• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT MOTIF BERPRESTASI ANTARA REMAJA LAKI-LAKI DAN REMAJA PEREMPUAN ETNIK JAWA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT MOTIF BERPRESTASI ANTARA REMAJA LAKI-LAKI DAN REMAJA PEREMPUAN ETNIK JAWA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Agustina Ganik Nurmawati NIM : 989114082 NIRM : 980051121705120082

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….………..………. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …..………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….…..………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….…..……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………..……… v

ABSTRAK ……….………….………. vi

ABSTRACT ……….……….………..…… vii

KATA PENGANTAR ……….………... viii

DAFTAR ISI ……….……….. xi

DAFTAR TABEL ……….……….. xiv

DAFTAR GAMBAR ………..………. xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi

BAB I PENDAHULUAN ……….……….………. 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 2

B. Rumusan Masalah ……….……… 5

C. Tujuan Penelitian ……….……….. 6

D. Manfaat Penelitian ………….……… 6

BAB II LANDASAN TEORETIS ………..……….... 7

A. Motif Berprestasi ………... 7

(3)

B. Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan dalam Budaya Jawa ….…….. 15

1. Remaja ………. 15

2. Laki-laki dan Perempuan ……… 17

3. Sekilas tentang Etnik Jawa …….………. 22

4. Stereotipe Gender dalam Budaya Jawa ……….……….. 24

C. Perbedaan Motif Berprestasi Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan Etnik Jawa ………….……….……… 26

D. Hipotesis ……….………... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………….……….………… 32

A. Jenis Penelitian ………... 32

B. Identivikasi Variabel Penelitian ………. 32

C. Definisi Operasional ………... 32

D. Subyek Penelitian………. 34

E. Prosedur Penelitian ………. 34

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ………. 35

G. Validitas dan Reliabilitas ………...……… 37

1. Validitas ……… 37

2. Reliabilitas ……….……... 37

H. Metode Analisis Data ………. 38

(4)

B. Pelaksanaan Penelitian ……… 41

C. Hasil Penelitian ……….. 42

1. Uji Asumsi …….………..………. 42

a. Uji normalitas ….……..……… 42

b. Uji homogenitas ………...………. 42

2. Uji Perbedaan ………. 43

3. Perbedaan Rata-rata Mean ………. 44

D. Kategorisasi ………. 44

E. Pembahasan ………. 45

BAB V PENUTUP ……….………... 50

A. Kesimpulan ………. 50

B. Saran ……… 50 DAFTAR PUSTAKA

(5)

Tabel 1 : Perbedaan emosional dan Intelektual Antara

Laki-laki dan Perempuan ……….. 19

Tabel 2 : Skor Skala Motif Berprestasi ………. 36

Tabel 3 : Blue-print Skala Motif Berprestasi ……….… 36

Table 4 : Distribusi Aitem Pra-Uji coba Skala Motif Beprestasi ….…. 37 Tabel 5 : Rincian Aitem Yang Lulus Seleksi ……… ... 40

Tabel 6 : Distribusi Aitem Skala Motif Berprestasi ……….. 41

Tabel 7 : Ringkasan Hasil Uji-t ……….…… 43

Tabel 8 : Norma Kategorisasi ………..….. 44

Tabel 9 : Kategori Skor Motif Beprestasi ………. 45

Tabel 9.1 : Kriteria Kategorisasi Motif Berprestasi Remaja Laki-laki Etnik Jawa …...……….. 45

(6)
(7)

Agustina Ganik Nurmawati (2004). Perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa. Motif berprestasi sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, kebudayaan dan sistem sosial yang ada dalam masyarakat. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa, di mana motif berprestasi remaja laki-laki lebih tinggi dari pada remaja perempuan.

Subyek dalam penelitian ini berjumlah 108 orang. Terdiri dari laki-laki dan perempuan, berusia 15-17 tahun, duduk di kelas 2 SMU dan berasal dari etnik Jawa. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah skala.

(8)

Nurmawati, A. G (2004). The difference in need for achievement level on Javanese youth based on the point of view of sex. Yogyakarta: Department of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

This research was aimed at investigating the difference in need for achievement level on Javanese youth based on the point of view of sex. Need for achievement as result of interactions between people and environment is dependent from values, cultures and social system. The hypothesis proposed was that there was difference in the need of achievement level between male and female Javanese youth with the assumption that male was associated with the higher level of need for achievement than female.

Participant in this research were 108 students. They are male and female, aged 15-17, at second class and have a javanese ethnical status. The method of data collecting used in this research was scale.

The test of hypothesis makes use of Independent SampletT-Test. From the analysis of research data, it was shown that p value was 0,044. This result indicated p<0,05 suggesting that there was difference in the need for achievement level between boy and girl on Javanese culture. It suggested that the hypothesis was accepted. While theoretical mean was 90, mean for male Javanese youth was 112,23 and mean for female Javanese youth was 108,03. Both empirical means were higher than the teoretical. Thereby, both group of participant were associated with the higher level of need for achievement.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prestasi tinggi adalah dambaan setiap orang karena suatu keberhasilan akan menumbuhkan rasa bangga bagi individu di dalam hidupnya, baik di tempat kerja, sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Keberhasilan individu dalam suatu bidang dapat dicapai jika ada dorongan dalam diri individu untuk mencapai suatu keberhasilan. Dorongan ini dikenal dengan sebutan motif berprestasi. Motif berprestasi dalam hal ini adalah motif yang mendorong individu untuk mencapai sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan berbagai keunggulan (Standard of Excellence). Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasi sendiri sebelumnya atau prestasi orang lain. Oleh karena itu, individu dengan motif berprestasi yang tinggi akan menunjukkan kesiapan untuk selalu berusaha terus menerus dalam meraih kesuksesan dan harapan yang tinggi.

(10)

Keinginan untuk berprestasi tidak hanya dimiliki oleh orang dewasa saja melainkan juga dimiliki oleh remaja, bahkan prestasi menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja dan menjadi bagian dari nilai-nilai yang dominan dalam budaya anak muda (Coleman dalam Surakhmad, 1980: 38). Minat remaja pada prestasi menunjukkan bahwa motif berprestasi telah dimiliki oleh remaja. Motif berprestasi akan berkembang menjadi minat pada prestasi.

Pada masa remaja, individu mengalami berbagai perubahan dalam minat, antara lain minat pada prestasi. Minat pada prestasi menyebabkan remaja, baik remaja laki-laki maupun remaja perempuan berusaha untuk berprestasi tinggi, bahkan menimbulkan persaingan di kalangan remaja sebagai akibat dari terjadinya integrasi pola-pola motif berprestasi yang mengandung kompetisi dengan diri sendiri dan dengan orang lain pada masa remaja (Veroff dalam Martaniah, 1984: 51). Keadaan ini tampak dalam kehidupan sehari-hari dimana para remaja terlihat aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik diantara teman-temannya.

