• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PROPORSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA PETANI PADI PADA BEBERAPA AGROEKOSISTEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PROPORSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA PETANI PADI PADA BEBERAPA AGROEKOSISTEM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PROPORSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN

RUMAH TANGGA PETANI PADI PADA BEBERAPA

AGROEKOSISTEM

Analysis of Income Proportion and Expenditure of Rice Farmer

Households in Several Agroecosystems

Adang Agustian dan Nyak Ilham Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT

The aim of this research is to analyze proportion of income level and rice farmer’s household income in various agroecosystems in West Java Province and Central Java Province. This research was conducted in 2007 and its analysis used quantitative and qualitative approaches. The results of the research are: (1) the average higher than 80 percent of agricultural landholding of rice farmers in irrigated wet land and non irrigated wet land agroecosystems is those at < 0.5 ha, such as in Grobogan Regency, Blora, and Cianjur Regency; (2) The average income of rice farmers in various agroecosystems that comes from agriculture is in balance with that of from non agriculture (average proportion, respectively, 47,40%-54,10 % vs 45,90%-50,0%); (3) The share of rice farm activities on income is the largest (more than 30% in average); (4) The average expenditure of household on food mostly for basic foods (cereals, roots, and noodles) and is vary according to type of food and type of agroecosystems; (5) Share of expenditure of basic foods in non irrigated wet land area is lower than that of irrigated wet land area, except in Grobogan Regency; (6) Proportion of agricultural household expenditure for non food consumption is vary between locations, and expenditure for energy consumption, such as electricity, gasoline, and expenditure for education and health is relatively high; (7) The above mentioned results indicate that farmers’ awareness on the importance of education and health is increasing for the future of the family members, so that they could reduce expenditure of others to compensate expenditure on the increasing trend of education costs. Key words: household income, household expenditure, rice farmers

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proporsi tingkat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani padi di berbagai agroekosistem di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan tahun 2007. Analisis dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil kajian sebagai berikut: (1) Rata-rata penguasaan lahan pertanian pada rumah tangga petani padi di agroekosistem sawah irigasi dan non irigasi diatas 80 persen berada pada strata < 0,5 ha misalnya di Kabupaten Grobogan, Blora dan Kabupaten Cianjur; (2) Rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi di berbagai agroekosistem menunjukkan proporsi yang cukup berimbang antara pendapatan dari usaha pertanian dan nonpertanian (rataan proporsi 47,40%-54,10 % vs 45,90%-50,0%); (3) Kegiatan usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (rata-rata diatas 30%); (4) Rata-Rata pengeluaran pangan rumah tangga masih didominasi pengeluaran untuk pangan pokok (pangan padi-padian, umbi-umbian dan mi), dan pengeluaran pangan ini bervariasi antar komoditas maupun agroekosistem; (5) Pangsa

(2)

pengeluaran pangan pokok di daerah sawah non irigasi lebih rendah dibandingkan di daerah sawah irigasi, kecuali di Kabupaten Grobogan; (6) Proporsi pengeluaran rumah tangga pertanian untuk konsumsi non pangan bervariasi antar lokasi, dan pengeluaran untuk konsumsi energi yang meliputi biaya listrik, bahan bakar minyak (BBM) serta pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan memiliki pangsa pengeluaran yang relatif besar; (7) Hasil diatas memberikan gambaran bahwa telah terdapatnya kesadaran rumah tangga petani terhadap pentingnya pendidikan untuk masa depan anggota keluarganya, sehingga mereka tidak segan untuk berhemat pada pos pengeluaran yang lain untuk dapat membiayai kebutuhan sekolah anak-anaknya yang cenderung semakin mahal.

Kata kunci : pendapatan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga, petani padi

PENDAHULUAN

Fakta empirik menunjukan bahwa semakin meningkatnya kebutuhan manusia sejalan dengan kemajuan zaman, maka kebutuhan terhadap lahan juga terus meningkat dari waktu ke waktu, sementara luasan lahan relatif tetap. Akibatnya, tekanan dalam pemanfaatan lahan cenderung semakin kuat. Sumber daya lahan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian maupun nonpertanian (industri/pabrik, pemukiman dan sebagainya). Khusus untuk sumber daya lahan pertanian, hingga saat ini menghadapi tantangan dan tekanan yang terus meningkat. Tingkat persaingan dengan peruntukan pengembangan industri dan pemukiman (terutama di Pulau Jawa) telah sangat mengkhawatirkan bagi eksistensi pertanian, khususnya sebagai sektor yang berkepentingan dalam pengadaan pangan nasional.

