• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Nugraheni Angger Utomowati NIM : 038114032

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Nugraheni Angger Utomowati NIM : 038114032

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Disaat kita sedang bahagia, Disaat kita sedang tertawa

Disaat kita sedang sendirian

Disaat orang lain tidak paham tentang diri kita

Disaat kita lemah tak berdaya

Disaat kita menghadapi masalah berat sekalipun Dia yaitu Jesus yang selalu ada buat kita

Dia yang memampukan kita dalam menghadapi masalah Dia yang tidak tidur, dia yang selalu menjaga kita

Dia yang selalu menguatkan kita

Dia yang selalu membuka jalan setiap persoalan kita Dan kita percaya karena Dia Kita bisa kuat menjalani masalah hidup

Dan kita bisa kuat sampai sekarang

Itu semua sebuah proses dalam hidup untuk menjadikan kita lebih dewasa dalam berpikir.

Skripsi ini ku persembahkan kepada : Bapaku yang di Surga Ayah dan Bundaku tercinta Adikku tersayang Almamater

(6)
(7)

ABSTRAK

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah maupun dari seluruh lapisan masyarakat karena dapat menyebabkan kematian. WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian karena tuberkulosis paru sekitar 140.000. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerasionalan pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 yang mengacu pada standar pengobatan tuberkulosis paru di Rumah Sakit Bethesda yaitu Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis DepKes RI dan standar pengobatan dari WHO.

Penelitian ini termasuk jenis non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang pengambilan datanya bersifat retrospektif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan catatan rekam medis pasien dewasa tuberkulosis paru di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus tuberkulosis paru yang paling banyak terjaadi pada pasien laki-laki yaitu 61,22% sedangkan pasien perempuan sebanyak 38,78%. Tindakan diagnosis tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 yaitu dengan pemeriksaan BTA dan pemeriksaan rontgen paru. Pengobatan yang diberikan kepada pasien tuberkulosis paru pada pasien dewasa dengan dua OAT yaitu dengan OAT-kombipak dan OAT-FDC. Ditemukan 5 kasus dengan pemberian jenis OAT-kombipak yang tidak sesuai standar, 11 kasus dengan lama pemberian OAT-kombipak dan 2 kasus dengan lama pemberian OAT-FDC yang tidak sesuai standar pengobatan, dan terdapat 36 pasien (73,47%) dengan hasil pengobatan sembuh dan 13 pasien (26,53%) dengan pengobatan gagal. Pengobatan tuberkulosis di Rumah Sakit Bethesda berhasil mencapai presentase kesembuhan yang tinggi dibandingkan dengan pasien yang gagal.

Kata kunci : Tuberkulosis paru, evaluasi pengobatan, standar pengobatan.

(8)

ABSTRACT

Tuberculosis is kind of infectious disease that caused by Mycobacterium tuberculosis, it is health problem which still need a serious attention both from government and social stratum. Moreover, it caused death. WHO estimate happened by 583.000 new case of lung tuberculosis every year with the death because of lung tuberculosis about 140.000. The research intends to know the rationale of lung tuberculosis treatment at adult Patient in the home care installation on Bethesda Hospital Yogyakarta at 2005 that referred to standard of tuberculosis therapy in Bethesda Hospital are Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis from DepKes and Standard therapy by WHO.

The research is a kind of non experimental with an descriptive evaluate which the collection data has retrospective quality. The research done by used medical record note to the patient of age in Bethesda Hospital Yogyakarta at 2005.

The result showed that the case of lung tuberculosis which is at most happened by the men patient that is 61,22% while woman patient as much 38,78%. Diagnosed of lung tuberculosis at adult patient in the home care installation on Bethesda Hospital Yogyakarta at 2005 that is with the inspection of BTA and inspection of rontgen thorax. Treatment which passed to patient of lung tuberculosis at adult patient with two OAT that is OAT-kombipak and OAT-Fixed Dose Combination (OAT-FDC). The found 5 case with give OAT-KOMBIPAK which the inappropriate of standard therapy, 11 case with regimen OAT-KOMBIPAK and 2 case with regimen OAT-FDC which the inappropriate of standard therapy, and there are about 36 persons (73,47%) of lung tuberculosis patient in succeed treatment and 13 persons (26,53%) were failed. The treatments more raise a high percentage than the patient who failed.

Key Words : Lung tuberculosis, Evaluation of Therapy, Standard Therapy

(9)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak, baik berupa materiil, moral, maupun spiritual. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan sekaligus sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

2. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing Utama atas bimbingan, pengarahan, waktu, dan dukungannya selama penelitian sampai penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan , kritik,dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Pramuji Eko Wardani, MAB., Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bethesdha Yogyakarta, yang telah memberikan masukan dalam melakukan penelitian.

(10)

5. Bapak Sis Wuryanto, AmdPerKes., SKM, selaku kepala bidang rekam medis. 6. Bapak, Ibu, dan adikku, atas semua perhatian, dukungan, serta doa yang tiada

henti selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

7. Sari, ana, tata, rosa, dita, bu-men dan vera, atas persahabatan yang indah selama ini.

8. Teman-temanku kelas A, toes-ti, O-B, terutama anak-anak praktikum kelompok B.

9. Sinta, meta, agung, opang,widi, dan win, atas kebersamaannya serta toro atas bantuan scan’nya

10. David, ica, dan alin, atas bantuan dan perhatian selama penyusunan skripsi ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian yang telah dilakukan untuk penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian penyusun berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, Mei 2007

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

PRAKATA... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 4

2. Keaslian Karya ... 4

3. Manfaat Penelitian... 5

B. Tujuan Penelitian... 5

1. Tujuan umum ... 5

2. Tujuan khusus ... 6

(12)

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Tuberkulosis Paru... 7

1. Mycobacterium tuberculosis... 7

2. Klasifikasi ... 8

3. Gejala tuberkulosis... 9

4. Patogenesis... 11

5. Penegakan diagnosis... 13

6. Mekanisme resistensi mikroorganisme terhadap Obat Anti Tuberkulosis... 18

7. Kriteria kategori pasien tuberkulosis paru... 18

B. Pengobatan Tuberkulosis ... 20

1. Prinsip pengobatan ... 21

2. Pemilihan obat... 22

3. Obat Anti Tuberkulosis ... 27

C. Hasil Akhir Pengobatan ... 32

D. Keterangan Empiris... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional ... 35

C. Subyek Penelitian... 37

D. Bahan Penelitian... 37

E. Lokasi Penelitian... 37

(13)

F. Jalannya Penelitian... 38

1. Tahap perencanaan... 38

2. Tahap pengambilan data... 38

3. Tahap pencatatan data... 38

4. Tahap pengolahan data... 39

5. Wawancara mendalam... 39

6. Tahap analisis hasil ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Gambaran Kasus Tuberkulosis Paru ... 40

1. Distribusi jenis kelamin pasien tuberkulosis paru... 40

2. Penyakit penyerta pada pasien tuberkulosis paru... 42

B. Diagnosis Tuberkulosis Paru ... 43

1. Diagnosis tuberkulosis paru pada pasien dewasa... 44

2. Pemeriksaan BTA tuberkulosis paru pada pasien dewasa ... 44

3. Pemeriksaan rotgen dada tuberkulosis paru pada pasien dewasa ... 45

C. Pengobatan Tuberkulosis Paru ... 46

1. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis ... 46

2. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan kategori pasien... 48

3. Penggunaan vitamin pada pasien tuberkulosis paru... 49

4. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis pada pasien yang terdignosis penyakit lain ... 50