(11)

perlakuan, pandangan dan harapan masyarakat terhadap masing-masing individu.

Saat individu dilahirkan, ia telah digolongkan kedalam salah satu jenis kelamin berdasarkan alat kelaminnya. Sejak saat itu ia diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Nantinya ia diharapkan dapat berperilaku dan berperan sesuai dengan jenis kelaminnya tersebut.

Adanya penggolongan identitas berdasarkan jenis kelamin menyebabkan adanya perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perlakuan ini diterapkan sejak dini dalam kehidupan anak. Misalnya dalam hal warna baju, dekorasi kamar, dan lain-lain. Selain itu orang tua mengharapkan anak perempuan bersikap sopan, lemah lembut dan patuh sedangkan anak laki-laki diharapkan untuk mandiri dan tidak cengeng.

Adanya perbedaan perlakuan menunjukkan adanya peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki diharapkan bertanggung jawab dalam mencari nafkah sedangkan perempuan diharapkan untuk merawat, mendidik anak dan mengurus rumah tangga. Pembagian peran tersebut diterapkan sejak masa kanak-kanak misalnya dalam hal jenis permainan, pembagian tugas, hak, dan tanggung jawab.

(12)

perempuan. Meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama dibutuhkan tenaganya dalam mengerjakan sawah atau mengerjakan pekerjaan rumah, namun sering laki-laki lebih diistimewakan daripada perempuan. Contohnya dalam hal pembagian harta warisan, ada istilah sepikul-segendongan yang artinya anak laki-laki memperoleh 2/3 bagian sedangkan anak perempuan hanya mendapat 1/3 bagian (Herusatoto, 1984: 106).

Di dalam lingkungan kebudayaan Jawa pemisahan peran antara laki-laki dan perempuan telah lama berlangsung. Sejak dahulu, berkembang sebuah sistem yang dikenal dengan sistem patriarki. Dalam sistem patriarki, yang berkuasa dalam keluarga adalah bapak. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam keluarga, masyakat, dan lain sebagainya (Ervita, 2002: 10). Perempuan hanya sebagai konco wingking (teman di belakang) yang berfungsi melahirkan, memasak dan berhias.

Dalam setiap kegiatan yang melibatkan kedua jenis kelamin, laki-laki diharapkan berperan sebagai pemimpin. Meskipun biasanya anak perempuan juga dapat berperan sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan ini, namun pada umumnya anak laki-laki lebih diberi kesempatan dari pada anak perempuan. Keadaan ini menurut Jay (dalam Andi, 2002: 13) disebabkan karena dalam budaya Jawa seorang laki-laki dipandang sebagai orang yang kuat, berinisiatif, berpengetahuan dan berdiri sebagai pemimpin.

(13)

laki-laki berusaha mencapai prestasi yang lebih baik dari pada anak perempuan. Anak perempuan mungkin mengetahui atau menduga bahwa prestasi yang ia capai sama atau bahkan melebihi prestasi yang dicapai oleh anak laki-laki. Namun sebagai pihak yang berada dalam posisi yang “tidak menguntungkan”, ia tidak mengungkapkan kemampuannya tersebut. Meskipun anak perempuan tidak mengungkapkan kemampuannya dalam bentuk perilaku prestasi namun tidak berarti mereka memiliki motif berprestasi yang rendah. Sebab motif berprestasi bersifat laten, tidak terlihat begitu saja dari perilaku, kadang-kadang malah berlawanan dengan perilaku yang tampak.

Berdasarkan telaah diatas, dapat diduga bahwa dalam masyarakat Jawa, laki-laki dan perempuan tidak hanya berbeda secara fisik. Mereka juga memiliki peran yang berbeda, dan menghadapi perlakuan dan harapan yang berbeda dari lingkungan. Tetapi apakah mereka juga memiliki tingkat motif berprestasi yang berbeda? Inilah yang akan penulis coba teliti dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

(14)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

• Memberikan bukti empiris tentang penelitian yang berkaitan dengan

tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

2. Manfaat praktis

• Memberikan informasi bagi para pembaca mengenai motif berprestasi

(15)

BAB II

LANDASAN TEORETIS

A. Motif Berprestasi 1. Pengertian Motif

Di dalam psikologi terdapat banyak teori atau konsep tentang motif. Berikut ini adalah konsep mengenai motif menurut beberapa ahli.

McClelland (1967, dalam Martaniah, 1984: 13) berpendapat bahwa semua motif didapat dari hasil belajar. Motif merupakan dorongan untuk berubah dalam kondisi yang efektif. Motif, menurutnya tidak dapat dilihat begitu saja dari perilaku, karena motif tidak selalu seperti yang tampak, kadang-kadang malah berlawanan dengan yang tampak.

Atkinson (dalam Martaniah, 1984: 13) menganggap motif sebagai suatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu. Tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi, ataupun kekuasaan.

Gerungan (1988: 140-141) berpendapat bahwa motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan, dorongan-dorongan, hasrat, keinginan dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu.

(16)

pengertian motif menurut Purwanto (1992: 60) adalah: segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu.

Menurut Handoko (1992: 9) motif merupakan suatu dorongan yang menyebabkan seorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan tertentu. Selanjutnya Handoko menjelaskan bahwa berdasarkan asalnya, motif dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Motif biogenetis

Motif biogenetis merupakan motif berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya secara biologis. Motif ini bersifat universal, artinya tidak terikat pada umur, jenis kelamin, suku, daerah dan lain-lain. Motif biogenetis juga tidak terikat pada lingkungan kebudayaan tempat orang hidup dan berkembang. Yang termasuk di dalam golongan motif biogenetis adalah motif lapar, haus, seks, bernafas dan istirahat. 2. Motif sosiogenetis

Motif sosiogenetis berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang berada dan berkembang. Motif ini tidak bergantung pada keadaan fisiologis individu melainkan timbul sebagai akibat dari interaksi dengan orang atau hasil kebudayaan. Dengan kata lain motif ini bergantung pada lingkungan.

(17)

berhubungan dengan lingkungan dan muncul dalam keadaan tidak darurat. Yang termasuk motif darurat adalah motif untuk melepaskan diri dari bahaya, motif untuk melawan, motif untuk mengatasi rintangan dan motif untuk mengejar. Sedangkan yang dapat digolongkan ke dalam motif objektif adalah motif eksplorasi (motif untuk memeriksa dan menyelidiki) dan motif manipulasi (motif untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu terhadap objek). Salah satu contoh motif yang termasuk motif sosiogenetis adalah motif berprestasi.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa motif adalah suatu keadaan atau dorongan yang berasal dari dalam diri individu yang menggerakkan dan mengarahkan seseorang untuk bertingkah laku. Ada motif yang dibawa sejak lahir seperti motif biogenetis dan ada motif sosiogenetis yang adanya karena pengaruh luar, yang dipelajari dan timbul sebagai akibat dari interaksi individu dengan orang atau hasil kebudayaan dimana individu tersebut berada dan berkembang.

