• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Epistemologi berasal dari bahsa Yunani yakni episteme (pengetahuan) dan logos

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Epistemologi berasal dari bahsa Yunani yakni episteme (pengetahuan) dan logos"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

27

BAB II

EPISTEMOLOGI TAFSIR AL-QUR’A>N DAN TADABBUR AL-QUR’A>N A. Pengertian Epistemologi

Epistemologi merupakan bagian dari pembahasan filsafat, namun kajian ini menempati posisi sentral ilmu pengetahuan sebagai induk segala ilmu. Terma Epistemologi berasal dari bahsa Yunani yakni episteme (pengetahuan) dan logos (perkataan, pikiran dan ilmu). Kata ‚Episteme‛ dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai yang memiliki arti mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Makna harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk ‚menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.‛ Selain kata ‚episteme‛ dalam bahasa Yunani juga dipakai kata ‚gnosis‛, maka istilah ‚epistemologi‛ dalam sejarah pernah juga disebut genosiologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan. Epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge/Erkentnis theory). 34

Term epistemologi pertama kali dipopulerkan oleh J>.F. Ferrier (1854 M) yang membedakan dua cabang filsafat epistemologi dan ontologi. Epistemologi didefinisikan sebagai cara atau metode untuk mencari pengetahuan sedangkan ontologi merupakan kajian terhadap hakikat pengetahuan itu sendiri.35 Gambaran lebih spesifik, epistemologi menelusuri terhadap asal, struktur, metode dan

34 A.M.W Pranaka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 3-5.

35 Ahmad Tafsir, Pengantar Filsafat Umum: Dari Thales Sampai Nietzhea ( Bandung:

(2)

28

validitas pengetahuan (the branch of philosophy wich investigates the origin, stucture, methods and validity of knowledge).36 Hal inilah yang kemudian menjadi pokok-pokok kajian dalam epistemologi.

Kajian epistemologi mencakup segala aspek proses pembentukan, hingga melahirkan suatu produk pengetahuan yang dapat diperanggung jawabkan melalui prosedur ilmiah. Sebagaimana telah disampaikan DW. Hamlyn, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pegetahuan, pengandai-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.37 Lebih jelasnya seperti kutipan berikut:

‚Epistemology or the theory of knowledge is that branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and in the general reability of claim to knowledge.‛ 38

Dengan demikian, pengertian tersebut menunjukkan bahwa epistemologi adalah teori dan sistem pengetahuan yang berhubungan dengan the nature of knowledge (hakekat pengetahuan)., the origin of knowledge (sumber pengetahuan), dan validity of knowledge (validitas pengetahuan).

Pengertian epeistemologi yang begitu beragam coraknya tetapi nampaknya tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti satu sama lain, namun rumusan pengertian epistemologi yang disampaikan A.H. bakker, cukup representatif

36 .M.W Pranaka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 3.

37 DW. Hamlyn, History of Epistemology, dalam Paul Edwward, The Encyclopedia of

Philosophu, 1967, Vol 3,9.

(3)

29

sebagai acuan, sebagaiman juga dinukil Miska Muhammad Amin, yang menyamakan pengertian epistemologi degan metodologi sebagaimana dalam kutipannya sebagai metodologi dapat dipahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan (epistemologi). Filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian manusia. Dapat ditemukan kategori-kategori umum yang hakiki bagi segala pengertian, jadi berlaku bagi semua ilmu.‛ 39

Karena epistemologi memiliki pengertian yang sama dengan metodologi dalam pandangan tersebut, maka ia dapat diartikan sebagai teori tentang metode atau cara yang terencana untuk memperoleh hakekat kebenaran suatu pengetahuan menurut aturan tertentu. Namun sebagai suatu pendekatatan dalam ilmu tafsir, pemaknaan tentang metodologi lebih terhadap proses penafsiran yang menghasilkan suatu produk tafsir.

Tafsir sebagai bagian dari ilmu pengetahuan membatasi ruang lingkup pembahasan yang hanya berkenaan tentang metode untuk memahami dan mejelaskan makna al-Qur’a>n.40

Epistemologi tafsir berkaitan dengan pemetaan terhadap sumber dan metode kecenderungan penafsiran, sehingga perangakat metodologi tafsir dengan berbagai pendekatan baik yang berupa semuah ideologi ataupun pemikiran adalah bagian dari epistemologi penafsiran. Pemetaan al-Farmawi tentang metode dan

39 A.H. Bakker, Metode-metode Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat, Yogyakarta:

(diktat), t.th., hlm. 3

(4)

30

corak penafsiran, selama ini banyak dijadikan rujukan untuk mengkaji kitab tafsir.

Namun, dinamika perkembangan tafsir tidak cukup mampu untuk digambarkan dengan tegas antara sumber, metode dan pendekatan tafsir. Hanya saja, al-Farmawi mampu memprakarsai lahirnya metode tafsir Maud}u’i secara sistematis dengan mengahadirkan corak penafsiran yang berkembang selama ini, riwayah, ijtihadi, fiqhi, sufi, falsafi, lughawi dan adab ijtima’i.41 Berbeda dengan

pemetaan metode tafsir jauh sebelumnya seperti yang digambarkan oleh Ali Ash-Shabuny bahwa metode tafsir hanya diklasifikasikan menjadi ma’tsur/riwayah, ra’y dan isyari.

Pemetaan tafsir secara epistemologis, pernah dilakukan oleh Ridlwan Natsir dengan mengkalisifikasikan metode tafsir berdasarkan sumber penafsiran (mas}a>dir at-tafsir), metode penafsiran (manhaj at-tafsir) dan corak atau kecenderungan penafsiran (laun at-tafsir).42 sumber penafsiran menurut Natsir

dapat diklasifikasikan dalam bentuk ma’tsur/riwayah, ra’y, dan iqtirany (perpaduan riwayat dan ijtihad).

41 Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bida>yah fi> at-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah,

1999), 20

42 Ridlwan Natsir, Memahami al-Qur’a>n; Perspektif Baru Tafsir Muqarin, (Surabay: CV. Indera

(5)

31

B. Macam-Macam Metode Tafsir

Kata ‚metode‛ berasal dari Bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.43 Dalam Bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan dalam Bahasa Arab diterjemahkan dengan t}ari>qah dan manhaj. Dalam Bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti ‚cara yang teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.44

Pengertian metode yang umum itu dapat digunakan pada berbagai obyek, baik berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir al-Qur’a>n tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah di dalam ayat-ayat al-Qu’ra>n yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan yang dimaksud dengan metode penafsiran al-Qur’an ialah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang didasarkan ataspemakaian sumber-sumber penafsirannya, atau system penjelasan tafsiran-tafsirannya, keluasan

43Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, ‚Beberapa Asas Metodologi Ilmiah‛, dalam Koentjaraningrat

(ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977), 16.

44 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai

(6)

32

penjelasan tafsirannya, maupun yang didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkannya.

Metode tafsir secara klasik dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: tafsir bi al-matsu>r dan tafsir bi al-ra’yi. Prof. Dr. Quraish Shihab memaparkan tentang cakupan metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh ulama mutaqadimi>n dengan ketiga coraknya, yaitu : al-ra’yu, al-ma’tsu>r , dan al-isyari> disertai pe njelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode pengembangannya; dan mencakup juga metode-metode mutaakhir dengan keempat macamnya: tahli>li>, ijma>li>, muqa>rin, dan mawdhu’i> sebagaimana dipaparkan oleh al-Farmawi. Berbeda halnya dengan Prof. Dr. H. Abd. Djalal yang membagi metode tafsir menjadi 4 bagian, yaitu: tinjauan dari segi sumber penafsiran, cara penjelasan, dan keluasan penjelasannya serta sasaran dan tertib ayat yang difasirkan.45

1. Metode tafsir al-Qur’an bila ditinjau dari segi sumber penasiran

a. Tafsir bi al-ma’tsu>r yaitu tata cara menafsirkan al-qur’an yang didasarkan atas sumber penafsiran al-Qur’an dari al-Hadith, riwayat sahabat dan tabi’in.

b. Tafsir bi al-ra’yi yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan kaidah Bahasa Arab dan kesusasteraannya, teori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.

(7)

33

c. Tafsir bi al-iqtirani> (perpaduan antara bi al-manqul dan bi al-ma’qu>l) yaitu cara menafsirkan al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.

