BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam pengembangan dunia pendidikan, pemerintah berusaha terus-menerus mengkaji ulang kurikulum yang beriaku. Salah satu bukti konkret usaha
pemerintah adalah pengkajian terhadap Kurikulum 1984 yang menghasilkan
Kurikulum 1994. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, Kurikulum 1994 lebih
menekankan kembali pengajaran bahasa Indonesia ke arah keterampilan memahami
dan menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi. Karena itu, kurikulum
terakhir ini memberikan peluang lebih luas kepada guru untuk menciptakan situasi
pembelajaran yang menuntut siswa mampu memahami bahasa yang digunakan
sebagai alat komunikasi.Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh Kurikulum 1994, guru bahasa
Indonesia dituntut untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan dasar
penggunaan bahasa yang meliputi empat aspek berikut: 1). mendengarkan,
2). berbicara/bercerita; 3). membaca;
4). menulis/mengarang.
Keempat kemampuan berbahasa ini harus dimiliki siswa sebagai suatu
keterampilan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi,
mengungkapkan pikiran dan perasaan serta membina persatuan dan kesatuan bangsa {Kurikulum Pendidikan Dasar, 1994 : 6).Pembentukan Kurikulum 1994 ditekankan pada penyempurnaan kajian Kurikulum 1984 yang masih memiliki kelemahan, baik dalam pembelajaran maupun dalam hasil pembelajaran. Kurikulum 1984 sudah lama dilaksanakan, namun banyak suara sumbang dan kritik yang diarahkan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, baik yang terkait dengan proses pembelajaran maupun dengan hasil pembelajaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dianggap belum memberikan hasil yang diharapkan. Harjasujana (dalam Saadi, 1995:8), misalnya, mengemukakan bahwa dunia pendidikan bahasa Indonesia belum menggembirakan bila dibandingkan dengan pendidikan bahasa-bahasa yang sudah maju di negerinya masing-masing.
Anggapan tersebut didukung dengan kenyataan yang terdapat pada rata-rata Nilai Ebtanas Murni (NEM) siswa SD dalam tahun 1991/1992-1995/1996 di wilayah Jawa Barat seperti terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1
Rekapitulasi Rata-Rata NEM Siswa SD Se-Provinsi Jawa Barat
Tahun Pelajaran 1991/1992—1995/1996
Bidano Studi 91/92 92/93 93/94 94/95 95/96 Rata-Rata
IPS 6.66 6.40 6.32 5.83 6.07 6.25
PMP/PPKN 6.14 6.39 7.35 5.91 6.09 6.39
B. Indonesia 5.83 6.24 5.96 6.50 6.77 6.26
IPA 6.44 6.72 6.24 5.91 6.52 6.37
Matematika 6.86 6.78 6.26 5.96 6.24 6.46
Sumber : Kandepdikbud Jawa Barat
Tabel di atas menunjukkan bahwa prestasi siswa SD di wilayah Jawa Barat be-lum menggembirakan. Tampak bahwa hasil bahasa Indonesia masih rendah
dibandingkan dengan hasil bidang studi lain dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh siswa.
Nilai rata-rata siswa SD di wilayah Jawa Barat ini hanya mencapai peringkat keempat daripada bidang studi lainnya, yaitu setelah Matematika, PPKN, EPA dan baru Bahasa Indonesia, dan kemudian yang terakhir bidang studi DPS. Hal inilah yang menjadi dasar penilaian negatifterhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SD-SD yang berada di wilayah Jawa Barat.
Menanggapi persoalan-persoalan di atas, banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya. Tarigan (1991:4), misalnya, mengemukakan adanya tiga faktor yang menentukan keberhasilan proses belajar mengajar bahasa, yaitu: pembelajaran, pengajar, dan sistem. Sejalan dengan pendapat tersebut, Subyakto (1993:216) mengemukakan pendapatnya tentang proses pembelajaran bahasa bahwa yang
harus mutlak ada dalam pembelajaran bahasa adalah pelajar dan aktivitas belajar.