2. Pengertian Motif Berprestasi

Menurut Heckhausen (dalam Martaniah, 1984: 22), penelitian mengenai motif berprestasi telah dimulai semenjak Narziss Ach pada tahun 1910, dan kemudian diteruskan oleh Kurt Lewin pada tahun 1926. Tetapi yang berhasil mengembangkan dan menyebarluaskan konsep motif berprestasi adalah McClelland.

(18)

mendefinisikan motif berprestasi sebagai usaha untuk mencapai sukses, yang bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasi orang lain, akan tetapi dapat juga berupa prestasi sendiri sebelumnya. Sejalan dengan McClelland, Heckhausen (dalam Martaniah, 1984: 23) menjelaskan motif berprestasi sebagai suatu usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan kecakapan pribadi setinggi mungkin dalam segala aktivitas, dan suatu ukuran keunggulan dipakai sebagai pembanding. Heckhausen membedakan tiga ukuran keunggulan: pertama yang berhubungan dengan tugas, yaitu menilai berdasar kesempurnaan hasil; kedua adalah yang berhubungan dengan diri sendiri, yaitu membandingkan dengan hasil sendiri atau prestasi sendiri sebelumnya; dan ketiga adalah yang berhubungan dengan orang lain, yaitu membandingkan dengan hasil orang lain.

Menurut Maslow (1984: 50-51), setiap manusia memiliki kebutuhan untuk berprestasi. Kebutuhan untuk berprestasi tersebut merupakan bagian dari kebutuhan harga-diri dalam hierarki kebutuhan Maslow. Lebih jauh Maslow menjelaskan bahwa pemenuhan akan harga-diri membawa perasaan percaya pada diri sendiri, kegunaan, kapabilitas, kelaikan dan rasa diperlukan oleh dunia.

(19)

usaha-usaha untuk melebihi perbuatan yang lampau, dan untuk mengungguli orang lain.

Dari uraian mengenai motif berprestasi di atas dapat disimpulkan bahwa motif berprestasi adalah usaha yang dilakukan individu untuk mempertahankan kecakapan pribadi setinggi mungkin, untuk mengatasi rintangan-rintangan dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasi sendiri sebelumnya, prestasi orang lain dan dapat pula kesempurnaan tugas.

3. Ciri-ciri Individu Yang Mempunyai Motif Berprestasi Tinggi

Dari hasil-hasil penelitian dan eksperimen-eksperimen yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ada sifat-sifat tertentu yang khas yang dimiliki oleh individu-individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi.

Menurut McClelland (1985: 246-253) karakteristik individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi adalah sebagai berikut:

a. Memiliki tanggung jawab pribadi b. Inovatif

c. Membutuhkan umpan balik terhadap hasil kerja

d. Cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan moderat.

Berdasarkan hasil penelitiannya bersama Potipan, Weiner (dalam Martaniah, 1984: 25-26) berpendapat bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi adalah orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) mengatribusikan sukses pada usaha, dan mengatribusikan kegagalan pada

(20)

2) menganggap penyebab sukses adalah kemampuan yang tinggi, sedang yang mempunyai motif berprestasi rendah, menganggap penyebab kegagalan karena kekurangan kemampuan.

3) melihat usaha sebagai sesuatu yang menentukan hasil, sedang yang mempunyai motif berprestasi rendah, tidak melihat usaha sebagai sesuatu yang menentukan hasil.

4) secara relatif mempunyai kemampuan yang tinggi.

Atkitson (dalam Victoria, 2002: 24-25) menyebutkan ciri-ciri individu yang memiliki motif berprestasi yang tinggi adalah sebagai berikut:

a. Free Choice

Individu yang memiliki motif berprestasi yang tinggi menyenangi aktivitas-aktivitas yang prestatif dan mengaitkan keberhasilan dengan kemampuan dan usaha yang keras. Dia bangga terhadap keberhasilannya dan selalu berusaha untuk meningkatkan segala kemungkinan untuk berprestasi.

b. Presistence Behavior

Individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi memiliki usaha dan harapan untuk berhasil yang tinggi.

c. Intensity of Performance

(21)

d. Risk Performance

Individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi memiliki pertimbangan untuk memilih resiko yang sedang, artinya tidak terlalu mudah dan tidak pula terlalu sukar.

Menurut Morgan (dalam Sri, 2002: 17), orang-orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi memiliki ciri-ciri:

1. Cenderung mengerjakan tugas-tugas yang menantang dirinya, namun yang sesuai dengan batas kemampuannya.

2. Lebih suka menghadapi tugas-tugas yang tidak terlalu mudah tetapi juga tidak terlalu sukar baginya.

3. Cenderung membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain untuk memperoleh umpan balik tentang hasil kerjanya di antara pekerjaan orang lain.

4. Berkemauan keras untuk menyelesaikan tugas-tugas yang ada hubungannya dengan karier atau yang sesuai dengan ciri-ciri kepribadiannya.

5. Senantiasa ingin meraih sukses lain bila suatu sukses tertentu telah diraihnya. Artinya ia tidak cepat puas dengan sukses sebelumnya.

6. Menyukai pekerjaan yang hasilnya dapat diperhitungkan dengan sungguh-sungguh bukan sekedar untung-untungan.

(22)

dan usaha untuk sukses dan dapat memperhitungkan dengan sunguh-sungguh, baik kemampuan yang dimiliki maupun tugas atau rintangan yang dihadapi. 4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motif Berprestasi

Motif berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a. Pola asuh

Pola asuh memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan motif berprestasi seorang anak (McClelland dalam Martaniah, 1984: 20). Motif berprestasi akan berkembang dengan baik pada keluarga dimana orang tua tanggap terhadap kebutuhan anak-anaknya dan tidak menuntut anak di luar batas kemampuannya, dibandingkan pada keluarga dimana orang tua selalu menuntut atau terlalu memanjakan atau tidak memperdulikan anak-anak mereka.

b. Tingkat pendidikan orang tua

Menurut Suroso (1987: 40), tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap cara ibu mengasuh anak. Tingkat pendidikan secara tidak langsung akan menimbulkan aspirasi dan motivasi untuk mendorong anak berprestasi setinggi-tingginya.

c. Etnis

(23)

yang besar kepada individu untuk mengembangkan motif berprestasi, maka individu tersebut akan memiliki motif berprestasi yang tinggi. Sebaliknya, bila kebudayaan tidak memberikan dukungan dan perhatian terhadap pengembangan motif berprestasi maka individu dalam kebudayaan tersebut cenderung memiliki motif berprestasi yang rendah. Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa pola asuh, tingkat pendidikan orang tua dan etnis merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motif berprestasi. Meskipun demikian, karena penelitian ini berkaitan dengan kebudayaan Jawa, maka etnis akan menjadi faktor yang paling diperhatikan.

B. Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan dalam Budaya Jawa 1. Pengertian Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1996: 206).

Masa remaja adalah periode perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja dini (pada saat individu mengalami pubertas); remaja tengah, usia 15-17 tahun dan remaja lanjut, antara usia 17 dan 18 tahun-21 tahun (Gunarsa, 1986: 203-204)

(24)

Selain perkembangan fisik, pada masa remaja juga terjadi perkembangan fungsi-fungsi psikologis. Pada masa remaja ini terjadi peningkatan kekuatan mental, sehingga terjadi peningkatan dalam mengemukakan pendapat, dalam kemampuan berpikir, dalam memahami, dan dalam kemampuan mengingat. Karena adanya peningkatan dalam kemampuan mental ini, remaja mempunyai perhatian terhadap lingkungan yang bersifat intelektual dan sosial (Martaniah, 1984: 49).

Perkembangan sosial remaja juga mengalami peningkatan. Remaja lebih banyak melakukan aktivitas dengan teman sebayanya dan membuat garis batas baik antara dirinya dan orang tua maupun dengan dunia anak-anak. Pada masa remaja ini individu sangat memikirkan pendapat orang lain mengenai dirinya, dan berusaha mendapatkan peran dalam masyarakat (Erikson, 1989: 391).

Berikut ini adalah tugas-tugas perkembangan pada masa remaja menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1996: 10):

1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya

(25)

7. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja, individu mengalami perkembangan, baik perkembangan fisik, psikologis maupun sosial. Perkembangan ini disertai perubahan minat, peran dan pola perilaku. Pada masa remaja, individu membentuk suatu hubungan sosial baru, bergaul dan melakukan berbagai aktivitas dengan teman-teman seusianya dan sangat memikirkan pendapat orang lain tentang dirinya.

2. Laki-laki dan Perempuan

Jenis kelamin adalah suatu komponen yang kritis dalam identitas seseorang (Mahmud, 1990: 63). Jenis kelamin membedakan manusia ke dalam dua kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya ditandai oleh organ-organ reproduksi saja, melainkan meliputi ciri-ciri atau sifat-sifat ( biologis maupun psikologis) lainnya yang menandai seseorang sebagai laki-laki dan perempuan (Gilarso dalam Adimassana, 2001: 64).

(26)

berfungsi sebagai alat reproduksi dalam meneruskan keturunan. Sedangkan perempuan mengalami menstruasi, perasaan yang sensitif, serta ciri-ciri fisik dan postur yang berbeda dengan laki-laki, serta bentuk pinggul yang lebih besar dari pada laki-laki (Ervita, 2002: 3).

Selain memiliki identitas jenis kelamin, bentuk dan anatomis tubuh yang berbeda, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan ini menimbulkan akibat-akibat fisik biologis, seperti laki-laki mempunyai suara besar, berkumis, berjenggot, pinggul lebih ramping, dada yang datar. Sementara perempuan mempunyai suara yang lebih bening, buah dada menonjol, pinggul umumnya lebih lebar, dan organ reproduksi yang amat berbeda dengan laki-laki (Ervita, 2002: 6).

(27)

Tabel 1

Perbedaan Emosional dan Intelektual Antara Laki-laki dan Perempuan

Laki-laki Perempuan

- Sangat agresif - Independen - Tidak emosional

- Dapat menyembunyikan emosi - Lebih objektif

- Tidak mudah terpengaruh - Tidak submisif

- Sangat menyukai pengetahuan eksata - Tidak mudah goyah terhadap krisis - Lebih aktif

- Lebih kompetitif - Lebih logis - Lebih mendunia

- Lebih terampil berbisnis - Lebih berterus terang

- Memahami seluk beluk perkembangan dunia

- Berperasaan tidak mudah tersinggung - Lebih suka bertualang

- Mudah mengatasi persoalan - Jarang menangis

- Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin

- Penuh rasa percaya diri

- Lebih banyak mendukung sikap agresif

- Lebih ambisi

- Lebih mudah membedakan rasa dan rasio

- Lebih merdeka

- Tidak canggung dalam penampilan - Pemikiran lebih unggul

- Lebih bebas berbicara

- Tidak terlalu agresif - Tidak terlalu independen - Lebih emosional

- Sulit menyembunyikan emosi - Lebih subjektif

- Mudah terpengaruh - Lebih submisif

- Kurang menyenangi eksata - Mudah goyah terhadap krisis - Lebih pasif

- Kurang kompetitif - Kurang logis

- Berorientasi ke rumah - Kurang terampil berbisnis - Kurang berterus terang

- Kurang memahami perkembangan seluk beluk dunia

- Berperasaan mudah tersinggung - Tidak suka bertualang

- Sulit mengatasi persoalan - Lebih sering menangis

- Tidak umum tampil sebagai pemimpin

- Kurang rasa percaya diri

- Kurang senang terhadap sikap agresif

- Kurang ambisi

- Sulit membedakan antara rasa dan rasio

- Kurang merdeka

- Lebih canggung dalam penampilan - Pemikiran kurang unggul

- Kurang bebas berbicara

(28)

Perlakuan dan harapan masyarakat terhadap masing-masing jenis kelamin untuk memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu merupakan bagian dari sebuah konstruk sosial yang dikenal dengan sebutan stereotipe gender.

Secara umum stereotipe gender adalah keyakinan yang diterapkan pada gender yaitu pria dan wanita. Konsep ini dapat pula dikatakan sebagai keyakinan mengenai pria atau wanita, yang merupakan generalisasi yang dibuat orang tentang wanita atau pria; generalisasi trait-trait yang dianggap mewakili ciri-ciri pria atau wanita; generalisasi tentang tingkah laku yang dianggap mempresentasikan kelompok gender tersebut; juga generalisasi tentang peran-peran yang dianggap cocok untuk mempresentasikan kelompok pria atau wanita (Muluk dalam Handayani, 2002: 9).

Sejak lahir, anak laki-laki dan perempuan dibiasakan berperilaku sesuai dengan ketentuan-ketentuan masyarakat sehubungan dengan perilaku mana yang semestinya untuk laki-laki dan perilaku mana yang seharusnya bagi anak perempuan. Sifat-sifatyang diharapkan dimiliki oleh laki-laki lazim disebut sifat maskulin. Sedangkan sifat-sifat yang dikenakan untuk perempuan, lazim disebut sifat feminin (Gilarso dalam Adimassana, 2001: 65).

(29)

suka bereksplorasi, agresif, aktif, egois (Gilarso dalam Adimassana, 2001: 65; Mahmud, 1990: 63). Dengan sifat-sifat seperti itu, laki-laki dianggap lebih pantas bekerja diluar rumah, lebih mampu mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan pikiran, tegas dalam mengambil keputusan dan dapat diandalkan sebagai pemimpin. Sedangkan perempuan, dengan sifat-sifat yang feminin, dianggap lebih pantas merawat anak, suami dan mengurus rumah tangga.

