• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejumlah ahli telah membuat definisi motivasi kerja, salah satunya ada yang mengemukakan bahwa motivasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejumlah ahli telah membuat definisi motivasi kerja, salah satunya ada yang mengemukakan bahwa motivasi"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

19

Sejumlah ahli telah membuat definisi motivasi kerja, salah satunya ada yang mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Motivasi kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, dua diantaranya adalah reward dan iklim organisasi. Reward merupakan semua bentuk return baik finansial maupun nonfinansial yang diterima karyawan karena jasa yang disumbangkan ke perusahaan. Iklim organisasi merupakan lingkungan manusia yang di dalamnya para pegawai suatu organisasi melakukan pekerjaaan mereka

(2)

2.1. Motivasi Kerja

2.1.1. Definisi Motivasi Kerja

Sebelum membicarakan motivasi kerja, perlu kiranya dikemukakan pengertian tentang motivasi pada umumnya. Motivasi dalam bahasa Inggris disebut motivation yang berasal dari bahasa Latin movere yang dimaksud “menggerakkan” (Steers and Porter, 1975 dalam Wijono, 2010). Ada ungkapan yang menyatakan bahwa motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan usaha dari seorang individu untuk mencapai suatu tujuan. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Robbins dan Judge (2007, h.186) yang mendefinisikan motivasi sebagi berikut: motivation is the process that accounts for an individual’s intensity, direction, and persistence of effort toward attaining a goal. Ada juga ungkapan yang menyatakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk mencapai melampaui harapan, yang lebih didorong oleh faktor internal disbanding eksternal, dan untuk terus terlibat dalam perjuangan demi perbaikan. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Torrington et al (2009) dalam Mikander (2010, h.11) yang mendefinisikan motivasi sebagi

(3)

berikut: “motivation is the desire to achieve beyond expectations, being driven by internal rather than external factors, and to be involved in a continuous striving for improvement”.

Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, McCormick (1985) (dalam Mangkunegara, 2002) mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Di lain kesempatan, ada pernyataan yang menyatakan bahwa motivasi kerja yaitu seperangkat kekuatan yang menggerakkan baik di dalam maupun di luar individu untuk memulai pekerjaan yang berkenaan dengan perilaku, dan untuk menentukan bentuknya, arahannya, intensitasnya dan durasi. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Pinder (1998) dalam Meyer et al (2004, hal 11) yang mendefinisikan motivasi kerja sebagai berikut: work motivation is a set of energetic forces that originates both within as well as beyond an individual's being, to initiate work related behavior, and to determine its form, directions, intensity, and duration.

(4)

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah seperangkat kekuatan yang membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku individu untuk memulai pekerjaan, menentukan bentuknya, arahannya, intensitasnya dan durasi atau lama menyelesaikan pekerjaan tersebut.

2.1.2. Teori Motivasi

Sejumlah teori telah dikembangkan untuk menjelaskan motivasi kerja. Secara umum ada tiga kelompok teori motivasi yang selalu dihubungkan dengan tindakan kerja yaitu teori-teori: kebutuhan, harapan dan keadilan (Wijono, 2010). Dari ketiga kelompok teori motivasi tersebut, selanjutnya yang dijabarkan lebih lanjut dalam penelitian ini adalah teori kebutuhan. Alasan dipilih teori ini sebab pada dasarnya individu bertingkah laku tertentu karena adanya suatu kebutuhan. Di samping itu, teori kebutuhan juga menjelaskan faktor-faktor spesifik yang mendorong seseorang dalam melakukan kegiatan. Teori kebutuhan ini termasuk dalam kelompok teori motivasi isi (content theories of motivation).

(5)

Lebih lanjut menurut Wijono (2010) bahwa ada empat teori yang tergolong dalam kelompok teori motivasi isi (content theories of motivation) yaitu:

1. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Maslow telah menyusun kebutuhan-kebutuhan manusia dalam lima tingkat yang akan dicapai menurut tingkat kepentingannya sebagai berikut: kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial dan kasih sayang, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.

2. Teori Kebutuhan ERG Alderfer

Alderfer menyesuaikan dan melakukan modifikasi dari lima tingkat teori hierarki kebutuhan Maslow hanya pada tiga kebutuhan saja yaitu: kebutuhan keberadaan (existence), kebutuhan hubungan relasi (relatedness) dan kebutuhan pertumbuhan (growth).

