• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biaya dan Manfaat Ekonomi dari Pengalokasian Lahan Hutan untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Biaya dan Manfaat Ekonomi dari Pengalokasian Lahan Hutan untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri di Indonesia"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Julia Maturana

CIFOR Working Paper No.30(i)

Biaya dan Manfaat Ekonomi dari

Pengalokasian Lahan Hutan untuk

Pengembangan Hutan Tanaman Industri

di Indonesia

(2)

Julia Maturana

Center for International Forestry Research (CIFOR)

Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor Barat 16680, Indonesia E-mail: j.maturana@cgiar.org

Pengembangan Hutan Tanaman Industri

di Indonesia

(3)

© 2005 oleh Center for International Forestry Research Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Diterbitkan tahun 2005

Dicetak oleh Inti Prima Karya, Jakarta Foto sampul oleh Julia Maturana Diterbitkan oleh

Center for International Forestry Research

Alamat pos: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Alamat kantor: Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor Barat 16680, Indonesia

Tel. : +62 (251) 622622 Fax. : +62 (251) 622100 E-mail: cifor@cgiar.org

(4)

Singkatan iv Daftar Istilah v Ucapan Terimakasih vi Abstrak vii Pendahuluan 1 Usulan pendekatan 1

Konsep Kerangka Kerja 2

Telaah Secara Ekonomi 2

Alasan Penggunaan Telaah Secara Ekonomi 2

Jenis-jenis Dampak yang Termasuk dan Efeknya terhadap Kemakmuran 3

Studi Kasus 4

Menentukan Dampak Ekonomi pada Skenario Keseluruhan 4

Perkiraan Manfaat dan Biaya Ekonomi 6

Manfaat-manfaat Ekonomi 6

Biaya-biaya Ekonomi 7

Perkiraan Kasus per kasus 8

Inti Indo Rayon di Sumatera Utara 10

Arara Abadi di Riau 11

Riau Andalan Pulp and Paper di Riau 12

Wira Karya Sakti di Jambi 13

Musi Hutan Persada di Sumatera Selatan 14

Keseluruhan Manfaat dan Biaya Ekonomi bagi Negara 14

Pembahasan 16

Manfaat-manfaat Ekonomi 16

Biaya-biaya Ekonomi 17

Membandingkan Kelima Proyek Perkebunan 18

Data dan Asumsi-asumsi 19

Skenario-skenario 19

Kesimpulan 21

Referensi 23

(5)

iv

Singkatan

AA Arara Abadi – Perusahaan perkebunan yang terkait dengan IKPP dan APP

APP Asia Pulp and Paper

APRIL Asia Pacifi c Resources International Holdings

DR Dana Reboisasi

EB Manfaat ekonomi

EC Biaya ekonomi

GOI Pemerintah Indonesia

HTI Hutan Tanaman Industri

IIR Inti Indo Rayon – Perusahaan perkebunan terkait dengan TPL Pulp Mill dan RAPP (hingga tahun 2002)

IKPP Indah Kiat Pulp and Paper

MAI Rata-rata Nilai PertambahanTahunan

MHP Musi Hutan persada – Perusahaan perkebunan terkait dengan group TEL Mill dan Barito Pacifi c

MHW Kayu keras campuran

MWP Rata-rata produksi kayu

NGO Organisasi Non Pemerintah

NTFP Produk hutan non-kayu

PSDH Pajak Pertambahan Sumber Daya Hutan RAPP Riau Andalan Pulp and Paper Group

SMG Sinar Mas Group

SPK Sumbangan Pihak Ketiga

TEL Tanjung Enim Lestari Mill

TEV Total Nilai Ekonomi

tonne metrik ton (1000 kg)

TPL Toba Pulp Lestari Pulp Mill

WKS Wira Karya Sakti – Perusahaan perkebunan terkait dengan Lontar Papyrus Mill dan Group APP

(6)

Daftar Istilah

Belukar Istilah bahasa Indonesia untuk lahan tandus yang sudah lama atau hutan sekunder yang terdegradasi.

Nilai saat ini Nilai yang ada untuk dipertahankan sebagai nilai yang melekat untuk generasi selanjutnya.

Eksternalitas Manfaat atau biaya yang dihasilkan sebagai akibat aktivitas ekonomi yang tidak langsung berkembang kepada pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas; contohnya, eksternalitas lingkungan adalah manfaat-manfaat atau biaya-biaya yang termanifestasikan sendiri melalui perubahan-perubahan secara fi sik atau biologis tanpa menghiraukan hubungan para pihak terhadap lingkungan yang dipengaruhi.

Panen Pengambilan produk dari perkebunan-perkebunan.

Rimba karet Tanaman karet (Hevea brasiliensis) yang ditanam untuk memperkuat lahan tandus.

Hutan tebangan Area hutan yang hasil kayu komersialnya telah diambil. Biaya marjinal Perubahan total biaya yang terkait dengan hasil yang

diproduksi unit tambahan; dihitung dengan membagi perubahan total biaya dengan perubahan pada hasil. Kegunaan marjinal Kegunaan tambahan atau kepuasan yang dihasilkan dari

pemakaian unit tambahan.

Rata-rata tambahan pertahun(MAI) Total peningkatan pertumbuhan tanaman per unit area (ha) hingga akhir periode rotasi dibagi dengan jumlah tahun dalam rotasi.

monopsoni Suatu struktur pasar (pasar kayu untuk bubur kertas) dimana hanya ada satu pembeli dengan kurva suplai yang memiliki rentang positif, yang dengan kata lain kekuatan monopsoni mampu menekan harga menjadi rendah dengan pembatasan pembelian.

Biaya penggunaan terbaik Biaya sumberdaya tertentu yang dihitung pada alternatif terbaik penggunaan. Sebenarnya menggambarkan jumlah uang terkecil yang dapat diterima sebagai pengganti sumberdaya atau perkiraan nilai dari sumberdaya.

Alokasi optimal Sumberdaya dapat secara optimal dialokasikan apabila sumberdaya tersebut dalam situasi optimal. Setiap perubahan pada alokasi memperkecil kemakmuran pada sedikitnya satu pihak yang terlibat dalam suatu keputusan. Sehingga alokasi sumberdaya yang optimal adalah pada saat semua pihak berada pada posisi mereka yang terbaik. Nilai pilihan Nilai yang melekat kepada pemeliharaan lansekap alam dan

sumberdaya yang ada, sehingga generasi mendatang memiliki pilihan sosial untuk menentukan jenis terbaik menurut kebutuhan mereka.

Harga bayangan Harga yang disesuaikan yang memperhitungkan distorsi harga pasar dan tujuan-tujuan pemerintah, atau juga dikenal sebagai harga akuntansi, yang mewakili biaya penggunaan terbaik dalam memproduksi atau mengkonsumsi sumberdaya.

Biaya-biaya sosial Biaya-biaya yang langsung bersentuhan dengan masyarakat saat barang tersebut dihasilkan, contohnya polusi.

(7)

vi

Ucapan Terimakasih

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi mereka yang disebutkan di bawah ini atas masukan yang sangat berharga serta dukungan selama kegiatan ini dan tentunya dalam penyelesaian laporan ini.

Kepada CIFOR:

Christian Cossalter; Philippe Guizol; Rosita Go; Ani Nawir; David Kaimowitz; Glen Mulcahy; Luluk Suhada; Yemi Katerere; Gideon Suharyanto.

Kepada Pihak Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, Badan Pusat Statistik (BPS) dan kantor LSM setempat di tingkat Kabupaten dan Kecamatan di Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.

Ucapan terimakasih juga untuk penterjemahan, format dan editing: Devi Kausar, Dicky Purwanto dan Kriswanto.

Secara khusus ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pemerintah Belanda serta staf mitra program profesional atas dukungannya selama kegiatan riset yang saya lakukan di CIFOR.

(8)

Abstrak

Pada akhir tahun 1980-an, uang dalam jumlah besar dan area-area hutan Indonesia dialokasikan untuk pembangunan perkebunan kayu untuk bubur kertas, yang sangat cepat pertumbuhannya. Biaya dan manfaat fi nansial dari tindakan ini – yang mewakili hanya sedikit dari biaya aktual, dapat dengan mudah dihitung, sementara biaya dan manfaat ekonomi sepenuhnya tetap tersembunyi. Pengetahuan tentang manfaat ekonomi bersih dapat menjadi masukan yang berguna bagi Pemerintah Indonesia dan kelompok minat lain untuk merevisi kebijakan dan peraturan yang ada sekarang dan menetapkan arah baru bagi proyek perkebunan di masa mendatang yang memberikan manfaat ekonomi bagi perekonomian nasional dalam jangka panjang.

Makalah ini melihat biaya dan manfaat ekonomi total dari lima perkebunan besar penghasil kayu untuk bubur kertas di Sumatera. Empat dari lima proyek perkebunan tersebut menghasilkan biaya ekonomi lebih tinggi daripada manfaat ekonominya. Perkiraan biaya ekonomi menunjukkan lebih dari 30 kali pembayaran fi nansial sebenarnya yang diterima oleh pemerintah dari setiap perusahaan.

Alokasi lebih dari 1,4 juta hektar lahan hutan untuk konversi menjadi tiga perkebunan menghasilkan kerugian bersih lebih dari 3 miliar dolar AS bagi negara. Analisis ini dengan jelas menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia seharusnya tidak lagi mengalokasikan lahan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan kayu untuk bubur kertas HTI.

(9)
(10)

PENDAHULUAN

Industri-industri bubur kertas telah berkembang pesat di Indonesia setelah investasi besar-besaran pada sektor ini di akhir 80-an. Total produksi dari dalam negeri telah meningkat dari 3 juta ton per tahun pada 1997 (Barr 2001) menjadi 5,6 juta ton per tahun hingga 2002 (FAO 2003).

Sebagian besar kawasan hutan yang dikelola oleh negara telah dialokasikan melalui izin hutan tanaman industri (HTI), dan hampir 100 juta dolar AS dana modal dalam negeri dialokasikan guna mempromosikan pengembangan berbagai hutan tanaman industri di Indonesia (Barr 2001). Jumlah keseluruhan yang dialokasikan bagi pengembangan beberapa perkebunan hingga tahun 2002 adalah 5,38 juta ha (DEPHUT 2003) dan sekitar 41%nya terkonsentrasi di kepulauan Sumatera.