Para psikolog yang menyetujui teori bahwa perbedaan ciri-ciri pria dan wanita tersebut berasal dari kebudayaan masyarakat, berpendapat bahwa ciri-ciri atau peran-peran yang diberikan kepada laki-laki tidak mesti dimiliki oleh laki-laki saja, melainkan dapat dimiliki pula oleh perempuan. Sebaliknya, peran-peran yang diberikan kepada perempuan tidak mesti hanya dimiliki oleh perempuan, melainkan dapat dimiliki pula oleh laki-laki. Kedua macam ciri-ciri, maskulin dan feminin itu dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, hanya saja kadar atau tingkatannya dapat berbeda-beda.

(30)

harus dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin karena kadarnya dapat berbeda-beda pada setiap orang. Selain itu, sifat-sifat ini sangat bergantung pada lingkungan kebudayaan dimana individu berada dan berkembang.

3. Sekilas tentang Etnik Jawa

Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun-menurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-hari serta berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Herusatoto, 1983: 42). Seperti halnya etnik lain di Indonesia, etnik Jawa memiliki kebudayaan, nilai-nilai dan kebiasaan tertentu.

(31)

Selain menjunjung tinggi sikap hidup, pola pergaulan dalam mayarakat Jawa ditentukan oleh dua kaidah pokok (Suseno, 1958: 38-81), yaitu: prinsip kerukunan dan prinsip hormat.

(1) Prinsip kerukunan

Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud saling membantu” (Mulder, 1978: 39).

Prinsip kerukunan menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat dan menjaga agar ketentraman dalam masyarakat tidak terganggu, jangan sampai nampak adanya perselisihan dan pertentangan. Dalam bertindak, prinsip kerukunan menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan, bahkan, kalau perlu, untuk melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama.

(2) Prinsip hormat

Prinsip hormat berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis. Prinsip ini dijalankan secara luas, tidak hanya di lingkungan keluarga saja tetapi juga di lingkungan kerja dan masyarakat.

(32)

terbuka dapat dihindari dan dalam setiap situasi, keselarasan yang telah terbentuk di dalam masyarakat dapat terus terjaga dan terpelihara.

4. Stereotipe Gender Laki-laki dan Perempuan dalam Budaya Jawa

Berkaitan dengan stereotipe gender, dalam budaya Jawa peran kaum wanita masih ditentukan oleh sistem kekuasaan feodal aristokratik. Menurut Kayam (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: 27) sistem ini telah menetapkan wanita untuk memiliki peran atau role menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung”. Kodrat wanita adalah sebagai mahluk dengan tugas utama (dan mulia) sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, lebih emosional dan fisiknya kurang kuat. Dengan “kodrat” seperti itu, wanita dianggap lebih pantas bekerja di sektor domestik (berkaitan dengan urusan rumah tangga). Dalam bahasa Jawa dikenal “3M”, manak (melahirkan), masak (memasak), dan macak (berhias). Bila perempuan dianggap lebih pantas bekerja di sektor domestik maka laki-laki dianggap lebih pantas bekerja di sektor publik (berkaitan dengan dunia luar) seperti mencari nafkah.

(33)

berkembang dalam masyarakat Jawa, maka masyarakat cenderung memandang laki-laki sebagai pihak yang dominan dan lebih berkuasa daripada perempuan.

Sistem patriarki adalah sebuah konsep yang menegaskan bahwa pemegang kekuasaan dalam keluarga adalah bapak (Ervina, 2002: 10). Bapak adalah kepala keluarga. Setiap keputusan yang menyangkut keluarga harus sepengetahuan dan disetujui oleh bapak. Bahkan hubungan dengan publik (masyarakat) sebagian besar dilakukan oleh bapak. Posisi istri dan anak-anak lebih rendah. Oleh sebab itu, mereka harus taat dan patuh pada setiap perkataan dan keputusan yang telah ditetapkan oleh bapak. Kondisi ini sedikit demi sedikit dipelajari oleh setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka kemudian meyakini bahwa keadaan tersebut adalah wajar dan berusaha memainkan peran yang sudah mereka pelajari sesuai jenis kelaminnya.

(34)

C. Perbedaan Tingkat Motif Berprestasi Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan Etnik Jawa

Dalam masyarakat Jawa, keberadaan individu sangat ditentukan oleh masyarakat. Masyarakatlah yang menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh individu, tentang hal-hal yang positif dan negatif (Gatut, 1999: 16). Oleh sebab itu ketergantungan individu pada kelompok masyarakat sangatlah besar.

Nilai ketergantungan individu pada kelompok dan keamanan dalam kelompok amat ditunjang oleh pengalaman-pengalaman sosialisasi pada masa anak. Seorang anak yang dilahirkan dalam masyarakat Jawa selalu dilindungi dan dimanja oleh lingkungan (Mulder, 1986: 67). Secara tradisional, sedikit sekali keinginan atau usaha untuk membiarkan anak-anak mengembangkan ketidaktergantungan. Bahkan persaingan antar anak tidak diperbolehkan (Geertz dalam Mulder, 1986: 68).

(35)

mempunyai hak penuh yang disegani oleh “pengikut-pengikutnya” (isteri, anak-anaknya, dan lain sebagainya). Sedangkan perempuan adalah sebagai konco wingking (teman dibelakang) yang memiliki peran domestik dan kedudukannya lebih rendah dari pada laki-laki. Sebagai seorang isteri, perempuan harus tunduk, taat, patuh pada suami dan pada kebijaksanaannya. Menurut Ibrahim dan Suranto (1998: 27) keadaan ini telah lama berlangsung dan telah menjadi stereotipe gender tradisional masyarakat Jawa.

(36)

telah dibiasakan pada anak perempuan sedini mungkin. Hal ini tampak jelas pada jenis permainan dan tugas yang diberikan kepada anak perempuan. Dalam berperilaku, anak perempuan dituntut untuk bersikap sopan, lemah lembut dan patuh. Dalam menghadapi kesulitan, anak perempuan boleh meminta bantuan pada orang lain dan dapat mengungkapkan kesulitannya dengan menangis. Bila melakukan kesalahan, anak perempuan lebih mudah dimaafkan daripada anak laki-laki. Dalam berbagai kegiatan yang melibatkan kedua jenis kelamin, perempuan biasanya ditempatkan sebagai sekretaris atau bendahara, sesuai dengan perannya di sektor domestik.

