• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR SOSIAL EKONOMI GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK 0-59 BULAN: RISKESDAS TAHUN 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR SOSIAL EKONOMI GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK 0-59 BULAN: RISKESDAS TAHUN 2010"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR SOSIAL EKONOMI GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK

0-59 BULAN: RISKESDAS TAHUN 2010

Hana Martha1 dan Budi Utomo2

1Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok

16424, Indonesia

2Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyrakat, Universitas Indonesia, Depok

16424, Indonesia

E-mail : hanamartha7@gmail.com

Abstrak

Status gizi seseorang dapat diamati dengan menggunakan indeks tinggi badan terhadap umur (stunting), serta indeks tinggi badan terhadap berat badan (wasting), indeks berat badan terhadap umur (underweight). Penelitian ini bertujuan mengetahui keterkaitan faktor sosial ekonomi dan beberapa faktor lain seperti kecukupan energi dan protein, infeksi malaria dan pelayanan kesehatan sanitasi dasar serta status BBLR pada gangguan pertumbuhan anak 0-59 bulan. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas Tahun 2010 dengan desain studi cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah semua anak umur 0-59 bulan yang menjadi responden Riskesdas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status ekonomi, pendidikan ibu dan ayah mempunyai pengaruh terhadap gangguan pertumbuhan. Semakin rendah status ekonomi keluarga semakin tinggi juga risiko balita dalam keluarga tersebut untuk mengalami kejadian pendek, kurus dan berat badan kurang. Balita dari keluarga status ekonomi terbawah mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami kejadian pendek (stunting), kurus (wasting) dan berat badan kurang (underweight) dibandingkan dengan balita dari keluarga status ekonomi tertinggi dan balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendidikan rendah lebih besar untuk mengalami gangguan pertumbuhan. Sosial ekonomi keluarga merupakan faktor yang mendasari gangguan pertumbuhan balita, sosial ekonomi keluarga baik akan berdampak baik juga dalam kesediaan asupan, lingkungan yang sehat, dan perilaku sehat.

Kata kunci: stunting, wasting, underweight, balita, antropometri, indeks, sosial, ekonomi

Socio-Economic Factors in Growth Disorders of 0-59 Months Children: Data Analysis of Primary Health Research 2010

Abstract

Nurition status can be measured with height of age index (stunting), height of weight index, weight of age index. The purpose of this study is to determine the relationship of socio-economic factors and other factors, such as the adequacy of energy and protein, malaria infection, basic sanitation, and health care of LBW status in children 0-59 months of growth disorders. This research using Data Analysis of Primary Health Research 2010 with a cross-sectional study design. Samples of this study are all children aged 0-59 months who were respondents in Data Analysis of Primary Health Research 2010. Result of this study indicates that economic status and level of intelligence of the parents have influence on children's growth disorders. The lower the economic status of the family the riskier a toddler in the family would experience stunting, wasting, and/or underweight. Toddlers from the family with lowest economic status have greater risk to stunting, wasting, and underweight compared with toddlers from family with highest economic status and toddlers with less educated parents also have greater risk for experiencing growth disorder. Socio-economic factors in family underly the growth disorder of the toddlers and would also affect the fulfillment of the nutritional intake, health services, and healthy behaviors in toddlers.

(2)

Pendahuluan

Masa balita adalah periode yang paling penting dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak karena bersifat irreversible (Khidri et al., 2013). Usia balita sering disebut “golden years” atau usia emas dimana pada periode tersebut merupakan tahap pembentukan kecerdasan yang akan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Indivara, 2009). Pertumbuhan balita mencakup perubahan tingkat sel atau jumlah ukuran, serta pembentukan organ maupun individu yang dapat diukur dalam berat badan, tinggi badan, umur tulang dan keseimbangan metabolik sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks sehinga masing-masing dapat memenuhi fungsinya seperti kemampuan intelektual (Soetjiningsih, 1995). Balita yang tidak bertumbuh dengan normal sesuai standar kesehatan anak tergolong sebagai gangguan pertumbuhan.

Balita yang mengalami gangguan pertumbuhan dapat diamati berdasarkan status gizi. Status gizi merupakan ukuran yang menggambarkan kondisi tubuh seseorang terhadap jumlah makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh (Almatsier dalam Khairina,2008). Status gizi dapat dibagi menjadi 4 kelompok yakni status gizi normal, kurang, buruk dan status gizi lebih. Status gizi kurang atau undernutrition merupakan kondisi anak dimana asupan energi yang masuk ke dalam tubuh lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan (Wardlaw dalam Khairina, 2008).

Pada umumnya, pengukuran gizi dapat diamati dari penilaian gizi secara langsung dengan menggunakan pengukuran antropometri yang terdiri dari indeks berat badan terhadap umur (underweight), indeks tinggi badan terhadap umur (stunting), serta indeks tinggi badan terhadap berat badan (wasting). Underweight atau berat badan kurang merupakan indikator yang menunjukkan status keduanya yakni akut dan kronik, stunting atau pendek merupakan indikator gizi kurang yang kronis akibat dari “perampasan” makanan yang berkepanjangan serta dampak dari terserang penyakit. Wasting atau kurus adalah indikator gizi kurang yang akut akibat dari “perampasan” makanan yang belum lama terjadi sedangkan (Nandy et al, 2005). Menurut UNICEF terdapat beberapa klasifikasi gizi kurang berdasarkan tingkat keparahannya. Berat badan kurang merupakan ukuran median berat badan berdasarkan umur yang dibawah -2 SD, kurus merupakan ukuran median berat badan terhadap tinggi badan yang dibawah -2 SD sedangkan pendek ukuran median terhadap umur yang dibawah -2 SD. Pada kelompok klasifikasi gizi kurang dengan tingkat keadaan yang parah ukuran nilai median indeks tersebut di bawah -3SD.

