• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina dan status sosial menpengaruhi respon individu betina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina dan status sosial menpengaruhi respon individu betina"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

i

RINGKASAN

Neneng Mardianah. Interaksi Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Betina dengan Individu Lain dan Hubungannya dengan Profil Metabolit Glukokortikoid Di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh Prof. Dr. drh Iman Supriatna, Dr. drh Muhammad Agil M. Sc, Agr dan Dr. Sri Suci Utami Atmoko.

Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) merupakan salah satu primata endemik yang berstatus endangered menurut IUCN dan berstatus Apendiks I menurut CITES. Penurunan populasi disebabkan perusakan dan penyusutan habitat serta penangkapan illegal. Penelitian orangutan telah banyak dilakukan terutama di hutan primer, namun masih sedikit mengenai perilaku sosial pada orangutan yang berada di hutan sekunder. Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) habitat orangutan yang termasuk dalam kategori hutan sekunder dan mengalami degradasi yang tinggi sehingga mudah sekali terbakar pada musim kemarau. Orangutan termasuk hewan frugivore dan sangat peka terhadap perubahan kondisi habitat. Perusakan habitat secara besar-besaran mempengaruhi perubahan perilaku sosial orangutan. Berkurannya daerah jelajah membuka peluang perjumpaan antar individu semakin besar, sedangkan orangutan memiliki sistem sosial semi soliter. Perilaku sosial pada orangutan hanya terlihat pada saat pengasuhan anak dan sosial reproduksi.

Pada satwa non-primata variasi kadar hormon stres sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti iklim, kehadiran individu lain, status reproduksi dan status sosial. Pada saat melakukan hubungan sosial reproduksi akan terjadi peningkatan interaksi dengan individu lain. Orangutan betina sangat mempertimbangkan status dari individu jantan yang menjadi pasangannya. Perbedaan morfologi jantan yang bersifat bimaturisem membuat persaingan antar jantan dewasa berpipi dan berpipi untuk mendapatkan individu betina reproduktif semakin tinggi. Hal tersebut dapat membuat individu betina dalam keadaan terancam. Ancama yang terus menerus akan melebihi batas akan menyebabkan stres. Stres merupakan respon fisiologi dari dalam tubuh untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan ataupun ancaman.

Metode pendeteksian kadar hormon stres dalam penelitian ini dengan cara non-invansif dengan menggunakan feses yang dikoleksi setiap pagi hari dengan menghomogenkan semua lapisan feses. Sedangkan metode pencatatan perilaku yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Focal Animal Sampling secara Instantaneous, setiap satu individu dalam satu periode pengamatan 5-10 hari. Pencatatan data sosial reproduksi dengan cara Ad Libitum Sampling. Pencatatan data reaksi individu betina terhadap long call yang didengar, ruang perjumpaan meliputi penggunaan interval jarak perjumpaan antara individu betina reproduktif dan non-reproduktif terhadap individu betina berkerabat, individu jantan dewasa tidak berpipi, individu jantan dewasa berpipi, dan jarak perjumpaan individu betina dalam hubungan berpasangan (consortship) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Adapun interval jarak yang digunakan <2m, 2-10m dan 10-50m dan pencatatan perilaku seksual kopulasi. Data perilaku tersebut dikorelasikan dengan kadar hormon glukokortikoid sebagai indikator hormon stres.

(2)

ii

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina dan status sosial menpengaruhi respon individu betina terhadap long call yang di dengar dan jarak perjumpaan dengan individu lain. Respon individu betina reproduktif nullipara dan non-reproduktif terhadap long call yang didengar dalam hubungan berpasangan memberikan respon abaikan Kondor (44,4%), Kerry (38,9%), Milo dan Mindy (5,7%). Sedangakan diluar hubungan berpasangan betina nullipara lebih memberikan respon positif terhadap long call Kondor (15,385) dan Milo (7,692%). Betina non reprodukti semua memberikan repon abaikan long call. Sebagian besar jarak perjumpaan yang terjadi antar individu betina non-reproduktif di 10-50m (84%), antar individu betina reproduktif di 2-10m (54,878%) dan antara individu reproduktif dengan non-reproduktif di 2-10m (41,176%). Individu betina non-reproduktif melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi umumnya dijarak 2-10m (69,293%) sedangkan individu betina non-reproduktif di 10-50m (33,155%). Perjumpaan antar individu betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi umumnya di 50m (38,357%) sementar individu betina non-reproduktif di 10-50m (48,951%). Selama hubungan berpasangan antara individu betina reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi cenderung berjarak 2-10m (66,457%), sementara individu betina non-reproduktif pada 10-50m (58,155%). Kopulasi antara betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi dengan persentase kopulasi pasif (50%) dan aktif 50%. Kopulasi antara betina nullipara dengan jantan dewasa tidak berpipi kopulasi pasif 75%, 25% aktif dan 25% pemaksaan. Kategori kopulasi antara betina non-reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan dewasa berpipi semua dalam bentuk pasif

