• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti 2.2 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti 2.2 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk termasuk kedalam ordo Diptera. Ordo Diptera terdiri dari 80 spesies yang tergolong kedalam 140 famili. Ordo ini termasuk juga dalam fillum Arthropoda. Ordo Diptera mempunyai dua pasang sayap, Karena Diptera berasal dari kata di artinya dua dan pteron yang artinya sayap, tetapi pada sayap posterior telah berubah bentuk dan berfungsi sebagai alat keseimbangan yang disebut

halter, mata majemuk (compound eyes) dan umumnya memiliki tiga mata tunggal

(ocelli), bermetamorfosis lengkap atau sempurna, mulut berfungsi sebagai penusuk untuk menghisap darah inangnya. Tahapan perkembangan terdiri dari empat tahap (stadium) yaitu telur, larva, pupa dan dewasa (Freeman 1973).

Ordo Diptera dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok subordo yaitu Nematocera, Brachycera dan Cylorrhapha (Freeman 1973). Pada subordo Nematocera yang mempunyai ciri utama yaitu : nyamuk dewasa bertubuh kecil, larva dan pupa hidup di air (akuatik), mempunyai antena berbentuk filiform

(panjang antena melebihi ukuran panjang kepala dan toraks) terdiri dari 8 ruas dengan ukuran hampir sama, kecuali ruas pertama dan kedua yang dekat dengan kepala dan toraks, dan jumlah palpi maksila terdiri dari 4 sampai 5 ruas.

2.2 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti

Menurut Service (1986) nyamuk Aedes aegypti dan diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Fillum : Invertebrata Kelas : Insecta Ordo : Diptera Sub ordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamili : Culicinae Genus : Aedes

(2)

Nyamuk Aedes aegypti termasuk kedalam famili Culicidae. Famili Culicidae tersebar luas dari kutub sampai ke daerah tropika dan mempunyai 3 sub famili yang penting dalam bidang kesehatan yaitu : Toxorhynchitinae, Culicinae (misalnya : Aedes aegypti), Anophelinae.

2.3 Penyebaran Geografis

Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di dunia, terutama di daerah yang terletak di antara 40 0LU dan 40 0LS dengan suhu udara antara 8 0C - 37 0C (Soedarta 1990). Aedes aegyti berasal dari Afrika dan telah menyebar ke berbagai penjuru dunia dengan mengikuti mobilitas manusia melalui kapal, kereta, pesawat ataupun mobil. Habitat utamanya yaitu di daerah tropik dan subtropik bersama dengan manusia dan setiap tahunnya dapat bermigrasi mengikuti pergerakan manusia (Chandler & Read 1961).

2.4 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Secara umum, bentuk dan ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti memiliki kesamaan dengan Aedes albopictus (Gambar 1). Perbedaannya terletak jelas warna putih yang terdapat pada skutum, dimana pada nyamuk Aedes aegypti

terdapat warna putih keperakan berupa garis melengkung pada kedua sisi skutumnya sedangkan pada Aedes albopictus warna keperakan terdapat di bagian tengah skutum (Yap & Chong 1995).

Gambar 1 Nyamuk Aedes aegypti dari sisi lateral tubuh(Anonimus 1998) Nyamuk dari genus Aedes mempunyai ciri-ciri umum, badan berukuran kecil yaitu sekitar 3 - 4 mm tanpa panjang kaki (Anonimus 2000b) dengan warna

(3)

dasar hitam dan khas ditandai belang putih keperakan. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik perak. Oksiput bersisik lebar dan berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah basal sedangkan pada anterior dan tengah bersisik putih memanjang. Tibia seluruhnya berwarna hitam. Tarsi belakang mempunyai lingkaran berwarna putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih. Sayap terlihat sempit dan berwarna hitam kecuali pada bagian dasar dari sayap (Service 1971).

Kepala Aedes agak membulat, hampir seluruhnya diliputi oleh sepasang mata majemuk. Antara nyamuk jantan dan nyamuk betina dapat dibedakan dari bentuk antena dan panjang probosis. Antena pada nyamuk jantan memiliki bulu yang disebut antena “plumose” dan palpusnya sama panjangnya dengan probosis. Antena pada nyamuk betina mempunyai sedikit bulu yang disebut antena “pilose” dengan panjang palpus seperempat dari panjang probosisnya (Soulsby 1968; Noble & Noble 1976). Pada nyamuk betina, bagian probosis lebih panjang dan kokoh, hal ini disesuaikan dengan kegunaanya untuk menusuk dan menghisap darah sedangkan pada jantan probosis lebih pendek, karena pada nyamuk jantan tidak menghisap darah. Bila dilihat dari ukurannya maka dapat terlihat bahwa nyamuk jantan berukuran lebih kecil dan ramping dibandingkan nyamuk betina.