Sebagian besar lahan yang diberikan sebagai konsesi terdiri atas lahan tandus bekas hutan tebangan, rimba karet, hutan-hutan bakau, beberapa kepemilikan karet skala kecil, perkebunan sawit, padang rumput dan kebun-kebun agrikultur serta pemukiman desa. Perusahaan-perusahaan perkebunan hutan diharapkan untuk menghasilkan bahan baku mentah untuk kebutuhan industri bubur kertas nasional, baik untuk kebutuhan ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Ekspor bubur kertas dan kertas menghasilkan 2 triliun dolar AS sebagai cadangan ekspor dalam negeri dalam tahun 1997 (FWI dan GFW 2002).

Meskipun Pemerintah Indonesia dapat secara mudah menghitung penambahan pendanaan dan pembiayaan-pembiayaan yang telah dicapai dalam investasinya pada industri bubuk kertas dan perusahaan-perusahaan terkait, manfaat dan biaya ekonomi masih tetap menjadi hal yang belum jelas. Biaya keuangan hanya merupakan porsi kecil dari total biaya aktual, sehingga mengarah kepada persepsi akan adanya manfaat bersih yang lebih besar daripada yang sebenarnya. Biaya-biaya sebenarnya adalah biaya-biaya yang langsung dikeluarkan dalam rangka investasi dan biaya, yang dibebankan kepada masyarakat lokal, Indonesia dan dunia, dari area hutan yang luas yang dialokasikan bagi proyek-proyek HTI.

Walaupun beberapa studi telah mencoba mendalami aspek-aspek ekonomi dan keuangan

industri bubur kertas dan kertas serta menganalisa HTI di Indonesia (Davis 1989; MoF 1994; Potter and Lee 1998; Kartodihardjo and Supriono 2000; Barr 2001; van Dijk 2003). Namun belum ada studi yang mempelajari dampak perkebunan HTI untuk negara.

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menghitung manfaat-manfaat dan biaya-biaya dari lima proyek HTI di Sumatera-Indonesia dengan memasukkan perbedaan-perbedaan dari hutan dan lansekap yang diberikan dalam konsesi tersebut dan kapasitas produksi dari industri bubur kertas mereka yang terkait. Secara khusus saya menetapkan efek dan dampak ekonomi utama yang dihasilkan dengan adanya proyek-proyek tersebut, menganalisa dan membandingkan kinerja ekonomi dari lima hutan perkebunan yang termasuk ke dalam studi kasus dan menyoroti hal-hal utama yang dapat menentukan kinerja proyek-proyek tersebut.

Hasil-hasil studi ini juga dapat merupakan masukan yang bermanfaat bagi Pemerintah Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya dalam menelaah kinerja ekonomi dari proyek-proyek HTI yang digunakan untuk kepentingan negara, dan mengubah aturan dan kebijakan yang dapat mengarahkan proyek-proyek perkebunan agar dapat memberikan manfaat ekonomi secara besar (tidak hanya dari sisi keuangan) bagi negara.

Usulan Pendekatan

Analisa secara kasar telah digunakan untuk menunjukkan dampak dari proyek-proyek HTI dan barang dan jasa yang dipengaruhinya. Harga pasar dan harga bayangan1 digunakan untuk

mengukur pengaruh tersebut apabila pasar ada, jika tidak nilai ditentukan dengan menggunakan perkiraan terhadap nilai barang dan jasa yang tidak tersedia di pasar, yang berkaitan dengan area yang ditelaah.

Pengaruh positif dan negatif terkait dengan proyek-proyek HTI telah diidentifikasi dan diukur menurut pasarnya masing-masing terkait dengan barang yang dihasilkan dan biaya-biaya yang diperlukan sebagai perbandingan untuk masing-masing kasus.

(11)

2 Julia Maturana

Konsep Kerangka Kerja

Telaah Secara Ekonomi

Ekonomi, optimalisasi dan kelangkaan adalah merupakan tiga konsep yang saling terkait. Kebutuhan manusia meningkat setiap saat dan cara untuk memuaskan kebutuhan tersebut adalah dengan pemenuhan sumberdaya. Untuk beberapa sebab (contohnya perbedaan biofi sik, proses-proses kepunahan secara alamiah, tingginya tingkat konsumsi, akumulasi sosial), beberapa sumberdaya telah menjadi sulit ditemukan; kadang-kadang sulit ditemukan secara umum, sulit ditemukan di satu tempat tertentu atau sulit ditemukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Ilmu ekonomi telah berkembang sebagai suatu respon terhadap kebutuhan untuk mengoptimalkan alokasi sumberdaya yang sulit ditemukan untuk memuaskan meningkatnya kebutuhan dasar dari masyarakat. Alokasi secara optimal diobservasi saat tidak adanya lagi alternatif untuk memulihkan situasi pada para pihak atau kelompok-kelompok yang sedang dianalisa dengan memberikan sejumlah sumberdaya dalam waktu-waktu tertentu2.

Ketika suatu proyek investasi atau suatu kebijakan yang mengarahkan suatu investasi disusun, pengambil keputusan mengarahkannya kepada suatu tujuan yang khusus, contohnya: suatu keluarga melakukan suatu investasi untuk tujuan kemakmuran saat ini dan mendatang, suatu perusahaan mengharapkan manfaat maksimal, dan pemerintah menginvestasikan uang masyarakat untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi secara khusus yakni peningkatan kemakmuran masyarakat. Setiap kebijakan program atau keputusan ekonomi harus ditelaah dalam rangka melihat pengaruh-pengaruh yang ada.

Telaah secara ekonomi adalah suatu alat yang digunakan oleh para ahli untuk memberikan arahan dalam proses–proses pengambilan keputusan secara nasional dan untuk menganalisa kebijakan ekonomi. Telaah ekonomi juga digunakan untuk mengevaluasi kontribusi dari kebijakan-kebijakan yang ada, keputusan-keputusan atau proyek yang

memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Nilai dari setiap barang/produk, faktor atau sumberdaya yang akan digunakan atau dihasilkan oleh proyek dinilai berdasarkan kontribusinya terhadap kemakmuran negara.

Alasan Penggunaan Telaah Secara

Ekonomi

Seberapa besar peningkatan kemakmuran dan ekonomi masyarakat sulit untuk diukur. Setiap aksi akan memberikan implikasi keuntungan-keuntungan dan pembiayaan. Kebijakan atau keputusan investasi yang ada dapat memberikan dampak dan efek yang berlawanan pada kelompok yang berbeda-beda. Suatu aksi dapat memberikan peningkatan kemakmuran bagi beberapa, namun mengurangi dari yang lain; atau dapat meningkatkan tingkat konsumsi dari penduduk (peningkatan kemakmuran) namun meningkatkan polusi untuk negara (pembiayaan kemakmuran). Apabila sebuah kebijakan tidak mempunyai efek negatif terhadap kelompok manapun, kebijakan itu tidak diragukan lagi merupakan kebijakan yang baik. Namun demikian, kasus semacam itu jarang terjadi atau jarang mendapat perhatian. Lebih sering kita melihat terdapatnya beberapa pengaruh positif dan pengaruh negatif. Selanjutnya, penting untuk mengetahui apakah kombinasi pengaruh dari keduanya akan mengarahkan masyarakat (secara keseluruhan) kepada situasi yang lebih baik atau lebih rusak.

Teori dalam ekonomi menyarankan kita untuk menambahkan semua keuntungan dari semua pihak yang berada pada situasi lebih baik, dan semua kerugian dari pihak yang akan berada pada situasi yang parah. Apabila yang dihasilkan adalah keuntungan bersih, maka kebijakan atau aksi harus dilakukan atau sebaliknya. Telaah secara ekonomi ini didasarkan pada “teori kemakmuran3” dengan

defi nisi-defi nisi kemakmuran, pemanfaatan dan perilaku sosial.

2 Untuk defi nisi lihat daftar istilah.

(12)

Konsekuensinya, kita menganalisa manfaat ekonomi keseluruhan (EB) yang diakibatkan oleh produksi dari proyek (EB dari produksi) dan biaya ekonomi dari input (EC) dan faktor-faktor yang digunakan (EB dan EC biasanya dianalisa secara terpisah berdasarkan masing-masing pasar). Analisa difokuskan pada perubahan konsumsi dari barang dan jasa berbeda, penggunaan sumberdaya, input-input dan faktor produksi. Analisa ini memfokuskan pada efek daripada konsumsi dan produksi keseluruhan, dan bukan pada efek terhadap konsumen yang berbeda-beda. Analisa ini juga dikenal sebagai analisa manfaat dan biaya dengan menggunakan efi siensi atau harga-harga bayangan.

Penggunaan harga dengan perkiraan dapat menjadikan kesalahan perkiraan4 dari

manfaat-manfaat dan biaya-biaya (nilai yang berlebih atau kurang) ketika kita bekerja pada ekonomi yang terdistorsi, yang memiliki karakter kesalahan-kesalahan pasar seperti subsidi, pajak, monopoli dan eksternalitas5.

Namun masalah dapat dikoreksi dengan menganalisa kesalahan-kesalahan pasar dan pengaruhnya terhadap harga dan jumlah yang diperdagangkan untuk barang tertentu di pasar tertentu.

Jenis-jenis Dampak yang

Termasuk dan Efeknya terhadap

Kemakmuran

Untuk menilai manfaat-manfaat dan biaya-biaya dari suatu investasi atau aksi, termasuk di dalamnya seluruh manfaat ekonomi. Teori menganjurkan untuk menghitung perubahan dalam konsumsi (saat sekarang dan mendatang) dari semua barang dan jasa (pasaran dan non

pasaran). Dampak positif dari barang dan jasa tersebut dapat disebut sebagai manfaat sosial dan dampak negatifnya dapat disebut sebagai biaya-biaya sosial. Dampak-dampak positif pada konsumsi adalah hasil dari suatu proyek yang menghasilkan barang atau jasa. Sementara dampak negatif adalah hasil dari proyek yang membutuhkan input atau faktor yang sulit. Hasil dari proyek yang membutuhkan input atau faktor yang sulit disebut sebagai suatu biaya, karena mengkonsumsi beberapa elemen tertentu yang hanya dapat dilakukan apabila pihak-pihak lain dalam masyarakat melepaskan elemen tersebut, yang dalam istilah ekonomi disebut sebagai kerugian.