(3)

Pada tahun 2012, di dunia terdapat 162 juta anak di bawah umur 5 tahun yang pendek, dan 99 juta anak mengalami berat badan kurang. Kasus kejadian gizi kurang kondisi kurus dan sangat kurus pada anak balita masing-masing sebesar 51 juta dan 17 juta (who.int). Di negara berkembang persentase anak balita yang mengalami berat badan kurang yang sedang sebesar 29% dan 33% balita menunjukkan kejadian tubuh pendek (stunting) yang sedang, serta 10% menunjukkan pelisutan tubuh (wasting) yang sedang (Gibney, Gibney, Margetts, Kearney, & Arab, 2004). Di negara bagian Asia persentase pendek, kurus dan berat badan kurang secara berurutan adalah 41%, 10% dan 35% pada anak yang berumur di bawah 5 tahun (Muller&Krawinkel, 2005).

Indonesia dari tahun ke tahun masih menghadapi masalah gizi kurang pada anak khususnya balita. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2010 angka kejadian gizi kurang seperti pendek (stunting), kurus (wasting) dan berat badan kurang (underweight) masih tetap tinggi walaupun sudah mengalami sedikit penurunan namun kasus kejadiannya tetap saja di atas rata-rata nasional. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi balita pendek dan sangat pendek adalah 36,8% dengan persentase balita sangat pendek dan pendek adalah 18,8% dan 18%, sedangkan prevalensi balita kurus dan sangat kurus) adalah 6,2% dan 7,4%. Berat badan kurang dalam Riskesdas menunjukkan prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang dimana masing-masing sebesar 5,4% dan 13,0% (Laporan Riskesdas, 2007). Laporan Riskesdas 2010 menunjukkan secara nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13,0 gizi kurang, besar prevalensi pendek sebesar 17,1% pendek 18,5% sangat pendek. Prevalensi kekurusan secara nasional sebesar 7,3% kurus dan 6,0% sangat kurus (Laporan Rieskesdas,2010).

Terdapat faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi pertumbuhan balita. Untuk faktor internal meliputi perbedaan ras, keluarga, jenis kelamin, genetik dan kelainan kromosom sedangkan faktor eksternal atau lingkungan meliputi gizi, stimulus, psikologis dan sosial ekonomi. Gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita. Saat di dalam kandungan, gizi anak dipengaruhi oleh gizi ibu sedangkan setelah lahir, gizi anak bergantung pada makanan yang diberikan. Penyebab gagal pertumbuhan disebabkan oleh keadaan gizi ibu saat hamil, pola makan bayi yang salah serta infeksi penyakit. Stimulus dan psikologis dipengaruhi oleh keluarga, keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain (Chamidah, 2009). Sosial ekonomi merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan terhadap gangguan pertumbuhan anak. Kemiskinan berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang buruk serta kurangnya pengetahuan (Tanuwijaya dalam Chamidah, 2009).

(4)

Menurut UNICEF, salah satu hal yang mendasari terjadinya kekurangan gizi pada balita adalah faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi mempengaruhi penyediaan sumber daya untuk kesediaan pangan, perawatan dan layanan kesehatan anak di keluarga. Sosial ekonomi meliputi pendapatan keluarga, status pendidikan serta kegiatan ekonomi kepala rumah tangga (Gunda, Andrews, Wongani, 2007). Hal ini yang berperan terhadap ketahanan pangan, sanitasi dasar pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pola asuh. Berdasarkan beberapa hal yang telah dijelaskan diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang faktor sosial ekonomi terhadap gangguan pertumbuhan pada balita di Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Antropometri adalah metode penilaian status gizi secara langsung yang paling sering digunakan untuk menilai masalah utama gizi. Penilaian status gizi dengan menggunakan metode antropometri mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari metode antropometri yakni relative murah, cepat sehingga dapat dilakukan pada populasi yang besar, objektif, gradable, dan tidak menimbulkan rasa sakit pada responden. Keterbatasan atau kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan data referensi yang relevan, muncul kesalahan pada peralatan dan observer dan hanya mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi (Gibney, Gibney, Margetts, Kearney, & Arab, 2004). Indikator dari metode pengukuran antropometri adalah gabungan beberapa parameter Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) (Zega, 2012).

1. Underweight (Berat Badan menurut Umur)

Gizi kurang (berat badan kurang) atau gizi buruk (severly berat badan kurang) merupakan status gizi yang dapat diketahui dengan menggunakan indeks berat badan terhadap umur (gizi.depkes.go.id). Indeks berat badan menurut umur < -3 SD tergolong gizi buruk, < -3 SD sampai dengan < -2 SD tergolong gizi kurang dan ≥ -2 SD tergolong gizi baik (Keputusan Menteri Nomor 1995/ Menkes/SK/XII/2010).

2. Stunting (Tinggi Badan Menurut Umur)

Stunting (pendek) dan severly stunted (sangat pendek) merupakan status gizi yang dapat diamati dengan menggunakan indeks tinggi badan terhadap umur balita (gizi.depkes.go.id). Indeks tinggi badan menurut umur < -3 SD tergolong gizi buruk, < -3 SD sampai dengan < -2 SD tergolong gizi kurang dan ≥ -2 SD tergolong gizi baik (Keputusan Menteri Nomor 1995/ Menkes/SK/XII/2010).

(5)

Wasting (kurus) dan severly wasted (sangat kurus) merupakan status gizi yang dapat diamati dengan menggunakan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (gizi.depkes.go.id). Indeks tinggi badan terhadap berat badan < -3 SD tergolong gizi buruk, < -3 SD sampai dengan < -2 SD tergolong gizi kurang dan ≥ -2 SD tergolong gizi baik (Keputusan Menteri Nomor 1995/ Menkes/SK/XII/2010)

UNICEF (1990) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi gizi kurang kedalam tiga kelompok, yaitu faktor penyebab langsung, tidak langsung, dan faktor yang mendasari kedua faktor tersebut. Faktor penyebab langsung meliputi konsumsi makanan dan infeksi sedangkan penyebab tidak langsung adalah ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, pola pengasuhan anak, serta jangkauan mutu pelayanan kesehatan. Adapun faktor yang mendasari kedua faktor tersebut adalah sosial,politik dan ekonomi.

