• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apakah Suatu Kebijakan Dapat Dikriminalisasi? (Dari Perspektif Hukum Pidana/Korupsi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Apakah Suatu Kebijakan Dapat Dikriminalisasi? (Dari Perspektif Hukum Pidana/Korupsi)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

AP AK AH S U ATU KEBIJ AK AN D AP AT DI KRIMIN ALIS AS I? (DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA/KORUPSI)1

Oleh : Dr. Marwan Effendy, S.H.2 ABSTRAK

Kebijakan adalah suatu tindakan yang berada dalam satu sistem yang dapat diambil oleh pejabat negara atau pejabat pemerintahan, hanya saja kebijakan yang bagaimana yang tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap pembuat kebijakan (persoon) tersebut dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat u n s u r p e n y a l a h g u n a a n w e w e n a n g a t a u m e n d a p a t keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara. D e n g a n d e m i k i a n m a k a s e o r a n g p e j a b a t y a n g m e n g e l u a r k a n s u a t u k e b i j a ka n t i d a k d a p a t d i m i n t a pertanggungjawaban pidananya. Penanganan perkara berkaitan dengan kebijakan yang berkaitan dengan administratif penal law harus dilakukan dengan cermat, agar sejalan dengan asas systematische specialiteit atau logische specialiteit untuk menghindari d isp a rita s p em id aan aan d an ketida kpa stian h ukum da lam pen ye len gga raan p eme rin ta han n e ga ra.

[

Keywords: Kebijakan, Krim inalisa si, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi.

I.PENDAHULUAN

Permasalahan yang menyangkut kebijakan akhir-akhir ini tidak sedikit yang diproses dan dijerat dengan UndangUndang Tindak Pidana Korupsi, sehingga menimbulkan polemik. Polemik tentang dapat atau tidaknya kebijakan dijerat dengan pidana, hingga kini masih menyisakan persoalannya. Bagi kalangan yang sependapat tidak akan mempersoalkannya, tetapi bagi kalangan yang tidak sependapat tentu akan mempertanyakan. Menurut mereka belum tentu pembuat kebijakan tersebut mengetahui, bahwa kebijakannya tersebut melanggar hukum. Jika

1

Makalah disampaikan dalam Seminar, dengan tema "Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum”. yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA). di Hotel Bumi Karsa Bidakara – Jakarta, Selasa 11 Mei 2010.

2

Penulis adalah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan RI, Dosen Program Sarjana dan Pascasarjana Univ. Trisakti Jakarta, Program Pascasarjana Unissula Semarang, Dosen Program Pascasarjana Univ. Mpu Tantular Jakarta, Dosen Program Pascasarjana Univ. Sang Bumi Ruwa Jurai Lampung serta Pengajar di Pusdiklat Kejaksaan RI.

(2)

22 Kebi jak an, Kr imina l isas i, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

setiap kebijakan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, tentu akan dilematis. Padahal diketahui, bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari suatu sistem, jika seorang pejabat pemerintah takut mengambil suatu kebijakan, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lebih-lebih jika kegiatan tersebut terkait dengan bisnis, maka akan berdampak terhadap investasi kalau khawatir kebijakan tersebut terjerat pidana.

Selain itu dengan diperluasnya pengertian Pegawai Negeri oleh Pasal 1 ayat (2) dan Penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi3 ini juga memunculkan persoalan baru, mengingat Pegawai Negeri oleh Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang tersebut pengertiannya tidak lagi sebatas yang diatur di dalam Undang-Undang Kepegawaian dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. tetapi meliputi juga prang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang m en e rima ban tua n d a ri ke uan ga n n e ga ra a ta u d ae ra h, m e n e r i m a g a j i a t a u u p a h d a r i k o r p o r a s i l a i n y a n g m e m p e rgu n a ka n m o d a l a ta u fasilita s d a r i n e ga ra a ta u masyarakat. Perluasan itu erat kaitannya dengan pembuat kebijakan. Karena pengertian fasilitas dapat berupa perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, seperti bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang ekslusif , termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan perluasan pengertian pegawai negeri dan pengertian fasilitas diatas, maka perbuatan seseorang yang memberikan suatu kebijakan seperti pemberian izin ekslusif, memberikan dana talangan dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi.

Jika pendekatan yang demikian itu dijadikan parameter, m a ka a k a n m e m b u a t ra n c u d i d a l a m m e m f o r m u la s i k a n terminologi kebijakan tersebut? Untuk itu perlu dilihat lebih seksama apa yang disebut dengan terminologi kebijakan4

lebih lanjut apakah memang benar suatu yang disebut dengan kebijakan memang dapat dikriminalisasi? Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kriminalisasi? Apakah memang kebijakan dapat

3

Lihat UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

4

Kebijakan Publik Karangan Said Zauinudin, dalam bukunya Kebijakan Publik membedakan Terminalogi Kebijakan dan Kebijaksanaan Perebedaan Perkataan Kebijaksanbaan dan Kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu dimaknakan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat5 umum. Perbedaan perkataan kebijakan dan kebijkasanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebagai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk semua anggota masyarakat dengan istilah dsiscretion,

sebagai keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu, Edisi Revisi, Tahun 2004, Penerbit, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.