D. Kesesuaian Pengobatan Tuberkulosis Paru ... 52

(14)

1. Kesesuaian jenis Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan standar

pengobatan tuberkulosis paru ... 52

2. Kesesuaian dosis (termasuk lama pemberian) Obat Anti Tuberkulosis berdasarkan standar pengobatan ... 55

E. Hasil akhir pengobatan tuberkulosis paru... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN... 68

BIOGRAFI PENULIS ... 79

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Obat Anti Tuberkulosis... 23

Tabel II. Paduan OAT-kombipak kategori 1... 27

Tabel III. Paduan OAT-kombipak kategori 2 ... 28

Tabel IV. Paduan OAT-kombipak kategori 3 ... 29

Tabel V. Obat Anti Tuberkulosis fase sisipan ... 30

Tabel VI. Paduan OAT-FDC kategori 1 ... 31

Tabel VII. Paduan OAT-FDC kategori 2... 32

Tabel VIII. Distribusi penyakit penyerta tuberkulosis paru pada pasien dewasa di intalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 ... 43

Tabel IX. Distribusi hasil pemeriksaan BTA tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 45

Tabel X. Distribusi hasil pemeriksaan rontgen tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 46

Tabel XI. Distribusi penggunaan Obat Anti Tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 ... 47

(16)

Tabel XII. Disribusi penggunaan OAT paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta Tahun

2005 berdasarkan kategori pasien ... 49 Tabel XIII. Distribusi penggunaan vitamin tuberkulosis paru pada pasien

dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 50 Tabel XIV. Kesesuaian penggunaan jenis OAT-kombipak dan jenis

OAT-FDC berdasarkan standar pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 ... 52 Tabel XV. Kesesuaian penggunaan jenis OAT–Kombipak Tuberkulosis

Paru Pada Pasien Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah

Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005 ... 53 Tabel XVI. Distribusi ketidaksesuaian penggunaan OAT-kombipak

kategori 1 tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 54 Tabel XVII. Distribusi Ketidaksesuaian penggunaan OAT-kombipak

Kategori 2 Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005. ... 54 Tabel XVIII. Kesesuaian penggunaan jenis OAT-FDC tuberkulosis paru

pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005. ... 55

(17)

Tabel XIX. Kesesuaian lama pemberian OAT berdasarkan standar pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi

rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakata tahun 2005 ... 56 Tabel XX. Distribusi ketidaksesuaian lama pemberian OAT-kombipak

tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 57 Tabel XXI. Distribusi ketidaksesuaian lama pemberian OAT-FDC

tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 59 Tabel XXII. Distribusi Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru Pada Pasien

Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005... 60 Tabel XXIII.Distribusi pasien yang gagal dalam pengobatan tuberkulosis

paru pada pasien Dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 61

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Foto rontgen paru tuberkulosis pada pasien dewasa ... 14 Gambar 2. Alur diagnosis tuberkulosis paru pasien dewasa... 17 Gambar 3. Diagram batang distribusi jenis kelamin tuberkulosis paru

pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan rumah sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 41

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat ijin melakukan penelitian di Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta... 68 Lampiran 2. Data Rekam Medik pasien tuberkulosis paru pada pasien

dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta tahun 2005... 70 Lampiran 3. Data pasien tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi

rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 yang

disertai dengan penyakit penyerta... 73

Lampiran 4. Hasil wawancara dengan dokter... 74

Lampiran 5. Paduan OAT paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005... 76

(20)
(21)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan dalam paru atau organ lainnya yaitu tulang, otak, ginjal bahkan dapat menyerang kulit (Anonim, 2003a). Penyakit ini menjadi salah satu masalah kesehatan yang masih perlu mendapat perhatian lebih banyak dari permerintah maupun dari seluruh lapisan masyarakat karena dapat menyebabkan kematian dimana setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian karena tuberkulosis paru sekitar 140.000. Tuberkulosis paru penyebab kematian nomor satu diantara penyakit menular di Indonesia. Tuberkulosis paru dapat menyerang siapa saja, tetapi sebagian besar penderita tuberkulosis paru yaitu kelompok usia produktif (15-50 tahun).

Perkiraan angka kasus tuberkulosis paru dibeberapa negara di dunia adalah sampai setinggi 400 per 100.000 per tahun. Perkiraan yang beralasan tentang besarnya angka tuberkulosis paru di dunia adalah bahwa sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis yaitu 30 juta kasus tuberkulosis aktif di dunia, dengan 10 juta kasus baru terjadi setiap tahun. Tuberkulosis paru menyebabkan 6% dari seluruh kematian di dunia (Anonim, 2003a). Tahun 1999, Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis paru BTA positif dan mencapai 10,2 juta pada tahun 2000 (Anonim, 2003a). Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis paru

(22)

di Indonesia, dan terdapat 300 orang meninggal disebabkan karena kuman tuberkulosis dan setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis di Indonesia bertambah seperempat juta (Anonim, 2005b).

Berdasarkan hasil penelitian World Health Organization (WHO) di Indonesia, setiap empat menit sekali terdapat satu orang penderita tuberkulosis paru yang meninggal dunia, dan setiap dua detik terjadi penularan penyakit yang diakibatkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Anonim, 2002).

Penelitian para ilmuwan menunjukkan kuman M. tuberculosis dapat bersembunyi di dalam tubuh manusia tanpa terdeteksi, oleh karena itu walaupun World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar sepertiga populasi penduduk dunia terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis tetapi hanya 5-10% yang menunjukkan gejala sakit. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman yang dapat menyembunyikan diri di dalam sel untuk waktu sangat lama tanpa terlacak sistem kekebalan tubuh (Tjay dan Rahardja, 2003). Hal inilah yang menyebabkan kesulitan dalam pemberantasan penyakit tuberkulosis paru.

Ketepatan pengobatan yaitu tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan pemberian, tepat dosis, serta waspada efek samping merupakan faktor penting yang berperan dalam mencegah resistensi kuman tuberkulosis, menghambat penularan, dan mengurangi angka kematian.

(23)

3

pada kasus tuberkulosis terapi obat yang diberikan dalam waktu jangka panjang dan apabila kerasionalan terapi tuberkulosis paru tidak tercapai maka dapat meningkatkan penularan, mempercepat resistensi, angka kesembuhan yang dicapai rendah, dan dapat meningkatkan kematian. Pengobatan tuberkulosis paru diberikan selama 6-9 bulan dan dapat diperpanjang berdasarkan atas dasar klinis dan tes resistensi. Untuk mencapai keberhasilan terapi, pengobatan perlu dilakukan monitoring terhadap pasien tuberkulosis paru dan pengawasan terhadap penggunaan Obat Anti Tuberkulosis, sehingga tingkat kematian pasien yang disebabkan karena infeksi tuberkulosis paru akan semakin menurun. Kerasionalan pengobatan merupakan faktor penting yang berperan dalam mencapai keberhasilan terapi dan menghambat faktor resistensi kuman tuberkulosis.

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Pada saat ini, tuntutan terhadap pelayanan kesehatan yang baik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan ekonomi masyarakat. Hal ini juga menyebabkan semakin meningkatnya pula kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian.