Penelitian kedua mengenai hormon glukokortikoid merupakan salah satu indikator stres. Penelitian ini dilakukan pada individu betina dengan status reproduksi (reproduktif, nullipara dan non-reproduktif). Pengambilan sampel dilakukan selama 10 bulan dengan metode non-invansif, kemudian dilanjutkan dengan analisis sampel di laboratorium. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina mempengaruhi kadar hormon 11β-hydroxyetiocholanolone, yang terdeteksi setelah 48 jam di dalam feses orangutan. Pada saat pengamatan individu reproduktif (Jinak) melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Diketahui kadar hormon glukokortikoid Jinak pada saat tidak ada interaksi dengan individu lain 436,465 ng/g (n=2) dan setelah terjadi interaksi dengan jantan dewasa tidak berpipi kadar hormon glukokortikoid mengalami peningkatan menjadi 839,39 ng/g (n=2). Betina nullipara (Milo dan Kondor) Milo mengalami penutunan kadar hormon stres setelah interaksi dengan individu jantan tidak berpipi. Kadar hormon glukokortikoid sebelum interaksi 451,58 ng/g (n=6) dan sesudah party menjadi 408,83 ng/g (n=3). Berbeda dengan individu Kondor yaitu terjadi peningkatan kadar hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon sebelum interaksi 440,57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454,54 ng/g (n=33). Betina non-reproduktif yang melakukan interaksi dengan individu lain adalah Mindy, Kerry dan Juni. Kerry individu betina punya anak dengan umur anak 3 tahun memiliki kadar hormon glukokortikoid sebelum interaksi 291,87 ng/g (n=3) dan setelah interaksi meningkat menjadi 634,75 ng/g (n=5). Perjumpaan antara Juni dengan jantan dewasa tidak berpipi menyebabkan perubahan hormon glukokortikoid sebelum interaksi 267,70 ng/g (n=12) dan setelah interaksi

(3)

iii

mengalami peningkatan menjadi 347,50 ng/g (n=2). Mindy memiliki pola yang berbeda yaitu setelah terjadi interaksi jantan dewasa mengalami penurunan kadar hormon glukokortikoid, sebelum interaksi 470,53 ng/g (n=5) dan setelah interaksi mengalami penurunan 380,89 ng/g (n=3).

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa dengan metode non-invansif melalui feses dapat diketahui profil horon glukokortikoid sebagai indikator stres. Didapatkan bahwa 11β-hydroxyetiocholanolone merupakan hormon glukokortikoid yang ditemukan dalam feses orangutan. Kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa status reproduksi dan status sosial mempengaruhi interaksi dan interval jarak perjumpaan antar individu. Adanya korelasi antara interaksi dengan individu lain terhadap peningkatan kadar hormon glukokortikoid 11β-hydroxyetiocholanolone.

Kata kunci: Pongo pygmaeus wurmbii, glukokortikoid, feses, 11β -hydroxyetiocholanolone, consortship

(4)
(5)

iv  

SUMMARY

NENENG MARDIANAH. Interactions of female Orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii) with other individuals and Its relationship with Glucocorticoid Metabolite Profiles In Orangutans Research Station in Tuanan, Central Kalimantan. Supervised by IMAN SUPRIATNA, MUHAMMAD AGIL and SRI SUCI UTAMI ATMOKO.

Bornean Orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii) is one of the endemic primates the status of endangered according to the IUCN and was listed on Appendix I of CITES. Population declined caused by destruction, habitat decreased, and illegal arrests. The research of orangutans had been conducted mainly in primary forest, but still slightly research on of social behavior in orangutans located in secondary forest. Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) is the orangutans habitat were included in the category of secondary forest and having a degraded was quite high so that easier to fire during the dry season. Orangutans is a frugivore animals and highly sensitive to the changes of habitat conditions. Habitat destruction massively affects the changes of social behavior of orangutans. Reduced range area increase in the occasion encounter between individuals increasingly higher, whereas the orangutans are a semi-solitary social system. Social behavior of orangutans is only visible when the parenting and social reproduction.

The level of stress hormones in non-primate animals highly influenced by environmental factors such as climate, the presence of other individuals, reproductive status and social status. At the time of social relationships, there will be increase in reproductive interactions with other individuals. The female of orangutans very considerate of the individual status of the male, who became her partner. The differences of male bimaturism morphological making a competition increasingly higher between flanged adult males and unflanged to get a female reproductive. It will effects a female to feels threatened. The threats continuously, will effects of excessive stress. Stress is a physiological response of the body to adjust the environmental changes or threats.