Faktor penyebab langsung meliputi jumlah konsumsi makanan dan komposisi zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan gizi seimbang. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan dalam tingkat makro dan mikro. Ketersediaan pangan dalam tingkat makro ditunjukkan oleh tingkat produksi nasional dan cadangan pangan di tingkat regional dan lokal. Dalam tingkat mikro, jumlah pangan yang cukup dan harga yang terjangkau akan berdampak pada konsumsi pangan di rumah tangga. Pada bayi kurang dari 6 bulan makanan yang memenuhi kecukupan gizi seimbangnya adalah ASI. Setelah berumur 6 bulan, bayi perlu asupan tambahan selain ASI yakni makanan pendamping ASI. Selain konsumsi pangan, infeksi juga menjadi penyebab langsung terhadap gizi kurang pada anak. Infeksi seperti ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS dapat mempengaruhi penyerapan asupan gizi yang membuat gizi kurang dan buruk. Gizi kurang dan buruk dapat melemahkan daya tahan tubuh sehingga membuat anak semakin rentan untuk terinfeksi penyakit. Kedua hal tersebut saling berkaitan erat terhadap status gizi anak.

Faktor penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, pola pengasuhan anak serta jangkauan mutu pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi konsumsi pangan dan infeksi penyakit pada anak. Rendahnya kualitas konsumsi pangan dalam rumah tangga dikarenakan kurangnya akses rumah tangga dan masyarakat terhadap pangan, baik akses karena jumlah ketersediaan pangan maupun tingkat pendapatan yang mempengaruhi daya beli rumah tangga. Adapun pola asuh anak meliputi pemberian ASI, makanan pendamping ASI yang tepat, serta perilaku higienis dan tindakan mencari pelayanan kesehatan guna mendukung gizi yang baik. Hal

(6)

tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, informasi, pelayanan keluarga berencana, serta kelembagaan masyarakat untuk pemberdayaan perempuan.

Faktor yang mendasari dan berperan terhadap penyebab langsung dan tidak langsung yakni kestabilan ekonomi, politik dan sosial. Upaya dalam mengatasi masalah gizi kurang dan buruk adalah bertumpu pada pembangunan ekonomi, sosial dan politik yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan setiap rumah tangga sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan (bappenas.go.id).

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yakni Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak yang berumur 0 - 59 bulan di Indonesia sedangkan sampelnya adalah semua anak yang berumur 0 - 59 bulan yang terpilih menjadi responden Riskesdas tahun 2010. Balita yang tidak mempunyai data lengkap mengenai tinggi badan dan berat badan, umur dan jenis kelamin tidak masuk dalam sampel penelitian. Dengan demikian, diperoleh besar sampel sebanyak 21270 balita. Analisis dilakukan dengan metode sampel kompleks untuk mengetahui variasi kejadian pendek (stunting), kurus (wasting), berat badan kurang (underweight) pada balita menurut status ekonomi, wilayah tempat tinggal dan tingkat pendidikan ibu, dan kelompok umur balita. Mengetahui variasi hubungan faktor sosial ekonomi, asupan energi dan protein, infeksi malaria dan pelayanan kesehatan, sanitasi dasar serta status BBLR terhadap gangguan pertumbuhan anak, pendek (stunting), kurus (wasting) dan berat badan kurang (underweight) umur 0-59 bulan di Indonesia.

(7)

Hasil Penelitian

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Menurut Wilayah Tempat Tinggal

Tabel 2 Kejadian Pendek (Stunting), Kurus (Wasting), Berat Badan Kurang (Underweight) Pada Balita Menurut Status Ekonomi

Variabel Status Ekonomi (%) Total (%) Tinggi (Kuintil 4&5) Rendah (Kuintil1,2&3) n 6517 14753 Pendek Normal (≥-2 SD) Pendek (< -2SD s.d -3.00SD) Sangat pendek (<-3 SD) 12576 3610 5084 66,9 14,2 18,9 55,7 18,2 26,1 59,1 17,0 23,9 Kurus Normal (≥-2 SD) Kurus (< -2SD s.d -3.00SD) Sangat kurus (<-3 SD) 18320 1449 1501 88,0 6,3 5,7 85,3 7,0 7,7 86,1 6,8 7,1 Berat badan kurang

Normal (≥-2 SD)

Berat Badan Kurang (< -2SD s.d -3.00 SD)

Berat Badan Sangat kurang (<-3 SD)

17246 2899 1125 85,7 10,5 3,8 79,0 15,0 6,0 81,1 13,6 5,3  

Variabel Wilayah Tempat Tinggal (%)

Total (%) Perkotaan Pedesaan n 10779 10491 Pengeluaran RT perkapita Tertinggi 2819 20,2 6,1 13,3 Menengah Tertinggi 3698 22,4 12,2 17,4 Menengah 4328 21,3 19,4 20,3 Menengah Terendah 4801 20,0 25,2 22,6 Terendah 5624 16,0 37,1 26,4 Pendidikan Ayah Tinggi 1586 13,1 3,9 8,6 Sedang 8618 56,3 36,5 46,5 Rendah 8309 30,7 59,6 44,9 Tidak Tahu 2757 12,6 13,4 13,0 Pendidikan Ibu Tinggi 1583 13,1 4,2 8,8 Sedang 9011 59,0 40,4 49,9 Rendah 7471 27,9 55,4 39,0 Tidak Tahu 3205 14,5 15,7 15,1 Pekerjaan Ayah Kerja 18058 97,2 97,9 97,5 Tidak kerja 455 2,8 2,1 2,5 Tidak Tahu 2757 12,6 13,4 13,0 Pekerjaan Ibu Kerja 18058 97,2 97,9 97,5 Tidak kerja 455 2,8 2,1 2,5 Tidak Tahu 3205 14,5 15,7 15,1