Persaingan penggunaan lahan tersebut untuk sektor nonpertanian tampaknya tidak dapat dihindarkan dan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Data dari beberapa referensi menunjukkan bahwa lahan produktif yang beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi nonpertanian di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera mencapai 35.000 hektar. Di Pulau Jawa, laju alih fungsi lahan sawah tersebut mencapai 13.400 ha per tahun (Kompas, Desember 2005). Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan lebih dari 50.000 ha sawah irigasi teknis telah menjadi lahan nonpertanian. Bila diasumsikan yang sudah beralih fungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun dengan produksi lima ton gabah/ha, maka kehilangan produksi mencapai 500.000 ton gabah setiap tahun. Nilai land rent untuk penggunaan pertanian 1:500 terhadap penggunaan lahan untuk industri, untuk perumahan 1:622, dan untuk pariwisata sebesar 1:14. Dengan demikian, konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya tidak dapat dicegah. Ironisnya lagi, pengembangan usaha pertanian cenderung beralih dan mengarah pada pendayagunaan sumber daya lahan marjinal yang produktivitas lahannya rendah, sehingga pengusahaannya membutuhkan biaya tinggi yang dampaknya bagi pertanian cenderung kurang menguntungkan.

Disisi lain bahwa peran sektor pertanian dalam menyumbang pendapatan secara nasional (PDB) dinilai cukup signifikan. Kontribusi PDB sektor pertanian secara sempit (pangan, kebun dan ternak) tahun 1996 mencapai 11,42 persen, kemudian pada tahun 2000 mengalami peningkatan menjadi 12,14 persen dan

(3)

kemudian sedikit mengalami penurunan ditahun 2007 menjadi 10,76 persen. Dalam sektor pertanian, sub-sektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar terhadap PDB.

Hasil penelitian Patanas (Susilowati et al., 2000) di Provinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa pada periode 1983-2000 telah terjadi kemunduran dalam hal pemilikan lahan, di mana pemilikan lahan semakin terkonsentrasi pada kelompok kelas sempit. Rumah tangga pemilik sawah hanya sekitar 39,0 persen sedangkan 63,0 persen sisanya adalah tunakisma. Dari jumlah pemilik sawah tersebut, 91 persen memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Begitu pula dalam hal pemilikan lahan kering, menunjukkan hal yang sama, di mana sekitar 99 persen rumah tangga memiliki lahan kering kurang dari 0,5 hektar. Hasil Sensus Pertanian 2003 (BPS, 2004) menyebutkan bahwa rumah tangga petani yang menguasai lahan dibawah 0,5 ha atau petani gurem mengalami peningkatan yaitu dari 10,80 juta petani (1993) menjadi 13,66 juta petani (2003).

Selanjutnya menurut Susilowati dan Suryani (2000) bahwa sektor pertanian di perdesaan Jawa Tengah masih memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga sebesar 73 persen, dan sisanya bersumber dari pendapatan nonpertanian. Hasil kajian lainnya (Nurmanaf dan Susilowati, 2000) menyimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk tampaknya berbeda antar perdesaan di Jawa dan luar Jawa dalam hal proporsinya menurut sektor. Daerah pertanian lahan kering di Jawa, rumah tangga petani lebih banyak menjadikan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utamanya dibanding dengan di daerah lahan pertanian sawah. Dalam hal ini tampaknya aktivitas mata pencaharian nonpertanian lebih berkembang di daerah lahan sawah.

Aspek lain yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah pengeluaran masyarakat. Hasil kajian Sudaryanto et al. (1999) menyimpulkan bahwa tingkat pendapatan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran untuk makanan, yang artinya semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah porsi pengeluaran untuk makanan.

Berpijak dari uraian diatas maka kajian ini bertujuan untuk (1) menganalisis rataan penguasaan lahan usahatani padi di beberapa agroekosistem; (2) menganalisis dan menyajikan pangsa pendapatan serta pengeluaran rumah tangga petani padi pada beberapa agroekosistem; dan (3) merumuskan kesimpulan dan alternatif saran perbaikan atas temuan hasil penelitian ini.

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Dalam hal pengelolaan pertanian di perdesaan, beragam karakteristik rumah tangga yang ada memiliki corak tersendiri yang akan mewarnai dinamika pembangunan pertanian di perdesaan itu sendiri. Dalam hal ini tentunya akan sangat tergantung dari kondisi kemajuan daerah termasuk tingkat kedinamisan para petaninya, serta dukungan kelembagaan pertaniannya yang ada dan kondisi

(4)

infrastrukturnya. Dari tingkat perkembangan usahatani, secara garis besar dapat dibagi menjadi daerah pertanian dengan tingkat usahatani yang maju serta daerah pertanian yang pengembangan usahatani belum berkembang dengan baik. Daerah pertanian yang usahataninya telah maju biasanya terdapat di daerah sentra produksi komoditi tertentu/spesifik. Sementara, daerah pertanian usahataninya belum maju di daerah yang bukan sentra komoditi pertanian, terisolir atau jauh dari pusat pertumbuhan dan daerah dengan kondisi lahan yang marjinal dan sistem usahatani yang belum berkembang.

