• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN MUKA AIR LAUT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI DAN DATA ARGO PADA RENTANG DI WILAYAH SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN MUKA AIR LAUT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI DAN DATA ARGO PADA RENTANG DI WILAYAH SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN MUKA AIR LAUT BERDASARKAN DATA SATELIT

ALTIMETRI DAN DATA ARGO PADA RENTANG 1992-2012 DI WILAYAH

SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT

(The Sea Level Change of the Western Pacific Ocean Based on Altimetry and Argo Floats

Data Throughout 1992-2012)

Prayudha Hartanto1, Kosasih Prijatna2, Sella Lestari Nurmaulita2

1

Pusat Pemetaan Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial 2

Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB Jl. Raya Jakarta - Bogor Km 46 Cibinong, Bogor

E-mail: prayudha.hartanto@big.go.id

Diterima (received): 6 Mei 2014; Direvisi (revised): 10 Mei 2014; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 17 Mei 2014 ABSTRAK

Wilayah Samudera Pasifik bagian barat merupakan salah satu wilayah yang mengalami kenaikan muka laut tertinggi di dunia. Data satelit altimetri Topex/Poseidon Jason 1 dan Jason 2, pada kurun waktu tahun 1992-2012, menunjukkan rata-rata kenaikan muka laut di area ini adalah 6,982 ± 3,493 mm/tahun. Sebagai pembanding, perubahan muka laut di wilayah ini pun dihitung berdasarkan data suhu dan salinitas dari pelampung Argo. Data suhu dan salinitas yang digunakan berada pada rentang waktu tahun 2000 – 2013. Perubahan tinggi muka laut berdasarkan data pelampung Argo adalah 14,352 ±13.002 mm/tahun. Tinggi muka laut ini merupakan komponen sterik dari total perubahan muka air laut. Tinggi sterik muka air laut merupakan ketebalan vertikal di atas sebuah lapisan ketebalan h dari anomali volume tertentu dan dapat dihubungkan dengan medan densitas lautan. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa ekspansi termal lautan merupakan penyebab utama perubahan/kenaikan muka laut global. Pada masa yang akan datang, penggunaan data pengamatan pelampung Argo dapat dikembangkan untuk memantau perubahan muka laut global maupun regional.

Kata Kunci: perubahan muka laut, altimetri, Argo, muka laut sterik ABSTRACT

The Western Pacific Ocean has the highest sea level rise rate on the world. The Topex/Poseidon, Jason 1 and Jason 2 satellite altimetry data shows the average of sea level rise in this area during the 1992-2012 period was 6.982 ± 3.493 mm/annually. As a comparison, changes in the sea level in this area was calculated based on temperature and salinity data from Argo floats. The temperature and salinity data used were collected during the period of 2000-2013. Changes in the sea level based on Argo floats data was 14.352 ± 13,002 mm/annually. This Argo-based sea level is a steric component of the total sea level changes. The steric sea level height is a volume anomaly of a vertical thickness above a layer of thickness h and can be attributed to ocean density field. Based on these results, it can be concluded that the thermal expansion of the oceans is a major cause of global sea level rise. In the future, the usage of Argo floats observation data can be directed to monitor the changes in global and regional sea level.

Keywords: sea level change, altimetry, Argo, steric sea level

PENDAHULUAN

Sebagai sebuah negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, Republik Indonesia merupakan salah satu negara yang terdampak langsung kenaikan muka laut global. Perubahan muka air laut merupakan salah satu konsekuensi penting dari pemanasan global (Llovel et al., 2010). Pada periode tahun 2003-2009 kenaikan muka laut global mencapai 2,6 ± 0,4 mm/tahun (Ablain et al., 2009). Pada rentang waktu ini, pengaruh efek sterik (ekspansi thermal) pada perubahan muka laut yang diperoleh berdasarkan data suhu dan salinitas lautan dari program Argo, berkisar antara -0,5 ±0,5 mm/tahun (Willis et al.,

2008) hingga 0,8 ±0,8 mm/tahun (Leuliette & Miller, 2009).

Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh lelehan es semakin meningkat dalam perubahan muka laut global (Llovel et al., 2010), tidak seperti pada dekade sebelumnya (1993-2003) dimana 50% dari kenaikan muka laut dipengaruhi oleh ekspansi thermal lautan dan 40% dari lelehan es daratan (Bindoff et al., 2007).