Hal ini yang mendasari falsafah mutakhir tentang pengajaran dan pendidikan yang
disebut dengan pengajaran yang berpusat pada kebutuhan pelajar {student
centered). Artinya pengajaran berkiblat pada keperluan pelajar (student oriented).Menanggapi pendapat Subyakto bahwa pembelajaran bahasa harus ber-orientasi pada kebutuhan pelajar yang ditekankan pada aktivitas pelajar bukan akti vitas guru sebagaimana yang terjadi pada sekolah-sekolah, maka guru mempunyai peran yang sangat besar dalam proses belajar-mengajar. Padahal seharusnya bukan guru, melainkan pelajarlah yang lebih banyak berperan karena sistem pembelajaran harus berorientasi pada siswa (student center), bukan pada guru (teacher center).
Bagaimanakah tugas guru kalau pelajar yang memegang peranan9 Tugas
guru bukan sebagai satu-satunya narasumber, tugas guru bukan sebagai penjejal
ilmu pada pelajar. Guru diharapkan mampu menciptakan suatu pembelajaran yang bisa membuat siswa aktif untuk berperan dalam proses intelektual, dalam proses berpikir untuk mencapai hasil yang optimal.
Sehubungan dengan masalah pembelajaran bahasa di atas, Masnur, Hasanah, dan Saliwangi (1987:28) mengemukakan pendapatnya bahwa pengajaran adalah seperangkat peristiwa yang mampu mengondisi, mendorong, melayani, dan
mengarahkan siswa pada kegiatan belajar.
Pendapat di atas mendudukkan guru pada posisi bukan sebagai sumber informasi, melainkan pada suatu peristiwa seimbang antara guru dengan siswa. Dalam hal ini guru harus mampu menempatkan diri pada fungsi yang semestinya,
yaitu sebagai berikut:
a. motivator
b. fasilitator
c. organisator
d. evaluator.
Guru sebagai motivator harus mampu memfungsikan dirinya sebagai sumber pendorong bagi siswa-siswanya di dalam melakukan kegiatan proses belajar-mengajar dalam proses berpikir, dalam proses intelektual dan dalam menemukan informasi. Guru sebagai fasilitator harus mampu memfungsikan dirinya sebagai penyedia situasi yang memungkinkan siswa memperoleh informasi. Sebagai organisator guru harus mampu mengelola kegiatan siswa dalam upaya mencari informasi serta harus mampu memberikan penilaian dan umpan balik kepada siswa dalam rangka memfungsikan dirinya sebagai evaluator.
Gambaran sistem pembelajaran di atas bisa dilakukan melalui pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang sudah diberlakukan sejak kurikulum SD tahun 1975. Pada hakikatnya CBSA merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mencoba mencari jawaban sendiri. Sistem belajar seperti ini akan lebih berhasil daripada sistem belajar yang hanya menjejalkan informasi. Sistem ini digambarkan oleh Kenchie (1954) dalam Masnur dkk. (1987:2) sebagai suatu sistem belajar yang menganut pola interaksi optimal yang digambarkan sebagai gambar berikut:
Siswa I " ** Siswa II
Dengan menggunakan pendekatan CBSA yang didukung fleksibilitas Kuri
kulum 1994 yang berorientasi pada kemampuan memahami dan kemampuan meng
gunakan bahasa Indonesia, peneliti mencoba mengimplementasikan salah satu model pembelajaran yang diharapkan mampu menjawab tuntutan kebutuhan siswa dan tuntutan kurikulum dengan menggunakan model pembelajaran yang bertujuan untuk menolong siswa mengembangkan displin intelektual dan keterampilan yang
dibutuhkan dengan melakukan penyelidikan secara independen. Model ini diharap
kan mampu mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi pada
proses belajar-mengajar bahasa Indonesia di Sekolah dasar di Jawa Barat khususnya, umumnya di Indonesia.
Peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran pelatihan inkuiri dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Model ini memadukan karak
yang bersifat mengembangkan proses intelektual siswa dengan melakukan penyelidikan secara independen dalam mempelajari materi pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah dasar.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang, secara umum masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimanakah persyaratan MPI diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah dasar;
2) Bagaimanakah kekurangan dan kelebihan MPI dalam penerapannya di sekolah dasar;
3) Bagaimanakah faktor yang menjadi pendukung dan penghambat penerapan
MPI.
