• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Employee Engagement

2.1.1. Definisi Employee Engagement

Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional dengan pekerjaan dan organisasi, termotivasi dan mampu memberikan kemampuan terbaik mereka untuk membantu sukses dari serangkaian manfaat nyata bagi organisasi dan individu, (McLeod, 2009). David Guest, percaya hal ini sangat membantu untuk melihat employee engagement sebagai cara kerja yang dirancang untuk memastikan bahwa karyawan berkomitmen untuk tujuan dan nilai-nilai organisasi mereka, termotivasi untuk memberikan kontribusi bagi keberhasilan organisasi, dan pada saat yang sama agar mampu meningkatkan rasa kesejahteraan diri.

Organisasi yang engaged memiliki kekuatan dan nilai otentik, dengan bukti yang jelas dari kepercayaan dan keadilan yang didasarkan pada saling menghormati, di mana keduanya memiliki janji dan komitmen antara employer dan employee yang dipahami dan terpenuhi, (McLeod, 2009).

Engagement didefinisikan sebagai sikap yang positif, penuh makna, dan motivasi, yang dikarakteristikkan dengan vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli, 2002 dalam Breso, Schaufeli, & Salanova, 2010). Vigor dikarakteristikkan dengan tingkat energi yang tinggi, resiliensi, keinginan untuk berusaha, dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan. Dedication ditandai

(2)

dengan merasa bernilai, antusias, inspirasi, berharga dan menantang. Absorption ditandai dengan konsentrasi penuh terhadap suatu tugas, (Schaufeli & Bakker, 2003).

IES mendefinisikan employee engagement sebagai attitute positif yang dimiliki oleh karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilainya. Seorang karyawan yang terlibat menyadari konteks bisnis, dan bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk kepentingan organisasi. Organisasi juga harus bekerja untuk mengembangkan dan memelihara engagement, yang membutuhkan hubungan dua arah yaitu antara employer dan employee, (Robinson, Perryman, dan Hayday, 2004).

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa employee engagement adalah sebagai sikap yang positif yang dimiliki karyawan dengan penuh makna, dan energi motivasi yang tinggi, resiliensi dan keinginan untuk berusaha, dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan dengan konsentrasi penuh terhadap suatu tugas yang disesuaikan dengan nilai dan tujuan organisasi.

2.1.2. Dimensi Employee engagement

Dimensi atau aspek-aspek dari employee engagement terdiri dari tiga (Schaufeli et al, 2003), yaitu:

a. Aspek Vigor

Vigor merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk berusaha

(3)

dengan sungguh-sungguh di dalam pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan (Schaufeli & Bakker, 2003).

b. Aspek Dedication

Aspek dedication ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Orang-orang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat menidentifikasi pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena mereka tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003).

c. Aspek Absorption

Aspek absorption ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang mendalam, tenggelam dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan segala sesuatu disekitarnya, (Schaufeli & Bakker, 2003). Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya terlupa dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa

(4)

tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu disekeliling mereka, termasuk waktu (Schaufeli & Bakker, 2003).

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Employee engagement

Employee engagement adalah tanggung jawab seluruh tenaga kerja. Faktor-faktor yang membuat karyawan merasa engagement (BlessingWhite, 2011), adalah sebagai berikut:

1. Individuals (I): Ownership, Clarity, and Action.

Individu perlu mengetahui apa yang mereka inginkan, apa kebutuhan organisasi, dan kemudian mengambil tindakan untuk mencapai kedua hal tersebut.

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Maslach, Schaufelli, dan Leiter, 2001 dalam (Kulaar, et al 2008),, bahwa employee engagement

dikarakteristikkan dengan kekuatan, dedikasi dan kesenangan dalam bekerja. Engagement dasarnya persamaan individual. Hal ini mencerminkan hubungan yang unik pada setiap orang dengan pekerjaan. Apakah satu karyawan menemukan hak yang menantang atau bermakna mungkin disisi lain ada yang merasa terbebani dengan pekerjaan. Para pemimpin dan manajer tidak dapat dan tidak harus memikul seluruh beban melibatkan tenaga kerja mereka. Individu harus memiliki engagement, datang bekerja dengan motivator yang unik, minat, dan bakat. Mereka tidak bisa mengharapkan organisasi untuk memberikan set yang tepat dari tugas atau kondisi agar sesuai pribadi mereka definisi pekerjaan yang berarti atau memuaskan. Mereka bertanggung jawab untuk kesuksesan pribadi dan profesional mereka. Jelas pada nilai-nilai inti dan tujuan organisasi,