Dampak positif dan negatif lainnya adalah berhubungan dengan penggunaan sumberdaya (dampak tidak langsung dari konsumsi), seperti melepaskan atau mengkonsumsi sumberdaya melalui produk pengganti, tabungan, dan mengkompromikan faktor-faktor dan input yang produktif. Sumberdaya-sumberdaya tersebut dinilai berdasarkan biaya-biaya penggunaan terbaik6 dari sumberdaya itu.

Dampak-dampak negatif dan positif yang akan diidentifi kasi, berhubungan dengan (Castro and Mokate 1998):

• Peningkatan/penurunan konsumsi barang/jasa yang dipasarkan dan tidak dipasarkan

• Peningkatan/penurunan dalam ekspor (pendapatan nilai tukar luar negeri meningkat atau berkurang)

• Pe n i n g k a t a n / p e n u r u n a n i m p o r (tabungan nilai tukar luar negeri atau pengeluaran)

• Pelepasan/kompromi sumberdaya produktif.

4 Ketika kompetensi yang sempurna diobservasi, harga menggambarkan biaya marjinal (untuk produsen) dan kegunaan/utilitas marjinal (untuk konsumen). Adanya kegagalan pasar menyebabkan biaya tidak mencerminkan biaya marjinal maupun utilitas marjinal. Pada kasus seperti itu, biaya tidak menunjukkan refl eksi sebenarnya dari manfaat dan biaya ekonomi.

5 Untuk defi nisi lihat daftar istilah. 6 Untuk defi nisi lihat daftar istilah.

(13)

4 Julia Maturana

TPL : Toba Pulp Lestari IK : Indah Kiat RAPP : Riau Andalan P&P LP : Lontar Papyrus TEL : Tanjung Enim Lestari

SUMA

TRA

KALIMANTAN

JAVA

TPL IK LP TEL

Inti Indo Rayon Arara Abadi

RAPP Wira Karya Sakti

Musi Hutan Persada

Gambar 1. Lokasi lima perusahaan perkebunan bubur kayu yang termasuk di dalam studi

STUDI KASUS

Menentukan Dampak Ekonomi

pada Skenario Keseluruhan

Antara tahun 1984 dan 1996, pemerintah telah mengalokasikan 1,4 juta ha kawasan hutan kepada lima perusahaan di Sumatera (Gambar 1), untuk memanen (tebang habis) kawasan-kawasan tersebut guna memproduksi kayu untuk bubur kertas dan mengembangkan perkebunan kayu. Konsesi ini diberikan kepada kelompok yang saat ini sedang mengembangkan dan membangun industri kertas dan bubur kertas untuk mempertahankan produksinya7.

Sejak tahun 1984 ke atas, industri bubur kertas dimaksud telah memulai operasinya dan meningkatkan kapasitas terpasang untuk memanfaatkan sumber besar yang ada untuk produksi bubur kertas mereka.

Permintaan dan penawaran terintegrasi sebagai akibat dari suatu kenyataan bahwa industri dan perusahaan pemegang konsesi HTI adalah dalam kelompok yang sama. Sehingga konsekuensinya adalah volume kayu untuk bubur kertas yang dihasilkan bergantung pada jumlah yang diharapkan oleh industri bubur kertas. Sehingga volume penawaran akan seimbang dengan tingkat permintaan. Hal tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa harga tidak ditentukan oleh kekuatan pasar, tetapi oleh pemaksimuman keuntungan dari kelompok yang mengelola rantai produksi secara terintegrasi. Karena sistem kerja yang digunakan adalah monopsoni, kayu untuk bubur kertas harganya jauh lebih rendah (tidak ada pasar lain), sehingga menghasilkan biaya transaksi (pada pasar kayu untuk bubur kertas) dibawah harga optimal.

7 Tiga pabrik kertas dan bubur kertas, satu pabrik bubur kertas dan rayon, satu pabrik bubur kertas. Riau Andalan Pulp & Paper

(14)

S’

S

D’

2003

q

1

Q

q

0

D

1984

P

p

Sebelum

Lapangan kayu tebangan dari salah satu perusahaan perkebunan HTI di Sumatera (Foto oleh Julia Maturana)

Efek keseluruhan, yang ditemui pada pasar kayu untuk bubur kertas, dapat ditampilkan dengan grafik (Gambar 2). Proyek-proyek menyebabkan peningkatan dalam suplai kayu untuk bubur kertas yang digambarkan dengan pergerakan kurva suplai permulaan dari S ke S’. Permintaan juga meningkat melalui pembentukan industri bubur kertas dan peningkatan kapasitas terpasang, yang

digambarkan dengan pergerakan kurva D kepada D’. Harga kayu untuk bubur kertas tetap tidak berubah karena peningkatan dalam penawaran tidak terlihat. Kelima penghasil kayu untuk bubur kertas menjual produknya kepada industri mereka sendiri.

Kurva penawaran sangat tidak elastis jika dilihat dari harga, karena pasar yang sudah terintegrasi (contohnya penghasil dan pembeli

Gambar 2. Pasar kayu untuk bubur kertas (pulp)

Kunci: D = Permintaan awal (untuk kasus ini sebelum 1984, sebelum konsesi); D’ = permintaan selanjutnya (untuk kasus ini pada tahun 2003); P = sumbu harga; p = harga transaksi (diasumsikan tetap sepanjang waktu); Q = sumbu jumlah (kayu untuk bubur kertas) ; q0 = jumlah (kayu bubur kertas) yang dihasilkan (sebelum-1984); q1 = jumlah (kayu bubur kertas) yang diproduksi (dalam 2003); S = kurva suplai (sebelum 1984); S’ = kurva suplai (2003).

(15)

6 Julia Maturana

S

D,

P

p

D

q

0

q

1

Q

setelah konsensi HTI

memiliki hubungan yang kuat). Porsi terakhir dari kurva harus vertikal saat produksi maksimal yang dimungkinkan oleh ekosistem (termasuk perkebunan) telah terpenuhi. Kurva penawaran juga bisa digambarkan sebagai garis yang sangat tidak elastis jika dihubungkan dengan harga dan hal tersebut utamanya ditentukan oleh kapasitas industri yang dimasukkan. Elastisitas harga dari penawaran untuk pasar kayu bagi keperluan bubur kertas di Indonesia telah dihitung oleh FAO (1996) dengan seri data yang cukup besar adalah – 0.09 (skala 0 = sangat tidak elastik; 1 = sangat elastik).

Biaya-biaya ekonomi berhubungan dengan jumlah yang besar (1,4 juta ha) dari lahan hutan yang digunakan. Efek-efeknya dapat diperhatikan pada pasar lahan hutan (hipotesa). Harga sumberdaya (yang berhubungan dengan biaya-biaya konsesi) ditentukan oleh pemerintah dengan memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan bukan pasar karena tidak adanya pasar untuk lahan hutan milik negara. Alokasi lisensi HTI (konsesi-konsesi) untuk proyek-proyek tersebut menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan hutan yang dimiliki oleh negara dari q0 menjadi q1 (ditunjukkan pada Gambar 3) dengan pergerakan dari kurva permintaan dari D kepada D”. Permintaan digambarkan sebagai kurva horizontal yang mencakup fakta bahwa area lahan pemerintah yang ditawarkan tidak tergantung kepada permintaan namun kepada area yang tersedia. Akhir dari bagian vertikal menggambarkan batas untuk suplai area hutan negara.

Keseluruhan dampak area alokasi HTI di dalam konsesi akan menghasilkan sejumlah

dampak (manfaat ekonomi) positif dan negatif (biaya-biaya ekonomi) yang menjadi perlu untuk dijelaskan dalam bentuk angka.

Perkiraan Manfaat dan Biaya

Ekonomi

Semua perusahaan perkebunan yang dianalisa mendapatkan hak lebih dari 300.000 ha dari hutan milik negara dalam periode waktu yang sama (> 40 tahun). Tiga dari konsesi tersebut utamanya terdiri atas hutan-hutan bekas tebangan dari kayu keras campuran (MHW); satu konsesi oleh pinus dan hutan bekas tebangan MHW dan satu lagi terutama oleh padang rumput (Imperata cylindrical) dan belukar.

Manfaat-manfaat dan biaya-biaya ekonomi dihitung sejak periode 1984 hingga 2038. Tiga angka potongan (4%, 8% dan 12%) digunakan untuk menunjukkan nilai sejak tahun awal (1984) sehingga memungkinkan untuk dibandingkan. Semua biaya dan harga dibuat dalam dolar AS (2003). Tiga skenario dibuat untuk menguji sensitivitas dari analisa: skenario awal stabilitas; skenario optimis dengan peningkatan harga kayu untuk bubur kertas dan area yang ditanam dan skenario pesimis dengan penurunan harga dan area yang ditanam.

Manfaat-manfaat Ekonomi

Peningkatan penawaran kayu untuk bubur kertas diobservasi setelah alokasi dari hutan negara cocok dengan permintaan dari industri (sebenarnya permintaan menentukan penawaran). Manfaat-manfaat yang terkait

Gambar 3. Lahan hutan milik negara (pasar hipotesis)

Kunci: D = permintaan awal (untuk kasus ini sebelum 1984, sebelum konsesi-konsesi); D’ = permintaan selanjutnya (untuk kasus ini pada tahun 2003); P = sumbu harga (lahan hutan); p = harga transaksi; Q = sumbu jumlah (lahan hutan) ; q0 = jumlah (kawasan hutan) permintaan (sebelum-1984); q1 = jumlah (lahan hutan) permintaan (tahun 2003); S = kurva penawaran (lahan hutan).

(16)

p

p

S

p

m

S

,

D

,

2003

q

1

Q

q

0

D

P

Sebelum 1984

dapat dilihat pada daerah yang diwarnai pada Gambar 4 atau dengan perkiraan:

EB

T

=

m t T t t

p

q

q

×

=1 1 0

)

(

Harga yang digunakan terkait dengan transaksi (pasar) harga (pm) yang diobservasi dari kayu untuk bubur kertas setiap tahunnya (t). Dan seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pasar kayu untuk perusahaan perkebunan tidak berada dalam situasi kompetensi yang sempurna. Sebaliknya, penyedia menghadapi monopsoni dalam permintaan yang mengurangi harga sebenarnya (pp) hingga di bawah level harga kompetensi8

(pp < pm). Menggunakan harga yang sebenarnya akan menjadikan manfaat proyek yang kecil. Kenyataannya, pembayaran harga transaksi kepada perusahaan perkebunan Arari Abadi oleh industri bubur kertas dan kertas Indah Kiat dalam tahun 1998 dan 1999 adalah sekitar 8 dolar AS/m3, dibandingkan dengan 42 dolar

AS/m3 yang harus dibayarkan untuk bahan kayu

dari luar (Ometraco 2000), dan biaya-biaya kayu pada tahun 2002 yang disebut oleh APP untuk

kebutuhan industri bubur kertas dan kertasnya adalah antara 34 dolar AS dan 36 dolar AS per m3

(APP 2000). Dengan menggunakan informasi ini sebagai bahan referensi, harga yang digunakan dalam analisa adalah 40 dolar AS per m3 bagi

kelima perusahaan perkebunan.