Secara khusus rumusan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
(a) Bagaimanakah persyaratan MPI diimplementasikan di sekolah dasar, baik mengenai perumusan desain, pelaksanaan pembelajaran maupun mengenai penyusunan pembelajarannya. Persyaratan ini mencakup tiga rumusan mengenai rencana pembelajaran, pengelolaan pelaksanaan, dan penyusunan
evaluasi
Rencana Pembelajaran
- Bagaimanakah memilih topik pembelajaran yang tepat9 - Bagaimanakah merumuskan tujuan pembelajaran? - Bagaimanakah menyusun materi pembelajaran?
- Bagaimanakah menysun langkah-langkah pembelajaran? - Bagaimanakah menyusun eveluasi pembelajaran?
Pengelolaan Pembelajaran
- Bagaimanakah pengelolaan pelaksanaan MPI dalam keterampilan menulis di sekolah dasar, baik tentang penyajian masalah, verifikasi data, penambahan unsur baru maupun perumusan informasi?
Penyusunan Evaluasi
- Bagaimanakah menyusun evaluasi untuk MPI yang meliputi evaluasi yang diarahkan pada proses pembelajaran dan hasil pembelajaran? (b) Bagaiamanakah kelebihan dan kekurangan MPI dalam penerapannya di
sekolah dasar?
(c) Bagaimanakah faktor yang menjadi pendukung dan penghambat penerapan MPI di sekolah dasar? Hal ini meliputi empat rumusan berikut:
- Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah
dasar selama ini?
- Bagaimanakah peandangan guru terhadap MPI dalam pembelajaran
bahasa Indonesia?
- Bagaimanakah partisipasi siswa dalam mengikuti proses
belajar-mengajar bidang studi bahasa Indonesia?
- Bagaimanakah kondisi, fasilitas, media, dan sumber belajar di sekolah untuk pembelajaran bahasa Indonesia?
1.2.2 Batasan Masalah
Sebagaimana yang digambarkan pada latar belakang masalah bahwa teknik-teknik pembelajaran bahasa yang dilaksanakan di sekolah-sekolah masih
berorien-tasi pada teacher centered Hal ini dianggap sebagai penyebab ketidakberhasilan
pembelajaran bahasa di sekolah dasar. Oleh karena itu, patut dipermasalahkan
bagaimana mengembangkan suatu model pembelajaran yang berfokus pada student
oriented dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar9
Widdowson
(1987:4)
dalam
Pembelajaran
Bahasa
Komunikasi
menetapkan tujuan pengajaran bahasa didefinisikan ke dalam empat keterampilan
berbahasa: a) menyimak b) berbicara c) membaca d) menulis
Keempat keterampilan berbahasa ini berhubungan erat dengan aktivitas
siswa di dalam berbahasa. Siswa diharapkan mampu menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Siswa diharapkan mampu memahami dan menggunakan
makna leksikal yang dipakai dalam susunan tata bahasa yang benar. Selain itu,
siswa juga harus mampu menggunakan kalimat untuk berkomunikasi, baik lisan
maupun tulisan.
Berdasarkan keempat tujuan pengajaran bahasa di atas, penelitian ini
memfokuskan sasarannya hanya pada aspek keterampilan menulis siswa dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini mengarah pada
suatu desain model pembelajaran yang menekankan proses intelektual siswa dalam
mempelajari materi-materi" bidang studi Bahasa Indonesia dalam keterampilan
Salah satu model pembelajaran yang dianggap mampu mengantisipasi kondisi ini adalah model pembelajaran pelatihan inkuiri. Model ini membatasi pengkajian model pembelajaran secara pokok berkenaan dengan hal-hal berikut: (1) Merumuskan perencanaan model pembelajaran pelatihan inkuiri dalam kete
rampilan menulis.
(2) Mengelola pelaksanaan model pembelajaran pelatihan inkuiri dalam keteram pilan menulis.
(3) Mempersiapkan evaluasi untuk model pembelajaran pelatihan inkuiri dalam keterampilan menulis.
1. 3 Definisi Operasional
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian. Pertama, model
pelatihan inkuiri, dan kedua adalah penguasaan keterampilan menulis sebagai
variabel terikat.