Telur biasanya diletakkan dalam air atau didekat air, baik itu air hujan, air kolam atau berbagai benda yang dapat menjadi tempat penampung air terutama air hujan. Faktor yang menentukan menetas atau tidaknya telur dipengaruhi oleh temperatur air, sifat alami mikroflora di dalamnya, ada tidaknya zat pembusuk dalam air dan kadar keasaman atau kebasaan air (Soulsby 1968). Nyamuk Aedes aegypti mempunyai siklus bertelur yang teratur yaitu pada sore hari. Cahaya menjadi faktor kontrol yang utama, tetapi apabila keadaan cahaya yang tidak konstan menyebabkan siklus oviposisi menjadi tidak teratur (Wigglesworth 1972). Pada beberapa kasus, telur dapat bertahan hidup selama kurang lebih 3 bulan pada kondisi lingkungan yang kering, namun jika ada air maka sebagian besar dari telur akan segera menetas tetapi beberapa dari telur akan tetap dorman dan menetas jika 2 sampai 3 kali sudah terkena air (Kettle 1984).

(4)

Pada keadaan lingkungan yang normal telur akan menetas setelah 1,26 hari menjadi larva (Reiter 1980). Reaksi telur menetas disebabkan karena rangsangan dan central nervous system dari larva didalam telur. Penetasan mungkin juga disebabkan oleh telur yang mengumpul berdesak - desakan (Wigglesworth 1972). Stadium larva dari nyamuk Aedes aegypti terdapat di dalam berbagai tempat aquatik yang mengandung air jernih seperti dalam bak mandi. Larva menjadi sangat aktif, yaitu membuat gerakan ke atas dan ke bawah, jika air terguncang. Jika sedang istirahat larva akan diam dan tubuhnya membentuk sudut terhadap permukaan air (Soedarta 1990).

Larva mempunyai kepala yang terbentuk dengan baik dan abdomen yang terdiri dari 8 segmen serta rongga dada yang terpisah (Gambar 2 A dan B). Kepala mempunyai sepasang mata majemuk, antena berambut, beberapa buah rambut dengan mulut terdiri dari masticatory (mandibula) yang dikelilingi oleh bagian yang berbentuk seperti sikat yang berfungsi untuk menghasilkan aliran air sehingga dapat membawa makanan ke dalam mulut (Soulsby 1968).

(A) (B)

Gambar 2 A : Larva Aedes aegypti (Anonimus 2000a), B : Pupa Aedes aegypti

yang sedang Ekslosi (Anonimus 2000b)

Larva nyamuk Aedes aegypti membutuhkan waktu 3 - 20 hari untuk melewati empat tahapan instar tergantung pada temperatur dan kondisi lingkungan yang lain (Williams 1978). Pada stadium larva banyak dipengaruhi oleh suhu dan makanan. Menurut De Meillon et al. (1989) stadium larva berkisar antara 4 - 8 hari pada suhu 28 0C bagi larva yang dipelihara dengan diberi pakan ekstrak hati, ragi dan vitamin B komplek. Sedangkan menurut French et al. (1984) stadium larva berkisar 7 hari pada suhu 27 0C. Larva Aedes aegypti yang dibiakkan pada suhu diatas 30 0C akan mati bila suhu turun menjadi dibawah -0,5 0C dalam waktu

(5)

17 jam namun larva akan bertahap hidup jika suhu 24 jam sebelumnya antara 18 - 20 0C (Bursell 1964 dalam Romoser 1970).

Stadium pupa adalah stadium lanjutan dari stadium larva yang merupakan stadium yang terakhir di dalam air. Selama fase ini pupa tidak makan (puasa) dan biasannya dijumpai pada permukaan air (Gambar 3). Bentuk tubuh pupa bengkok dengan kepala yang besar (Bahang 1978). Pupa bernafas pada permukaan air dengan melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada toraks (Borror

et al. 1971).

