• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan. Teknologi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan. Teknologi yang"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Permasalahan

Pesatnya kemajuan teknologi, dalam konteks perpustakaan berpengaruh terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan. Teknologi yang didominasi oleh penggunaan komputer dianggap telah mampu menggantikan fungsi tenaga manusia dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas yang biasa dikerjakan manusia, tidak terkecuali pustakawan. Meski tidak seluruh aspek manusia dapat digantikan mesin, namun harus diakui bahwa teknologi mampu menghasilkan produk yang segi kuantitas maupun kualitasnya melebihi produk hasil karya manusia (Suwarno, 2010:3). Perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang berada di lingkungan perguruan tinggi yang pada hakekatnya merupakan bagian integral dari suatu perguruan tinggi. Perpustakaan ini bersama sama dengan unit kerja lainnya dan dengan peran yang berbeda-beda bertugas membantu perguruan tingginya untuk melaksanakan program Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tujuan diselengggarakan perpustakaan perguruan tinggi adalah untuk menunjang terlaksananya program pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi atau lazim dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hal ini ditempuh melalui pelayanan informasi yang meliputi lima aspek yaitu pengumpulan informasi, pengolahan informasi, pemanfaatan informasi, penyebaran informasi, pemeliharaan atau pelestarian informasi (Saleh, 1995:17). Proses pendidikan di perguruan tinggi tidak lepas dari kegiatan penelitian dan pengembangan, inovasi serta rekayasa ilmu pengetahuan, sehingga

(2)

perpustakaan perguruan tinggi sering dikatakan sebagai “jantungnya” universitas (Sutarno, 2006:36). Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut perpustakaan perguruan tinggi memiliki koleksi antara lain buku, majalah, laporan hasil penelitian, surat kabar, kaset audio, CD-ROM, serta layanan internet. Semua bahan koleksi tersebut disimpan di perpustakaan dengan tata urutan yang sistematis sehingga mudah dan cepat dalam penemuan kembali informasi. Biasanya pada perpustakaan perguruan tinggi, koleksi perpustakaan dilayankan dengan sistem terbuka kepada pengguna. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada pengguna untuk memilih bahan pustaka yang diinginkan dan sangat bermanfaat untuk meningkatkan minat baca. Pengguna pun akan memiliki alternatif lain seandainya bahan pustaka yang dikehendaki tidak ada, maka ia dapat memilih bahan pustaka yang lain yang sesuai dengan kebutuhan informasinya. Namun hal yang sangat disayangkan dari dilaksanakannya sistem layanan terbuka ini adalah timbulnya perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan oleh pengguna, hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyo-Basuki (1992:41) yang menyatakan bahwa kerusakan fisik seperti dokumen kotor, goresan pada foto dan rekaman, halaman koyak, dan coretan pada dokumen sering terjadi bila unit informasi terbuka untuk umum.

Koleksi perpustakaan bisa mengalami kerusakan yang tidak hanya disebabkan oleh alam misalnya sinar matahari langsung dan kelembaban udara, melainkan juga disebabkan oleh manusia. Manusia yang dalam hal ini adalah pengguna perpustakaan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada koleksi perpustakaan. Kerusakan fisik koleksi perpustakaan dapat berupa antara lain

(3)

dokumen kotor, goresan pada foto dan rekaman, halaman robek, dan lain-lain, bahkan manusia yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan hilangnya bahan pustaka dari perpustakaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeatminah (1992:1) yaitu manusia yang tidak bertanggung jawab merupakan perusak yang paling hebat, karena tidak hanya menyebabkan kerusakan tetapi juga hilangnya bahan pustaka. Pengguna perpustakaan dapat bertindak sebagai lawan atau kawan dalam usaha pelestarian bahan pustaka. Sulistyo-Basuki menegaskan bahwa manusia dalam hal ini pengguna perpustakaan dapat merupakan lawan atau juga kawan. Pengguna perpustakaan menjadi kawan bilamana dia membantu pengamanan buku dengan cara menggunakan bahan pustaka secara cermat dan hati-hati. Pengguna akan menjadi musuh bilamana dia memperlakukan buku dengan kasar sehingga sobek atau rusak. Perpustakaan perguruan tinggi sangat rawan terhadap perilaku penyalahgunaan koleksi. Hal ini disebabkan salah satunya karena perpustakaan perguruan tinggi melayankan koleksinya dengan sistem layanan terbuka. Dalam sistem layanan terbuka ini pengguna dapat secara langsung memilih bahan pustaka yang diinginkan ke rak tempat jajaran koleksi diletakkan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Hendrick dan Murfin pada tahun 1974 menemukan bahwa 8,3 % mahasiswa di Perpustakaan Kent State University melakukan mutilasi terhadap jurnal-jurnal. Demikian juga penelitian yang dilakukan Gouke dan Murfin dalam Adewoye (1992:30) yang menunjukkan bahwa untuk majalah, perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi melaporkan kira-kira 150 artikel telah dimutilasi tiap bulan. Di Indonesia, berdasarkan

(4)

penelitian yang dilakukan oleh Roskusumah (1999:50), di Perpustakaan Fakultas Seni Rupa ITB menyebutkan bahwa 50 % mahasiswa memutilasi majalah ilmiah. Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanis (1999:60-61) di Perpustakaan Centre Cultural Francais di Bandung yang menyebutkan bahwa 81,58 responden menyatakan sering merobek majalah. Di UPT Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanis pada tahun 2001 sebanyak 34,04 % responden mengaku pernah melakukan mutilasi pada koleksi majalah di perpustakaan.