(24)

mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien yang mendapat terapi di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

1. Permasalahan

Dari uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa permasalahan di bawah ini. a. Seperti apakah gambaran kasus tuberkulosis paru pada pasien dewasa di

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 yang meliputi jumlah kasus, jenis kelamin dan penyakit penyerta pasien tuberkulosis paru? b. Seperti apakah tindakan diagnosis tuberkulosis paru pada pasien dewasa di

instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005? c. Seperti apakah pola pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di

instalasi rawat jalan di Rumah Sakit Bethesda tahun 2005?

d. Bagaimanakah kesesuaian pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 dengan standar dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis DepKes RI dan Rekomendasi World Health Organization (WHO)?

e. Seperti apakah hasil akhir pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005?

2. Keaslian Karya

(25)

5

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan mengenai tuberkulosis paru adalah “Angka Konversi dan Angka kesembuhan Pasien Tuberkulosis Paru dalam Program DOTs di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-September 2002” (Yuniarti, 2001). Dalam penelitian sebelumnya menghitung angka konversi dan angka kesembuhan, sedangkan pada penelitian ini menggambarkan evaluasi pengobatan yang dilakukan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dengan membandingkan standar yang digunakan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta pada tahun 2005 tanpa menghitung angka konversi dan angka kesembuhan. Oleh karena itu penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi bagi rumah sakit menuju penggunaan obat yang rasional.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan dan sebagai bahan evaluasi pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

(26)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran kasus tuberkulosis paru pada pasien dewasa di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 yang meliputi jumlah kasus, jenis kelamin, dan penyakit penyerta pasien tuberkulosis paru.

b. Mengetahui tindakan diagnosis tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005.

c. Mengetahui pola pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005.

d. Mengetahui kesesuaian pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 dengan standar dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis DepKes RI dan Rekomendasi World Health Organization (WHO).

(27)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Paru 1. Mycobacterium tuberculosis

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, yaitu kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang

tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran

selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan

pertumbuhan dari kuman Mycobacterium tuberculosis berlangsung dengan

lambat. Penularannya terjadi pada malam hari karena sifat dari bakteri ini tidak

tahan terhadap UV (Rab, 1996).

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang langsing, lurus atau lengkung. Basil ini terdapat dalam keadaan tunggal atau berkelompok, tidak

bergerak, dan tidak membentuk spora (Tjay & Rahardja, 2002). Tuberkulosis paru

yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh

pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas

yang diperantarai sel (Cell-mediated hypersensitivity). Apabila dalam pengobatan

tuberkulosis paru terdapat kesalahan maka pada penyakit yang aktif akan terjadi

perjalanan penyakit yang kronik dan berakhir dengan kematian (Isselbacher et al.,

1995). Kebanyakan individu yang terinfeksi M. tuberculosis tidak menunjukkan

penyakit secara langsung tetapi ditandai oleh kronisitas dengan nekrosis jaringan

yang disebabkan oleh hipersensitivitas tipe lambat (Shulman, 1994).

(28)

2. Klasifikasi

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk

menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis yang sesuai dan dilakukan sebelum

pengobatan dimulai.

Pasien tuberkulosis paru dapat digolongkan berdasarkan riwayat

pengobatan sebelumnya.

a. Kasus baru

Pasien dengan kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat

pengobatan Obat Anti Tuberkulosis atau sudah pernah menggunakan OAT

kurang dari satu bulan.

b. Kambuh (Relaps)

Pasien kambuh adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh,

kemudian melakukan pengobatan lagi hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Gagal

Pasien dengan pengobatan gagal adalah penderita yang pada akhir bulan

ke lima pengobatan atau satu bulan sebelum akhir pengobatan, dilakukan

pemeriksaaan dahak dengan hasil BTA positif. Selain itu pasien dinyatakan

gagal apabila pada akhir bulan ke dua pengobatan dengan hasil BTA negatif

rontgen positif menjadi BTA positif.

d. Kasus berobat setelah lalai (Pengobatan setelah default/drop-out)

Pasien dengan kasus berobat setelah lalai adalah penderita yang sudah

(29)

9

lebih, kemudian datang kembali untuk melakukan pengobatan. Pada umumnya

penderita tersebut kembali melakukan pengobatan dengan hasil pemeriksaan

dahak BTA positif.

e. Pindahan

Pasien pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di

suatu kabupaten kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita tersebut harus

membawa surat rujukan/pindah.

f. Kronis

Pasien dinyatakan kronis apabila penderita pada akhir pengobatan

pemeriksaan dahak masih menunjukkan BTA positif

Berdasarkan hasil pemeriksaaan dahak, tuberkulosis paru dibagi menjadi

tuberkulosis BTA pasitif dan tuberkulosis BTA negatif (Anonim, 2001).

a. Tuberkulosis Paru BTA negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) hasilnya BTA

negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

b. Tuberkulosis Paru BTA Positif

1) Pada pemeriksaan BTA, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak

Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) hasilnya positif.

2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya positif dan foto rontgen dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis aktif (Anonim, 2001).

(30)

Gejala tuberkulosis paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau

tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajat rendah, nyeri dada dan batuk

darah.

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, kadang-kadang suhu

badan dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh

sebentar, tetapi dapat timbul kembali. Hal seperti ini terus menerus terjadi dan

sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien serta berat ringannya infeksi

kuman tuberkulosis yang masuk.

b. Malaise

Penyakit tuberkulosis paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise

sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan semakin

kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat

malam. Gejala malaise ini semakin lama semakin berat dan gejala ini muncul

dan hilang secara teratur.

c. Batuk/batuk darah

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Keadaan dan kondisi

bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka kemungkinan terjadinya batuk

baru terjadi karena penyakit telah berkembang dalam jaringan selama

berminggu-minggu atau berbulan-bulan dimulai dari peradangan. Sifat batuk

dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah terjadi peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa

(31)

11

tuberkulosis paru terjadi pada kavitas, tetapi dapat pula terjadi pada ulkus

dinding bronkus.

b. Sesak napas

Penyakit yang baru muncul belum dirasakan sesak nafas. Pada penyakit

yang sudah lanjut akan ditemukan sesak nafas, yang infiltrasinya meliputi

setengah bagian paru-paru.

c. Nyeri dada

Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura

sehingga menimbulkan pleuritis, yaitu terjadi gesekan kedua pleura sewaktu

pasien menarik/melepas nafasnya (Bahar, 2003).

4. Patogenesis

Sumber penularan tuberkulosis paru adalah penderita tuberkulosis BTA

positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk droplet yaitu percikan dahak. Droplet yang mengandung kuman

dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat

terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Selama

kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman

tersebut dapat menyebar dari paru ke saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran

langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Anonim, 2001).

Riwayat terjadinya tuberkulosis paru dibedakan menjadi dua yaitu :

a. infeksi primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali oleh kuman

(32)

melewati pertahanan musilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai

dialveolus dan menetap. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis mulai

berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, sehingga mengakibatkan

peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke

kelenjar limfe di sekitar hilus paru, kejadian ini disebut sebagai kompleks primer.

Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer yaitu

sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan

reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Anonim, 2001).

