• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pembagian Daerah Pemilihan dalam Mewujudkan Pemilu Demokratis di Dapil III Jawa Barat (Kota Bogor Dan Kabupaten Cianjur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak Pembagian Daerah Pemilihan dalam Mewujudkan Pemilu Demokratis di Dapil III Jawa Barat (Kota Bogor Dan Kabupaten Cianjur)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Dampak Pembagian Daerah Pemilihan dalam Mewujudkan Pemilu

Demokratis di Dapil III Jawa Barat (Kota Bogor Dan Kabupaten

Cianjur)

Kalimah Wasis Lestari Email :kwlestari@gmail.com ABSTRAK

Pembagian daerah pemilihan merupakan issu penting guna mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Pembagian daerah pemilihan pada pemilu legislative mengalami perubahan besaran dapil dari 3-12 kursi menjadi 3-10 kursi. Perubahan atas daerah pemilihan yang terjadi telah membawa problematika yang dilematis dalam penataan ulang lingkup daerah pemilihan. Di mana pada ketentuan pembagian daerah pemilihan terdapat batasan kursi minimal dan maksimal serta lingkup administrative kabupaten/kota yang berimplikasi pada terbentuknya daerah pemilihan terpisah. Daerah pemilihan yang sebelumnya melebihi ketentuan, harus diubah agar sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga di beberapa dapil terpaksa membentuk daerah pemilihan yang terpisah. Bahkan daerah pemilihan terpisah tersebut sarat dengan kepentingan partai yang berkuasa. Berdasarkan kondisi ini, penting untuk mengetahui alasan perubahan besaran daerah pemilihan dan bagaimana implikasinya terhadap peta perolehan suara partai politik di daerah pemilihan terpisah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan analis diskriptif untuk menganalisis dampak pembagian daerah pemilihan dalam mewujudkan pemilu demokratis di dapil III Jawa Barat (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilakukannya perubahan daerah pemilihan adalah sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan effective governance. Namun hal ini justru menimbulkan implikasi dalam redristricting. Dari sinilah praktik gerrymandering dilakukan dengan memecah suara lawan dan menggabungkan daerah pemilihan yang merupakan basis masa partai tersebut. Hal ini bertentangan dengan pemilihan umum yang demokratis. Pembentukan daerah pemilihan seharusnya memperhatikan aspek keadilan dan keterwakilan. Beberapa solusi atas permasalahan pembentukan daerah pemilihan sebetulnya telah diberikan yaitu adanya ketentuan dalam menyusun daerah pemilihan yang lebih fleksibel dengan menggabungkan bagian kabupaten/kota (kecamatan). Dengan demikian persoalan tentang daerah pemilihan akan lebih mudah diatur.

Kata Kunci: Besaran Dapil, Gerrymandering, Sistem Pemilu, Lingkup Dapil, Redistricting.

ABSTRACT

Redistricting is an important issue that is used to reach democratic elections. On legislative election, district magnitude changing starts from 3-12 chairs to 3-10 chairs. Changing the district magnitude can bring several problems in redistricting. The rule of decreasing district magnitude has a limitation of minimum and maximum chairs in every district. As a consequence, some part of districts are separated from others. Districts which have superfluity of chairs in the previous election, must be changed to adjust the new rule, some districts are forced to compose separated district. Moreover, separated

(2)

districts are arranged by dominant parties’ interest. Based on this condition, it is important to know the reason and the effect of decreasing district magnitude toward the number of voters obtained by parties. This research used qualitative method and descriptive analyses to explain the effect of redistricting to reach democratic election in district III West Java (Bogor City and Cianjur Regency). The result of this research showed that district magnitude changing is one of government efforts to reach effective

governance. However, the government’s aim caused effects in redistricting. Because of that, there are gerrymandering created through rend basic voter’s rival and merged with their basic voters. Gerrymandering is a contradiction of democratic elections. Redistricting should pay attention to justice and representative aspects. Actually, solutions of redistricting have been given through the rule that arrange district more flexible by merging parts of city or regency into a district. Thus, the problem about districts can be solve easily.

Keywords: district magnitude, gerrymandering, electoral system, redistricting.

PENDAHULUAN

Trauma pemerintahan orde baru yang otoriter menumbuhkan semangat untuk mencari formula sistem pemilu yang tepat. Berangkat dari pengalaman pahit berbagai perubahan terhadap sistem pemilu telah dilakukan sejak awal reformasi hingga saat ini. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Pada pemilihan umum DPR RI tahun 2004 jatah kursi yang dimiliki setiap daerah pemilihan sebanyak 3-12 kursi. Angka ini kemudian berubah pada pemilu tahun 2009. Besaran dapil yang awalnya 3-12 kursi diubah menjadi 3-10 kursi.

Adanya perubahan besaran dapil menimbulkan beberapa problem diantaranya besaran dapil pada daerah pemilihan yang memiliki kuota lebih dari 10 kursi harus diatur ulang agar dapat memenuhi ketentuan dan juga berdampak pada pembentukan ulang lingkup daerah pemilihan. Salah satu fenomena yang menarik adalah adanya daerah pemilihan terpisah secara utuh antara satu bagian dengan bagian lainya. Hal ini disebabkan adanya benturan dengan undang-undang dimana satu dapil tidak boleh bagian dari kabupaten/ kota. Undang-Undang No 10 Tahun 2008 Pasal 22 ayat (1) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi. Beberapa daerah pemilihan yang terpisah akibat adanya perubahan ini diantaranya dapil Jabar III yang pada pemilu 2004 terdiri dari Sukabumi Kota, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur berubah menjadi Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor. Kedua daerah ini – Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor–merupakan daerah pemilihan terpisah.

Pada undang-undang pemilu berikutnya telah diberikan kelonggaran dalam menyusun lingkup daerah pemilihan dimana daerah pemilihan dapat terdiri dari bagian kabupaten atau kota. Seperti yang tercantum pada Undang- Undang Pemilu No 8 Tahun 2012 yang mana pada pasal 22 ayat 1 menyatakan bahwa dapil anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Namun, pada ayat tiga dituliskan exit clausul: “Dalam hal penentuan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diberlakukan, penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kabupaten/kota.”1 Bagian kabupaten/kota yang dimaksud Pasal 22 Ayat 3 tersebut adalah kecamatan atau gabungan kecamatan, sehingga bagian-bagian dapil yang merupakan

(3)

kabupaten/kota dapat digabungkan dengan sebagian wilayah kabupaten/ kota yang berbatasan langsung/ tidak terpisah letak geografisnya dan punya karakteristik sama.2 Namun rupanya jalan keluar ini tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki lingkup daerah pemilihan.