(5)

tidak akan menemukannya dalam pekerjaan mereka saat ini atau berpotensi di lain. Jika karyawan tidak tahu apa yang penting bagi mereka. Individu juga harus mengambil tindakan, karyawan tidak bisa menunggu ketukan di bahu untuk perintah langkah karir atau proyek baru yang menarik. Mereka perlu mengambil inisiatif untuk membangun keahlian mereka, mengartikulasikan kepentingan mereka, memuaskan nilai-nilai inti mereka, dan mengidentifikasi cara untuk menerapkan bakat mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Individu perlu untuk memulai percakapan tentang membentuk kembali pekerjaan mereka, menjelaskan prioritas kerja mereka, atau mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dari manajer mereka, (BlessingWhite, 2011).

2. Managers (M): Coaching, Relationships, and Dialogue.

Manajer harus memahami bakat masing-masing individu, kepentingan, dan kebutuhan dan kemudian mencocokkan mereka dengan tujuan organisasi, sementara pada saat yang sama menciptakan hubungan interpersonal yaitu hubungan saling percaya. Manajer yang engaged juga mempengaruhi level engagement karyawan (Vazirani, 2007). Hubungan interpersonal yang saling mendukung dan membantu antar karyawan akan meningkatkan level engagement dari karyawan (Vazirani, 2007). Manajer harus mengendalikan engagement mereka sendiri. Dimana manajer harus memfasilitasi engagement sebagai persamaan yang unik bagi pekerja melalui pelatihan. Yang mempengaruhi atas kepuasan kerja di seluruh dunia adalah kesempatan untuk menggunakan bakat dan pengembangan karir, umpan balik kinerja yang spesifik dan kejelasan apa dan mengapa yang diperlukan oleh organisasi. Manajer harus menjaga dialog dengan

(6)

memberikan umpan balik, tentu saja koreksi, dan kesempatan pengembangan untuk memastikan kinerja tinggi. Selain itu manajer juga harus membangun hubungan, semakin banyak karyawan merasa mereka mengetahui manajer mereka, mungkin mereka akan semakin engaged. Menajer harus menghargai dinamika tim, tingkat engagement pada salah satu anggota tim memiliki dampak sisa tim yang baik atau buruk. Manajer tidak dapat menutup mata terhadap isu-isu engagement individu tanpa risiko efek domino yang negatif. Mereka perlu untuk menangani dengan cepat dengan potensi masalah dan juga memanfaatkan antusiasme dan etos kerja anggota tim dengan membangun engagement tim secara keseluruhan, (BlessingWhite, 2011).

3.Executives (E): Trust, Communication, and Culture

Eksekutif harus menunjukkan konsistensi dalam kata-kata dan tindakan, banyak berkomunikasi (dan dengan banyak kedalaman), dan menyelaraskan semua pelaksanaan organisasi dan perilaku seluruh organisasi untuk mendorong hasil dan engagement. Sebuah strategi juga dikomunikasikan dengan jelas membangun kepercayaan tenaga kerja dalam kompetensi bisnis eksekutif yang memperkuat kepercayaan. Eksekutif harus mendorong hasil dan engagement dalam setiap kegiatan organisasi (misalnya, penghargaan dan pengakuan, kesepakatan penjual, kebijakan pribadi) atau hambatan lain (misalnya, manajer tingkat menengah yang buruk) yang melemahkan kinerja tinggi dan tempat kerja yang berkembang. Eksekutif harus mengatur arah yang jelas. Kepentingan karyawan untuk engaged harus selaras dengan tujuan organisasi. Hal itu tidak bisa terjadi jika arah organisasi dan definisi keberhasilan tidak didefinisikan dengan

(7)

baik dan jelas. Strategi juga dikomunikasikan untuk membangun kepercayaan tenaga kerja dalam kompetensi bisnis eksekutif yang memperkuat kepercayaan. Membangun budaya yang engagement merupakan dasar. Kata-kata dan tindakan kolektif dari semua pemimpin membentuk budaya organisasi. Budaya yang engagement bukan hanya hangat dan ramah. Inspirasi komitmen dan kepercayaan pada employee engagement tidak hanya memahami apa yang perlu dilakukan, tetapi juga cukup peduli untuk menerapkan upaya bijaksana, (BlessingWhite, 2011).