Berkembangnya dari infeksi primer menjadi penderita tuberkulosis paru

tergantung dari banyaknya kuman dan besarnya respon daya tahan tubuh. Pada

umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan

tuberkulosis, tetapi masih terdapat beberapa kuman yang menetap sebagai kuman

persisten atau dormant. Pada suatu saat daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan dapat

menjadi penderita tuberkulosis paru. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan

mulai terjadinya infeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan

(Anonim, 2001).

b. tuberkulosis paru pasca primer

Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan

atau tahun setelah terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis paru pasca primer dapat

disebabkan misalnya daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status

gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer yaitu tejadi

(33)

13

Daya penularan dari seorang penderita tuberkulosis paru ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif

pada pemeriksaan dahak maka penderita tersebut semakin tinggi tingkat

penularannya. Apabila hasil pemeriksaan dahak negatif atau tidak terlihat kuman,

maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Anomim, 2003b).

Faktor resiko dari tuberkulosis paru yaitu a) negara berkembang, b)

anak-anak di bawah umur 5 tahun atau orang tua, c) pecandu alkohol dan narkotik, d)

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), e) DM, f) penghuni rumah

beramai-ramai atau banyaknya jumlah anggota keluarga dalam satu rumah, g)

imunosupresi, h) hubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum Bakteri

Tahan Asam (BTA) positif, i) kemiskinan dan malnutrisi (Rab, 1996).

5. Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis pada pasien yang diduga menderita tuberkulosis paru

dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan.

a. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda fisik yang terjadi pada pasien tuberkulosis paru adalah badan

kurus atau berat badan menurun, pada kulit tampak pucat, demam yang mungkin

hanya terjadi kenaikan suhu ringan pada malam hari, nadi umumnya meningkat

seiring dengan demam (Crofton, 1999).

Pada pemeriksaan fisik pasien tuberkulosis paru sering tidak menunjukkan

suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini. Tuberkulosis paru terjadi secara

asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan

(34)

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaaan radiologis paru merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal pemeriksaan

radiologis memberikan beberapa keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak

dan tuberkulosis mulier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui

pemeriksaan dada sebab dengan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif

(Bahar, 2003).

Pada awal penyakit gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti

awan dengan batas-batas yang tidak tegas. Apabila lesi sudah diliputi jaringan ikat

maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal

sebagai tuberkuloma (Bahar, 2003).

Gambar 1. Foto Rontgen Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa (Anonim, 2006).

c. Pemeriksaan laboratorium

1) Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya

(35)

15

tuberkulosis baru akan diperoleh jumlah leukosit dan laju endap darah (LED)

meningkat (Bahar, 2003). Laju endap darah mungkin meningkat tetapi hasil

yang normal dapat memungkinkan terjadinya tuberkulosis (Crofton, 1999).

2) Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya

kuman BTA (Bakteri tahan asam) diagnosis sudah dapat dipastikan.

Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan

yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat

dikerjakan di puskemas, tetapi kadang tidak mudah untuk mendapat sputum,

terutama pada pasien dengan batuk yang tidak produktif (Bahar, 2003).

Untuk mendapatkan sputum pada batuk non produktif dapat dilakukan

dengan cara pasien dianjurkan minum air sebanyak ± 2 liter satu hari sebelum

pemeriksaan sputum dan melakukan refleks batuk. Dapat juga memberikan

tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam

hipertonik selama 20-30 menit. Apabila masih sulit, sputum dapat diperoleh

dengan cara bronkospi diambil dengan brushing atau bronchial washing.

Sputum yang akan diperiksa sebaiknya dalam keadaan segar. Kriteria sputum

BTA positif apabila sekurang-kurangnya ditemukan 3 kuman batang BTA

dalam satu sediaan (Bahar, 2003).

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan BTA dinyatakan

positif apabila ditemukan sedikitnya dua dari tiga spesimen Sewaktu Pagi

(36)

3) Tes Tuberkulin

Pemeriksaan tuberkulin masih banyak dipakai untuk membantu

menegakkan diagnosis tuberkulosis paru pada anak-anak. Tes tuberkulin

hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami

infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen

lainnya (Bahar, 2003).

Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan maka akan timbul reaksi

berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yaitu hasil dari

reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin (Bahar,

2003).

Pada penderita yang dicurigai tuberkulosis paru, perlu dilakukan

pemeriksaan dahak apabila ditemukan 3 spesimen kuman tuberkulosis maka dapat

dinyatakan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pada pemeriksaan dahak

apabila ditemukan 1 kuman tuberkulosis atau sama sekali tidak ditemukan

sedangkan dari gejala dicurigai tuberkulosis paru, perlu diadakan pemeriksaan

lebih lanjut yaitu dengan foto rontgen paru atau pengulangan pada pemeriksan

dahak SPS. Jika hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita

didiagnosis sebagai penderita BTA positif., tetapi apabila hasil rontgen tidak

mendukung tuberkulosis paru maka perlu dilakukan kembali pemeriksaan dahak

SPS (Anonim, 2001).

Dapat lebih jelas dengan melihat alur diagnosis tuberkulosis paru pada

(37)

17

Tersangka Penderita TB (Suspek TB)

Pemeriksaaan dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA

(38)

6. Mekanisme Resistensi Mikroorganisme terhadap Obat Anti Tuberkulosis Terjadinya resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis dapat disebabkan

karena penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian, dalam

pengobatan tuberkulosis timbulnya resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis

apabila penggunaan obat dalam bentuk tunggal dan pemakaian obat kurang dari

jangka waktu yang telah ditentukan yaitu 6-8 bulan. Mikroorganisme dapat

memperlihatkan resistensi terhadap obat-obat dengan mekanisme sebagai berikut :

a. resistensi terhadap rifampisin disebabkan oleh perubahan polimerase RNA

akibat mutasi kromosom yang sering terjadi

b. mikroorganisme mengubah permeabilitas terhadap obat yang disebabkan oleh

perubahan selaput luar yang mengganggu pengangkutan ke dalam sel

c. mikroorganisme menghasilkan enzim yang dapat merusak zat aktif obat

d. mikroorganisme mengembangkan sasaran struktur yang diubah terhadap obat,

resistensi terjadi karena hilang atau berubahnya suatu protein khusus pada sub

unit 30S dari ribosom pada bakteri yang merupakan tempat pengikat pada

bakteri

e. mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme lain yang memintas reaksi

yang dihambat oleh obat (Jawetz, 2001).

7. Kriteria Kategori Pasien Tuberkulosis Paru

Dalam menentukan kriteria pasien tuberkulosis paru berdasarkan pada

pemeriksaan diagnosis yaitu dapat diketahui dari hasil pemeriksaan BTA dan

pemeriksaan rontgen. Kriteria pasien yang menggunakan Obat Anti

(39)

19

Tuberkulosis-Fixed Dose Combination kriteria pasien berdasarkan diagnosis

dibagi dalam dua kategori.

a. Pengobatan dengan OAT-kombipak

Apabila dalam pengobatan tuberkulosis menggunakan OAT-kombipak,

maka pengelompokkan pasien berdasarkan diagnosis dapat dibagi menjadi 4

kategori yaitu :

1) kategori 1

Berdasarkan hasil diagnosis dari pemeriksaan BTA dan pemeriksaan

rontgen, pasien tuberkulosis yang tergolong dalam kategori 1 adalah

penderita baru tuberkulosis paru BTA positif, penderita tuberkulosis paru

BTA negatif rontgen positif sakit berat, dan penderita tuberkulosis ekstra

paru berat.

