• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu produk untuk memenuhi kebutuhan sandang yang tertua dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Salah satu produk untuk memenuhi kebutuhan sandang yang tertua dan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Salah satu produk untuk memenuhi kebutuhan sandang yang tertua dan masih terus berkembang hingga saat ini yaitu tenun. Budaya menenun yang ada sekarang ini sebenarnya bukan hal yang baru muncul. Sejak ribuan tahun lalu manusia telah mengenal dan terus mengembangkan budaya menenun untuk membuat selembar kain. Berawal dari penggunaan kulit kayu dan kulit binatang sebagai penutup tubuhnya, kemudian manusia menggunakan serat tanaman dan bulu binatang untuk membuat benang yang kemudian dianyam atau ditenun (Marah, 1982-83: 1; Bowers, 2015: 3). Aktivitas menenun ini dikenal sejak 5000 tahun SM. Hal ini diketahui dari peradaban bangsa Mesir dan Mesotamia yang dikenal sebagai bangsa yang pertama kali mengembangkan teknologi pertenunan (Marah, 1982-83: 1).

Tenun dapat diartikan sebagai hasil dari proses menganyam benang-benang yang letaknya membujur (benang-benang lungsi) dan melintang (benang-benang pakan) menggunakan alat tenun (Marah, 1982-83: 2; Djoemana, 2000:8). Selain sebagai penutup tubuh, tenun juga merupakan suatu produk teknologi yang mempresentasikan kepercayaan masyarakat pendukungnya (Salamun et al. 2013:1; Haryono, 2002: 95), serta memiliki nilai budaya tersendiri. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki jenis kain tenun yang khas seperti Tenun Pandai Sikek (Minangkabau), Tenun Troso (Jepara), Kain Tapis (Lampung), Tenun

(2)

Baduy, Tenun Grising dan Tenun Endek (Bali) (Bustami, 2012: 3).

Teknologi pertenunan dapat diartikan sebagai keseluruhan sarana yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah tenun. Ini berarti termasuk juga dari proses pemilihan bahan produksi, teknik pengolahan, sampai menjadi barang jadi. Teknologi pertenunan cenderung konservatif, sehingga dapat menjadi data yang valid sebagai bukti tentang kontak budaya. Dalam merekonstruksi budaya, teknologi pertenunan yang ditemukan dalam satu lokasi pada masa yang sama dapat memberikan informasi mengenai adanya hubungan sosial dalam kelompok. Sementara kesamaan teknologi pertenunan yang digunakan oleh beberapa komunitas di tempat yang berbeda dapat memberi suatu dugaan tentang adanya kontak antar kelompok migrasi (Christou, 1997: 8-9).

Di Asia Tenggara, salah satu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya teknologi pertenunan pada masa prasejarah yaitu berupa temuan kumparan pemintal benang. Benda tersebut ditemukan di sejumlah situs di Thailand, (Cameron, 2011; Schauffler, 1976; Higham and Thosarat, 2012), Filipina (Yulo, 2015), Taiwan (Bellwood et al, 1995), Vietnam (Moore, t.t) dan India (Cameron, 2011).

Kumparan pemintal benang (spindle whorl) merupakan salah satu komponen dari teknologi tenun yang digunakan untuk menghasilkan benang tenun dari serat. Fungsi kumparan pemintal benang adalah sebagai pemberat yang dipasang pada batang pemintal (spindle rod), sehingga benang yang dipintal menjadi tegang dan membantu untuk menahan posisi serat agar tidak terlepas pada saat dipintal menjadi benang (lihat Gambar 2. 1) (Delahunt, 1996:10).

(3)

Kumparan pemintal benang dapat menjadi penanda keberadaan kain tenun dan memberikan bukti adanya budaya menenun di berbagai wilayah. Jenis kain tenun yang diproduksi dapat berbeda-beda di setiap wilayah. Masyarakat di Lembah Indus, Pakistan, adalah yang pertama kali memproduksi kain tenun katun. Cina, selain terkenal dengan kain sutranya yang halus, juga memproduksi permadani tenun dengan bahan wol dan katun. Pada saat perdagangan marak terjadi antara Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, Mediterania, Eropa Tengah, dan Asia Barat, kain tenun sutra dan tenun lainnya menjadi komoditas yang penting. Bersamaan dengan itu juga terjadi pertukaran budaya (Anonim, 2015: 141).