2. Metode tafsir al-Qur’an bila ditinjau dari segi cara penjelasan

a. Bayani> yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an hanya dengan membaerikan keterangan secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat/pendapat dan tanpa menilai

b. Muqa>rin yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadith, antara pendapat mufassir dengan mufassir lain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan.

3. Metode tafsir al-Qur’a>n bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan

c. Ijma>li> yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat al-Qur’a>n hanya secara global saja yakni tidak mendalam dan tidak pula secara panjang lebar, sehingga bagi orang awam akan lebih mudah untuk memahaminya. d. Itnabi>/tafsili> yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat

al-Qur’a>n secara mendetail atau rinci, dengan uraian-urain yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para cerdik pandai.

4. Metode tafsir al-Qur’a>n bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan

(8)

34

a. Tahli>li yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al-Fa>tih}ah hingga akhir surat al-Na>s.

b. Mawdhu’i> yaitu suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat mengenai satu judul atau topik tertentu, dengan memperhatikan masa turunnya dan asbabun nuzul ayat, serta dengan mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dan mendalam, dengan memperhatikan hubungan ayat yang satu dengan yang lain di dalam menunjuk suatu permasalahan, kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dari dilalah ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu.

c. Nuzuli> yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara urut tertib sesuai dengan urutan turunnya ayat al-Qur’an.46

Sedangkan Tafsir al-Qur’a>n menurut al-Farmawy apabila ditinjau dari segi metodenya dapat dikelompokkan dalam empat macam :

1. Metode Ijma>li>

Metode ijma>li (global) ialah menjelaskan ayat-ayat al-Qu’ra>n secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mus}h}af. Di samping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya Bahasa al-Qur’a>n, sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar

46

(9)

35

Qur’a>n, padahal yang didengarnya itu adalah tafsirannya.47 Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m karangan Muh}ammad Fari>d Wajdi, Tafsir al-Jala>layn karangan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}I dan al-Mah}alli>, dan Ta>j al-Tafa>si>r karya Muh}ammad ‘Uthma>n al-Mirgha>ni> masuk ke dalam kelompok ini.

Kelebihan metode ijma>li> diantaranya adalah lebih praktis dan mudah dipahami, tanpa berbelit-belit, segera dapat diserap oleh pembacanya. Karena singkatnya, tafsir ijma>li> lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran isra>ili>ya>t, dan akrab dengan Bahasa al-Qur’a>n, sehingga pembaca tidak merasakan bahwa dia telah membaca kitab tafsir.

Kekurangan meode ijma>li> diantaranya adalah menjadikan petunjuk al-Qur’a>n bersifat parsial, karena penjelasan singkat tidak ada peluang untuk mengaitkan penafsiran suatu ayat dengan ayat lain. Padahal ayat yang samar atau global kadang-kadang dijelaskan lebih rinci pada ayat yang lain. Disamping itu, karena penafsiran sangat global, tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai, sesuai dengan keahlian para mufassir yang bersangkutan.48

2. Metode Tah}li>li>

Metode tah}li>li> ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta

47 Abd Hayy Farma>wi>, Bidayah fi Tafsi>r Mawd}u>’I (Mesir : Matba’at H}ad}a>rah

al-‘Arabi>yah, 1977), 43-44. Lihat pula Z}a>hir bin Awwad} al-Alma>’I, Dira>sa>t fi al-Tafsi>r al-Mawd}u>’I (t.tp.,pn 1405), 17-18.

48 Nahrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n (Yogyakarta : Glagah UH IV 343, 1998),

(10)

36

menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.49

Dalam metode ini, biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’a>n, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mus}h}af. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (muna>sabah), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para ta>bi’i>n maupun ahli tafsir lainnya.

Kelebihan metode tahli>li> di antaranya ialah mempunyai ruang lingkup yang amat luas yang dapat digunakan oleh mufassir, baik dalam bentuk tafsi>r bi al-ma’thu>r maupun tafsi>r bi al-ra’y. Bentuk tafsi>r bi al-ra’y dapat lagi dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai keahlian masing-masing mufassir. Ahli Bahasa mendapat peluang yang luas untuk menafsirkan al-Qur’a>n dari pemahaman kebahasaan. Di samping itu metode tahli>li> juga dapat memberikan kesempatan yang amat luas kepada mufassir untuk mencurahkan berbagai ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’a>n.

Kekurangan metode tah}li>li> diantaranya ialah dapat membuat petunjuk al-Qur’a>n bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga seakan-akan al-al-Qur’a>n memberikan pedoman secara tidak utuh dan konsisten, karena penafsiran yang

(11)

37

diberikan pada satu ayat, berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Demikian juga metode tah}li>li>, memberikan peluang yang luas sekali kepada mufassir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga kadang-kadang mufassir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan al-Qur’a>n secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di anatar mereka yang menafsirkan al-Qur’a>n, sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.50

Metode tah}li>li> tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran-pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecali pemikiran isra>’iliya>t. Sepintas lalu sebenarnya kisah-kisah isra>’iliya>t tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’a>n. Tapi bila dihubungkan dengan pemahaman kiab suci, timbul problem firman Allah karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam cerita itu, merupakan maksud dari firman Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksud Allah dalam firman-Nya tersebut.

3. Metode Muqa>rin

Metode muqa>rin (komparatif) ialah membandingkan teks (nas}s}) ayat-ayat al-Qur’a>n yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki relaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; atau membandingkan ayat al-Qur’a>n dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan; dan membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam

(12)

38

menafsirkan al-Qur’a>n.51 Dari definisi itu terlihat jelas bahwa tafsir al-Qur’a>n dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat dengan hadis serta membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur’a>n.

Diantara kelebihan metode ini ialah memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Dalam penafsiran itu terlihat bahwa satu ayat al-Qur’a>n dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassir. Metode ini juga membuka pintu selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada yang kontradiktif. Dengan demikian, hal ini dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu, sehingga mereka yang membaca tafsir komparatif, terhindar dari sikap ekstremistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat.52 Tafsir dengan metode komparatif ini berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh sebab itu, penafsiran semacam ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan mendalami penafsiran al-Qur’a>n.

Mengenai kekuarangan metode komparatif ini, di anataranya ialah tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada

51 Al-Farma>wi>, al-Bida>yah, 45-46. Lihat pula M. Quraish Shihab, ‚Tafsir al-Qur’a>n dengan

Metode Mawd}u>’i‛, dalam Beberapa Aspek Ilmiah tentan Qur’a>n, 1986, 38. Lihat pula al-Alma>’I, Dira>sa>t, 20-21.

(13)

39

tingkat sekolah, sebab pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrem. Dalam kondisi ini, jelas anak didik belum siap menerima berbagai pemikiran, dan tidak mustahil mereka akan kebingungan menentukan pilihan. Metode komparatif juga kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh di tengah masyarakat, sebab metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah. disamping itu, metode komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.

4. Metode Mawd}u>’i>

Metode maud}u’i> (tematik) ialah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asba>b al-nuzu>l, kosa kata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari al-Qur’a>n, hadis, maupun pemikiran rasional.53Diantara tafsir yang masuk kategori ini, misalnya al-Insa>n fi al-Qur’a>n dan al-Mar’ah fi al-Qur’a>n, keduanya karangan Mah}mu>d al-‘Aqqa>d, dan al-Riba> fi al-Qur’a>n karya al-Mawdu>di.

Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh mufassir, yaitu :

53al-Farma>wi>, al-Bida>yah, 52.

(14)

40

a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.

c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai pengetahuan tentang asba>b al-nuzu>l.

d. Memahami kerelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).

f. Melengakapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan anatara yang ‘a>m (umum) dan yang kha>s (khusus), m}utlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.54

Dianata kelebihan metode maud}u>’i> ini, ialah dapat disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini amat cocok dengan kehidupan umat semakin modern dengan mobilitas yang tinggi, sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendpatakan petunjuk al-Qur’a>n mereka harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk al-Qur’a>n secara praktis dan sistematis, serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efisien.

54M. Quraish Shihab, Membumikan Qur’a>n (Bandung: Mizan, 1995), 114-115. Lihat pula

(15)

41

Metode tematik membuat al-Qur’a>n selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’a>n senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan dimuka bumi ini pada semua lapisan dan strata social. Dengan demikian, terasa sekali bahwa al-Qur’a>n selalu aktual (updated), tak pernah ketinggalan zaman (outdated).55

Dengan ditetapkan tema-tema yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’a>n dapat diserap secara utuh. Pemahaman serupa itu sulit ditemukan di dalam ketiga metode tafsir yang telah dipaparkan di muka. Oleh dari itu, metode tafsir tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.