3. Teori Kebutuhan Dua Faktor Herzberg

Herzberg menggolongkan kebutuhan-kebutuhan dalam dua faktor saja, yaitu faktor motivator dan kesehatan. Termasuk dalam faktor motivator

(6)

adalah: pekerjaan itu sendiri, prestasi, kemungkinan pertumbuhan, tanggung jawab, kemajuan, pengakuan dan status. Termasuk dalam faktor kesehatan adalah: hubungan dengan penyelia, hubungan antarkolega, hubungan dengan bawahan, kualitas penyeliaan, kebijakan perusahaan dan administrasi, keamanan kerja, kondisi kerja dan gaji.

4. Teori Kebutuhan Berprestasi McClelland

McClelland mengemukakan adanya tiga motif yaitu kekuasaan, afiliasi dan berprestasi yang dapat memberi pengaruh pada prestasi kerja. Untuk menjelaskan ketiga motif tersebut, Wijono (2010) memberi beberapa contoh yang berhubungan dengan ketiga motif tersebut. Pertama, bagi motif kekuasaan misalnya, supervisor secara umum terpaksa menggunakan paling tidak kekuasaannya terhadap para karyawan yang mempunyai prestasi kerja kurang baik. Kedua, motif afiliasi misalnya, sebagian supervisor berusaha untuk dapat meningkatkan kerja sama dengan bawahannya

(7)

dalam mencapai kerja yang diinginkan bersama. Ketiga, motif berprestasi misalnya, supervisor mempunyai keinginan memperoleh kesempatan meningkatkan karir untuk mencapai prestasi kerja.

Masing-masing teori motivasi di atas memiliki keterbatasannya. Baik teori motivasi kerja Maslow maupun teori ERG melihat motivasi seseorang hanya berdasarkan hirarki kebutuhan, di mana tingkat kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya tidak akan tergerak jika kebutuhan dibawahnya belum dipenuhi secara wajar. Pada kenyataannya kebutuhan seseorang dapat saja tidak tersusun secara hierarki, (2) Teori Herzberg hanya melihat kebutuhan manusia yang terdiri dari dua hal yaitu puas dan tidak puas. Padahal pada kenyataannya setiap orang tidak mungkin akan menyadari semua hal yang memotivasi mereka atau yang menyebabkan mereka tidak puas, (3) Teori motivasi dari McClelland menegaskan bahwa kebutuhan berprestasi itu dapat dipelajari. Hal ini bertentangan dengan literatur pada umumnya yang membuktikan bahwa motif seseorang diperoleh sejak

(8)

kanak-kanak (kecil), sehingga biasanya sangat sukar diubah pada masa dewasa.

Meskipun masing-masing teori motivasi memilik keterbatasn, namun dalam penelitian ini penulis lebih menggunakan teori motivasi dari McClelland karena lebih baik dalam menggambarkan motivasi kerja karyawan di lingkungan organisasi. McClelland tidak melihat motivasi kerja karyawan berdasarkan hirarki kebutuhan atau atas dasar kepuasan dan ketidakpuasan kerja. Menurut Wijono (2010) bahwa teori motivasi dari McClelland mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan usaha individu untuk mencapai tingkah laku tertentu dalam merealisasikan prestasi kerja.

2.1.3 Dimensi Motivasi Kerja

Berdasarkan beberapa teori motivasi yang telah dijabarkan di atas yang mana selanjutnya dipilih teori motivasi dari McClelland, maka dimensi motivasi kerja yang dijabarkan berikut ini merupakan dimensi motivasi kerja menurut teori McClelland (Gibson et al, 2000).

(9)

Adapun penjabaran dimensi motivasi kerja menurut teori McClelland (Gibson et al, 2000) adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan berprestasi (need for achievement, n Ach)

Merupakan daya, penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena itu, n Ach akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreatifitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang maksimal. Karyawan akan antusias untuk berprestasi tinggi, asalkan kemungkinan untuk itu diberi kesempatan. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan dapat memperoleh pendapatan yang besar. Dengan pendapatan yang besar akhirnya memiliki serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai contoh misalnya, seorang karyawan membutuhkan adanya tugas atau pekerjaan yang menantang untuk lebih mengarahkan semua kemampuannya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

(10)

2. Kebutuhan berafiliasi (need for affiliation, n Af) Menjadi daya penggerak yang akan memotivasi semangat bekerja seseorang. Oleh karena itu, n Af ini merangsang gairah bekerja karyawan karena setiap orang menginginkan hal-hal: kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dilingkungan ia tinggal dan bekerja (sense of belonging), kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting (sense of importance), kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement), dan kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation). Seseorang karena kebutuhan n Af akan memotivasi dan mengembangkan dirinya serta memanfaatkan semua energinya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Sebagai contoh misalnya, seorang karyawan akan merasa senang jika dapat membantu rekan kerja yang kesulitan menyelesaikan tugasnya.