Jumlah (q1 – q0)t yang berkaitan dengan total volume kayu untuk bubur kertas cenderung berubah setiap tahun pada lima perusahaan. Volume-volume tersebut dihitung dari kapasitas produksi industri bubur kertas terkait.

Biaya-biaya Ekonomi

Biaya-biaya terkait dihitung berdasarkan s u m b e r d a y a y a n g d i b u t u h k a n u n t u k mempertahankan peningkatan penawaran kayu: 1,4 juta ha MHW, hutan pinus, hutan terdegradasi dan padang rumput yang dialokasikan kepada proyek, yang diberi nilai masing-masing pasar dengan perkiraan:

EC

T

=

ts T t t

p

q

q

×

=1 0 1

)

(

Gambar 4. Pasar kayu untuk bubur kertas (pulp)

Kunci: lihat gambar 2; pm = harga pasar; pp = harga sebenarnya. Notes: q1 = q0 + 27 juta m3/tahun.

Daerah abu-abu gelap mewakili pemasukan keuangan untuk perusahaan perkebunan, yang ditentukan dari harga aktual dan jumlah yang diperdagangkan. Daerah abu-abu terang mewakili manfaat-manfaat yang tidak aktual dan ditentukan oleh harga yang tidak terdistorsi (40 dolar AS) yang mewakili nilai pasar dari kayu bubuk kertas. Sehingga nilai tersebut merupakan nilai yang sebenarnya bagi masyarakat. Manfaat ekonomi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi tahunan (permintaan) hampir 27 juta m3 kayu bubur kertas dihitung dengan menjumlahkan kedua area.

8 Monopsoni menentukan harga input berdasarkan kerangka maksimalisasi keuntungan, sehingga menekan harga ke bawah.

(17)

8 Julia Maturana

Harga yang sebenarnya dibayar untuk penggunaan hutan tersebut (izin penebangan/ pemanenan, pembayaran konsesi, biaya dan pajak, dst.) menggambarkan biaya fi nansial pada masa sekarang bagi perusahaan-perusahaan perkebunan dan disebut sebagai pc (harga

sekarang) dalam Gambar 5, menentukan biaya-biaya sekarang (warna abu-abu gelap) untuk penggunaan sumberdaya. Biaya-biaya tersebut berkisar antara 15.000 dolar AS hingga 99 juta dolar AS per tahun per perusahaan, dihitung dari pembayaran per volume yang diperkirakan oleh Pemerintah Indonesia (PSDH, SPK, and DR).

Karena tidak adanya pasar untuk hutan-hutan milik negara, maka tidak ada harga pasar yang dapat dipelajari. Jika tersedia suatu pasar, maka harga akan merefl eksikan nilai dari daerah tertentu. Namun demikian, harga pasar ini juga dapat salah dalam menilai manfaat-manfaat positif sosial terkait dengan eksternalitas dari hutan-hutan tersebut; seperti perlindungan biodiversitas dan kehidupan liar, rekreasi, polinasi, kontrol biologis, fungsi habitat, dan informasi sejarah. Beberapa nilai dikenali melalui perkiraan total nilai ekonomi (TEV = p5). TEV untuk hutan-hutan bekas tebangan di

Indonesia dibuat oleh Simangunsong (2003) yang menggunakan perkiraan dari berbagai penulis adalah 1283 dolar AS/ha per tahun.

Kuantitas (q1 – q0)t adalah keseluruhan area hutan negara yang diberikan dalam bentuk konsesi kepada perusahaan perkebunan.

Perkiraan Kasus per kasus

Dalam rangka menghitung keseluruhan biaya-biaya ekonomi dan manfaat dari proyek ini, kuantitas produksi kayu per individu dan area yang dimanfaatkan oleh masing-masing perusahaan ditetapkan. Untuk melakukan hal tersebut, beberapa asumsi di bawah ini telah dibuat.

Area yang akan dihitung biaya-biaya ekonominya, EC (q1 – q0), ditetapkan sebagai suatu fungsi dari volume kayu yang ditebang:

Biaya ekonomit = Area tebangt × TEVt

TEV didapatkan dari Simangungsong (2003) yang telah menetapkan TEV untuk hutan yang telah ditebang di Indonesia. Termasuk di dalamnya: nilai penggunaan langsung (kayu, kayu bakar, produk hutan non-kayu dan

Gambar 5. Lahan hutan yang dimiliki oleh negara (pasar hipotesis)

Kunci: lihat Gambar 3; pc = harga saat ini; ps = harga sosial; SP = kurva penawaran (swasta); SS = kurva penawaran (sosial); MSC = Biaya sosial terendah; TEV = Keseluruhan nilai ekonomi.

Catatan: q1 = (q0 + 1,4 juta ha)

Warna abu-abu gelap mewakili pengeluaran keuangan dari perusahaan perkebunan (biaya-biaya saat ini), ditentukan oleh pc and area konsesi. Warna abu-abu terang mewakili biaya-biaya tidak aktual yang ditetapkan sebagai perbedaan antara TEV dan pc. Biaya-biaya ekonomi yang dihasilkan dari kompromi lebih dari 1,4 juta ha hutan milik negara, diperoleh dengan menyatukan dua area.

(18)

konsumsi air); penggunaan secara tidak langsung (konservasi tanah dan air, pengurangan karbon, perlindungan terhadap banjir dan transportasi air), dan nilai-nilai yang belum digunakan (nilai-nilai pilihan dan (nilai-nilai-(nilai-nilai eksistensi9)

Manfaat-manfaat Ekonomit = Volume produksit × Hargat

Harga adalah harga pasar yang tetap untuk kayu bahan baku bubur kertas diperhitungkan pada 40 dolar AS/m3. Harga tersebut berubah pada skenario optimis dan skenario pesimis.

Volume produksi termasuk total volume kayu yang ditebang dari kawasan alam, hasil panen dari perkebunan, dan atau didapatkan dari sumber-sumber lain:

Volume produksit = volume tebangant + volume panent + Sumber-sumber laint

Perusahaan perkebunan menyamakan kebutuhan industrinya dengan kayu-kayu alam sebelum tanaman perkebunannya dapat dipanen, dan hal tersebut diasumsikan bahwa mereka lebih memilih menebang kayu walaupun perkebunannya telah siap. Asumsi ini dipertimbangkan bahwa biaya-biaya dari menebang hutan alam adalah setengah dari biaya panen yang dihasilkan dari perkebunan (van Dijk 2003), sehingga:

Volume tebangant = kebutuhan industrit Apabila hutan alam yang tersedia t-1 ≥ kebutuhan industrit

Volume tebangant = hutan alam yang tersediat-1 Apabila hutan alam yang tersediat-1 < kebutuhan industrit

Dimana:

Hutan alam yang tersediatt =

Areat x Feasibilityt x MWPt

Tingkat Konversi t

apabila volume tebangant = 0 or

Keberadaan hutan alamt =

Areat x Feasibilityt x MWPt Tingkat konversit

Volume tebangan

if apabila volume tebangant ≠ 0

Dimana area yang dimaksud adalah jumlah ha yang diberikan dalam konsesi, maksud dari feasibility atau kemungkinan untuk dilaksanakan adalah perubahan jumlah area yang dapat ditebang dan itu tergantung dari ukuran area yang dipelihara sebagai kawasan konservasi, dan hunian masyarakat, dan kebun. Nilai tengah produksi kayu (MWP) menggambarkan produktivitas kayu di area dan ditujukan untuk volume kayu yang bisa ditebang dari setiap ha hutan alam (rata-rata). Nilai tersebut diperoleh dari informasi perusahaan perkebunan dan diperiksa ulang dengan data yang ada dari setiap area jika memungkinkan. Kebutuhan industrit = kapasitas produksit × Kuotat × operasionalt

Kapasitas produksi didapatkan dari data aktual hingga 2003, dan kemudian ditentukan ulang berdasarkan harapan kenaikan dengan informasi yang disiapkan oleh perusahaan atau dipertahankan pada level saat ini. Kuota adalah termasuk satu atau lebih perusahaan perkebunan yang mensuplai material bagi industri bubur kertas. Nilai operasional menunjukkan apakah industri tersebut ber operasi dengan kapasitas penuh setiap tahunnya.

Volume panen akan bergantung pada area yang ditanam dan kebutuhan industri yang harus dipenuhi.

Volume yang dipanent = volume yang dapat dipanent

Jika kebutuhan industrit – volume tebangant – Sumber laint > volume yang dapat dipanent atau

Volume yang dapat dipanent = kebutuhan industritt – volume tebangant – sumber laint Jika kebutuhan industrit – volume tebangant – sumber laint ≤ volume yang dapat dipanent Dimana:

Volume yang dapat dipanent = volume yang dapat dipanent-1 – volume yang dipanent-1 +

Planted Area t-7 x MIt-7 x Survival Factort-7 Tingkat konversi t-7

Area yang ditanam (planted area), didapatkan langsung dari perusahaan dan menggambarkan area yang ditanam setiap tahun sejak awal operasi hingga 2003. Nilai sesudah

(19)

10 Julia Maturana

2003 memperlihatkan adanya nilai maksimum rata-rata yang diperoleh dari periode yang sebelumnya disebut dan dibatasi oleh pada total area seluruhnya yang memungkinkan bagi setiap perusahaan untuk menanam. Nilai tengah dari penambahan (MI) adalah turunan dari nilai tengah pertambahan tahunan (MAI)10 dari

masing-masing perusahaan untuk setiap jenis yang ditanam dan unit lansekap (lahan kering atau lahan humus) – nilai itu dapat berubah menurut waktu berdasarkan informasi yang disediakan oleh masing-masing perusahaan. Faktor kelangsungan hidup (survival factor) juga diperoleh dari masing-masing perusahaan untuk setiap jenis tanaman dan setiap unit lansekap. Tingkat konversi adalah faktor yang telah dihitung untuk mengkonversi 1 m3 kayu menjadi

1 ton bubur kertas, dimana nilai tersebut dapat berubah tergantung material kasar (yang ditanam atau ditebang) dan setiap jenis yang ditanam. Istilah ‘t-7’ adalah periode rotasi dari jenis-jenis yang ditanam didalam analisa, dimana hampir semua adalah tujuh tahun kecuali satu kasus dimana periode rotasi bervariasi.

