• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKU WARGA NEGARA YANG BAIK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA SEMESTER GANJIL TH. 2011/2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKU WARGA NEGARA YANG BAIK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA SEMESTER GANJIL TH. 2011/2012"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

AKU WARGA NEGARA YANG BAIK

MEMENUHI TUGAS AKHIR

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

SEMESTER GANJIL TH. 2011/2012

M. Ayub Pramana, SH. KELOMPOK G FITRIANA ARUMSARI FITRIANA ARUMSARI FITRIANA ARUMSARI FITRIANA ARUMSARI 11.12.5471 - S1.SI

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil mnyelesaikan Tugas Akhir Pancasila ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang bertema “Aku warga negara yang baik”

Tugas akhir ini berisikan berbagai macam judul diantara yaitu “Tuhan itu ada” , “Terorisme” , “Memahami separatisme” , “Pemberantasan korupsi di Indonesia” .Dan dari judul tersebut, kita mengharapkan sesuai tema “Aku warga negara yang baik” dapat dimengerti maknanya oleh kita.

Diharapkan Tugas ini dapat memberikan makna kepada kita semua tentang Aku warga negara yang baik dalam masyarakat. Saya menyadari bahwa Tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan Tugas akhir Pancasila ini.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan membantu . Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Yogyakarta, 20 Oktober 2011

(3)

Tuhan itu ada

Beriman bahwa Tuhan itu ada adalah iman yang paling utama. Jika seseorang sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, maka sesungguhnya orang itu dalam kesesatan yang nyata. Karena itu, tidak heran jika orang-orang atheist menganggap Tuhan itu tidak ada.

Ada kisah zaman dulu tentang orang atheist yang tidak percaya dengan Tuhan. Dia mengajak berdebat seorang alim mengenai ada atau tidak adanya Tuhan. Di antara pertanyaannya adalah: “Benarkah Tuhan itu ada” dan “Jika ada, di manakah Tuhan itu?”

orang alim itu belum juga datang. Ketika orang atheist dan para penduduk berpikir bahwa orang alim itu tidak akan datang, barulah muncul orang alim tersebut.

“Maaf jika kalian menunggu lama. Karena hujan turun deras, maka sungai menjadi banjir, sehingga jembatannya hanyut dan saya tak bisa menyeberang. Alhamdulillah tiba-tiba ada sebatang pohon yang tumbang. Kemudian, pohon tersebut terpotong-potong ranting dan dahannya dengan sendirinya, sehingga jadi satu batang yang lurus, hingga akhirnya menjadi perahu. Setelah itu, baru saya bisa menyeberangi sungai dengan perahu tersebut.” Begitu orang alim itu berkata.

Si Atheist dan juga para penduduk kampung tertawa terbahak-bahak. Dia berkata kepada orang banyak, “Orang alim ini sudah gila rupanya. Masak pohon bisa jadi perahu dengan sendirinya. Mana bisa perahu jadi dengan sendirinya tanpa ada yang membuatnya!” Orang banyak pun tertawa riuh.

Setelah tawa agak reda, orang alim pun berkata, “Jika kalian percaya bahwa perahu tak mungkin ada tanpa ada pembuatnya, kenapa kalian percaya bahwa bumi, langit, dan seisinya bisa ada tanpa penciptanya? Mana yang lebih sulit, membuat perahu, atau menciptakan bumi, langit, dan seisinya ini?”

Mendengar perkataan orang alim tersebut, akhirnya mereka sadar bahwa mereka telah terjebak oleh pernyataan mereka sendiri. “Kalau begitu, jawab pertanyaanku yang kedua,” kata si Atheist. “Jika Tuhan itu ada, mengapa dia tidak

(4)

kelihatan. Di mana Tuhan itu berada?” Orang atheist itu berpendapat, karena dia tidak pernah melihat Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.

Orang alim itu kemudian menampar pipi si atheist dengan keras, sehingga si atheist merasa kesakitan. “Kenapa anda memukul saya? Sakit sekali.” Begitu si Atheist mengaduh. Si Alim bertanya, “Ah mana ada sakit. Saya tidak melihat sakit. Di mana sakitnya?”

“Ini sakitnya di sini,” si Atheist menunjuk-nunjuk pipinya. “Tidak, saya tidak melihat sakit. Apakah para hadirin melihat sakitnya?” Si Alim bertanya ke orang banyak.