(37)
(38)

(berhubungan dengan sektor domestik) dan sedikit sekali kesempatan untuk melakukan hal lain diluar bidang tersebut. Selain itu, remaja perempuan hanya dituntut untuk berprestasi pada satu bidang saja, tidak seperti remaja laki-laki yang dapat dengan leluasa berprestasi diberbagai bidang. Perbedaan perlakuan dan harapan ini dapat melemahkan motif berprestasi dalam diri remaja perempuan. Akibatnya, remaja perempuan etnik Jawa cenderung memiliki motif berprestasi yang rendah.

D. Hipotesis

(39)
(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 1989: 29). Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab kemunculan variabel terikat (Kerlinger, 2000: 58). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang diramalkan dan dipandang sebagai akibat yang muncul oleh adanya variabel bebas (Kerlinger, 2000: 58). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah motif berprestasi.

C. Definisi Operasional

(41)

yang digunakan dan cara yang dipakai untuk mengukurnya (Kerlinger, 2000: 50). Berikut ini adalah definisi operasional dari jenis kelamin dan motif berprestasi:

a. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah ciri secara fisik yang dimiliki oleh seseorang yang mengkategorikan mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Keterangan mengenai jenis kelamin diperoleh dari pernyataan subjek dalam keterangan jenis kelamin di dalam kuesioner mereka.

b. Motif berprestasi

Motif berprestasi adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk mempertahankan kecakapan pribadi setinggi mungkin, untuk mengatasi rintangan-rintangan dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasi sendiri sebelumnya, prestasi orang lain dan dapat pula kesempurnaan tugas.

Motif berprestasi diukur melalui skala motif berprestasi. Dalam skala ini, tingkat motif berprestasi diukur lewat komponen motif berprestasi, yaitu:

1. Memiliki tanggung jawab pribadi 2. Inovatif

3. Membutuhkan umpan balik terhadap hasil kerja

(42)

Skor skala yang diperoleh menunjukkan derajat motif berprestasi individu. Semakin tinggi skor skala yang diperoleh, semakin tinggi derajat motif berprestasi individu.

D. Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ciri-ciri: 1. Remaja, baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 15-17 tahun 2. Siswa kelas 2 SMU

Alasan pemilihan subyek siswa kelas 2 adalah: saat di kelas dua, sosialisasi siswa dengan teman sebaya dan sistem pendidikan di sekolah telah berjalan dengan baik. Selain itu di kelas dua suasana persaingan lebih terasa, karena setiap siswa diharapkan dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk memilih jurusan di kelas tiga.

3. Etnik Jawa, yang bertempat tinggal di wilayah Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

E. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menyusun alat ukur motif berprestasi, yaitu Skala Motif Berprestasi dan melakukan uji coba

(43)

3. Menentukan subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan melakukan penelitian

4. Menganalisis hasil penelitian

5. Menarik kesimpulan berdasarkan hasil analisis data

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah skala, yaitu skala Motif Berprestasi. Skala ini termasuk jenis skala Likert dan disusun sendiri oleh penulis berdasarkan komponen motif berprestasi dari McClelland dan menggunakan metode summated rating, yaitu: metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Gable dalam Azwar, 2000: 39).

Untuk setiap pernyataan diberikan 4 kategori jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Dalam Kategori jawaban ini, kategori tengah atau netral ditiadakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kecenderungan subjek untuk memilih jawaban ke arah tengah, sebab kecenderungan ini dapat mengurangi data atau informasi yang dapat dijaring dari responden (Hadi, 1991: 20).

(44)

isinya tidak mendukung, tidak memihak atau tidak menunjukkan ciri adanya atribut yang hendak diukur.

Berikut ini adalah penskoran Skala Motif Berprestasi untuk setiap pernyataan yang Favorabel dan Unfavorabel:

Tabel 2

Skor Skala Motif Berprestasi

Pernyataan Jawaban

Favorabel Unfavorabel

SS 4 1 S 3 2 TS 2 3 STS 1 4

Dalam pemberian skor, respon positif yang diberikan subyek pada pernyataan favorabel akan mendapat skor yang lebih tinggi dari pada respon yang negatif. Sedangkan untuk pernyataan yang unfavorabel, respon negatif akan mendapat skor yang lebih tinggi dari pada respon yang positif.

Berikut ini adalah blue print dan distribusi aitem uji coba Skala Motif Berprestasi:

Tabel 3

Blue-print Skala Motif berprestasi

Komponen Favorabel Unfavorabel Total

Tanggung jawab pribadi 6 6 12

Inovatif 6 6 12

Membutuhkan umpan balik terhadap hasil kerja

6 6 12

Memilih tugas dengan tingkat kesulitan moderat

6 6 12

(45)

Tabel 4

Distribusi Aitem Pra-Uji coba Skala Motif Berprestasi

Komponen Favorabel Unfavorabel Total

Tanggung jawab pribadi 4, 5, 6, 17, 22, 25 7, 9, 11, 13, 14, 48

12

Inovatif 1, 3, 15, 24, 30,

34

2, 8, 18, 27, 39, 41

12 Membutuhkan umpan balik

terhadap hasil kerja

21, 23, 26, 31, 33, 42

12, 28, 37, 38, 40, 43

12 Memilih tugas dengan tingkat

kesulitan sedang

16, 19, 32, 35, 44, 46

10, 20, 29, 36, 45, 47

12

Total 24 24 48

G. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Artinya, sejauh mana skala itu mampu mengukur atribut yang hendak diukur (Azwar, 1999: 7).

Validitas yang digunakan oleh penulis adalah validitas isi. Validitas isi diukur lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional dalam proses telaah soal. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah isi skala memang layak digunakan untuk mengungkap atribut yang hendak diukur (Azwar, 1999: 99). 2. Reliabilitas

Reliabilitas menunjuk kepada taraf keterpercayaan atau taraf konsistensi hasil ukur (Azwar, 1999: 95). Dalam aplikasinya, reliabilitas yang dinyatakan oleh koefisien reliablitas (rxxُ) yang angkanya berada dalam rentang dari 0

(46)

1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Pada umumnya, reliabilitas telah dianggap memuaskan bila koefisiennya mencapai minimal rxxُ = 0,900.

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengolah data, menganalisis hasil penelitian untuk menguji kebenarannya (Rusnani dalam Bowo, 2002: 34). Karena data yang diperoleh dari penelitian ini berupa angka-angka maka metode yang digunakan adalah metode statistik.

(47)

BAB IV

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian 1. Uji coba alat penelitian

Uji coba ini dimaksudkan untuk mengetahui daya beda aitem dan reliabilitas alat penelitian yang akan digunakan dalam penelitian sesungguhnya.

Pada saat uji coba, skala yang disebar sebanyak 90 dan yang kembali sebanyak 74 skala. Kelompok uji coba terdiri dari 34 laki-laki dan 40 perempuan. Dari seluruh data yang terkumpul, yang layak diseleksi adalah sebanyak 65 buah karena 9 diantaranya tidak memenuhi kriteria yang telah ditentukan.