Daerah pemilihan Jawa Barat III merupakan daerah pemilihan terpisah wilayahnya secara utuh. Kota Bogor yang merupakan bagian dari daerah pemilihan Jabar III terpisah secara utuh dari Kabupaten Cianjur. Kota Bogor berada di tengah-tengah Kabupaten Bogor, padahal Kabupaten Bogor merupakan daerah pemilihan Jabar V. Di dalam penyusunan lingkup daerah pemilihan ada prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman agar daerah pemilihan yang dibentuk dapat mengarah pada pemilihan umum yang demokratis. Adanya daerah pemilihan terpisah ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan lingkup daerah pemilihan. Untuk itu perlu dilakukan adanya penelitian untuk menguji dampak dari pembagian daerah pemilihan yang terpisah pada pemilu 2009 dan 2014.

Penilitian ini memusatkan perhatian pada daerah pemilihan yang mengalami perubahan besaran dapil dan dampaknya pada pembagian dapil terpisah yang terjadi di daerah pemilihan Jawa Barat III yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur pada pemilihan umum DPR RI dari tahun 2004, 2009, dan 2014. Perubahan alokasi kursi dan letak geografis bagian daerah pemilihan yang terpisah menjadi perhatian utama terkait tujuan pemilihan umum yang demokratis. Dalam rangka menelaah dampak pembagian daerah pemilihan ini perlu diperhatikan juga pada alasan mengapa Dapil III Jawa Barat diubah besaran dapilnya serta mengapa dapil ini terpisah dan mengapa kondisi ini masih dipertahankan hingga pemilu 2014. Terbentuknya daerah pemilihan yang terpisah secara geografis dan perubahan besaran dapil tentu memiliki implikasi terlebih pada peta perolehan suara partai. Sejauh mana implikasi itu terlihat dijelaskan melalui dua hal yaitu pembagian besaran dapil dan prinsip redistricting.

PEMBAHASAN

Daerah pemiliahn terpisah di Jabar III merupakan fenomena yang menarik karena Jabar III terletak di Pulau Jawa yang dekat dengan DKI Jakarta tetapi bagian daerah pemilihannya terpisah secara utuh yaitu Kota Bogor yang terletak di tengah Kaupaten Bogor digabungkan menjadi satu distrik dengan Kabupaten Cianjur. Pada peta dapil pemilu legislative DPR RI tahun 2004, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor digabung dalam satu dapil yaitu Dapil Jabar IV dengan besaran dapil sebanyak 11 kursi. Sedangkan Kabupaten Cianjur digabung dengan Kabupaten dan Kota Sukabumi menjadi satu dapil yaitu dapil Jabar III dengan besaran dapil yang sama yaitu 11 kursi. Pembentukan daerah pemilihan ini terlihat normal dan wajar karena lingkup daerah pemilihannya saling berkesinambungan. Namun lingkup daerah pemilihan mulai berubah menjadi tidak wajar pada pemilu berikutnya yaitu tahun 2009. Kabupaten Bogor berdiri sendiri menjadi satu dapil yaitu Dapil Jabar V, sedangkan Kota Bogor digabungkan dengan Kabupaten Cianjur menjadi satu dapil yaitu Dapil Jabar III. Kota dan Kabupaten Sukabumi yang semula tergabung dengan Kabupaten Cianjur, pada pemilu 2009 ini berubah menjadi Dapil Jabar IV tanpa Kabupaten Cianjur. Bentuk daerah pemilihan anggota DPR RI Propinsi Jawa Barat tahun 2009 ini ternyata tidak mengalami perubahan lagi pada pemilu tahun 2014. Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur tetap menjadi satu daerah pemilihan meskipun harus terpisah oleh Kabupaten Bogor.

(4)

Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur ketiganya memang merupakan bagian dari provinsi yang sama, tetapi memiliki latar belakang sejarah yang berbeda. Secara garis besar perbedaan ini dapat ditinjau dari dua hal. Pertama, perbedaan ditinjau dari segi historis kerajaan yang pernah berkuasa di daerah tersebut. Kedua, perbedaan dilihat dari bahasa yang digunakan dan karakter penduduk yang terbentuk atas kultur ini.

Kabupaten Bogor memiliki sejarah kerajaan yang sama dengan Kota Bogor, namun berbeda dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor dan Kota Bogor pada awalnya adalah satu daerah sebelum terjadi pemekaran. Tempat ini merupakan letak kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Namun saat ini dianggap seolah-olah Kerajaan Padjadjaran berada di Bandung. Berbeda dengan Kabupaten Cianjur, kabupaten ini merupakan bagian wiayah dari Kerajaan Galuh Priangan.

Perbedaan historis kerajaan ternyata juga berpengaruh pada gaya bahasa yang digunakan. Meskipun bahasa yang digunakan sama-sama bahasa sunda namun ada dua dikotomi dari bahasa sunda itu sendiri. Kabupaten Cianjur menggunakan bahasa sunda halus yang merupakan karakter bahasa dari Kerajaan Galuh Priangan. Sedangkan Kabupaten Bogor dan Kota Bogor menggunakan bahasa sunda kasar.

Seiring perkembangan zaman, ketiga daerah ini memiliki karakter penduduk masing-masing. Kabupaten Bogor merupakan kawasan yang rural dimana masyarakat bagian barat dan utara terkonsentarasi pada perdagangan, industri dan komuter (bekerja di Jakarta), sedangkan masyarakat bagian timur atau kawasan puncak dan selatan terkonsentrasi pada pertanian dan wisata. Begitupun dengan kawasan Kabupaten Cianjur bagian utara yang berdekatan dengan kawasan puncak, penduduk terkonsentrasi pada wisata dan pertanian. Sedangkan kawasan Kabupaten Cianjur lainya memiliki mayoritas pekerjaan di bidang pertanian. Hal yang sangat berbeda terlihat jika Kabupaten Cianjur dibandingkan dengan Kota Bogor. Dimana Kota Bogor mayoritas penduduknya bekerja di Jakarta pada siang hari dan malam hari kembali ke Bogor. Kegiatan terpusat pada pekerjaan di ibukota sebagai karyawan, buruh, pegawai dan beragam. Hal ini dapat dilihat dari padatnya kereta krl Bogor-Jakarta.

Alasan dan Dampak atas Terbentuknya daerah Pemilihan Terpisah

Perubahan besaran dapil merupakan langkah pemerintah dalam mewujudkan effective governance sesuai dengan yang tertulis dalam naskah akademik UU Pemilu No 10 Tahun 2008. Di dalam mewujudkan effective governance pemerintah berupaya untuk menyederhanakan pelaku politik melalui perubahan undang-undang pemilu. Salah satu dari perubahan itu adalah besaran dapil. Besaran dapil merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk menyederhanakan partai.

Perubahan besaran dapil telah membawa implikasi-implikasi yang beruntun dan berdampak luas. Ketika besaran dapil mengalami pengurangan dari 12 menjadi 10 kursi maka daerah pemilihan yang sebelumnya memiliki daerah pemilihan lebih dari 10 kursi harus ditata ulang. Seperti yang terjadi pada kasus daerah pemilihan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang pada pemilu 2004 merupakan satu daerah pemilihan yaitu Jabar IV dengan besaran dapil 11, yang mana harus mengalami perubahan daerah pemilihan agar dapat mengikuti ketentuan undang-undang.