(11)

3. Kebutuhan berkuasa (need for power, n Pow). Merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja karyawan. N Pow akan merangsang dan memotivasi gairah kerja karyawan serta mengarahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Ego manusia ingin lebih berkuasa dari manusia lainnya akan menimbulkan persaingan. Persaingan ditumbuhkan secara sehat oleh manajer dalam memotivasi bawahannya, supaya mereka termotivasi untuk bekerja giat. Sebagai contoh misalnya, seorang karyawan akan merasa senang dan bangga jika diberikan kesempatan menjadi pemimpin dalam teamwork.

2.1.4.Faktor-faktor Yang Memengaruhi Motivasi Kerja Motivasi kerja dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Seperti misalnya yang dikemukakan oleh Berkson et al (2011) bahwa motivasi kerja karyawan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: komunikasi di tempat kerja

(12)

(communication in the workplace), besarnya penerimaan karyawan (income of employees), insentif jangka panjang (long-term incentives), dan insentif non finansial (non-financial incentives). Komunikasi yang terjalin baik di tempat kerja, besarnya penerimaan yang sebanding dengan kontribusi dan beban kerja, insentif jangka panjang serta insentif non finansial yang layak dari perusahaan akan membuat karyawan menjadi lebih termotivasi dalam bekerja. Mikander (2010) menyebutkan bahwa sistem reward mampu meningkatkan motivasi kerja karyawan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Pratheepkanth (2011) bahwa sistem reward mempunyai pengaruh terhadap motivasi kerja karyawan. Ini berarti bahwa perusahaan harus dapat memberikan reward yang layak bagi karyawan karena hal tersebut dapat memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik. Stringer (2002) menyebutkan bahwa iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan menentukan munculnya motivasi kerja. Iklim organisasi yang kondusif tentu saja akan membuat karyawan menjadi lebih terasa nyaman dalam bekerja dan ini tentunya akan memotivasi karyawan bekerja lebih baik.

(13)

Sementara itu menurut Utami dan Surowati (2009) menyebutkan bahwa motivasi kerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pelaksanaan supervisi, iklim organisasi dan insentif. Dengan adanya supervisi yang tidak terlalu ketat dan kaku terhadap karyawan akan mendorong mereka untuk lebih berprestasi, demikian halnya jika iklim organisasi yang kondusif mampu diciptakan oleh perusahaan maka akan memotivasi karyawan dalam bekerja. Sementara itu faktor insentif yang tepat dan sesuai untuk masing-masing karyawan akan mendorong mereka untuk bekerja dengan lebih baik lagi dibandingkan sebelumnya.

2.2. Reward

2.2.1. Definisi Reward

Reward dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Bowen (2000, h.121) dalam bukunya Recognizing and Rewarding Employees, yang memberikan pengertian reward berikut ini: “reward is something given or received in return for

(14)

service”. Reward adalah semua bentuk return baik finansial maupun nonfinansial yang diterima karyawan karena jasa yang disumbangkan ke perusahaan. Reward dapat berupa finansial yaitu berbentuk gaji, upah, bonus, komisi, asuransi karyawan, bantuan sosial karyawan, tunjangan libur atau cuti tetap dibayar dan sebagainya, maupun bentuk non finansial seperti tugas yang menarik, tantangan tugas, tanggung jawab tugas, peluang, pengakuan, pencapaian tujuan, serta lingkungan pekerjaan yang menarik (Schuler and Huber, 1993).

Reward dalam konteks kegiatan manajemen sering diistilahkan dengan kompensasi. Selanjutnya Mondy and Noe (2005) menjelaskan arti kompensasi sebagai keseluruhan reward yang diberikan untuk karyawan sebagai imbalan atas pekerjaan mereka yang terdiri dari finansial dan non finansial. Lebih lanjut menurut Rivai (2004), bahwa kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Pemberian kompensasi merupakan salah satu pelaksanaan fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia yang berhubungan dengan semua

(15)

jenis penghargaan individual sebagai pertukaran dalam melakukan tugas keorganisasian. Hasibuan (2010) mengartikan kompensasi sebagai semua pendapatan yang berbentuk uang, barang baik langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa reward adalah keseluruhan balas jasa baik finansial maupun non finansial, secara langsung ataupun tidak langsung yang diterima karyawan atas pekerjaan yang mereka lakukan bagi perusahaan.

