• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: diusahakan atas dasar hitungan harian.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: diusahakan atas dasar hitungan harian."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Sektor Informal

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaanya.

2. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah.

3. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun pemasukan biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian.

4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan tidak terpisah dengan tempat tinggal.

5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.

6. Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.

7. Tidak selalu membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan.

Menurut Notoatmodjo (1989) dalam Departemen Kesehatan RI (1994) menjelaskan bahwa sektor informal berasal dari terminologi ekonomi, yang dikenal

(2)

sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil-kecilan. Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan dagang, atau usaha lain secara kecil-kecilan.

Sedangkan menurut Simanjuntak (1985) dalam DepKes RI (1994), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik dan sebagainya, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja yang tidak ketat.

2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha-usaha kecil-kecilan.

3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan Terbatas atau CV.

4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha disektor informal relatif lebih mudah daripada formal.

Timbulnya sektor informal adalah akibat dari meluapnya atau membengkaknya angkatan kerja disatu pihak dan menyempitnya lapangan kerja dipihak yang lain. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak cukup menampung angkatan kerja yang ada. Permasalahan ini menimbulkan banyaknya penganggur dan setengan penganggur. Oleh karenanya, secara naluri masyarakat ini

(3)

berusaha kecil-kecilan sesuai dengan kebiasaan mereka. Inilah yang memunculkan usaha sektor informal (DepKes RI, 1994).

Dalam kelompok masyarakat desa dan kota terdapat perbedaan tantangan hidup. Oleh karenanya sektor informal dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Kelompok sektor informal desa

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di desa pada umumnya meliputi bidang pertanian/perikanan, perkebunan dan kerajinan tangan seperti anyaman, menyulam, pembuatan tempe/tahu, keramik dan sebagainya.

2. Kelompok sektor informal kota

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di kota pada umumnya meliputi bidang-bidang perdagangan (pedagang baso, warung nasi, jamu gendong, pedagang es, tukang koran dan pedagang bermacam-macam minuman dan makanan baik keliling maupun disuatu tempat), kerajinan tangan (tukang jahit, tukang bordir, pembuat dan penjaja mainan anak-anak, pemahat, dan sebagainya), bidang jasa seperti tukang tambal ban, tukang jam, tukang becak, dan bermacam-macam usaha perantara atau calo, bidang keuangan seperti tukang membungan uang atau “rentenir”. Disamping itu sekarang ini pemulung juga diperhitungan sebagai usaha sektor informal di kota (DepKes RI, 1994).

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perajin sulaman tangan merupakan salah satu usaha sektor informal. Dan usaha ini termasuk kedalam usaha sektor informal desa.

(4)

2.2. Ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “ergon” berarti kerja dan”nomos”berarti hukum atau aturan. Jadi secara ringkas ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan anatara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehinga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi baik (Tarwaka, 2004).

Secara umum tujuan penerapan ergonomi yaitu:

1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.

3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka, 2004).

(5)

2.3. Sikap Kerja

Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat penunjuk, cara-cara harus melayani mesin (macam gerak, arah dan kekuatan) (Suma’mur, 1996).

Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu: (Santoso, 2004) 1. Prinsip Posisi Duduk

Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator yang bekerja sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Di samping itu lebih cekatan dan mahir.

Namun sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah-masalah-masalah punggung. Operator dengan sikap duduk yang salah akan menderita pada bagian punggungnya. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan (Nurmianto, 2004).

(6)

Kenaikan tekanan tersebut dapat meningkat dari suatu perubahan dalam lekukan tulang belakang yang terjadi pada saat duduk. Suatu keletihan pada pinggul sekitar 900 tidak dapat dicapai hanya dengan rotasi dari tulang pada sambungan paha (persendian tulang paha).

Urat-urat lutut (hamstring) dan otot-otot gluteal pada bagian belakang paha dihubungkan sampai bagian belakang pinggul dan menghasilkan suatu rotasi parsial dari pinggul (pelvis), termasuk tulang ekor (sacrum). Hal tersebut hanya menghasilkan 600-900 kelebihan putar pinggul dengan rotasi pada persendian tulang paha itu sendiri. Oleh sebab itu, perolehan 300 dari rotasi pinggul (pelvis) searah dengan lekukan tulang belakang kearah belakang (lordosis) dan bahkan memperkenalkan suatu lekukan tulang belakang kearah depan (kyphosis) (Nurmianto, 2004).

Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar.

Menurut Eko Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004) bahwa tekanan posisi tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar dan dapat relaksasi (tidak statis).

(7)

Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat.

Pekerjaan sejauh mungkin harus dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut:

a. Kurangnya kelelahan pada kaki.

b. Terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah. c. Berkurangnya pemakaian energi.

d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1989) 2. Kerja Posisi Berdiri

Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti pembersih (clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu ketika bekerja. Apabila sepatu tidak pas (tidak sesuai) maka sangat mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian sekitar telapak kaki. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sepatu kerja secara ergonomis. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki (tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu. Desain sepatu harus lebih longgar dari ukuran telapak kaki. Apabila bagian sepatu di kaki terjadi penahanan yang kuat pada tali sendi (ligaments) pergelangan kaki, dan hal itu

(8)

terjadi dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami kelelahan.

Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga kerja dengan posisi berdiri. Contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Grandjean (1988) dalam Santoso (2004), merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan teliti, letak tinggi meja diatur 10 cm di atas siku. Untuk jenis pekerjaan ringan, letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku. Dan untuk pekerjaan berat, letak tinggi meja diatur 10 cm di bawah tinggi siku.

3. Kerja Berdiri Setengah Duduk

Berdasarkan penelitian Santoso (2004) bahwa tenaga kerja bubut yang telah terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi setangah duduk tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.

Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka sangatlah tidak nyaman.

(9)

2.4. Desain Stasiun Kerja

Salah satu fungsi ergonomi yang menitik beratkan pada penyesuaian desain terhadap manusia adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter manusia, kapasitas dan keterbatasannya terhadap desain pekerjaan, mesin dan sistemnya, ruangan kerja dan lingkungan sehingga manusia dapat hidup dan bekerja secara sehat, aman, nyaman dan efisien. Sedangkan Pulat (1992) menawarkan konsep desain produk untuk mendukung efisiensi dan keselamatan dalam penggunaan desain produk. Konsep tersebut adalah desain untuk reabilitas, kenyamanan, lamanya waktu pemakaian, kemudahan dalam pemakaian, dan efisien dalam pemakaian. Agar desain produk dapat memenuhi keinginan pemakainya maka harus dilakukan melalui beberapa upaya pendekatan sebagai berikut ini: (Tarwaka, 2004)

1. Mengetahui kebutuhan pemakai. 2. Fungsi produk secara detail.

3. Melakukan analisis pada tugas-tugas desain produk. 4. Mengembangkan produk.

5. Melakukan uji terhadap pemakai produk.

Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometris, faal, biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam mendesain suatu produk maka harus berorientasi pada production friendly,

(10)

distribution firndly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, di dalam mendesain suatu produk yang sangat penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia pemakainya (human centered design) (Sutalaksana, 1999). Hal ini dimaksudkan agar setiap desain produk baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetis maupun secara ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Tarwaka, 2004).

1. Pendekatan dalam Desain Stasiun Kerja

Secara umum baik dalam memodifikasi atau meredesain stasiun kerja yang sudah ada maupun mendesain stasiun kerja yang baru, para perancang sering dibatasi oleh faktor finansial maupun teknologi seperti: keluasaan modifikasi, ketersediaan ruangan, lingkungan, ukuran frekuensi alat yang digunakan, kesinambungan pekerjaan dan populasi yang menjadi target. Dengan demkian, desain dan redesain harus selalu memperhatikan antara kebutuhana biologis operator dengan kebutuhan stasiun kerja fisik baik ukuran maupun fungsi dalam alat dalam stasiun kerja. Untuk kesesuaian tersebut perlu mempertimbangkan antropometri dan lokasi elemen mesin terhadap posisi kerja, jangkauan, pandangan, ruang gerak dan interface antara tubuh operator dengan mesin. Di samping itu, teknik dalam mendesain stasiun kerja harus mulai dengan mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada faktor-faktor seperti etnik, jenis kelamin, umur, dan lain-lain (Tarwaka, 2004).