Kekuarangan metode tematik ini, diantaranya adalah pemenggalan ayat al-Qur’a>n, yaitu mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda, misalnya petunjuk tentang salat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersamaan dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tak mau ayat tentang salat harus ditinggalkan ketika menukilnya dari mus}h}af agar tidak mengganggu pada waktu mengadakan analisis.56

Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir

55Nashruddin, Metodologi, 165-167.

(16)

42

terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena ayat al-Qur’a>n bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Dengan ditetapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut, sehingga dapat menimbulkan kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu merupakan konsekuensi logis dari metode tematik. Namun hal itu tidak perlu terlalu dirisaukan, karena tidak akan mengurangi pesan-pesan al-Qur’a>n, kecuali bila dinyatakan bahwa penafsiran ayat itu hanya itu saja, tidak ada yang lain. Ternyata metode tafsir tematik tidak demikian.

C. Kategori Pengelompokan Aneka Ragam Corak Tafsir

Para Ulama berbeda pendapat dalam pola pemetaan dan pengelompokan aneka ragam corak tafsir, sehingga menimbulkan perbedaan jumlah pemetaan Antara satu dengan yang lain. Menurut M. Quraish Shihab, corak penafsiran selama ini berdasarkan akibat dari suatu kondisi yang melatarbelakanginya, dan dikelompokkan pada enam macam corak tafsir, yaitu :

1. Corak sastra Bahasa yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’a>n.

(17)

43

2. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama lain ke dalam Islam.

3. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’a>n sejalan dengan perkembangan ilmu.

4. Corak fiqh atau hukum, akibat perkembangan ilmu fiqh dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqh yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hokum.

5. Corah tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi.

6. Corak social budaya, yaitu menjelaskan petunuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’a>n yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit berdasarkan petunjuk ayat-ayat dengan menggunaan Bahasa yang mudah dimengerti, tapi indah didengar.57 Corak social budaya sebenarnya terjemahan dari Bahasa Arab Adabi> ijtima>’i> sebagaimana yang diungkapkan oleh Husayn Dhahabi> dan Abd H}ayy al-Farma>wi> dalam memasukkan diantara peta pengelompokan corak tafsir.

Berbeda dengan M. Quraish Shihab, Abdul Djalal H.A. berdasarkan dampak dari berbagai macam focus penafsiran al-Qur’a>n mengelompokkan menjadi tujuh macam corak tafsir, yaitu :

(18)

44

1. Tafsi>r lughawi>/tafsi>r adabi>, yaitu tafsir al-Qur;a>n yang beraliran Bahasa, dari segi i’ra>b dan harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat dan kesusasteraannya.

2. Tafsi>r fiqhi>, yaitu tafsir al-Qur’a>n yang difokuskan pada bidang hokum. Ayat-ayat lain yang tidak memuat hokum tidak ditafsirkan, bahkan tidak dimuat sama sekali.

3. Tafsi>r s}u>fi>/tafsir isha>ri>, yaitu tafsir al-Qur’an yang beraliran tasawuf. Berdasarkan latihan kejiwaan para mufassir berusaha mencapai ma’rifah, sehingga terbuka bagi mereka isha>rah dari makna yang tersembunyi dari ayat al-Qur’a>n.

4. Tafsi>r I’tiza>li, yaitu tafsir al-Qur’a>n yang beraliran akidah dari goongan Mu’tazilah. Ayat-ayat al-Qur’a>n ditafsirkan untuk memperkuat dan mempertahankan akidah mereka.

5. Tafsi>r shi>’i>, yaitu tafsir Qur’a>n yang beraliran akidah Shi’ah, ayat-ayat al-Qur’an sering ditafsirkan untuk memperkuat akidah dan politik mereka, ayat-ayat dita’wilkan sesuai dengan paham dan ajaran mereka.

6. Tafsi>r falsafi, yaitu tafsir al-Qur’a>n yang beraliran filsafat. Pada umumnya tafsir al-Qur’a>n ditafsirkan dengan jalan pemikiran filsafat dan menggunakan petunuk berupa rumus-rumus tertentu.

7. Tafsi>r ‘ilmi>, yaitu tafsir al-Qur’a>n yang beraliran ilmiah/modern dan difokuskan pada bidang ilmu pengetahuan umum, untuk lebih menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’a>n, terutama mengenai ayat-ayat yang menyangkut

(19)

45

soal-soal alam atau ayat-ayat kauni>yah. Untuk dapat menjelaskan makna ayat, perlu digunakan teori dari beberapa ilmupengetahuan yang bersangkutan.58

Abd al-H}ayy al-Farma>wi>, berdasarkan kecenderungan Antara mufassir, mengelompokkan ke dalam tujuh corak tafsir sebagai berikut:

1. Corak ma’thu>r, yaitu corak penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan perkataan para sahabat, dan para ta>bi’i>n.

2. Corak ra’y, yaitu corak penafsiran al-Qur’a>n dengan ijtihad melalui pengetahuan Bahasa Arab, asba>b al-nuzu>l, na>sikh-mansu>kh dan lain sebagainya.

3. Corak tasawuf, yaitu corak penafsiran al-Qur’a>n berdasarkan isyarat-isyarat yang tersembunyi, dan hanya tampak jelas oleh orang sufi, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti lahir yang dimaksud.

4. Corak Fiqh, yaitu corak penafsiran ayat langsung mencari ketentuan hokum dari al-Qur’a>n, dan berusaha mencari kesimpulan hokum shari>’ah berdasarkan ijtihad.

5. Corak filsafat, yaitu corak penafsiran al-Qur’a>n yang memiliki kecenderungan menekankan pembahasan berdasarkan pemikiran filsafat.

6. Corak ilmiah, yaitu corak penafsiran ayat-ayat kawni>yah (ayat-ayat kosmus) berdasarkan ilmu pengetahuan dan hasil kajian para ilmuwan terhadap gejala dan fenomena alam yang tampak.

58 Abdul Djalal H.A., Urgensi Tafsir Maud}u>’i> pada Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia, 1990),

(20)

46

7. Corak social budaya kemsyarakatan (adabi> ijtima>’i>), yaitu corak penafsiran yang berupaya memahami nas}s}-nas}s} al-Qur’a>n dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’a>n secara teliti, menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’a>n dengan Bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nas}s}-nas}s} al-Qur’a>n dengan realitas social kemasyarakatan dan system budaya yang ada.59

Tafsi>r bi al-ma’thu>r (riwayat) dan tafsir bi al-ra’y (pemikiran) menurut Nasruddin Baidan dimasukkan pembagian tafsir dari segi bentuknya,60 tidak dikelompokkan ke dalam pembagian corak tafsir, sebagaimana para mufassir yang lain. Hal ini sah-sah saja karena perbedaan persepsi peninjauannya, sehingga menimbulkan perbedaan dalam memasukkan macam corak tafsir sebagaima tersebut.

Badri Khaeruman menjelaskan bahwa berbagai corak tafsir berkembang kemudian menjadi aliran besar dalam penafsiran al-Qur’a>n, dan dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam, yaitu :

1. Aliran tafsir dengan kecenderungan keilmuan (tafsi>r ‘ilmi>). Penafsiran al-Qur’a>n melalui pendekatan ilmu pengetahuan sangat mungkin dilakukan. Karena boleh jadi berbagai dimensi ajaran yang terkandung dalam al-Qur’a>n, salah satunya dapat diuji kebenarannya melalui kajian ilmu pengetahuan.

59Abdul al-H}ayy al-Farma>wi>,al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd}u>’i> (Mesir: al-Had}a>rah al-‘Arabi>yah,

1997), 24-42

(21)

47

2. Aliran tafsir dengan kecenderungan kebahasaan(tafsi>r lughawi>). Telah terjadi kesepakatan ulama bahwa untuk memahami kandungan al-Qur’a>n, dibutuhkan pengetahuan Bahasa Arab. Dengan demikian, untuk menafsirkan arti suatu kata dalam rangkaian ayat al-Qur’a>n, harus terlebih dahulu meneliti arti-arti apa saja yang dikandung oleh kata tersebut, kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tersebut.