Perubahan daerah pemilihan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor menimbulkan dilema dalam memutuskanya. Pertama, jika Kota Bogor berdiri sendiri menjadi satu dapil maka akan melanggar ketentuan dimana jumlah penduduk kurang memenuhi syarat untuk mendapat kursi minimal yaitu 3 kursi. Kedua, apabila Kota Bogor tetap digabung dengan

(5)

Kabupaten Bogor maka yang terjadi juga akan melanggar undang-undang dimana jumlah penduduk terlalu banyak sehingga melebihi ketentuan 10 kursi.

Kondisi dilematis seperti ini memaksa Kota Bogor harus dipisah dengan Kabupaten Bogor dan digabungkan dengan daerah pemilihan lainya. Apakah itu digabung dengan Kota Depok, Bekasi atau Kabupaten Cianjur agar tidak melanggar ketentuan UU, meskipun daerah pemilihan itu harus terpisah. Sebetulnya yang lebih dekat baik geografis maupun karakter masyarakatnya adalah Depok, namun pada akhirnya Kota Bogor digabung dengan Kabupaten Cianjur.

Meskipun dalam posisi yang dilematis namun setidaknya ini menimbulkan pertanyaan mengapa tidak digabung dengan Depok saja yang lebih dekat dan memiliki karakter yang hampir sama dengan Kota Bogor. Untuk menjawab hal ini tentu dibutuhkan keterangan dari anggota dewan yang saat itu mengambil keputusan dalam pembentukan daerah pemilihan ini. Hal ini dikarenakan keputusan pembentukan daerah pemilihan DPR RI merupakan hak dari DPR RI yang mana dicantumkan dalam lampiran undang-undang.

Penggabungan daerah pemilihan antara Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur ternyata merupakan upaya untuk pemenangan salah satu partai dan menggembosi partai lain. Hal ini didukung dengan pernyataan salah satu anggota Sekretariat Jendral DPR RI yang turut hadir dalam rapat pembahasan RUU Pemilu perubahan atas UU No 12 Tahun 2003. Pembentukan daerah pemilihan dengan menggabungkan Kabupaten Cianjur dengan Kota Bogor merupakan usulan dari salah satu fraksi yang memiliki kepentingan dengan terbentuknya dapil tersebut. Dengan digabungkanya Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor, fraksi itu yakin bahwa akan memperoleh kursi, meskipun bentuk daerah pemilihan itu melompat/ tidak terintegrasi.

Yang menjadi pertanyaan besar bagaimana dengan fraksi/partai lain yang dengan adanya pembentukan daerah pemilihan itu suaranya akan berkurang? Rupanya para anggota DPR RI saat itu sedang saling bertransaksi. Ada transaksi kepentingan politik antar anggota DPR RI, dimana daerah pemilihan dijadikan barang yang dijual untuk kepentingan politik. Daerah pemilihan dibentuk dengan tawar-menawar antar anggota DPR. Yang pada akhirnya menghasilkan pembentukan daerah pemilihan yang tidak wajar atau “nyeleneh”. Pada kasus Jabar III ini yang memiliki kepentingan adalah Partai Demokrat yang meyakini akan memperoleh keuntungan kursi dengan digabungkannya Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur.

Perolehan suara Partai Demokrat dari tahun 2004 ke 2009 mengalami peningkatan yang signifikan. Yaitu ketika pemilihan umum anggota legislative di Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur pada tahun 2004, Partai Demokrat memperoleh suara sebesar 385.983 suara dengan prosentase di daerah pemilihan tersebut sebesar 8,09% dengan 2 (dua) kursi. Hal ini jauh berbeda dengan pemilihan umum anggota legislative tahun 2009, Partai Demokrat memperoleh suara sebesar 1.238.976 suara dengan prosentase 28,95% dan jatah kursi sebanyak 8 (delapan) kursi.

Dari data perolehan suara dan kursi dapat diketahuai bahwa perubahan daerah pemilihan yang mana menggabungkan Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor juga diiringi dengan pergeseran kursi yang cukup mencengangkan. Partai Demokrat mendapat suara tertinggi di daerah pemilihan Jabar III dan mengalami kenaikan perolehan suara yang signifikan seperti yang diyakini Fraksi Demokrat saat mengusulkan pembentukan daerah pemilihan dengan menggabungkan Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Meskipun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah terjadinya peningkatan perolehan suara rupanya tidak hanya di dapil lima kabupaten/kota tersebut, tetapi peningkatan perolehan

(6)

suara terjadi secara nasional. Hal ini juga diiringi dengan terpilihnya kembali SBY sebagai Presiden Republik Indonesia.

Di sisi lain, bersamaan dengan meningkatnya perolehan suara dan kursi Partai Demokrat, ada beberapa partai yang mengalami penurunan perolehan suara dan kursi. Hal ini dapat dilihat dalam table dimana ada beberapa partai yang mengalami pergeseran peta suara3.

No Partai 2004 2009 2014 Total

III IV III IV V III IV V 2004 2009 2014

1 Golkar 4 3 1 1 - 2 1 2 7 2 5 2 PDIP 2 2 1 1 1 1 1 2 4 3 4 3 PKS 1 2 1 1 1 1 1 1 3 3 3 4 Demokrat 1 1 3 2 3 1 0 1 2 8 2 5 PKB 1 - - 1 - - - 1 1 6 PAN 1 1 - - - - 1 1 2 - 2 7 PPP 2 2 1 1 1 1 1 1 4 3 3 8 PDS - - - - - - - -9 PBB - - - - - - - -10 Gerindra - - 1 1 1 1 1 3 11 Hanura 1 - 2 1 - - 3 1

Pertama, Partai Golkar merupakan partai yang mengalami penurunan perolehan kursi terbanyak, yaitu dari 7 (tujuh) kursi menjadi 2 (dua) kursi. Berikut adalah rincian penurunan perolehan suara Partai Golkar: 1] pada pemilu anggota legislatif tahun 2004, Partai Golkar memperoleh suara tertinggi di ke lima kabupaten/kota (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor) sebesar 1.519.205 dengan prosentase (31,83%) dan perolehan kursi sebanyak 7 (tujuh). 2] sedangkan pada pemilu anggota legislative tahun 2009, Partai Golkar mengalami penurunan suara di lima kabupaten/kota (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor) dengan perolehan suara 583.843 dengan prosentase suara (13,64%) dan perolehan kursi sebanyak 2 (dua).

Kedua, Partai PDI Perjuangan merupakan partai yang mengalami penurunan terutama terkait pergeseran perolehan suara. Partai PDI Perjuangan mengalami penurunan perolehan kursi dari 4 (empat) kursi menjadi 3 (tiga) kursi. Berikut ini adalah rincian perolehan suara dan kursi Partai PDI Perjuangan: 1] dalam pemilihan umum anggota legislative tahun 2004, PDI Perjuangan memperoleh suara yang cukup tinggi di lima kabupaten/kota (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor

3

Tabel diperoleh dari data KPU di lima Kabupaten/Kota diantaranya: Undang, Suryatna. dkk, Laporan

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 di Kota Bogor, Bogor, KPU

Kota Bogor, 2014

Haryanto, Surbakti. Dkk, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

Tahun 2014 di Kabupaten Bogor, Cibinong, KPU Kabupaten Bogor, 2014.