Menurut Das dan Sengupta (1993) dalam Tarwaka (2004), pendekatan secara sistemik untuk menentukan dimensi stasiun kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(11)

1. Mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada etnik, jenis kelamin dan umur.

2. mendapatkan data antropometri yang relevan dengan posisi pemakai.

3. dalam pengukuran antropometri perlu mempertimbangkakn pakaian, sepatu dan posisi normal.

4. menentukan kisaran ketinggian dari pekerjaan utama. Penyediaan kursi dan meja kerja yang dapat distel, sehingga operator dimungkinkan bekerja dengna sikap duduk maupun berdiri secara bergantian.

5. Tata letak dari alat-alat tangan, kontrol harus dalam kisaran jangkauan optimum.

6. menempatkan display yang tepat sehingga operator dapat melihat objek dengan pandangan yang tepat dan nyaman.

7. Review terhadap desain stasiun kerja secara berkala.

2. Aplikasi Antropometri dalam Perancangan Produk/Fasilitas Kerja

Setiap desain produk, baik produk yang sangat sederhana maupun produk yang sangat komplek, harus berpedoman kepada antropometri pemakainya. Menurut Sanders dan McCormick (1987); Pheasant (1988) dan Pulat (1992) bahwa antropometri adalah desain tentang sesuatu yang dipakai orang. Selanjutnya Annis dan McConville (1996) membagi aplikasi ergonomi dalam kaitannya dengan antropometri menjadi dua devisi utama:

1. Pertama, ergonomi berhadapan dengan tenaga kerja, mesin beserta sarana pendukung lainnya dan lingkungan kerja. Tujuan ergonomi dari devisi ini

(12)

adalah untuk menciptakan kemungkinan situasi terbaik pada pekerjaan sehingga kesehatan fisik dan mental tenaga kerja dapat terus dipelihara serta efisiensi produktivitas dan kualitas produk dapat dihasilkan dengan optimal. 2. Kedua, ergonomi berhadapan dengan karakteristik produk pabrik yang

berhubungan dengan konsumen atau pemakai produk. (Tarwaka, 2004)

Dalam setiap desain peralatan dan stasiun kerja, keterbatasan manusia harus selalu diperhitungkan, di samping memperhatikan kemampuannya dan kebolehannya. Mengingat bahwa setiap manusia berbeda satu sama lainnya, maka aplikasi data antropometri dalam desain produk dapat meliputi: desain untuk orang ekstrim (data terkecil atau terbesar), desain untuk orang per orang, desain untuk kisaran yang dapat diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil-5 dan persentil-95 dari populasi dan desain untuk ukuran rerata dengan menggunakan data persentil-50 (Sanders dan McCormick, 1987). Namun demikian, dalam pengumpulan data antropometri yang akan digunakan untuk mendesain suatu produk, harus memperhitungkan variabilitas populasi pemakai seperti variabilitas ukuran tubuh secara umum, variasi jenis kelamin, variasi umur dan variasi ras atau etnik (Tarwaka, 2004).

Ada dua bentuk pengukuran pada antropometri yaitu pengukuran statis (structural) yaitu tubuh manusia yang berada dalam posisi diam, dan pengukuran dinamis (fungsional) yaitu tubuh diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang bergerak. Data antropometri diterapkan untuk membahas dan merancang barang serta fasilitas secara ergonomi agar didapat kepuasan si pengguna. Kepuasan tersebut dapat

(13)

berupa kenyamanan maupun kesehatan yang ditinjau dari sudut pandang ilmu anatomi, fisiologi, fisikologi, kesehatan dan keselamatan kerja, perancangan dan manajemen.