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi employee engagement di atas, sebagian besar menempatkan pada lingkungan kerja yang mendukung kinerja tinggi di organisasi sebagai pembentuk engagement pada karyawan.

2.2. Budaya Organisasi

2.2.1.Definisi Budaya Organisasi

Pada dasarnya semua organisasi memiliki budaya organisasi yang khas. Selain itu, budaya dapat bekerja dengan baik untuk daya saing perusahaan. Budaya organisasi adalah pola dasar asumsi bersama, nilai-nilai, dan keyakinan yang dianggap sebagai cara yang benar memikirkan dan bertindak atas peluang masalah yang dihadapi organisasi. Budaya organisasi mendefinisikan apa yang penting dan tidak penting dalam perusahaan. Budaya organisasi dapat dipandang sebagai DNA organisasi, tak terlihat dengan kasat mata, namun menjadi template yang kuat yang membentuk apa yang terjadi di tempat kerja, (McShane, Steven, dan Glinow, 2000).

(8)

Budaya organisasi sebagai sistem makna bersama yang dibentuk oleh warganya serta sebagai pembeda dengan organisasi lain ( Robbins, 2007). Budaya organisasi adalah hal-hal umum yang dilaksanakan dalam kerangka pikiran anggota organisasi. Kerangka kerja mengandung asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai, (Smith, 2004). Asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai yang diajarkan kepada anggota baru sebagai cara untuk melihat, berpikir, merasa, berperilaku, dan mengharapkan orang lain untuk berperilaku dalam organisasi. Schein (2010) mengatakan bahwa budaya organisasi dikembangkan dari waktu ke waktu, sebagai orang dalam organisasi berhasil belajar adaptasi mengatasi masalah eksternal dan integrasi internal. Hal ini menjadi bahasa yang umum dan latar belakang umum bagi organisasi. Budaya muncul dari apa yang telah berhasil bagi organisasi, (Smith, 2004). Model Denison tentang kebudayaan dan efektivitas menyajikan keterkaitan budaya organisasi, pelaksanaan manajemen, kinerja dan efektivitas. Pelaksanaan manajemen dengan asumsi dan keyakinan ketika mempelajari budaya dan efektivitas organisasi, (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002)

Budaya organisasi berjalan lebih dari kata-kata yang digunakan dalam menyatakan misinya. Budaya adalah pemahaman yang tersirat, batasan-batasan, bahasa umum, dan harapan bersama dari waktu ke waktu oleh anggota organisasi, (Smith, 2004). Nilai-nilai dan keyakinan dari suatu organisasi menimbulkan serangkaian pelaksanaan manajemen, yang merupakan kegiatan dalam organisasi yang biasanya berakar pada nilai-nilai organisasi. Kegiatan ini diperkuat dari nilai-nilai dominan dan kepercayaan organisasi. Model budaya Denison

(9)

berpendapat bahwa ada empat dimensi budaya organisasi, yaitu: involvement, (keterlibatan), consistency (konsistensi), adaptability (adaptabilitas) dan mission (misi), (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002). Literatur efektivitas organisasi menekankan pentingnya budaya dalam memotivasi dan memaksimalkan nilai, aset intelektual, yang merupakan sumber daya manusia. (Baker, 2011).

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi adalah suatu sistem yang kolektif, keyakinan, asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, bahasa, batasaan-batasan, norma, ideologi, mitos dan ritual yang diajarkan kepada anggota organisasi sebagai cara untuk melihat, berpikir, merasa, berperilaku, dan mengharapkan orang lain untuk berperilaku dalam organisasi.

2.2.2. Dimensi Budaya Organisasi

Denison berpendapat bahwa ada empat dimensi budaya organisasi, yaitu: involvement (keterlibatan), consistency (konsistensi), adaptability (adaptabilitas) dan mission (misi), (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002).