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cianjur. Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPD dan DPRD Tahun 2014 di Kabupaten Cianjur, Cianjur, KPU Kabupaten Cianjur, 2014.

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cianjur. Pemilihan Umum 2014 Dalam Angka & Grafik, Cianjur, KPU Kabupaten Cianjur, 2014.

Komisi Pemilihan Umum Kota Sukabumi. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sukabumi.

(7)

dan Kabupaten Bogor) yaitu sebanyak 714.738 suara dengan prosentase suara (14,97%) dan perolehan kursi sebanyak 4 (empat). 2] penurunan suara terjadi pada pemilihan umum anggota legislative tahun 2009 dimana PDI Perjuangan memperoleh suara di lima kabupaten/kota (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor) sebanyak 532.376 suara dengan prosentase (12,44%) dan perolehan kursi sebanyak 3 (tiga).

Ketiga, Partai PPP merupakan partai yang turut terkena imbas atas perubahan daerah pemilihan ini terutama terkait basis masa. Partai PPP mengalami penurunan perolehan kursi dari 4 (empat) kursi menjadi 3 (tiga) kursi. Berikut ini adalah rincian perolehan kursi Partai PPP; 1] Partai PPP pada pemilu anggota legislative tahun 2004 di lima kabupaten/kota (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor) memperoleh suara sebesar 687.421 suara dengan prosentase suara (14,40%) dan perolehan kursi sebanyak 4 (empat) kursi. 2] pada pemilu berikutnya yaitu pemilihan umum anggota legislative tahun 2009 di lima kabupaten/kota (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor), Partai PPP mengalami penurunan suara dan penurunan perolehan kursi yaitu dengan perolehan suara 317.998, prosentase (7,43%) dan perolehan kursi sebanyak 3 (tiga) kursi.

Keempat, partai yang mengalami penurunan perolehan suara yang terakhir adalah PAN. Partai ini mengalami penurunan perolehan kursi dari 2 kursi menjadi 0 kursi. Artinya, pada pemilihan tahun 2004, PAN memperoleh kursi sebanyak 2 kursi dengan perolehan suara sebesar 176.086 suara dan prosentase sebanyak 14,97%, sedangkan pada pemilu tahun 2009, PAN menurun perolehan suaranya menjadi 154.270 suara dengan prosentase sebesar 3,60 % sehingga tidak mendapat jatah kursi sama sekali.

Perubahan lingkup daerah pemilihan memang benar diiringi dengan penurunan suara dan peningkatan suara partai tertentu secara signifikan, namun pada pemilu tahun 2014 jumlah kursi yang diperoleh kembali mendekati perolehan kursi tahun 2004. Hal ini dapat dilihat pada table perbandingan perolehan kursi tiap partai di bab 2. Partai Demokrat yang pada pemilu tahun 2009 meningkat dari 2 kursi menjadi 8 kursi, pada pemilu 2014 jatah kursi yang diperoleh kembali sama seperti pemilu 2004 yaitu 2 kursi. Begitu pula dengan PDIP, pada tahun 2009 PDIP mengalami penurunan suara dari 4 menjadi 3 kursi. Pada pemilu berikutnya yaitu pemilu 2014, PDIP memperoleh kursi sebanyak 4. Hal yang sama juga terjadi pada PAN, yang mana pada pemilu 2009 PAN tidak mendapatkan kursi, namun di pemilu tahun 2004, PAN mendapatkan kursi sama seperti tahun 2004 yaitu 2 kursi. Di sisi lain, ada beberapa partai yang memiliki perolehan kursi stabil dari tahun 2009 hingga 2014. Diantaranya adalah PKB dengan perolehan kursi 1 kursi dan PPP dengan perolehan kursi 3. Bahkan ada partai yang mendapatkan perolehan kursi sama sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2009 yaitu PKS dengan 3 kursi.

Perubahan perolehan kursi yang fluktuatif menunjukkan bahwa terbentuknya daerah pemilihan terpisah tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pergeseran peta suara. Partai politik menjadi dominan ketika partai tersebut memang memiliki daya tarik tersendiri seperti pencalonan presiden dari partai tersebut yang mampu mempengaruhi pilihan masyarakat. Pada tahun 2009, Susilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi Presiden karena memiliki elektabilitas yang tinggi dan hal ini juga seiring dengan peningkatan perolehan suara Partai Demokrat di dapil Sukabumi, Kota Sukabumi, Bogor, Kota Bogor dan Cianjur. Begitu pula dengan pemilu tahun 2014, Presiden Joko Widodo yang diusung oleh PDIP memenangkan suara dalam pemilihan presiden. Kemenangan ini juga diiringi dengan tingginya suara PDIP dalam pemilu di dapil Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur.

(8)

Meskipun terbentuknya daerah pemilihan berpisah tidak memiliki dampak yag signifikan pada pergeseran perolehan kursi, namun hal ini menyebabkan beberapa dampak terkait pelaksanaan di lapangan. Peserta pemilu kesulitan dalam berkampanye terlebih calon yang basis masa di Kota Bogor. Kota Bogor yang memiliki jumlah penduduk sedikit memiliki peta suara partai yang fluktuatif dan persaingan yang ketat sedangkan di Kabupaten Cianjur dengan jumlah penduduk yang lebih banyak membutuhkan biaya kampanye yang lebih murah sehingga peluang mendapat dukungan suara menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan konsentrasi kampanye peserta pemilih terpusat di Kabupaten Cianjur.

Tak hanya sampai disitu, ketika massa kampanye yang dimulai dari Kota Bogor menuju Kabupaten Cianjur juga mengalami kendala. Massa dari Kota Bogor yang hendak berkampanye ke Kabupaten Cianjur harus menyebrangi wilayah Daerah Pemilihan Jabar V (Kabupaten Bogor) yang mana di waktu yang bersamaan Kabupaten Bogor juga menyelenggarakan kampanye untuk daerah pemilihan Jabar V. Massa yang berbeda ini bertemu di kawasan Puncak yang merupakan jalur satu-satunya dari Kota Bogor menuju Kabupaten Cianjur.

Untuk mengantisipasi kericuhan kesiapan polisi dan keamanan dilipatgandakan. Meskipun selama ini belum ada konflik/ benturan fisik, namun ada saja protes dari partai politik di Kabupaten Bogor. Hal ini dikarenakan wilayah Kabupaten Bogor yang hari itu menjadi hak partai yang ada di Kabupaten Bogor merasa terganggu dengan adanya partai lain yang berkampanye. Selama dua periode pemilu yaitu tahun 2009 dan tahun 2014, kondisi ini selalu terjadi.