Inti Indo Rayon di Sumatera Utara

Jumlah area keseluruhan 284.060 ha telah dikonsesi pada tahun 1984, 1992, dan 1994 kepada perusahaan perkebunan Inti Indo Rayon melalui izin HTI yang memperbolehkan tebang habis dan penyiapan industri perkebunan kayu.

Area konsesinya tersebar di antara 5 kabupaten dengan 50%nya terkonsentrasi di Kabupaten Tapanuli Utara. Area yang dimiliki terdiri atas pinus (30%), MHW (68%) dan hampir 6000 ha merupakan padang rumput (2%).

Perusahaan perkebunan telah memulai operasinya pada tahun 1988 untuk mensuplai perusahaan industri bubur kertas terkait Indorayon (sekarang Toba Pulp Lestari). Permintaan industri tersebut adalah 800.000 m3 bubur kertas per tahun hingga 1993. Saat

ekspansi, permintaan meningkat hampir 1 juta m3.

Sekitar 70% area yang telah dialokasikan adalah kebun, pemukiman dan zona konservasi. Sehingga hanya menyisakan 86.000 ha yang memungkinkan untuk penebangan dan konversi.

(20)

Rata-rata area yang ditanam hingga tahun 2003 adalah mendekati 5000 ha per tahun dengan total keseluruhan yang ditanam adalah 53.000 ha.

Industri menghadapi permasalahan sosial pada tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi dan politik, sehingga ditutup mulai tahun 1999 hingga awal 2003 dan selanjutnya memulai lagi operasinya.

Manfaat ekonomi (EB) dari proyek konsesi TPL bagi masyarakat Indonesia selama 48 tahun (1988-2035) telah dihitung pertahunnya (lihat lampiran I.1). Dan kemudian dikembalikan pada tahun 0 (1984) dengan nilai (dalam dolar AS):

= US$511,588,592 = US$241,626,464

= US$138,027,774

Biaya-biaya ekonomi (EC) pada tiga angka potongan adalah:

= US$1,398,888,431 = US$557,121,027

= US$263,921,323

Perkiraan rasio manfaat dan biaya dari proyek ini adalah 0,37, 0,43 dan 0,52 pada tiga angka potongan berbeda (masing-masing 4%, 8% and 12%).

Arara Abadi di Riau

Perusahaan perkebunan Arara Abadi (AA) di provinsi Riau telah mengkonsesi area seluas 299.975 ha pada tahun 1996. Meskipun demikian Divisi Kehutanan industri kertas dan bubur kertas terkait, Indah Kiat, telah melaksanakan penanaman pertama pada area ini tahun 1984 dengan mengantongi izin dari pemerintah Indonesia.

Area konsesinya tersebar di tujuh kabupaten, dimana 72% areanya dialokasikan di Kabupaten Siak dan Pelalawan. Area tersebut ditutupi dengan jenis MHW dengan sebesar 60%nya adalah hutan bakau dengan produksi kayu rata-rata > 150 m3/ha (Komunikasi

personal).

Perusahaan ini mensuplai permintaan industri bubur kertas terkait yang meningkat dari hampir 540.000 m3 kayu bubur kertas per

tahun untuk 1984 hingga mendekati 9 juta m3

per tahun di tahun 2003.

Dari total keseluruhan area yang dialokasikan, sebanyak 28% terdiri atas tanaman kebun, pemukiman dan zona konservasi. Masih

(21)

12 Julia Maturana

menyisakan area dengan luas total 216.000 ha yang bisa dipakai untuk area tebangan dan konversi.

Hingga tahun 2003, rata-rata maksimum area yang telah ditanam adalah 18.000 ha per tahun dengan total area yang harus ditanami berjumlah 228.000 ha (termasuk area sulaman) Dalam 55 tahun (1984-2038) manfaat ekonomi dari proyek konsesi AA bagi masyarakat yang dimulai sejak tahun 0 (1984) nilainya dalam dolar AS adalah (lihat juga Lampiran 2):

= US$1,935,837,869

= US$793,918,705

= US$398,513,520

Biaya-biaya ekonomi pada tiga angka potongan adalah:

= US$3,169,867,526

= US$1,169,452,455

= US$533,947,366

Perkiraan rasio manfaat dan biaya untuk proyek ini masing-masing adalah 0,61, 0,68 dan 0,75.

Riau Andalan Pulp and Paper, Riau

Industri Riau Andalan Pulp and Paper di Riau adalah perusahaan perkebunan yang memiliki konsesi seluas 330.000 ha.

Alokasinya tersebar di antara 5 kabupaten, dan 70% diantaranya telah terkonsentrasi di Kabupaten Pelalawan dan Kuantan Singingi. Areanya merupakan hutan bekas tebangan MHW dengan 70% diantaranya berada di area rawa-rawa.

Perusahaan ini mulai melakukan penanaman tahun 1993, dan memulai suplai kayu untuk bubur kertas untuk industri terkait pada tahun 1995. Permintaan tahunan industri tersebut adalah 3 juta m3 kayu untuk bubur kertas dan

dalam tahun 1995 meningkat hingga menjadi 9 juta m3 pada tahun 2003.

Area seluas kurang lebih 250.000 ha dapat dikonversi untuk mendapatkan bahan mentah untuk keperluan industri. Sedangkan hampir 79.000 ha (24% dari area konsesi) terdiri atas berbagai macam tumbuhan, pemukiman dan kawasan hunian.

Hutan bekas tebangan MHW yang telah dialokasikan untuk pengembangan HTI, masih memiliki produk melimpah. Di sini beberapa penduduk tengah mengolah kayu bulat untuk dijual di industri kayu di Riau. (Foto oleh Nicholas Hosgood).

(22)

Luas rata-rata maksimum area yang dapat ditanami hingga 2002 mendekati 14.000 ha per tahun, dengan total luas area yang harus ditanam adalah 110.000 ha.

Manfaat ekonomi proyek konsesi RAPP untuk masyarakat Indonesia selama 44 tahun (1995- 2038) yang dihitung berdasarkan nilai awal tahun 1984 (Lampiran I.3) adalah:

= US$ 1,336,119,511

= US$ 556,385,589

= US$ 269,709,028

Biaya-biaya ekonomi pada tiga angka potongan adalah:

= US$ 3,547,376,172

= US$ 1,222,022,515

= US$ 495,253,977

Perkiraan rasio manfaat dan biaya untuk proyek ini masing-masing adalah 0,38, 0,46 dan 0,54.

Wira Karya Sakti di Jambi

Perusahaan perkebunan Wira Karya Sakti di Jambi memulai operasi penebangan tahun 1989 dengan melalui izin khusus untuk konversi lahan kecil sampai tahun 1996 setelah izin konsesinya dikantongi.

Alokasi akhir lahan adalah 203.449 ha yang tersebar di 4 kabupaten, dengan 60% dari area keseluruhannya terkonsentrasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Area kelola terdiri atas hutan bekas tebangan MHW dengan 70%nya adalah hutan-hutan rawa.

Permintaan awal industri kertas dan bubur kertas Lontar Papyrus adalah sekitar 2 juta m3

kayu untuk bubur kertas per tahun pada tahun 1994, dan meningkat menjadi lebih dari 3 juta m3 dalam tahun 2003.

Jumlah area yang tersedia untuk dikonversi seluruhnya hampir 161.000 ha. Sementara 43.000 ha (21% dari area konsesi) terdiri atas pemukiman, kebun dan area konservasi.

Rata-rata maksimum area yang ditanami sejak 1992 hingga 2003 adalah kurang lebih 13.000 ha per tahun, dengan keseluruhan area yang ditanami kira-kira 96.000 ha.

Manfaat-manfaat ekonomi proyek konsesi WKS untuk periode konsesi selama 45 tahun (1994-2038) telah dihitung berdasarkan nilai tahun 1984 (dalam dolar AS) adalah (lihat Lampiran I.4:

(23)

14 Julia Maturana = US$1,106,100,135 = US$426,455,511 = US$196,769,551

Biaya-biaya ekonomi pada tiga angka potongan adalah:

= US$2,257,196,475

= US$780,475,981 = US$319,480,269

Rasio manfaat dan biaya untuk proyek ini masing-masing adalah 0,49, 0,55 and 0,62. Musi Hutan Persada di Sumatera Selatan Perusahaan Musi Hutan Persada di Sumatera Selatan memulai perkebunannya sejak 1991 dan mendapatkan hak konsesi dengan luas total area 296.400 ha dalam tahun 1996.

Area mereka tersebar di lebih dari 5 kabupaten, dengan lebih dari 50% terkonsentrasi di Kabupaten Muara Enim. Kawasan tersebut 50%nya merupakan semak belukar dan 50% lainnya adalah padang rumput.

Dalam tahun 1999, perusahaan perkebunan mulai mensuplai industri bubur kertas Tanjung Enim Lestari yang pertahunnya membutuhkan 2 juta m3 kayu untuk bubur kertas. Kebutuhan

industri tersebut telah meningkat mencapai 4,5 juta m3 per tahun pada tahun 2003.

Hampir 32% konsesinya terdiri atas kebun, pemukiman dan area konservasi. Dari 68% yang tersisa, dengan memperhitungkan area padang rumput, sejumlah 100.000 ha memungkinkan untuk ditebang dan dikonversi dengan tingkat produktivitas yang rendah, yaitu 20,3 m3/ha

(angka produksi ini telah dihitung dengan menggunakan rata-rata tambahan volume untuk hutan Indonesia yang dikutip oleh Simangunsong (2003) dan dalam periode 10 tahun).

Rata-rata area yang ditanami adalah 24.000 ha per tahun, dengan total area yang

ditanami 193.500 ha sejak 1991 hingga 1998 (termasuk area yang disulam).

Manfaat-manfaat ekonomi dari proyek konsesi MHP bagi masyarakat (dolar AS) selama 41 tahun (1998-2038) dan dihitung sejak 1984, nilainya adalah (Annex I.5):

= US$1,789,920,969

= US$594,828,448

= US$232,016,988

Biaya-biaya ekonomi pada tiga angka potongan adalah

= US$770,295,134

= US$271,596,775

= US$112,471,049

Rasio manfaat dan biaya yang diperkirakan untuk proyek ini adalah masing masing 2,32, 2,19 dan 2,06.

