• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi komputer pada bidang komunikasi adalah internet (Andini, 2006). Internet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. teknologi komputer pada bidang komunikasi adalah internet (Andini, 2006). Internet"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan teknologi komputer telah memberikan banyak kemudahan di dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Salah satu bentuk dari kecanggihan teknologi komputer pada bidang komunikasi adalah internet (Andini, 2006). Internet berkembang sebagai media yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat di belahan dunia menjadikan setiap individu memperoleh kesempatan untuk mengakses informasi apapun secara cepat (Jufri, 2005).

Bagi orang-orang yang tinggal di kota, khususnya kota-kota yang ada di Indonesia, peran internet dijadikan kebutuhan informasi utama karena saat ini masyarakat kota cenderung haus akan informasi, apabila tidak mengenyam informasi satu hari saja rasa-rasanya hidup ini menjadi serba gelisah tak karuan dan takut dianggap ketinggalan zaman (Purwaningsih, 2008). Hal ini sesuai dengan pernyataan Andini (2006) bahwa internet sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari evolusi sosialisasi manusia. Semakin kuatnya peran internet terhadap kebutuhan manusia, maka fasilitas-fasilitas yang ada di internet bersaing secara ketat untuk menampilkan hal-hal atau info semenarik mungkin. Salah satu fasilitas yang paling fenomenal saat ini adalah cybersex (Cooper & Griffin-Shelley, 2002).

Cybersex terjadi ketika orang menggunakan komputer yang berisi tentang teks, suara dan gambar yang didapatkan dari software atau internet untuk stimulus

(2)

seksual dan secara khusus mencakup dua atau lebih orang berinteraksi diinternet yang membangkitkan gairah seksual satu dengan yang lainnya (Maheu, 2001). Hal serupa diungkapkan oleh Cooper dan Griffin-Shelley (2002) bahwa cybersex merupakan penggunaan internet untuk terlibat dalam aktivitas yang berisi stimulasi dan kesenangan seksual, seperti melihat gambar-gambar erotis, terlibat dalam chatting tentang seks, saling tukar menukar gambar atau pesan email tentang seks yang terkadang diikuti oleh masturbasi.

Pengaruh internet terhadap seks memang menjadi signifikan yang akan dikenal dengan “revolusi seksual” (Cooper dkk., 2000). Berdasarkan hasil sebuah survei, 38% dari pengguna internet mengatakan bahwa mereka terlibat dalam cybersex dan kurang lebih 3% dari mereka terlibat lebih sering bahkan hampir setiap saat. Dalam hasil survei tersebut juga melaporkan bahwa 25% responden yang melakukan cybersex telah bertemu dengan pasangan online mereka untuk melakukan kencan atau melakukan seks di dunia nyata (Cooper dalam Weiten & Lloyd, 2006). Sedangkan dalam penelitian Egan (dalam Weiten & Lloyd, 2006) melaporkan bahwa 20% dan 33% pengguna internet terlibat dalam beberapa bentuk aktivitas cybersex.

Delmonico, Carnes, dan Griffin (2001) mengkategorikan beberapa bentuk aktivitas cybersex yaitu yang pertama, multimedia software yang diliputi oleh gambar, suara, dan videoklip seperti menonton video dan film porno, serta memainkan game porno. Kedua, terlibat real time dengan pasangan online seperti mengobrol yang memuat obrolan erotis dengan pasangan online secara real-time di

(3)

ruang chat. Terakhir, mengakses pornografi di internet seperti gambar, video, majalah, dan cerita porno.

Mengakses pornografi di internet adalah hal yang paling mudah diakses oleh siapapun, apalagi perkembangan situs porno yang semakin hari semakin meningkat di internet. Hal ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh American Demograhics Magazine bahwa situs-situs porno di internet dewasa ini meningkat dari 22.100 situs pada 1997 menjadi 280.000 pada tahun 2000 atau melonjak lebih banyak dari kurun waktu tiga tahun, (Mudiarjo dalam Nainggolan, 2008). Cooper (1998) juga menegaskan bahwa seks ataupun hal-hal yang berbau porno menempati urutan pertama topik yang paling digemari dan dicari oleh para netter di Amerika.