Daerah pemilihan yang terpisah di Jabar III tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil pemilu 2014. Meskipun daerah pemilihan ini didirikan berdasarkan kepentingan dan tawar menawar diantara partai politik melalui anggota legislative di DPR, tetapi hasil perolehan kursi tidak mencatat adanya partai yang secara terus menerus dari tahun 2009 dan 2014 mengalami keuntungan ataupun kerugian. Di sisi lain, terbentuknya daerah pemilihan terpisah mengakibatkan para calon legislative lebih memilih berkampanye di Kabupaten Cianjur, sehingga hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap hubungan anggota legislative terpilih dengan konstituennya di Kota Bogor. Krakteristik dari Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor yang berbeda menghasilkan kebutuhan dan kepentingan yang berbeda pula. Di samping itu perbandingan penduduk yang sangat jauh membuat suara konstituen di Kota Bogor semakin tenggelam dalam menentukan prioritas kebutuhan. Meskipun demikian perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terkait hubungan antara anggota legislative dengan konstituen di Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur.

Jalan Keluar Atas Implikasi Dapil Terpisah

Daerah pemilihan terpisah yang merupakan buah dari perubahan besaran daerah pemilihan, tidak sesuai dengan bentuk daerah pemilihan yang baik sehingga membutuhkan jalan keluar. Dalam hal ini, jalan keluar dibutuhkan untuk mengatasi implikasi yang ditimbulkan akibat terbentuknya daerah pemilihan terpisah. Ada beberapa solusi yang muncul dari hasil wawancara terkait dengan jalan keluar atas problematika ini.

Pertama, solusi menurut Ketua KPU Kota Bogor Bapak Undang Suryatna dapat dilakukan dengan realisasi terhadap wacana mengenai pemekaran wilayah Kabupaten Bogor, yaitu wilayah Bogor Barat. Wilayah ini diharapkan dapat segera dijadikan Kabupaten/Kota tersendiri sehingga nantinya Kota Bogor dapat digabung dengan Kabupaten/Kota Bogor Barat.

(9)

Karakteristik yang sama antara Kota Bogor dan Bogor Barat lebih cocok untuk dijadikan satu daerah pemilihan dibandingkan dengan menggabungkan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Terlebih lagi, jumlah penduduk Kabupaten Bogor begitu padat sehingga jatah kursi 10 saja sebetulnya masih kurang. Jika dihitung dengan benar, harga kursi di Kabupaten Bogor dapat dikatakan mahal. Dengan jumlah penduduk 5,2 juta, Kabupaten Bogor hanya mendapatkan jatah kursi sebanyak 9 kursi. Kabupaten Bogor mengalami under representative akibat mahalnya harga kursi. Di sisi lain, padatnya penduduk Kabupaten Bogor juga menjadi beban yang cukup berat karena satu KPU yaitu KPU Kabupaten Bogor harus mengurusi wilayah Kabupaten Bogor yang begirtu padat penduduknya.

Baik KPU Kota Bogor maupun KPU Kabupaten Bogor mengharapkan adanya pemekaran wilayah Bogor Barat sehingga kendala dalam peyelenggaraan pemilu dapat teratasi. Namun hal ini menuai kritik dari Bapak Hadar Komisioner KPU RI dimana solusi pemekaran dianggap sangat kontekstual dan bukan merupakan solusi untuk dapil terpisah. Penyelesaian melalui pemekaran mungkin dapat menyelesaikan kasus di Jabar III namun tidak dapat digunakan di daerah pemilihan lainya yang terpisah. Itu pun ketika hendak melakukan pemekaran ada banyak pertimbangan dan proses yang harus dilalui sehingga penyelesaian implikasi dapil terpisah dengan pemekaran hanya bersifat kontekstual di Jabar III dan dianggap kurang solutif dalam mewujudkan pemilu yang demokratis.

Pemekaran tidak dapat dijadikan solusi dalam permasalahan daerah pemilihan secara terpisah pada umumnya. Karena beberapa daerah pemilihan terpisah di Indonesia juga membutuhkan penyelesaian atas implikasi yang terjadi. Sebetulnya di dalam UU No 8 Tahun 2012 pada pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota”. kemudian di ayat tiga (3) telah diselipkan solusi atas permasalahan atas pembagian lingkup daerah pemilihan yaitu “Dalam hal penentuan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberlakukan, penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kabupaten/kota”.

Dengan menerapkan UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD maka sesungguhnya tidak akan ada lagi daerah pemilihan terpisah termasuk di daerah pemilihan Jabar III. Kota Bogor dapat digabung dengan beberapa kecamatan dari Kabupaten Bogor yang berkesinambungan dengan Kota Bogor. Namun, ketika UU ini diterapkan akan muncul beberapa kendala lain yaitu bahwa ini justru akan kesulitan dalam rekapitulasi. Karena KPU permanen paling terkecil adalah di tingkat Kabupaten/ Kota. Selain itu akan timbul kesulitan dalam implementasi kebijakan, karena Kecamatan Cisarua misalnya, digabung dengan Kota Bogor (Jabar III) adalah bagian wilayah administrative dari Kabupaten Bogor yang merupakan daerah pemilihan Jabar V.

Adanya kendala-kendala yang menjadi kekhawatiran dari KPU Kota Bogor dan KPU Kabupaten Bogor juga disadari oleh Bapak Hadar. Dimana memang untuk menerapkan undang-undang ini dibutuhkan masa transisi dan persiapan yang matang. Pembiasaan dan persiapan terutama di tingkat kecamatan menjadi sorotan utama. Karena sesungguhnya undang-undang ini memang akan menjadi pintu keluar dari permasalahan terkait daerah pemilihan terpisah. Perombakan dalam penataan ulang daerah pemilihan yang tidak kaku, dan fleksibel dibutuhkan untuk mengatasi terbentuknya daerah pemilihan terpisah. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dibutuhkan masa transisi dan persiapan yang matang sebelum implementasinya. Selain itu juga perlu dipertimbangkan kembali wewenang dalam mengatur pembagian daerah pemilihan apakah penetapan daerah pemilihan berada dibawah otoritas DPR atau dibawah otoritas KPU, mengingat adanya transaksi kepentingan dari partai-partai seperti yang telah dijelaskan di sebelumnya.

(10)

Besaran Daerah Pemilihan

Di dalam pengaturan besaran daerah pemilihan, terdapat dalil yang disampaikan seorang ilmuan politik dari Jerman yaitu Dieter Nohlen atas perbandingan sisitem pemilihan yang didalami. Dalil tersebut yaitu “semakin rendah besaran daerah pemilihan, semakin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan, pada umumnya semakin kecil pula peluang bagi partai politik gurem untuk mendapatkan kursi”4.