2. Analisis Data Hasil Uji coba • Uji daya beda item

Uji daya beda item dilakukan untuk memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala (Azwar, 1999: 59).

Untuk melakukan uji beda aitem digunakan formula koefisien korelasi product-moment Pearson dengan bantuan komputer, yaitu dengan program SPSS versi 11.0 for windows. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi item-total (rix) yang dikenal pula dengan sebutan parameter daya

(48)

Rumusan formula Pearson adalah sebagai berikut: Σix – (Σi) (Σx) / n

rix =

√ [Σi²- (Σi)² / n] [Σx²- (Σx)² / n]

keterangan:

i = skor aitem X = skor skala

n = banyaknya subjek

Sebagai kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi item-total, digunakan batasan rix = 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal

0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan (Azwar, 1999: 65).

Setelah dianalisis, dari 48 aitem yang diuji coba, aitem yang memenuhi persyaratan, yaitu yang memiliki koefisien korelasi (rix) = 0,30 sebanyak

36 aitem dengan perincian sebagai berikut: Tabel 5

Rincian Aitem Yang Lulus Seleksi

Komponen Favorabel Unfavorabel Total

Tanggung jawab pribadi 4, 5, 6*, 17, 22, 25

7*, 9, 11, 13*, 14, 48

9 Inovatif 1, 3, 15, 24, 30,

34

2*, 8*, 18*, 27, 39, 41

9 Membutuhkan umpan balik

terhadap hasil kerja

21, 23, 26*, 31, 33, 42

12, 28*, 37, 38, 40, 43*

9 Memilih tugas dengan

tingkat kesulitan sedang

16, 19, 32, 35*, 44, 46

10*, 20, 29, 36*, 45, 47

9

Total 21 15 36

keterangan: * = aitem yang gugur

(49)

Tabel 6

Distribusi Aitem Skala Motif Berprestasi

Komponen Favorabel Unfavorabel Total

Tanggung jawab pribadi 3, 4, 11, 15, 18 5, 6, 8, 36 9 Inovatif 1, 2, 9, 17, 21, 25 19, 28, 30 9 Membutuhkan umpan balik

terhadap hasil kerja

14, 16, 22, 24, 31 7, 26, 27, 29 9 Memilih tugas dengan

tingkat kesulitan sedang

10, 12, 23, 32, 34 13, 20, 33, 35 9

Total 21 15 36

• Estimasi reliabilitas

Estimasi reliabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa tinggi taraf keterpercayaan atau taraf konsistensi hasil ukur (Azwar, 1999: 95).

Estimasi reliabilitas dilakukan dengan bantuan komputer dengan

menggunakan metode α-Cronbach. Dari hasil analisis, diperoleh koefisien

reliabilitas sebesar 0,9110. Hal ini menunjukkan bahwa skala tersebut memiliki taraf keterpercayaan yang cukup memuaskan.

B. Pelaksanaan Penelitian

(50)

C. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi

a. Uji normalitas

Sebelum melakukan uji-t, penulis melakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian mengikuti distribusi normal atau tidak. Untuk uji normalitas, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Bila p > 0,05 berarti distribusi data penelitian mengikuti distribusi normal. Sebaliknya, bila p < 0,05 berarti distribusi data tidak mengikuti distribusi normal.

Dari hasil analisis, didapatkan tingkat signifikansi atau nilai probabilitas untuk kedua gender sebagai berikut: nilai p laki-laki: 0,200 dan nilai p untuk perempuan: 0,200. Nilai p > 0,05. Hal ini berarti distribusi data penelitian mengikuti distribusi normal.

b. Uji homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel penelitian memiliki varians yang sama. Pengujian homogenitas menggunakan Levene’s test. Jika p > 0,05 berarti sampel-sampel mempunyai varians yang sama. Sebaliknya, jika p < 0,05 berarti sampel-sampel mempunyai varians yang berbeda.

(51)

2. Uji Perbedaan

Uji perbedaan atau uji-t dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian ini, yaitu ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan bantuan komputer yaitu menggunakan Independent Sample T Test, program SPSS versi 11.0 for windows.

Berikut ini adalah ringkasan hasil uji-t yang diperoleh melalui penghitungan statistik:

Tabel 7

Ringkasan Hasil Uji-t

JK N Mean Mean dif t p Ket

Laki-laki 47 112,23

Perempuan 61 108,03 4,20 2, 034 0,044

p < 0,05 signifikan

Ho : tidak ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

Ha : ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

Pengujian hipotesis berdasarkan nilai probabilitas: Jika p > 0,05 maka Ho diterima

Jika p < 0,05 maka Ho ditolak

(52)

3. Perbedaan Rata-rata Mean.

Besarnya mean kedua kelompok adalah sebagai berikut: untuk laki-laki adalah 112,23 dan untuk perempuan adalah 108,03. Maka perbedaan mean adalah sebesar 112,23 – 108,03 = 4,20.

D. Kategorisasi

Tujuan kategorisasi adalah menempatkan individu kedalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur. Kontinum jenjang yang digunakan adalah dari rendah ke tinggi.

Norma kategorisasi yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 8

Norma Kategorisasi

Rentang Kategori X < (µ - 1,0σ) Rendah

(µ - 1,0σ ) ≤ X < (µ + 1,0σ) Sedang (µ + 1,0σ) ≤ X Tinggi

Keterangan : µ = mean teoritis

σ = satuan deviasi standar

(53)

σ = 108 / 6 = 18 dan mean teoretisnya adalah µ = 36 x 2,5 = 90. Dengan nilai

σ = 18 akan diperoleh kategori-kategori skor motif berprestasi:

Tabel 9

Kategori Skor Motif Berprestasi

Rentang Kategori X < (90 – 1,0.18) Rendah

(90 - 1,0.18 ) ≤ X < (90 +1,0.18) Sedang (90 + 1,0.18) ≤ X Tinggi

untuk lebih jelasnya, kategori motif berprestasi untuk masing-masing jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 9.1 dan tabel 9.2.

Tabel 9.1

Kriteria Kategorisasi Motif Berprestasi Remaja Laki-laki Etnik Jawa

Rentang Kategori Frekuensi %

X < 72 Rendah 0 0%

72 ≤ X < 108 Sedang 18 38%

108 ≤ X Tinggi 29 62%

Tabel 9.2

Kriteria Kategorisasi Motif Berprestasi Remaja Perempuan Etnik Jawa Rentang Kategori Frekuensi %

X < 72 Rendah 0 0%

72 ≤ X < 108 Sedang 27 45%

108 ≤ X Tinggi 34 55%

E. Pembahasan

(54)

tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa.