Sementara itu, penguasaan lahan dapat dijadikan sebagai gambaran pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian. Disamping itu, lahan pertanian juga merupakan salah satu faktor produksi penting dalam kegiatan pertanian. Permasalahan lahan cenderung sangat kompleks terutama di Pulau Jawa, karena: (1) pola pemilikannya yang relatif sempit; (2) terdapatnya fenomena dengan semakin terdesaknya kegiatan pertanian oleh kegiatan nonpertanian dengan munculnya fenomena konversi lahan yang semakin gencar; (3) terjadinya perpecahan dan perpencaran (fragmentasi) lahan baik pada lahan sawah maupun lahan kering; (4) terjadinya akumulasi lahan oleh sebagian kecil rumah tangga di perdesaan; dan (5) seringkali terjadinya konflik pertanahan yang diakibatkan oleh konflik penguasaan dan pemanfaatan lahan.

Permasalahan dalam hal lahan pertanian memiliki implikasi sosial ekonomi yang sangat luas dan penuh komplikasi. Derivasi permasalahan yang terkait dengan struktur penguasaan lahan tidak hanya menyangkut permasalahan efisiensi produksi tetapi juga aspek keadilan sosial (Sumaryanto, 1996). Berbagai hasil penelitian menyangkut struktur penguasaan lahan telah banyak dilakukan terutama oleh Tim Studi Patanas PSE (Sumaryanto et al., 2002; Hurun et al., 2000). Struktur penguasaan lahan akan memiliki implikasi terhadap kinerja efisiensi dan pendapatan usahatani.

Fakta menunjukkan bahwa struktur pendapatan rumah tangga tani masih dominan berasal dari sektor pertanian. Pada tahun 2004 pangsa pendapatan rumah tangga tani berbasis lahan sawah sekitar 51,33 persen berasal dari sektor pertanian. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada rumah tangga tani di desa-desa berbasis lahan kering, dimana sekitar 53,38 persen sumber pendapatannya berasal dari sektor pertanian. Fenomena ini semakin memperkuat bahwa sektor pertanian masih tetap merupakan sektor andalan bagi rumah tangga tani dalam membiayai hidup keluarganya, di samping pendapatan tambahan dari luar pertanian. Sementara itu, menurut World Bank (1994) bahwa pendapatan masyarakat turut mempengaruhi tingkat pengeluaran mereka.

Jenis Data, Lokasi dan Waktu Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui survei dengan wawancara langsung pada petani dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder berupa data statistik dari Badan Pusat Statistisk. Untuk melengkapai hasil kajian digunakan juga hasil studi terdahulu dan literatur yang relevan. Penelitian dilakukan dari Bulan April-Agustus 2007.

(5)

Dua provinsi yang dipilih yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah yang mewakili daerah sentra produksi padi. Pada tiap provinsi dipilih lokasi kabupaten yang dapat mewakili agroekosistem lahan usahatani beririgasi dan non irigasi. Kabupaten yang menjadi lokasi penelitian di Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu, dan Cianjur, sedangkan Kabupaten yang menjadi lokasi penelitian di Jawa Tengah adalah Grobogan dan Blora.

Analisis Data

Unit analisis yang digunakan dalam studi ini adalah rumah tangga petani padi pada berbagai agroekosistem di lokasi penelitian. Analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung rataan, analisis share atau pangsa dari data pendapatan dan pengeluaran rumah tangga yang ada. Untuk mendukung analisis kuantitatif juga dilakukan analisis deskriptif kualitatif. Dalam analisis share atau pangsa, maka formula yang digunakan adalah sebagai berikut:

100

*

1

n i p pi pi

TAE

AE

SAE

dimana : SAEpi = Pangsa pendapatan atau pengeluaran pangan/non pangan i (%)

AEpi = Pendapatan atau pengeluaran pangan/non pangan i

TAEp = Total pendapatan atau pengeluaran pangan/non pangan ke: i-n.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan Penguasaan Lahan Usahatani Padi

Di lokasi penelitian Provinsi Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Grobogan, pada daerah beragroekosistem irigasi tampak persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah maupun non sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu masing-masing 83,70 dan 100 persen. Hal yang sama juga pada daerah non irigasi dimana persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah maupun non sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu masing-masing 83,69 dan 81,05 persen

Di Kabupaten lainnya Blora, persentase RT pada daerah beririgasi untuk pemilikan lahan sawah maupun non sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu masing-masing 68,00 dan 95,43 persen. Hal yang sama juga pada daerah non irigasi persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah secara dominan juga berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu 96,09 persen, sedangkan pada wilayah lahan non sawah non irigasi, persentase rumah tangga dominan berada pada strata penguasaan antara 0,5-0,99 yaitu 58,87 persen.