1. Involvement (Keterlibatan)

Involvement adalah dimensi budaya organisasi yang menujukkan tingkat partisipasi karyawan (anggota organsasi) dalam pengambilan keputusan. Organisasi yang efektif memberdayakan masyarakat, membangun organisasi mereka di sekitar tim, dan mengembangkan kemampuan manusia di semua tingkatan (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002). Eksekutif, manajer, dan karyawan berkomitmen untuk pekerjaan mereka dan merasa bahwa mereka memiliki sebagian dari organisasi. Orang-orang di semua tingkatan merasa bahwa

(10)

mereka memiliki setidaknya beberapa masukan ke dalam keputusan yang akan mempengaruhi pekerjaan mereka dan bahwa pekerjaan mereka terhubung langsung ke tujuan dari organisasi (Katzenberg, 1993; Spreitzer, 1995, dalam Fey dan Denison, 2000).

2. Consistency (Konsistensi)

Consistency menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai organisasi (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002). Organisasi juga cenderung efektif karena mereka memiliki budaya "kuat" yang sangat konsisten, terkoordinasi, dan terintegrasi dengan baik (Davenport, 1993; saffold, 1988, dalam Fey dan Denison, 2000). Perilaku berakar pada seperangkat nilai-nilai inti, pemimpin dan pengikut terampil mencapai kesepakatan bahkan ketika ada beragam sudut pandang (Block, 1991, dalam Fey dan Denison, 2000). Jenis konsistensi adalah sumber yang kuat stabilitas dan integrasi internal yang dihasilkan dari pola pikir umum dan tingkat tinggi kesesuaian (Senge, 1990, dalam Fey dan Denison, 2000).

3. Adaptability (Adaptabilitas)

Adaptability adalah kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan-perubahan internal organisasi (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002). Ironisnya, organisasi yang terintegrasi dengan baik yang paling sering sulit untuk berubah (Kanter, 1983, dalam Fey dan Denison, 2000). Integrasi internal dan adaptasi eksternal sering dapat bertentangan. Adaptasi organisasi didorong oleh pelanggan mereka, mengambil

(11)

risiko dan belajar dari kesalahan mereka, dan memiliki kemampuan dan pengalaman dalam menciptakan perubahan (Nadler, 1998; Senge, 1990, dalam Fey dan Denison, 2000). Mereka terus berubah sistem sehingga mereka memperbaiki kemampuan kolektif organisasi untuk memberikan nilai bagi para pelanggan mereka (Stalk, 1988, dalam Fey dan Denison, 2000).

4. Mission (Misi)

Mission adalah dimensi inti yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan anggota organisasi yakin dan teguh terhadap apa yang dianggap penting oleh organisasi (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002). Organisasi yang sukses memiliki tujuan yang jelas dan arah yang mendefinisikan tujuan organisasi dan tujuan strategis dan mengungkapkan visi tentang bagaimana organisasi akan terlihat di masa depan (Mintzberg, 1987; 1994; Ohmae, 1982; Hamel & Prahalad, 1994, dalam Fey dan Denison, 2000). Ketika perubahan misi yang mendasari organisasi, perubahan juga terjadi pada aspek lain dari budaya organisasi.

Involvement dan adaptability secara bersama-sama mempengaruhi efektifitas organisasi terutama dalam hal tingkat pertumbuhan organisasi. Consistency dan mission mempengaruhi tingkat profitability organisasi. Involvement mempengaruhi efektifitas organisasi melalui mekanisme informal dan struktur formal organisasi. Consistency mempengaruhi efektivitas melalui integrasi normatif yang direfleksikan dalam kecocokan antara ideolodi dengan praktik sehari-hari dan tingkat predictability sistem organisasi. Terakhir, mission mempengaruhi efektivitas organisasi melalui pemaknaan yang dilakukan oleh

(12)

anggota organisasi terhadap eksistensi organisasi dan arah kebijakan pada organisasi, (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002).

Dari keempat dimensi budaya organisasi yang telah dikemukakan diatas, Denison membuat skala efektifitas budaya organisasi dimana penelitian yang telah dilakukan Denison dan rekan-rekannya, (Denison, 1984, 1990, 1996; Denison & Mishra 1995, 1998; Denison & Neale, 1996; Denison, Cho, & Young, 2000; Fey & Denison, 2002 ; Denison, Haaland, & Neale, 2002) mengembangkan model eksplisit budaya organisasi dan efektivitas dan metode pengukuran yang divalidasi. Dimana hasil penelitian yang dilakukan Denison dari kedua studi, yang pertama menyatakan bahwa terdapat korelasi sederhana 12 indexs budaya organisasi dan peringkat subjektif dari efektivitas secara keseluruhan, hasil yang kedua adalah serangkaian one-way ANOVA untuk memahami perbedaan yang signifikan dalam skor dari masing-masing negara dan wilayah dengan menggunakan data dari 764 organisasi.