Dari hasil analisis data penelitian diperoleh mean untuk remaja pria adalah 112,23. Sedangkan mean untuk remaja putri adalah 108,03. Hal ini menunjukkan bahwa remaja pria memiliki motif berprestasi yang relatif lebih tinggi daripada remaja wanita. Perbedaan ini disebabkan karena motif berprestasi yang ada dalam diri setiap individu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, kebudayaan dan kebiasaan yang berkembang dalam suatu masyarakat dimana individu tersebut berada (Martaniah, 1984: 18). Bila kebudayaan tempat individu dilahirkan dan dibesarkan memberikan dukungan dan perhatian yang besar kepada salah satu jenis kelamin untuk mengembangkan motif berprestasi, maka individu dengan jenis kelamin tersebut akan memiliki motif berprestasi yang tinggi. Sebaliknya, bila kebudayaan tidak memberikan dukungan dan perhatian terhadap pengembangan motif berprestasi maka individu dalam kebudayaan tersebut cenderung memiliki motif berprestasi yang rendah.

(55)

karena mereka nantinya diharapkan dapat memegang jabatan-jabatan penting didalam masyarakat dan menjadi kepala keluarga. Sebagai anggota masyarakat, remaja pria berusaha untuk menyesuaikan diri dengan sistem sosial tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan selalu berusaha memiliki prestasi yang baik diberbagai bidang, baik di bidang akademik maupun nonakademik. Dengan adanya stereotipe gender tradisional budaya Jawa yang memandang pria sebagai pemimpin, berinisiatif, tegas dan posisinya lebih tinggi daripada wanita serta sistem patriarki yang menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak dalam keluarga dan berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya, memberi kesempatan yang luas kepada kaum pria untuk melakukan berbagai kegiatan didalam dan diluar rumah dan mencapai prestasi diberbagai bidang. Hal ini tentu saja mempengaruhi motif berprestasi dalam diri mereka dan semakin menguatkan motif untuk berprestasi dalam diri remaja pria, akibatnya remaja pria etnik Jawa cenderung memiliki motif berprestasi yang tinggi.

(56)

mengasuh anak dan lain-lain. Secara turun-temurun pekerjaan ini identik dengan kaum perempuan. Selain itu, kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan di luar rumah dan mencapai prestasi di bidang lain selain bidang domestik, seperti berkarir sangat terbatas. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa menganggap sektor lain diluar sektor domestik adalah milik kaum pria. Pada umumnya, masyarakat menuntut perempuan untuk dapat melaksanakan perannya di sektor domestik dengan sebaik-baiknya. Sebagai anggota masyarakat, remaja perempuan harus menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Akibatnya, remaja perempuan cenderung hanya mempelajari dan mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan bidang domestik yang sifatnya lebih kedalam (rumah tangga) dan hanya berprestasi di bidang domestik saja. Sebab mereka tidak diberi kesempatan untuk melakukan berbagai hal, mengikuti berbagai kegiatan diluar rumah. Kalaupun ada, kesempatan itu sangat jarang terjadi. Keadaan ini tentu saja bertolak belakang dengan perlakuan dan harapan yang diterima oleh remaja laki-laki, dimana mereka dituntut untuk berprestasi diberbagai bidang. Namun tuntutan itu ditunjang dengan memnerikan kesempatan yang luas kepada remaja laki-laki untuk melakukan berbagai hal, mengikuti berbagai kegiatan, baik didalam maupun diluar rumah. Perbedaan perlakuan ini tentu saja mempengaruhi motif berprestasi dalam diri remaja perempuan. Akibatnya, remaja perempuan cenderung mengembangkan motif berprestasi yang rendah.

(57)
(58)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji hipotesis, disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat motif berprestasi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa, dimana motif berprestasi remaja laki-laki lebih tinggi dari pada remaja perempuan etnik Jawa

Berdasarkan perbandingan antara mean empiris dan mean teoritis, dapat disimpulkan bahwa remaja laki-laki dan remaja perempuan etnik Jawa memiliki motif berprestasi yang relatif cukup tinggi.

B. Saran

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saefudin., 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Erikson, E. H., 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Bunga rampai I; terjemahan Cremers. Jakarta: Gramedia.

Ervita, 2002. Memahami Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center.

Gerungan, W, A., 1988. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Kanisius. Gilarso, T, SJ., 2001. Moral Keluarga. Yogyakarta: USD.

Gunarsa, S. D., Gunarsa, Y. S. D., 1978. Psikologi Remaja. Jakarta: PKGM. Herusatoto, B.,1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Handayani, C. S., 2001. Stereotip Jender dan Prasangka Terhadap Kecenderungan Memilih Pemimpin Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Remaja Batak dan Jawa. Jakarta: Universitas Indonesia.

Handoko., 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta: Kanisius. Hurlock, E. B., 1996. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Kerlinger, N. F., 1997. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Koentjaraningrat., 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Mahmud, M. D., 1990. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendidikan Terapan. Yogyakarta: BPFE.

Martaniah, M. S., 1984. Motif Sosial Remaja Jawa dan Keturunan Cina. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

McClelland, C. D., 1985. Human Motivation. Scott, New York: Foresman and Company.

(60)

Purwanto., 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Santhoso, F. H., 1986. Studi Tentang Hubungan Antara Human Relation dengan Prestasi Siswa Kelas II Sekolah Perawat Kesehatan Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Soetarno, R., 1989. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Kanisius. Surakhmad, W., 1980. Psikologi Pemuda. Bandung: Jemmars.

Gambar

Tabel 1 Perbedaan Emosional dan Intelektual Antara Laki-laki dan Perempuan
Tabel 3 Blue-print Skala Motif berprestasi
Tabel 4 Distribusi Aitem Pra-Uji coba Skala Motif Berprestasi
Tabel 5 Rincian Aitem Yang Lulus Seleksi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tabel IV.8 Besar Suhu Lampu 15 Watt Terhadap Perubahan Kedudukan Sensor Suhu Robot B ...81.. Tabel IV.9 Pengiriman Data dari Robot A ke Robot B

Pihak pengelola jaringan komputer universitas juga tidak memiliki rencana dan mekanisme yang jelas untuk menghadapi bencana, khususnya yang terkait dengan bencana

Bank Kustodian akan menerbitkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan antara lain jumlah investasi yang dialihkan dan dimiliki serta Nilai Aktiva

[r]

Sehubungan dengan pelaksanaan Kualifikasi Seleksi Umum Penyedia Jasa Konsultansi, Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM Tahun Anggaran 2012 untuk pekerjaan ”KAJIAN

kilat atau petir, sehingga tidak timbul tegangan lebih yang tinggi

Pada usia 13 tahun, saat duduk di kelas 5 SD, Mizar dan keluarganya memutus- kan pindah ke Kampung Bojong. Walau berjarak tidak lebih dari 3 kilometer, Mizar kecil dituntut harus

Kesimpulan penelitian ini menunjukan bahwa penerapan hasil belajar “Membuat Hiasan pada Busana” di tinjau dari penerapan pengetahuan alat dan bahan pembuatan