Orang banyak berkata, “Tidak!”

“Nah, meski kita tidak bisa melihat sakit, bukan berarti sakit itu tidak ada. Begitu juga Tuhan. Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.” Demikian si Alim berkata.

Sederhana memang pembuktian orang alim tersebut. Tapi pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.

Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?

Betapa banyak benda langit yang jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?

Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya. Jika untuk mengetahui keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!

Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.

(5)

Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih kompleks.

Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer panjangnya. Matahari, dan 9 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1 “Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk “Jagad Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya! Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru sampai 15 Milyar Tahun Cahaya.

Bayangkan, jika jarak bumi dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran penciptanya.

Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]

bumi, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan

(6)

(orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.

Karya tulis dengan tema ” Tuhan Itu Ada” ini sangat terkait dengan nilai-nilai pancasila, terutama pada sila yang pertama. Sila pertama yang berbunyi. ”KeTuhananYang Maha Esa”,seperti yang dibahas pada paragraf paling utama. Dengan nilai keTuhanan dan yakin Tuhan itu ada maka seluruh nilai-nilai pada pancasila pasti berguna bagi cerminan sikap warga Indonesia.

>Permasalahan dari pernyataan tersebut :

Ketidakpercayaan orang Atheist bahwa Tuhan itu ada, namun orang Atheust sendiri yang terjebak dengan pertanyaannya sendiri. Dan akhirnya perdebatan itupun terjawab sudah bahwa Tuhan Itu benar-benar ada. Hanya dengan pembuktian serderhana orang alim. Tapi pernyataan itu bisa jadi bukti yang nyata dan perlukita yakini.

 Harapan saya untuk masalah ini yaitu semoga orang Atheist maupun orang-orang lain yang belum percaya bahwa Tuhan itu ada agar cepat sadar dan merenungi kembali yang telah ada.

 Solusinya yang tepat yaitu bagi semuanya lebih memperdalam ilmu atau nilai-nilai agama agar kita tidak tersesat dan tidak mudak terpengaruh dengan orang-orang Atheist maupun yahudi. Dengan agama yang kuat kiat mampu menjalakan kehidupan dengan damai dan tentram.

(7)

”Terorisme”

Hal ini tentunya, Di lingkup internasional penertian terorisme masih terdapat perdebatan alot. Perdebatan tersebut berputar pada apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusian atau kejahatan luar biasa.

Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif, perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justeru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan. Hal itu terbukti makin banyaknya 2004. Pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal / represif.

Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu :

a.

Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka.

b.Cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justeru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat , bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompok- kelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka . Kolompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat tersebut sehingga kelompok yang menerima stigma tersebut akan berdampak melakukan perlawanan kepada pemerintah dan kelompok lainnya.

(8)

c.

Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika ISA diberlakukan wewenang aparat negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan . Ada kemungkinan orang yang dicuriagai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah dan benar.

Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

Dalam jangka panjang memerangi terorisme tidaklah cukup dan tidak akan pernah berhasil hanya dengan menindak pelaku teror dan peledakan bom dengan kekerasan. Kitamelihat bagaimananya Amerika Serikat dan sekutunya dalam menjalankan kampanye ”Perang Terhadap Terorisme”. Justeru kampanye tersebut telah menimbulkan masalah tersendiri yang telah memakan korban warga negara mereka itu sendiri dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menindak para pelaku teror16. Para pelaku teror tersebut akan terus meningkatkan perlawanannya seiring semakin hebatnya USA dan sekutunya untuk memerangi pelaku teroris. Fakta telah menunjukkan bahwa membunuh pelaku teror, mengisolasinya dan memenjarakan para pemimpin organisasi teroris tidak mampu menghentikan tindakan terorisme dalam waktu lama.