Dari artikel yang diterbitkan oleh harian Media Indonesia tanggal 5 Januari 2002 disebutkan bahwa jumlah buku koleksi Perpustakaan Daerah Jawa Timur terus mengalami penyusutan. Ini disebabkan banyak pengunjung tidak mengembalikan buku yang pernah dipinjam. Kepala Badan Perpustakaan Daerah Jawa Timur saat itu, Suprastowo, menuturkan bahwa tiap bulan selalu saja ada sekitar 10 buku yang hilang. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi hilang satu saja bisa mengurangi jumlah koleksi buku, bila dihitung sejak perpustakaan berdiri, jumlah buku yang hilang sudah mencapai ribuan. Biasanya buku yang hilang bukan karena dicuri, tapi pengunjung malas untuk mengembalikan, jadi hilangnya buku tidak disebabkan lemahnya pengawasan yang dilakukan, namun semata-mata karena pengunjung malas mengembalikan. Pihak perpustakaan akan langsung meminta pengunjung yang bersangkutan untuk mengembalikan buku yang dipinjam jika alamatnya jelas. Dan jika buku yang dipinjam hilang, maka pengunjung yang bersangkutan harus mau mengganti sesuai dengan judul buku yang dipinjam.Selain faktor malas, ketentuan denda terhadap pengunjung yang

(5)

terlambat mengembalikan buku buku juga sangat ringan. Satu buku hanya dikenakan denda berupa uang sebesar Rp. 500,00, padahal harga buku saat ini sangat mahal. Pengelola perpustakaan tidak bisa berbuat banyak dengan denda, karena memang aturan yang ditetapkan pemerintah provinsi seperti itu. Yang bisa dilakukan pihak perpustakaan hanya sebatas pengawasan secara ketat terhadap setiap pengunjung dan menyeleksi calon anggota. Pihak perpustakaan juga menyadari bahwa untuk mengawasi pengunjung yang setiap hari mencapai 500 orang tidak mudah. Apalagi, jumlah petugas perpustakaan tidak terlalu banyak dibanding pengunjung. Dengan berbagai keterbatasan, perpustakaan daerah harus tetap melayani, karena perpustakaan sudah menjadi milik publik, jadi harus tetap melayani pengunjung seperti biasa. Meski banyak buku yang hilang, pihak perpustakaan mengaku tidak gundah, karena tiap tahun jumlah buku yang menjadi koleksi juga terus bertambah. Jika dibandingkan antara buku hilang dan masuk, buku yang masuk masih lebih besar. Untuk mengawasi jumlah buku yang banyak memang tidak mudah. Pihak perpustakaan hanya berharap kesadaran pengunjung untuk tetap bisa merawat dan menjaga. Apalagi, beban Perpustakaan Daerah Jawa Timur semakin berat, karena tidak hanya melayani di Surabaya, tapi juga mendistribusikan ke perpustakaan umum di kabupaten dan kota.

Penyalahgunaan koleksi dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi perpustakaan. Kerugian dibagi dua yaitu kerugian secara finansial dan kerugian secara sosial. Kerugian secara finansial yaitu kerugian yang dirasakan oleh perpustakaan dalam hal dana yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki koleksi yang rusak, mengganti kerugian kertas, dan menjaga kualitas bahan

(6)

pustaka.Bahkan peringatan yang tegas dalam artikel yang berjudul Vandalism of Library Books tentang besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki koleksi yang rusak. Peringatan itu berbunyi : “Please be aware that a mutilated book or journal may cost anywhere from a few dollars to hundreds to replace.” Kerugian sosial yang dialami oleh perpustakaan karena adanya koleksi yang rusak antara lain adalah berkurangnya kepercayaan atau dapat memberikan suatu citra (image) yang kurang baik terhadap perpustakaan sebagai gudang informasi. Misalnya tindakan mutilasi dapat menimbulkan rasa marah dan frustasi pengguna yang menginginkan suatu artikel di suatu majalah yang ternyata tidak ada karena telah dirobek orang lain. Hal ini sesuai dengan sebuah pernyataan dalam artikel yang berjudul Vandalism of Library Books yaitu :”More frustrating still is actually finding the right volume, turning to the page where the article should be and discovering that someone has torn or cut out the pages.” Pengguna terkadang harus menunggu beberapa hari untuk memperoleh artikel yang diinginkan karena harus menunggu perbaikan majalah oleh pustakawan. Hal ini sesuai dengan pendapat Constantinou (1995:505) yaitu : ”Students can not use the library resources to their fullest because they cannot find articles in mutilated journals. They often have to wait for days to get replacement pages through ill services.”