3. Aliran tafsir dengan kecenderungan ilmu kalam. Aliran teologi dengan segala persoalannya memunculkan corak tafsir yang berkecenderungan ilmu kalam dalam menafsirkan al-Qur’a>n. Semangat dan letupan penafsiran yang bersifat teologis ini, tentu saja menggunakan metodologi penafsiran melalui dalil-dalil akal. Munculnya berbagai aliran dalam ilmu kalam (misalnya aliran sunni>, shi’i>, i’tiza>li>) memunyai pengaruh besar terhadap kemunculan aliran tafsi>r bi al-ra’y setelah aliran tafsir yang menggunakan riwayat sebagai pendekatan tafsi>r bi al-ma’thu>r.

4. Aliran tafsir dengan kecenderungan tasawuf (tafsi>r s}u>fi). Aliran tafsir yang dilakukan oleh para mufassir s}u>fi berkeyakinan bahwa ikatan batin yang dilibatkan dari riya>d}ah spiritual mampu membuka ungkapan-ungkapan yang ada dalam al-Qur’a>n yang berupa isyarat-isyarat suci, dan mereka mampu menyingkap hal-hal yang mempunyai makna lahir dan batin. Makna lahir ayat adalah apa-apa yang ada di balik yang tersurat, dengan petunjuk yang samar dan kesamaran itu hanya akan tertangkap oleh ulama tasawuf.

(22)

48

5. Aliran tafsir dengan kecenderungan hukum/fiqh (tafsi>r fiqh). Tafsir dengan kecenderungan hokum adalah tafsiran ayat dengan menggunakan paradigm fiqh dan fiqh bersumber dari al-Qur’a>n, al-Sunnah, al-Ijma>’, dan al-Qiya>s. Dengan demikian, keragaman tafsir yang bercorak hokum ini tampaknya tidak dapat dihindari sejalan dengan beragamnya fiqh itu sendiri.

6. Aliran tafsir dengan kecenderungan filsafat (tafsi>r falsafi). Tafsir dengan kecenderungan filsafat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan pendekatan logika dan pemikiran filsafat. Dari obyek dan prinsip kefilsafatan, dapat dilihat bahwa dalam metodologi penafsiran dari mazhab tafsir yang berkecenderungan filsafat, terdapat upaya penggabungan anatara filsafat dan agama atas dasar pena’wilan teks-teks al-Qur’a>n pada makna yang sesuai dengan filsafat.

7. Aliran tafsir dengan kecenderungan social budaya kemasyarakatan (adazi> ijtima>’i>). Adanya pandangan mengenai kebutuhan akan alternative-alternatif baru dalam mengahadapi problematika kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat, telah memberikan dampak yang sangat besar dalam perkembangan tafsir al-Qur’a>n. Akibatnya terjadi keanekaragaman corak dan hasil penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n yang salah satunya adalah corak dan kecenderungan tafsir dengan melihat pola social budaya kemasyarakatan (adabi> ijtima>’i).61

61

(23)

49

Islah Gusmian membahas corak tafsir dengan istilah lain, yaitu nuansa tafsir. Yang dimaksud dengan nuansa tafsir disini adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Upaya ini tidak saja untuk memperlihatkan keragaman nuansa tafsir yang muncul, tetapi juga untuk memperlihatkan kecenderungan umum yang penulis tafsir pilih. Proses analisis dengan pemetaan nuansa tafsir ini lebih didasarkan pada variable dominan di dalam karya tafsir.62 Gusmian mengelompokkan nuansa (corak) tafsir ini menjadi lima macam, yaitu:

1. Nuansa kebahasaan. Ketika teks al-Qur’a>n diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia sesungguhnya telah tertransformasi dari sebuah teks ila>hi> (nas}s} ila>hi>) menjadi sebuah konsep (mafhu>m) atau teks manusiawi (nas}s} insa>ni>). Sebab secara langsung berubah dari wahyu (tanzil) menjadi interpretasi (ta’wil). Dari sini makna-makna yang dikonsepsikan harus dilihat dari konteks Bahasa, dimana Bahasa tersebut dipakai, yaitu Arab. Dalam konteks ini, analisis Bahasa menjadi signifikan. Dalam hermeneutic al-Qur’a>n kontemporer langkah semacam ini adalah bagian pokok dari kerja interpretasi. Dalam suatu kasus, bisa jadi satu karya tafsir memilih langkah analisis kebahasaan ini sebagai variable utama. Dalam onteks ini, nuansa kebahasaan dimaksudkan, yakni proses interpretasi dalam karya tafsir yang dominan digunakan adalah analisis kebahasaan.

62Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi (Bandung:

(24)

50

2. Nuansa social kemasyarakatan. Nuansa social kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat a-Qur’a>n dari segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama yang diuraikan al-Qur’a>n, dan penafsiran ayat dikaitkan dengan Sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. 3. Nuansa teologis. Dalam tradisi tafsir, munculnya metode rasional telah

melahirkan berbagai nuansa tafsir berbarengan dengan berkembangnya paham-paham di dalam umat Islam, sehingga pada ujungnya tafsir dengan begitu mudah diletakkan pada kehendak pembelaan terhadap paham-paham tertentu yang berkembang pada waktu itu. Pengikut Mu’tazilah, misalnya tampil dengan mena’wilkan ayat al-Qur’a>n sesuai dengan teologi Mu’tazilah. Begitu juga paham Ash’ari>yah muncul dengan penafsiran ayat sesuai dengan Ahl sl-Sunnah, dan lain sebagainya.

4. Nuansa sufistik. Dalam tradisi ilmu tafsir al-Qur’a>n klasik, tafsir yang bernuansa sufistik sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskna makna ayat-ayat al-Qur’a>n dari sudut esoteric atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam sulu>k. Tafsir yang menggunakan corak pembacaan jenis ini ada dua macam :

a. Yang didasarkan pada tasawuf naz}ari> (teoritis) yang cenderung menafsirkan al-Qur’a>n berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian Bahasa.

(25)

51

b. Didasarkan pada tasawuf ‘amali (praktis), yaitu mena’wilkan ayat-ayat al-Qur’a>n berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam sulu>k.

5. Nuansa psikologis. Al-Qur’a>n memang berbicara banyak hal. Masalah psikologi manusia juga tidak luput dari pembahasan al-Qur’a>n. Dalam konteks ini, pengertian nuansa psikologis yang dimaksud adalah nuansa tafsir yang analisisnya menekankan pada dimensi psikologi manusia. Tafsir al-Qur’a>n di Indonesia yang termasuk dalam nuansa psikologi ini adalah Jiwa dalam al-Qur’a>n. Buku ini pada mulanya memusatkan kajiannya pada tema nafs dalam al-Qur’a>n dengan berbagai variasi dan medan semantiknya. Dalam Bahasa Arab kata nafs mempunyai banyak arti, misalnya untuk menyebut ruh, dir manusia, hakikat sesuatu, saudara, kepunyaan, kegaiban, jasad, kedekatan, zat, kebesaran, dan lain-lain. Tetapi yang menjadi obyek dalam kajian buku ini adalah nafs yang dimaksud dalam al-Qur’a>n,63

Ada corak atau nuansa tafsir spesifik yang hanya dikemukakan oleh Gusmian, dan tidak disebutkan oleh penulis lain, yakni nuansa psikologis. Tetapi ada juga tiga corak atau nuansa tadsir yang tidak dimasukkan oleh Gusmian, padahal menurut penulis yang lain dapat dikelompokkan ke dalam corak tafsir, yaitu corak filsafat, corak fiqh, dan corak ilmiah. Tidak ada alasan mengapa Gusmian hanya memaparkan lima macam nuansa tafsir, yaitu nuansa kebahasaan, nuansa social kemasyarakatan, nuansa teologis, nuansa sufistik, dan

63

(26)

52

nuansa psikologis. Mungkin saja karena lim amacam nuansa tafsir itu yang dianggap paling urgen dipaparkan.

D. Tadabbur al-Qur’a>n 1. Pengertian Tadabbur

kata tadabbur secara bahasa atau etimologi tadabbur berasal dari ربدلا yang artinya adalah adalah akhir, akibat, dan selesainya sesuatu.64 Tadabbur al-Qur’a>n berarti memikirkan dan merenungi ayat–ayat al-Qur’a>n agar dapat memahami apa yang Allah maksudkan dalam kitabNya sehingga dengan begitu dapat menambah ilmu, iman, dan amal. Tadabbur menurut ahli bahasa Arab adalah

رـّكـفـتـلا

memikirkan.65 Maka, tadabbur bisa berarti memikirkan akibat dari sesuatu atau memikirkan maksud akhir dari sesuatu.