2.2.2. Bentuk-bentuk Reward

Ada beragam macam bentuk reward yang dapat diterima oleh seorang karyawan. Menurut Robbins (2003), jenis reward atau kompensasi yang didistribusikan pada karyawan terdiri dari: (1) Imbalan intrinsik, yaitu imbalan yang diterima individu untuk diri mereka sendiri. Imbalan ini sebagian besar merupakan kepuasan pekerja itu atas pekerjaanya, (2) Imbalan ekstrinsik, mencakup: kompensasi langsung (gaji/bonus), kompensasi tidak

(16)

langsung (asuransi, upah, liburan) dan imbalan bukan uang (ruang kerja yang luas, tempat parkir khusus, pujian dari atasan).

Pendapat yang sama juga didapat dari Simamora (2002) yang lebih jauh menjelaskan dua tipe besar dari imbalan tersebut:

1. Imbalan intrinsik

Merupakan imbalan yang dinilai di dalam dan dari karyawan sendiri, karena imbalan itu melekat pada aktivitas karyawan dan pemberiannya tidak tergantung dengan tindakan orang lain, terdiri dari:

a. Perasaan orang akan kemampuan pribadi atau pelaksanaan pekerjaan dengan baik.

b. Perasaan penyelesaian atau pencapaian pribadi dengan memperoleh tujuan atau sasaran.

c. Perasaan kebebasan dari pengarahan dan tanggung jawab pribadi yang meningkat karena diberikan otonomi berkenaan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan.

(17)

d. Perasaan pertumbuhan pribadi akibat kesuksesan dalam bidang upaya pribadi yang baru dan menantang.

2. Imbalan ekstrinsik

Merupakan imbalan yang dihasilkan oleh sumber-sumber eksternal untuk seseorang, dalam hal ini perusahaan sebagai sumber eksternal dan memberikan imbalan kepada karyawan-karyawannya tergantung pada kinerja karyawan.

2.2.3. Dimensi Reward

Reward merupakan salah satu strategi manajemen sumber daya manusia untuk menciptakan keselarasan kerja antar staf dengan pimpinan perusahaan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan (Walker, 1992). Reward atau kompensasi dapat dibagi dalam dua dimensi yaitu berupa reward finansial seperti gaji, upah, bonus, komisi, asuransi karyawan, bantuan sosial karyawan, tunjangan libur atau cuti tetap dibayar dan sebagainya; maupun reward non finansial seperti

(18)

tugas yang menarik, tantangan tugas, tanggung jawab tugas, peluang, pengakuan, pencapaian tujuan, serta lingkungan pekerjaan yang menarik (Schuler and Huber, 1993).

Mondy and Noe (2005) menyebutkan bahwa kompensasi dapat dibedakan atas kompensasi finansial dan kompensasi non finansial. Kompensasi finansial terdiri dari kompensasi finansial langsung dan yang tidak langsung. Sementara itu, kompensasi non finansial terdiri dari pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Berikut penjelasan dari masing-masing dimensi kompensasi tersebut:

1. Kompensasi finansial

a. Kompensasi finansial langsung (direct financial compentation) terdiri dari pembayaran yang diterima oleh seseorang pegawai dalam bentuk gaji, upah, bonus, dan komisi.

b. Kompensasi tidak langsung (Indirect financial compentation), yang disebut juga dengan tunjangan meliputi semua imbalan finansial yang tidak termasuk dalam kompensasi

(19)

langsung antara lain berupa program asuransi jiwa dan kesehatan, bantuan sosial, benefit antara lain: jaminan pensiun, jaminan sosial tenaga kerja, bantuan pendidikan, dan bantuan natura, ketidakhadiran yang dibayar seperti cuti. Hari libur atau vacation, cuti sakit dan lain-lain.

2. Kompensasi non finansial (non financial compentation)

a. Kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan itu sendiri antara lain berupa: tugas yang menarik minat, tantangan pekerjaan, tanggung jawab, pengakuan yang memadai atas prestasi yang dicapai, seperti peluang promosi bagi pegawai yang berpotensi, atau peluang mengungtungkan lainnya.

b. Kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan yang dapat diciptakan oleh perusahaan dan pegawai yaitu efek psikologis dan fisik di mana orang tersebut bekerja. Yang termasuk didalamnya, antara lain berupa: kebijakan

(20)

perusahaan yang sehat dan wajar, supervisi dilakukan oleh pegawai yang kompenten, adanya rekan kerja yang menyenangkan, pemberian symbol status yang tepat, terciptanya lingkungan kerja yang nyaman, adanya pembagian pekerjaan adil, waktu kerja yang fleksibel, dan lain-lain.