(3)

Keb i jaka n, Krim ina l i sasi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 23

dipandang sebagai suatu perbuatan yang kemudian dikriminalisasi sehingga kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana.

Lie On Hock berpendapat bahwa seorang hakim yang menangani: suatu pekara pidana biasa tidak diperkenankan mengadili mengenai kebijakan biasa dan menurutnya bukan pengadilan yang dapat menilai kebijakan, karena kebijakan tersebut merupakan Freies Ermessen5, sehingga tidak boleh dicampuri oleh Hakim umum6 Apa bila pandangan dari Lien On Hock diterima, maka akan membuat seorang pejabat menjadi imun atau kebal karena kebijakan yang diambilnya tidak dapat diuji melalui mekanisme peradilan. Lalu bagaimana, j i ka p e ja b a t itu se we n a n g - we n a n g d a la m m e n e ta p ka n keb ija ka nn ya a ta u keb ijakan yan g d iamb iln ya te rseb ut m e r u p a k a n p e r b u a t a n p e n y a l a h g u n a a n w e w e n a n g ? Memang tidak mudah menentukan suatu parameter kebijakan dari perspektif hukum, mengingat kebijakan dapatdilihat dari berbagai sudut pandang, baik itu hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Oleh karena tulisan ini akan mengkaji mengenai kebijakan tidak hanya dari sudut pandang hukum pidana, guna membedakan kebijakan tersebut sudut pandang hukum administrasi dan hukum perdata, apalagi ada kesan terjadi kriminalisasi terhadap suatu kebijakan.

H . K E B I J A K A N

Kebijakan adalah berasal dari kata bijak yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia7 artinya selalu menggunakan akal budi, pandai atau mahir, sedangkan kebijakan itu sendiri adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau c a ra b e rt in d a k d a r i p e m e r in ta h a t a u o r g a n i sa si d a l a m menghadapi atau menangani suatu masalah atau dapat juga diartikan sebagai pernyataan cita -cita, tujuan atau prinsip atau maksud sebagai garis pedoman dalam usaha mencapai sasaran. Dalam bahasa Inggris bijak entrinya adalah smart, experienced, capable atau wise sedangkan kebijakan

5

Lihat Fockema Andrea, Kamus Istilah Hukum (Penerjemahan Mr. N.E. Algra et. a I.) PT. Bina Cipta,hlm. 145 dan hlm 98, bahwa freies ermessen adalah entri yang sama dengan discrebonaire yang melaksanakan sebagai kata sifat : menurut wewenang atau kekuasaan, yang tidak terikat pada ketentuan perundang-undangan.

6

Prof. Dr. IndriyantoSeno Adji, S.H., M.H., Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009, hlm. 27-28.

[

7

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pusataka, Jakarta, 1990.

(4)

24 Kebi jak an, Kr imi nal is asi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

adalah intelligence atau wisdom8 atau Menurut WS Poerwadarminta, kebijakan adalah kepandaian atau kemahiran9 dan dalam bahas Inggris kebijakan disebut polcy10 dalam bahasa Selanda disebut dengan beleid11 Dari sudut bahasa, maka policy identik dengan beleidregel, artinya adalah peraturan, tata pemerintahan atau politik12 Secara yuridis terminologi kebijakan adalah13 pernyataan prinsip sebagai landasan pengaturan dalam pencapaian suatu sasaran.

Dalam perkembangannya pengertian kebijakan balk dari perspektif hukum administrasi negara, hukum perdata maupun hukum pidana adalah merupakan pengertian yang berada di wilayah abu-abu parameter kebijakan tersebut dari berbagai perspektif hukum, meskipun dengan segala teknikalitas akan mengalami kesulitan, tidak terkecuali menyangkut pemidanaan. Karena dikalangan para ahli hukum pidana hingga saat ini masih menjadi debatalitas. Oleh karena itu keputusan pejabat negara baik dalam rangka beleid (vrijbestuur) maupun diskresi (kebijaksanaan-discretionary power) maupun kerangka privaatrechtelijke hingga saat ini masih menjadi ajang kajian akademis, baik menyangkut alasan penolakan maupun justifikasi pemidanaan14

Dari perspektif hukum administrasi negara memang yang menjadi parameter, membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara (discretionary power) adalah penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan sewenang-wenang (abus de droit) dan dalam area hukum pidana kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara disebut s e b a g a i m e l a w a n h u k u m ( w e d e r e c h t e l i k h e i d ) d a n menyalahgunakan kewenangan. Begitu juga dalam area hukum perdata perbuatan melawan hukum tersebut disebut sebagai

8

Kamus Lengkap Inggris-Indonesia. PT. Aksara'Eina Cendikia, cetakan 1, 1990,

9

WS Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2002.