Adapaun tadabbur secara terminologi atau istilah adalah perenungan secara menyeluruh yang mengantarkan ke puncak maksud perkataan dan tujuannya yang mendalam.66 Tadabbur juga diartikan sebagai memikir-mikirkan dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’a>n untuk dapat memahami makna, hikmah, ataupun maksudnya.

Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh Ulama didalam memberikan definisi tadabbur, diantaranya :

64 Mujamma’ Lughah ‘Arabiyyah, Al-Mu’jam Wasi>th (Mesir: Maktabah Shuru>q

al-Dauliyyah, 2004) 269, kolom 2.

65 ‘Abdur al-Rahman Hasan Jankat al-Maida>ni>, Qawa>’id al-Tadabbur al-amtsal likita>bi alla>hi

‘Azza wajalla (Damasqus: Da>r al-Qalam, 2012), 10

66

(27)

53

1. Ibnu Katsir mendefinisikan tadabbur sebagai berikut:

ُر ـ َ تَّتلا

َ ُ

:

ُ َفَـ

ِا َ َ

ِ ِا َفْلَ

،

َ

ُر كَفَـتلا

َمْيِف

ُ َ

ِ ْيَ َ

ُ ُ َآ

ً َ َـ َ ُ

،

َ

َ

َ َ َ

ِ

َ ِنْمَض

،

َ

َ

َ

ِتَآ

َ ْ ِ

ِا َ َمْلا

تَّ ِ

ِ ِ

،

تَِّمِ

َْ

ِ ُرْ َـآ

ُ ْفتَّ لا

ىَ َ

ِ ِرْ ِ

َ ِ

ِااَا َ ِ ْا

ِا َ ْـيِ ْنتَّـتلا

،

َ

ُا َفِتْاا

ِ ْ َ ْلا

َ ِلَ ِ

ِ ِ ْ ُ ُِ

َ ْنِ

ِ ِ ِ اَ َ

،

َ

ِ ِ ْ ُ ُ

ِ ِرِ اَ َ

،

َ

ِ ْ َ

ِ َرْـ ِ ْلا

ُ ْنِ

Tadabbur ialah memahami makna lafal-lafal al-Qur’a>n, dan memikirkan apa yang ayat-ayat al-Qur’a>n tunjukkan tatkala tersusun, dan apa yang terkandung di dalamnya, serta apa yang menjadikan makna-makna al-Qur’a>n itu sempurna, dari segala isyarat dan peringatan yang tidak tampak dalam lafal al-Qur’a>n, serta pengambilan manfaat oleh hati dengan tunduk di hadapan nasehat-nasehat al-Qur’a>n, patuh terhadap perintah-perintahnya, serta pengambilan ibrah darinya.67

2. Abu> Bakar al-A>jiri>:

َ

ُر ـ َ َ

ِ ِ َآ

:

ُ ُ َ ـ ِا

َ

ُ َمَ ْلا

ِ ِمْ ِ ِ

،

َ َ

ِااَ

َ

َ ُ

ِ ْفِِ

ِ ِفْ ُرُ

َ َضِ َ

ِ ِ ْ ُ ُ

،

تَّ َ

تَّ ِ

ْ ُ َ َ َ

ُ ْ ُ َـيَل

:

ْ َ َل

ُاْ َرَـ

َ ْرُ ْلا

ُ تَّ ُ

َمَف

ُ ْ َ ْ َ

ُ ْنِ

ًفْرَ

،

َ

ْ َ

ِااَ

َ َ ْ َ

ُ تَّ ُ

،

َ

ىَرُـآ

ُ َل

ْرُ ْلا

ِ

ٍ ْ َ

َ َ

ٍ َمَ

67 Hashim bin ‘Aly al-Ahdal, Ta’li>m Tadabbur al-Qur’a>n al-Karim, (Beirut: Da>r al-Kutub, 2007),

(28)

54

Tadabbur ayat-ayat al-Qur’a>n ialah mengikuti dan beramal dengan ilmu al-Qur’a>n. Ketahuilah! Demi Allah, tadabbur bukanlah hanya menghafal huruf-huruf Al-Qur’an, akan tetapi menyia-nyiakan batas-batasnya, sehingga salah seorang dari mereka mengatakan: Sungguh aku telah membaca al-Qur’a>n seluruhnya, dan aku tidak melewati satu huruf pun. Padahal dia telah melewatkan seluruh al-Qur’a>n. Tidak terlihat padanya al-Qur’a>n, baik dalam tabiat maupun amalan.68

3. S}a>lih} bin Fauza>n al Fauza>n

ْ َ

َرتَّكَفَـتَـا

ِ

َ ْـيِا َ َ

َ

َِتَِ ْ ُلْ َ

َ

َ ِااَرْ َ

َ

َ ِا َ ْ َ

تَّ َ

َ ْيِفَتْ َا

َ ْـنِ

َ َآاَ ِْاا

َ ْيِفَتْ َاَ

َ ْـنِ

َ َيْ َ

ِاا

ُ َا َ ْ ُ

َ

َا َ َـ

ُ َ َ َ ِ َ

ُ َ ْ َ

َ

َ ْآِرَ

ُ َل

َ ِرْ َـاَ

َ

ِ ْ َا

َ َ

َ ُرْـتَـا

َ ِ

ِ َمْ َ ْا

َ

ِ اَ ْـ َ ْا

َ

ِاَ َ َ ُمْلا

َرْـيَ َ

َ ِلَ

Kita memikirkan makna ayat-ayat al-Qu’ra>n, apa yang ditunjukkannya, rahasia serta berita yang terdapat dari ayat-ayat tersebut, sehingga kita dapat mendapatkan manfaat berupa hidayah, rasa takut kepada Allah, dan ibadah kepada Nya, dan kita tahu apa yang harus kita lakukan dan apa yang kita tinggalkan dari perbuatan, perkataan, interaksi sosial, dan yang lainnya.69

68 Ibid., 12

(29)

55 4. Ulama Kontemporer

ُر كَفتَّـتلا

ِااَ ْ ِتْ ِ

ِ ِا َ َ

ِْ ِكْفتَّـتلا

َ

ِ ُا َ تَّتلا

يِ ِ ْنَمْلا

ِ ْ ُ ُ ْ ِل

َاِ

ٍ َ َ

ٍ َ ْآِ َ

،

َ ُ ِمَتَْيَ

تَّنلا

ِآ ْرُ ْلا

َ ْفَ

ِ ِ اَ َـ

ِ َ لا

ِ تَّيِ َرَ ْلا

،

َ

َ ْ َا

ِ َمُْاا

ِ تَّيِا ْرُ ْلا

َ ِ ْ ِ ِ

،

َ

َ ْ َا

ِاَ لا

ِ تَّيِا ْرُ ْلا

َ ِ ْ َـ ِ

،

َ

َا َفْضِ

ٍاَ ُا َ َ

ٍ َفِ َتُْ

َ ْ َ

اَ َ

ِ ْ تَّرلا

Berfikir dengan menggunakan seluruh kemampuan akal dan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang logis untuk mencapai pengertian yang baru, yang terkandung dalam nash al-Qur’a>n yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, baik yang menghubungkan antara kalimat-kalimat di dalam al-Qur’a>n, maupun yang menghubungkan antara surat-surat di dalam al-Qur’a>n.70

Mentadabburi perkataan maksudnya; ‚memperhatikannya dari permulaan hingga akhir, kemudian mengulangi perhatian itu berkali-kali‛. Oleh karenanya, ada yang mengatakan bahwa kata tadabbur itu dari pengertian memandang kepada bagian-bagian akhir berbagai urusan serta akibat-akibatnya. Atau dengan kata lain, memandang sesuatu dibalik sesuatu dan memahami akibat yang ditimbulkannya.71 Contohnya ; ‚memperhatikan perkataan‛, sebagaimana firman Allah Ta’ala.

لۡ بَ بَ

بَ

بْ بُ دَّ دَّ بَ

ٱ

بَ لۡ بَ لۡ

لۡ

بَ

بُهبَ بٓابَ

ادَّ

لۡ بَ

بِ

لۡ

بَ

بُ بُهبَ بٓابَ بَ

ٱ

بَ بِ دَّ

بَ لۡ

70 Hashim bin ‘Aly Ahdal, Ta’li>m Tadabbur Qur’a>n Karim, (Beirut: Da>r Kutub

al-‘Alamiyyah, 2007), 11.