(8)

Tabel 3 Kejadian Pendek (Stunting) Pada Balita Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Variabel Pendek (%) Total (%) Sedang (< -2.00 SD s.d -3.00 SD) Parah (< -3.00 SD) n 3055 4245 Pengeluaran RT perkapita Tertinggi 2819 12,5 16,5 100 Menengah Tertinggi 3698 15,5 20,8 100 Menengah 4328 17,1 22,4 100 Menengah Terendah 4801 17,6 26,3 100 Terendah 5624 19,5 28,7 100

Wilayah Tempat Tinggal

Perkotaan 10779 15,5 21,3 100 Pedesaan 10491 18,4 26,6 100 Pendidikan Ayah Tinggi 1586 12,7 14,9 100 Sedang 8617 16,1 22,6 100 Rendah 8309 18,7 26,1 100 Tidak tahu 2757 16,9 26,5 100 Pendidikan Ibu Tinggi 1583 12,4 17,6 100 Sedang 9011 16,4 21,7 100 Rendah 7471 18,4 26,9 100 Tidak tahu 3205 17,3 26,2 100 Pekerjaan Ayah Kerja 18058 17,0 23,5 100 Tidak kerja 455 16,7 23,4 100 Tidak tahu 2757 16,9 26,5 100 Pekerjaan Ibu Kerja 8854 16,9 24,5 100 Tidak kerja 9212 16,9 22,6 100 Tidak tahu 3205 17,3 26,2 100

(9)

Tabel 4 Kejadian Kurus (Wasting) Pada Balita Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Variabel Kurus (%) Total (%) Sedang (< -2.00 SD s.d -3.00 SD) Parah (< -3.00 SD) n 1449 1501 Pengeluaran RT perkapita Tertinggi 2819 6,0 4,6 100 Menengah Tertinggi 3698 6,5 6,5 100 Menengah 4328 6,7 7,2 100 Menengah Terendah 4801 6,8 7,7 100 Terendah 5624 7,6 8,0 100

Wilayah Tempat Tinggal

Perkotaan 10779 6,6 6,3 100 Pedesaan 10491 7,0 7,8 100 Pendidikan ayah Tinggi 1586 6,2 5,1 100 Sedang 8618 6,5 6,5 100 Rendah 8309 7,3 7,9 100 Tidak tahu 2757 7,0 7,5 100 Pendidikan ibu Tinggi 1583 6,1 4,7 100 Sedang 9012 6,6 6,3 100 Rendah 7471 7,1 7,9 100 Tidak tahu 3205 7,0 8,4 100 Pekerjaan Ayah Kerja 18058 6,8 6,9 100 Tidak kerja 455 7,0 8,9 100 Tidak tahu 2757 7,0 7,5 100 Pekerjaan Ibu Kerja 8854 6,7 6,5 100 Tidak kerja 9212 6,9 7,1 100 Tidak tahu 3205 7,0 8,4 100

(10)

Tabel 5 Kejadian Berat Badan Kurang (Underweight) Pada Balita Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi

Variabel

Berat Badan Kurang (%)

Total (%) Sedang (< -2.00 SD s.d -3.00 SD) Parah (< -3.00 SD) n 2899 1125 Pengeluaran RT perkapita Tertinggi 2819 8,4 2,8 100 Menengah Tertinggi 3698 12,1 4,5 100 Menengah 4328 13,3 4,7 100 Menengah Terendah 4801 15,0 5,3 100 Terendah 5624 16,4 7,5 100

Wilayah Tempat Tinggal

Perkotaan 10779 11,8 4,2 100 Pedesaan 10491 15,6 6,4 100 Pendidikan Ayah Tinggi 1586 7,7 3,1 100 Sedang 8618 13,2 4,4 100 Rendah 8309 15,5 6,2 100 Tidak tahu 2757 12,9 6,6 100 Pendidikan Ibu Tinggi 1583 7,0 3,3 100 Sedang 9011 13,2 4,0 100 Rendah 7471 15,9 6,6 100 Tidak tahu 3205 12,8 67,7 100 Pekerjaan Ayah Kerja 18058 13,8 5,0 100 Tidak kerja 455 12,1 8,3 100 Tidak tahu 2757 12,9 6,6 100 Pekerjaan Ibu Kerja 8854 13,7 5,0 100 Tidak kerja 9211 13,9 5,1 100 Tidak tahu 3205 12,8 6,7 100

(11)

Tabel 6 Risiko Kejadian Pendek (Stunting), Kurus (Wasting dan Berat Badan Kurang (Underweight) Pada Balita

Variabel

Pendek (Stunting) Kurus (Wasting) Berat Badan Kurang

(Underweight) OR 95% CI OR 95% CI OR 95% CI Pengeluaran RT perkapita Tertinggi 1,0 1,0 1,0 Menengah Tertinggi 1,3 1,1 – 1,5 1,2 1,0 – 1,4 1,4 1,2 – 1,6 Menengah 1,4 1,2 – 1,6 1,3 1,1 – 1,5 1,4 1,2 – 1,7 Menengah Terendah 1,6 1,4 – 1,8 1,3 1,1 – 1,5 1,5 1,3 – 1,8 Terendah 1,7 1,5 - 2,0 1,4 1,2 – 1,6 1,7 1,5 – 2,0