Dalam mengukur data antropometri ini banyak ditemui perbedaan atau sumber variabilitas yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran yang pada akhirnya akan digunakan dalam perancangan suatu produk. Beberapa sumber variabilitas yang merupakan faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia yang menyebabkan adanya perbedaan antara satu populasi dengan populasi lain yaitu (Stevenson,1989: Nurmianto 1991):

1. Keacakan/random 2. Jenis kelamin

3. Suku bangsa (ethnic variabelity) 4. Usia

5. Pakaian

6. Faktor kehamilan pada wanita 7. Cacat tubuh secara fisik

Adapun pendekatan dalam penggunaan data antropometri adalah sebagai berikut (Nurmianto,1991):

a. Pilihlah simpangan baku yang sesuai sebagai dasar perancangan yang dimaksud.

b. Carilah data pada rata-rata dan distribusi dari dimensi yang dimaksud untuk populasi yang sesuai.

(14)

c. Pilihlah nilai persentil yang sesuai sebagai dasar perancangan. d. Pilihlah jenis kelamin yang sesuai.

Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai rata-rata (mean) dan simpangan baku (standart deviasi) dari suatu distribusi normal (Nurmianto, 1991). Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai rata-rata dan simpangan baku yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus 1 dan 2 sebagai berikut :

X = Σ× ……….. (1) n

Dimana :

X = Rata-rata

ΣX = Jumlah data yang akan dihitung n = Jumlah sampel

Σ (×i - ×)²

σ× = √ i= 1 ………. (2) n – 1

Dimana :

σ× = Simpangan baku (Standar Deviasi) × = rata-rata

× = nilai data n = jumlah sampel

(15)

Untuk uji keseragaman data digunakan uji dengan menggunakan peta kontrol dengan tingkat keyakinan 99% (3σ) untuk masing-masing kriteria. Adapun rumus pengujian keseragaman data tersebut dapat dilihat pada rumus 3 berikut:

BKA= X + 3σ× ……….(3) BKB= X – 3σ×

Jika X min>BKB dan Xmax < BKA maka data seragam. Dimana :

BKA = batas atas BKB = batas bawah

Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut. Misalnya 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95% persentil: 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil.

Besarnya nilai persentil dapat ditentukan dari tabel probabilitas distribusi normal pada gambar 1. Dalam pokok bahasan antropometri, 95 persentil menunjukkan tubuh berukuran besar, sedangkan 5 persentil tubuh berukuran kecil. Jika diinginkan dimensi untuk akomodasi 95 % populasi maka 2,5 dan 97,5 persentil adalah batas rentang yang dapat dipakai dan ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 serta tabel antropometri masyarakat Indonesia (Nurmianto,1991).

(16)

Gambar 2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil

Gambar 2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya Keterangan:

1. Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai ujung kepala)

20

16 15

(17)

2. Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak 3. Tinggi bahu dalam posisi tegak

4. Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)

5. Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak 6. Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk/pantat

sampai dengan kepala)

7. Tinggi mata dalam posisi duduk 8. Tinggi bahu dalam posisi duduk

9. Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus) 10. Tebal atau lebar paha

11. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut

12. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut atau betis

13. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk

14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha 15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk)

16. Lebar pinggul atau pantat

17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung 18. Lebar perut

19. Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi siku tegak lurus

(18)

21. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari 22. Lebar telapak tangan

23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan 24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai

dengan telapak tangan ang terjangkau lurus ke atas vertikal

25. Tinggi jangakauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya nomor 24 tetapi dalam posisi duduk

26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur ke depan diukur dari bahu sampai ujung jari tangan.

Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar rancangan suatu produk nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya, maka prinsip-prinsip yang harus diambil didalam aplikasi data antropometri tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu seperti diuraikan berikut ini :

a. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim. Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk, yaitu :

i. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rata-ratanya.

(19)

ii. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas dari populasi yang ada ).

b. Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran tertentu.

Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup fleksibel dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh. Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang mana dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya bisa dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan. Dalam kaitannya untuk mendapatkan rancangan yang fleksibel, semacam ini maka data antropometri yang umum diaplikasikan adalah rentang nilai 5-th s/d 95-th percentile. c. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata.