(6)

Selanjutnya di Provinsi Jawa Barat, yaitu di Kabupaten Cianjur, pada daerah beririgasi tampak persentase rumah tangga yang menguasai lahan sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 84,91 persen. Hal yang sama juga pada daerah non irigasi dimana persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah maupun non sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu masing-masing 94,90 dan 96,20 persen

Lain halnya dengan di Kabupaten Indramayu, persentase RT pada daerah beririgasi tampak persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah relatif berimbang pada strata penguasaan <0,5 ha dan 0,5-0,99 ha, yaitu sebesar 44,89 dan 47,59 persen. Sedangkan pada lahan non sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 99,70 persen. Hal yang sama pada daerah dataran rendah non irigasi persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah relatif berimbang pada strata penguasaan <0,5 ha dan 0,5-0,99 yaitu sebesar 41,89 dan 36,42 persen. Sedangkan pada lahan non sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 81,05 persen. Tabel 1. Persentase Rumah Tangga Petani Padi Berdasarkan Strata Penguasaan Lahan di

Lokasi Penelitian, 2007 (%)

Lahan Sawah (ha) Lahan Non Sawah (ha) Lokasi <0,5 0,5-0,99 >1 <0,5 0,5-0,99 >1 A. Jawa Barat 1. Cianjur - Irigasi - Non Irigasi 2. Indramayu - Irigasi - Non Irigasi B. Jawa Tengah 3. Grobogan - Irigasi - Non Irigasi 4. Blora - Irigasi - Non Irigasi 84,91 94,90 44,89 41,89 83,70 83,69 68,00 96,09 8,49 4,24 47,59 36,42 13,99 14,00 24,06 3,91 6,60 0,86 7,62 21,69 2,31 2,31 7,94 0,00 -96,20 99,70 90,75 100,00 81,05 95,43 41,13 -1,90 0,30 7,16 0,00 16,44 4,11 58,87 -1,9 0,00 2,84 0,00 2,51 0,46 0,00

Analisis Proporsi Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi

Bila dipandang dari sisi pendapatan rumah tangga pada petani padi sawah di lahan beririgasi di Kabupaten Indramayu menunjukkan proporsi yang berimbang antara pendapatan dari usaha pertanian dan nonpertanian (54,10% vs. 45,90%). Pada kegiatan usaha pertanian, usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (47,40%), kemudian disusul oleh pendapatan dari usaha sayuran di lahan sawah (6,13%). Sementara, pada usaha nonpertanian, pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI/Pegawai merupakan sumber utama pendapatan rumah tangga (28,00%), lalu disusul oleh kegiatan usaha lainnya (12,52%). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

(7)

pada agroekosistem lahan sawah beririgasi di Indramayu maka sumber pendapatan yang paling dominan berasal dari kegiatan usaha pertanian terutama dari usahatani padi sawah (Tabel 2).

Hal senada juga terlihat pada petani padi sawah di Kabupaten Grobogan, secara total menunjukkan proporsi yang berimbang antara pendapatan dari usaha pertanian dan nonpertanian (49,91% vs. 50,09%). Pada kegiatan usaha pertanian, usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (23,87%), kemudian disusul oleh pendapatan dari usaha sayuran di lahan sawah (15,98%) dan buruh tani (5,87%). Sementara, pada usaha nonpertanian ternyata pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI/ Pegawai merupakan sumber utama pendapatan rumah tangga (31,52%). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada agroekosistem lahan sawah beririgasi di Grobogan pun sumber pendapatan yang paling dominan berasal dari kegiatan usaha pertanian terutama dari usahatani padi sawah (Tabel 2).

Tabel 2. Proporsi Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Beririgasi di Kabupaten Indramayu dan Grobogan, 2007 (%)

Sumber pendapatan Indramayu Grobogan

A. Usaha Pertanian (%) 1. Tanaman semusim a. Padi

b. Palawija c. Sayuran & buah 2. Tanaman perkebunan 3. Peternakan & perikanan 4. Buruh tani

Total usaha pertanian

47,40 0,05 6,13 0 0,34 0,19 54,10 23,87 4,18 15,98 0 0 5,87 49,91 B. Usaha Nonpertanian (%) 1. Usaha perdagangan 2. Usaha industri

3. Usaha jasa & angkutan 4. PNS/TNI/POLRI/Pensiunan/ Pamong Desa/Peg. Swasta 5. Buruh nonpertanian 6. Lainnya

Total usaha nonpertanian

1,75 0 2,61 28,00 1,02 12,52 45,90 1,05 0,08 0,53 31,52 11,14 5,78 50,09 Total A + B 100,00 100,00

Selanjutnya pada agroekosistem lahan sawah non irigasi seperti di Kabupaten Indramayu secara total menunjukkan proporsi pendapatan yang dominan terdapat pada usaha pertanian dibandingkan dengan usaha nonpertanian (68,74% vs. 31,26%). Pada kegiatan usaha pertanian, ternyata usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (40,76%), kemudian disusul oleh pendapatan dari usaha sayuran di lahan sawah, usaha tanaman di kebun dan kegiatan berburuh tani masing-masing menyumbang pendapatan sebesar 10,52; 10,60 dan 6,81 persen. Sementara, pada usaha nonpertanian tampaknya relatif terbatas khususnya kegiatan usaha non formal, dan penyumbang terhadap pendapatan terbesar adalah dari pekerjaan sebagai

(8)

PNS/TNI/POLRI/Pegawai (14,71%), dan selanjutnya diikuti oleh kegiatan usaha buruh nonpertanian (Tabel 3).