10

Jhon M Echols, An English-Indonesian Duonary. PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan XXVII 2002.

11

Majanne Termohuzan, Kamus Bahasa Belanda-Inc-nesla. Penerbit Jembatan, 2002.

12

Marwan Effendy. Strategic Action Plan Dalam Upaya Merespon Kebijakan Jaksa Agung RI tentang Peningkatan Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi,

dimuat pada Media Hukum Volume 2 Nomor 8, hlm. 73.

13

Lihat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000, Tentang Kewenangan

p

emerintah dan Kewenangan Provinsi SEBAGAI DAERAH OTONOM (Penjelasan Pasal 2 Ayat 3 huruf a), lihat juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengedalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Penjelasan Pasal 1 angka 12, Kebijakan adalah arahan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk mencapai tujuan.

14

Loc. Cit. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adjj, S.H., M.H. Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009 hlm. 1

(5)

Keb i jaka n, Krim ina l i sasi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 25

onrechtmatigedaad dan wanprestasi. Pengertian terakhir ini seringkali dipahami secara menyimpang oleh penegak hukum karena menganggap pengertian luas dari onrechtmatige daad dalam hukum perdata mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian hukum pidana t e r h a d a p i s t i l a h m a t e r i e l s w e d e r r e c h t e l i j k h e i d . Wederrechtel jkheid dalam beberapa istilah kepustakaan dapat diartikan sebagai tanpa hak sendiri, bertentangan dengan hukum pada umumnya, bertentangan hak pribadi seseorang, bertentangan dengan hukum positif termasuk hukum perdata, hukum administrasi atau pun menyalahgunakan wewenang dan lain sebagainya15.

Permasalahannya, bagaimana pola penanganannya

apabila terjadi penyalahgunaan wewenang? Menurut Lie On Hock,

pola penyelesaian terhadap penyimpangan dalam

penyalahgunaan wewenang maupun sewenang-wenang adalah melalui peradilan administrasi atau peradilan tata usaha Negara16 Jadi apakah dengan demikian apabila sudah penyelesaian persoalan penyalahgunaan wewenang maupun sewenangwenang telah menggunakan mekanisme peradilan tata usaha negara atau pun dengan pengadilan perdata maka otomatis tidak dapat dilakukan proses pidana? Bahkan ada juga yang berpandangan apabila sudah dilakukan pertanggunglawaban secara perdata maupun tata usaha negara, maka dianggap sudah menjadi suatu bentuk dari dasar penghapus pidana sehingga tidak dapat dikenakan pidana?

A kh ir-a kh ir in i b e rkemb an g ju ga pa nd an gan yan g menyatakan apabila seorang pejabat yang mengeluarkan suatu kebijakan (yang sebenarnya tidak dapat dinilai oleh hakim pada pengadilan pidana maupun pidana) dikenakan proses pidana, maka berarti telah terjadi suatu proses kriminalisasi terhadap suatu kebijakan17 ? Oleh karena itu lebih lanjut akan diuraikan dalam makalah ini, apa yang dimaksud dengan kriminalisasi tersebut.

Ill. KRIMINALISASI

Kriminalisasi atau Criminalization18 sebenarnya merupakan domain legislative untuk menentukan, apakah suatu perbuatan yang 15 Ibid.hlm.3. 16 Op Cit. him. 28. 17

Perlu diingat berdasarkan definisi dan terminologi maka kebijakan itu dilaksanakan berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan sedangkan kebijaksanaan adalah menyimpang dari ketentuan perundang-undangan namun tetap dalam koridor hukum.

18

Henry Campbell Black, M.A., Black's Law Dictionary, Edisi ke-enam, West Publishing Co, St. Paul Minnesota hlm 374.

(6)

26 Kebija kan, Kr imi nal is asi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

sebelumnya dinyatakan bukan sebagai tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Apabila suatu perbuatan telah dinyatakan menjadi suatu tindak pidana, maka konsekuensi logis tentunya oleh Undang-Undang dapat dikenakan sanksi pidana (the rendering of an act criminal and hence punishable by government in proceeding in its name). Kriminalisasi sebagaimana dimaksud dalam sistem hukum anglo-saxon (karena berdasarkan Black's Law Dictionary) ini juga ada dalam sistem hukum Eropa Kontinental yaitu sebagaimana Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa perbuatan itu sebelumnya ditetapkan sebagai tindak pidana dalam undangundang19 Pandangan Van Bemmelen20 merupakan kutipan dari pendapat da ri Von Feuerbach yang menyata kan:

1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege);

2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine);

3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang yang diancamkan(nullum crimen sine poena legali).

Mengacu kepada asas legalitas, sepertinya tidak mungkin ada suatu kebijakan dikriminalisasi, mengingat kebijakan tersebut adalah merupakan perbuatan yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, tetapi lain halnya, jika kebijakan tersebut telah masuk kedalam rumusan delik, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Pertanyaannya sekarang apa yang sebenarnya dapat membuat suatu kebijakan dipidana? Jika dapat dipidana, yang dapat dipidana apakah perbuatan kebijakannya atau orang yang membuat kebijakan tersebut?.