1.3.1 Model Pelatihan Inkuiri
Model ini merupakan suatu model pembelajaran yang bertujuan membantu
mengembangkan proses intelektual siswa dengan melakukan penelitian secara
inde-penden dalam pola interaksi optimal antara siswa dengan siswa dan siswa dengan
guru dengan tangkah-langkah sebagai berikut:1) menghadapi masalah; 2) memverifikasi data;
3) mengumpulkan/memasukkan unsur baru;
10
1.3.2 Keterampilan Menulis
Sesuai dengan tujuan pembelajaran melalui model pelatihan inkuiri, keterampilan menulis akan tergambar dalam tes sebagai berikut:
a) Apakah siswa mampu mengantisipasi masalah yang dihadapkan
kepadanya?
b) Apakah siswa mampu mengumpulkan informasi dari data yang diselidiki? c) Apakah siswa mampu menambah unsur baru pada data yang diselidiki? d) Apakah siswa mampu merumuskan informasi yang diperoleh dengan
menyusun sebuah rumusan?
Banyak ahli berpendapat bahwa keterampilan menulis lebih sulit dibanding kan dengan keterampilan lainnya. Untuk menuangkan gagasan secara tertulis, kita memerlukan dua pengetahuan mendasar. Pertama, pengetahuan menyangkut isi ka-rangan. Kedua, pengetahuan menyangkut kemampuan menggunakan bahasa dan teknik penulisan. Kedua pengetahuan tersebut erat sekali hubungannnya dengan proses berpikir. Hal ini beriaku pula bagi siswa sekolah dasar yang pertama kali belajar menuangkan gagasan secara tertulis. Bagaimanapun sederhananya gagasan yang akan dikomunikasikan, mereka dituntut dapat memilih kata secara tepat dan menyusun kalimat sesuai dengan aturan yang beriaku.
Keterampilan atau kemampuan menulis (baca: menuangkan gagasan) dapat dimiliki siapa saja asalkan didasari dengan pelatihan dan pembimbingan intensif yang sungguh-sungguh. Kemampuan ini merupakan keterampilan berbahasa untuk mengomunikasikan ide, pengalaman, dan penghayatan penulis tentang sesuatu kepada berbagai pihak. Karena itu, kemampuan menulis harus dibina dan
11
ditingkatkan secara intensif sejak dini, mulai tingkat sekolah dasar sampai dengan
tingkat perguruan tinggi. Berhubungan dengan hal tersebut, Alwasilah (1996:128)
mengemukakan bahwa siswa banyak belajar dan mengintemalkan kosakata dan
struktur melalui menulis. Bagi beberapa siswa, terutama mereka yang tergolong
pembelajar introvert dan kognifitis, menulis merupakan metode belajar yang paling
baik.
Keterampilan menulis erat hubungannya dengan keterampilan membaca.
Semakin banyak membaca, kemampuan menulis seseorang akan semakin tinggi.
Hal ini disebabkan oleh informasi, termasuk di dalamnya aturan wacana, yang
diperoleh dari bacaan sangat diperlukan untuk menunjang keterampilan menulis.
Sehubungan dengan masalah ini, Krashen, sebagaimana dikutip Subyakto
(1993:181) menyatakan bahwa kalau pemerolehan bahasa dan keterampilan
mengarang sejajar perkembangannya, keterampilan mengarang paling efektif akan
diperoleh melalui kegiatan membaca secara ekstensif. Dalam hal ini, menurut
Krashen, fokus bacaan terletak pada isi atau pesan yang terkandung di dalam teks.
Menurut Alwasilah (1993: 35), aktivitas menulis dapat dibagi ke dalam tiga
kategori utama, yaitu menulis terkontrol, menulis terbimbing, dan menulis bebas.
Pada kegiatan menulis terkontrol, siswa berada dalam pengawasan/pengontrolan
guru secara langsung. Di sini keterlibatan guru sangat berperan dalam kegiatan
siswa. Pada tahap menulis terbimbing, peranan guru yang bertindak hanya sebagai
pembimbing menjadi agak berkurang. Dalam hal ini guru membimbing siswa
melalui empat cara, yaitu menggunakan gambar, cerita dengan gambar, kegiatan
12
mengekspresikan gagasannya secara penuh. Oleh karena itu, pada tahap ini peranan
guru betul-betul tidak dilibatkan dalam kegiatan menulis siswa.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperbaiki
kondisi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar, baik mengenai proses
pembelajaran mapun mengenai hasil pembelajaran dengan mengembangkan proses
intelektual siswa dalam keterampilan menulis melalui pengembangan MPI.
1.5 Manfaat Penelitian