Perilaku penyalahgunaan koleksi sangat berbahaya karena akan berdampak buruk bagi perpustakaan antara lain terhalangnya transfer informasi dan ilmu pengetahuan serta kemajuannya, terganggunya iklim pendidikan, biaya preservasi bahan pustaka yang meningkat, mengurangi bahkan menghilangkan

(7)

keindahan koleksi, berdampak sosial pada lingkungan dan diri objek misalnya menularnya kebiasaan melakukan perilaku penyalahgunaan koleksi kepada orang lain dan lain sebagainya. Berangkat dari masalah ini penulis tertarik untuk meneliti mengenai perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan oleh pengguna perpustakaan dan beberapa faktor yang mempengaruhinya.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok pertanyaan dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana perilaku penyalahgunaan koleksi buku dan skripsi yang dilakukan oleh pengguna Perpustakaan STIESIA ?

2. Faktor-faktor apa yang mendorong pengguna Perpustakaan STIESIA melakukan perilaku penyalahgunaan koleksi di perpustakaan ?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan oleh pengguna Perpustakaan STIESIA Surabaya. Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun rekomendasi bagi Perpustakaan STIESIA dalam menyusun kebijakan untuk mencegah terjadinya perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan oleh pengguna.

(8)

I.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya kajian Ilmu Informasi dan Perpustakaan, khususnya dalam bidang perilaku penyalahgunaan koleksi di kalangan pengguna perpustakaan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi bagi pihak perpustakaan, baik di lingkungan internal maupun eksternal Perpustakaan STIESIA Surabaya, khususnya dalam hal penyusunan sistem kebijakan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan koleksi perpustakaan.

I.5 Landasan Teori I.5.1 Definisi Perilaku

Di dalam kamus Psikologi disebutkan bahwa perilaku mempunyai empat arti (Chaplin dalam Prabandari, 1994) :

1. Beberapa respon yang dilakukan organisme

2. Sebagai salah satu respon spesifik dari seluruh pola respon 3. Suatu kegiatan atau aktivitas

4. Suatu gerakan atau beberapa gerakan yang kompleks

Perilaku atau aktivitas yang berlaku pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal

(9)

(Walgito, 1991). Perilaku dapat diobservasi (Siegler dalam Prabandari, 1994) baik langsung seperti tertawa, minum, dan sebagainya ataupun tidak langsung seperti pikiran dan perasaan. Psikolog membuat asumsi atau teori tentang perasaan, sikap, pikiran, dan proses mental lainnya yang ada di belakang individu. Lingkungan mental internal dapat dipelajari sebagai manifestasi organisme dalam berperilaku. Perilaku dilakukan sebagai suatu respon, demikian menurut Chaplin. Respon akan terjadi akibat suatu penyebab atau stimulus. Individu akan melakukan sesuatu karena ada penyebab atau stimulus. Penyebab perilaku itu antara lain bila seseorang memberi penilaian positif pada perilaku itu dan yakin bahwa orang lain mempunyai arti penting baginya serta menghendakinya untuk melakukan perilaku itu (Ajzen dalam Prabandari, 1994).

Sedangkan definisi perilaku menurut Skinner (1938) yang dikutip Notoatmodjo (1997) adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Ada dua jenis respon yaitu responden respon dan operant respon. Responden respon adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan tertentu. Perangsangan itu menimbulkan respon yang bersifat relatif tetap. Misalnya makanan yang lezat beraroma akan merangsang keluarnya air liur. Operant respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh rangsangan tertentu. Perangsangan itu akan mengikuti atau memperkuat suatu perilaku tertentu yang telah dilakukan oleh organisme.

Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap

(10)

yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.

Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (theory of reasoned action) (Ajzen & Fishbein, 1980 dalam Brehm & Kassin, 1990; Ajzen, 1988). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri, teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal, bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka. Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma subyektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subyektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Teori perilaku beralasan kemudian diperluas dan dimodifikasi oleh Ajzen (1988). Modifikasi ini dinamai Teori Perilaku Terencana (theory of planned behavior). Dalam teori perilaku terencana keyakinan-keyakinan berpengaruh pada

(11)

sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subyektif, dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga komponen berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif (yang diharapkan oleh orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan normatif tersebut membentuk norma subyektif dalam diri individu. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika diri seseorang sedang berada dalam kondisi yang lemah.

Menurut teori perilaku terencana, di antara berbagai keyakinan yang akhirnya akan menentukan intensi dan perilaku tertentu adalah keyakinan mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan (Ajzen, 1988). Keyakinan ini dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang bersangkutan di masa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tidak langsung mengenai perilaku itu misalkan dengan melihat pengalaman teman atau orang lain yang pernah melakukannya, dan dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mengurangi atau menambah kesan kesukaran untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan. Perilaku manusia tidaklah sederhana untuk dipahami dan diprediksikan. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia.

(12)

Di samping berbagai faktor penting seperti hakikat stimulus itu sendiri, latar belakang pengalaman individu, motivasi, status kepribadian, dan sebagainya,

memang sikap individu ikut menentukan bagaimanakah perilaku seseorang di lingkungannya. Pada gilirannya, lingkungan secara timbal balik akan

mempengaruhi sikap dan perilaku. Interaksi antara situasi lingkungan dengan sikap, dengan berbagai faktor di dalam maupun diluar individu akan membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang.