Sedikit berbeda dengan di Indramayu, petani padi sawah di Kabupaten Blora tampaknya secara total menunjukkan proporsi yang cukup berimbang antara pendapatan dari usaha pertanian dan nonpertanian (49,16% vs. 50,84%). Pada kegiatan usaha pertanian, ternyata usahatani padi sawah tadah hujan masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (34,61%), kemudian disusul oleh pendapatan dari usaha sayuran di lahan sawah dan tegalan (12,40%). Pada kegiatan usaha nonpertanian ternyata pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI/Pegawai merupakan sumber utama pendapatan rumah tangga (33,68%) dan disusul oleh kegiatan usaha lainnya, usaha perdagangan (berdagang hasil bumi dan ternak), dan buruh nonpertanian dengan kontribusi pendapatannya masing-masing sebesar 6,62; 5,60 dan 3,08 persen (Tabel 3). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada agroekosistem dataran rendah non irigasi di Indramayu dan Blora maka kontribusi pendapatan yang paling dominan berasal dari kegiatan usaha pertanian terutama dari usahatani padi sawah di lahan sawah non irigasi.

Tabel 3. Proporsi Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah pada Agroekosistem Lahan Sawah Non Irigasi di Kabupaten Indramayu dan Blora, 2007 (%)

Sumber pendapatan Indramayu Blora

A. Usaha Pertanian (%) 1. Tanaman semusim a. Padi

b. Palawija c. Sayuran & buah 2. Tanaman perkebunan 3. Peternakan & perikanan 4. Buruh tani

Total usaha pertanian

40,76 0 10,52 10,60 0,04 6,81 68,74 34,61 0,82 12,40 0 0 1,33 49,16 B. Usaha Nonpertanian (%) 1. Usaha perdagangan 2. Usaha industri

3. Usaha jasa & angkutan 4. PNS/TNI/POLRI/Pensiunan/ Pamong Desa/Peg. Swasta 5. Buruh nonpertanian 6. Lainnya

Total usaha nonpertanian

2,65 0 0,22 14,71 10,74 2,95 31,26 5,60 1,86 0 33,68 3,08 6,62 50,84 Total A + B 100,00 100,00

Sementara itu, di Provinsi Jawa Barat yaitu pada agroekosistem sawah irigasi di Kabupaten Cianjur, kontribusi pendapatan rumah tangga yang berasal dari usaha pertanian mencapai 45,48 persen, sedangkan dari usaha nonpertanian mencapai 54,52 persen. Pada kegiatan usaha pertanian, kontribusi pendapatan terbesar dari kegiatan usaha tani padi sawah sebesar 31,78 persen, dan berikutnya dari kegiatan usahatani palawija. Sementara, kontribusi pendapatan rumah tangga dominan dari kegiatan usaha nonpertanian berasal dari pekerjaan

(9)

sebagai PNS/TNI/POLRI/Pensiunan/Pegawai sebesar 40,72 persen dan selanjut-nya diikuti oleh sumber pendapatan dari usaha buruh nonpertanian. Dengan demikian, kontribusi pendapatan rumah tangga antara pertanian dan nonpertanian relatif hampir berimbang. Kegiatan usaha nonpertanian di daerah ini cukup beragam, namun hanya dilakukan oleh beberapa rumah tangga (terbatas jumlahnya).

Di Kabupaten Cianjur, kontribusi pendapatan rumah tangga dari sektor pertanian justru lebih tinggi dibanding dengan usaha nonpertanian (58,43% vs 41,57%). Pada usaha pertanian, secara signifikan tampak sekitar 54,22 persen pendapatan berasal dari kegiatan usahatani padi sawah, sedangkan pada usaha nonpertanian kontribusinya secara dominan berasal dari kegiatan usaha buruh nonpertanian (buruh angkut) yang mencapai 41,57 persen dan dari usaha dagang (berdagang hasil pertanian) (Tabel 4).

Tabel 4. Proporsi Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah pada Agroekosistem Dataran Tinggi Irigasi di Kabupaten Cianjur, 2007 (%)

Sumber pendapatan Irigasi Non Irigasi

A. Usaha Pertanian (%) 1. Tanaman semusim a. Padi

b. Palawija c. Sayuran & buah 2. Tanaman perkebunan 3. Peternakan & perikanan 4. Buruh tani

Total usaha pertanian

31,78 6,06 0,06 2,38 2,38 2,82 45,48 54,22 0 2,52 0 0 1,70 58,43 B. Usaha Nonpertanian (%) 1. Usaha perdagangan 2. Usaha industri

3. Usaha jasa & angkutan

4. PNS/TNI/POLRI/Pensiunan/Pamong Desa/Peg. Swasta 5. Buruh nonpertanian

6. Lainnya

Total usaha nonpertanian

0,22 0,22 0 40,72 12,34 1,03 54,52 8,99 0 0 0 32,58 0 41,57 Total A + B 100,00 100,00

Analisis Tingkat Pengeluaran Pada Rumah Tangga Petani Padi

Struktur pengeluaran rumah tangga dapat memberikan beberapa informasi kinerja sosial ekonomi rumah tangga bersangkutan. Struktur pengeluaran rumah tangga juga dapat menunjukkan preferensi dan kualitas konsumsi atau bahkan kinerja ketahanan pangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pangan rumah tangga didominasi pengeluaran untuk pangan pokok yang terdiri atas kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian dan mi. Pangsa pengeluaran untuk kelompok pangan ini bervariasi antar komoditas maupun agroekosistem.