2) kategori 2

Pasien tuberkulosis paru yang tergolong dalam kategori 2 adalah

penderita kambuh, penderita gagal, dan penderita dengan pengobatan

setelah lalai

3) kategori 3

Pasien tuberkulosis paru yang tergolong dalam kategori 3 adalah

penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan, serta pada

penderita ekstra paru ringan.

(40)

Pasien yang tergolong dalam kategori sisipan apabila pada akhir tahap

intensif pengobatan baik pada penderita kategori 1 atau kategori 2, hasil

pemeriksaan BTA masih positif (Anonim, 2001).

b. Pengobatan dengan OAT-FDC

Berdasarkan pemeriksaan BTA dan pemeriksaan rontgen apabila dalam

pengobatan tuberkulosis paru dengan menggunakan OAT-FDC, kriteria

pasien dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

1) kategori 1

Pasien yang termasuk dalam kategori 1 adalah penderita baru

tuberkulosis paru dengan hasil laboratorium BTA positif, penderita baru

tuberkulosis paru dengan BTA negatif/rontgen positif baik ringan atau

berat, dan pada penderita tuberkulosis ekstra paru baik ringan atau berat.

2) kategori 2

pasien yang tergolong dalam kategori 2 adalah penderita kambuh,

gagal dan lalai setelah berobat dengan hasil BTA positif (Anonim, 2003b).

B. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan obat dimaksudkan untuk

membunuh basil dengan cepat, mencegah kekambuhan, mencegah resisitensi,

mencegah kematian dan menurunkan tingkat penularan (Zubaidi, 1995).

Pengobatan tuberkulosis dibedakan menjadi dua kelompok obat, yaitu obat

primer dan obat sekunder. Obat primer sering digunakan karena efektivitasnya

yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita

(41)

21

etambutol dan streptomisin termasuk dalam kelompok obat ini. Kelompok obat

sekunder kurang efektif, tetapi karena pertimbangan resistensi dan kontraindikasi

dari penderita, maka paduan kelompok obat ini kadang digunakan. Kelompok

obat ini meliputi etionamid, para-aminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin

dan kanimisin (Zubaidi, 1995).

1. Prinsip Pengobatan

Prinsip pengobatan tuberkulosis paru dengan menggunakan Obat Anti

Tuberkulosis dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dengan jumlah dan

dosis yang tepat selama 6-8 bulan, tujuannya agar semua kuman dapat

termusnahkan. Pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam dua tahap, yaitu

tahap intensif dan tahap lanjutan (Anonim, 2001).

Pada tahap intensif penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti

Tuberkulosis. Apabila pengobatan pada tahap intensif diberikan secara tepat maka

pada penderita tuberkulosis BTA positif yang sangat menular menjadi tidak

menular dalam kurun waktu 2 minggu. Pada akhir pengobatan tahap intensif

sebagian besar penderita tuberkulosis paru BTA positif menjadi BTA negatif

(Anonim, 2001).

Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jumlah yang lebih

sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lama. Pada tahap lanjutan sangat penting

karena untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah

(42)

Pada tahap lanjutan, pengobatan tuberkulosis paru menggunakan isoniazid

bersama rifampisin selama 7 bulan sehingga seluruh masa pengobatan menjadi 9

bulan. Dalam studi terbaru menyebutkan pengobatan selama 6 bulan yaitu melalui

tahap intensif 2 bulan dan tahap lanjutan 4 bulan sama efektifnya dengan

pengobatan selama 9 bulan (Tjay dan Rahardja, 2002).

2. Pemilihan Obat

Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis paru adalah

isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin merupakan

lima agen baris pertama untuk mengobati tuberkulosis paru. Isoniazid dan

rifampisin adalah dua obat yang paling aktif. Suatu kombinasi isoniazid dengan

rifampisin yang diberikan selama 9 bulan akan menyembuhkan 95-98%

kasus-kasus tuberkulosis. Tambahan pirazinamid pada kombinasi isoniazid-rifampisin

untuk 2 bulan pertama akan mempersingkat lama terapi sampai menjadi 6 bulan

tanpa kehilangan efikasinya. Pada prakteknya, suatu terapi tuberkulosis diawali

dengan pemakian obat sekaligus yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan

etambutol ataupun streptomisin (Katzung, 2004).

Obat-obat alternatif dalam lini kedua (second-line drugs) biasanya

dipertimbangkan hanya dalam kasus resistensi terhadap obat-obat pilihan pertama,

dalam kasus kegagalan respons klinis pada terapi konvensional dan berkenaan

dengan efek-efek toksik. Obat Anti Tuberkulosis lini kedua antara lain amikasin,

asam aminosalisilat, capreomisin, ciprofloksasin, klofazimin, cikloserin,

(43)

23

Tabel I. Obat Anti Tuberkulosis (Katzung, 2004)

Obat Dosis Khusus Dewasa

isoniazid 300 mg/hari

rifampin 600 mg/hari

pirazinamid 25 mg/kg/hari

etambutol 15-25 mg/kg/hari

Agen baris pertama

streptomisin 15 mg/kg/hari

amikasin 15 mg/kg/hari

asam aminosalisilat 8-12 kg/hari

capreomycin 15 mg/kg/hari

ciprofloxacin 1500 mg/kg/hari

clofazimine 200 mg/hari

cycloserine 500-1000 mg/hari, terbagi

ethionamide 500-750 mg/hari

levofloxacin 500 mg/hari

rifabutin 300 mg/hari

Agen baris kedua

rifapentine 600 mg sekali atau dua kali seminggu

a. isoniazid (H)

Isoniazid yang dikenal dengan INH mempunyai sifat bakterisid, dapat

membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat

ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman

yang sedang berkembang (Anonim, 2001). Isoniazid aktif terhadap kuman yang

berada intraseluler dalam makrofag maupun di luar sel (Tjay dan Raharja, 2002).

Mekanisme kerja dari INH berdasarkan terganggunya sistesis mycolic

acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri. Isoniazid masih tetap merupakan obat kemoterapi terpenting tehadap berbagai tipe tuberkulosis paru

dan selalu dalam bentuk multiple therapy dengan rifampisin dan pirazinamid

(Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan

(44)

dari pengunaan INH antara lain timbul gatal-gatal, yang paling berat berupa

hepatitis yang dapat terjadi pada kurang lebih 0,5% penderita (Anonim, 2001).

Hepatitis akibat isoniazid merupakan efek toksik utama yang sering terjadi,

dimana terjadi peningkatan aminotrasferase tiga atau empat kali keadaan normal.

Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu alkohol dan mungkin selama kehamilan

dan pasca kehamilan (Katzung, 2004).

Pemberian dosis melebihi 400 mg akan terjadi polineuritis yaitu radang

saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya adalah

persaingan dengan piridoksin yang rumus kimianya mirip dengan INH, efek lain

yang sering muncul perasaan tidak sehat, letih dan lemah, serta anoreksia. Untuk

menghindari reaksi toksis ini biasanya diberikan vitamin B6 (piridoksin) 10-20mg

sehari bersama vitamin B1 100mg (Tjay dan Raharja, 2002).

b. rifampisin (R)

Rifampisin bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant yang

tidak dapat dibunuh oleh isoniazid (Anonim, 2001). Rifampisin berkhasiat

bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan M. tuberkulosis dan M. leprae, baik

yang berada di luar maupun di dalam sel. Obat ini mematikan kuman yang

“dormant” selama fase pembelahan yang singkat. Oleh karena itu obat ini sangat

penting untk membasmi semua basil guna mencegah kambuhnya tuberkulosis

(Tjay dan Raharja, 2002).