Indonesia telah melakukan pengurangan besaran dapil yaitu dari 3-12 menjadi 3-10 dengan tujuan mewujudkan effective governance. Dengan adanya pengurangan ini diharapkan pelaku politik (partai politik yang masuk dalam parlemen) akan semakin sedikit. Jika melihat perubahan atas besaran dapil dan perbandingan partai politik yang masuk di parlemen dari tahun 2003 hingga tahun 2014 dapat diketahui bahwa telah terjadi pengurangan jumlah partai politik yang masuk ke parlemen secara nasional. Hal ini dapat dilihat pada pemilu 2003 yang memiliki anggota parlemen DPR RI dalam lingkup nasional sebanyak 17 partai. Angka ini menurun drastic pada pemilu 2009 dimana pengurangan besaran dapil diterapkan dengan hasil jumlah partai yang masuk dalam parlemen DPR RI dalam lingkup nasional sebanyak 9 partai. Begitu pula dengan banyaknya partai yang berhasil masuk di parlemen DPR RI secara nasional di tahun 2014 tidak mengalami penambahan yang cukup signifikan yaitu dengan jumlah partai sebanyak 10 partai.

Terkait dengan daerah pemilihan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini yaitu Jabar IV (Kota Bogor dan Kabupaten Bogor) pada tahun 2004, banyaknya partai yang masuk/ lolos dalam pemilu dan mendapatkan kursi di DPR RI sebanyak 6 partai. Kemudian di tahun 2009 di Jabar III yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur justru mengalami peningkatan jumlah partai yang lolos dan memperoleh kursi sebanyak 7 partai. Terakhir pada pemilu tahun 2014, peningkatan juga terjadi terkait jumlah partai politik yang lolos dan memperoleh kursi yaitu sebanyak 8 partai. Hal ini tentu bertolak belakang dengan dalil Dieter Nohlen dimana yang terjadi bukanlah partai yang lolos di parlemen semakin sedikit, namun justru bertambah. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah pertambahan partai politik yang memperoleh kursi ternyata sebagian berasal dari partai baru yang muncul pada pemilu 2009 yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Pada pemilu 2014 pertambahan partai baru juga terjadi yaitu dengan kemunculan Partai Nasdem di parlemen.

Kemunculan partai baru ini rupanya diikuti dengan terkuburnya partai lama yang dulunya cukup diperhitungkan dalam pemilihan umum legislative. Partai PBR dan PDS misalnya yang pada pemilihan 2004 di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor memiliki kursi, tetapi pada pemilu berikutnya di Kota Bogor dan Cianjur kedua partai tersebut tidak mendapatkan kursi sama sekali. Bahkan pada pemilu 2014 kedua partai ini justru mati. Di sisi lain, ada beberapa partai yang di tahun 2004 perolehan kursi lebih rendah dari kedua partai ini namun mulai menanjak dan mampu bertahan hingga pemilu tahun 2004.

Memang benar jika dihitung secara matematika bahwa di dalam rumus peluang ada = × 100% . Dimana P adalah peluang, na adalah besaran dapil dan ns adalah partai yang memperebutkan dalam dapil tersebut. Misalnya dalam daerah pemilihan Jabar IV (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor) pada pemilu 2004 memiliki besaran dapil sebanyak 11 kursi dengan jumlah peserta pemilu 24 partai maka akan menghasilkan perhitungan

sebagai berikut; = ( )

( ) × 100 % = 0,45 % peluang setiap partai untuk

(11)

mendapatkan kursi. Jika kursi ini dikurangi menjadi 9 maka yang akan terjadi =

( )

( )× 100% = 0,37 %. Dari simulasi tersebut dapat dilihat memang bahwa semakin

besar besaran dapil maka akan menambah peluang.

Pada tahun 2009 daerah pemilihan Jabar III yaitu Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur memiliki besaran dapil sebanyak 9 kursi dengan jumlah peserta pemilu sebanyak 44 partai politik maka kemungkinan peluang partai untuk memperoleh kursi adalah sebagai

berikut = ( )

( )× 100%= 0,20 %. Hal ini sangat berbeda jauh dengan peluang

tahun 2004. Dimana pada tahun 2004 peluang partai politik untuk memperoleh kursi adalah 0,45 % sedangkan pada pemilu 2009 peluang yang dimiliki adalah 0,20%. Namun yang terjadi adalah dalil Dieter Nohlen tidak berlaku disini. Pemilu 2004 di Jabar IV dengan peluang 0,45 % justru menghasilkan partai yang lolos dalam pemilihan umum sebanyak 6 partai, sedangkan pemilu 2009 Jabar III dengan peluang 0,20 % menghasilkan partai yang lolos dalam pemilihan umum sebanyak 7 partai. Bahkan partai baru yang mengikuti pemilihan umum dengan peluang yang sangat sedikit justru mampu meraih suara yang cukup tinggi.

Pengurangan besaran daerah pemilihan rupanya tidak serta-merta membunuh partai baru untuk muncul. Partai baru yang ingin masuk dalam parlemen justru harus mempersiapkan diri secara matang agar dapat bersaing. Selain itu, kekecewaan masyarakat terhadap partai lama mengharapkan adanya partai baru dapat membawa nafas segar dalam perpolitikan dalam negeri. Demikian pula dengan partai lama yang tidak mampu mempertahankan kedudukanya sebagai partai yang kuat maka akan terseleksi dan digantikan oleh partai baru yang mampu bersaing dalam pemilihan umum.

Lingkup Daerah Pemilihan

Daerah pemilihan memiliki tiga fungsi yaitu menunjukkan batas geografis dari sejumlah penduduk yang tercatat sebagai pemilih dalam pemilihan umum, tempat kampanye dan pertarungan dalam merebutkan suara bagi para kandidat atau partai politik, menunjukkan wilayah yang nantinya direpresentasikan oleh anggota legislatif yang terpilih dan penduduk dalam wilayah yang berhak menuntut janji atau kinerja anggota legislative yang terpilih. Ketiga fungsi tersebut dapat digunakan untuk menganalisis studi kasus penelitian ini yang menunjukkan ada tidaknya dampak perubahan besaran dapil pada penataan kembali lingkup daerah pemilihan, dimana ada beberapa daerah yang mengalami hal- hal dilematis akibat perubahan besaran dapil ini. Salah satunya adalah daerah pemilihan Jabar III pada pemilu legislative 2009 dan 2014 yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Daerah pemilihan ini terpisah bagian satu dengan bagian lainya oleh dapil V Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor.