(30)

56

Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu.72

2. Tadabbur Qur’a>n di dalam al-Qur’a>n

ٌا َتِ

ُ َنْلَ ْـاَ

َ ْيَلِ

ٌ َا َ ُ

ا ُرتَّـ تَّ َيِل

ِ ِ َآَ

َرتَّ َ َتَيِلَ

ُل ُ

ِا َ ْلَْ ا

‚Yang diturunkan kepadamu ini, hati Muhammad. adalah kitab suci yang diturunkan penuh dengan banyak manfaat. Demikian itu agar mereka memahami ayat-ayatnya secara mendalam, dan agar orang-orang yang berakal sehat dan berhati jernih dapat mengambil pelajaran darinya.‛73

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa tujuan utama diturunkan al-Qur’a>n adalah tadabbur dan tadzakkur, bukan sekedar membacanya sebagai praktik amalan ibadah untuk memperoleh oahala besar.

Hasan al-Bashsri mengatakan, ‚Demi Allah, Tadabbur al-Qur’a>n bukan dengan menghafal huruf-hurufnya namun mengabaikan batasan-batasannya, sehingga ada yang mengatakan, ‚Aku telah membaca semua al-Qur’a>n, namun al-QUr’a>n tidak terlihat pada akhlak dan amalannya.‛74

Allah Ta’ala berfirman :

َ َفَ

َ ُرتَّـ َ َتَـآ

َ َ ْرُ ْلا

ْ َلَ

َ َ

ْ ِ

ِ ْنِ

ِْ َ

ِ تَّ لا

ا ُ َ َ َل

ِ يِف

ًف َ ِتْ ا

اً ِثَ

‚Apakah orang-orag munafik itu tidak merenungkan kitab Allah agar mengetahui alasan yang datang dari Allah mengapa mereka wajib menaati-Nya dan mengikuti perintahmu? Sesungguhnya, al-Qur’a>n ini berasal dari Allah, karena keselarasan makna dan hokum yang dikandungnya serta keterpaduan ayat-ayatnya yang saling menguatkan. Ini adalah bukti yang kuat bahwa al-QUr’a>n benar-benar berasal dari

72 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema

Insani, 2002), 346

73Ibid., 455

(31)

57

Allah. Kalau al-Qur’a>n bukan berasal dari Allah, tentu makna-maknanya akan saling bertentangan dan hokum-hukumnya banyak yang saling berbeda.‛75

Ibnu Katsir memberikan komentar terhadap ayat diatas dengan mengatakan ‚Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mentadabburi al-Qur’a>n dan melarang mereka untuk berpaling darinya dan upaya memahami makna-maknanya yang penuh hikmah dan lafazh-lafazhnya yang indah. ‘Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’a>n?’76 Ini adalah perintah tadabbur yang tegas, hal mana perintah tersebut bertujuan untuk mewajibkan agar al-Qur’a>n di Tadabburi.‛

Allah Ta’ala berfirman :

َ آِ تَّلا

ُ ُ َنْـيَـ َ

َا َتِكْلا

ُ َا ُ ْـتَـآ

تَّ َ

ِ ِ َ َ ِ

َ ِ َل ُ

َ ُنِ ْ ُـآ

ِ ِ

ْ َ َ

ْرُفْكَآ

ِ ِ

َ ِ َل ُ َف

ُ ُ

َ ُرِ َْاا

‚Akan tetapai, masih ada di sana sebagian pengikut dari umat yang kepada mereka Kami turunkan Tawrat dan Injil, (pengikut agama Yahudi dan Nasrani) yang mengkaji kitab suci mereka yang otentik dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka mengetahui mana yang palsu. Mereka beriman pada ajaran yang terkandung di dalamnya yang berarti beriman pula pada al-Qur’a>n. Barang siapa yang mengingkari kebenaran kitab suci yang diturunkan oleh Tuhanmaka mereka itu adalah orang-orang yang merugi.‛77

75 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema

Insani, 2002), 91

76

Ibid., jilid III, 364.

77 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema

(32)

58

Ibnu Katsir memberikan komentar atas ayat di atas dengan meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, ‚Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya! Sesungguhnya benar-benar bacaan al-Qur’a>n adalah mengahalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya, serta membacanya sebagaimana diturunkan Allah.‛78

Asy-Syaukani mengatakan, ‚Mereka membacanya, maksudnya

mereka mengetahui kandungannya.‛79

Mengamalkan al-Qur’a>n tidak alin terjadi setelah mengetahui dan Tadabbur. Membaca yang dimaksudkan adalah membaca dengan melakukan pengerahan akal dan hati sehingga ayat-ayat itu dipikirkan dan direnungkan secara mendalam untuk kemudian dicari makna dan kandungannya untuk diamalkan.

Allah Ta’ala berfirman :

ْ ُ ْـنِ َ

َ ي ُ

َ

َ ُمَ ْ َـآ

َا َتِكْلا

تَّ ِ

تَِّآ َ َ

ْ ِ َ

ْ ُ

تَّ ِ

َ نُ َآ

‚Di Antara orang-orang Yahudi itu terdapat kelompok orang yang bodoh, buta huruf dan tidak mengetahui apa pun tentang Taura>t kecuali kebohongan yang sesuai dengan angan-angan mereka. Yaitu kebohongan yang dihiasi oleh pendeta-pendeta Yahudi itu dan diberikan anggapan pada

78Ibid., jilid I, 403.

79Muhammad bin ‘Aly bin Muhammas al-Syauka>ni>, Fath al-Qadi>r (Beirut: Da>r al-Ma’rifah,

(33)

59

mereka bahwa hal ini adalah kebenaran dari kitab.‛80 Al-syaukani mengatakan,‚Menurut satu pendapat, kata ama>ni> berarti bacaan. Maksudnya mereka hanya tahu bacaan tanpa memahami dan men-Tadabburinya.‛81

Ibnu Qayyim mengatakan, ‚Allah mengecam orang-orang yang mengubah Kitab Allah dan orang-orang buta huruf yang tidak mengetahui apa-apa selain bacaan yang disebut dengan kata ama>ni>.‛82

Ayat di atas menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi memperlakukan kitab sucinya. Mereka tidak mau memahami dan menyelami makna-maknanya melainkan hanya menduga-duga dan mengangankan serta membuat kebohongan –kebohongan yang bersumber dari kitab suci mereka. Karena itu, ayat di atas juga merupakan teguran dan pelajaran bagi umat Muslim agar mereka berusaha keras untuk dapat mempelajari dan membaca al-Qur’a>n dengan tadabbur sehingga nasibnya tidak seperti umat Yahudi yang dikutuk oleh Allah Ta’ala : mereka mengaku membaca kitab tapi sesungguhnya tidak bahkan membuat kebohongan-kebohongan dan dusta.

Allah Ta’ala berfirman :

َ َ َ

ُ ُ تَّرلا

َآ

اَا

تَّ ِ

يِ ْ َـ

ا ُ َتَّتَّا

اَ َ

َ َ ْرُ ْلا

اًا ُجْ َ

‚Rasulullah mengadukan kesombongan kaumnya yang dia rasakan kepad aAllah dengan mengatakan, ‚Sesungguhnya mereka telah meninggalkan

80 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema

Insani, 2002), 12

81Ibid., 104.

(34)

60

al-Qur’a>n dan mencampakkannya. Mereka jug amakin menjadi dengan ketaksudian, kesombongan dan permusuhan yang ada pada mereka.‛83

Ibnu Katsir memberikan komentar ayat di atas dengan mengatakan, ‚Tidak mentadabburi dan memahami al-Qur’a>n termasuk sikap acuh terhadapnya.‛84

Sedangkan Ibnu al-Qayyim mengatakan, ‚Meninggalkan al-Qur’a>n ada beberapa macam di antaranya; meninggalkan Tadabbur, upaya memahaminya dan mengetahui maksud Allah di dalamnya.‛85

Ayat-ayat al-Qur’a>n banyak sekali mengandung makna yang harus diselami. Memang ada makna yang sudah jelas pengertiannya, tapi amat banyak ayat-ayat yang memerlukan pengerahan akal dan hati agar sampai kepada maksud dari ayat tersebut. Karena itulah kemudian Tadabbur menjadi sangat penting untuk diamalkan.