Pada komoditas padi, tidak terlihat perbedaan pola hubungan yang tegas besarnya pangsa pengeluaran untuk pangan pokok antara rumah tangga petani padi di daerah agrosistem sawah irigasi dengan daerah sawah non irigasi. Secara

(10)

agregat, pangsa pengeluaran pangan pokok tertinggi terdapat di daerah sawah non irigasi di Kabupaten Cianjur yang mencapai 38,4 persen dari total pengeluaran pangan rumah tangga.

Dalam analisis juga terlihat bahwa pangsa pengeluaran pangan pokok di daerah sawah non irigasi lebih rendah dibandingkan di daerah sawah irigasi, kecuali di Kabupaten Grobogan yang termasuk daerah agroekosistem sawah irigasi dimana pangsa pengeluaran pangan pokok rumah tangga petani padi mencapai 28,6 persen.

Urutan kedua pangsa pengeluaran pangan terbesar adalah pada pangan sumber protein hewani maupun nabati, yang berkisar antara 7,2 – 18,4 persen. Pangsa pengeluaran pangan hewani+nabati yang relatif rendah (<10%) terdapat pada lokasi dengan agroekosistem sawah non irigasi Kabupaten Blora dan agroekosistem sawah irigasi di Indramayu. Jenis-jenis pangan kelompok pangan hewani+nabati yang dikonsumsi rumah tangga antara lain: ikan (segar dan olahan), daging, telur, susu, tempe dan tahu.

Hasil analisis di tingkat regional data SUSENAS di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah kisaran pangsa pengeluaran rumah tangga pertanian di perdesaan untuk pangan hewani saja pada tahun 2005 berkisar antara 11,4 – 19,9 persen. Menarik diperhatikan, bahwa di beberapa lokasi penelitian, pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok ternyata sangat besar. Pada rumah tangga petani padi di daerah sawah irigasi di Kabupaten Cianjur, pangsa pengeluaran rokok mencapai 15,8 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Demikian pula pada rumah tangga petani padi di daerah sawah non irigasi di Indramayu mencapai 12,3 persen.

Proporsi pengeluaran rumah tangga pertanian untuk konsumsi non pangan bervariasi antar lokasi. Namun, secara umum pos pengeluaran non pangan yang mendapat prioritas dan memiliki pangsa relatif besar adalah untuk konsumsi energi yang meliputi biaya listrik, minyak tanah, dan bahan bakar minyak (BBM) serta untuk investasi sumber daya manusia yang mencakup pengeluaran untuk pendidikan dan biaya kesehatan. Bila disimak menurut jenis agroekosistemnya, ternyata bahwa di daerah-daerah sawah irigasi dengan komoditas utama padi maka pengeluaran untuk investasi sumber daya manusia, khususnya biaya pendidikan, relatif lebih besar.

Untuk wilayah dengan komoditas utama padi, kisaran pangsa investasi sumber daya manusia antara 9,4 persen hingga 13,5 persen. Situasi demikian memberikan gambaran bahwa di kalangan petani kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anggota keluarga sudah baik, sehingga mereka tidak segan untuk berhemat pada pos pengeluaran yang lain untuk dapat membiayai kebutuhan sekolah anak-anak yang cenderung semakin meningkat. Kecenderungan perilaku seperti ini dapat menjadi salah satu modal untuk peningkatan kinerja rumah tangga petani di masa mendatang. Di masa mendatang diharapkan rataan tingkat pendidikan ini dapat lebih tinggi seiring dengan kesadaran para petani untuk mengalokasikan biaya pendidikan yang lebih besar pada struktur pengeluaran rumah tangga mereka.

(11)

Dominasi pengeluaran untuk energi pada struktur pengeluaran non pangan rumah tangga terjadi di sebagian daerah agroekosistem sawah non irigasi. Besarnya pangsa pengeluaran rumah tangga untuk energi tidak semata-mata karena faktor preferensi terhadap sumber energi dan faktor kendala anggaran tetapi juga karena faktor keterbatasan yang melingkupi aksesibilitas dan ketersediaan sarana/prasarana lain di wilayah dimana mereka tinggal. Terbatasnya sarana jalan dan alat transportasi, menyebabkan biaya transport dan pengeluaran bensin rumah tangga meningkat.