Sementara itu di Indonesia munculnya tindakan terorisme menandakan adanya yang salah dalam sistem sosial, politik dan ekonomi . Para pelaku teroris menjadi sedemikian radikal disebabkan mereka merasa termarginalisasi dan terasing dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat17. Keterasingan tersebut pada umumya bersifat struktural yang termanifestasi dalam kebijakan pemerintah yang kurang akomodatif atau merugikan dalam waktu panjang. Hal ini akan mengakibatkan perasaaan tidak puas dan benci pada pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu seperti orang kaya, penguasa dan orang asing yang dianggap telah melangkahi kepentingan mereka. Namun upaya untuk mengatasi rasa keterasingan tersebut secara

(9)

normal mengalami hambatan karena tidak ada ruang bagi mereka untuk berpartisipasi dan menyalurkan harapan serta kepentingan mereka sehingga timbullah aksi radikal seperti terorisme.

yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism. Hal inilah yang ditakutkan oleh para ahli hukum pidana. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri.

Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya pengaturan anti terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukandalam satu undang-undang. Selain itu sudah sepatutnya aparat penegak hukum mengefektifkan ketentuan hukum yang sudah ada dan terpancar dalam berbagai undang-undang, dengan cara mengintegrasikan kedalam kerangka hukum yang komprehensif. Revisi UU anti terorisme harus sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM.

Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia,

(10)

bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pemberantasannya saya hanya bisa memberikan saran agar negara-negara Islam di dunia termasuk Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar, bekerjasama untuk membersihkan pengaruh-pengaruh paham-paham terorisme yang bertuhjuan menciptakan ketakutan global dan tidak memperdulikan hak asasi manusia. Hal ini merupakan syarat pokok untuk menetralisir lingkungan, yang dapat dijadikan habitat bagi terorisme dalam melakukan regenerasi.

(11)

Memahami Separatisme di Indonesia

Pada masa kejayaannya, nasionalisme tampak begitu kuat mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Ini dapat dengan mudah terlihat dalam berbagai ungkapan ‘bangsa-ku, negeri-ku, yang ku cinta’ atau ‘demi kehidupan berbangsa dan bernegara’, sebagaimana muncul hampir dalam setiap percakapan sehari-hari hingga dialog resmi kenegaraan. Memaknai Indonesia, dalam konteks nasionalisme, merupakan sebuah kesatuan antara bangsa (nation) sekaligus negara (state) (Dhakidhae, 2001: v). Di dalamnya terdapat sebuah solidaritas negara-bangsa (nation-state) dari susunan beraneka solidaritas suku-bangsa (ethnic). Sebuah misteri besar di balik bersatunya beraneka entitas kultural yang sangat heterogen dalam sebuah payung yang bernama negara-bangsa Indonesia, menjadi hal yang biasa saja dalam kehidupan nasional. Slogan “bhineka tunggal ika”, tampaknya menjadi adagium pamungkas yang mampu mereduksi semua perbedaan tersebut.

Namun, munculnya berbagai konflik sosial pada era 1990-an, tampaknya menjadi sebuah titik balik perjalanan nasionalisme di Indonesia. Setelah berjaya hampir setengah abad di bumi nusantara pasca kemerdekaannya, nasionalisme Indonesia seakan-akan runtuh begitu saja tanpa sisa. Rasa kebanggaan sebagai sebuah kesatuan bangsa Indonesia tampaknya menghilang, tergerus oleh gelombang semangat kesukuan dan kedaerahan yang tengah menggelora di sejumlah wilayah. Ikatan kebangsaan Indonesia menjadi tidak begitu berarti, dan tenggelam oleh sentimen etnis yang sangat kental. Munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama, dan ras (SARA) di Kalimantan, Maluku, dan Poso, hingga gerakan pemberontakan lokal radikal di Timor Timur, Aceh, Maluku Selatan, dan Papua tampaknya menjadi bukti nyata rasa kebangsaan yang memudar dan sekaligus sebagai ancaman terhadap eksistensi Indonesia sebagai kesatuan entitas dalam sebuah negara-bangsa. Wacana separatisme kultural yang anti-nasionalisme Indonesia menjadi fenomena sekaligus pertanyaan yang terus membayang.

(12)

Dalam konteks keIndonesiaan, kajian etnisitas seharusnya menjadi pembahasan fundamen ketika akan membahas mengenai nasionalisme Indonesia. Bagaimana tidak? Wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan Indonesia ini, pada mulanya merupakan sekumpulan wilayah dari kerajaan-kerajaan yang bersifat independen dan berbasis pada kekuasaan etnik dan otoritas kedaerahan. Sebut saja Kesultanan Aceh, Malaka, Riau, dan Jambi di Sumatera, Kesultanan Banten, Cirebon, Demak, dan Mataram di Jawa, Kesultanan Banjar di Kalimantan, Kerajaan Bali di Sunda Kecil, hingga Kesultanan Ternate dan Tidore di Indonesia Timur, semua itu merupakan fakta historis atas legitimasi etnis di masa lampau.