Dimensi reward sebagaimana dikemukakan oleh Schuler and Huber (1993) sesungguhnya mempunyai kesamaan dengan dimensi reward yang dikemukakan oleh Mondy and Noe (2005) yaitu sama-sama mengklasifikasikan reward kedalam dua dimensi yaitu reward/ kompensasi finansial dan reward/ kompensasi non finansial. Namun dalam penelitian ini, dimensi reward yang dipilih lebih lanjut adalah dimensi reward yang dikemukakan oleh Mondy and Noe (2005) dengan alasan penjabaran dari kedua dimensi reward lebih terperinci sehingga akan memudahkan dalam penyusunan daftar item pernyataan untuk mengukur reward.

(21)

2.2.4.Faktor-faktor Yang Memengaruhi Reward

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya reward/ kompensasi menurut Hasibuan ( 2007), antara lain sebagai berikut:

1. Penawaran dan permintaan tenaga kerja. Jika pencari kerja (penawaran) lebih banyak daripada lowongan pekerjaan (permintaan) maka kompensasi relatif kecil. Sebaliknya jika pencari kerja lebih sedikit daripada lowongan pekerjaan, maka kompensasi relatif semakin besar.

2. Kemampuan dan kesediaan perusahaan. Apabila kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk membayar semakin baik maka tingkat kompensasi akan semakin besar. Tetapi sebaliknya, jika kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk membayar kurang maka tingkat kompensasi relatif kecil.

3. Serikat buruh/ organisasi karyawan. Apabila serikat buruhnya kuat dan berpengaruh maka tingkat kompensasi semakin besar. Sebaliknya jika

(22)

serikat buruh tidak kuat dan kurang berpengaruh maka tingkat kompensasi relatif kecil.

4. Produktivitas kerja karyawan. Jika produktivitas kerja karyawan baik dan banyak maka kompensasi akan semakin besar. Sebaliknya kalau produktifitas kerjanya buruk serta sedikit maka kompensasinya kecil.

5. Pemerintah dengan Undang-undang dan Keppres. Pemerintah dengan undang-undang dan keppres menetapkan besarnya batas upah/balas jasa minimum. Peraturan pemerintah ini sangat penting supaya pengusaha tidak sewenang-wenang menetapkan besarnya balas jasa bagi karyawan. Pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang

6. Biaya hidup (cost of living). Apabila biaya hidup di daerah itu tinggi maka tingkat kompensasi atau upah semakin besar. Sebaliknya, jika tingkat biaya hidup di daerah itu rendah maka tingkat kompensasi atau upah relatif kecil. Seperti tingkat upah di Jakarta lebih besar dari Bandung, karena

(23)

tingkat biaya hidup di Jakarta lebih besar daripada di Bandung.

7. Posisi jabatan karyawan. Karyawan yang menduduki jabatan lebih tinggi akan menerima gaji/kompensasi lebih besar. Sebaliknya karyawan yang menduduki jabatan yang lebih renda akan memperoleh gaji/kompensasi yang kecil. Hal ini wajar karena seseorang yang mendapat kewenangan dan tanggung jawab yang besar harus mendapatka gaji/kompensasi yang lebih besar pula.

8. Pendidikan dan pengalaman kerja. Jika pendidikan lebih tinggi dan pengalaman kerja lebih lama maka gaji atau balas jasanya akan semakin besar, karena kecakapan serta keterampilannya lebih baik. Sebaliknya, karyawan yang berpendidikan rendah dan pengalaman kerja yang kurang maka tingkat gaji atau kompensasinya kecil.

9. Kondisi perekonomian nasional. Apabila kondisi perekonomian nasional sedang maju (boom) maka

(24)

tingkat upah/kompensasi akan semakin besar, karena akan mendekati kondisi full employment. Sebaliknya, jika kondisi perekonomian kurang maju (depresi) maka tingkat upah rendah, karena terdapat banyak penganggur (disqueshed unemployment).

10. Jenis dan sifat pekerjaan. Kalau jenis dan sifat pekerjaan yang sulit dan mempunyai risiko (finansial, keselamatan) yang besar maka tingkat upah/balas jasanya semakin besar karena membutuhkan kecakapan serta ketelitian untuk mengerjakannya. Tetapi jika jenis dan sifat pekerjaannya mudah dan risiko (finansial, kecelakaannya) kecil, tingkat upah/balas jasanya relatif rendah. Misalnya, pekerjaan merakit komputer balas jasanya lebih besar daripada mengerjakan mencetak batu bata.