Keseluruhan Manfaat dan Biaya

Ekonomi bagi Negara

Dampak-dampak keseluruhan dari alokasi lebih dari 1,4 juta ha lahan negara untuk lima perusahaan perkebunan untuk keperluan produksi bubur kertas adalah negatif (Tabel 1 dan Gambar 6). Biaya-biaya ekonomi lebih tinggi dibandingkan manfaat-manfaat ekonomi yang terkait.

Manfaat-manfaat ekonomi dari proyek ini, terkait dengan produksi hampir 554 juta m3 kayu, dinilai pada harga 1984 dengan tiga

angka potongan yang berbeda (12%, 8% dan 4% per-tahun) menghasilkan 1,2 triliun dolar AS hingga 6,7 triliun dolar AS. Biaya-biaya ekonomi dengan konversi hampir 815.000 ha hutan bekas tebangan, pinus dan yang sudah terdegradasi secara besar adalah berkisar antara 1,7 triliun dolar AS hingga 11,1 triliun dolar AS.

Tabel 1. Biaya dan manfaat ekonomi (dalam juta dolar AS) untuk setiap perusahaan perkebunan

dan secara keseluruhan (skenario stabil).

Disk. TPL AA RAPP WKS MHP Keseluruhan

EB EC EB EC EB EC EB EC EB EC EB EC EB/EC 12% 138 264 399 534 270 495 197 319 232 112 1.235,036 861 1,725,073 984 0,72 8% 242 557 794 1.169 556 1.222 426 780 595 272 2.613,214 717 4,000,668 752 0,65 4% 512 1.399 1.936 3.170 1.336 3.547 1.106 2.257 1.790 770 6.679,567 076 11,143,623 738 0,60

(24)

Hutan alam yang baru saja ditebang dan ditanami dengan akasia (Acacia sp.) di Sumatera(Foto oleh Julia Maturana)

Gambar 6. (A) Pasar kayu untuk bubur kertas, and (B) Pasar hutan yang dimiliki oleh negara

(hipotesa)

Kunci: lihat Gambar 2,3,4,5.

(25)

16 Julia Maturana

PEMBAHASAN

Manfaat-manfaat ekonomi

Manfaat-manfaat ekonomi dihitung dengan menggunakan volume kayu untuk bubur kertas (m3) yang dihasilkan per tahun dari setiap

periode konsesi. Volume tersebut dihitung dengan menambahkan jumlah kayu tebangan (dari sumber yang ada) dan yang dipanen (dari perkebunan) yang ada setiap tahunnya. Termasuk juga yang diperhitungkan (untuk daerah-daerah tertentu) adalah volume saat ini dari hutan bekas tebangan, persentase area hutan, persentase area yang saat ini digunakan, nilai tengah pertumbuhan tahunan (MAI), angka kematian pohon, faktor konversi dan kebutuhan-kebutuhan industri.

Harga yang digunakan dalam menilai kayu untuk bubur kertas ini adalah harga pasar dari produk tersebut saat terjual di pasar terbuka. Harga tersebut didapatkan melalui informasi dari pembeli-pembeli kayu untuk bubur kertas di Sumatera (bukan dari perusahaan perkebunan terkait). Daripada membuat asumsi-asumsi bagaimana perilaku harga kayu untuk bubur kertas di masa mendatang, harga pasti sejumlah 40 dolar AS per m3 digunakan untuk menentukan

manfaat-manfaat ekonomi setiap tahunnya dari setiap perusahaan. Bergantung kepada harga sebenarnya setiap tahun; apakah lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang digunakan disini, harga tersebut akan meningkatkan atau mengurangi jumlah keseluruhan manfaat ekonomi dari proyek-proyek ini kepada negara. Mempertahankan harga tetap akan memberikan nilai yang melebihi atau di bawah perkiraan manfaat ekonomi sebenarnya, tetapi hal ini tidak memiliki relevansi dengan sasaran untuk membandingkan antar perusahaan perkebunan.

Dengan menggunakan harga pasar yang sebenarnya, dan bukan dengan harga yang sebenarnya dibayarkan oleh industri bubur kertas yang terkait dengan perusahaan, diperoleh nilai ekonomi dari produk ini untuk masyarakat Indonesia. Sehingga harga pasar yang sebenarnya merupakan harga yang tepat untuk digunakan bagi penilaian sumberdaya tersebut. Menggunakan harga “yang dibayarkan” akan secara serius merendahkan manfaat-manfaat dari proyek tersebut bagi negara.

Angka-angka potongan 4%, 8% dan 12 % telah digunakan untuk menghitung nilai tahun

ke-0 dari keseluruhan manfaat ekonomi proyek tersebut. Angka-angka tersebut meliputi sejumlah angka-angka yang digunakan dalam studi sebelumnya (Shyamsudar dan Kramer 1996; Kremen dkk. 2000; Ferraro 2002; Beukering dkk. 2003; Simangungsong 2003) yang melihat penilaian sumberdaya hutan dan lahan di Indonesia serta negara-negara lain yang memiliki pendapatan rendah11.

Peningkatan-peningkatan angka potongan (dari 4% menjadi 8% dan 12%) mengurangi nilai dasar tahunan dari manfaat ekonomi yang dihitung.

Penurunan MAI dari perkebunan kayu dan faktor daya tahan pohon (persentase dari pohon yang bertahan hingga masa panen) tidak dihitung pada rotasi-rotasi selanjutnya. Sebaliknya MAI yang digunakan (informasi perusahaan) meningkat seiring dengan waktu untuk mencapai hasil MAI maksimum yang diharapkan, yang tetap konstan hingga akhir periode yang dipertimbangkan. Dengan melihat kenyataan bahwa sangat diragukan keuntungan tidak akan menurun selama periode rotasi selanjutnya (SAM 2004), manfaat ekonomi yang dihitung di sini akan berada pada nilai tertinggi atau kelebihan nilai.

M a n f a a t - m a n f a a t t a m b a h a n d a r i proyek-proyek tersebut yang terkait dengan perlindungan kawasan konservasi diantara kawasan konsesi, tidak dihitung di sini. Tidak satupun dari lima perusahaan tersebut yang diketahui melaksanakan perlindungan kawasan konservasi dari penebangan liar atau tujuan-tujuan lainnya. Malahan beberapa dari perusahaan perkebunan tersebut telah dituduh oleh LSM dan pengamat lainnya sebagai yang mendorong pembalakan liar di area tersebut untuk keuntungan sendiri.

Kemungkinan manfaat dari penanaman pohon juga tidak dihitung. Sebagian besar area perusahaan untuk pengembangan perkebunan merupakan konversi dari hutan alam yang akhirnya menyebabkan manfaat ekonomi berada di bawah biaya-biaya ekonomi dari penebangan hutan. Di lain pihak, konversi padang rumput menjadi perkebunan kayu juga tidak selamanya bermanfaat secara ekonomi; padang rumput berperan menahan hilangnya karbon dan juga penting bagi konservasi tanah, kedua fungsi tersebut hilang dan rusak selama proses perkebunan (WRM 2000, 2003;

(26)

Cossalter dan Pye-Smith 2003). Periode rotasi dari perkebunan tanaman yang diperhitungkan juga masih terlalu pendek (7-8 tahun) untuk menangkap manfaat yang terkait dengan berkembangnya tanaman; tidak adanya kayu bakar atau produksi hasil hutan non-kayu yang bisa didapatkan dari perkebunan; air dan tanah yang akan lebih rusak dengan adanya peralatan-peralatan berat, pemupukan dan pemberian pestisida dan teknik pengeringan (area rawa) selamanya; karbon yang dilepaskan pada saat konversi pertama dan saat konversi selanjutnya dalam kawasan tersebut, tidak hanya berakibat pengurangan kemampuan ekosistem dalam memperbaiki CO2, akan tetapi

juga mempengaruhi kapasitas penyerapan (WRM 2000); dan tidak diperolehnya nilai pilihan atau nilai eksistensi.

Biaya-biaya ekonomi

Biaya-biaya ekonomi dihitung menggunakan nilai ekonomi keseluruhan (TEV) dari hutan bekas tebangan dan total area yang ditebang oleh masing-masing perusahaan setiap tahunnya. TEV telah dihitung oleh Simangunsong (2003) dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang

berhubungan dengan kayu, kayu bakar dan produk hutan non kayu; konsumsi air; konservasi tanah dan air, hilangnya karbon, perlindungan dari banjir dan fungsi transportasi air; nilai pilihan dan nilai eksistensi. Kesemuanya nilai tersebut dianggap tetap ada sebagai karakteristik hutan bekas tebangan yang diberikan bagi konsesi dan akan hilang dengan konsesi, penebangan dan konversi area-area tersebut.

Jumlah fungsi-fungsi yang dimasukkan dalam perkiraan TEV adalah sangat jauh di bawah jumlah keseluruhan fungsi yang diberikan atau disediakan oleh hutan. Terdapat tidak kurang dari 23 fungsi-fungsi hutan yang tetap dipertahankan oleh area hutan yang sudah ditebang ini (Petrick dan Quinn 1994; Groot dkk. 2002; Rose dan Chapman 2003), dan hanya beberapa yang dimasukkan dalam perkiraan TEV oleh Simangunsong (2003). Sebagai tambahan, TEV yang dihitung dalam fungsi-fungsi tersebut, sangat konservatif dibandingkan dengan TEV pada area lainnya. TEV yang diperkirakan oleh Simangunsong (2003) untuk hutan primer di Indonesia, yang digunakan sebagai referensi untuk turunan dari TEV pada kawasan bekas tebangan lainnya, nilainya di bawah beberapa

Hutan-hutan alam yang diberikan kepada konsesi pengembangan perkebunan HTI di Sumatera. (Foto oleh Julia Maturana)

(27)

18 Julia Maturana

TEV yang telah dihitung untuk fungsi-fungsi yang sama pada area lain (sebagai contoh, Aylward dkk. 1995; Norton-Griffi ths dan Southey 1995; Reyes dkk. 2002; Pearce dkk. 2003; Beukering dkk. 2003).

Hal di atas memperlihatkan bahwa biaya-biaya ekonomi yang dihitung pada lima perusahaan dalam analisa ini adalah rendah. Sedangkan apabila menggunakan TEV lain sebagai referensi, akan lebih mempertinggi biaya-biaya ekonomi dari proyek-proyek tersebut.