Wilayah Tempat Tinggal

Perkotaan 1,0 1,0 1,0 Pedesaan 1,1 1,0 – 1,2 1,1 1,0 – 1,2 1,2 1,1 – 1,3 Pendidikan Ayah Tinggi 1,0 1,0 1,0 Sedang 1,3 1,1 – 1,5 1,0 0,8 – 1,2 1,2 1,0 – 1,5 Rendah 1,3 1,2 – 1,6 1,1 0,9 – 1,3 1,2 1,0 – 1,5 Tidak tahu 1,4 1,1 – 1,8 0,8 0,6 – 1,2 1,1 0,8 – 1,5 Pendidikan Ibu Tinggi 1,0 1,0 1,0 Sedang 1,1 0,9 – 1,2 1,1 0,9 -1,3 1,3 1,1 – 1,6 Rendah 1,2 1,0 – 1,3 1,2 1,0 – 1,4 1,5 1,2 – 1,8 Tidak tahu 1,2 1,0 – 1,4 1,3 1,0 – 1,6 1,3 1,0 – 1,7 Pekerjaan Ayah Kerja 1,0 1,0 1,0 Tidak kerja 1,0 0,8 – 1,2 1,1 0,9 – 1,5 1,1 0,9 – 1,4 Tidak tahu 1,0 0,8 – 1,2 1,1 0,9 – 1,5 1,1 0,9 – 1,4 Pekerjaan Ibu Kerja 1,0 1,0 1,0 Tidak kerja 0,9 0,9 – 1,0 1,1 1,0 – 1,2 1,0 1,0 – 1,1 Tidak tahu 0,9 0,9 – 1,0 1,1 1,0 – 1,2 1,0 1,0 - 1,1 Kecukupan Energi Mencukupi 1,0 1,0 1,0 Tidak 1,0 0,9 – 1,1 1,0 0,9 – 1,1 1,1 0,9 – 1,2 Kecukupan Protein Mencukupi 1,0 1,0 1,0 Tidak 1,1 1,0 – 1,2 1,1 0,9 – 1,2 1,1 1,0 – 1,2 Infeksi Malaria Tidak 1,0 1,0 1,0 ≥ 1 kali 1,2 1,0 – 1,4 1,1 0,9 – 1,4 1,6 1,3 – 2,1 Sanitasi dasar Baik 1,0 1,0 1,0 Buruk 1,0 0,9 – 1,1 0,9 0,8 – 1,0 1,2 1,0 – 1,4

Ketersediaan Pelayanan Kesehatan

Tersedia 1,0 1,0 1,0

Tidak 1,0 1,0 – 1,1 1,0 0,9 - 1,1 1,1 1,0 – 1,2

Keikutsertaan Pelayanan Kesehatan

Ya 1,0 1,0 1,0 Tidak 1,0 1,0– 1,1 0,9 0,9 – 1,0 1,2 1,1 – 1,3 Status BBLR Tidak 1,0 1,0 1,0 Ya 1,5 1,3 – 1,7 1,3 1,1 – 1,6 2,1 1,8 – 2,5 Tidak tahu 1,2 1,1 – 1,3 1,0 0,9 – 1,2 1,1 1,0 – 1,3

* Setelah Dikontrol Variabel Faktor Sosial Ekonomi, Asupan Energi&Protein, Infeksi Malaria &Pelayanan Kesehatan serta Status BBLR

(12)

Pembahasan

Berdasarkan tabel 1 karakteristik responden menurut wilayah tempat tinggal, balita yang tergolong dalam keluarga miskin (kuintil 1) paling banyak terdapat di wilayah pedesaan. Data kemiskinan tahun 2004 dari tahun 2000 – 2004 angka persentase masyarakat miskin di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (ocw.usu.ac.id ). Tingkat pendidikan formal ayah dan ibu yang tinggi paling banyak di perkotaan dan kelompok tingkat pendidikan rendah paling banyak terdapat pada wilayah tempat tinggal pedesaan. Hal ini didukung dengan akses pendidikan serta sarana dan prasarana di perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Menurut pekerjaan ayah dan ibu, proporsi ayah dan ibu yang bekerja paling tinggi di daerah pedesaan.

Menurut tabel 2 proporsi balita yang mengalami gangguan pertumbuhan dalam tingkat sedang dan parah paling banyak berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Penelitian Riyadi et al., (2006) Zottareli et al.,(2007), Salimar (2009), dan Aditianti (2010) (dalam Picauly& Toy, 2013) menyatakan bahwa tingkat ekonomi berpengaruh signifikan terhadap kejadian pendek pada balita. Kaban (1999) (dalam Dewi&Hidayanti, 2012) menunjukkan bahwa 44,4% anak yang berasal dari keluarga miskin termasuk dalam status gizi kurang atau buruk. Kemiskinan berhubungan erat terhadap ketidaktersediaan makanan, sanitasi dan higinitas buruk yang juga berdampak pada peningkatan risiko terjadinya infeksi dan gizi kurang pada anak (Pei, Leilei et al., 2014).

Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi kejadian balita pendek meningkat seiring dengan penurunan status ekonomi keluarga. Balita dengan keluarga dengan status ekonomi terendah menjadi proporsi balita tertinggi yang mengalami pendek tingkat sedang dan parah, yakni masing masing sebesar 19,5% dan 28,7%. Menurut wilayah tempat tinggal balita, proporsi balita yang mengalami pendek tingkat sedang dan parah paling tinggi bertempat tinggal di wilayah pedesaan. Pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan balita. Proporsi balita pendek dalam tingkat sedang dan parah meningkat seiring dengan penurunan tingkat pendidikan formal ayah dan ibu. Ibu yang memiliki pendidikan baik mempunyai kesempatan memiliki pekerjaan baik yang dapat meningkatkan pendapatan selain itu ibu akan mempunyai pengetahuan kesehatan yang baik, pola asuh yang baik serta akan lebih memanfaatkan pelayanan kesehatan guna meningkatan kesehatan anak mereka (Pei,Leilei et al., 2014). Ayah dan Ibu yang tidak bekerja menjadi proporsi balita tertinggi yang mengalami kejadian pendek tingkat sedang dan parah.