Budaya pertenunan di kawasan-kawasan di Asia Tenggara memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut dapat dilihat berdasarkan teknik pembuatan dan corak kain yang sudah dikenal sejak masa prasejarah (Yulo, 2015:4). Budaya menenun tersebut diduga sampai ke Indonesia melalui jalur perdagangan dari India, China, dan Asia Tenggara. Salah satu teknik menenun yang pertama dikenal oleh penenun di Indonesia adalah teknik ikat (Christie, 1998: 356). Teknik ini diperkirakan sebagai teknik menenun yang paling tua, yang diperkenalkan oleh imigran dari Dong-Son, Vietnam utara, antara abad ke-8 SM dan abad ke-22 SM (Dhamija, 2002: 10). Beberapa jenis tenun tradisional Nusantara yang ada saat ini masih tampak mempertahankan motif kuno yang mirip dengan motif tenun dari Budaya Dong-Son. Kesamaan teknik dan motif pada produk tenun yang ada di Indonesia dengan di Dong-Son memunculkan dugaan bahwa dikenalnya kebudayaan menenun di Indonesia bersamaan dengan menyebarnya kebudayaan

(4)

Dong-son (Marah, 1982-83: 1; Christou, 1997: 16).

Tenun memiliki bahan yang mudah rusak dan lapuk, sehingga sulit untuk menemukan sisa kain tenun dalam sebuah konteks arkeologi. Akan tetapi berbagai temuan arkeologis lainnya seperti tera serat kain di permukaan perkakas logam dari Situs Gunung Wingko di Yogyakarta, Melolo di Sumba Timur (Djoemana, 2000:4-5), dan Situs Pasir Angin (Anggraeni, 1999: 50, Tabel 2.8) menunjukkan bahwa aktivitas menenun sudah ada di hampir seluruh kepulauan di Indonesia sejak masa prasejarah ribuan tahun lalu. Selain pada perkakas logam, tera tenun juga muncul pada sejumlah fragmen gerabah dari beberapa situs di Indonesia dari masa bercocok tanam (Wurjantoro dan Haris, 1995: 4)

Memasuki masa sejarah, keberadaan aktivitas menenun dibuktikan dengan kumparan pemintal benang yang ditemukan bersama dengan sisa bangunan candi dan juga stupa di Situs Nakhon Pathom, Thailand dengan pertanggalan abad ke-8 dan 9 M (Higham and Thosarat, 2012), dan di Situs Sankisa, India (Rinete, 1880:38-146). Akan tetapi, perhatian terhadap bukti-bukti arkeologis tentang budaya menenun di Indonesia masih sebatas pada keberadaan kain tenun itu sendiri, dan belum memperhatikan tinggalan arkeologis berupa alat-alat yang digunakan dalam produksi tenun, seperti kumparan pemintal benang.

Budaya menenun di Indonesia pada masa sejarah diketahui dari prasasti, arca, dan relief pada beberapa candi. Beberapa kerajaan Hindhu telah mengenal jenis kain tenun yang disebut ragi yang diterjemahkan sebagai lurik. Prasasti dari Kerajaan Mataram Hindhu abad ke-9 M menyebut jenis kain lurik pakan malang. Prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur tahun 1033 M menyebut jenis kain lurik

(5)

tukuh watu. Dalam prasasti-prasasti lain dari abad ke-8 sampai abad ke-9 M,

disebutkan bahwa selain dipakai sebagai sebagai pakaian harian, kain tenun juga dihadirkan dalam upacara penetapan sima sebagai pasek-pasek, yaitu pemberian dari pemilik tanah sima kepada yang hadir dalam upacara sima (Martono et al. 1997/8: 2; Wurjantoro dan Haris, 1995: 12). Sejumlah prasasti lain juga menyebut adanya tukang tenun dan tukang celup kain, serta disebutkan pula jenis kain beraneka pola dan warna (Haryono, 2002: 95).

Dari masa yang lebih kemudian, yaitu masa Majapahit abad ke-14 M ditemukan umpak batu dengan relief seorang wanita yang sedang menenun dengan menggunakan alat tenun gendong (Djoemena, 2000: 4). Berbagai jenis kain dilaporkan telah menjadi salah satu komoditi yang diekspor oleh Majapahit. Dari masa ini ditemukan juga gerabah dan perunggu yang memiliki pola hias tenun (Efendi, 2014: 269). Figurin terakota yang memakai selendang tenun ditemukan di Trowulan, Jawa Timur yang diperkirakan berasal dari abad ke-15 M (lihat Gambar 1.1) (Djoemena, 2000: 11).