Penelitian ini akan membahas perubahan tinggi muka laut di wilayah Samudera Pasifik bagian Barat. Data utama yang digunakan adalah data Sea Level Anomaly dari satelit altimetri Topex/Poseidon, Jason 1 dan Jason 2. Data suhu dan salinitas dari pelampung Argo digunakan

(2)

sebagai data pembanding. Perubahan muka laut yang diperoleh dari data suhu dan salinitas tersebut merupakan perubahan muka laut sterik, yakni perubahan muka laut akibat perubahan densitas air laut.

Samudera Pasifik bagian barat dipilih sebagai area penelitian karena area ini merupakan salah satu area dimana laju kenaikan muka lautnya mencapai 3 kali lebih besar daripada laju rerata kenaikan muka laut global (Cazenave & Llovel,

2010). Bahkan pada penelitian terdahulu,

Cazenave & Nerem (2004) menyebutkan bahwa Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera Hindia bagian timur memiliki nilai terbesar dalam kenaikan muka laut. Penyebab utama dari besarnya nilai kenaikan muka laut di Samudera Pasifik bagian barat adalah ekspansi thermal (Church et al., 2001). Wilayah ini juga menunjukkan efek yang berlawanan antara perubahan suhu dengan perubahan salinitas pada kecenderungan perubahan muka laut (Cazenave & Llovel, 2010; Wunsch et al., 2007).

METODE

Pada penelitian ini, penentuan perubahan muka laut ditentukan berdasarkan data satelit altimetri Topex/Poseidon, Jason 1 dan Jason 2. Data yang digunakan adalah deret waktu Sea Level Anomaly (SLA) di sejumlah titik sampel

pengamatan dari tahun 1992-2012. SLA

merupakan tinggi muka laut di atas muka laut

rata-rata (Mean Sea Level/MSL) sebagaimana

diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan antara altitude, jarak pengamatan satelit altimetri, SLA, dan undulasi geoid.

Titik–titik sampel pengamatan SLA yang dipilih adalah titik-titik crossover atau titik persilangan antara pass naik dan pass turun. Namun pada kenyataannya, data pengamatan SLA tidak ada yang tepat berada pada titik crossover, sehingga untuk mengatasinya dilakukan interpolasi untuk mengetahui nilai SLA di titik sampel. Metode interpolasi yang digunakan adalah Inverse Distance Weighted (IDW). Radius interpolasi yang digunakan adalah 0,18180 atau 20 km. Nilai tersebut

merupakan jarak footprint altimetri terbesar

(Rohman, 2010). Ilustrasi mengenai proses

interpolasi nilai SLA di titik crossover terdapat pada

Gambar 2.

Prosedur selanjutnya adalah melakukan

interpolasi Kriging terhadap nilai-nilai SLA dari semua titik sampel yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh pola sebaran spasial perubahan muka laut di wilayah penelitian. Selanjutnya dihitung nilai rerata perubahan SLA di area penelitian.

Gambar 2. Interpolasi nilai SLA di titik sampel (crossover).

Data perubahan muka laut sterik dari data suhu dan salinitas pelampung Argo diperlukan sebagai pembanding untuk mendukung hasil yang diperoleh dari data satelit altimetri. Perubahan muka laut sterik didefinisikan sebagai perubahan tinggi muka laut akibat perubahan densitas air laut. Menurut Passero (2009) tinggi sterik muka laut adalah ketebalan vertikal di atas sebuah lapisan ketebalan h dari anomali volume tertentu dan dapat dihubungkan dengan medan densitas lautan. Tinggi

(3)

sterik dapat didekati dengan persamaan berikut (Tomczak & Godfrey, 1994):

( ) ∫ ( ( ) ) ∫ [ ( ) ] ...(1) dalam limit ( ) , dimana: ρ0 = densitas acuan

ρ(z) = densitas sebagai fungsi

kedalaman.

θ, = bujur

ϕ, = lintang

t = waktu

Data Satelit Altimetri

Data satelit altimetri yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengamatan satelit Topex/Poseidon, Jason 1 dan Jason 2 dengan rentang waktu tahun 1992 hingga 2012. Data tersebut diunduh dari situs web RADS (Radar

Altimeter Database System,

http://rads.tudelft.nl/rads/data/radsdata1.cgi), dengan resolusi temporal 10 hari (1 cycle). Perlu diketahui bahwa situs web akuisisi data RADS menyediakan beragam pilihan jenis data yang dapat diunduh, sehingga dalam penelitian ini dibatasi hanya menggunakan data SLA dengan koreksi standar RADS.