Pertama, sesuai fungsinya daerah pemilihan menunjukkan batas geografis sejumlah penduduk/ pemilih dimana dalam daerah pemilihan Jabar III ini meliputi Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor. Kedua, Jabar III ini merupakan tempat kampanye dan pertarungan perebutan suara bagi kandidat yang mencalonkan diri di dapil ini. Daerah pemilihan Jabar III mengalami kesulitan dalam kampanye hal ini disebabkan letak geografisnya yang terpisah dan melalui Kabupaten Bogor yang merupakan daerah pemilihan Jabar V. Disamping itu, komposisi yang tidak seimbang antara kota dan kabupaten telah membuat para kandidat lebih konsentrasi saat kampanye di Kabupaten Cianjur dan suara pemilih Kota Bogor tak lebih sebagai “pelengkap” saja. Ketiga, daerah pemilihan menunjukkan wilayah yang nantinya direpresentasikan oleh anggota legislatif yang terpilih dan penduduk dalam wilayah yang berhak menuntut janji atau kinerja

(12)

anggota legislative yang terpilih. Ketika para kandidat lebih berkonsentrasi pada Kabupaten Cianjur dalam berkampanye dan disatu sisi suara pemilih di Kota Bogor terpecah maka para kandidat yang terpilih merupakan pilihan dari mayoritas Kabupaten Cianjur. Meskipun demikian perlu tinjau kembali hubungan antara kandidat yang terpilih terhadap konstituen yang diwakilinya yaitu penduduk Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Kandidat yang terpilih dengan mayoritas dukungan dari Kabupaten Cianjur apakah benar-benar merepresentasikan Dapil Jabar III atau hanya berkonsentrasi pada Kabupaten Cianjur dan mengabaikan Kota Bogor, atau mereka merepresentasikan keduanya atau bahkan tidak merepresentasikan keduanya. Hal ini yang dapat dikembangkan dalam penelitian berikutnya untuk mengkonfirmasi para kandidat yang terpilih dalam merepresentasikan kepentingan konstituennya.

Dari ketiga fungsi di atas lahirlah kategori kategori yang perlu diperhatikan dalam membentuk lingkup daerah pemilihan. Dalam penelitian Jabar III ini setidaknya ada beberapa kategori yang perlu mendapatkan diantaranya gerrymandering, compactness, contiguity, communities of interest/ identity dan historical pattern5.

Gerrymandering merupakan tipu daya yang diciptakan oleh Elbridge Gerry, Gubernur Massachusset tahun 1815 yang pada akhirnya menjadi wakil presiden AS dengan menetapkan perbatasan daerah pemilihan dicampur aduk untuk menggembosi partai politik di perkotaan dalam rangka menguntungkan pihaknya.6Istilah gerrymandering berasal dari nama Gerry dan Salamander (bentuk daerah pemilihan yang menyerupai kadal) sehingga disatukan menjadi Gerrymandering. Jurus ini kemudian dikembangkan lagi oleh Charles de Gaule dari Prancis dan diterapkan pada pemilu 1958 hingga 1981. Dengan mencampur warna pemilih hingga menciptakan undang-undang pemilu yang memiliki kepentingan terselubung untuk memenangkan kubu Gaule. Pembentukan daerah pemilihan Jabar III pada awalnya memang ditujukan untuk mencari jalan keluar atas problema pengurangan besaran dapil di setian daerah pemilihan. Di dalam menemukan solusi, ada partai yang mengusulkan solusi dengan menggabungkan dua daerah yang terpisah yaitu Kabupaten Cianjur dan Bogor. Usul tersebut sebetulnya disertai dengan tujuan untuk memenangkan partai tertentu. Hal ini dilakukan melalui partai politik yang memiliki basis kawasan Kota Bogor akan mengalami pengurangan kursi. Memang pada awalnya yaitu pemilu 2009 ada partai tertentu yang mengalami penanjakan suara. Namun, pada pemilu 2014 dengan bentuk dapil yang sama partai tersebut mengalami penurunan suara secara drastic. Penurunan ini ternyata juga terjadi di tingkat nasional. Kondisi ini menjelaskan bahwa itikad dari salah satu partai yang mengusulkan daerah pemilihan terpisah“gerrymandering” di dalam praktiknya mengalami kegagalan.

Terlepas dari keberhasilan atau kegagalan, praktik gerrymandering merupakan bentuk pelanggaran dari pemilihan umum yang demokratis. Dimana ada ketidakadilan yang disetting untuk memenangkan partai tertentu dan merugikan partai lain. Pembentukan lingkup daerah pemilihan dipenuhi dengan kepentingan partai politik yang saat itu memiliki kekuasaan. Akibatnya prinsip-prinsip pembentukan lingkup daerah pemilihan terabaikan.

Kegagalan dalam menerapkan gerrymandering ditunjukkan melalui adanya pergeseran peta perolehan suara partai yang fluktuatif. Pergeseran ini terjadi bukan dari akibat adanya perubahan basis masa yang disetting untuk memenangkan partai tertentu,

5

Ace Project: The electoral Knowledge Network. Updated 2012. The Ace Encyclopedia: Boundary

Delimitation. www.aceproject.org. diakses pada 13 Oktober 2015 pk. 13.00

(13)

tetapi ada faktor lain yang mempengaruhinya. Penerapan threshold dan effect dari popularitas calon presiden rupanya mampu menggeser peta perolehan suara partai politik.

Di sisi lain, meskipun praktik gerrymandering mengalami kegagalan, namun di dalam UU Pemilu No 10 Tahun 2008, terdapat lampiran mengenai daerah pemilihan yang diwarnai dengan hasil praktik gerrymandering untuk dapil DPR RI. Salah satunya adalah dapil Jabar III yang mengalami praktik gerrymandering yaitu melalui digabungkannya Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Melalui UU yang sah, gerrymandering bersemayam dalam pemilihan umum di Indonesia. Demikian pula pada UU Pemilu No 8 Tahun 2012 lampiran undang-undang ini masih tetap ada tanpa ada perubahan yang berarti. Dalam UU ini hanya ada tambahan wilayah daerah pemilihan untuk wilayah pemekaran. Gerrymandering merupakan momok tersendiri yang biasanya terbungkus rapi di dalam aturan undang-undang yang sah. Hal ini seperti penyakit yang akan mengganggu proses demokratisasi.

Kategori berikutnya dalam pembentukan lingkup daerah pemilihan yaitu compactness, contiguity, communities of interest, communities of identity, communities of historical pattern. Pertama, dilihat dari aspek compactness, daerah pemilihan dapat diukur dengan beberapa indikator diantaranya geografisnya masuk akal atau tidak, membagi batas alam atau tidak, dan bentuknya biasa atau aneh. Melihat daerah pemilihan Jabar III maka sudah terlihat jelas bahwa lingkup daerah pemilihan ini tidak compactness. Pertama, letak geografis dari wilayah Jabar III tidak wajar karena berbeda dengan daerah pemilihan yang lain. Kedua, bentuk geografis yang tidak wajar tersebut rupanya juga membagi batas alam yaitu terpisah oleh gunung.

Kedua, ditinjau dari aspek contiguity suatu daerah pemilihan hendaknya berkesinambungan/ bersentuhan secara keseluruhan, bukan hanya bagian ujung dari dapil tersebut. Namun yang terjadi pada Jabar III tidak hanya tak bersentuhan di ujung, tetapi juga sama sekali tidak bersinggungan dengan bagian daerah pemilihan lainnya (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur).

Ketiga, communities of interest, identity and historical pattern berkaitan erat dengan kepentingan, identitas, dan latar belakang historis/kultur. Pada daerah pemilihan Jabar III ini, prinsip communities of interest, identity and historical pattern tidak terpenuhi. Hal ini dapat dilihat dari kondisi masyarakat desa dan kota, sehingga memiliki kepentingan yang berbeda. Historis/ kultur dari kedua daerah juga memiliki perbedaan.