1.5.2 Pembentukan Perilaku

Perilaku terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola perilaku tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.

(13)

1. Pengalaman Pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya perilaku. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk perilaku positif ataukah perilaku negatif, akan tergantung pada berbagai faktor lain. Sehubungan dengan hal ini, Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk perilaku negatif terhadap objek tersebut. Pembentukan kesan atau tanggapan terhadap objek merupakan proses kompleks dalam diri individu yang melibatkan individu yang bersangkutan, situasi di mana tanggapan itu terbentuk, dan atribut atau ciri-ciri objektif yang dimiliki oleh stimulus. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan perilaku, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu perilaku akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Namun, dinamika ini tidaklah sederhana dikarenakan suatu pengalaman tunggal jarang sekali dapat menjadi dasar pembentukan perilaku. Individu sebagai orang yang menerima pengalaman, orang yang melakukan tanggapan atau penghayatan, biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya dari

(14)

pengalaman-pengalaman lain yang terdahulu, yang relevan. Bagaimana individu bereaksi terhadap pengalaman saat ini jarang lepas dari penghayatannya terhadap pengalaman-pengalaman di masa lalu.

2. Pengaruh Kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan perilaku kita. Seorang ahli psikologi, Burrhus Frederick Skinner sangat menekankan pengaruh lingkungan termasuk kebudayaan dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian, katanya, tidak lain daripada pola perilaku konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang kita alami (Hergenhahn, 1982). Kita memiliki pola perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk perilaku tersebut bukan untuk perilaku yang lain. Tanpa kita sadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah perilaku kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai perilaku anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan perilaku individual.

3. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu di antara komponen sosial yang ikut mempengaruhi perilaku kita. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan

(15)

pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan perilaku kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri, suami, dan lain-lain. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki perilaku yang konformis atau searah dengan perilaku orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. Pada masa anak-anak dan remaja, orang tua biasanya menjadi figur yang paling berarti bagi anak. Interaksi antara anak dan orang tua merupakan determinan utama perilaku si anak. Perilaku orang tua dan perilaku anak cenderung untuk selalu sama sepanjang hidup (Middlebrook, 1974). Namun, biasanya apabila dibandingkan dengan pengaruh teman sebaya, maka pengaruh perilaku orang tua jarang menang. Hal itu terutama terjadi pada remaja di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Seorang anak yang biasanya belum begitu kritis mengenai suatu hal, akan cenderung mengambil perilaku yang serupa dengan perilaku orang tuanya dikarenakan adanya proses imitasi atau peniruan terhadap model yang dianggapnya penting, yakni orang tuanya sendiri. Akan tetapi, bila terjadi pertentangan antara perilaku orang tua dan perilaku teman sebaya dalam kelompok anak tersebut, maka anak akan cenderung untuk mengambil perilaku yang sesuai dengan perilaku kelompok. Bagi seorang anak persetujuan atau kesesuaian perilaku sendiri

(16)

dengan perilaku kelompok sebaya adalah sangat penting untuk menjaga status afiliasinya dengan teman-teman, untuk menjaga agar ia tidak dianggap “asing” dan lalu dikucilkan oleh kelompok. Sedangkan ketidaksesuaian dengan perilaku orang tua menjadi berkurang pentingnya dan bahkan ketidaksesuaian itu dapat dianggapnya sebagai suatu bentuk independensi atau kemandirian yang dapat dibanggakannya.

4. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya perilaku terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah perilaku tertentu. Walaupun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku, peranan media massa tidak kecil artinya. Karena itulah, salah satu bentuk informasi sugestif dalam media massa, yaitu iklan selalu dimanfaatkan dalam dunia usaha guna meningkatkan penjualan atau memperkenalkan suatu produk baru. Dalam hal ini, informasi dalam iklan selalu berisi segi positif mengenai produk sehingga dapat menimbulkan pengaruh afektif yang positif pula. Memang, sebenarnya

(17)

iklan merupakan suatu bentuk strategi persuasi dan strategi pembentukan perilaku positif terhadap barang yang ditawarkan yang menjadi objek perilaku konsumen. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya disampaikan secara obyektif, seringkali dimasuki unsur subyektivitas penulis berita, baik secara sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap perilaku pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima berita-berita yang sudah dimasuki unsur subyektif itu, terbentuklah perilaku tertentu. 5. Lembaga Pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai

pengaruh dalam pembentukan perilaku dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan, maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan perilaku individu terhadap sesuatu hal.

6. Pengaruh Faktor Emosional

Tidak semua bentuk perilaku ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk perilaku merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Perilaku demikian dapat merupakan perilaku yang sementara dan segera

(18)

berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan perilaku yang lebih persisten dan bertahan lama.