Di lain pihak, biaya-biaya ekonomi dihitung dengan hanya menggunakan area yang ditebang oleh perusahaan (jumlah dalam ha) tanpa memasukkan padang rumput, kebun dan pemukiman, termasuk kawasan yang secara hukum harus tetap dipertahankan sebagai hutan konservasi. Pengurangan-pengurangan tersebut akan menjadikan penilaian menjadi sekitar setengah dari lahan negara yang diberikan sebagai konsesi untuk proyek-proyek ini. Dengan memasukkan area padang rumput dan memberinya penilaian dengan harga positif, akan menghasilkan biaya-biaya ekonomi yang besar dari proyek ini. Utamanya bagi MHP di Sumatera Selatan.Nilai dari area padang rumput diantaranya terkait dengan fungsi pengurangan karbon dan penggunaan untuk pertanian, (WRM 2003).

Pekerja dan alokasi keuangan juga merupakan input penting (biaya-biaya) yang dibutuhkan dalam pengembangan proyek-proyek perkebunan. Pekerja yang dibutuhkan dalam proyek ini hanya dihitung sebagai biaya ekonomi jika dinilai sebagai sumberdaya yang langka dalam suatu negara. Dengan jumlah pekerja yang melimpah di Indonesia dan bahwa pekerja tidak dipindakan dari aktivitas produktif lainnya, maka pekerja bukan merupakan biaya bagi masyarakat. Pekerja juga tidak bisa disebut sebagai manfaat ekonomi.

Proyek-proyek tersebut tidak menghasilkan buruh, namun menghasilkan pekerjaan sehingga masyarakat hanya berganti dari aktivitas ekonomi sebelumnya (tidak harus sebagai pegawai). Hal tersebut hanya merupakan suatu perubahan dalam ekonomi, sehingga tidak dihitung sebagai manfaat ekonomi. Jumlah keuangan yang dibutuhkan dalam membangun proyek ini juga menggambarkan perubahan dalam ekonomi dan tidak dihitung per bagian. Namun dihitung secara tidak

langsung sebagai dampak ekonomi dari proyek-proyek tersebut.

Membandingkan Kelima Proyek

Perkebunan

Rasio-rasio manfaat-biaya dari semua proyek-proyek, kecuali MHP, mendekati kesamaan dengan menggunakan nilai pemotongan lebih besar. Nilai pemotongan lebih besar secara tidak langsung merupakan penilaian lebih tinggi terhadap manfaat-manfaat yang dirasakan saat ini dan penilaian lebih rendah terhadap manfaat-manfaat di masa mendatang. Perilaku dari rasio manfaat-biaya dapat dijelaskan dengan manfaat-manfaat yang cenderung turun setiap saat, sementara biaya-biaya terus meningkat. Namun ketika keduanya meningkat, peningkatan biaya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan manfaat. Semua perusahaan dengan analisa ini menunjukkan penampilan yang buruk menurut istilah ekonomi kecuali MHP. TPL adalah perusahaan dengan kinerja yang terburuk.

Perusahaan perkebunan TPL menyebabkan kerugian besar secara ekonomi bagi masyarakat Indonesia dengan biaya-biaya ekonomi yeng hampir mencapai tiga kali dari manfaat-manfaat ekonomi yang dihasilkan dengan nilai pemotongan ter-rendah (4%). Biaya-biaya ekonomi untuk proyek ini kira-kira setengah atau sepertiga dari biaya-biaya perusahaan lain (kecuali MHP). Akan tetapi, tidak seperti perusahaan lainnya, TPL meberikan manfaat-manfaat ekonomi sangat kecil bagi negara, dan merupakan yang ter-rendah di antara 5 perusahaan yang juga dianalisa. Penjelasan untuk sangat rendahnya manfaat-manfaat ekonomi TPL dapat dijelaskan dengan ukuran area yang ditanami: dimana perusahaan ini memunculkan biaya dari menebang dan menggunakan lebih dari 80.000 ha lahan, sementara menghasilkan manfaat-manfaat produksi dari area tanam yang kurang dari setengahnya. Hal inilah yang memberikan efek langsung terhadap manfaat yang berhubungan dengan produksi. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa area yang ditanam setiap tahunnya (mulai 2004 hingga seterusnya) dipakai dalam analisa ini sebagai rata-rata maksimum area yang ditanam sampai tahun 2003. Perkiraan-perkiraan ini menggunakan data-data aktual untuk perusahaan dengan asumsi bahwa

(28)

perusahaan akan melaksanakannya (dalam waktu dekat) sama seperti yang dilakukan hingga 2003.

RAPP, WKS dan AA memiliki biaya-biaya ekonomi (berurut) 2,65, 2,04 dan 1,64 kali dari manfaat-manfaat ekonomi (Tabel 1). Perbedaan tersebut utamanya disebabkan oleh perbedaan ukuran area yang ditebang dibandingkan dengan ukuran area yang ditanam.

Satu-satunya perusahaan yang memberikan pengembalian manfaat positif bagi negara adalah MHP, dengan manfaat ekonomi dua kali dibanding biaya-biaya ekonomi mereka. Perusahaan ini adalah kedua terbesar yang memberikan manfaat-manfaat ekonomi dengan mengasilkan 1,7 triliun dolar AS untuk negara (dengan angka pemotongan terendah) dan biaya-biaya ekonomi terendah (setengan atau sepertiga dibandingkan dengan perusahaan lain). Hal yang mendasari rendahnya biaya-biaya ekonomi tersebut (setengah atau sepertiga) adalah perbedaan dalam cakupan alam yang dialokasikan untuk konsesi bagi perusahaan ini. Perusahaan-perusahaan lain mendapatkan mendapatkan konsesi-konsesi pada area yang luasannya terdiri atas area bekas tebang, hutan rawa dan pinus. Sedangkan MHP setengahnya merupakan padang rumput, dan setengahnya lagi merupakan hutan-hutan yang terdegradasi. Apabila menggunakan TEV untuk penilaian area dalam analisa ini, maka konversi padang rumput tidak diikuti oleh biaya-biaya ekonomi dan hutan-hutan yang terdegradasi luas di Sumatera Selatan penilaian biaya-biaya ekonominya adalah kira-kira setengah dibandingkan dengan hutan-hutan tebangan dan hutan pinus dari perusahaan-perusahaan lainnya. Nilai yang melekat kepada kayu sebagai produk yang bisa didapatkan dari area ini tidak dipertimbangkan, demikian pula nilai pilihan atau nilai eksistensi, nilai pengurangan karbon juga berkurang setengah. Namun perusahaan ini telah menunjukkan kinerja terbaik dalam kaitan dengan area yang ditanam, yang akan memberikan efek kepada volume dari kayu untuk bubuk kertas yang dihasilkan dan selanjutnya kepada manfaat-manfat ekonomi.

Data dan asumsi-asumsi

Area yang ditanam setiap tahunnya merupakan data aktual hingga 2003 dan telah diperoleh dari masing-masing perusahaan perkebunan. Untuk 2004 ke depan, digunakanrata-rata maksimum dari periode sebelumnya.

Faktor-faktor lain seperti nilai tengah kenaikan per tahun (MAI), rasio bertahan tumbuh dan rasio konversi, juga disiapkan oleh masing-masing perusahaan perkebunan. Kapasitas produksi yang merupakan kapasitas terpasang secara aktual untuk industri terkait hingga 2003 tetap stabil sejak tahun tersebut kedepan. Kecuali untuk WKS yang telah menghitung peningkatan 50.000 ton bubur kertas mulai 2007 ke depan. Hal ini didasarkan bahwa Lontar Papyrus (industri kayu yang terkait dengan WKS) telah memiliki rencana untuk meningkatkan kapasitas terpasangnya. Semua industri dianggap berjalan dengan 98% dari kapasitas terpasang.

Area yang memungkinkan untuk ditebang telah dihitung dengan tidak memasukkan area yang dipertimbangkan untuk konservasi, pemukiman dan kebun. Informasi ini juga diperoleh dari setiap perusahaan-perusahaan perkebunan. Nilai tengah produksi kayu (MWP) dari hutan-hutan yang telah ditebang di Riau dan Jambi diperkirakan adalah 75 m3/ha untuk

lahan tandus dan 150 m3/ha untuk area rawa;

sedang di Sumatera Utara MWP-nya adalah 91,5 m3/ha untuk MHW, dan 200 m3/ha untuk

hutan pinus yang telah digunakan. Sedangkan di Sumatera Selatan diperkirakan menghasilkan rata-rata 20m3/ha. Nilai-nilai tersebut adalah

berdasarkan apa yang disampaikan oleh perusahaan-perusahaan tersebut mengenai MWP aktual mereka dengan mempertimbangkan persediaan area hutan yang telah ditebang di Indonesia (Simangunsong, 2003).

Mengubah asumsi bahwa perusahaan perkebunan menyesuaikan kebutuhan industri dengan kayu-kayu alam menjadi asumsi bahwa perusahaan akan menggunakan kayu-kayu alam hanya jika mereka tidak memiliki persediaan kayu yang ditanam, tidak secara signifikan mengubah hasil. Rasio manfaat-biaya dari RAPP dan WKS tetap tidak berubah, dan untuk IIR dan AA meningkat namun tetap dibawah 1. Pada skenario keseluruhan, rasio manfaat-biaya berubah dari 0,60 menjadi 0,61, dari 0,65 menjadi 0,67 dan dari 0,72 menjadi 0,74 dengan masing-masing nilai pemotongan 4%, 8% dan 12% (Tabel 2).

Skenario-skenario

Skenario optimis menggambarkan kondisi terbaik bagi perusahaan dalam jumlah keseluruhan area yang ditanam dan peningkatan secara berkelanjutan 1% dari harga bubur kertas setiap tahunnya. Dalam kasus ini area yang ditanam oleh masing-masing perusahaan

(29)

20 Julia Maturana

Tabel 3. Biaya dan manfaat ekonomi (dalam juta dolar AS) untuk setiap perusahaan perkebunan

dan secara keseluruhan untuk tiga skenario yang dipertimbangkan.