Benda serupa kumparan pemintal benang pernah ditemukan oleh Anggraeni dalam penelitiannya pada tahun 2013 di Sulawesi Barat pada konteks pemukiman dan kubur tempayan dari Masa Logam Awal (komunikasi pribadi, 2016). Di Museum Majapahit, juga terdapat sejumlah koleksi kumparan pemintal benang yang sudah dipisahkan dari benda-benda lain yang mirip (manik-manik dan bandul jala). Informasi yang dapat diketahui terkait temuan tersebut hanyalah lokasi temuan yaitu di Trowulan dan desa-desa di sekitarnya. Lokasi temuan tersebut secara umum berkaitan dengan konteks masa Kerajaan Majapahit (lihat

(6)

Gambar 3. 4).

Trowulan sejauh ini diinterpretasikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar dan terluas yang pernah ada di Indonesia yang berdiri dari abad ke-13 sampai dengan abad ke-15 M. Luas pemerintahannya meliputi seluruh kawasan Indonesia saat ini sampai ke Semenanjung Melayu (Rahardjo, et al, 2012: 153). Di kasawan ini ditemukan bukti sisa pemukiman dan sejumlah pusat peribadatan (Anwar, 2009: 36). Ditemukan juga mata uang kuno dari Cina, India, dan Campa, yang menunjukkan kedekatan kontak budaya dengan

Gambar 1. 1. Figurin wanita yang memakain kemban dan selendang tenun (Dok. Yusti Muslimawati. 2017)

(7)

bangsa lain melalui sektor perdagangan (Pinardi, dkk, 1997: 179-181; Oktaviana, 2004: 57-60). Komoditi lain yang diekspor oleh Majapahit selain hasil bumi adalah kain jenis sutra dan katun. Katun pada masa lalu dibuat dari benang kapas yang ditenun menggunakan alat tradisional. Penduduk Majapahit sendiri telah menanam kapas sebagaimana disebutkan dalam prasasti Biluluk dari abad ke-14 (Efendi, 2014: 266-269). Bahkan, tukang tenun menjadi salah satu profesi yang diakui pada masa itu. Pada saat rombongan betara Majapahit dalam perjalanan menuju Brunei, turut membawa 40 orang tukang, diantara juga tukang tenun (Wahsalfelah, 2014: 31).

Banyak referensi yang dapat dirujuk dalam mencari informasi mengenai majunya budaya pada masa Majapahit terutama di Kawasan Trowulan. Akan tetapi, belum ada yang secara khusus membahas mengenai alat produksi tenun meskipun sudah ditemukan informasi mengenai budaya menenun dalam prasasti dan catatan kuno seperti berita cina, serta bukti arkeologis berupa kumparan pemintal benang.

Selain temuan dari situs di Sulawesi Barat dan koleksi Museum Majapahit, keberadaan kumparan pemintal benang lain yang ada di Indonesia belum diketahui. Hasil penelitian ini, diharapkan akan membuka penelitian-penelitian lain terkait keberadaan kumparan pemintal benang di Indonesia.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan keseragaman budaya menenun di Asia Tenggara, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu:

(8)

(1) Bagaimana karakteristik dan tipe kumparan pemintal benang yang disimpan di Museum Majapahit?

(2) Bagaimana kumparan pemintal benang dapat menunjukkan teknologi pemintalan pada Masa Majapahit?

I.3. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menitikberatkan pada koleksi kumparan pemintal benang Koleksi Museum Majapahit, Mojokerto, Jawa Timur. Dari temuan-temuan tersebut kemudian dianalisis karakteristik dan tipologinya. Kumparan pemintal benang tenun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu komponen dalam alat pemintal benang yang biasanya dipasang pada bagian rod atau batang alat pemintal benang.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Museum Majapahit karena sejauh yang dapat diketahui, hanya tempat ini yang menyimpan koleksi kumparan pemintal benang. Sebagian besar koleksi di museum ini berasal dari Kawasan Trowulan dan sekitarnya yang berkaitan dengan konteks budaya Kerajaan Majapahit. Sejauh ini, belum banyak penelitian yang membahas teknologi menenun dari kerajaan terbesar tersebut.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan teknologi pemintalan benang dalam budaya pertenunan di Indonesia khususnya pada masa Kerajaan Majapahit. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka ruang penelitian baru yang lebih mendalam mengenai teknologi pertenunan terutama

(9)

mengenai alat-alat yang terkait dengan pembuatan tenun di Kawasan Trowulan dan sekitarnya pada kurun waktu abad ke-13 sampai dengan abad ke-15 M.

Teknologi yang berkembang pada suatu konteks budaya tertentu memiliki pengaruh bagi masyarakat pendukungnya. Dalam teknologi pertenunan, kumparan pemintal benang memiliki peran dalam menentukan jenis serat sebagai bahan dasar pembuat tenun. Dengan menguak teknologi pertenunan yang berkembang di daerah Trowulan dan sekitarnya, pengetahuan baru mengenai perkembangan budaya manusia pada masa Kerajaan Majapahit diharapkan akan lebih terbuka.