3. Tadabbur Qur’a>n di dalam Sunnah

a. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda, ‚setiap kali suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah untuk membaca Kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, maka turun ketenangan pada mereka, rahmat meiputi mereka, malaikat mengerumuni mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada makhluk yang di sisi-Nya.‛86

83 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema

Insani, 2002), 362

84 Ibnu Katsi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Beirut: Thayyibah, 2002) jld VI, 108.

85 Ibnu Qayyim al-Jauzi>yyah, Bada>’i> at-Tafsi>r (Riyad: Da>r ibnu Jauzi> 1427 H) jld II, 292.

(35)

61

Ketenangan, rahmat, dan penyebutan para malaikat rumah yang dijadikan majelis ber-tadabbur adalah balasan bagi tilawah yang dibarengi dengan kajian dan Tadabbur.

Pada kenyataannya, kita lebih banyak mempraktikkan sebagian isi hadits di atas, yaitu membaca al-Qur’a>n sebagai bacaan, sedangkan kajian dan Tadabbur dalam pandangan sebagian dari kita malah akan dapat menunda proses hafalan dan jumlah huruf yang dibaca menjadi sedikit, sehingga keduanya tidak diperlukan.

b. Hudzaifah ra. meriwayatkan bahwa pada suatu malam ia shalat bersama Nabi Saw. Beliau mebaca surat yang panjang. Bila beliau melewati satu ayat yang memuat kata tasbih, maka beliau bertasbih. Dan bila beliau melewati ta’awwudz, maka beliau berta’awwudz.‛87

Inilah implementasi praktis Nabi Saw. terhadap Tadabbur, yang tanda-tandanya terlihat pada tasbih, permohonan dan ta’awwudz. Jadi bacaan itu juga harus dibarengi dengan Tadabbur sehingga maksud dan makna ayat bisa dipahami dan diamalkan.

c. Dari Abu Dzar ra., ia berkata, ‚Pada suatu malam

ْ ِ

ْ ُ ْـ َ ُـ

ْ ُ تَّـاِ َف

َ ُ َ ِ

ْ ِ َ

ْرِفْ َـ

ْ َُا

َ تَّاِ َف

َ ْاَ

ُ آِ َ ْلا

ُ يِكَْاا

‚Jika Engkau menyiksa mereka oleh sebab perbuatan yang mereka lakukan, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu. Dan, jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya hanya

(36)

62

Engkaulah yang Mahaperkasa, sangat Bijaksana dalam setiap ketentuan yang Engkau buat.‛88

Disini Rasulullah Saw. lebih mengutamakan tadabbur daripada memperbanyak bacaan. Beliau semalam suntuk hanya membaca satu ayat saja. AMalan membaca satu ayat berulang-ulang sepanjang malam mengisyaratkan proses Tadabbur yang di dalamnya terjadi proses interaksi dengan ayat yang dibacanya. Ayat yang dibaca tidak hanya diucapkan di bibir saja tapi diproses oleh akal dan hati sehingga satu ayat memerlukan waktu yang sangat panjang.

d. Dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata, ‚Salah seorag diantara kita apabila mempelajari sepuluh ayat, maka ia tidak melewatinya sampai ia mengetahui makna-maknanya dan mengamalkannya.‛89

Metode Rasulullah Saw. di dalam mengajarkannya al-Qur’a>n kepada para sahabat adalah memegang teguh ilmu, makna dan pengalaman. Tidak ada ilmu baru sebelum memahami ilmu yang lalu dan mengamalkannya. Ilmu bukan menumpuk-numpuk pengetahuan tanpa ada proses pemaknaan di dalamnya. Setiap ilmu yang diajarkan harus dipahami terlebih dahulu secara benar lalu diamalkan. Sehingga ilmu itu benar-benar menjadi sangat kuat melekat dan juga menjadi bagian dari sikap atau kepribadian karena diamalkan.

88 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema

Insani, 2002), 127

89 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’a>n (Kairo:

(37)

63

e. Ketika Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash melakukanmura>ja’ah al-Qur’a>n di hadapan Nabi Saw., beliau tidak mengizinkannya kurang dari tiga hari. Beliau bersabda, ‚Orang yang membaca al-Qur’a>n kurang dari tiga hari itu tidak bisa memahami.‛90

Hal itu menunjukkan bahwa pemahaman al-Qur’a>n itu menjadi tujuan dari amalan membaca al-Qur’a>n itu sendiri, bukan bacaan semata. Proses membaca yang tidak melibatkan proses-proses lain, seperti memahami dan merenungkan serta menghayati adalah bacaan yang jauh dari perintah membaca yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin kita membaca sesuatu tetapi kita tidak memperoleh pemahaman tentangnya? Inilah yang perlu mendapatkan perhatian agar tidak memahami membaca hanya sekedar aktivitas membaca saja tapi tidak menyerap maknanya. f. Di dalam kitab al-Muwaththa’ terhadap riwayat dari Anas bin Malik ra.,

‚Nabi Saw. mengimami shalat jahr para sahabat, lalu beliau tidak membaca satu ayat. Setelah itu Nabi Saw. bertanya, ‚Wahai fulan! apakah aku melupakan satu ayat dari surat ini?‛ Ia menjawab ‚Aku tidak tahu.‛ Kemudian beliau bertanya kepada dua orang dan tiga orang, dan mereka menjawab, ‚Aku tidak tahu.‛ Sampai akhirnya beliau berkata, ‚Ada apa gerangan dengan kaum yang dibacakan kitab Allah namun mereka tidak tahu apa yang ditinggalkan darinya? Demikianlah kebesaran

90HR. ad-Darimi dan Tirmidzi-menurutnya shahih. Imam Ahmad dan Abu Dawud

(38)

64

Allah keluar dari hati Bani Israil. Tubuh mereka hadir, namun hati mereka tidak hadir; Allah menerima shalat seorang hamba sampai ia mengahdirkan hati bersama tubuhnya.‛

Riwayat di atas jelas merupakan teguran dan peringatan yang sangat berharga sekali, bukan saja kepada para sahabat tapi untuk kondisi kita yang sekarang ini. Kalau kita tidak segera menyadari kondisi kita saat ini maka kita juga akan mengalami nasib sebagaimana umat-umat terdahulu yang mendapatkan peringatan dari Allah Ta’ala. Mereka mengaku membaca kitab sucinya, tapi mereka tidak memahami maksudnya. Sehingga apa yang mereka katakana sebenarnya adalah dusta belaka. Itulah sebabnya tadabbur menghadirkan dan melibatkan akala dan hati dalam pembacaan al-Qur’a>n sangat diperlukan. Sebagaimana Nabi mengajarkan dengan contoh-contoh yang konkret kepada para sahabat tentang pentingnya ber-tadabbur.

4. Tadabbur Qur’an Riwayat Salaf al-S}alih

Salaf al-S}a>lih yakni generasi awal umat Islam yang memiliki kepribadian yang lurus dan berperilaku sholeh. Mereka adalah contoh dan teladan di dalam mengamalkan pesan-pesan ajaran Islam. Salaf al-S}a>lih menjadi inspirasi yang dapat menggerakkan generasi sesudah mereka dalam meneladani amalan-amalan mereka dalam beribadah, termasuk dalam ber-Tadabbur.

(39)

65

a. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, ‚Umar belajar surat al-Baqarah selama setahun. Ketika beliau mengkhatamkannya, maka beliau menyembelih beberapa hewan ternak.91

Memakan waktu selama itu hanya untuk satu surat, ‘Umar bukannya tidak mampu dan melalaikan al-Qur’a>n, tetapi karena ia melakukan tadabbur.

b. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‚Ada seseorang mendatangi ‘Umar lalu ‘umar bertanya mengenai orang-orang. Orang itu menjawab, ‘Wahai Amirul Mu’minin! al-Qur’a>n mereka baca demikian dan demikian.’Lalu aku berkata, ‘Demi Allah aku tidak suka mereka buru-buru membaca al-Qur’a>n sedemikian cepat dalam sehari.‛ Ibnu ‘Abbas berkata, ‚Lalu ‘Umar mencercaku, kemudian ia berkata ‚Apa ini!‛ lalu aku pulang dengan hati sedih, lalu ‘Umar mendatangiku dan bertanya, ‚Apa yang tidak kau suka dari ucapan laki-laki tadi?‛ Aku menjawab, ‚Ketika mereka buru-buru sedemikian rupa, maka mereka akan saling mengaku yang paling benar-berselisih dan masing-masing mengatakan akulah yang benar. Ketika mereka saling mengaku sebagai yang paling benar, maka mereka akan berselisih. Ketika mereka berselisih, maka mereka berbeda-beda. Dan ketika mereka berbeda-beda pendapat, maka mereka akan saling memerangi.‛ Lalu