SLA atau Sea Level Anomaly merupakan

tinggi permukaan laut di atas permukaan geofisik dimana efek dinamisnya seperti pasut laut dan pengaruh tekanan atmosfer sudah dihilangkan

(Rohman, 2010). Dalam penelitian ini, SLA yang digunakan adalah model muka laut rata-rata global DTU 10 sebagai bidang referensinya. Selain itu, koreksi pasut samudera dan pasut atmosfer (Inverted Barometer/IB) juga diterapkan pada SLA yang digunakan dalam penelitian ini. Koreksi pasut

samudera (Ocean Tide) menggunakan model GOT

4.8 (Goddard Ocean Tide model) yang merupakan model amplitudo dan fase pasang surut samudera global berdasarkan pengukuran satelit altimetri Topex/Poseidon (Ray, 1999). Sedangkan koreksi IB menggunakan MOG2D yang merupakan model perairan dangkal dua dimensi yang dikembangkan oleh institusi LEGOS (Carrere & Lyard, 2003).

Data SLA yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai SLA yang berada dalam batas-batas area penelitian seperti ditunjukkan pada

Gambar 3, yaitu 125,4°BT-169,7°BT dan 2,1°LU-23,9°LU. Selanjutnya, dipilih titik sampel yang berada pada crossover (perpotongan pass naik dan pass turun) satelit altimetri. Dalam pemilihan titik sampel, faktor-faktor seperti jarak titik ke daratan dan kedalaman dasar laut turut diperhatikan. Keberadaan daratan di sekitar lokasi pengamatan altimetri mengurangi kualitas koreksi geofisis, orbit, dan instrumen satelit sehingga kualitas data yang dihasilkan pun berkurang (Hartanto, 2012).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dipilihlah titik-titik sampel yang memiliki jarak lebih dari 15 km dari daratan terdekat dan memiliki kedalaman dasar laut setidaknya 200 meter. Jumlah titik sampel yang digunakan adalah 70 titik yang terdistribusi secara merata di seluruh area penelitian (Gambar 4), dengan panjang deret waktu berkisar 720 cycle (20 tahun, dari tahun 1992-2012).

(4)

Gambar 4. Distribusi titik sampel altimetri.

Data Argo

Pada penelitian ini, data profil Argo, khususnya data suhu dan salinitas diakses dari situs http://www.argodatamgt.org/Access-to-data/Argo-data-selection. Situs ini menyediakan data profil Argo yang telah diolah oleh beberapa pusat akuisisi data (Data Acquisition Centers) yang ada di dunia, seperti AOML, Coriolis, dan JMA. Antarmuka dalam situs ini memungkinkan pengguna untuk memilih berbagai parameter data yang akan diakses sesuai

keperluan. Pada penelitian ini,

parameter-parameter yang digunakan adalah salinitas dan

suhu dengan kualitas baik pada semua tahap pengolahan.

Data yang diunduh memiliki rentang waktu yang berbeda. Dari 94 titik sampel yang digunakan, 60 diantaranya berada pada rentang 1 Januari 2000 hingga 19 Mei 2013, sedangkan sisanya pada rentang 1 Januari 2009 - 13 Juni 2013. Titik-titik sampel yang digunakan adalah profil Argo dengan periode pengamatan lebih dari 108 cycle (dengan panjang 1 cycle adalah 10 hari). Distribusi titik sampel Argo yang digunakan tampak pada

Gambar 5.

(5)

Berdasarkan data suhu dan salinitas tersebut, selanjutnya ditentukan tinggi dinamik menggunakan algoritma TEOS-10 (Thermodynamic Equation of Seawater-2010) berdasarkan tekanan acuan tertentu. Tekanan acuan yang dipilih 0 dBar dan 900 dBar. Dari tahap ini diperoleh tinggi dinamik untuk tekanan 0 dBar dan 900 dBar, yang selisihnya digunakan untuk memperoleh anomali tinggi dinamik. Tahap terakhir adalah menghitung tinggi sterik untuk setiap cycle berdasarkan persamaan (IOC, SCOR, & IAPSO, 2010):

...(2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Gambar 6a berikut tampak variasi

spasial perubahan SLA yang diperoleh dari data altimetri. Perubahan SLA tersebut diperoleh dari regresi linier terhadap data deret waktu SLA dari tanggal 3 Oktober 1992 hingga 3 Maret 2013. Berdasarkan seluruh sampel penelitian, nilai perubahan SLA bervariasi dari -0,758 hingga 12,936 mm/tahun. Nilai perubahan SLA tertinggi berada di sekitar titik sampel 14, 30, 41, 42, 51, 52, 53 dan 59. Jika dirata-ratakan, maka nilai perubahan SLA di area penelitian adalah 6,982 mm/tahun dengan standar deviasi 3,493 mm/tahun. Plot ini menunjukkan pola yang berbentuk seperti ‘perbukitan’, dimana lereng hingga puncak perbukitan berada pada lintang 5º hingga 15ºLU.