I.5. Tinjauan Pustaka

I.5.1 Budaya Menenun di Masa Majapahit

Sejumlah prasasti dari Masa Jawa Kuno yang menyebutkan tentang tenun dan alat tenun menjadi bukti bahwa masyarakat saat itu telah mengenal teknologi pertenunan, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Dhimanasrama dari Masa Pu Sindok. Prasasti tersebut menyebutkan beberapa pekerjaan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, diantara yaitu penenun kain jenis cadar dengan dibatasi tiga alat tenun. Berikut ini adalah kutipan prasasti tersebut yang telah diterjemahkan oleh Christie (1998: 732-733) dalam bahasa Inggris:

“... of all of those engaging in commerce (sambydwahdra), who reside in the holy sima, the number who are not to be subject to royal (2) tax collectors are as follows:... professional cadar-cloth

weavers to 3 cadar looms;…”

Terjemahan:

“…semua perdagangan (sambydwahdra), yang berada di daerah sima, jumlah (batasan) yang tidak dikenakan pajak kerajaan yaitu: … penenun cadar (batasnya) 3 alat tenun;…” (diterjemahkan

(10)

oleh penulis)

Pada Masa Majapahit, masyarakat telah memproduksi kain dengan teknik tenun ikat (Colles, 1975: 143; Yulo, 2015: 7), yaitu proses menenun benang-benang yang telah diberi warna dengan cara diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna sehingga corak akan muncul saat kain ditenun (Christie, 1998: 356; Susanto dalam Taqwa, 2015: 10). Teknik ini sudah dikenal sejak abad ke-9 M di Jawa (Christie, 1998: 356).

Kain pada Masa Majapahit menjadi salah satu komoditi perdagangan internasional dan juga sebagai hadiah yang dibawa utusan dari India dan Cina kepada Raja Jawa (Colles, 1975: 150). Kain tenun juga disebutkan dalam sejumlah prasasti diantara adalah dan Prasasti Tempuran (1381 S) dan Prasasti Kudadu (1216 S/ 1294 M). Prasasti Tempuran (1381 S) menceritakan tentang seorang pemuda yang jatuh hati pada seorang wanita. Pemuda tersebut ingin memberikan gibra pata hi yang berarti selendang/ kain tenun (Nugraha, 2012: 41-44; Susanto, 2009: 35-39). Dalam prasasti Prasasti Kudadu (1216 S), banyak menyebut kata wdihan yang berarti kain. Kutipan prasasti tersebut yaitu sebagai berikut:

“…tanta kaŋ samasanak °i kudadu pamūjā °i śrī mahārāja, ka 1, su 5, wḍihan sayuga, rakryān mahāmantri katrīṇi hinaturan pasĕk pagĕh su 1, ma 4, wḍihan sahlai sowaŋ, saŋ prāṇarāja, saŋ nayapati saŋ °āryyādikāra, saŋ °āryya wirarāja, hinaturan pasĕk pagĕh, su 1, ma 4, wḍihan sahlai sowaŋ, saŋ pamgĕt (t)irwan, saŋ pamgĕt pamwatan, saŋ pamgĕt °i jamb(i), rakryān duru kṛtanagara, mpuṅkwi padlĕgan, hinaturan pasĕk pagĕh, ma 1, wḍihan sahlai, kuneŋ gati nikaŋ samasanak °i kudadu, °an sampun dadi sīma lmaḥnya, piṇḍah °awaknyan dharmmaŋśa, maŋhatur-akĕn tan paŋrāga skar °i saŋ hyaŋ dharmma °i kleme, ma 2, ha 9 hayap rwaŋ wasakyan…”

(11)

Terjemahan:

“…tanta penduduk desa di Kudadu itu mempersembahkan kepada

Śrī Mahārāja, 1 kāti 5 sūwarṇa, kain sehelai, Rakryan Mahāmantrī bertiga masing-masing diberi persembahan uang 1 sūwarṇa 4 māsa dan kain sehelai [sū 1, mā 4 wdihan sahlai]. Sang Prāṇarāja, Sang Nayapati Sang Aryyâdhikara, Sang Āryya Wirarāja, masing-masing diberi persembahan uang 1 sūwarṇa 4 māsa dan kain sehelai [sū 1, mā 4 wḍihan sahlai]. Rakryān Ka(nu)ruhan, Rakryān Dmung, Rakryān Apatih masing-masing diberi persembahan uang 1 sūwarṇa dan kain sehelai [sū 1, wḍihan sahlai]. Sang Pamgĕt (T)irwan, Sang Pamgĕt Pamwatan, Sang Pamgĕt di Jamb(i), Rakryān Juru Kṛtanagara, pendeta di [mpungkwi] Padlĕgan, diberi persembahan uang 1 sūwarṇa dan kain sehelai [sū 1, wdihan

sahlai]. Samgĕt di Langa diberi persembahan 1 māsa dan kain

sehelai (mā 1 wḍihan sahlai]. Adapun tindakan penduduk di Kudadu, setelah tanahnya menjadi sīma, tidak lagi menjadi milik dari bangunan suci [dharmmângśa] mempersembahkan sesaji bunga [pangrāgaskar] kepada Sang Hyang Dharmma di Klĕme uang 2 māsa dan 9 hamat dua [rwang] wasakyan…”