Berkaitan dengan aplikasi data antropometri yang diperlukan dalam proses perancangan produk ataupun fasilitas kerja, maka ada beberapa saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti berikut :

i. Pertama kali terlebih dahulu harus ditetapkan anggota tubuh yang mana yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan tersebut.

ii. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut, dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data struktural body dimension ataukah functional body dimension.

(20)

iii. Selanjutnya tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi, diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk tersebut. Hal ini lazim dikenal sebagai "market segmentation", seperti produk mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita, dll.

iv. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang fleksibel (adjustable) ataukah ukuran rata-rata.

v. Pilih presentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah nilai percentile yang lain yang dikehendaki.

vi. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai. Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan (glowes), dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2008)

3. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Duduk

Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Granjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain: pembebanan pada kaki; pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi (Tarwaka, 2004).

(21)

Namun demikian posisi duduk dengan sikap duduk terlalu lama dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga cepat lelah. Sedangkan Clark (1996), menyatakan bahwa desain stasiun kerja dengan posisi duduk mempunyai derajat stabilitas tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan, dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2 jam. Di samping itu tenaga kerja juga dapat mengendalikan kaki untuk melakukan gerakan.

Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan maupun kerugian, maka unttuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh buruk pada tubuh, perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja yang sesuai dilakukan dengan posisi duduk. Untuk maksud tersebut, Pulat (1992) memberikan pertimbangann tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk adalah sebagai berikut: (Tarwaka, 2004)

1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki

2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan 3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar

4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih dari 15 cm dari landasan kerja

5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi 6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama

7. Seluruh objek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan posisi duduk

(22)

Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi. Ukurann tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya. Fleksi lutut membentuk 900 dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki (Pheasant, 1988). Jika landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks, sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Sanders dan McCormick (1987) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai berikut:

1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik. 2. Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks

dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit menurun.

3. Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang berlebihan.

2.5. Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan

(23)

musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikiann keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).

Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu:

1. Peregangan otot yang berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dkeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.

2. Aktivitas berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan ,mencangkul, membelah kayu besar, angkat angkut, dan

(24)

sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. 3. Sikap kerja tidak alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitas tubuh, maka semakin tinggi pula terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja. Sikap kerja tidak alamiah ini lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidak sesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja.

2.6. Landasan Teori

Keluhan otot skeletal umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi dengan durasi pembebanan yang panjang. Bila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri pada otot (Grandjean, 1988).

(25)

Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah, faktor penyebab sekunder (tekanan, getaran, dan mikroklimat) dan penyebab kombinasi (umur, jenis kelamin, kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan ukuran tubuh). Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalanya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Sikap kerja tidak alamiah pada umunya terjadi karena karakteristik tuntutan tugas, fasilitas (alat kerja) dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.

2.7. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Keluhan Muskoloskeletal Sikap Kerja

Intervensi Fasilitas Kerja

Gambar

Gambar 2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat sebagai masukkan bagi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dalam pengambilan kebijakan untuk lebih mengoptimalkan peran aktif keluarga

ing Road Selatan yang dihasilkan lebih tinggi, bukan berarti model dikatakan terbaik mengingat data yang dimiliki Ring Road Selatan lebih sedikit. Jumlah data yang dimiliki

[r]

Upaya mengatasi permasalahan diatas dapat dilakukan dengan suatu penciptaan sistem teknologi baru yang lebih mempermudah pihak penyelenggara pertandingan untuk

Metode penelitian merupakan usaha untuk menemukan sesuatu serta bagaimana cara untuk menemukan sesuatu tersebut dengan menggunakan metode atau teori ilmiah

Penulis menanyakan apa upaya yang sedang atau telah dilakukan untuk meningkatkan usaha Sate Pasar Lama, kemudian pemilik Sate Pasar Lama menjawab bahwa beliau

Jadi dari pengamatan terhadap hasil perendaman dengan larutan Alizarin merah dapat disimpulkan bahwa sediaan menimbulkan cacat pada fetus secara makroskopis, sedangkan

Sedangkan 1 orang karyawan (10%) menyatakan bahwa dirinya merasa tertekan apabila terjadi perubahan di perusahaan. Hal tersebut menjaring behavior keempat dari