(25)

2.3. Iklim Organisasi

2.3.1. Definisi Iklim Organisasi

Ada berbagai definisi tentang iklim organisasi yang diungkapkan oleh para ahli di antaranya suatu pernyataan yang menyatakan bahwa iklim organisasi merupakan suatu set sifat yang dapat diukur pada lingkungan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung dipersepsikan oleh karyawan yang bekerja didalam lingkungan organisasi yang mempengaruhi dan memotivasi perilaku mereka. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Litwin and Stringer (1968) dalam Holloway (2012) yang memberikan definisi iklim organisasi sebagai berikut: "organizational climate as the set of measurable properties of the work environment that is either directly or indirectly perceived by the employees who work within the organizational environment that influences and motivates their behavior".

Davis and Newstrom (2001) memandang iklim organisasi sebagai lingkungan manusia yang di dalamnya para pegawai suatu organisasi melakukan pekerjaaan mereka. Dari pengertian ini tampak bahwa iklim organisasi menyangkut semua lingkungan yang ada atau yang

(26)

dihadapi oleh pegawai yang berada dalam suatu organisasi yang mempengaruhi pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas keorganisasiannya. Kemudian dikemukakan oleh Gibson et al (1996) bahwa iklim organisasi merupakan serangkaian keadaan lingkungan dalam organisasi yang dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh para karyawan, dan diasumsikan merupakan kekuatan yang besar dalam mempengaruhi perilaku karyawan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah suatu kumpulan keadaan lingkungan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung dirasakan atau dihadapi karyawan yang mempengaruhi perilakunya dalam melaksanakan tugas-tugas.

2.3.2. Dimensi Iklim Organisasi

Stringer (1968) dalam Wirawan (2007) menyebutkan bahwa karakteristik atau dimensi iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk berperilaku tertentu. Ia juga mengatakan enam dimensi yang diperlukan, yaitu:

(27)

1. Struktur. Struktur merefleksikan perasaan bahwa karyawan diorganisasi dengan baik dan mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab mereka. Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.

2. Standar-standar. Mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan.

3. Tanggung jawab. Merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi “pimpinan diri sendiri” dan tidak pernah meminta pendapat mengenai keputusannya dari orang lain. Meliputi kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan. 4. Pengakuan. Perasaan karyawan diberi imbalan

yang layak setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan.

(28)

5. Dukungan. Merefleksikan perasaan karyawan mengenai kepercayaan dan saling mendukung yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain.

6. Komitmen. Merefleksikan perasaan kebanggaan dan komitmen sebagai anggota organisasi. Meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.

Sementara itu, menurut Pines (1982) dalam Elfrida (2009) bahwa iklim organisasi dapat diukur melalui empat dimensi yaitu:

1. Psikologikal, yaitu meliputi variabel seperti beban kerja, kurang otonomi, kurang pemenuhan sendiri dan kurang inovasi.

2. Struktural, yaitu meliputi variabel seperti fisik, bunyi dan tingkat keserasian antara keperluan kerja dan struktur fisik.

3. Sosial, yaitu meliputi interaksi dengan klien (dari segi kuantitas dan ciri-ciri permasalahannya), rekan sejawat (tingkat dukungan dan kerja sama)

(29)

4. Birokratik, yaitu meliputi undang-undang dan peraturan-peraturan, konflik peranan dan kekaburan peranan.

Dalam penelitian ini, pengukuran iklim organisasi mengacu pada dimensi-dimensi iklim organisasi seperti yang dikemukakan oleh Stringer (1968) dalam Wirawan (2007) karena memiliki cakupan dimensi iklim organisasi yang lebih luas dibandingkan apa yang dikemukakan oleh Pines (1982) dalam Elfrida (2009), selain itu dimensi-dimensi iklim organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Pines tersebut juga telah terkandung dalam dimensi-dimensi iklim organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Stinger.

2.3.3. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Iklim Organisasi

Disadari bahwa satu iklim organisasi tidak dapat begitu saja terjadi dengan sendirinya. Dalam hal ini ada beberapa faktor penentu terjadinya iklim organisasi. Steers (1980) dalam Idrus (2006) mengemukakan setidaknya ada 4 (empat) komponen yang menentukan satu iklim organisasi, yaitu:

(30)

1. Struktur kebijakan organisasi, yang dimaksud adalah semakin tinggi tingkat sentralisasi, formalisasi dan ketatnya orientasi pada peraturan akan semakin kaku lingkungan organisasi, sehingga akan menimbulkan ketertutupan dan bahkan kadang disertai kondisi ancaman. Sebaliknya semakin besar otonomi dan kebebasan menentukan tindakan sendiri yang diberikan pada individu dan semakin banyak perhatian pihak menejer yang ditujukan pada para pegawainya, akan semakin baik iklim kerjanya. Baiknya iklim organisasi tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap keterbukaan, penuh kepercayaan dan tanggungjawab.

