1.1
LA TAR BELAK.ANG
BABl
PENDAHULUAN
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah yang
berlaku di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang
telah direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004
dijelaskan bahwa pemerintah daerah memisahkan fungsi eksekutif dengan fungsi
legislatif. Berdasarkan fungsinya, Pemerintah Daerah (
eksekutij)dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
(legislatij)terdapat hubungan keagenan (Halim dan
Abdullah, 2006). Secara implisit, peraturan perundang-undangan merupakan
peijanjian antara eksekutif, legislatif, dan publik.
Undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada daerah yang
salah satunya adalah penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Dalam APBD pengalokasian sumber daya merupakan permasalahan
yang mendasar dalam penganggaran sektor publik. Keterbatasan sumber daya
merupakan akar masalah dalam pengalokasian anggaran sektor publik yang dapat
diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai teori. Tuntutan untuk
mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah
yang mengalami kapasitas fiskal yang rendah (Halim, 2001 ).
Pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu memberikan kebijakan alokasi anggaran daerah lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah cara untuk mencapai tujuan otonomi. Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 524 daerah saat ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang merata dan berkeadilan adalah melalui penyusunan APBD yang efektif, akuntabel dan transparan. APBD merupakan instrumen utama kebijakan fiskal yang mempunyai peranan sangat strategis dengan tiga fungsi utama, yaitu fungsi
alokasi, distribusi danfongsi stabilisasi.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori yaitu: (I) belanja menurut urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan; (2) belanja menurut fungsi; (3) belanja menurut organisasi dan ( 4) belanja menurut program dan kegiatan
(pasal 24).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data belanja menurut klasifikasi yang ke-4 yaitu belanja menurut program dan kegiatan. Pertimbangan penulis bahwa belanja menurut program dan kegiatan lebih spesifik serta merupakan format dasar Rencana Kelja Anggran Satuan Kelja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja, sehingga menjadi dokumen anggaran yang disebut Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD).Anggaran sektor publik pemerintah daerah dalam APBD dapat dilihat
kondisi keuangan suatu Pemerintah Daerah. Pada sisi pendapatan, dengan
membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total pendapatan dapat
dilihat tingkat kemandirian suatu daerah, dimana semakin tinggi nilainya semakin
tinggi tingkat kemandirian keuangan daerahnya. Dari sisi pengeluaran dapat
dilihat kecendrungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung
mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait dengan upaya peningkatan
ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan
aparatur, seperti belanja pegawai.
Postur belanja APBD saat ini menurut Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), sebanyak 124 daerah menggunakan lebih dari
60% APBD daerahnya hanya untuk belanja pegawai, jika dipersempit lagi
sebanyak 16 pemerintah daerah temyata menganggarkan belanja pegawainya
mencapai 70% lebih, dimana Kabupaten Lumajang provinsi Jawa Timur,
menduduki peringkat tertinggi dengan belanja pegawai mencapai 83%. (Indopost,
8 Oktober 2011 ).
APBD disusun oleh suatu daerah untuk meningkatkan daerah dan
kesejahteraan masyarakatnya. Dengan adanya APBD, suatu daerah dapat
memaksimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, lalu membelanjakan dana
tersebut sesuai program dan kegiatan yang telah ditentukan dalam peraturan
daerah setempat. Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli
daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Berikut data
yang berkaitan dengan pendapatan daerah di Indonesia :
Tabel1.1
Trend APBD, Tahun 2007-2011
Sumber: Sumber: Realisasi APBD 2007- 2009 dan APBD 20/0-201 I (Diolah)
Jika dilihat dari tabel di atas, Secara nasional ketergantungan seluruh
pemerintah daerah terhadap dana perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD walaupun mengalami peningkatan setiap tahunnya tetapi pad a tahun 2011 anggarannya hanya sebesar 19,66%. Sedangkan trend dana perimbangan setiap tahun men gal ami penurunan hingga mencapai 71,18% pada tahun 2011.
Trend kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 9, 16%.
Sedangkan pengeluaran yang dilakukan oleh daerah disebut belanja daerah. Belanja daerah menurut Permendagri No.13 Tahun 2006 dibagi dalam dua
klasiflkasi yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung terdiri dari: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi
basil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah yang telah dianggarkan. Gambar 2 menunjukan tabel porsi belanja di Kabupaten!Kota di Indonesia:
Tabell.2
Porsi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan klasifikasi
ekonomi, 2007-2011
Sumber: Sumber: Realisasi APED 2007-2009 dan APED 2010-2011 (Diolah)
Jika di lihat dari Gambar 2, hila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011 maka dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan hila dibandingkan dengan jenis belanja yang lainnya. Belanja Pegawai mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2010 yaitu
belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 21,0% pada tahun 2011.
Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yang cukup tajam
terjadi pada tahun 2010 hanya sebesar 22,5%, tetapi pada tahun 2011 porsinya
menjadi 22,1%. Sedangkan belanja lainnya cenderung
turunhingga hanya
dianggarkan sebesar 9,78% pada tahun 2011.
Berapa sebenarnya proporsi alokasi anggaran aparatur dan
anggaran
publik yang ideal di dalam APBD? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab.
Bagaimana rasio yang ideal dalam struktur APBD antara belanja tidak langsung
dengan belanja langsung, sampai saat ini masih belum ada ketentuan dan rumusan
yang dapat digunakan sebagai acuan agar penyusunan APBD dapat optimal,
efektif dan efisien. Namun, mengutip pemaparan Bambang Agus Salam, peneliti
dariAsian Development Bank (ADB) belanja publik idealnya 70% sampai 80%
dariAPBD. Pemerintah Daerah seharusnya menekan pengeluaran anggaran
belanja tidak langsung seminimal mungkin, sehingga alokasi anggaran belanja
publik bisa lebih besar. (Sorotnews.com, 14 Mei 2012).
Bagaimana pemerintah daerah
mengalokasikan
sumberdaya yang
dimilikinya merupakan pertanyaan penelitian yang menarik sejak lama. Peneliti
menggunakan berbagai pendekatan untuk menjelaskan perilaku pemerintah daerah
dalam mengalokasikan dana yang dimilikinya, baik dana yang bersumber
daritransfer pemerintah di atasnya ataupun dari pendapatannya sendiri. Pemerintah
daerah bisa merespon transfer dari Pemerintah pusat secara simetris dan tidak
simetris (Gamkhar dan Oates, 1996). Beberapa peneliti menemukan bahwa respon
Pemerintah daerah berbeda untuk transfer dan pendapatan sendiri (seperti pajak).
Artinya, ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka stimulasi atas belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulasi yang muncul dari pendapatan daerah (terutama pajak daerah). Ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap transfer, maka disebutjlypaper effect (Oates, 1999).
Abdullah (2004) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tetapi alokasi untuk belanja modal justru mengalami penurunan. Abdullah (2004) menduga power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan spread PAD tidak sesuai dengan preferensi publik.
Abdullah dan Halim (2004); Deller dan Maher (2005); dan Maimunah (2006) menunjukan bahwa secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja. Secara empiris juga ditemukan adanya fenomena flypaper effect yakni adanya perbedaan dalam pola belanja atau pengeluaran untuk pendapatan dari usaha sendiri dengan pendapatan yang diberikan oleh pihak lain (grants atau transfer).
Abdullah dan Halim (2004) menemukan bahwa swnber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama hila dikaitkan dengan kepentingan politis.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et al (1994) dalam Darwanto dan Yustikasarim (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Pada prakteknya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintah daerah "dilaporkan" dalam perhitungan APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi (kalau tidak mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menj am in tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri menurut Sidik et al (2002).
Penelitian sebelumnya telah banyak yang mengangkat permasalahan transfer ini, di Amerika Serikat, persentase transfer dari seluruh pendapatan mencapai 50% untuk pemerintah federal dan 60% untuk pemerintah daerah (Fischer, 1996). Khususnya di daerah Winconsin di AS sebasar 47% pendapatan pemerintah daerah berasal dari transfer pemerintah pusat (Deller et al, 2002).
Di
negara-negara lain, persentase transfer atas pengeluaran pemerintah daerah adalah 85% di Afrika selatan, 67% - 95% di Nigeria, dan 70% - 90% di Meksiko. Di Indonesia, pada masa sekarang ini, sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, transfer yang dalam hal ini disamakan istilahnya dengan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN.
Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Halim (2004) menyimpulkan bahwa sumber pendapatan daerah berupa dana perimbangan berasosiasi positif terhadap belanja modal, semen tara PAD tidak. Temuan yang sama juga terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Harianto dan Adi (2007); Maharani (2007); maupun Putro (20 11 ).
Maimunah (2006) menguji .flypaper effect pada DAU dan PAD terhadap belanja daerah pada Kabupaten/Kota di pulau Sumatera. Hasil penelitian mendapatakan besamya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besamya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, telah terjadi .flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten!Kota di Sumatera. Ketiga, terdapat pengaruh .flypaper effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan. Keempat, tidak terdapat perbedaan terjadinyajlypaper effect baik pada daerah yang PADnya rendah maupun tinggi di Kabupaten!Kota di pulau Sumatera. Kelima, tidak terjadi .flypaper effect pada Belanja bidang Pendidikan, tetapi telah terjadi.flypaper effect
pada Belanja Dearah bidang Kesehatan dan bidang Pekerjaan Umum.