Kejadian kurus pada balita menurut status ekonomi menunjukkan hal yang sama dengan kejadian pendek menurut status ekonomi. Pada tabel 4 proporsi balita yang berasal

(13)

dari keluarga dengan status ekonomi terendah mempunyai proporsi terbesar mengalami kejadian kurus pada tingkat sedang (7,6%) dan tingkat parah (8,0%). Proporsi balita yang tinggal di pedesaan menjadi proporsi terbesar pada kelompok kejadian balita kurus dan sangat kurus. Menurut tingkat pendidikan ayah dan ibu, proporsi balita yang mengalami kejadian kurus tingkat sedang dan parah paling tinggi berasal dari keluarga yang tingkat pendidikan ayah dan ibu tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD. Menurut pekerjaan orang tua, proporsi balita yang mengalami kejadian kurus tingkat sedang dan parah paling tinggi pada kelompok balita yang orang tuanya tidak bekerja.

Tabel 5 menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami kejadian berat badan kurang dalam tingkat sedang dan parah paling tinggi pada kelompok balita yang status ekonomi keluarga terendah. Berdasarkan wilayah tempat tinggal balita, balita yang tinggal di pedesaan mempunyai proporsi terbesar untuk mengalami kejadian kurus tingkat sedang dan parah. Proporsi balita yang mengalami kejadian berat badan kurang tingkat sedang dan parah paling tinggi pada kelompok balita yang ayahnya mempunyai tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD. Hal yang sama terjadi pada kelompok balita yang mempunyai ibu dengan yang tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD. Berdasarkan jenis pekerjaan ayah, kejadian berat badan kurang tingkat sedang proporsi paling tinggi pada kelompok ayah yang bekerja sedangkan pada berat badan kurang tingkat parah proporsi tertinggi pada kelompok ayah yang tidak bekerja. Proporsi berat badan kurang tingkat sedang dan parah pada balita menurut pekerjaan ibu, tertinggi pada kelompok balita yang ibunya yang tidak bekerja.

Analisi multivariat dalam tabel 6, semakin rendahnya tingkat ekonomi keluarga semakin besar juga risiko balita yang mengalami kejadian pendek, kurus dan berat badan kurang setelah dikontrol varibel lain. Balita yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi terendah mempunyai risiko 1,7 kali lebih besar untuk mengalami kejadian pendek dan kejadian berat badan kurang, serta 1,4 kali lebih besar untuk mengalami kejadian kurus dibandingkan dengan keluarga status ekonomi yang tertinggi Menurut Dewi&Hidayanti (2012) faktor ekonomi mempunyai peranan penting terhadap status gizi anak karena mempengaruhi kemampuan keluarga dalam membeli pangan. Keluarga dengan status ekonomi baik cenderung akan mampu menyediakan kualitas dan kuantitas pangan yang baik bagi anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bangladesh diperoleh bahwa anak yang tinggal di keluarga dengan tingkat ekonomi terendah mempunyai risiko 2 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tinggal di keluarga dengan tingkat ekonomi baik untuk mengalami pengerdilan. Hal ini dikarenakan ketidakcukupan asupan makanan, mempunyai

(14)

risiko lebih besar untuk mengalami infeksi, dan tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan dasar (Hong, Banta, & Betancourt, 2006).

Balita yang tinggal di wilayah pedesaan mempunyai mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami gangguan pertumbuhan pendek, kurus dan berat badan kurang. Hal ini juga searah dengan penelitian Muljati, et al., 2008 (dalam Tuankotta, 2012) yang menemukan kecenderungan anak balita yang tinggal dipedesaan mempunyai peluang 1,2 kali lebih besar untuk menghadapi hambatan dalam pencapaian pertumbuhan, hal ini dikarenakan akses untuk mendapatkan makanan lebih sulit dibanding dengan kondisi perkotaan yang tersedia. Menurut Senbanjo et al., (2013) prevalensi ibu dan anak kurang gizi tinggi di daerah pedesaan dikarenakan di pedesaah tingkat kehamilan remaja tinggi serta tingkat paritas yang tinggi sehingga membuat ketidakdewasaan fisiologis yang akan berdampak pada status gizi ibu selama kehamilan. Selain itu, di pedesaan kecenderungan lebih banyak ibu yang berpendidikan rendah sehingga berpengaruh pada tingkat sosial ekonomi yang cenderung rendah. Hal ini juga yang membuat terbatasnya akses pemanfaatan fasilitas pelayanan.

Berdasarkan pendidikan ayah dan ibu, balita yang mempunyai orang tua berpendidikan rendah cenderung lebih berisiko untuk mengalami gangguan pertumbuhan. Hal ini didukung penelitian Hermina& Prihatini (2011), semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga atau ayah, maka jumlah balita pendek lebih sedikit. Berdasarkan penelitian Rayhan&Khan (2006), pendidikan ayah berhubungan signifikan terhadap berat badan kurang pada balita. Menurut Islam et al., hal ini karena ayah pada umumnya mempunyai peranan untuk menghasilkan nafkah dan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga sehingga pendidikan ayah yang tinggi sangat berperan dalam peningkatan status gizi anak..Tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan status gizi anak, ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memperhatikan kesehatan anaknya dan mereka akan mengasuh anaknya dengan cara yang benar (dalam Rahyat& Khan., 2006). Menurut Lanore et al., (2006) pengetahuan yang dimiliki ibu memengaruhi kualitas dan kuantitas makanan anak. Selain itu, pada kelompok balita yang mempunyai ibu dengan tingkat pendidikan rendah mempunyai risiko 1,2 kali lebih besar untuk mengalami kejadian kurus dibandingkan dengan balita yang mempunyai ibu dengan tingkat pendidikan tinggi (Indah et al., 2011). Dalam penelitian Rosha, Bunga Ch et al., (2012) memperoleh hasil bahwa ibu yang berpendidikan ≤ SMP mempunyai risiko 1,56 kali untuk mempunyai anak pendek dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan ≥ SMP hal ini karena ibu yang bependidikan ≥ SMP cenderung lebih baik dalam hal pola asuh dan pemilihan makanan selain itu mempunyai peluang lebih besar untuk mengakses informasi mengenai status gizi dan kesehatan anak yang berpengaruh pada