2. Teknologi yang digunakan dalam organisasi. Teknologi yang rutin cenderung menciptakan iklim yang beroreintasi pada peraturan dengan tingkat kepercayaan serta kreativitas yang rendah. Sebaliknya, teknologi yang lebih dinamis dan berubah-ubah akan menjurus kepada komunikasi yang terbuka, kepercayaan, kreativitas dan

(31)

penerimaan tanggungjawab pribadi untuk penyelesaian tugas yang tinggi.

3. Lingkungan luar organisasi. Pendapat ini berasumsi bahwa peristiwa atau faktor dari luar yang secara khusus berkaitan dengan pegawai diduga mempunyai pengaruh terhadap iklim organsiasi. Contoh untuk komponen ini salah satunya adalah kondisi krisis moneter seperti yang pernah terjadi di Indonesia, karena kondisi ini banyak organisasi yang harus mem-PHK para karyawannya. Pada sisi lain, dengan adanya PHK terhadap teman sekerjanya, mereka yang masih tinggal cenderung merasakan iklim yang ada di organisasinya cenderung “mengancam”, sehingga memunculkan situasi yang tidak ada kehangatan, lemahnya dukungan, rendahnya motivasi kerja karyawan.

4. Kebijakan dan praktek menejemen yang dilakukan organisasi. Seorang menejer yang lebih banyak memberikan umpan balik, otonomi dan identitas pekerjaan para pegawainya tampaknya lebih

(32)

berhasil menciptakan iklim organisasi yang berorientasi pada prestasi. Di pihak lain menejer yang menekankan pada peraturan justru menjadikan pegawai memiliki sikap tidak bertanggungjawab.

Mondy (1980) dalam Idrus (2006) mengungkap empat faktor utama yang mempengaruhi iklim organisasi yaitu: (1) kelompok kerja, yang terdiri dari kesepakatan, moral kerja, kesejawatan; (2) pengawasan menejer, antara lain berupa penekanan pada hasil dan tingkat kepercayaan; (3) karakteristik organisasi yang terdiri dari ukuran (besar kecilnya organisasi), kekompakkan organisasi, keformalan dalam organisasi dan otonomi; (4) proses administrasi antara lain terdiri dari sistem penghargaan dan sistem komunikasi.

2.4. Hasil Penelitian Sebelumnya tentang Pengaruh

Reward dan Iklim Organisasi terhadap Motivasi

Kerja

Tinggi rendahnya motivasi kerja seorang pegawai tergantung kepada bagaimana organisasi memperlakukan

(33)

mereka. Salah satu caranya adalah melalui pemberian reward yang selayaknya bagi pegawai berprestasi tersebut.

Mikander (2010) menyebutkan bahwa sistem reward mampu meningkatkan motivasi kerja karyawan. Oleh karena itu perusahaan dapat mengembangkan sistem reward-nya dengan mengikutsertakan karyawan dalam mengambil keputusan menyangkut sistem reward tersebut. Setyorini (2008) mengemukakan bahwa sistem reward atau kompensasi ini dalam prakteknya dapat digunakan untuk memotivasi karyawan sehingga nantinya karyawan memiliki kinerja yang diharapkan oleh perusahaan. Memberikan kompensasi kepada pegawai sesuai dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya serta hasil kerjanya, merupakan suatu cara untuk membantu perusahaan berfungsi lebih baik dan cara memperlakukan sumber daya manusia secara adil. Kompensasi yang adil dapat memiliki dampak yang penting bagi pegawai yaitu dapat memotivasi mereka dalam bekerja sehingga pada akhirnya diharapkan kinerja mereka akan meningkat. Hal tersebut juga ditekankan oleh Suryanto dan Sari (2008) bahwa pemberian reward disamping gaji pokok yang

(34)

diberikan organisasi pada dosen/ tenaga kerja sangat berperan di dalam meningkatkan motivasi kerja mereka.