Sedangkan diketahui, bahwa syarat pemidanaan haruslah memenuhi kriteria adanya21

1. Actus Reus berupa: kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederrechtelijke);

2. M e s s R e a b e r u p a : p e r b u a t a n t e r s e b u t d a p a t dipertanggungjawabkan secara pidana.

19

Mr. J.M. Bemmelen, Hukum Pidana 1, Bina Cipta, Jakarta, Cetakan Kedua 1987 hlm. 49.

20

Ibid . J.M. Bemmelen hlm. 51-52.

21

Loc.Cit. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media. Jakarta. 2009, hlm. 10.

(7)

Keb ij akan, Krim ina l i sasi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 27

Menurut Indriyanto Seno Adi22 dalam sistem hukum anglo-saxon, syarat pemidanaan itu haruslah memenuhi syarat ada asas actus reus dan mess rea, sehingga dalam pemidanaan yang harus digunakan adalah unsur melawan hukum formal, artinya ada atau tidak dalam perbuatan tersebut hal-hal yang berteniangan dengan hukum positif tertulis mengingat alasan yang primaritas sifatnya dari asas nullum crimes sine lege stricta yang tercantum pada pasal 1 ayat 1 KUHP sebagai contoh dalam unsur melawan hukum tidak ditemukan secara eksplisit karena karena dengan adanya kata menyalahgunakan kewenangan sudah tersirat unsur melawan hukum tersebut, la gi p u la tid ak a kan d item u kan de lik m enya la h guna ka n kewenangan yang dilakukan secara kealpaan (culpa) dimana keterkaitan antara schuld (kesalahan) dengan wederrechtelijk (melawan hukum adalah sangat menentukan pemidanaan sebagaimana dikemukan oleh Andi Hamzah bahwa tidak mungkin ada schuld (kesalahan) tanpa adanya wederrechtelijk (melawan hukum), tetapi mungkin saja ada wederrechtelijke ( m e l a w a n h u k u m ) t a n p a a d a n y a s c h u l d ( k e s a l a h a n )23

Berbicara kebijakan dalam konteks ini maka tidak bisa dilepaskan dari asas-asas umum pemerintahan yang balk (algemene beginselen van behoorlek bestuur). AM Donner dalam buku Nederland Bestuursrecht tahun 1953 buku I hal 201 menetapkan lima asas umum pemerintahan yang baik, yang tidak hanya diterapkan dalam kasus-kasus tertentu saja, akan tetapi dalam persoalan secara umum di dalam administrasi, asas-asas tersebut adalah24

1. Asas kejujuran (fair play;

2. Asas kecermatan (zorgvtlldigheid)-,

3. Asas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk), 4. Asas keseimbangan (evenwichtigheid);

5. Asas kepastian hukum (recht zekerheid).

Dari kelima asas ini akan lebih disoroti asas kemurnian dalam tujuan25 dimana dalam asas ini disimpulkan bahwa k e w a j i b a n s e o r a n g a d m i n i s t r a t o r a t a u p e j a b a t u n t u k mengusahakan agar suatu kebijakan menuju sasaran yang tepat dimana kebijakan tidak boleh ditujukan pada hal-hal lain dari sasaran atau tujuan semula kalau hal ini terjadi maka telah terjadi penyalahgunaan wewenang dari tujuan halmana telah terjadi penyalahgunaan wewenang 22 Op.Cit. hlm. 10. 23 Ibid. hlm. 10-11. 24

Lihat Prof. H Amrah Muslimin, S.H., Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi. Penerbit, Alumni, Bandung, 1985, him. 145-146.

25

(8)

28 Kebij akan, Krim i nal is asi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

(detournement de pouvoir) yang dapat mengakibatkan batalnya kebijakan tersebut dimana dalam asas ini bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa ada larangan didalam menetapkan suatu kebijakan membonceng tujuan-tujuan yang bermaksud mencari keuntungan bagi diri sendiri bak langsung maupun secara tidak langsung seperti kebijakan penunjukan seorang pemborong yang sebelumnya sudah ada permufakatan menyediakan uang untuknya diluar ke te n tu a n u n tu k ja sa -ja sa la in d a la m ju m la h te rte n tu . I n d r i y a n t o S e n o A d j i m e n y a m p a i k a n26 b a h w a pemidanaan atas dasar Positive Materiels Wederrechtelijk haruslah memperhatikan permasalahan-permasalahan sensitif dalam hukum pidana yaitu :

1. Apabila perbuatan pelaku (terdakwa) secara formil tidak terdapat wederrechtelijke (tidak ada penyalahgunaan wewenang) maka seharusnya yang bersangkutan harus dibebaskan dari segala tuduhan yang berarti terhadap pelaku tidak dapat dikenakan pemidanaan dengan suatu pendekatan analogi;

2. Harus ditentukan kriteria yang menentukan alasan-alasan yang mendasari diimplementasikannya ajaran melawan hukum dalam fungsi positif dalam kaitannya dengan u n su r m e n ya l a h g u n a k a n w e we n a n g a n t a r a l a i n : Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dari kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh t id a k se im b a n g b a g i m a s ya ra ka t a ta u n e g a ra , dibandingkan dengan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak tidak m e l a n g g a r p e r a t u r a n p e r u n d a n g - u n d a n g a n . Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara adalah bahwa apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya (formiele tidak wederrechtelik), tetapi menerima fasilitas yang

berlebihan serta keuntungan lainnya dari

seseorang/korporasi/badan hukum dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berlebihan atau menyimpang.