(15)

peningkatan pengetahuan. Informasi tersebut akan berpengaruh pada praktik perawatan anak dan berdampak pada status gizi dan kesehatan anak.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh dan tidak ada perbedaan risiko antara balita yang mempunyai ayah yang bekerja dengan balita yang ayahnya tidak bekerja. terhadap gangguan pertumbuhan balita. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan di Karaj oleh Nojomi et al., yang memperoleh hasil penelitian tidak ada hubungan antara pekerjaan ayah dengan kejadian pendek (stunting), kurus (wasting), berat badan kurang (underweight). Hal tersebut berbeda dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa pekerjaan ayah berhubungan dengan pendapatan ayah sehingga berpengaruh pada status gizi keluarga termasuk anak (Nojomi et al., 2004).

Balita yang mempunyai ibu bekerja dan tidak bekerja mempunyai risiko yang sama untuk mengalami kejadian pendek dan berat badan kurang. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Alasfoor et al., (2007) yang menunjukkan bahwa anak yang ibunya bekerja mempunyai risiko lebih rendah untuk mengalami berat badan kurang (underweight) dibandingkan dengan balita yang ibunya tidak bekerja. Pada kejadian kurus, terdapat pengaruh status pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja mempunyai risiko lebih besar untuk mempunyai balita yang kurus.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor sosial ekonomi seperti tingkat pengeluaran rumah tangga, wilayah tempat tinggal, pendidikan orang tua mempunyai pengaruh terhadap gangguan pertumbuhan pada balita. Keadaaan sosial ekonomi yang baik dalam keluarga juga akan mempengaruhi kecukupan energi dan protein yang baik pada anak, rendahnya infeksi dan tingginya akses pelayanan kesehatan, serta terhadap sanitasi keluarga dan berdampak baik juga pada pemahaman orang tua tentang merawat anak. Kondisi ekonomi yang baik dan didukung dengan pendidikan orang tua yang baik akan mampu menyediakan kualitas dan kuantitas makanan yang baik serta akan meningkatkan akses pelayanan kesehatan. Menurut Achadi, L. Endang (2014) salah satu upaya promotif dan preventif mengatasi masalah gizi dan kesehatan adalah peningkatan pelayanan Posyandu yang mempertemukan antara partisipasi masyarakat dengan upaya kesehatan sehingga dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan monitoring terhadap keadaan gizi anak balita. Terciptanya kondisi gizi yang baik bagi balita di Indonesia akan berdampak baik pada kelangsungan hidup di masa depan dan berpengaruh pada peningkatan produktifitas yang nantinya akan meningkatkan status sosial ekonomi bangsa. Hal ini akan membentuk integrasi antara kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial terhadap peningkatan status gizi masyarakat. Menurut bank dunia (2006) perbaikan gizi mampu mendorong pertumbuhan

(16)

ekonomi, menurunkan tingkat kemiskinan karena perbaikan tingkat produktifitas kerja (bappenas.go.id). Status ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan tingkat pendidikan orang tua, Tingkat pendidikan ayah mempunyai peranan besar ayah terhadap tingkat pendapatan. Pendidikan orang tua yang baik akan lebih peduli dan mengusahakan hidup sehat dalam keluarga. Oleh karena itu yang terpenting adalah perlu adanya langkah intervensi pada faktor yang mendasari gangguan pertumbuhan balita yakni pada peningkatan tingkatan pendapatan keluarga dan peningkatan tingkat pendidikan yang dapat berdampak pada peningkatan pembangunan manusia. Hal ini akan berdampak baik juga terhadap status gizi anak yang berpengaruh pada peningkatan kualitas hidup seseorang pada masa mendatang. Sosial ekonomi terhadap status gizi anak merupakan hal berkesinambungan yang terus saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan.

Kesimpulan

Proporsi gangguan pertumbuhan balita, pendek (stunting), kurus (wasting), dan berat badan kurang (underweight) paling tinggi pada keluarga dengan status ekonomi dibawah menengah (≤ kuintil 3). Keluarga dengan status ekonomi terendah mempunyai risiko lebih tinggi untuk mempunyai anak mengalami gangguan pertumbuhan balita. Balita yang tingal di wilayah pedesaan mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami kejadian pendek (stunting), kurus (wasting) dan berat badan kurang (underweight). Pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan anak. Pendidikan ibu dan ayah yang rendah lebih berisiko untuk mempunyai anak yang mengalami kejadian pendek, kurus dan berat badan kurang. Tidak ada pengaruh orang tua yang bekerja dengan yang tidak bekerja terhadap gangguan pertumbuhan anak. Hal diatas merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap asupan makanan, infeksi penyakit dan akses pelayanan kesehatan balita.

Saran

Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat berdampak juga pada gangguan pertumbuhan balita di Indonesia sehingga pemerintah dapat melakukan langkah interverensi pada faktor yang mendasari tersebut. Peningkatan lapangan pekerjaan dan penggalakkan program belajar bagi masyarakat yang kedepannya mereka akan menjadi orang tua bagi anak-anaknya.

(17)

Bagi Orang Tua

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada orang tua khususnya bagi mereka yang mempunyai anak dalam masa balita agar dapat memperhatikan asupan kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan pada anaknya, pencipataan suasana yang bersih dan sehat, serta keaktifan dalam pelayanan kesehatan seperti ikut serta dalam program monitoring pertumbuhan KMS (Kartus Menuju Sehat),KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), atau KKA (Kartu Kembang Anak) dan catatan kesehatan lainnya. Bagi Institusi Kesehatan Terkait

Adanya program kesehatan untuk penanggulangan kejadian pendek (stunting), kurus (wasting) dan berat badan kurang (underweight) tingkat sedang pada balita untuk mencegah peningkatan risiko menjadi tingkat parah. Program penanggulangan tidak hanya untuk anak gizi kurang namun untuk menangani kesehatan gizi buruk juga yang telah terjadi pada anak balita di Indonesia. Peningkatan pelayanan kesehatan khususnya di wilayah tempat tinggal pedesaan. Selain itu perlunya sosialisasi program layanan pemantauan dan pertumbuhan perkembangan anak kepada masyarakat untuk menurunkan proporsi balita yang mengalami gangguan gizi kurang.