Tabel 5. Struktur Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga Petani Padi Menurut Agro Ekosistem, 2007(%)

Sawah irigasi Sawah Non irigasi Komoditas Jenis Cianjur Indra-mayu Gro-bogan Cianjur Indra-mayu Blora Pangan Padi+umbi+mi 18,6 11,2 28,6 38,4 15,4 23,0 Hewani+nabati 18,4 8,2 12,6 15,3 11,0 7,2 Minyak+bumbu 7,3 4,4 5,7 6,8 4,9 5,6 Gula/kopi/minuman 7,0 2,2 5,5 5,2 7,0 4,5 Sayur+buah 5,4 3,0 2,3 2,2 3,9 3,2 Makanan jadi 5,4 4,3 2,8 1,1 3,9 3,6 Rokok+lainnya 15,8 6,1 6,3 4,3 12,3 5,1 Sub total 77,8 39,4 63,8 73,4 58,5 52,1 NonPangan Listrik dan energi lain 5,5 11,4 10,4 10,4 13,2 14,2 Perumahan 1,6 4,0 4,9 2,4 2,6 6,2 Air 0,0 0,2 0,2 0,0 0,1 0,0 Invest SDM 9,4 17,0 11,6 8,7 13,3 12,2 Telepon+elektronik 0,9 3,5 0,6 0,0 1,7 0,1 Pakaian+rekreasi 3,1 5,7 3,1 2,8 3,8 2,9 Sosial 1,1 15,5 4,7 1,8 5,7 5,2 PBB+pajak lainnya 0,5 3,4 0,6 0,4 1,0 7,1 Sub total 22,2 60,6 36,2 26,6 41,5 47,9 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

KESIMPULAN DAN SARAN

Persentase rumah tangga petani padi dalam penguasaan lahan pada berbagai agroekosistem secara dominan (diatas 80%) berada pada strata < 0,5 ha misalnya di Kabupaten Grobogan dan Blora Provinsi Jawa Tengah. Hal senada juga terdapat di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Sementara, di Kabupaten Indramayu, persentase RT pada daerah lahan sawah beririgasi relatif berimbang yaitu pada strata penguasaan <0,5 ha dan 0,5-0,99 ha, yaitu sebesar 44,89 dan 47,59 persen. Sementara, pada daerah lahan non sawah bahwa secara dominan

(12)

berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 99,70 persen. Selanjutnya pada daerah lahan sawah non irigasi di Indramayu, persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah relatif berimbang pada strata penguasaan <0,5 ha dan 0,5-0,99 yaitu sebesar 41,89 dan 36,42 persen. Sedangkan pada lahan non sawah secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 81,05 persen.

Pangsa pendapatan rumah tangga petani padi sawah pada daerah lahan sawah irigasi di Kabupaten Indramayu menunjukkan proporsi yang cukup berimbang antara pendapatan dari usaha pertanian dan nonpertanian (54,10% vs. 45,90%). Pada kegiatan usaha pertanian, usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (47,40%). Hal senada juga terlihat pada petani padi sawah di Kabupaten Grobogan, proporsi pendapatan cukup berimbang antara usaha pertanian dan nonpertanian (49,91% vs. 50,09%). Pada kegiatan usaha pertanian, usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (23,87%).

Pada lahan sawah non irigasi di Kabupaten Indramayu, proporsi pendapatan pada usaha pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan usaha nonpertanian (68,74% vs. 31,26%). Usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (40,76%). Sedikit berbeda dengan di Indramayu, di Kabupaten Blora tampaknya proporsi pendapatan rumah tangga cukup berimbang dari usaha pertanian dan nonpertanian (49,16% vs. 50,84%). Pada kegiatan usaha pertanian, ternyata usahatani padi sawah tadah hujan masih menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (34,61%).

Di Provinsi Jawa Barat yaitu di Kabupaten Cianjur, kontribusi pendapatan rumah tangga yang berasal dari usaha pertanian mencapai 45,48 persen, sedangkan dari usaha nonpertanian mencapai 54,52 persen. Pada kegiatan usaha pertanian, kontribusi pendapatan terbesar dari kegiatan usaha tani padi sawah sebesar 31,78 persen. Di Kabupaten Cianjur, pada agroekosistem lahan sawah non irigasi, kontribusi pendapatan rumah tangga dari sektor pertanian justru lebih tinggi dibanding dengan dari usaha nonpertanian (58,43 % vs 41,57 %). Pada usaha pertanian, secara signifikan tampak sekitar 54,22 persen pendapatannya berasal dari kegiatan usahatani padi sawah.

Pengeluaran pangan rumah tangga didominasi pengeluaran untuk pangan pokok yang terdiri atas kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian dan mi. Pangsa pengeluaran untuk kelompok pangan ini bervariasi antar komoditas maupun agroekosistem. Pada komoditas padi, tidak terlihat perbedaan pola hubungan yang tegas besarnya pangsa pengeluaran untuk pangan pokok antara rumah tangga petani padi di daerah agrosistem sawah irigasi dengan daerah sawah non irigasi. Pangsa pengeluaran pangan pokok di daerah sawah non irigasi lebih rendah dibandingkan di daerah sawah irigasi, kecuali di Kabupaten Grobogan yang termasuk daerah agroekosistem sawah irigasi.

Proporsi pengeluaran rumah tangga pertanian untuk konsumsi nonpangan bervariasi antar lokasi. Namun, secara umum pos pengeluaran non pangan yang mendapat prioritas dan memiliki pangsa relatif besar adalah untuk konsumsi energi

(13)

yang meliputi biaya listrik, bahan bakar minyak (BBM) serta untuk pendidikan dan kesehatan.