Hal tersebut bukan hanya terjadi di Amerika saja, namun kenyataannya di Indonesia sendiri tidak jauh berbeda (dalam Okezone, 2008). Hal ini didukung oleh Aziyz (2009) yang manyatakan bahwa berdasarkan internet pornography statistic, untuk mengakses situs porno di internet, Indonesia menempati peringkat ketujuh dunia setelah Pakistan, India, Mesir, Turki, Aljazair, dan Maroko. Namun kondisi ini terus meningkat menjadi peringkat kelima pada tahun 2007 dan menjadi peringkat ketiga pada tahun 2009.

Perkembangan situs porno di Indonesia memang semakin meningkat dan ramai akan pengunjung. Hal ini dapat dilihat dari hasil situs Alexa.com tentang 100 situs dengan peringkat tertinggi yang paling banyak diakses oleh penduduk Indonesia. Adapun enam situs yang dimaksud adalah tu***.com (peringkat 51 – full) yang menyediakan video dan film porno gratis, dunia***.com (peringkat 52 –

(4)

medium), you***.com (peringkat 58 – full) dimana pengunjung dapat menonton video dan men-upload video pribadinya, bluef***.com (peringkat 62 – medium), Beb***.info (peringkat 79 – full) dan p***hub.com (peringkat 89 – full). Medium dan full merupakan kategori pornografi secara subjektif (kategori medium yaitu semi-full, sedangkan kategori full yaitu benar-benar porno). Dari beberapa situs porno tersebut, dunia***.com merupakan situs yang asli buatan Indonesia (Situs, 2009).

Berdasarkan data yang dituliskan oleh Papu seorang psikolog (dalam Okezon, 2008) bahwa sekitar 1,8 juta warga Indonesia yang sudah mengenal dan mengakses internet, 50% diantaranya ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka situs porno. Hal ini diungkapkan oleh Richard Kartawijaya, Wakil Presiden Asosiasi Piranti Lunak dan Telematika Indonesia, dalam paparannya pada seminar dies natalis ke-46 Fisipol UGM di Gedung UC, Yogyakarta, Rabu 19/9/2001.

Pasti ada penyebab kenapa pengakses situs porno di internet terus bertambah, Cooper (1998) yang mengatakan ada 3 komponen yang menyebabkan individu melakukan aktivitas cybersex yang disingkat dengan triple A engine yaitu: accessibility, affordability, anonymity. Accessibility mengacu pada kenyataan bahwa internet menyediakan jutaan situs porno dan menyediakan ruang mengobrol yang akan memberikan kesempatan untuk melakukan cybersex. Affordability mengacu pada untuk mengakses situs porno yang disediakan internet tidak perlu mengeluarkan biaya mahal. Anonymity adalah individu tidak perlu takut dikenali oleh orang lain. Carners, Delmonico dan Griffin (2001) menambahkan 2 komponen yang menyebabkan individu tertarik untuk melakukan aktivitas cybersex yaitu isolation

(5)

dan fantasy. Isolation adalah individu memiliki kesempatan untuk memisahkan dirinya dengan orang lain dan terlibat dalam fantasi apapun yang dipilih tanpa resiko seperti infeksi secara seksual atau gangguan dari dunia nyata. Sedangkan fantasy adalah individu mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan fantasi seksual tanpa takut akan ditolak.

Selain mengakses pornografi di internet, bentuk aktivitas cybersex yang lagi banyak diperbincangkan saat ini adalah ruang mengobrol yang memuat obrolan erotis atau disebut juga dengan real time dengan pasangan online di ruang chat, bahkan beberapa orang sampai menggunakan kamera web untuk melihat pasangan mereka di ruang ngobrol (Carvalheira & Gomes, 2002). Pada beberapa kasus, mereka saling tukar menukar gambar mereka sendiri atau gambar-gambar erotis dan gambar-gambar bergerak yang mereka dapat dari web internet (Cooper & Griffin-shelley, 2002). Biasanya orang yang terlibat dalam kasus ini tidak pernah ketemu sebelumnya di dunia nyata. Percakapan yang di lakukan oleh mereka mulai dari godaan dan kata-kata kotor untuk memberikan gambaran bahwa mereka sedang melakukan hubungan seksual. Adapun tujuan mereka melakukan hal tersebut adalah untuk kesenangan seksual dan tak jarang dari mereka dapat merasakan orgasme, baik itu hanya dengan berfantasi melalui alam pikiran atau bisa juga diimbangi dengan melakukan onani atau masturbasi (Cooper, Daneback, & Mansson, 2005).