Penelitian yang dilakukan Fey (2000) dengan mengembangkan literatur tentang budaya organisasi dan efektivitas Denison dengan meneliti perusahaan milik asing yang beroperasi di Rusia. Dengan model budaya organisasi dan efektifitas Denison, penelitian menyajikan dua studi. Penelitian pertama adalah survei dari 179 perusahaan yang dirancang untuk menguji penerapan model dalam konteks Rusia. Studi kedua menyajikan empat kasus penelitian yang dirancang untuk hasil empiris dalam konteks Rusia dan mengidentifikasi dimana daerah strategis yang mungkin perlu diperpanjang atau ditafsirkan kembali. Hasil kedua studi tersebut ditafsirkan berhubungan dengan literatur tentang praktek

(13)

manajemen Rusia, (Fey, 2000). Skala budaya organisasi dan efektivitas Denison telah diterapkan dan dikembangkan kepada beberapa penelitian yang meneliti secara global di beberapa negara.

2.2.3. Fungsi Budaya Organisasi

Robbins dan Judge (2007) menyimpulkan empat fungsi budaya organisasi yang menonjol dan penting untuk diaktualisasikan yaitu sebagai berikut:

a. Budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.

b. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.

c. Budaya organisasi dapat mempermudah terbentuknya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual.

d. Budaya organisasi dapat meningkatkan kemantapan sistem sosial.

2.3. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Employee Engagement

Budaya perusahaan yang kuat menunjukkan bahwa karyawan memegang keyakinan dan nilai-nilai etika yang sama. Ketika keyakinan dan nilai-nilai etika selaras dengan tujuan organisasi, mereka bisa efektif dalam membangun tim karena adanya hubungan dan kepercayaan membantu mereka menghindari konflik

(14)

dan fokus pada penyelesaian tugas (Davoren, 2009). Karyawan yang memaknai serta berkontribusi terhadap pekerjaannya dan mengerjakan pekerjaan dengan mencurahkan segenap energi fisik, kognitif, dan emosinya disebut sebagai karyawan yang engaged (Kahn, 1990 dalam Kulaar, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Perilaku engagement yang paling terlihat jelas adalah usaha dari orang tersebut. Orang yang engaged terlihat bekerja keras, berusaha, dan terlibat penuh pada pekerjaan. Mereka fokus pada apa yang mereka kerjakan dengan mengerahkan segenap energinya, (Schaufeli & Baker, 2004 dalam Albrecht, 2010).

Budaya organisasi dapat memiliki berbagai dampak terhadap kinerja karyawan dan tingkat motivasi. Sering kali, para karyawan bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan organisasi jika mereka menganggap dirinya sebagai bagian dari budaya perusahaan. Budaya perusahaan yang kuat mempermudah komunikasi, peran dan tanggung jawab untuk semua individu. Karyawan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, bagaimana manajemen menilai kinerja mereka dan apa bentuk penghargaan yang tersedia. (Davoren, 2009).

Setiap karyawan memerlukan nilai yang jelas dari organisasi seperti didengarnya pendapat mereka terutama oleh pemimpin (Vazirani, 2007; MacLeod & Clarke, 2009). Akan tetapi, engagement bukanlah sekedar bekerja keras. Individu akan menempatkan diri mereka, diri mereka yang sebenarnya pada pekerjaan. Mereka sangat peduli dengan apa yang mereka kerjakan, dan komitmen untuk melakukan yang terbaik. Ketika seseorang merasakan engagement, maka ia bekerja dengan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif

(15)

dan emosional selama kerja. Aspek fisik meliputi energi fisik yang dikeluarkan karyawan dalam melakukan pekerjaan mereka,aspek kognitif meliputi beliefkaryawan terhadap organisasi, dan aspek emosi fokus pada perasaan karyawan mengenai tiga faktor ini, (Kahn, 1990 dalam Kulaar, et al 2008).

