi.”

Definisi PUG yang saat ini banyak diadopsi oleh negara dan lembaga-lembaga pembangunan adalah versi United Nations Economic and Social Council (1997) dalam Sinta (2006:13), yaitu :

”Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dalam semua tingkat. Ia sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan dan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan (inequality) tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah kesetaraan gender ”.

(16)

29

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan Keadilan Gender (KKG), maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan khususnya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia.

Di Indonesia, secara resmi PUG diadopsi menjadi strategi pembangunan bidang pemberdayaaan perempuan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa tujuan PUG ini, antara lain: membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender; memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender; dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.

(17)

30

Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gender, harus dapat dibuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu:

a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki.

b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak, baik pada perempuan maupun laki-laki.

c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki.

d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih baik sebagai hasil prakarsa tersebut.

Melalui PUG, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan

(18)

31

yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.

Sasaran utama dari PUG seperti yang tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber daya manusia yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya.

II.2 Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, sehingga dengan konsep maka peneliti dapat memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki di dalam penelitian (Singarimbun, 1995). Defenisi konsep memberikan batasan terhadap pembahasan dari permasalahan yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari penelitian ini, yaitu:

a. Kinerja Implementasi

Kinerja Implementasi adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian serangkaian kegiatan yang harus dilakukan setelah suatu kebijakan dirumuskan agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

(19)

32 b. Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan Gender adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

c. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana adalah unsur pendukung tugas Kepala Daerah. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana yang bersifat spesifik.

Gambar

Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Referensi

Dokumen terkait

Kelurahan yang memiliki luas lahan terbesar yang masuk dalam kelas sangat sesuai yaitu Kelurahan Sorosutan dengan luas 130,94 Ha sedangkan yang paling sedikit yaitu Kelurahan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memetakan beberapa sifat kimia tanah lahan kelapa sawit berdasarkan kelas lereng di Nagari Timpeh

Hasil yang diperoleh yaitu keretakan terdapat pada salah satu sample pada tegangan paling optimum pada 70kV dengan jarak 65cm.. Sampel lain tidak menunjukan

Sebutkan tujuan dari Program Ekonomi Gerakan Benteng yang dipelopori oleh Dr. Dalam rangka upaya pembebasan Irian barat, dikeluarkan Trikora yang dilaksanakan dalam 3 fase,

Karena osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya tidak diawali dengan gejala, maka langkah yang paling penting dalam mencegah dan mengobati osteoporosis adalah

Bibit jamur yang digunakan untuk menghasilkan bibit siap panen dan jamur tiram putih ini berupa jenis bibit serbuk yang dikemas dalam plastik polypropilen.. Dedak

e) Wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab adalah ibu, nenek, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan, bibi dari jalur ayah,