Goldberg (2004) mengatakan bahwa banyaknya orang yang menggunakan internet untuk cybersex yang telah meningkat secara dramatis 10 tahun terakhir ini, akan berdampak serius pada dorongan seksual pengguna, bahkan seringkali pengguna

(6)

tidak mampu menahan dorongan seksualnya karena sajian seks di ineternet tersebut. Bayangkan, faktor internal saja membuat manusia sulit mengendalikan dorongan seksualnya apalagi kalau dirangsang oleh faktor eksternal (Hurlock, 1994). Young (dalam Rahmawati, dkk., 2002) juga berpendapat bahwa tersedianya sajian seks di internet dengan segala kemudahan mengaksesnya, pada akhirnya dapat menjadi tempat pelarian dan memperkuat pola perilaku yang mengarah pada kecanduan. Hal ini menurut Aram (dalam Rahmawati, dkk., 2002) disebabkan karena sajian seks di internet tersebut dapat meningkatkan neurotransmitter ketika terjadi rangsangan seksual yang menghasilkan efek menyenangkan bagi tubuh sehingga cenderung di ulang dan secara psikologis dapat menimbulkan ketagihan. Hal ini bukan berdampak pada diri individu saja, tapi untuk individu yang sudah memiliki pasangan akan berdampak pada pasangan dan keluarga besar mereka baik secara seksual maupun emosional (Schneider & Whitty dalam Cooper, dkk., 2005). Turkle (dalam Cooper, dkk., 2005) menambahkan bahwa penggunaan internet untuk cybersex juga dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas di kehidupan nyata, seperti mengasingkan diri dari orang lain, mengabaikan pekerjaan dan mengabaikan tugas-tugas lainnya.

Sejalan dengan pernyataan di atas, yang berpeluang besar untuk mengalami dampak penggunaan ineternet untuk cybersex di atas adalah laki-laki karena berdasarkan hasil penelitian Elmer-Dewit (dalam Rahmawati, dkk., 2002) mengatakan bahwa 98,9% orang yang melakukan cybersex adalah laki-laki dan 1,1% perempuan. Hal tersebut didukung oleh Cooper (dalam Daneback, Cooper, & Mansson, 2005) yang menyebutkan bahwa laki-laki menyukai stimulus visual,

(7)

sementara perempuan lebih tertarik menjalin persahabatan dan berinteraksi. Widyastuti (dalam Rahmawati, dkk.,2002) juga menyebutkan bahwa laki-laki terangsang oleh stimulus visual atau pengamatan, sedangkan perempuan terangsang oleh stimulus pendengaran.

Sedangkan hasil penelitian Carvalheira dan Gomes (2002) menyatakan bahwa usia 15 sampai 19 tahun yang paling banyak melakukan cybersex. Sejalan dengan hasil penelitian Cooper, Daneback, dan Mansson (2005) menemukan bahwa usia 18 sampai 24 tahun yang paling banyak melakukan cybersex. Apabila diperhatikan dari hasil penelitian tersebut bahwa remaja yang lebih banyak menggunakan internet untuk tujuan cybersex. Hal ini mengacu pada teori Monks (1999) bahwa usia 12 sampai usia 21 tahun dapat dikategorikan ke dalam usia remaja. Pada usia remaja, rasa ingin tahu yang tinggi terhadap seks membuat mereka selalu berusaha mencari lebih banyak informasi tentang seks (Purwaningsih, 2008). Hurlock (1994) menyebutkan bahwa remaja lebih tertarik kepada materi seks yang berbau porno dibandingkan dengan materi seks yang dikemas dalam pendidikan.

Hurlock (1994) juga mengatakan bahwa pada kelompok remaja juga biasanya benteng pertahanan masih labil, terangsang sajian yang ada di internet yang berbau pornografi membuat remaja tidak mampu menahan dorongan seksualnya, karena tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melindungi diri dari kesulitan yang tidak diharapkan.