Prasasti tersebut berisi tentang upacara penetapan tanah sima1 di Desa Kudadu. Dalam upacara tersebut, penduduk Desa Kudadu memberikan kain sebagai pasek-pasek atau hadiah kepada Raja dan pejabat lain yang hadir.

Tidak hanya memproduksi tenun sendiri, masyarakat Jawa kuno juga telah mengenal aktivitas membuat/ memintal benang. Hal tersebut disebutkan dalam prasasti Cunggrang II (851 M/ 929 S) sebagai berikut:

“...tan kanana de saŋ maṅilala dṛwya haji tluŋ tuha riŋ

sasāmbyawahara i sīma sa sima... yapwan pinikul dagaṅanya...

lawe bras. kasumbha. saprakara dol. pinikul. kalima bantal. ri

satuhan...”

(Wuryantoro dalam Saputri, 2017: 82)

Terjemahan:

1

Daerah sima merupakan daerah istimewa di masa Jawa Kuno. Sima berasal dari bahasa

sansekerta „Sĩman’ yang berarti batas. Dalam hal ini sebidang tanah yang dibatasi telah diubah

(12)

...yang tidak dikenai pajak oleh Sang Mangilala Dṛwya Haji (yaitu) tiga kelompok semua usaha yang dikenai pajak di sīma itu... Jika barang dagangannya dipikul (seperti)... penjual/pembuat benang, penjual beras, penjual kesumba, (dan) segala macam yang dijual (dengan) dipikul, (batasnya) lima bantalan setiap satu kelompok... (Wuryantoro. 2011: 300. Diedit oleh Saputri, 2017: 82)

Lawe dalam prasasti berbahasa Jawa Kuno berarti benang, tetapi

dalam konteks perdagangan, lawe diartikan sebagai pembuat atau penjual benang (Saputri, 2017: 82). Lebih dari itu, masyarakat juga telah mengenal teknik pewarnaan benang, dibuktikan dengan sejumlah istilah yang berkaitan dengan hal tersebut dalam prasasti Cunggrang II (Wuryantoro dalam Saputri, 2017: 77; Christie, 1998: 370):

“...kunoŋ ikaŋ miśra. mañĕmbul. mañawriŋ. maṅlaka. maṅapus. maṅapus. maṅubar...tribhagan dṛwya hajinya. saduman mare bhaṭāra. saduman mare saṅakmitan sīma. saduman mara i saŋ maṅilala dṛwya haji. muaŋ ikanaŋ masambyawahara...”

Terjemahan :

“...adapun pengrajin (seperti) pembuat pewarna hitam, pembuat kain tipis, pembuat pewarna merah, pembuat tali, pembuat tali, pembuat pewarna merah... hasil pajaknya dibagi tiga. Satu bagian untuk Bhaṭāra. Satu bagian untuk yang memelihara sīma. Satu bagian untuk petugas pemungut pajak...”

Sejumlah prasasti tersebut memberikan informasi mengenai aktivitas menenun, keberadaan tenun, dan aktivitas membuat (memintal) benang sebagai bahan tenun pada Masa Majapahit. Akan tetapi, bukti arkeologis mengenai aktivitas-aktivitas tersebut belum diteliti secara mendalam. Kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit yang diperoleh dari kawasan sekitarnya

(13)

merupakan salah satu bukti arkeologis mengenai teknologi pertenunan Majapahit yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

I.5.2. Pemintalan Benang dalam Produksi Kain Tenun

Pemintalan benang merupakan salah satu tahap dalam proses memproduksi kain tenun. Teknik pemintalan dan jenis serat yang dipilih akan menentukan tingkat kehalusan, kelenturan, panjang, dan kemuluran benang. Karakter benang tersebut akan menentukan kualitas tenun yang dibuat (Bowers, 2015: 13; Strand, 2010: 154-161; Sulam, 1998: 5).