Maiyasyak Johan dalam kesimpulan Disertasinya27 yang berjudul "Pertanggungjawaban Pidana Pemegang Jabatan Dalam kaitan Tindak Pidana Korupsi", menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana

26

Loc.Cit. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H , M.H. him. 16-17.

27

Lihat Dr. Maiyasyak Johan, Disertasi: Pertanggungjawabab Pidana Pemegang Jabatan Dalam Kaitan TindakPidana Korupsi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2010.

(9)

Keb i jaka n, Krim ina l i sasi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 29

pemegang jabatan dilandaskan atas asas liab ility b a sed o n fault te rka it d en gan u nsu r menyalahgunakan wewenang atau memperoleh keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain dan telah terjadi kerugian negara.

Jadi berdasarkan syarat-syarat pemidanaan baik actus reus dan mens rea, asas-asas pemerintahan yang baik maupun pertanggungjawaban pidana, maka bukan membuat suatu kebijakan yang dapat dipidana (dikriminalisasi), tetapi adalah pejabat yang membuat kebijakan tersebut, jika didalam m e n e t a p k a n k e b i j a k a n t e r s e b u t m e n g a n d u n g u n s u r penyalahgunaan wewenang atau dibalik kebijakan yang ditetapkannya itu pejabat tersebut memperoleh keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain dan dapat menimbulkan kerugian negara. Untuk itu maka seorang pejabat yang m e n g e l u a r k a n s u a t u k e b i j a k a n t i d a k d a p a t d i m i n t a pertanggungjawaban pidananya, apabila dalam mengambil atau menetapkan kebijakan tersebut tidak ada suatu kickback yang diakibatkan, berupa penyalahgunaan wewenang dan dirinya memperoleh keuntungan atau menguntungkan orang lain dan telah menimbulkan kerugian negara. Penyalahgunaan wewenang itu dapat saja dilakukan karena pejabat pembuat kebijakan tersebut berbuat curang, tidak adil, menyembunyikan se su a tu , a ta u ad a n ya u n su r K K N (K o ru p si, K o lu si d a n Nepotisme) dimana pejabat tersebut mendapat advantage baik langsung maupun secara tidak langsung atas kebijakan yang telah diambilnya.

H a l in i p e n t in g, a g a r t id a k te r ja d i tu m p a n g t in d i h (overlapping) pengaturan, seperti halnya penerapan UndangUndang Tindak Pidana Korupsi terhadap administratif penal law, yang seharusnya hanya dapat dijerat dengan UndangUndang pokoknya sendiri, karena dilihatnya sudah mengatur t e n t a n g sa n ks i p i d a n a t e r h a d a p p e la n g ga rn ya se p e r ti pembalakan liar (illegal logging), perikanan, pajak, kepabeanan, lingkungan hidup disamping Undang-Undang dimaksud sudah mengatur sendiri tentang pengembalian kerugian negara. Hal te rse but be rbed a d en gan ma sa lah ya n g te rka it de n ga n perbankan meskipun sebagai administratif penal law, tetapi Undang-Undang tidak mengatur sendiri, karena tidak mengatur s e n d i r i t e n t a n g p e n g e m b a l i a n k e r u g i a n n e g a r a n y a .

Saat ini pertanggungjawaban pidana pemegang jabatan dalam sistem hukum Indonesia, terutama kaitannya dengan tindak pidana korupsi, masih mendua didalam mengedepankan asas pidana lex specialis systematic atau logische specialiteit terhadap administratif

penal law dan masih menerapkan Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai Lex specialis28

28

(10)

30 Kebi jak an, Kr imina l isas i, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

karena tindak pidana korupsi dipandang sebagai extraordinarycrime. Terkait dengan prudential banking ini, Indriyanto Seno Adji29 berbeda pandangan, dan menurutnya jika menyangkut pelanggaran prudential banking principles (prinsip kehatihatian perbankan), maka deliknya telah diatur sendiri oleh dalam Undang-Undang Perbankan, tidak dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif.