Prinsip-prinsip pembagian daerah pemilihan seperti yang disebutkan di atas merupakan upaya untuk mewujudkan pemilihan umum yang demokratis yaitu keadilan untuk peserta pemilu dan keterwakilan dari para pemilih. Maskipun di dalam realitasnya, keterwakilan tidak dapat dijamin dengan prinsip-prinsip pembentukan lingkup daerah pemilihan, namun prinsip ini dapat digunakan sebagai upaya dalam mewujudkan keterwakilan dan keadilan.

KESIMPULAN

Besaran daerah pemilihan pada pemilihan umum anggota legislative DPR RI pada tahun 2009 telah mengalami perubahan dari 3-12 kursi menjadi 3-10 kursi. Perubahan ini merupakan agenda pemerintah sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan effective governance. Sebagai konsekuensinya, beberapa daerah pemilihan yang lebih dari sepuluh kursi harus ditata ulang pendapilanya agar sesuai dengan ketentuan undang-undang. Penggambaran ulang daerah pemilihan di beberapa kasus telah menciptakan daerah pemilihan terpisah. Dimana dalam satu daerah pemilihan antara bagian daerah pemilihan satu dengan yang lain terpisah secara utuh atau bersentuhan di ujung.

(14)

Daerah pemilihan terpisah terjadi akibat sulitnya menentukan jalan keluar atas problematika yang dilematis. Kondisi ini oleh para anggota parlemen diselesaikan menggunakan politik transaksional. Tukar menukar kepentingan partai yang berkuasa telah menghasilkan bentuk daerah pemilihan yang tidak wajar. Daerah pemilihan dibentuk tidak lagi berdasarkan prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan. Tetapi lebih pada bagaimana mencapai kesepakatan/ mufakat meskipun usulan daerah pemilihan tersebut terpisah.

Terbentuknya daerah pemilihan terpisah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergeseran suara dan perolehan kursi partai politik. Perolehan sura partai politik mengalami perubahan yang fluktuatif dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Meskipun demikian partai yang mendominasi di daerah pemilihan tersebut tidak berubah.

Di sisi lain, penurunan besaran daerah pemilihan tidak serta merta membatasi partai politik untuk mampu memenangkan kursi di daerah pemilihannya. Penurunan jumlah besaran dapil justru diiringi dengan bertambahnya jumlah partai politik yang berhasil mendapatkan kursi. Partai-partai baru bisa mendapatkan kursi apabila mampu bersaing dan menawarkan kualitasnya di masyarakat. Partai lama yang tidak mampu mengembangkan partainya akan ditinggalkan dan tereliminasi dari perolehan kursi.

Daerah pemilihan terpisah bagaimanapun juga perlu untuk diperbaiki. Hal ini dibutuhkan karena adanya beberapa alasan. Pertama, daerah pemilihan yang baik dibutuhkan untuk menyamakan kepentingan dan karakteristik dari penduduk dan wilayahnya. Kedua, apabila daerah pemilihannya baik diharapkan dapat mempermudah wakil rakyat dalam merepresentasikan kepentingan konstituennya. Ketiga, daerah pemilihan yang baik diharapkan dapat meminimalisir kendala-kendala teknis di lapangan. Perbaikan tersebut dapat dilakukan melalui penerapan UU No. 8 Tahun 2012 yaitu dengan daerah pemilihan dibentuk dengan menggabungkan bagian kabupaten/kota (kecamatan). Akan tetapi, di dalam penerapan juga perlu dikaji terkait implikasi dan kesiapan dari perangkat pemilu dan kondisi masyarakat.

Penelitian dalam skripsi ini ada beberapa hal yang penting untuk dilengkapi melalui penelitian berikutnya terkait dengan hubungan antara konstituen dengan DPR RI di daerah pemilihan terpisah. Ketika daerah pemilihan terpisah tidak berdampak pada pergeseran suara, apakah hal yang sama terjadi terhadap perilaku anggota legislative dalam merepresentasikan konstituennya. Dengan melengkapi melalui penelitian tersebut, diharapkan akan mampu memberikan penjelasan yang baik terkait implikasi pembagian lingkup daerah penelitaian terpisah dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Kartawidjaja, Pipit R dan Sidik Pramono. 2012. Akal-akalan Daerah Pemilihan. Jakarta: Perludem.

Undang, Suryatna. dkk, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 di Kota Bogor, Bogor, KPU Kota Bogor, 2014

Haryanto, Surbakti. Dkk, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 di Kabupaten Bogor, Cibinong, KPU Kabupaten Bogor, 2014.

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cianjur. Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 di Kabupaten Cianjur, Cianjur, KPU Kabupaten Cianjur, 2014.

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cianjur. Pemilihan Umum 2014 Dalam Angka & Grafik, Cianjur, KPU Kabupaten Cianjur, 2014.

Internet:

Ace Project: The electoral Knowledge Network. Updated 2012. The Ace Encyclopedia: Boundary Delimitation. www.aceproject.org. diakses pada 13 Oktober 2015 pk. 13.00

Koran:

Husein, Harun. Hikayat Dapil Supermen. Republika edisi: Jumat 5 April 2013.

Naskah Akademik/ UU:

Gambar

Tabel  diperoleh  dari  data  KPU  di  lima  Kabupaten/Kota  diantaranya:  Undang,  Suryatna

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan kondisi ekologis Situ Kedaung yang meliputi sumberdaya alam dan manusia yang berada si sekitar kawasan Situ

Diantara isolat-isolat yang didapatkan dari tiga inang yang diuji hanya isolat dari kacang panjang 4 yang membentuk nitM dan hanya isolat dari cabai yang membentuk nit3

Memberikan pelunasan dan pembebasan tanggung jawab sepenuhnya (acquit et de charge) kepada seluruh anggota direksi atas tindakan pengurusan dan kepada seluruh anggota dewan

Kawasan ini mulai mendapat berbagai masalah sejak keluarnya SK.Menhut : No.290/Kpts-II/1991 tentang perluasan lahan penelitian untuk kehutanan 3000 ha, hingga

Dalam penelitian pengembangan kuis interaktif ini, kemampuan pengamatan yang dimaksud adalah pengamatan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap fenomena atau kejadian yang

 (38) dan f (x) untuk x bernilai besar dapat dihitung nilainya sebagai suatu pendekatan dengan mengambil beberapa, misalkan 2, suku pertama saja dari ekspansi di persamaan

Pada percobaan yang dilakukan jumlah cluster paling banyak pada nilai MinPts = 1 dan dimana sebuah cluster paling sedikit memiliki anggota 1 teks tweet dan

Adapun perumusan masalah yang menjadi pokok dalam penelitian ini adalah: Sejauhmana pengaruh gaya komunikasi pimpinan terhadap motivasi kerja karyawan pada Fakultas