Perjalanan sejarah nusantara menemukan takdirnya yang lain, kedatangan kaum kolonial Eropa, secara langsung telah melumpuhkan dominasi lokal dari seluruh kerajaan etnis yang ada di nusantara. Praktek imperialisme ini secara tidak sengaja menyatukan secara paksa wilayah-wilayah independen tersebut dalam sebuah kesatuan teritori dan administratif di bawah kekuasaan kolonialisasi Hindia Belanda. Pemaksaan inilah yang di kemudian hari menjadi sebuah kondisi yang melahirkan cikal bakal nasionalisme Indonesia. Jika Renan tidak memberikan penjelasan apa yang menyebabkan bertemunya berbagai entitas yang berbeda dalam proses pembentukan nasionalisme, maka dalam konteks Indonesia, salah satu faktor penyatu tersebut adalah Pan Nederlansia sebagai proyek kolonialisasi di bumi nusantara yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda pada masa itu.

Dalam perjalanan selanjutnya, semangat anti-kolonial inilah yang kemudian menjadi sebuah landasan nasionalisme Indonesia pada periode pertama untuk mengantisipasi munculnya kembali identitas etnis lokal. Pembangunan identitas nasional terus diupayakan sebagai sebuah usaha merangkul berbagai identitas lokal yang bernuansa etnis. Meski belum sepenuhnya berhasil, negara setidaknya mampu menciptakan ikatan nation berada di atas keanekaragaman solidaritas suku

Sementara itu, hal yang berbeda dilakukan oleh rezim selanjutnya, pada periode ini, konsep pembangunan nasionalisme lebih didefinisikan sebagai kemajuan pembangunan ekonomi dalam sebuah stabilitas politik yang tinggi. Sentralisasi pemerintahan dan

(13)

pembangunan tampak begitu nyata. ‘Daerah’ kehilangan kesejahteraan ekonomi dan politiknya sebagaimana yang dijanjikan oleh ‘Pusat’. Sementara itu, pengawalan terhadap nasionalisme dilakukan secara represif, yang berdampak pada kebuntuan proses artikulasi ekonomi dan politik dari ‘Daerah’ kepada proses pembuatan kebijakan nasional di ‘Pusat’. Kehidupan bernegara menjadi sangat tiranik. Negara menghegemoni bangsa, dengan mengarahkan konsepsi nasionalisme sesuai dengan kebutuhan rezim penguasa. Dengan kondisi seperti ini, berbagai etnis masyarkat di ‘Daerah’ tidak lagi merasakan manfaat sebagai bagian dari Indonesia. Perasaan tersisihkan dari kesatuan sebagai bangsa dalam nasionalisme Indonesia muncul. Walhasil, terjadi penguatan semangat kesukuan dan kedaerahan yang berdampak pada krisis identitas nasional dan krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan nasional. Solidaritas nasional pun melemah, tergerus oleh sentimen etnisitas.

Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, menimbulkan gejolak sosial di berbagai daerah. Konflik sosial hingga upaya disintegrasi nasional merebah di sejumlah daerah. Reformasi pun tidak lagi terelakkan. Keran demokratisasi, bahkan deliberalisasi di buka. Euforia reformasi memicu perubahan sosial yang begitu cepat. Ikatan etnisitas dan kedaerahan kembali menunjukkan identitasnya. Pemerintah pusat seakan kehilangan legitimasi di sejumlah daerah. Puncaknya adalah lepasnya Timor Timur. Belum lagi wacana pemberontakan yang digulirkan oleh Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali bergulir di tingkat daerah.

Separatisme tampaknya menjadi isu di mana pelakunya harus dibasmi sedemikian rupa, tanpa memahami alasan apa di balik munculnya gerakan tersebut. Bisa jadi separatisme merupakan bentuk otokritik terhadap hegemoni negara terhadap proses nation-building yang melahirkan pembangunan yang berketidakadilan. Meski demikian, tidak dapat dinafikan juga bahwa ada beberapa kelompok yang memanfaatkan isu perbedaan etnis dan ketimpangan distribusi kesejahteraan menjadi sebuah sumber daya politik yang memang ditujukan untuk memisahkan dari kebangsaan Indonesia.