Efek samping dari penggunaan rifampisin yaitu terjadi penyakit kuning,

terjadi gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati kejang perut

(45)

25

600mg/hari (10mg/kg/hari) secara per oral bersama isoniazid, pirazinamid, dan

etambutol untuk mencegah timbulnya resistensi kuman tuberkulosis (Katzung,

2004).

c. pirazinamid (Z)

Pirazinamid bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada di

dalam sel dengan suasana asam (Anonim, 2001). Spektrum kerjanya sangat

sempit yaitu hanya meliputi M. tuberculosis, khasiat dari pirazinamid diperkuat

oleh INH. Penggunaan obat ini khusus pada fase intensif, digunakan pada fase

pemeliharaan apabila terdapat multiresistensi. Absorpsinya cepat dan hampir

sempurna, lebih kurang 70% pirazinamid diekskresikan melalui urin (Tjay dan

Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB. Efek samping

penggunaan pirazinamid yaitu terjadi hepatitis, nyeri sendi dan kadang-kadang

dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan

berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Selain itu dapat menimbulkan

demam, mual, kemerahan dan rekasi kulit yang lain (Anonim,2001).

d. streptomisin (S)

Streptomisin merupakan senyawa yang bersifat bakterisid terhadap kuman

Gram negatif dan Gram positif, termasuk M. tuberculosis. Streptomisin aktif

terhadap mycobacteria ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan pesat.

(46)

jalan pengikatan RNA ribosomal. Resorpsi streptomisin diusus buruk sekali,

sehingga diberikan sebagai injeksi i.m (Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Pada penderita yang

berumur sampai 60 tahun dosis yang diberikan 0,75 gr/hari, sedangkan yang

berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. Efek samping utama dari

streptomisin yaitu terjadi kerusakan saraf kedelapan yang berkaitan dengan

keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat

seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan

alat pendengaran biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda

telinga mendenging, pusing dan kehilangan keseimbangan (Anonim, 2001).

e. etambutol (E)

Etambutol berkhasiat spesifik terhadap M. tuberculosis yang bersifat

bakteriostatis. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada

kuman yang sedang membelah dan juga menghindari terbentuknya mycolic acid

pada dinding sel (Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kgBB. Etambutol dapat

menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan,

buta warna untuk warna merah dan hijau. Setiap penderita yang menerima

etambutol harus diingatkan apabila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan

supaya segera melakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali

(47)

27

3. Obat Anti Tuberkulosis

Dalam pengobatan tuberkulosis paru digunakan Obat Anti Tuberkulosis

kombipak dan OAT-FDC (Fixed Dose Combination)

a. Obat Anti Tuberkulosis-kombipak (OAT-kombipak)

World Health Organization dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) merekomendasikan paduan OAT standart. 1) Kategori 1

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada kategori 1 yaitu

2HRZE/4H3R3, 2HRZE/4HR, 2HRZE/6HE.

Tabel II. Paduan OAT-kombipak kategori 1 (Anonim, 2001). Dosis per hari / kali

Obat yang digunakan pada tahap intensif terdiri dari isoniasid (H),

rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan etambutol (E). Obat-obat tersebut

diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan

dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan rifampisin (R),

yang diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat

(48)

tuberkulosis paru BTA negatif dengan rontgen pasitif yang “sakit berat”

dan penderita tuberkulosis ekstra paru berat (Anonim, 2001).

2) Kategori 2

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada kategori 2 :

2HRZES/HRZE/5H3R3E3, 2HRZES/HRZE/5HRE. Pada tahap intensif

pengobatan diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan

isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan

streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan

dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E)

setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan

dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Dalam

penyuntikan streptomisin perlu diperhatikan yaitu diberikan setelah

penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan pada penderita kambuh

(relaps), penderita gagal (failure), dan pada penderita dengan pengobatan

setelah lalai (after default) (Anonim, 2001).

(49)

29

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada kategori 3 :

2HRZ/4H3R3, 2HRZ/4HR, 2HRZ/6HE. Pada tahap intensif terdiri dari

isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z) yang diberikan setiap hari

selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari

isoniazid (H), rifampisin (R) selama 4 bulan dan diberikan 3 kali

seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita baru BTA negatif

dan rontgen positif sakit ringan serta penderita ekstra paru ringan yaitu

tuberkulosis kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral,

tuberkulosis kulit, tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan

kelenjar adrenal (Anonim, 2001).

Tabel IV. Paduan OAT-kombipak kategori 3 (Anonim, 2001).

Tahap pengobatan Lama

(50)

4) Sisipan

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada fase sisipan yaitu

HRZE. Obat Anti Tuberkulosis fase sisipan diberikan apabila pada akhir

tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1

atau penderita BTA positif dengan kategori 2 dimana hasil pemeriksaan

dahak masih BTA positif. Pemberian OAT sisipan setiap hari selama 1

bulan.

Tabel V. Obat Anti Tuberkulosis fase sisipan (Anonim, 2001). Tahap

b. Obat Anti Tuberkulosis–Fixed Dose Combination (OAT-FDC)

Obat Anti Tuberkulosis “fixed-dose combination” atau disingkat dengan

OAT-FDC adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti

tuberkulosis dengan dosis tetap.

Pengobatan tuberkulosis paru yang menggunakan Obat Anti Tuberkulosis

Fixed Dose Combination (OAT-FDC) dibagi dalam dua kategori yaitu kategori 1 dan kategori 2.

1) Kategori 1

Pada tahap intensif digunakan 4FDC yang setiap tablet mengandung

(51)

31

selama 56 hari. Pada tahap lanjutan digunakan 2 FDC yang setiap tablet

mengandung isoniazid dan rifampisin (Anonim, 2003b).

Tabel VI. Paduan OAT-FDC kategori 1 (Anonim, 2003b). Berat Badan Tahap Intensif tiap hari

selama 56 hari

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu

Kategori 1 diberikan pada penderita baru tuberkulosis paru dengan

hasil laboratorium BTA positif, penderita baru tuberkulosis paru dengan

BTA negatif/rontgen positif baik ringan atau berat, dan pada penderita

tuberkulosis ekstra paru baik ringan atau berat. Pemeriksaan dahak harus

tetap dilakukan karena untuk evaluasi pelaksanaan program

penanggulanan tuberkulosis (Anonim, 2003b).

2) Kategori 2

Pada tahap intensif digunakan 4FDC yang setiap tablet mengandung

isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol serta digunakan juga

injeksi streptomisin, diberikan tiap hari selama 56 hari Pada tahap lanjutan

digunakan 2FDC yang setiap tablet mengandung isoniazid dan rifampisin

serta digunakan juga etambutol, diberikan selama 3 kali seminggu selama

20 hari. Kategori 2 diberikan pada penderita kambuh, gagal dan lalai

(52)

Tabel VII. Paduan OAT-FDC kategori 2 (Anonim, 2003b) Tahap Intensif

tiap hari Berat

Badan

selama 56 hari selama 28 hari

Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 20 minggu

30–37 kg 2tab 4FDC+500 mg

55–70 kg 4tab4FDC+1000 mg

Streptomisin inj.