Menyediakan pemimpin dan manajer merupakan tools yang diperlukan untuk memastikan bahwa karakteristik organisasi (budaya) berfungsi untuk menginspirasi karyawan untuk mencapai bagian positif yang tinggi terhadap pekerjaan mereka dan organisasi, yang kita kenal sebagai engagement. Memahami employee engagement yang paling tepat ketika dipahami dalam konteks kekuatan dan kelemahan organisasi. Jika kita melihat employee engagement saja, tanpa mempertimbangkan budaya dimana karyawan bekerja, hal tersebut berpotensi meninggalkan terhadap kekuatan strategis dan kelemahan dalam organisasi yang berdampak pada kinerja karyawan dan pada akhirnya pada kinerja organisasi (Denison, dalam Davidson, 2003). Employeee engagement dapat diukur sejauh mana karyawan merasa berpatisipan secara aktif dalam pekerjaannya atau sampai sejauh mana karyawan mencari beberapa ekspresi diri dan aktualisasi dalam pekerjaannya (Perrot, 2002). Salah satu dimensi budaya menurut Denison, yaitu Involvement adalah dimensi budaya organisasi yang menujukkan tingkat partisipasi karyawan (anggota organsasi) dalam pengambilan keputusan (Denison, Haaland, dan Goelzer, 2002).Asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai yang diajarkan kepada anggota baru sebagai cara untuk melihat, berpikir, merasa, berperilaku, dan mengharapkan orang lain untuk berperilaku dalam organisasi (Smith, 2004). Teori strong culture menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat akan

(16)

meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan dalam jangka panjang. Dengan teori ini diyakini bahwa kekuatan budaya organisasi berhubungan dengan kinerja perusahaan, (Boejoeng, 1995). Budaya organisasi adalah seperangkat kebiasaan dan pola cara khas melakukan sesuatu. Organisasi yang engaged memiliki kekuatan dan nilai otentik, dengan bukti yang jelas dari kepercayaan dan keadilan didasarkan pada saling menghormati, di mana dua janji dan komitmen antara employer dan employee yang dipahami dan terpenuhi, (McLeod, 2009).

Membangun budaya perusahaan yang khas merupakan salah satu strategi menciptakan employee engagement yang perlu untuk diperhatikan oleh para manajer, perusahaan harus mempromosikan budaya kerja yang kuat di mana tujuan dan nilai-nilai manajer sejajar di semua bagian pekerjaan. Perusahaan yang membangun budaya saling menghormati dengan menjaga kisah sukses hidup tidak hanya akan menjaga karyawan mereka yang engaged, tetapi juga mereka karyawan yang baru masuk dapat menularkan budaya semangat kerja, (Markos & Sridevi, 2010).

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap employee engagement, oleh karena itu peneliti tertarik untuk memahami lebih lanjut secara empiris mengenai pengaruh budaya organisasi terhadap employee engagement pada karyawan PT. INALUM Kuala Tanjung.

(17)

2.4. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritis di atas maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian yaitu ada pengaruh positif budaya organisasi terhadap employee engagement. Semakin kuat budaya organisasi terinternalisasi dalam diri para karyawan maka akan semakin tinggi tingkat employee engagement dan sebaliknya, semakin lemah budaya organisasi terinternalisasi dalam diri karyawan maka akan semakin rendah tingkat employee engagement.

   

Referensi

Dokumen terkait

Di samping itu perbedaan pada indikator konflik disebabkan adanya keterbukaan dalam komunikasi dan dampak dari struktur dan budaya organisasi pada institusi swasta

Semakin rendah kadar air manisan kering jahe maka kadar lineralnya semakin tinggi, sehingga kadar abu yang diperoleh juga semakin tinggi seperti yang lijelaskan Aisyah (2005)

[r]

Model Pembelajaran Sumber Belajar PPT + Multimedia Lecture Notes Materi Pendukung Textbooks & e- books Online Reading Tugas Ujian Learning Outcomes Personal Kelompok Tatap

Tahapan pengujian faktor merupakan suatu tahapan yang digunakan untuk menguji faktor-faktor. Tahapan tersebut ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang harus diamandemen,

Yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah metafora yang terdapat dalam lirik lagu ERK, kemudian diklasifikasikan berdasarkan bentuk, jenis, dan fungsi

Hasil pengujian ini pun sesuai dengan tujuan awal dari alat yang dirancang karena pengujian ini membuktikanalat Monitoring Infus Set mendeteksi saat tidak adanya

Untuk pernyataan yang keempat “Anak-anak saya mempunyai sikap bertanggung jawab dari proses pendidikan formal” menunjukan bahwa dari keseluruhan informan penelitian