I.5.3 Perilaku Penyalahgunaan Koleksi Perpustakaan

Perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan dapat digolongkan menjadi empat macam yaitu :

1. Theft (pencurian) adalah tindakan mengambil bahan pustaka tanpa melalui prosedur yang berlaku di perpustakaan dengan atau tanpa bantuan orang lain. Pencurian bermacam-macam jenisnya, dari pencurian kecil-kecilan sampai yang besar. Bentuk pencurian yang sering terjadi adalah menggunakan kartu perpustakaan curian. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Obiagwu (1992:291) yaitu :”Theft ranges from petty stealing or pilfering to large-scale stealing and bulglary. Borrowing through fraudulent means such as using stolen admission or identity cards is also a form of theft.” Dikatakan pencurian manakala koleksi yang tersedia di perpustakaan tidak dapat diketahui keberadaannya dikarenakan telah diambil oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab. Di kalangan pustakawan, “meminjam” jangka panjang alias mencuri koleksi, biasanya dilakukan karena didorong alasan mahalnya harga buku. Jika membeli, padahal buku tersebut paling hanya dibaca sebagian atau pada bab-bab tertentu dan hanya digunakan untuk satu mata kuliah.

2. Mutilation (perobekan) adalah tindakan perobekan, pemotongan, penghilangan, dari artikel, ilustrasi dari jurnal, majalah, buku, ensiklopedia,

(19)

dan lain-lain tanpa atau dengan menggunakan alat. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Marcel Obiagwu (1992:291) dalam artikelnya Library Abuse in Academic Institutions yaitu :”Mutilation is the excision of articles and illustration from journal, books, encyclopedias, etc.” Ada dua tipe mutilasi yaitu pertama adalah mutilasi yang meliputi perobekan halaman yang sebagian besar terdiri dari ilustrasi dan fotografi, dan kedua adalah mutilasi teks dan tulisan. Sebagai contoh, tindakan mutilasi majalah dapat berbentuk berbagai macam,antara lain adalah perobekan halaman cover atau sampul majalah, perobekan satu halaman atau beberapa halaman dari suatu majalah, perobekan bagian dalam dari halaman di dalam suatu majalah. Dibandingkan dengan tindakan penyalahgunaan koleksi yang lain, mutilasi menduduki peringkat paling tinggi. Tindakan mutilasi dilakukan oleh sebanyak 40% dari 180 responden (Obiagwu, 1992:295). Sobekan maupun coretan di buku perpustakaan bukanlah barang baru yang ditemui. Ulah sebagian pengguna memang seperti itu karena alasan praktis dan jalan pintas belaka. Beberapa pengguna bahkan tega menyobek buku karena malas memfotokopi. Biasanya mereka ini tidak membawa kartu anggota. Karena sudah jauh-jauh datang dan lupa membawa kartu anggota, daripada pulang dengan tangan kosong dan harus kembali lagi, akhirnya mereka sobek saja halaman yang mereka butuhkan. Ulah nakal atau negatif seperti itu tentu saja membuat gemas para pustakawan. Beberapa pustakawan di Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta dengan semangat menuturkan hampir di setiap proses pengecekan koleksi selalu menjumpai sisa-sisa perbuatan tak

(20)

berbudaya, mutilasi dan corat-coret. Bahkan tidak hanya satu halaman saja yang disobek. Ada yang satu bab hilang. Yang lebih parah lagi ada buku yang tersisa sampulnya saja.

3. Unauthorized Borrowing (peminjaman tidak sah) adalah tindakan pengguna

perpustakaan yang melanggar ketentuan peminjaman. Tindakan ini meliputi pelanggaran batas waktu pinjam, pelanggaran jumlah koleksi yang dipinjam, membawa pulang bahan pustaka dari perpustakaan tanpa melaporkannya ke petugas atau pustakawan, meskipun dengan maksud untuk mengembalikannya dan membawa pulang bahan-bahan yang belum diproses dari pelayanan teknis. Bentuk lain dari peminjaman tidak sah adalah peredaran buku yang tersembunyi di dalam perpustakaan untuk kepentingan tertentu atau pribadi.

4. Vandalism (vandalisme) adalah tindakan perusakan bahan pustaka dengan menulisi, mencoret-coret, memberi tanda khusus, membasahi, membakar, dan lain-lain (Obiagwu, 1992:292). Vandalisme merupakan sebutan yang sering digunakan orang untuk mengomentari aksi-aksi anarkis oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab. Vandal sendiri awalnya dikenal dari bangsa Yunani (Romawi) yang mirip dengan bangsa barbar. Dalam kenyataannya, ternyata perpustakaan termasuk sebagai salah satu arena terjadinya vandalisme. Vandalisme yang merupakan sikap perusakan barang-barang milik umum atau orang lain yang konon adalah nama yang diberikan oleh warga Roma kepada suku dari Andalusia yang terkenal dengan brutal. Menurut Kuriake Kharismawan, terjadi vandalisme juga di perpustakaan.