Bagi Penelitian Selanjutnya

Perlu dilakukan penyempurnaan penelitian baik dalam metodologi maupun dalam penambahan pengukuran variabel seperti karakteristik orang tua, kuantitas makanan, siapa yang merawat anak, perilaku menyusui, dan infeksi diare atau ISPA.

DAFTAR PUSTAKA

Achadi , Endang L. 2014. Seribu Hari Yang Menentukan Masa Depan Bangsa. Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Buhungo, Ruwiah Abdullah. n.d. Faktor Perilaku Kesehatan Masyarakat Dan Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Malaria.

http://ocw.usu.ac.id/course/download/312-EKONOMI

PERTANIAN/sep_203_handout_kemiskinan_dan_ketimpangan_pendapatan.pdf (15 Juni 2014,23.51 WIB).

(18)

Chamidah, Atien, Nur. 2009. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak http://eprints.uny.ac.id/4226/2/deteksi_dini_gangguan_tumbang.pdf (27 April 2014, 14.42 WIB)

Gibney, Gibney, M. J., Margetts, B. M., Kearney, J. M., & Arab, L. 2004. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Hong, R., Banta, J.E. & Betancourt, J.A., 2006. Relationship between household wealth inequality and chronic. International Journal for Equity in , pp.5-15.

Indivara, Nadia. 2009. 200 Tips Ibu Smart Anak Sehat. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Anggrek Khairina. Desy 2008. Status Gizi Berdasarkan Imt Pada Pembantu Rumah Tangga (Prt)

Wanita Di Perumahan Duta Indah Bekasi Tahun 2008).Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Müller, Olaf & Krawinkel, Michael. n.d. Malnutrition and health in developing countries. n.d. Causes and Most Vulnerable to Undernutritio Learning

Objects.http://www.unicef.org/nutrition/training/2.5/3.html (7 Juli 2014, 20.00 WIB) Picauly, Intje & Toy, Sarci Magdalena. 2013. Analisis Determinan Dan Pengaruh Stunting

Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah Di Kupang Dan Sumba Timur, NTT.Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2013, 8(1): 55—62.

Pei Leilei, Ren Lin and Yan, Hong. 2014. A survey of undernutrition in children under three years of age in rural Western China, BMC Public Health, vol. 14, pp 1-10.

______.2007. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes RI.

______.2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes RI.

Rosha, Bunga,Ch, Hardinsyah& Baliwati Yayuk Farida. n.d. Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin di Jawa Tengah di Jawa Timur

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/article/download/3081/3049 (tgl 12 juni 2014 3.28 WIB)

Shailen, Nandy, Irving Michelle, Gordon, David, Subramanian, S.V. & George Davey Smith. 2005. Poverty, Child Undernutrition And Morbidity: New Evidence From India. World Health Organization. Bulletin of the World Health Organization; Mar 2005; 83, 3; ProQuest pg. 210

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Tuankotta, Khoerunnisa. 2012. Hubungan Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Makanan dengan Kecukupan Total Asupan Energi Pada Anak Usia 24-59 Bulan di Provinsi Jawa

(19)

Barat Tahun 2010( Analisis Data Sekunder(2010).Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Wiyogowati, Citaningrum. 2012. Kejadian Stunting Pada Anak Berumur Dibawah Lima Tahun (0-59 Bulan) Di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010). Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Zega, Hilda Rahmi. 2010. Status Gizi Balita dan kemiskinan di Indonesia Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010). Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Gambar

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Menurut Wilayah Tempat  Tinggal
Tabel 3 Kejadian Pendek (Stunting) Pada Balita Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi  Variabel  Pendek (%)  Total (%) Sedang (&lt; -2.00 SD s.d  -3.00 SD)  Parah  (&lt; -3.00 SD)                   n
Tabel 4 Kejadian Kurus (Wasting) Pada Balita Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi  Variabel  Kurus (%)  Total (%) Sedang (&lt; -2.00 SD s.d  -3.00 SD)  Parah  (&lt; -3.00 SD)                                                                    n  1449  1501
Tabel 5 Kejadian Berat Badan Kurang (Underweight) Pada Balita Menurut Karakteristik  Sosial Ekonomi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui pengaruh metode bercerita terhadap keterampilan berbicara pada pembelajaran Bahasa Indonesia kelas IV Sekolah Dasar Negeri Mangkura

Persepsi kelengkapan sarana prasarana, persepsi besarnya masalah terhadap infeksi nosokomial, persepsi risiko infeksi nosokomial dan persepsi kemampuan diri perawat

Hopefully, this study will be useful for students of English Education Department, especially to help them understand slang terms used in the ―The Wolf of

Dalam melakukan proses penilaian pada suatu jenis properti, terlebih dahulu dilakukan penilaian terhadap tanah pada properti yang akan dibangun, untuk mendapatkan

Melalui kegiatan pembelajaran tersebut siswa dapat mengembangkan kemampuan pe- mecahan masalah matematika (Muchlis, 2012). Sebelum bahan ajar disusun, dilakukan studi

- Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya dari hal-hal yang belum

114 Universitas Negeri Jakarta Blangwir _R KRPAI Beroda II 115 Universitas Padjadjaran FROZEN KRPAI Beroda II 116 Universitas Pakuan Bogor GREEN CAUTSAR KRPAI Beroda II 117

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan para ahli diatas, peneliti dapat Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan para ahli diatas, peneliti