Pandangan Indriyanto tersebut adalah berdasarkan asas systematische specialitet atau kekhususan yang sistematis sehingga pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian perbankan adalah area tindak pidana perbankan bukan tindak pidana korupsi. Administratif penal law tersebut menurut Indriyanto l a n d a s a n n y a a d a l a h a s a s l e g a l i t a s d a n h a l i t u , g u n a menghindari adanya concursus dan perlu diingat pula bahwa asas kekhususan yang sistematis sudah menjadi norma legislasi sebagaimana telah disebut dalam Pasal 14 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bagaimana dalam prakteknya penanganan perkara-perkara yang berkaitan dengan kebijakan? Apakah telah diterapkan asas systematische specilitet atau menganggap kebijakan dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan yang koruptif, sehingga dapat dikenakan ketentuan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi?

IV. PEMBERLAKUAN ASAS SYSTEMATISCHE SPECIALITEIT

D AL AM P E RK AR A- P E RK AR A BE RK AIT AN DE NG AN KEBIJAKAN

HA Demeersemen30 dalam kajian de autonomic van het materiels strafrecht (otonomi hukum pidana materil) menyatakan apabila ada perkataan atau terminologi yang sama, maka hukum pidana memiliki otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi apabila hukum pidana tidak menentukan lain, maka pemegang jabatan dalam Sistem Hukum Indonesia terutama kaitannya dengan tindak pidana korupsi belum mempertimbangkan asas lex specialis systematic dan masih

menempatkan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai lex specialis.

29

Loc.Cit. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S H., M.H. him. 43.

30

(11)

Keb i jaka n, Krim ina l i sasi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 31

dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian menyalahgunakan kewenangan tidak ditemukan secara ekplisit dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan terminologi yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. sehingga dapat diberlakukan asas systematische specialite it atau dengan kata lain lo gische specia lite it. Impiementasi perbuatan melawan hukum secara materiel menurut Indriyanto seringkali secara keliru31 dilakukan oleh badan peradilan tingkat pertama sepeti kasus Akbar Tanjung, Syahril Sabirin dan 3 Mantan Direktur Bank Indonesia, maupun kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR dan Kepala Daerah, Direksi PLN juga kasus-kasus perbankan dengan berbagai disparitas pemidanaan di satu sisi dikenakan pemidanaan tetapi di sisi lain dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Hal ini teniu saja selain menimbulkan disparitas pemidanaan namun juga membahayakan asas kepastian hukum. Lebih lanjut32 driyanto Seno Adji menyatakan bahwa dalam area keperdataan seringkali periegak hukum memahami secara salah terhadap lingkup fungsi keperdataan dalam perbankan yang dianggap sebagai suatu tindak pidana korupsi. bahkan seringkali lingkup pelanggaran perbankan yang sebenarnya menjadi area tindak pidana perbankan tetapi dipahami sebagai tindak pidana korupsi seperti pemidanaan terhadap Syahril Sabirin dan 3 orang mantas Direktur BI k h u s u s n y a d a l a m k a f t a n h u k u m p i d a n a d a r i u n s u r menyalahgunakan kewenangan clan hukum administrasi negara yang berkaitan antara staatsbeleid (kebijakan negara) dengan asas-asas pemerintahan yang baik dimana dicampuradukkan antara unsur menyalahgunakan wewenang clan melawan hukum, bahkan tanpa disadari bahwa badan peradilan menerapkan asas perbuatan melawan hukum secara materiel dengan fungsi positif tanpa memberikan kriteria yang jelas untuk clapat menerapkan asas tersebut, yaitu melakukan pemidanaan berdasarkan kepatutan dengan menyatakan para pelaku telah melanggar asas-asas pemerintahan umum yang baik tanpa b i s a m e m b e d a k a n n y a d e n g a n p e r s o a l a n b e l e i d y a n g tunduk pada hukum administrasi negara. Indriyanto menilai, bahwa dalam keputusannya untuk perkara-perkara tersebut tidak ditemukan adanya kickback yang diterima oleh pembuat kebijakan. Juga seperti dalam kasus Burhanuddin Abdullah dan Kabulog Raha rdi Ra melan bahwa pen yalah gu naan wewenang bukanlah karena pejabat pejabat

31

Ibid him. 2

32

(12)

Kebij akan, Kr imi nal is asi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

32 Kebi jaka n, Krim ina l isas i, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

pembuat kebijakan tersebut berbuat curang, tidak adil, menyembunyikan sesuatu, atau adanya unsur KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dimana pejabat tersebut mendapat advantage baik langsung maupun secara tidak langsung kepadanya atas kebijakan yang telah diambilnya.

Jika mengamati lebih jauh, sebenarnya sebagian perkara-perkara tersebut diproses saat belum keluarnya putusan Yudicial Review Mahkamah Konstitusi Nomor - 003/PUUIV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menganulir unsur melawan hukum materiel yang tertera didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai berikut : "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara", Walaupun demikian putusan yudicial revie w tersebut tidak menyentuh Pasal 3 yang menyatakan sebagai berikut :

"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan k e u a n g a n n e g a r a a t a u p e r e k o n o m i a n n e g a r a " .