Gambar 3. Pupa dan Larva Aedes aegypti (Anonimus 2000c)

2.5 Siklus Hidup Aedes aegypti

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari empat tahap (stadium), (Gambar 4), yaitu : telur - larva (larva instar1, 2, 3 dan 4) - pupa - dewasa (imago) (Mattingly 1973). Nyamuk betina dapat bertelur sampai sekitar 100 - 400 butir dalam satu kali bertelur setelah 3 hari menghisap darah. Menurut Rahmawati (2004) Aedes aegypti mampu bertelur sebanyak 86 butir setelah 2 hari menghisap darah. Pada kondisi normal setelah menghisap darah nyamuk betina akan menghisap darah lagi sampai selesai meletakkan satu kelompok telur.

Pada beberapa jenis Aedes bersifat univoltine yaitu hanya mampu menghasilkan satu generasi tiap tahun (Williams et al. 1978). Di daerah tropis, telur akan menetas dua sampai empat hari setelah oviposisi. Menurut Bahang (1978) telur akan menetas dalam waktu 1 - 48 jam pada suhu 23 - 27 0C. Telur nyamuk Aedes aegypti memerlukan beberapa hari untuk berkembang embrio yaitu sekitar 2 - 3 hari dan kemudian menetas beberapa menit setelah diletakkan di

(6)

bawah permukaan air (Chandler & Read 1961). Namun pada daerah bersuhu dingin, telur tersebut akan menetas tidak sampai satu atau dua minggu. Menurut Chanon & Potnam (1934) dalam Christopher (1960) pada kodisi optimum telur tersebut dapat disimpan selama enam bulan dengan angka kematian yang rendah sedangkan bila disimpan selama satu tahun atau lebih maka daya tetas telur akan berkurang hingga mencapai 5 %. Telur sangat sensitif terhadap temperatur yang rendah dan sering tidak dapat hidup jika dipelihara di bawah suhu 10 0C, tetapi sangat rentan terhadap kekeringan (Cheng 1974).

Gambar 4 Siklus hidup Aedes aegypti

(Anonimus 1998)

Pada suhu yang panas di daerah tropis, perkembangan telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu sekitar 7 - 10 hari, sedangkan perkembangan larva (L1 – L2 – L3 – L4) membutuhkan waktu sekitar 4 - 5 hari. Namun, pada umumnya perkembangan larva secara lengkap membutuhkan waktu selama 10 - 12 hari (Service 1986). Larva telah dilengkapi dengan insang dan bernafas ke permukaan air. Larva bernafas ke permukaan air dengan menggunakan suatu tabung udara yang disebut ”sifon” (Baerg 1974). Sifon pada Aedes biasanya khas karena berukuran pendek (Kettle 1984). Sifon berasal dari bagian dorsal segmen

(7)

abdominal kedelapan dan mengelilingi stigmata (Soulsby 1968). Menurut Bahang (1978) di Kuala Lumpur, stadium larva Aedes aegypti dapat membutuhkan waktu sekitar 6 - 8 hari.

Stadium pupa berlangsung singkat yaitu selama 24 - 48 jam (Bahang 1978). Stadium pupa yang berlangsung pada daerah tropis hanya memerlukan waktu sekitar 2 - 3 hari sedangkan di daerah yang bersuhu lebih rendah (di bawah 10 0C) maka lamanya stadium pupa dapat diperpanjang sampai 10 hari (Service 1986). Menurut Rahmawati (2004) pupa yang berukuran besar memiliki panjang 4,1500 ± 0,2415 mm dengan diameter kepala 1,4500 ± 0,3869 mm dan pupa kecil dengan panjang 3,3000 ± 0,2582 mm dan diameter 1,0300 ± 0,1767 mm. Sebanyak 92 % pupa yang berukuran besar kemudian akan menjadi nyamuk betina dewasa dan 92 % pupa berukuran kecil menjadi nyamuk jantan dewasa. Pada waktu menetas kulit pupa akan tersobek (ekslosi) oleh gelembung udara dan oleh kegiatan bentuk dewasa yang berusaha untuk membebaskan diri. Setelah 24 - 48 jam muncul lebih dahulu meskipun demikian pada akhirnya perbandingan jantan dan betina yang keluar akan sama yaitu 1 : 1 (Afandi 2001).

Pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti sangat terpengaruh oleh lingkungan sekitar sehingga semakin tinggi suhu lingkungan maka populasi nyamuk akan meningkat pula. Suhu optimum yang baik dan efektif untuk pertumbuhan nyamuk

Aedes aegypti berkisar 30 - 31 0C (Harwoord & James 1979). Nyamuk dewasa jantan pada umumnya mampu bertahan hidup selama 6 sampai 7 hari sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu di alam (Freeman 1973).

2.6 Habitat dan Perilaku Hidup

Habitat yang baik untuk perkembangan nyamuk Aedes aegypti, misalnya pada air yang menggenang, empang, kolam, bak mandi, parit, kubangan (Horsfall 1955). Mewabahnya demam berdarah berkait erat dengan dengan meledaknya populasi nyamuk setelah turun hujan, sebab tingkat curah hujan yang tinggi turut memicu bertambahnya tempat perindukan nyamuk. Karakter nyamuk Aedes yang menyukai bertelur di air bersih dan tergenang memang menjadi salah satu pemicu. Semula, Aedes aegypti biasanya hanya bertelur di bak - bak mandi (dimana ada air bersih yang lama tidak dikuras), namun ketika hujan tiba, tempat bersarang mereka bisa berpindah ke tempat - tempat saluran air (got) yang airnya telah

(8)

berganti akibat siraman hujan atau cekungan yang menampung air bersih (Depkes 2006). Oleh karena itu ahli lingkungan menyimpulkan, perubahan iklim ternyata ikut menimbulkan peningkatan penyakit menular. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH 2002) mensinyalir laporan Asian Development Bank (ADB) bahwa perubahan iklim akan meningkatkan penderita demam berdarah.

Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai pancaran sinar matahari sehingga lebih suka bersembunyi di tempat gelap di dalam rumah ataupun di sela - sela pakaian manusia. Dalam kondisi seperti inilah nyamuk ini bertelur. Genangan dari air hujan dan potongan bambu juga dapat menjadi tempat berkembang biak nyamuk (Service 1986). Stadium larva juga banyak dijumpai di tempat - tempat penyimpanan air bersih seperti drum, tempayan, gentong ataupun bak mandi yang terdapat di dalam atau di luar rumah.

Akibat konsentrasi karbon yang tinggi di atmosfer pada kasus demam berdarah meningkat empat kali lipat, dari enam jiwa menjadi 26 per 10.000 orang. Perubahan iklim global terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dan nitrous oksida (N2O), akibat pembakaran bahan bakar dari fosil, penggundulan hutan dan praktik pertanian. Perubahan iklim ini biasaya ditandai dengan melimpahnya hujan di atas rata - rata pada saat musim hujan dan kering yang berkepanjangan pada musim kemarau (KLH 2002).

Penelitian yang pernah dilakukan di kawasan iklim sedang (temperate), pemanasan global bukan saja meningkatkan sebaran nyamuk, tapi juga mereduksi ukuran larva dan ukuran dewasanya, akibatnya nyamuk dengan perawakan dewasa yang kecil akan menggigit lebih sering untuk mengembangkan telurnya. Selain itu temperatur yang hangat dapat membangkitkan pemakanan dua kali (double feeding) yang dapat meningkatkan kesempatan penularan yang lebih banyak (KLH 2002).

2.7 Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue atau sering disingkat DBD, merupakan penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk vektor Aedes. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda Borne Viruses (Arbovirosis), yang termasuk ke dalam famili Flaviviridae, dengan genusnya adalah flavivirus. Virus

(9)

ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus dengue. Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Satler et al. 1994).

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam mengisap darah, berulang kali menusukkan probosisnya, namun tidak berhasil mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin besar (Baerg 1974).

Wabah DBD pertama kali terjadi pada tahun 1780-an secara bersamaan di Asia, Afrika dan Amerika utara, penyakit ini kemudian terkenal dan dinamai pada 1779. Wabah besar global dimulai di Asia Tenggara pada 1950-an dan hingga 1975 demam berdarah ini telah menjadi penyebab kematian utama di antaranya yang terjadi pada anak - anak di daerah tersebut (Womack 1993).

Vektor utama penular penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti yang berkembangbiak di lingkungan permukiman di perkotaan. Vektor keduanya adalah Aedes albopictus, yang juga berkembangbiak di lingkungan permukiman, tetapi banyak ditemukan di daerah semi urban (Soulsby 1968). Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif jika di dalam tubuhnya telah membawa virus dengue.

Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD karena vektor dari virus tersebut tersebar luas baik di rumah maupun tempat - tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya lancar (Depkes 2003) .