Dengan demikian, bahwa di kalangan petani kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anggota keluarga sudah cukup baik, sehingga mereka tidak segan untuk berhemat pada pos pengeluaran yang lain untuk dapat membiayai kebutuhan sekolah anak-anak yang semakin mahal. Kecenderungan perilaku seperti ini dapat menjadi salah satu modal untuk peningkatan kinerja rumah tangga petani di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2004. Publikasi Hasil Sensus Pertanian 2003. Jakarta.

Hurun, A.M, A.K. Zakaria, dan A. Setiyanto. 2000. Laporan Penelitian Perumusan Kelembagaan Konsolidasi lahan Dalam Perspektif Pengembangan Agribisnis. Puslit Sosek Pertanian. Bogor.

Kompas. 2005. Tiga Puluh Lima Ribu Hektar Lahan Pertanian Tergerus. Gramedia. Jakarta. Nurmanaf, A.R dan S.H. Susilowati. 2000. Struktur Kesempatan Kerja dan Kaitannya

Dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Perdesaan. Dalam

Rusastra, I.W, A.R Nurmanaf, S.H. Susilowati, E. Jamal, B. Sayaka (Eds).

Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Perdesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pp 88-93. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sudaryanto, I.W Rusastra dan P. Simatupang. 1999. The Impact of Economic Crisis and Policy Adjusment on Food Crop Development Toward Ecinomic Globalization. Paper Presented on “rountable Discussion on Food and Nutrition Task Force I; Food and Agricuklture” Pra WNPG VII, 8 November 1999. Center For Agro-Socio Economic Research, Bogor.

Sumaryanto, E. Jamal, Syahyuti, I. Setiadji. 2002. Kajian Pembaruan Agraria dan Implikasinya terhadap Usaha Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. Sumaryanto. 1996. Struktur Penguasaan Tanah di Perdesaan Lampung. Kumpulan

Makalah Patanas. Puslit Sosek Pertanian. Bogor.

Suparmoko, M. 1989. Ekonomi Sumber daya Alam dan lingkungan. PAU-Studi Ekonomi UGM. Yogyakarta.

Susilowati, S.H dan E. Suryani . 2000. Struktur dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Perdesaan Jawa Tengah. DalamRusastra, I.W, A.R Nurmanaf, S.H. Susilowati, E. Jamal, B. Sayaka (Eds). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Perdesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pp 110-127. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Susilowati, S.H, A. Kadar Zakaria, A. Djulin, Supadi, Sugiarto. 2000. Makalah Seminar Hasil Penelitian Patanas. Puslit Sosek Pertanian. Bogor.

World Bank. 1994. Trend in Development Economics. International Bank for Reconstruction and Development. Washington DC, USA.

Gambar

Tabel 2. Proporsi  Pendapatan  Rumah  Tangga  Petani  Padi  Sawah  Beririgasi  di  Kabupaten  Indramayu dan Grobogan, 2007 (%)
Tabel 3. Proporsi  Pendapatan  Rumah  Tangga  Petani  Padi  Sawah  pada  Agroekosistem  Lahan Sawah Non Irigasi di Kabupaten Indramayu dan Blora, 2007 (%)
Tabel 4. Proporsi  Pendapatan  Rumah  Tangga  Petani  Padi  Sawah  pada  Agroekosistem  Dataran Tinggi Irigasi di Kabupaten Cianjur, 2007 (%)
Tabel 5. Struktur  Pangsa  Pengeluaran  Rumah  Tangga  Petani  Padi  Menurut  Agro  Ekosistem, 2007(%)

Referensi

Dokumen terkait

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana pembagian harta warisan pada masyarakat di Desa Cibuluh ditinjau dari hukum waris Islam,

Rencana pembelajaran yang dilakukan yaitu mengenai “Teknologi Produksi” materi kelas IV semester 2 yang disimulasikan oleh Ina Agustina (perwakilan akan kocokan yang keluar untuk

Ada hubungan yang signifikan antara keterampilan metakognitif dengan hasil belajar kognitif mahasiswa program studi S1 PGSD pada perkuliahan Penelitian Tindakan

Imam al-Baghawi berpendapat satu kali kuantitas pengakuan zina sudah cukup untuk ditetapkan hukuman itu lebih kuat dari pada pendapat yang dikemukakan Imam Ibnu Qudamah, bahwa

Berdasarkan perhitungan effect size tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model Student Teams Achievement Division t erdapat pengaruh (efek) terhadap

Dengan adanya kesadaran merek terhadap M yang tinggi dari konsumen, asosiasi merek yang kuat dari konsumen terhadap Minute Maid Pulpy, serta adanya pemberian

Aliran sungai dari hulu ketika pasang angkutan sedimen diendapkan di alur sungai ataupun muara sungai sedangkan aliran sungai ketika surut angkutan sedimen dibawa kembali

Nilai R Square sejumlah 0,884 menunjukkan pengertian bahwa tingkat kemudahan akses pengunjung dipengaruhi variabel-variabel kualitas area pedestrian di dalam Plaza Senayan