Kekuatan benang dipengaruhi oleh panjang, kerataan, kekuatan, dan kehalusan serat. Serat yang semakin panjang, rata, kuat, dan halus, membuat benang semakin kuat. Mulur benang adalah perubahan panjang benang akibat tarikan. Benang dengan kemuluran rendah akan lebih mudah putus, tetapi jika terlalu tinggi akan menyulitkan pada saat ditenun menjadi kain. Kemuluran benang ditentukan oleh kemuluran bahan serat dan konstruksi dari benang. Kerataan benang ditentukan oleh kehalusan dan panjang serat, kehalusan benang, kerataan antihan dan banyaknya nep (kelompok-kelompok kecil serat yang kusut). Semakin halus dan panjang serat, serta ratanya antihan, membuat benang yang dihasilkan semakin rata. Jumlah antihan atau pintalan juga menentukan kekuatan benang. Jumlah optimum antihan berbeda-beda tergantung jenis benang yang akan dibuat (Sulam, 2008: 17-19).

Jenis serat dapat memberikan informasi mengenai iklim (Dhamija, 2002: 8) dan tempat asal serat (Strand, 2010: 150-162). Jenis serat juga berkorelasi dengan kumparan pemintal benang yang digunakan (Foster, 2009: 246). Selain

(14)

memiliki peran dalam menentukan kualitas benang dan tenun yang dihasilkan, kumparan pemintal benang dan tipenya juga dapat menunjukkan perkembangan budaya pertenunan yang mungkin berbeda dengan tempat lain (Strand, 2010: 150-162).

1.5.3. Peralatan Tenun

Alat tenun pada umumnya terbuat bahan kayu dan bambu, sehingga sulit ditemukan sisanya dalam konteks arkeologi. Komponen yang mungkin ditemukan hanyalah pemberat alat tenun (loomweight dan gagang logam pada alat tenun yang disebut warp-weighted loom (lihat Gambar 1.1). Alat tenun semacam itu pernah ditemukan di Situs Coppergate, Inggris. Gagang logam dalam kaitannya dengan alat tersebut digunakan untuk membuka benang lungsi secara selang-seling, sehingga benang pakan dapat masuk di sela-selanya, sedangkan pemberat alat tenun digunakan untuk memberi beban pada benang lungsi dalam posisi vertikal agar benang tidak bergeser (Rogers, 1997: 1750-1754; lihat Gambar 1.2). Pemberat alat tenun memiliki karakter bentuk serupa kumparan pemintal benang, namun ukurannya jauh lebih besar dan berat. Menurut Roger (1977: 1753), pemberat alat tenun memiliki berat lebih dari 100 gr, sedangkan Braun (2015: 44) mengategorikan benda serupa kumparan pemintal benang dengan berat 110 gr sebagai pemberat alat tenun.

(15)

Gambar 1. 2. Teknik menenun menggunakan alat warp-weighted loom (sumber: Rogers, 1997: 1751; modifikasi: Yusti Muslimawati, 2017)

Pada masa sekarang, masyarakat di Indonesia masih mengenal alat tenun tradisional yang disebut Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Ada dua macam ATBM yaitu alat tenun gendong dan alat tenun tijak. Disebut alat tenun gendong karena memiliki komponen yang disebut epor, yang “digendong” di belakang pinggang Alat ini digunakan dengan menggerakkan liro untuk menekan benang pakan (lihat Gambar 1.2.). Sementara itu, alat tenun tijak terdiri dari lebih banyak rangka dan memiliki beberapa tiang untuk menopang konstuksi alat. Saat pengoperasian alat, penenun akan berada dalam posisi duduk sambil menggerakkan tijakan menggunakan kaki (Tim Fakultas Teknik, 2001: 1-5).

Loomweight

Pembuka benang

(16)

Gambar 1. 3. Alat tenun gendong (Sumber: Tim Fakultas Teknik, 2001: 2; Modifikasi: Yusti Muslimawati)

I.6. Landasan Teori

Pengetahuan mengenai karakteristik kumparan pemintal benang sangat penting sebagai pedoman untuk memastikan bahwa suatu benda dapat dikatakan sebagai kumparan pemintal. Jordan D. Bowers (2015) telah melakukan analisis terhadap kumparan pemintal benang untuk membedakan dengan benda lain yang mirip, khususnya manik-manik.

Pada umumnya, kumparan pemintal benang memiliki karakteristik yang spesifik. Kumparan pemintal benang harus mempunyai ukuran ketebalan yang konstan atau seimbang. Ketimpangan akan menyebabkan goyah saat proses pemintalan. Sebuah kumparan pemintal benang juga tidak boleh terlalu tipis karena akan berpotensi patah saat digunakan. Keseimbangan juga tampak pada

(17)

perforasinya. Perforasi pada kumparan pemintal benang betul-betul harus tepat berada di bagian pusat (tengah) untuk menjaga keseimbangan saat digunakan. Akan tetapi, jika ketidakseimbangan tersebut tidak terlalu besar, benda tersebut masih memungkinkan digunakan sebagai kumparan pemintal benang (Bowers, 2015: 11-12).