Khairan (2007) melakukan penelitian mengenai terjadi tidaknya .flypaper effect pada DAU dan PAD terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Pelayanan Publik pada Kabupaten!Kota di Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Hasil menunjukan bahwa DAU dan PAD yang diuji secara terpisah terdapat pengaruh terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Publik. Namun ketika diuji serentak terhadap pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Aperatur yang signifikan. Hal ini berarti tidak terjadiflypaper effect. Sedangkan DAU dan PAD
terhadap belanja publik menunjukan hasil yang tidak signifikan. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa telah terjadijlypaper effect.
Di mana fenomena dalam penelitian ini adalah terdapat fakta bahwa alokasi
belanja tidak langsung (aparatur) yang diproksikan dengan belanja pegawai dalam
APBD cukup besar dibandingkan dengan belanja langsung (Publik) yang
memiliki keterkaitan langsung dengan program dan kegiatan yang bersentuhan
langsung dengan kesejahteraan masyarakat yang di proksikan dengan belanja
modal. Berdasar kajian FITRA (201:?) pada tahun 2011 terdapat 298 daerah yang
mengalokasikan separoh lebih APBD tmtuk belanja Pegawai, lalu meningkat
menjadi 302 daerah pada tahun 2012. Bahkan 11 daerah mengalokasikan lebih
dari 70% anggaran untuk belanja pegawai. Akibatnya belanja modal untuk
perturnbuhan ekonomi dan kesejahteraan san gat sempit (Jawa Post, 13 Mei 2013).
Perbedaan hasil penelitian sebelumnya membuat penulis tertarik untuk
melakukan penelitan lebih lanjut mengenai pengaruh pendapatan terhadap alokasi
belanja daerah yaitu belanja tak langsung dan belanja langsung. Berbeda dengan
penelitian sebelurnnya penelitian ini bermaksud untuk menganalisis sejauh mana
DAU dan PAD berpengaruh terhadap alokasi Belanja Daerah yang dibreak-down
dalam dua belanja yaitu belanja tidak langsung yang di proksikan Belanja
Pegawai dan belanja langsung yang diproksikan Belanja Modal. Penelitian ini
mengunakan Belanja Pegawai karena yang paling banyak menyerap Anggaran
Belanja Daerah di atas 50%, tetapi pada penelitian-penelitian sebelurnnya kurang
di angkat dalam hubunganya dengan pendapatan. Alasan kedua peneliti ingin
memberikan bukti secara empiris apakah terdapat flypaper effict terhadap Belanja Pegawai dan Belanja Modal.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada pendahuluan diatas maka rumusan masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
I. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Pegawai?
2. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Pegawai?
3. Apakah Dana Alokasi Umurn berpengaruh positif terhadap Belanja Modal?
4. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal?
5. Manakah yang berpengaruh lebih besar antara Dana Alokasi Umurn dengan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pegawai?
6. Manakah yang berpengaruh lebih besar antara Dana Alokasi Umurn dengan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini antara lain:
1. Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Pegawai. 2. Untuk menguji pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja
3. Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal.
4.
Untuk menguji pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal.
5. Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Pegawai
lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja
Pegawai.
6.
Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal
lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja
Modal.
1.4
MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi berbagai pihak, antara lain:
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan untuk melengkapi literatur-literatur
akuntansi sektor publik khususnya yang berkaitan dengan pengaruh
komponen Pendapatan terhadap Belanja dalam APBD. Apabila hasil
penelitian tidak sesuai dengn teori-teori yang ada maka tentu ada
argumentasi lain yang mendukung hasil penelitian.
2.
Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk meninjau kinetja
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan
dalamAPBD.
3. Manfaat Kebijakan
a) Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun anggaran dan kebijakan-kebijakan tentang pengelolaan keuangan pemerintah daerah dimasa mendatang agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai tujuan otonomi daerah.
b) Penelitian ini memberikan informasi mengenai fenomena Flypaper
Effect,
pada suatu kondisi ketika pemerintah daerah merespon belanjadaerah dalam menggunakan pendapatan transfer dan PAD. Sehigga diharapkan daerah lebih terpacu didalam meningkatkan PAD nya.
1.5
RUANG LINGKUP
PENELITIANPenelitian