The detection method of stress hormone levels in this study was to used a non-invansif with feces collected each morning by homogenising all the layers of feces. Furthermore, another method used was the method of recording behavior that is focal animal sampling which is done by instantaneous every single individual within 5-10 days of the observation period. The recording of social reproduction data was by ad libitum sampling. The recording of female individuals reactions data comprises the number of long call and chance encounter. Data of chance encounters comprises an encounter intervals between individual a female reproductive and non-reproductive with female individuals are related, individual of flanged adult males, individual of unflanged adult males. In addition, female individuals encounter distance data in the pairwise relations (consortship) with individual adult males males unflanged. The intervals used were <2m, 2-10m and 10-50m and recording of the sexual copulation behavior. Behavioral data were correlated with levels of glucocorticoid hormones as indicators of stress hormones.

(6)

v  

Based on observations it can be expressed that the difference of reproductive status and social status on the females individual affects the response female individuals towards the number of long call and distance encounter with another individual. The response of female reproductive nullipara and non-reproductive long call pairwise relations gives a respond to ignore Kondor (44.4%), Kerry (38.9%), Milo and Mindy (5.7%). Individual response of female reproductive nullipara and non-reproductive againts the number of long call in pairwise relations response to ignore Kondor (44.4%), Kerry (38.9%), Milo and Mindy (5.7%). Whereas beyond of the pairwise relations female nullipara responded positively to the long call Kondor (15.385) and Milo (7.692%). Of all the female non-reproductive gives a response to ignore the long call. Most of the encounter distance between female non-reproductive in a range 10-50m (84%), between the female reproductive at 2-10m (54.878%) and between female reproductive and non-reproductive at 2-10m (41.176%). Female reproductives doing an encounter, with unflanged adult males generally in the range 2-10m (69.293%), while female non-reproductive in a range 10-50m (33.155%). The encounter between female reproductive with flanged adult males generally at a distance of 10-50m with a percentage of 38.357% while the non-reproductive females with a distance of 10-50m at 48.951%. During the pairwise relations between individual female reproductive with unflanged adult male tends to within 2-10m with a percentage of 66.457%, while the females non-reproductive at a distance of 10-50m (58.155%). Copulation between female reproductive with flanged adult males by a passive copulation with a percentage (50%) and 50% for active. Copulation between female nullipara with unflanged adult male or flanged by a passive copulation 75%, 12,5% active and 12,5% for coercion. Category copulation between females non-reproductive to adult males or adult males flanged or unflanged all in the passive.

A second study of the glucocorticoid hormone which is one indicator of stress. The study was conducted on female individuals with a reproductive status there were a reproductive, nullipara and non-reproductive. Sampling was conducted during ten months with a non-invansif then proceed with the laboratory analysis. Based on the results of this study is known that individual differences in female reproductive status affects a level of the 11β-hydroxyetiocholanolone hormone, were detected after 48 hours in the orangutan feces. The individuals female reproductive (Jinak) doing an encounter with unflanged adult males. When there was no interaction with other individuals the levels of Glucocorticoid hormones of Jinak is 436.465 ng / g (n=2) and the levels of glucocorticoid hormone after interaction with adult males unflanged increased to 839.39 ng / g (n=2). In addition, there are two females individual nullipara who observed they are Milo and Kondor. The stress hormone levels of Milo decrease after interacting with individuals unflanged male. Glucocorticoid hormone levels before interaction was 451.58 ng / g (n=6) and after the party dropped to 408.83 ng / g (n=3). In contrast, in individuals Kondor there was an increase levels of glucocorticoid hormones after interaction, a levels hormone before interaction was 440.57 ng / g (n=9) and after the interaction increased to 454.54 ng / g (n=33). The individual female Non-reproductive which interact with other individuals are Mindy, Kerry and June. Kerry is female individuals who have children aged 3 years old and had a higher levels of glucocorticoid hormones before interaction

Referensi

Dokumen terkait

This research focuses on Tokyo’s peripheral areas, aiming to evaluate, in a comparative manner, urban design factors affecting liveability at the neighborhood scale in an upcoming

Hasil pengujian daya hambat Trichoderma terhadap patogen hawar daun bibit pinus melalui penentuan nilai penting daya hambat meng- hasilkan urut-urutan isolat dengan

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan tersebut.. Pengambilan

Sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus yang menghubungkan satu serat dengan serat lainnya yang merupakan bagian berharga dari sabut1. Pemanfaatan

Karakter bobot buah ciplukan per tanaman dengan komponen hasil seperti karakter jumlah bunga per cabang pada analisis korelasi genetik menunjukkan adanya hubungan

S-makin suur tanah sa*ahnya; s-makin s-dikit tamahan :u:uk untuk  makanan tanamannya. 'aktor utama k-suuran tanaman adaah k-suuran tanah. -suuran tanah t-rgantung