Berbeda dari manik-manik yang memiliki bentuk bervariasi, kumparan pemintal benang cenderung bulat atau oval. Berdasarkan bentuknya, Bowers (2015) mengelompokkan kumparan pemintal benang berdasarkan variasi bentuknya. Secara umum, terdapat empat tipe kumparan pemintal benang, yaitu cakram (discoid), silindris (cylindrical), kerucut ganda (biconical) dan kerucut ganda terpotong (truncanted biconocal). Thorin (2012) menambahkan satu tipe lagi yang tidak disebutkan oleh Blowers, yaitu bentuk kerucut (conical) (lihat Gambar 2.1).

Judith Cameron (2010) dalam penggalian di situs Tha kae, Thailand menemukan konsentrasi kumparan pemintal benang terbanyak di Asia Tenggara. Temuan tersebut kemudian diklasifikasikan tipenya dan menghasilkan 24 tipe kumparan pemintal. Tipologi ini digunakan sebagai acuan dalam pengklasifikasian kumparan pemintal benang di Asia Tenggara (lihat Gambar 2.7).

Kumparan pemintal benang dengan material dan bentuk yang berbeda akan menghasilkan benang dengan karakter yang berbeda pula (Loughran-Delahunt, 1996). Banyaknya variasi berat kumparan pemintal benang yang ditemukan dalam satu lokasi, menurut Thorin (2012), menandakan banyaknya

(18)

variasi kain tenun yang diproduksi.

I.7. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif. Teknik analisis yang digunakan menerapkan pengukuran-pengukuran yang berdasarkan angka-angka. Metode penalaran yang digunakan adalah penalaran Induktif, yaitu penalaran yang dimulai dengan observasi atau pengamatan untuk menemukan fakta-fakta. Data yang diperoleh dari fakta-fakta tersebut kemudian dideskripsikan secara sistematis hingga didapatkan kesimpulan berupa gejala yang bersifat generalisasi empiris (Tanudirjo, 1989: 17-35; Mundarjito, 1986: 197-202). Dalam pelaksanaannya, penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan yang dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pengumpulan Data

Data yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer berupa kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit. Artefak-artefak tersebut saat ini sudah tidak berada pada konteksnya lagi, maka dibutuhkan studi literatur dari berbagai laporan penelitian di Kawasan Trowulan sebagai data sekunder untuk mendapatkan informasi mengenai konteks temuan dan bukti adanya aktivitas menenun oleh masyarakat Majapahit pada kurun waktu abad ke-13 sampai abad ke-15 M.

Studi literatur melalui jurnal dan karya tulis lainnya juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai teknologi pertenunan secara umum dan khususnya mengenai teknologi pemintalan benang menggunakan kumparan pemintal benang. Informasi tersebut akan menjadi acuan dalam mengidentifikasi

(19)

kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit. 2. Analisis Data

Dalam tahap ini, kumparan pemintal benang yang pernah ditemukan di luar Indonesia digunakan sebagai acuan untuk melihat ada atau tidaknya kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit yang tidak sesuai dengan karakteristik umum kumparan pemintal benang. Acuan ini digunakan karena belum ada referensi yang secara spesifik menjelaskan mengenai karakteristik kumparan pemintal benang di Indonesia.

Analisis data dilakukan dengan mengidentifikasi atribut masing-masing kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit dan dikomparasikan dengan karakteristik kumparan pemintal benang pada umumnya. Temuan-temuan yang tidak sesuai dengan karakteristik kumparan pemintal benang akan tereduksi. Atribut yang dianalisis yaitu bentuk luar, bahan baku, berat, diameter, bentuk perforasi, serta diameter luar. Analisis bentuk luar, material, dan bentuk perforasi dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Sementara itu, pengukuran diameter luar dan diameter perforasi menggunakan kaliper manual, dan pengukuran berat objek menggunakan timbangan digital. Dari identifikasi atribut tersebut, juga akan dicari karakteristik khusus yang dimiliki kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit.

Selanjutnya, temuan yang teridentifikasi sebagai kumparan pemintal benang akan diklasifikasikan berdasarkan tipenya. Dalam penamaan tipe, akan digunakan tipologi yang dibuat oleh Cameron (2011) yang dikombinasikan dengan deskripsi bentuk yang dirumuskan oleh Bowers (2015) dan Thorin (2012).