Berdasarkan uraian diatas, cybersex adalah fenomena seks yang baru dan fenomena yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dalam perkembangan

(8)

teknologi internet, dimana cybersex tersebut semakin hari semakin banyak penggemarnya terutama pada remaja. Untuk itu peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dalam rangka mengetahui gambaran perilaku cybersex pada remaja.

B. PERMASALAHAN PENELITIAN

Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran perilaku cybersex pada remaja ditinjau berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, dan status tempat tinggal ?

2. Apakah jenis-jenis perilaku cybersex yang sering dilakukan oleh remaja ? 3. Apa alasan remaja melakukan perilaku cybersex ?

4. Apa tujuan remaja melakukan perilaku cybersex ?

5. Dimanakah biasanya remaja melakukan perilaku cybersex ?

6. Berapa banyak waktu yang dihabiskan oleh remaja untuk melakukan perilaku cybersex setiap minggu ?

7. Alamat situs yang sering di kunjungi oleh remaja untuk melakukan perilaku cybersex.?

8. Berapa banyak materi yang di keluarkan remaja setiap bulan untuk melakukan perilaku cybersex.?

9. Media apa yang sering digunakan oleh remaja ketika melakukan perilaku cybersex dalam bentuk real-time dengan pasangan online.

(9)

10. Aktivitas apa saja yang dilakukan remaja ketika atau setelah melakukan perilaku cybersex.?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku cybersex yang terjadi pada remaja yang meliputi jenis perilaku cybersex, waktu yang dihabiskan untuk melakukan perilaku cybersex, tempat yang biasa digunakan untuk melakukan perilaku cybersex, alasan melakukan perilaku cybersex, dan hal-hal yang mendorong untuk melakukan perilaku cybersex.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai gambaran perilaku cybersex pada remaja dan memberi sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya Psikologi Sosial.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan wacana dan informasi tentang fenomena cybersex pada remaja, dengan tujuan agar remaja yang sedang melakukan aktivitas cybersex maupun yang belum melakukan dapat mengetahui dampak dari perilaku cybersex tersebut. 2. Dari hasil penelitian ini kepada orang tua dapat memberikan pengawasan dan

(10)

3. Dari hasil penelitian ini kepada pemerintah agar mengetahui dampak dari perilaku cybersex dan dapat membuat rancangan atau cara untuk mencegah dampak tersebut terjadi, baik pada remaja maupun pada seluruh kalangan usia.

4. Menjadi acuan bagi yang tertarik dengan fenomena cybersex pada remaja

E. Sistematika Penulisan

Penulisan ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan yang teratur untuk memudahkan pembaca memahaminya.

Bab I: Pendahuluan

Pada bab ini berisikan latar belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori

Bab ini berisikan teori-teori yang di dalamnya dijelaskan teori mengenai cybersex, perilaku cybersex dan remaja.

Bab III: Metode Penelitian

Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan, identifikasi variabel, defenisi operasional, pertanyaan penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, dan analisis data yang dilakukan. Selain itu dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai prosedur dan pelaksanaan penelitian.

(11)

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini membahas tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini memuat tentang kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 3.5 Kansei word fase kedua yang untuk menggambarkan layanan pelacakan

Pola pemasaran dibedakan berdasakan macam jenis produk kerajinan bambu yang dikelompokkan menjadi mebel bambu (gambar 7), gedek/anyaman bambu (gambar 8), perabotan

Karakteristik individu petani dicirikan oleh umur, tingkat pendidikan, dan penga- laman berusahatani. Terdapat dua dampak psikologis yang diakibatkan oleh umur petani

Fasilitasi kerjasama perbatasan antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Tengah dalam bidang perencanaan program penyelenggaraan pembangunan daerah

Sukodono Sukodono Lumajang... Cholid

Lights menthol versi lukisan Monalisa di media cetak, dengan teori yang digunakan antara lain : teori iklan dengan pendekatan semiotik Charles S.. Metode yang digunakan

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ’’Survei Hemiptera di Savana