(14)

Dengan kondisi seperti ini, di mana ketidakmerataan kesejahteraan dan juga munculnya sentimen etnis, merupakan sebuah medium yang subur bagi tumbuhnya wacana gerakan separatis di Indonesia. Gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari kesatuan nasional pada hakikatnya memanfaatkan kondisi tersebut. Oleh karenanya, pemberantasan gerakan separatis yang hanya mengandalkan kekerasan militer maupun diplomasi omong kosong, tampaknya tidak akan pernah membuahkan hasil. Upaya memperlemah munculnya gerakan separatis tersebut adalah dengan langkah meminimalisasikan faktor-faktor pemicu munculnya gerakan separatis tersebut, yakni distribusi dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara adil dan reorientasi pembangunan kebangsaan dan nasionalisme Indonesia.

(15)

6 Faktor Jalan Buntu Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Korupsi berasal dari bahasa latin Cooruptio yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Menurut UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pelaku korupsi (baca : koruptor) didefinisikan sebagai setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Tindakan korupsi hadir dalam bentuk yang beragam. Mulai dari menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan/ kedudukan, menggelapkan uang, sampai menerima hadiah atau janji karena kewenangan/ kekuasaan jabatannya. Pelakunya pun tak hanya penyelenggara negara, bisa juga orang per orang, pegawai negeri kelas ’teri’, ahli bangunan, hakim, dan lain-lain.

Peraturan Perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah muncul sejak 53 tahun silam melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/ Peperpu/ 013/ 1958. Berbagai tim bentukan Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi pun terus bermetamorfosa mulai dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002-2003) hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor (2005), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (2009). Namun hingga saat ini, korupsi masih tumbuh subur di Negeri ini.

Data dari Transparency International Corruption Perception Indeks 2010 menunjukan bahwa Indonesia berada pada posisi terburuk dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,8 (skala dari 1 sampai 10). Semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Data tersebut menyejajarkan Indonesia dengan negara benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands. Bandingkan dengan Singapore, negara tetangga yang memiliki IPK 9,3.

(16)

Apa yang menyebabkan jalan buntu pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? Berikut analisis sederhana saya. Pertama, penegakan hukum yang tidak konsisten. Lihat saja, kasus penyuapan hakim Mutadi Asnun yang divonis 2 tahun penjara. Asnun yang semestinya jadi penegak hukum terbukti menerima suap Rp.50 juta. Juga kasus Jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis 20 tahun penjara, karena terbukti menerima uang Rp.660 ribu dolar AS. Juga kasus-kasus dari para mafia hukum lainnya yang seharusnya menegakkan hukum namun justru merusak citra penegakan hukum di Indonesia.

Kedua, penyalahgunaan kekuasaan. Beberapa tahun yang lalu, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Farouk Muhammad mengakui penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power yang dilakukan polisi masih tinggi di Indonesia. Abuse of

power itu meliputi tindakan brutal dan korupsi. Praktek-praktek kolusi dan nepotisme

yang merupakan teman dekat korupsi acap kali kita dengar mewarnai sistem rekruitmen dan sistem manajemen tidak hanya Kepolisian tetapi juga lembaga Negara lainnya. Ditetapkannya Sesmenpora Wafid Muharam terkait kasus suap pembangunan wisma atlit untuk Sea Games 2011 di Palembang, turut membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Ketiga, budaya upeti dan ucapan terima kasih. Mungkin karena terlanjur dikenal sebagai masyarakat yang santun, bagi orang Indonesia kurang pas rasanya tanpa menyertakan ‘amplop’ ketika menerima jasa dari orang lain, meskipun jasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya diberikan sebagai konsekuensi dari pekerjaan orang tersebut. Legalisir SK/Akte/Surat menyodorkan uang, mengurus kenaikan pangkat menyodorkan uang, membuat KTP/SM menyodorkan uang, apa saja yang berhubungan dengan birokrasi umum selalu diidentikkan dengan menyodorkan uang. Alasannya selalu ‘ucapan terima kasih’ tetapi sebenarnya adalah suap. Sampai kapan mau melestarikan budaya ini?