(20)

Penjabaran dari hasil analisis digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai karakteristik kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit serta tipologinya.

3. Interpretasi Data

Berdasarkan karakteristik masing-masing tipe, kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit akan diinterpretasikan jenis benang yang dihasilkan dan produk yang dapat dibuat. Hasil interpretasi juga akan diperkuat dengan data atau informasi mengenai produk tenun yang dimuat di prasasti dan catatan kuna. Selain itu, melalui pengamatan terhadap tanda bekas pakainya, akan diinterpretasikan teknik memintal yang pernah berlangsung dengan menggunakan kumparan pemintal benang tersebut.

4. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh yakni suatu gambaran tentang teknologi pemintalan benang yang pernah berlangsung pada masa Kerajaan Majapahit yang mencakup jenis kumparan pemintal benang, teknik memintal, dan produk yang dihasilkan.

I.8. Sistematika Penulisan

Bab I berisi pendahuluan, yaitu bagian yang mengawali penulisan dengan menguraikan latar belakang tentang budaya pertenunan dan fungsi kumparan pemintal benang dalam proses produksi tenun. Selanjutnya, dijelaskan rumusan permasalahan yang ingin dijawab dan diinterpretasikan. Dijelaskan pula ruang lingkup penelitian yang berkenaan dengan batasan materi penelitian dan lokasi penelitian, serta tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dari penelitian yang

(21)

dilakukan. Disertakan juga tinjauan pustaka mengenai peralatan dan teknik dalam proses produksi tenun, serta landasan teori yang berkaitan dengan kumparan pemintal benang yang akan dijadikan rujukan dan penguat argumen dalam tahap analisis. Dalam sub-bab metode penelitian diuraikan tentang penjelasan mengenai jenis data yang digunakan dalam penelitian serta kerangka kerja yang dilakukan.

Bab II membahas tentang teknologi pemintalan benang yang umum dikenal mencakup kumparan pemintal benang dalam konteks arkeologi, karakteristik dan tipologi kumparan pemintal benang. Dijelaskan juga mengenai bahan baku dan teknik dalam proses memintal benang.

Bab III memberikan gambaran tentang jenis dan karakteristik kumparan pemintal benang yang ditemukan di lokasi penelitian dengan melihat atribut-atribut yang ada. Berdasarkan atribut-atribut-atribut-atribut tersebut juga dideskripsikan tipologinya.

Bab IV berisi hasil interpretasi teknologi pemintalan benang pada Masa Majapahit berdasarkan karakteristik dan tipologi kumparan pemintal benang koleksi Museum Majapahit. Teknologi tersebut mencakup serat yang digunakan sebagai bahan baku pemintalan, teknik yang digunakan dalam proses pemintalan benang, dan kain yang diproduksi, yang dikuatkan dengan bukti prasasti dan catatan kuna.

Bab V merupakan bab penutup yang berisi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Dalam bab ini disimpulkan karakteristik dan tipe kumparan pemintal benang yang ada di Museum Majapahit serta teknologi pemintalan pada Masa Majapahit berdasarkan karakter dan tipe kumparan pemintal benang.

Gambar

Gambar 1. 2. Teknik menenun menggunakan alat warp-weighted loom (sumber:
Gambar 1. 3. Alat tenun gendong (Sumber: Tim Fakultas Teknik, 2001: 2;

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis aspek kebahasaan yang digunakan dalam iklan perniagaan terutama aspek sosiolinguistik yang berupa pemakaian bahasa Jawa dan

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berhubungan dengan masalah data yang berkaitan dengan Peran Kepemimpianan K.H Ahmad Agus Syihabuddin

Tetapi pada hakikatnya bukan sekedar si peminjam atau masyarakat Desa Sabajaya Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang saja yang mengalami kerugian atau menanggung

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran Pasar Tradisional Baun Amarasi, serta merekonstruksi aktivitas perdagangan masa lalu di Pasar

1. Struktur/Jenis Tanah, Jenis tanah tentunya dapat memberi pengaruh terhadap nilai jual lahan tersebut. Tanah berpasir akan memiliki harga yang berbeda dengan tanah

Bagi penulis, yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana pada Universitas Kristen Maranatha dan untuk mempelajari serta memperoleh gambaran secara

Keadilan terhadap pemberian kompensasi ada dua macam yaitu, keadilan internal dan keadilan eksternal (Flippo, 1984; dalam Cahyadi, 2007). Keadilan internal mencakup apakah

Seperti yang diharapkan oleh pemerintah bahwa setiap BUMD dapat meningkatkan potensi keuangan daerah maka PDAM Tirta Medal Kabupaten Sumedang dituntut agar bisa