4 tab 4FDC 4tab 2FDC + 4 tab etambutol

≥ 71 kg 5tab4FDC

+ Streptomisin inj.

5 tab 4FDC 5tab 2FDC + 5 tab etambutol

Beberapa keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan tuberkulosis :

1) penderita akan lebih mudah dalam menggunakan obat anti tuberkulosis,

karena jumlah tabletnya sedikit

2) efek samping yang lebih kecil, karena formula dosis sangat mendekati

dasar perjitungan, yaitu antara berat badan dengan jumlah komponen obat.

3) tingkat kepatuhan penderita dalam menggunakan obat akan lebih tingi,

karena pengaruh psikis dari melihat jumlah tablet bila dibandingkan obat

anti tuberkulosis kombipak

C. Hasil Akhir Pengobatan

Hasil pengobatan penderita tuberkulosis dapat dikategorikan sebagai

berikut.

(53)

33

Penderita tuberkulosis paru dinyatakan sembuh apabila hasil pemeriksaan

ulang dahak sedikitnya dua kali pemeriksaan hasilnya negatif, baik pada

pemeriksaan akhir tahap intensif maupun pada pemeriksaan satu bulan

sebelum akhir pengobatan.

2. Pengobatan Lengkap

Penderita tuberkulosis paru dinyatakan masuk dalam pengobatan lengkap

apabila penderita tubekulosis paru telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak, khususnya pada akhir

pengobatan.

3. Gagal

Penderita tuberkulosis paru dinyatakan gagal pada hasil akhir pengobatan

apabila :

a. penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali positif pada satu bulan sebelum akhir

pengobatan atau pada akhir pengobatan

b. penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan

kedua menjadi positif

4. Defaulted atau Drop Out

Pasien Drop Out adalah penderita yang tidak mengambil obat dua bulan

berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

5. Meninggal

Pasien dinyatakan meninggal apabila penderita yang dalam masa

(54)

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran evaluasi pengobatan

tuberkulosis paru pada pasien dewasa, yang meliputi gambaran kasus tuberkulosis

paru, tindakan diagnosis tuberkulosis paru, gambaran obat yang diberikan, efek

samping yang ditimbulkan, obat tambahan yang diberikan serta lamanya

pengobatan dalam terapi tuberkulosis paru di instalasi rawat jalan Rumah Sakit

(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai “Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005” merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subyek uji. Rancangan penelitian deskriptif karena penelitian ini hanya bertujuan melakukan eksplorasi deskriptif terhadap pengobatan yang terjadi. Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen terdahulu, yaitu data lembar catatan rekam medis pasien.

Peneliti hanya melakukan evaluasi apakah pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di Rumah Sakit Bethesda tahun 2005 sudah sesuai dengan standar yang digunakan di Rumah Sakit Bethesda yaitu Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis DepKes RI dan standar pengobatan dari World Health Organization (WHO).

B. Definisi Operasional

1. Rumah Sakit Bethesda adalah Rumah Sakit yang digunakan sebagai tempat penelitian.

2. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

(56)

3. Kriteria pasien adalah pasien dewasa berusia 18-60 tahun (Walker, 2003) yang menderita tuberkulosis paru di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005.

4. Kartu rekam medis adalah berkas yang memberikan catatan tentang identitas pasien yang meliputi nomor rekam medis, nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, diagnosis penyakit utama dan diagnosis penyakit penyerta, keluhan, pemeriksaan laboratorium, jenis obat, dosis obat, lama pemberian, rute pemberian dan hasil pengobatan.

5. Evaluasi adalah melihat kembali dan menyimpulkan tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan sudahkah sesuai dengan standar.

6. Pengobatan adalah suatu cara pelayanan kesehatan yang dilakukan untuk menangani suatu penyakit.

7. Jenis obat adalah kelompok obat yang diberikan berdasarkan kelas terapinya yang diberikan kepada pasien tuberkulosis paru selama menjalani pengobatan di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 dalam bentuk generik seperti isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin

(57)

37

9. Hasil akhir pengobatan adalah kondisi pasien setelah menjalani pengobatan secara lengkap dimana penderita telah menjalani pengobatan tahap intensif dan tahap lanjutan selama 6-9 bulan, seminggu sebelum akhir pengobatan dilakukan pemeriksaan ulang dahak, apabila hasil BTA positif pasien dinyatakan gagal tetapi jika hasil BTA negatif maka pasien dinyatakan sembuh.

C. Subyek Penelitian

Dalam penelitian mengenai “Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005” subyek penelitian yang digunakan adalah pasien dewasa tuberkulosis paru.

D. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu rekam medis dengan diagnosis tuberkulosis paru yang tergolong pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 yang meliputi nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, diagnosis penyakit utama dan diagnosis penyakit penyerta, keluhan, pemeriksaan laboratorium, jenis obat, dosis obat, lama pemberian, dan hasil pengobatan. Selain dari kartu rekam medis juga menggunakan hasil wawancara dengan dokter spesialis paru-paru.

E. Lokasi Penelitian

(58)

F. Jalannya Penelitian

Proses jalannya penelitian dilakukan secara bertahap, dengan jalur di bawah ini.

1. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini dilakukan analisis situasi, penentuan masalah serta pencarian informasi standar pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Pada tahap analisis situasi dilakukan dengan mencari informasi pada bagian rekam medis mengenai distribusi penyakit tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta selama tahun 2005.

2. Tahap pengambilan data

Proses penelusuran data dilakukan dengan melihat buku keluar pasien tahun 2005 yang berisi nomor registrasi, usia, berat badan, jenis kelamin, lama terapi, dan lainnya. Berdasarkan data tersebut, peneliti memilih pasien dewasa yang menderita tuberkulosis paru, tanggal masuk dan tanggal keluar pasien berada pada tahun 2005.

3. Tahap pencatatan data

(59)

39

digunakan untuk melihat gambaran pengobatan tuberkulosis paru pada pasien dewasa.

4. Tahap pengolahan data

Data yang diperoleh kemudian diolah, hasil yang diperoleh ada yang disajikan dalam bentuk tabel dan ada pula yang disajikan dalam bentuk gambar. 5. Wawancara mendalam

Wawancara dilakukan sesuai panduan wawancara dan penulisannya disusun sesuai dengan hasil wawancara dari dokter yang terkait dalam penanganan kasus tuberkulosis paru pada pasien dewasa. Pelaksanaan wawancara dilakukan di poliklinik rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta bagian paru-paru kepada salah seorang dokter spesialis paru-paru.

6. Tahap analisis hasil

Data dianalisis secara deskriptif kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk diagram dan tabel beserta uraian penjelasan. Analisis tersebut berdasarkan :

a. jumlah kasus, jenis kelamin dan penyakit penyerta

b. diagnosis, kategori pengobatan, jenis obat dan dosis yang diberikan

(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama tahun 2005 ditemukan kasus tuberkulosis paru baik dirawat jalan maupun di rawat inap pada semua umur sebesar 175 kasus. Pasien yang diteliti adalah seluruh populasi pasien dewasa dengan diagnosis tuberkulosis paru di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta selama tahun 2005. Jumlah kasus yang berhasil dikumpulkan berdasarkan catatan rekam medis tersebut sejumlah 49 kasus, kemudian dari rekam medis yang didapat dicatat nomor rekam medis, jenis kelamin, umur, berat badan, diagnosis penyakit utama dan diagnosis penyakit penyerta, keluhan, pemeriksaan laboratorium, jenis obat, dosis obat, lama pemberian, dan hasil pengobatan.