Oleh karena itu Mahkamah Agung selain tetap menerapkan Pasal 3 tersebut terhadap suatu "kebijakan yang dapat dikualifikasi sebagai perbuatan menyalahgunakan kewenangan kesempatan dan sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukannya", dan juga masih tetap menerapkan unsur melawan hukum dalam pengertian formil dan materiel, pada pertimbangan putusannya terhadap perkara pasca keluarnya putusannya yudicial review Mahkamah Konstitusi tersebut dan hal itu terlihat dalam putusannya Nomor : 979-K-PID-2004 tanggai 10 Juni 2005 atas nama Drs. HENDRO BUDIYANTO, Prof. Dr. HERO SOEPRAPTOMO dan PAUL SOETOPO TJOKRONEGORO yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut dan menyatakan para terdakwa-terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana kepada mereka dengan pertimbangan sebagai berikut :

"Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan, tetapi dalam memberi gambaran tentang krisis likuiditas akibat "rush" s e b a g a i k e l a n j u t a n k r i s i s m o n e t e r , s e c a r a i m p l i s i t mengandung makna ada situasi krisis keuangan dan perbankan yang bisa dianalisa Bank Indonesia. Keadaan krisis ini membenarkan Bank Indonesia mengambil langkahlangkah yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Harus diakui ada situasi krisis. Tetapi apakah sudah m e m e n u h i s u a t u s y a r a t

(13)

Kebi ja kan, Kr imi na l isas i, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 33

u n t u k m e l a k u k a n s e s u a t u penyimpangan dari apa yang disebut "the recessasy to achieve that compelling end". Berdasarkan ketentuan yang ada dan ke we na n ga n yan g d im iliki B an k Indo ne sia , sudahkah tertutup jalan lain sehingga perlu menyimpangi . aturan yang ada, sama sekali tidak dapat ditunjukkan suatu keadaan bahwa tanpa membuka ternskran saldo debet, maka sistem perbankan dan keuangan akan sama sekali m e n j a d i t i d a k b e r f u n g s i . A p a l a g i t e r b u k t i b a h w a sesungguhnya kondisi bank yang tidak sehat tersebut telah ada sebelum krisis moneter Suatu beleid yang dalam hal tedentu dikaitkan dengan "kebebasan bertindak", haruslah sesuai kebebasan dalam keranqka hukum dan untuk suatu tujuan yang dibenarkan secara hukum bukan sebaliknya". Lalu apakah dengan keluarnya putusan Yudicial Review Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut Pengadilan tidak lagi menerapkan unsur melawan hukum materiel di dalam pertimbangan putusannya?

Pertama jika memperhatikan putusan Mahkamah Agung No. 1144/K-Pid/2006 tanggal 13 September 2007 dalam perkara ECVV NELOE, Mahkamah Agung nampaknya tetap me n ggun akan a sa s p rud en tia l ba nking se ba ga i a la sa n menyatakan perbuatan terdakwa sebagai perbuatan melawan hukum dan putusan Mahkamah Agung tersebut berbunyi sebagai berikut -

"Bahwa ternyata terbukti dipersidangan, Terdakwa dalam proses dan pemutusan pemberian kredit pada PT Cipta Graha Nusantara. telah melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Perbankan (Undang-Undang No. 10 Tahun 1998) dan Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) Tahun 2000 yaitu melanggar asas kehati-hatian dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dimana asas kehati-hatian bank harus memenuhi 5 C yaitu : Character, condition of economy, capital, collateral, dan capacity, dan tujuan pemberian kredit adalah harus pada sektor produktif dan dalam rangka pemberian kredit, bank harus ada analisis yang mendalam, ada kemampuan untuk pengembalian dari pihak debitur dan tidak melanggar asas perkreditan yang sehat. Dari uraian pertimbangan dan fakta-fakta tersebut perbuatan para Terdakwa telah melanggar prinsip kehati-hatian serta asas perkreditan yang sehat, pada hakekatnya telah mengabaikan prinsip-prinsip "Good Corporate Governance" yang berada dalam ranah Undang-Undang Perbankan, akan tetapi perbuatan melawan hukum tersebut menjadi titik awal bahkan kemudian meluas serta masuk ke wilayah perbuatan pidana Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan timbulnya kerugian

(14)

Kebij akan, Kr imi nal is asi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

34 Keb i jaka n, Krim i nal is asi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 23

negara yang jumlahnya amat besar".