Keempat, keuntungan korupsi lebih tinggi dibanding kerugian bila tertangkap. Perhatikanlah kasus terdakwa korupsi subsidi pembangunan perumahan Griya Lawu Asri (GLA) Karanganyar, Fransiska Riana Sari beberapa tahun lalu. Ia divonis dua tahun

(17)

penjara dan denda Rp 100 juta, meski dalam kasus korupsi GLA terjadi kerugian uang negara senilai Rp. 1,54 miliar. Atau tentang si mafia pajak Gayus Tambunan yang didenda Rp. 500 juta padahal di Safety Box miliknya yang disita dari Bank Mandiri Jakarta beberapa waktu lalu terdapat kekayaan senilai Rp 74 Miliar.

Kelima, penciptaan lingkungan yang anti korupsi. Keluarga sebenarnya memberi peran strategis dalam menciptakan nilai-nilai anti korupsi kepada anak seperti rasa tanggung jawab. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kewajiban, amanah, berani menghadapi, tidak mengelak, ada konsekuensi, berbuat yang terbaik. Namun faktanya, jarang sekali orang tua yang melatih anaknya untuk memiliki nilai tanggung jawab. Setiap hari orang tua yang memasukkan buku-buku ke dalam tas, anak-anak tidak dibiasakan untuk bangun pagi sendiri dan merapikan tempat tidur, makan disuapin, belajar disiapkan guru privat, dan banyak lagi kebiasaan yang tanpa sadar mencetak nilai-nilai anti korupsi. Termasuk gaya hidup sederhana yang jarang saya lihat dipraktekkan di keluarga-keluarga Indonesia.

Keenam, gagalnya pendidikan agama dan etika. Sebagai salah seorang pendidik, saya merasakan sistem pendidikan saat ini belum berhasil menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Pendidikan agama seolah-olah terpisah dari kehidupan sekuler. Keberhasilannya hanya diukur sampai tingkat pengertian dan kemampuan anak didik dalam melaksanakan praktek-praktek agamawi, bukan pada apresiasi pada penampakan nilai-nilai kebaikan. Sekolah secara rutin menyelenggarakan doa bersama menjelang UN, namun praktek-praktek kecurangan terorganisir dianggap hal yang wajar. Jika hal ini terus menerus membudaya, sampai kapan impian kita menjadi Negara yang bersih dari korupsi akan terwujud?

Sumber :

http://hukum.kompasiana.com/2011/05/17/6-faktor-jalan-buntu-pemberantasan-korupsi-di-indonesia/

(18)

Referensi

Dokumen terkait

(1) Peringatan tertulis diberikan oleh Kepala Unit Kerja/Bisnis kepada pegawai dalam bentuk surat peringatan, apabila melanggar minimal 1 (satu) ayat dari larangan sebagaimana

Dengan demikian pengertian BMD sebagaimana disebut dalam Permendari (o. $5 &ahun 0335 adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban PD maupun

Moleküler asimetriler nedeniyle optikçe aktif olan, yapıları aynı olan fakat konfigürasyonları farklı maddelerdeki izomeridir.. Bir molekülün uzaysal yapısını ayna

Radon adalah unsur Gas Mulia yang paling stabil karena jari-jari atomnya paling besar.. Argon adalah unsur Gas Mulia yang paling mudah bereaksi dengan

pengaruh secara simultan antara variabel persepsi nilai yang terdiri dari keterlibatan, loyalitas merek, persepsi harga, persepsi kualitas, pengenalan dan persepsi

Jadi simpulannya adalah dari ketujuh puisi yang terdapat pada buku paket “Inilah Bahasa Indonesiaku” semuanya terdapat nilai pendidikan dan hal ini sangat aik

Wesel tersebut memiliki satu track lurus dan dua track yang membelok ke kiri atau ke kanan di mana sumbu dari ketiga bertemu di satu titik. o Wesel

Siti Wulandari ‘Siwu’ sang pujaan hati yang selalu ada di setiap penulis mendapat kesulitan, selalu memberikan do’a, dorongan, semangat, motivasi serta cinta dan