(21)

Vandalisme di perpustakaan merupakan tindakan penambahan, penghapusan, pengubahan, perusakan yang secara sengaja dilakukan. Dari 80% perpustakaan universitas di Indonesia mengalami mutilasi buku. Meski menurut Kuriake Kharismawan, vandalisme dapat saja disebabkan karena seseorang mengalami frustasi, fase kebingungan, badai (mayoritas dialami oleh remaja) dimana merupakan masalah sulit berfikir untuk berempati dengan orang lain. Selain itu pula vandalisme dilakukan karena lingkungan, stres, dan design. Vandalisme yang sering terjadi di masyarakat terjadi karena ada kesenjangan apa yang disampaikan lembaga ilmiah dengan yang ada di lapangan sehingga dapat membuat bingung dan vandalisme sendiri merupakan suatu netralitas karena bisa dikatakan kejahatan bila tidak ada perijinan. Upaya pencegahan salah satunya yaitu dimana pihak perpustakaan harus membuat kiat-kiat sendiri agar vandalisme tidak terjadi lagi dan hal itu dapat disusun berdasarkan motivasi, kasus, dan solusinya. Bila seseorang memiliki keinginan untuk mencuri karena tidak ada yang mengawasi dapat diatasi dengan kontrol. Misalnya saja dengan pemasangan kamera monitor atau pemasangan kaca cembung. Dengan pengontrolan tersebut, maka akan meminimalisasikan vandalisme yang mungkin terjadi. Sense of belonging atau rasa memiliki adalah bentuk perasaan yang ada pada masing-masing diri untuk ikut merasa memiliki. Artinya apabila masing-masing individu pengguna maupun petugas mempunyai sense of belonging atau rasa handarbeni begitu orang Jawa bilang, maka dalam dirinya akan timbul perasaan untuk ikut menjaga, mengawasi, dan memelihara sesuatu yang

(22)

menjadi milik bersama yaitu koleksi dan fasilitas perpustakaan. Perasaan handarbeni timbul manakala pernah kita merasakan ada sesuatu kekuatan yang mengawasi walaupun wujudnya abstrak tapi kita yakin ada yang memantau setiap gerak kita. Kita yakin adanya suatu kekuatan yang melahirkan rasa takut, ketaatan, dan kepatuhan dengan apa yang kita kenal sebagai iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebalikan dari rasa memiliki adalah perasaan egois, perasaan yang lebih berorientasi kepada kepentingan pribadi. Perasaan yang bertujuan hanya untuk memuaskan keinginan diri sendiri, yang penting tujuan dan keinginan tercapai. Sikap, perasaan seperti ini adalah sikap pecundang. Tanpa mau berpikir bagaimana dengan kepentingan pengguna yang lain. Perasaan egois ini akan melahirkan perilaku negatif diantanaya vandalisme. Tepat kiranya apabila perbuatan sebagian atau oknum pengguna yang tidak bertanggung jawab kita klasifikasikan sama dengan vandalisme karena oknum pengguna dengan menggunakan alat cutter atau silet telah dengan sadis memotong halaman buku hingga tembus ke halaman yang lain yang tidak dia butuhkan. Tidak peduli dengan akibat kerusakan yang ditimbulkan, tidak peduli akan hilangnya sebagian informasi, tidak peduli apakah suatu ketika ada teman yang membutuhkan bagian informasi yang terpotong atau yang diambil dengan paksa dan tidak bertanggung jawab.

(23)

I.5.4 Faktor Pendorong terjadinya Perilaku

Jika ditinjau dari perspektif psikologi, perilaku merupakan fungsi interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya, yang berarti perilaku seseorang tidak hanya ditentukan dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungannya. Karena itu dalam konteks perpustakaan, perilaku pengguna selain ditentukan oleh karakteristik pribadi masing-masing, juga dipengaruhi oleh lingkungan perpustakaan. Apabila ada perilaku pengguna yang tidak sesuai dengan harapan pengelola atau sebaliknya maka perilaku tersebut harus dilihat sebagai hasil interaksi dari keduanya. Menurut Mangkunegara (2005) perilaku pengguna adalah tindakan yang dilakukan individu, kelompok, atau organisasi terkait dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan dan menggunakan barang atau jasa yang dibutuhkan yang dapat dipengaruhi lingkungan. Sedangkan menurut Engel et al (2006) dalam Sangadji (2013:7) perilaku pengguna adalah tindakan yang langsung terlibat dalam pemerolehan dan pengonsumsian produk/jasa, termasuk proses yang mendahului dan menyusul tindakan ini. Jadi dalam hal ini, perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan yang dilakukan oleh pengguna berkaitan erat dengan kebutuhannya dalam mendapatkan sumber informasi yang dia butuhkan. Pengguna berkunjung ke perpustakaan karena adanya suatu kebutuhan yang ingin dipenuhi. Ada tiga kebutuhan yang sering ditemui pada pengguna perpustakaan menurut Fisher (1988) antara lain:

1. Needs for information, merupakan suatu kebutuhan akan informasi yang bersifat umum.

(24)

2. Needs for material and fasilities, merupakan kebutuhan untuk mendapatkan buku-buku atau bahan pustaka lain, serta kebutuhan akan fasilitas perpustakaan yang menunjang kegiatan belajar.

3. Needs for guidance and support, merupakan kebutuhan untuk mendapatkan bimbingan atau petunjuk yang memudahkan pengguna mendapatkan apa yang diinginkan.

Kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendasari pengguna perpustakaan untuk mencari cara bagaimana agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dan terkadang cara-cara yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut menyimpang. Misalnya untuk mendapatkan informati terkini di sebuah majalah, mereka terkadang nekad untuk menyobek halaman yang memuat informasi yang mereka butuhkan. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, dibalik perilaku penyalahgunaan koleksi yang dilakukan oleh pengguna, ada faktor-faktor yang menyebabkan pengguna melakukan perilaku tersebut, apakah mencoret-coret buku, menyobek halaman buku, atau bentuk penyalahgunaan koleksi perpustakaan yang lain.

(25)

1.6 Metode dan Prosedur Penelitian I.6.1 Pendekatan dan Fokus Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif. Tipe deskriptif dipilih karena peneliti bermaksud menggambarkan perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan di kalangan pengguna perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya dengan tanpa melakukan pengujian hipotesis. Penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang menggambarkan suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Peneliti di sini bermaksud mendeskripsikan perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan yang dilakukan oleh pengguna Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya. Peneliti juga menetapkan bahwa studi ini bertipe deskriptif karena merujuk pada studi yang pernah dilakukan oleh Agus Rusmana, dkk di tahun 2001. Agus Rusmana melakukan studi mengenai perilaku pelanggaran pengguna perpustakaan

perguruan tinggi di Universitas Padjajaran Bandung. Dalam studi ini, ia menggambarkan berbagai perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna

perpustakaan.

I.6.2 Variabel Penelitian I.6.2.1 Definisi Konseptual

1. Perilaku Penyalahgunaan Koleksi Perpustakaan

Semua tindakan yang dilakukan oleh pengguna perpustakaan yang menyebabkan kerugian bagi perpustakaan dan pengguna lainnya. Perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan meliputi pencurian, mutilasi bahan

(26)

pustaka, peminjaman tidak sah, dan vandalisme (menggaris bawahi tulisan pada buku dengan pensil atau bolpoin, memberi warna pada buku menggunakan stabilo, mencoret-coret buku, dan melipat beberapa halaman dari buku).

2. Pengguna Perpustakaan

Pengguna perpustakaan yang dimaksud adalah pengguna eksternal yang memanfaatkan jasa layanan perpustakaan dalam pemenuhan kebutuhan informasi mereka.

I.6.2.2 Operasionalisasi Konsep 1. Pencurian Koleksi Perpustakaan

Theft (pencurian) adalah tindakan mengambil bahan pustaka tanpa melalui prosedur yang berlaku di perpustakaan dengan atau tanpa bantuan orang lain.

2. Mutilation (perobekan) adalah tindakan perobekan, pemotongan, penghilangan, dari artikel, ilustrasi dari jurnal, majalah, buku, ensiklopedia, dan lain-lain tanpa atau dengan menggunakan alat.

3. Peminjaman tidak sah adalah tindakan pengguna perpustakaan yang melanggar ketentuan peminjaman. Tindakan ini meliputi pelanggaran batas waktu pinjam, pelanggaran jumlah koleksi yang dipinjam, membawa pulang bahan pustaka dari perpustakaan tanpa melaporkannya ke petugas atau pustakawan, meskipun dengan maksud untuk mengembalikannya dan membawa pulang bahan-bahan yang belum diproses dari pelayanan teknis.

(27)

4. Vandalism (vandalisme) adalah tindakan perusakan bahan pustaka dengan menulisi, mencoret-coret, memberi tanda khusus, membasahi, membakar, dan lain-lain (Obiagwu, 1992:292). Vandalisme merupakan sebutan yang sering digunakan orang untuk mengomentari aksi-aksi anarkis oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab.

5. Pengguna Perpustakaan

Di lingkungan perguruan tinggi pengguna perpustakaan yang dimaksud adalah sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi yaitu mahasiswa, dosen, peneliti, dan karyawan. Pengguna perpustakaan yang selanjutnya disebut pengguna adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan.

I.6.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Perpustakaan STIESIA Surabaya. Selama ini penulis melihat Perpustakaan STIESIA melayani kebutuhan pengguna dari beberapa Program Studi yaitu Program Studi Ilmu Akuntansi, Manajemen dan Perpajakan. Dilihat dari hal ini, pengguna Perpustakaan STIESIA pasti beragam dan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan koleksi pun akan lebih besar. Untuk itu, perlu pengkajian lebih lanjut mengenai perilaku penyalahgunaan koleksi yang mereka lakukan, sehingga diharapkan pihak perpustakaan dapat meminimalisasi kejadian tersebut demi kepentingan perpustakaan dan seluruh penggunanya.

(28)

I.6.4 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi sasaran (target population) adalah populasi yang menjadi sasaran penelitian dan sekaligus menjadi cakupan kesimpulan penelitian secara keseluruhan (Adam, 2006). Sasaran dalam penelitian ini adalah pengguna eksternal Perpustakaan STIESIA. Pengguna perpustakaan merupakan barometer keberhasilan suatu perpustakaan. Pengguna (users) secara tidak langsung adalah tujuan dari sistem perpustakaan. Fleming (1990) secara tegas mengatakan bahwa pengguna adalah mereka yang menerima manfaat utama dari suatu sistem informasi yang diciptakan.