Kemudian perhatikan juga Putusan Mahkamah Agung RI No. 2065/K/Pid/2006 Tanggal 21 Desember 2006 atas nama Drs. KUNCORO HENDARTOMO, dan Putusan No. 207 K/Pid/2007 Tanggal 28 Februari 2007 atas nama Ir. ISHAK, serta dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1 2 8 0 /P id .B /2 0 0 9 / P N.JK T .S e l a ta s na m a T e rd a kwa Ir. BRAHMANTYO IRAW AN KUHANDOKO dan Ir. ACHMAD FACHRIE, ternyata pengadilan masih menerapkan unsur melawan hukum materiil, dengan pertimbangan yurisprudensi dan doktrin masih dipandang sebagai sumber hukum yang diikuti dalam praktek sebagai acuan oleh badan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) dalam penanganan kasus konkrit yang dihadapinya, agar terbina konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan peranan hukum dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dari beberapa putusan diatas hal tersebut memang dilematis, mengingat Doktrin dan Yurisprudensi memang bukan domain Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya, tetapi jika ketentuan Undang-Undang tidak diikuti oleh Penegak Hukum dan Mahkamah Agung sendiri yang mengawalinya, maka Doktrin dan Yurisprudensi tersebut akan tetap diikuti oleh Pengadilan dibawahnya. Tampaknya penerapan asas systematische specialiteit, oleh sekalangan ahli hukum masih ditafsirkan secara lugs, begitu juga tentang terminologi kebijakan belum tersosialisasi dengan baik baik diberbagai kalangan termasuk kalangan penegak hukum sehingga dalam tataran praktek masih tetap menimbulkan berbagai tafsir.

V. KESIMPUL AN

1. Suatu kebijakan tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap pembuat kebijakan (persoon) tersebut dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat u n s u r p e n y a l a h g u n a a n w e w e n a n g a t a u m e n d a p a t keuntungan untuk dirinya sendin atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara. D e n g a n d e m i k i a n m a k a s e o r a n g p e j a b a t y a n g m e n g e l u a r k a n s u a t u k e b i j a k a n t id a k d a p a t d im i n ta pertanggungjawaban pidananya apabila dibalik kebijakan tersebut, tidak ada suatu kickback yang timbul seperti 3 (tiga) kriteria diatas.

(15)

Keb i jaka n, Krim ina l i sasi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi 35

2 . Penanganan perkara berkaitan dengan kebijakan yang berkaitan dengan administratif penal law harus dilakukan dengan cermat, agar sejalan dengan asas systematische specialiteit atau logische specialiteit untuk menghindari d isp a rita s p em id aan aan d an ketida kpa stian h ukum.

D AP T AR P US T AK A

Abidin, Said Zainal, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, Edisi Revisi, 2004.

Adji, Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009.

Andrea, Fockema, Kamus istilah Hukum (Penerjemah Mr. N.E. Algra et.al.) PT Bina Cipta.

Bemmelen, J.M., Hukum Pidana 1, Bina Cipta, Jakarta, Cetakan Kedua 1987.

Black, Henry Campbell, Black's Law Dictionary, Edisi ke-Enam, West Publishing Co, St. Paui Minnesota.

Echols, Jhon M, An English-Indonesian Dictionary, PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan XXVII, 2002.

Effendy, Marwan, Strategic Action Plan Dalam Upaya Merespon Kebijakan Jaksa Agung RI tentang Peningkatan Pet ianganan.Perkara Tindak

Pidana Korupsi dimuat pada Media Hukum Volume 2 Nomor 8. Johan, Maiyasyak, Disertasi: Pet tanggungja wabab Pidana Pemegang J a b a t a n D a l a m K a i t a n T i n d a k P i d a n a K o r u p s i , P r o g r a m P a s c a s a r j a n a U n i v e r s i t a s P a d j a d j a r a n B a n d u n g , 2 0 1 0 .

Redpublik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum PidanaUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 TentangPemberantasan Tindak Pidana

KorupsiUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

TentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

_______,Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai

(16)

36 Keb ij akan, Krim i nal is asi, Perspektif Hukum Pidana/Korupsi

D a e r a h O t o n o r r i ( P e n j e l a s a n P a s a l 2 a y a t 3 h u r u f a ) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 979-K-PID-2004 K a mu s B e sa r B a h a s a In d o n e s ia , De p a rt e m e n P e n d id i ka n d a n Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, PTAksara Bina Cendikia,cetakan 1, 1990.

Muslimin, Amrah, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1985, him. 145-146.

Poerwadarminta, WS, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2002. Termohuzan, Marjanne, Kamus Bahasa Belanda-Indonesia, Penerbit Jembatan, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

- Ho : Tidak Ada pengaruh signifikan dari dimensi pelayanan ( responsiveness, reliability, assurance, emphaty, dan tangibles) secara simultan terhadap kepuasan pelanggan

Berdasarkan hasil parameter kekeruhan dan total coli dapat dinyatakan terjadi peningkatan kinerja pada slow sand filter dengan penambahan geotekstil tipe

Anita Hartini Suryaman (2010) peta wisata interaktif adalah peta yang menggambarkan atau menjelaskan lokasi-lokasi tempat tujuan wisata di dalam suatu kota atau

• Arahan lokasi berada pada wilayah puncak kubah (peat dome), dimana lokasi tersebut merupakan area gambut yang paling tebal/dalam dan lebih dari 3 meter.

ROE merupakan salah satu rasio profitabilitas yang menjadi daya tarik tersendiri bagi investor karena ROE menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba

Dilihat dari hasil tersebut, sebagian besar siswa SMA Wachid Hasyim 2 Taman telah bersertifikat membaca Al-Qur’an dari Yayasan artinya sebagian besar siswa sudah mampu