Skenario Disk. TPL AA RAPP WKS MHP Keseluruhan

EB EC EB EC EB EC EB EC EB EC EB EC EB/EC Stabil 12% 138 264 399 534 270 495 197 319 232 112 1.235,036 861 1.725,073 984 0,72 8% 242 557 794 1.169 556 1.222 426 780 595 272 2.613,214 717 4.000,668 752 0,65 4% 512 1.399 1.936 3.170 1.336 3.547 1.106 2.257 1.790 770 6.679,567 076 11.143,623 738 0,60 Optimis 12% 142 264 429 534 294 495 217 319 245 112 1.326,588 068 1.725,073 984 0,77 8% 257 557 911 1.169 657 1.222 504 780 642 272 2.971,307 534 4.000,668 752 0,74 4% 576 1.399 2.458 3.170 1.801 3.547 1.451 2.257 1.997 770 8.283,775 346 11.143,623 738 0,74 Pesimis 12% 135 264 385 534 262 495 189 319 219 112 1.190,583 662 1.725,073 984 0,69 8% 230 557 743 1.169 525 1.222 395 780 548 272 2.440,170 123 4.000,668 752 0,61 4% 462 1.399 1.701 3.170 1.189 3.547 959 2.257 1.582 770 5.893,782 108 11.143,623 738 0,53

mencapai maksimun “memungkinkan untuk di tanam” hingga 2010, setelah peningkatan yang berkelanjutan hingga 10% pertahun. Area yang mungkin untuk ditanam berhubungan dengan lahan tandus dan rawa air tawar, tidak termasuk area yang dialokasikan untuk kepentingan konservasi, pemukiman, kebun dan infrastruktur12. Hal ini berarti

perusahaan-perusahaan akan menyelesaikan seluruh klaim-klaim (isu konfl ik) di area mereka, yang pada tahun 1993 berjumlah 95.000 ha (April, 2004; Maturana dkk.), dan menanami kawasan tersebut dengan tanaman untuk tujuan menghasilkan bubur kertas. Ini juga berarti bahwa perusahaan melakukan sesuatu yang sebelumnya sangat diragukan, misalnya perusahaan mampu dan berkeinginan kuat untuk mengembangkan tanamannya pada lebih dari 100% area rawa, yang terbukti sulit, berbiaya tinggi dan sangat mudah terbakar. Walau dengan skenario ini, manfaat ekonomi meningkat, negara tetap saja merugi (Tabel 3). Artinya, walaupun dalam situasi terbaik dimana perusahaan-perusahaan mampu secara maksimal menanam semua

kawasan yang dimungkinkan, tetap saja proyek-proyek tersebut menghasilkan kerugian bersih bagi negara.

Skenario ini juga menunjukkan bahwa dua perusahaan, yaitu AA dan RAPP, tidak mampu mempertahankan kebutuhan industri mereka sendiri dengan tanaman yang mereka tanam, masing-masing hanya 57% dan 45%. Sedangkan sisa kebutuhannya akan dipenuhi oleh tanaman yang berasal dari luar area konsesi mereka (seperti yang mereka sampaikan), mengkonversi area diluar kawasan mereka akan terkait dengan biaya-biaya ekonomi, berakibat kepada tingginya biaya-biaya ekonomi bagi negara.

Skenario pesimis menghitung manfaat-manfaat ekonomi dan biaya-biaya proyek tersebut untuk pengurangan harga kayu secara konstan (dari 40 dolar AS per m3 menjadi 26

dolar AS per m3) dan pengurangan 1% dari

area yang ditanam setiap tahunnya, dengan menggunakan rata-rata maksimum area yang ditanam oleh-masing masing perusahaan. Dalam skenario ini manfaat-manfaat dikurangi (Tabel 3).

Tabel 2. Biaya dan manfaat ekonomi (dalam juta dolar AS) untuk setiap perusahaan perkebunan

dan secara keseluruhan dengan asumsi bahwa perusahaan akan memanen kayu yang ditanam kapan saja tersedia (skenario stabil).

Disk. TPL AA RAPP WKS MHP Keseluruhan

EB EC EB EC EB EC EB EC EB EC EB EC EB/EC 12% 134 226 398 507 270 495 197 319 232 109 1.230,870 429 1.656,083 301 0,74 8% 232 494 794 1.118 556 1.221 426 779 595 264 2.603,254 097 3.876,354 112 0,67 4% 486 1.305 1.936 3.071 1.336 3.546 1.106 2.254 1.790 748 6.653,918 102 10.923,962 008 0,61

(30)

KESIMPULAN

Studi ini menggunakan informasi khusus dan data yang terkait dengan setiap perusahaan yang dianalisis serta area konsesinya untuk memperlihatkan bahwa, alokasi 1,4 juta ha kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan tanaman industri, memperlihatkan adanya kerugian ekonomi bagi negara. Manfaat secara ekonomi yang dihasilkan dari peningkatan produksi bubur kertas, yang dihitung dengan menggunakan harga efi siensi 40 dolar AS per m3 kayu, jauh dibawah

biaya-biaya ekonomi yang dikeluarkan dalam rangka konversi lahan tersebut.

Menghitung hanya berdasarkan kepada manfaat-manfaat keuangan yang bisa dilihat akan menghasilkan persepsi dan juga keputusan-keputusan yang salah. Alokasi lahan-lahan hutan bekas tebangan untuk kepentingan pengembangan tanaman industri dapat terlihat sangat memberikan manfaat13 bagi negara,

apabila hanya menghitung manfaat-manfaat dan pembiayaan keuangan. Meskipun lahan hutan yang dialokasikan dianggap tidak menunjukkan manfaat yang bisa dilihat oleh pemerintah, proyek ini akan memberikan manfaat-manfaat langsung, termasuk pembayaran untuk konsesi dan konversi, perolehan investasi luar negeri dalam pengembangan industri bubur kertas, dan peningkatan produksi dan ekspor bubur kertas dan kertas. Kenyataannya, ketika biaya-biaya ekonomi dan manfaat ekonomi dihitung, kita dapat melihat bahwa proyek-proyek tersebut menghasilkan pembiayaan 1,67 kali dari manfaat-manfaat yang dihasilkan.

Empat dari lima proyek perkebunan yang telah dianalisa menghasilkan biaya-biaya ekonomi di atas manfaat ekonomi. Di antara kelimanya : AA adalah yang tertinggi rasio manfaat dan biayanya (0,61) diikuti oleh WKS (0,49) dan RAPP (0,38); sedangkan TPL adalah yang terendah (0,37). MHP di Sumatera Selatan adalah satu-satunya (dalam studi ini) yang memiliki rasio positif antara biaya dan manfaat ekonomi (2,32).

Pe m e r i n t a h I n d o n e s i a “ m e n j u a l ” sumberdaya hutannya kepada perusahaan perkebunan dengan harga dibawah nilai sebenarnya. Pembayaran-pembayaran yang diterima saat ini dari area yang digunakan dan konversi area bekas tebangan (PSDH, SPK dan DR) jauh dari apa yang digambarkan sebagai biaya-biaya ekonomi aktual dari

penggunaan sumberdaya tersebut. Biaya-biaya ekonomi yang diperkirakan mencapai 30 kali dari pembayaran keuangan yang diterima Pemerintah Indonesia dari setiap perusahaan (lihat biaya-biaya ekonomi saat in pada Lampiran I 1-15). Perusahaan perkebunan IIR seharusnya membayar lebih dari 92 juta dolar AS per tahun, bukannya sekitar 2 juta dolar AS seperti yang disebut sebagai biaya keuangan aktual yang dimintakan kepada perusahaan. AA dan RAPP seharusnya membayar 200 juta dolar AS dan 290 juta dolar AS per tahun dibandingkan 6 juta dolar AS dan 8 juta dolar AS yang mereka diminta untuk membayar. WKS seharusnya membayar 180 juta dolar AS dibandingkan 6 juta dolar AS yang mereka bayarkan, dan MHP seharusnya membayar hingga 67 juta dolar AS dan bukan 2 juta dolar AS seperti yang selama ini dikeluarkan.

Hanya MHP di Sumatera Selatan satu-satunya perusahaan dengan manfaat yang cukup besar yang dapat menanggung biaya-biaya yang harusnya dikeluarkan. Perusahaan ini mampu untuk membayar biaya-biaya ekonomi dan masih mampu untuk memproduksi lebih dari 98 juta dolar AS per tahun sebagai manfaat-manfaat ekonomi secara bersih. Alokasi hampir 300.000 ha pada lahan hutan yang terdegradasi secara besar dan padang rumput untuk konversi industri hutan tanaman di Sumatera Selatan tersebut,adalah satu-satunya dari lima perusahaan lain yang dipelajari, yang memiliki manfaat-manfaat untuk negara ini. Alokasi lebih dari 1 juta ha untuk tujuan yang sama pada lokasi lainnya merugikan negara.

Mengalokasikan area-area bekas tebangan di Riau, Jambi dan Sumatera Utara untuk konsesi menjadi perkebunan merupakan suatu kesalahan, dan masyarakat Indonesia akan mengalami kerugian lebih dari 3 triliun dolar AS (dengan 4 % potongan harga) sejak tahun 1984 hingga 2038. Karena biaya-biaya ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan manfaat ekonomi, perusahaan perkebunan yang mengalami defi sit ekonomi tidak akan mampu untuk membayar biaya actual mereka. Pilihan terbaik saat ini bagi negara adalah membiarkan perusahaan beroperasi untuk menghindarkan biaya-biaya operasi bersih yang lebih tinggi (karena biaya-biaya ekonomi akan tetap sama walaupun manfaatnya mencapai angka nol).

Referensi

Dokumen terkait

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam lumen saluran cerna yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum treitz , mulai dari

Learning Award adalah suatu sistem untuk memotivasi orang-orang yang memberikan sharing pengetahuan dan pengalaman kepada rekan kerja yang lain. Atas

z Pada masa kini, terdapat pelbagai aplikasi robot di dalam industri pembuatan /Manufactur.. di dalam industri

Senyawa oksida aurivillius hasil sintesis yang terbentuk dilakukan pengukuran sifat feroelektrik dengan menggunakan istrumen tipe RT66A Feroelektrik Sistem–Radiant

Untuk udara sebagai fluida kerja pendingin, diperlukan masukan data berupa: Temperatur udara sekitar 82,4 oF = 28 oC Ketinggian permukaan laut 1473,85 ft = 449,23 m Cp udara =

Standar ini meliputi ruang lingkup, acuan normatif, istilah dan definisi, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji, pengemasan dan penandaan

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta karuniaNya sehingga Penulis

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia ( Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang mewajibkan sertifikasi ISPO