(10)

2.8 Teori Suhu Dasar dan Satuan Panas (Heat Unit)

Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini dapat diproyeksikan sebagai model perubahan secara global atau menyeluruh. Menurut Epstein (1998) keterkaitan antara perubahan iklim dengan kecepatan penyebaran penyakit saat ini, terutama penyakit yang disebarkan oleh vektor nyamuk, misalnya demam berdarah dengue (DBD). Dari berbagai literatur menyebutkan bahwa meskipun perubahan iklim global dapat mempengaruhi dinamika transmisi penyakit, tetapi faktor iklim tidak berpengaruh secara linear (Focks et al. 1993). Ini berarti iklim bukan faktor utama dari kejadian penyakit demam berdarah.

Adanya kecenderungan semakin meningkatnya tingkat kejadian penyakit DBD, telah menarik perhatian banyak pihak untuk segera menangani dan mengantisipasi masalah ini. Dalam sistem ini informasi prakiraan cuaca atau iklim dijadikan sebagai salah satu masukan (input) untuk menduga tingkat resiko kejadian penyakit DBD pada suatu musim. Upaya ini diperkirakan akan efektif karena ditemui adanya keeratan hubungan antara kejadian penyakit DBD dengan keadaan cuaca beberapa periode sebelum periode kejadian (Epstein 1998).

Transmisi penyakit DBD sangat dipengaruhi oleh populasi dari vektor utamanya, yaitu Ae. aegypti. Oleh karena itu perhitungan satuan panas (degree days) dan suhu dasar dari vektor tersebut sangat penting. Derajat hari (degree days) sering juga disebut satuan atau indeks panas (heat unit atau heat index) menghubungkan perkembangan tanaman, serangga dan organisme penyakit dengan suhu udara lingkungan. Suhu dasar didefinisikan sebagai titik kritis (suhu minimum) suatu mahluk hidup masih dapat tumbuh pada tahap perkembangan (Christopher 1960). Suhu dasar tergantung dari spesies. Derajat Hari (DH) dihitung dengan cara mengurangkan suhu dasar dari suhu rataan harian. Penjumlahan DH dalam satu periode dapat dihubungkan dengan penyelesaian satu tahapan perkembangan tanaman, serangga dan organisme penyakit. Di bawah suhu dasar perkembangan akan berkurang atau berhenti. Sebagai contoh, tanaman-tanaman musim dingin mempunyai suhu dasar 5 0C, tanaman-tanaman musim hangat (jagung manis, kacang hijau) mempunyai suhu dasar 10 0C, dan tanaman-tanaman musim panas (kapas, okra) mempunyai suhu dasar 15 0C (WMO 2006).

Gambar

Gambar 3. Pupa dan Larva Aedes aegypti (Anonimus 2000c)
Gambar 4 Siklus hidup Aedes aegypti  (Anonimus 1998)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan menggunakan model SAVI berpendekatan kontekstual tuntas baik individual maupun klasikal, kemampuan

Perseroan bersaing dengan sejumlah produsen dan pemasar produk-produk susu UHT dan teh RTD domestik dan multi nasional, yang beberapa diantaranya berukuran lebih besar dan

Bagi Penyedia Jasa atau Pemilik Kapal yang sedang menjalani pemeriksaan oleh instansi yang terkait, antara lain pihak kepolisian, TNI, Bea Cukai, Perpajakan, atas

Kateterisasi jantung : Pemeriksaan kateterisasi jantung penting dilakukan untuk menilai derajat insufisiensi aorta pada penderita yang insufisiensinya dinilai sedang

Hasil penelitian juga menunjukkan pada penilaian kerusakan otonom pada responden baik kaki kanan maupun kaki kiri lebih banyak mengalami kerusakan otonom multipel

Av de sorter som finns i det ekologiska sortförsöket 2009 (Hagman, 2010), är Melody tillsammans med sorten Terra Gold känsligast för skalmissfärgning (Melody 26 %, Terra Gold, 19 %

Maka dari itu pihak koperasi memiliki sebuah program terbaru untuk menjadi salah satu sarana untuk mengendalikan risiko pembiayaanyaitu dengan menggunakan “Kotak

Sub DAS yang menunjukkan kriteria kualitas perairan yang paling baik yaitu pada sub DAS Cisukabirus dengan rata-rata nilai 3,96 dengan kriteria ‘sangat baik’, hal ini