Selain reward, faktor lainnya yang juga dianggap dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan adalah faktor iklim organisasi. Herzberg (1987) sebagaimana dikutip oleh Hersey dan Blanchard (1998) menyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh manusia dapat berjalan dengan baik jika situasi dan kondisinya mendukung serta memungkinkan aktifitas itu terlaksana. Tagiuri dan Litwin (1968) dalam Wirawan (2007) menyatakan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal yang secara relatif terus berlangsung dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku setiap anggotanya. Pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku anggota organisasi dapat bersifat positif dan negatif misalnya stres kerja yang tinggi dan motivasi kerja yang rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi iklim organisasi harus diciptakan dengan sedemikian rupa sehingga anggotanya termotivasi untuk bekerja dengan baik karena merasa nyaman. Motivasi kerja yang tinggi pada karyawan pada gilirannya akan dapat

(35)

mendorong pada lajunya perusahaan, karena bagaimana pun motivasi akan berkaitan erat dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dalam menyokong tujuan perusahaan. Menurut Siwi (2010) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya motivasi kerja yakni iklim organisasi sebagai suatu faktor eksternal, karena dengan adanya iklim yang baik maka arus komunikasi dan pengembangan aktivitas dapat berlangsung secara maksimal.

Keterkaitan diantara reward dan iklim organisasi terhadap motivasi kerja karyawan pernah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. Suryanto dan Sari (2008) menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara adanya reward terhadap terhadap motivasi kerja dosen dalam bidang pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di lingkungan perguruan tinggi AMIK Startek Pringsewu. Khan et al (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara reward dengan motivasi kerja bank komersial di Pakistan. Hermawan (2008) menemukan bahwa iklim organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi kerja

(36)

pejabat struktural di Kabupaten Kutai Kartanegara. Utami dan Surowati (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dengan motivasi kerja staf akademik di Politeknik Kesehatan Depkes Malang.

Memperhatikan beberapa temuan penelitian sebelumnya di atas, tampak bahwa pemberian reward yang tepat dan sesuai dengan harapan karyawan serta didukung adanya iklim organisasi yang baik bagi karyawan tentunya akan dapat mempengaruhi motivasi kerja mereka. Hal ini disebabkan karena permasalahan yang berkaitan dengan karyawan di suatu perusahaan seringkali bermula dari kurangnya kesadaran manajemen perusahaan dalam memperhatikan kesejahteraan karyawan yang telah menyumbangkan ilmu dan tenaganya untuk kemajuan perusahaan. Oleh karena itu dengan adanya pemberian reward atau kompensasi sesuai dengan kontribusi karyawan akan membuat motivasi kerja mereka menjadi lebih tinggi. Disamping itu, iklim organisasi yang menyenangkan membuat sikap

(37)

karyawan positif dan memberi dorongan untuk bekerja lebih tekun dan lebih baik. Sebaliknya, jika iklim organisasi tidak menyenangkan maka mereka cenderung meninggalkan lingkungan tersebut. Menyadari betapa iklim organisasi memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap setiap individu di organisasi, yang pada ujung-ujungnya akan pula berpengaruh terhadap motivasi kerja, maka dengan sendirinya perlu pemahaman yang baik tentang iklim organisasi.

Berdasarkan uraian di atas maka adapun hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

diduga terdapat pengaruh reward dan iklim organisasi secara simultan terhadap motivasi kerja karyawan Bank BTPN di daratan Timor

2.5. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka model kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

(38)

Gambar 2.1

Model Kerangka Pemikiran

Keterangan : X1 = Reward X2 = Iklim organisasi Y = Motivasi kerja Y X1 X2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam praktikum kali ini, alat yang digunakan yaitu, cawan petri berfungsi sebagai wadah untuk menampung bahan uji coba, pisau berfungsi untuk memotong buah

Kinerja investasi bangunan yang membaik meskipun tidak tercermin dari pertumbuhan ekonomi pada lapangan usaha konstruksi yang justru melambat, namun berdasarkan

Data diambil dari pengunjung perpustakaan dalam rentang waktu sekitar 1 bulan, setelah dilakukan pendataan maka kesimpulan yang bisa didapatkan bahwa pengunjung

Halaman ini menampilkan gambar star schema yang ada pada perancangan data warehouse ini, yaitu sales star schema, Distributor Status Star Schema dan Renewal Star Schema. User

Bab ketiga adalah berisi tentang pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Kranji kecamatan Paciran kabupaten, yang meliputi praktik bilas

a. Senjata Api untuk Satuan Pengamanan 1. Instansi pemerintah, proyek vital dan perusahaan swasta nasional serta Kantor Kedubes Republim Indonesia tertentu yang dapat

Jika turunan adalah positif pada salah satu pihak dari titik kritis dan negative pada pihak lainnya, maka kita mempunyai salah satu pihak dari titik kritis dan negative pada

(1) Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas mengumpulkan dan mengkoordinasikan bahan penyusunan program kerja, evaluasi dan pelaporan