91Shamsu al-Di>n Muhammad bin Ahmad bin ‘Usma>n al-Dahabi>, Nuzhat al-Fhudala>’, Tahdzi>b

(40)

66

‘Umar berkata, ‚Demi Allah! aku tadinya merahasiakannya dari orang-orang, lalu kau sampaikan.‛92

Dan ternyata kekhawatiran ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas terjadi, sehingga muncullah kaum Khawarij yang membaca al-Qur’a>n tetapi tidak lebih membina dan mengarahkan mereka. Kaum Khawarij adalah kelompok berhaluan ekstrim yang pertama muncul dalam sejarah umat Islam. Mereka adalah kelompok yang menghalalkan menggunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan perbedaan dan selisih diantara umat. Tapi seperti dalam riwayat di atas, kaum Khawarij mempunyai sikap dan pandangan merasa dirinya paling benar, sehingga orang lain yang tidak sepaham dianggap salah dan sesat. Sejarah telah mencatat sebagaimana kaum Khawarij memaksakan pandangannya yang dianggapnya paling benar itu. c. Dari Ibnu ‚Umar ra., ia berkata,‛Fadhil termasuk sahabat Rasulullah

saw. dipermulaan umat ini yang tidak menghafal al-Qur’a>n kecuali satu surat atau semisalnya saja, namun mereka dianugerahi pengalaman al-Qur’a>n. Sesungguhnya generasi terakhir dari umat ini suka membaca al-Qur’a>n, termasuk anak kecil dan orang buta, tetapi mereka tidak dianugerahi pengamalannya.‛ Senada dengan Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud mengatakan, ‚Sulit bagi kami menghafal lafaz}-lafaz} al-Qur’a>n, namun mudah bagi kami mengamalkannya. Dan

(41)

67

generasi sesudah kami mudah menghafal al-Qur’a>n namun sulit mengamalkannya.‛93

d. Hasan al-Bashri mengatakan ‚Al-Qur’a<n ini telah dibaca hamba sahaya dan anak-anak yang tidak tahu tafsirnya. Tadabbur ayat-ayatnya adalah tidak lain dengan mengikutinya, bukan dengan menghafal huruf-hurufnya namun mengabaikan batasan-batasannya. Hingga, ada yang mengatakan, ‚Aku membaca al-Qur’a>n, dan tidak ada satu hurufpun yang terlewatkan.‛ Demi Allah sesungguhnya dia telah menghilangkan seluruh al-Qur’a>n, karena al-Qur’a>n tidak terlihat pada akhlak dan amalnya. Bahkan ada yang mengatakan ‘sesungguhnya aku membaca al-Qur’a>n dalam satu nafas.’ Demi Allah, mereka bukan ahli qira’ah, bukan ulama, dan bukan orang-orang wara’. Kapan ada ahli qira’ah seperti ini? Semoga Allah tidak memperbanyak manusia seperti mereka.94

Pengamalan al-Qur’a>n adalah maksud yang utama dari membaca al-Qur’a>n. kalau kita membaca al-Qur’a>n tapi tidak melakukan tadabbur, memahami dan merenungi maknanya, maka amat sulit bagi kita untuk mengamalkannya, karena bisa saja apa yang diamalkan justru bukanlah yang diperintahkan oleh al-Qur’a>n. Dan meskipun al-Qur’a>n diturunkan dalam Bahasa Arab, tetapi

93 Imam al-Qurthubi, Al-Ja>mi’ li Ahka>m Al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-hadith, 2007) jld I, 39-40. 94S}a>lih Abdu al-Fatta>h al-Kha>lidi, Mafa>ti>h lit-Ta’a>muli ma’a al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Qalam,

(42)

68

orang arab tidak sepenuhnya memahami makna yang dikandung di dalam al-Qur’a>n hingga mereka mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

e. Hasan al-Bashri juga mengatakan, ‚Al-Qur’a>n diturunkan untuk ditadabburi dan diamalkan. Lalu mereka menjadikan bacaannya sebagai amalan.95 Maksudnya amal mereka hanya sebatas membaca al-Qur’a>n tanpa tadabbur dan pengamalannya.‛

Membaca al-Qur’a>n hanya sebatas sebagai sebuah amalan memang mendatangkan pahala. Tapi kemudian yang menjadi masalah pesan-pesan, manfaat dan fungsi al-Qur’a>n sering dilalaikan karena tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk memahami dan mendalami maknanya.

f. Syu’bah bin Hajjaj bin Warad mengatakan kepada para ulama hadits, ‚Sesungguhnya kalian setiap kali maju di bidang hadits, maka kalian mundur di bidang al-Qur’a>n.‛96 Pernyataannya ini mengingatkan pada orang-orang yang terlalu sibuk mempelajari sanad-sanad hadits dan masalah-masalah fiqih sehingga melalaikan al-Qur’a>n dan tadabburnya. Orang seperti ini telah kehilangan keseimbangan.

Apa yang dimaksudkan pada Salaf al-S}a>lihsebagai sebuah kemunduran di bidang al-Qur’a>n? Padahal mereka masih dekat dengan

95Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mada>rij as-Sa>likin (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989) jld I, 485.

96Shamsu al-Di>n Muhammad bin Ahmad bin ‘Usma>n al-Dahabi>, Nuzhat al-Fhudala>’, Tahdzi>b

(43)

69

zaman sahabat dan Nabi jika dibandingkan dengan kita? Mereka juga dikenal orang-orang shalih yang gemar membaca al-Qur’a>n. Ternyata tidak lain adalah kemunduran dalam mengkaji dan memahami al-Qur’a>n atau aktivitas tadabbur al-al-Qur’a>n.

g. Dari Muhammad bin Ka’ab Qarzhi, ia berkata, ‚Membaca surat al-Zalzalah dan al-Qari>’ah semalaman hingga pagi itu lebih aku sukai daripa membaca al-Qur’a>n ini semalaman.‛ Atau ia mengatakan, ‚Membacanya dengan ala kadarnya.‛97

Membaca dengan pemahaman dan penghayatan memberikan efek yang sangat dahsyat ke dalam jiwa. Pengerahan akal dan hati saat membaca al-Qur’a>n itu menjadi proses interaksi yang intens lalu mendatangkan efek seperti yang dikatakan al-Qur’a>n sendiri ‚Hatinya tergetar‛ bagi yang mendengarkannya. Surat Zalzalah dan al-Qa>ri’ah adalah dua surat yang menceritakan bagaimana hebatnya kehancuran alam semesta ketika Kiamat datang. Bila membacanya dengan tadabbur, maka itu akan memberikan efek yan luar biasa. 5. Keutamaan dan Pentingnya Tadabbur

Tadabbur adalah kunci memahami kalamullah. Imam al-Zarkasyi berkata di dalam al-Burhan, ‚Makruh membaca al-Qur’an tanpa tadabbur. Hal ini disinggung di dalam hadits Abdullah bin Amr, ‚Tidak akan paham,

97 ‘Abdullah Ibnu Muba>rak Muzi>>, Al-Zuhdu wa Raqa>iq (Beirut: Da>r Kutub

Referensi

Dokumen terkait

Badan Kepegawaian Daerah dan Diklat Kota Palembang mengadopsi sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu dimana merupakan satu upaya untuk mewujudkan pelayanan kepegawaian yang

Berdasarkan penejalasan Pak Tamizi selaku salah satu tokoh masyarakat Desa Khaju dalam penejelasannya beliau menyatakan bahwa asal mula tukang Jawa masuk ke Aceh

Berdasarkan tabel 4.6 di atas tentang jawaban responden mengenai kinerja karyawan, maka diperoleh nilai mean sebesar 4,39 dan indikator yang memiliki nilai mean yang

Apakah ekstrak etanol rimpang lempuyang gajah (Zingiber zerumbet L.) dan lempuyang emprit (Zingiber littorale Val.) memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker

dengan metode evaluasi K-Fold Cross Validation dan dihitung nilai akurasinya guna mendapatkan model terbaik dalam mengklasifikasikan data yang ada pada data

Belahan dilapis menurut bentuk yaitu belahan dilapis dengan kain lain yang sama bentuknya. Belahan ini banyak digunakan pada tengah muka pakaian, tengah belakang atau pun ujung

Mata kuliah Farmakokimia I berisi tentang aspek fisikokimia obat dalam hubungannnya dengan aktifitasnya, aspek kimia dari absorpsi, distribusi, dan ekskresi obat , aspek kimia