A. Gambaran Kasus Tuberkulosis Paru

Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui jumlah kasus tuberkulosis paru pada pasien dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta tahun 2005 sebanyak 49 kasus.

1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Tuberkulosis Paru

Pasien dengan diagnosis tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta selama tahun 2005 diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, tujuannya untuk mengetahui frekuensi dan persentase perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sehingga dapat diketahui apakah jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap terjadinya penyakit tuberkulosis paru.

(61)

41

Berdasarkan hasil penelusuran data rekam medis rawat jalan pada pasien tuberkulosis paru diperoleh data dengan perbandingan laki-laki sebanyak 30 (61,22 %) dan perempuan sebanyak 19 (38,78 %).

0 5 10 15 20 25 30 35

Laki-laki perempuan

Gambar 3. Diagram Jenis Kelamin Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang besar pada jumlah pasien laki-laki dengan pasien perempuan. Jumlah pasien laki-laki yang terlihat pada gambar 3 mempunyai persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien perempuan. Sampai sekarang belum ada keterangan yang memberikan jawaban yang tuntas mengenai perbandingan jenis kelamin ini.

(62)

laki-laki. Merokok merupakan salah satu faktor resiko terjadinya tuberkulosis paru. Rokok dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi alveolar makrofag pada paru-paru. Makrofag merupakan sel darah putih yang berperan dalam fagositosis, oleh karena itu apabila terjadi kerusakan pada fungsi alveolar makrofag maka kuman lebih mudah masuk ke dalam paru-paru sebab tidak ada penghalang dari makrofag (Crofton, 2002).

Selain karena faktor resiko merokok, terjadinya tuberkulosis dapat disebabkan oleh kebiasaan hidup sehari-hari yaitu kebiasaan makan, kebersihan rumah, pada umumnya wanita lebih memperhatikan kondisi kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Apabila kondisi tubuh kurang baik dan pada saat berhadapan atau berbicara dengan seseorang yang menderita tuberkulosis paru dengan BTA positif, maka kemungkinan untuk terinfeksi kuman tuberkulosis menjadi lebih besar.

2. Penyakit Penyerta Pada Pasien Tuberkulosis Paru

Selain terdiagnosis penyakit tuberkulosis paru, pasien juga terdiagnosis penyakit lain yang menyertai tuberkulosis paru. Penyakit penyerta ini merupakan riwayat dari pasien sebelum terdiagnosis tuberkulosis paru dan penyakit yang timbul setelah pasien terdiagnosis tuberkulosis paru.

(63)

43

Tabel VIII. Distribusi Penyakit Penyerta Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005

Penyakit penyerta Jumlah pasien Persentase (%) Satu penyakit penyerta

Hepatitis dan Diabetes melitus Hipertensi dan Diabetes melitus

1 1

2,04 2,04

Dari tabel VIII terdapat 6 pasien yang menderita penyakit lain selain tuberkulosis. Beberapa pasien yang terdiagnosis tuberkulosis paru dengan satu penyakit penyerta seperti diabetes mellitus berjumlah 2 pasien (4,08%), hipertensi 1 pasien (2,04%), bronkitis sebanyak 1 pasien (2,04%), dan terdapat pasien tuberkulosis pada masa kehamilan berjumlah 1 pasien (2,04%). Pasien dengan dua penyakit penyerta yaitu hepatitis dan diabetes melitus sebanyak 1 pasien (2,04%), hipertensi dan diabetes melitus sebanyak 1 pasien (2,04%).

Pada penderita tuberkulosis paru kekebalan tubuh akan semakin lemah dalam melawan kuman tuberkulosis. Pada saat kondisi tersebut maka tubuh akan semakin mudah terserang berbagai penyakit. Oleh karena itu penderita yang telah terpapar tuberkulosis paru harus tetap menjaga lingkungan tetap bersih, sanitasi yang baik dan tetap memperhatikan gizi sehingga kondisi tubuh tidak semakin buruk.

B. Diagnosis Tuberkulosis Paru

(64)

untuk menegakkan diagnosis penyakit tuberkulosis paru yang selanjutnya dapat digunakan untuk pedoman pertimbangan pengobatan.

1. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa

Pada pemeriksaan dahak pada pasien tersangka tuberkulosis paru apabila hasil tes BTA ditemukan 3 spesimen kuman tuberkulosis maka dinyatakan penderita tuberkulosis BTA positif. Jika pemeriksaan dahak hasil tes BTA hanya ditemukan 1 dari 3 spesimen kuman tuberkulosis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan rontgen paru, apabila hasilnya mendukung tuberkulosis paru dapat dinyatakan penderita tuberkulosis paru BTA positif tetapi jika hasil pemeriksaan rontgen paru tidak mendukung tuberkulosis paru maka diulangi pemeriksaan dahak SPS. Pada pemeriksaan dahak hasil tes BTA tidak ditemukan spesimen kuman tuberkulosis, dapat diberikan antibiotik. Apabila tidak ada perbaikan dilakukan pengulangan pemeriksaan dahak SPS tetapi apabila dengan pemberian antibiotik terdapat perbaikan maka bukan tuberkulosis paru melainkan penyakit lain. Kriteria sputum dengan hasil BTA positif yaitu jika dalam satu sediaan ditemukan 3 batang kuman tuberkulosis.

2. Pemeriksaan BTA Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa

Gambar

Tabel XVIII. Kesesuaian penggunaan jenis OAT-FDC tuberkulosis paru
Tabel XXI. Distribusi ketidaksesuaian lama pemberian OAT-FDC
Gambar 1.    Foto rontgen paru tuberkulosis pada pasien dewasa ...............
Gambar 1. Foto Rontgen Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa (Anonim, 2006).
+7

Referensi

Dokumen terkait

make the atmosphere of the class more interesting by making a joke, for translation of new and unfamiliar words and expressions to translate words that are

Deskripsi Mata Kuliah : Matakuliah ini membahas tentang: penerapan hasil penemuan IPA dalam teknologi; penerapan fisika, biologi, dan kimia, dalam kehidupan

[r]

Penyakit saluran pernapasan yang disebabkan adanya defek pada ultra struktur silianya dapat berupa tidak adanya dynein arm pada subfibril A, dapat juga sebagai akibat tidak

Data yang mengalir dari hasil suatu proses ke proses lainya dalam bentuk dokumen dasar atau formulir, dokumen hasil cetakan komputer, laporan terarah, tampilan

Selain tinggi level muka pengecoran ada satu tambahan pekerjaan yang tidak dilakukan pada proses pekerjaan bored pile lainnya pada proses pembuatan test pile

Singleton adalah sebuah himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan: pada titik tertentu mempunyai sebuah nilai dan 0 di luar titik tersebut. Model

Penerapan evaluasi kesesuaian lahan sebelum pemanfaatan lahan akan memberikan informasi tentang potensi lahan, kesesuaian penggunaan lahan serta tindakan-tindakan