Sedangkan teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik accidental sampling (sampel secara kebetulan) yaitu mengambil responden yang kebetulan ditemui pada saat kegiatan penelitian berlangsung. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang. Penentuan jumlah sampel ini berdasarkan rumus Slovin (Umar, 2008 : 65) yaitu :

(29)

N n = 1 + N e2 Keterangan: n = Ukuran sampel N = Jumlah populasi

e = Ukuran kelonggaran, karena pengambilan sampel dalam penelitian ini sebesar 5%

Maka jumlah sampel yang diperoleh yaitu : 100 n = 1 + 100 (0,0025) 100 = 1 + 0,25 100 = 1,25 = 80 responden

(30)

I.6.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu :

1. Observasi, yaitu dengan mengamati secara langsung tentang kegiatan yang berlangsung di Perpustakaan STIESIA Surabaya.

2. Wawancara dengan para pustakawan dan Kepala Perpustakaan STIESIA tentang berbagai perilaku penyalahgunaan koleksi yang sering dilakukan oleh pengguna perpustakaan.

3. Kuesioner, untuk memperoleh data tertulis dari responden dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan secara langsung berupa sejumlah pertanyaan berstruktur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam kuesioner ini untuk mengukur variabel dan penilaiannya menggunakan Skala Likert yang dijadikan 5 (lima) alternatif jawaban yang diberi skor untuk keperluan analisis kuantitatif, yaitu:

a. Jawaban sering sekali Nilai skor 5 b. Jawaban sering Nilai skor 4 c. Jawaban cukup sering Nilai skor 3 d. Jawaban jarang Nilai skor 2 e. Jawaban tidak pernah Nilai skor 1

4. Studi Kepustakaan, merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengkaji berbagai sumber bacaan atau referensi yang dianggap relevan dengan masalah tersebut di atas.

(31)

I.6.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data I.6.6.1 Teknik Pengolahan Data

Untuk pengolahan data hasil penelitian ini, penulis menggunakan teknik prosentase dan teknik coding. Hal ini dimaksudkan untuk melihat serta sekaligus menganalisis daftar pertanyaan yang diajukan sebagai dasar untuk pengambilan kesimpulan penelitian.

Adapun penggunaan teknik coding untuk masing-masing instrumen penelitian adalah sebagai berikut :

1. Pencurian Koleksi

Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 + 1 = 3 Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 + 5 = 15 Skala 3 – 15 = 13

Interval : tinggi = 11 – 15 sedang = 7 – 10 rendah = 3 – 6 2. Mutilasi Koleksi

Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 = 2 Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 = 10 Skala 2 – 10 = 9

Interval : tinggi = 6 – 8 sedang = 4 – 6 rendah = 2 – 4

(32)

3. Peminjaman Tidak Sah

Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 + 1 + 1 = 4 Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 + 5 + 5 = 20 Skala 4 – 20 = 17

Interval : tinggi = 15 – 20 sedang = 9 – 14 rendah = 4 – 8 4. Vandalisme Koleksi

Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 + 1 + 1 = 4 Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 + 5 + 5 = 20 Skala 4 – 20 = 17

Interval : tinggi = 15 – 20 sedang = 9 – 14 rendah = 4 – 8

I.6.6.2 Teknik Analisis Data

Untuk melakukan teknik analisis datanya, penulis melakukan pengolahan data dari hasil penyebaran angket dengan menyajikannya dalam berupa table tunggal. Untuk selanjutnya dari table yang disajikan tersebut dilakukan analisis berdasarkan coding pada masing-masing instrumen penelitian dengan didukung

dari hasil wawancara, observasi, maupun berdasarkan studi literatur dari sumber-sumber yang terkait dengan kegiatan penelitian tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun penelitian yang akan penulis lakukan tertuang dalam proposal skripsi ini berjudul “Pengaruh Perilaku Konsumen Terhadap Minat Beli Air Mineral Isi Ulang

Melihat secara langsung terhadap penerapan keterampilan guru dalam mengelola kelas dan faktor yang mempengaruhinya pada pembelajaran Al- Qur’an Hadits di Madrasah

lahan bermanfaat bagi penggunaan lahan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan, karena perubahan

Sistem pengukuran kinerja dapat memberikan bukti bahwa pemahaman yang tinggi terhadap tujuan suatu pekerjaan, dapat memberikan informasi yang relevan terhadap pekerjaan, dan

Karena strategi komunikasi pemasaran yang sebelumnya dinilai masih efektif dalam mempertahankan posisi Toyota Avanza sebagai market leader di kelas LMPV

Dalam anime sendiri, pengaruh Shinto dapat dilihat mulai dari hal-hal kecil yang sudah membudaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, seperti keberadaan seorang

Risiko bahwa prosedur yang dilaksanakan auditor untuk menekan risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima, tidak akan mendeteksi salah saji yang bisa material, secara

Beberapa fungsi dari PIT atau biasa- nya disebut juga dengan counter/ timer pada mikrokomputer yang dapat di implemetasikan oleh 8253 sebagai berikut :.. •