Pada area penelitian dengan lintang lebih besar dari 20ºLU, terdapat fenomena penurunan muka air laut. Hal ini disebabkan adanya Pacific Decadal Oscillation (PDO). PDO adalah fenomena yang terjadi pada area cekungan di lintang tersebut, yang terdiri dari dua fase, yaitu fase positif (hangat) dan fase negatif (dingin) yang masing-masing berlangsung selama 20 hingga 30 tahun.

Pada PDO fase positif (hangat), suhu permukaan air di Pasifik bagian barat cenderung rendah (dingin), sedangkan suhu muka laut di perairan khatulistiwa Pasifik Tengah dan Timur cenderung tinggi. Pada fase negatif pola yang berlawanan terjadi. Saat ini PDO tengah berada pada fase negatif, sehingga suhu air laut di wilayah Pasifik bagian Barat cenderung tinggi, yang mengakibatkan tingginya laju kenaikan muka laut di area ini. Namun, untuk perairan Pasifik di atas lintang 20º LU yang membentang dari perairan Filipina hingga Alaska, suhu muka laut berada di bawah rata-rata global. Hal ini yang menyebabkan munculnya pola berwarna biru tua (laju perubahan muka laut bernilai negatif) di sebelah utara daerah penelitian.

Perubahan muka laut sterik di area penelitian menunjukkan pola yang hampir sama dengan

perubahan SLA dari data satelit altimetri.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,

perubahan muka laut sterik diperoleh dari data suhu dan salinitas dari program Argo. Pada penelitian ini, tinggi muka laut sterik yang ditampilkan adalah tinggi muka laut akibat efek

sterik total, yakni suhu dan salinitas air laut. Dengan kata lain, kedua faktor tersebut tidak diteliti kontribusinya secara terpisah, melainkan sebagai satu kesatuan.

Tampak bahwa plot variasi spasial perubahan tinggi sterik muka laut (Gambar 6b) membentuk perbukitan sebagaimana pada data altimetri. Wilayah punggungan dari perbukitan ini juga memanjang pada lintang 5º-15º LU, dimana perubahan tertinggi terjadi di sekitar titik sampel 48. Nilai rerata perubahan tinggi sterik di area penelitian adalah 14,352 mm/tahun dengan standar deviasi 13,002 mm/tahun.

Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh saat penelitian, dapat dianalisis beberapa hal, yakni pola distribusi spasial perubahan muka laut di wilayah Samudera Pasifik bagian Barat, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan muka laut tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas data satelit altimetri maupun pelampung Argo.

Pada Gambar 6a dan 6b, ditemui kemiripan pola sebaran spasial perubahan muka laut, yakni pola ’perbukitan’ yang memanjang pada latitude 10o LU. Pola ini disebabkan oleh sinyal ENSO (El Nino Southern Oscillation) di Pasifik tropis Barat (Llovel et al., 2010). ENSO merupakan sebuah perubahan periodik pada suhu muka laut (El Nino) dan tekanan udara di atasnya (Southern Oscillation) di

sepanjang Samudera Pasifik

(http://www.ncdc.noaa.gov/teleconnections/enso/en so-tech.php). Menurut Glebushko (2004), fenomena El-Nino terkuat pada abad ke-20 terjadi pada tahun 1982-1993 dan tahun 1997-1998. Peristiwa El-Nino pada tahun 1997/1998 berdampak langsung pada Indonesia, ditandai dengan terjadinya kekeringan hebat yang memicu terjadinya kebakaran hutan dan banjir tak terkendali (Glebushko, 2004).

Perubahan muka laut (baik kenaikan maupun penurunan) disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Llovel et al. (2010), faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan muka laut baik global maupun regional adalah perubahan muka laut sterik. Perubahan muka laut sterik didefinisikan sebagai perubahan densitas kolom air akibat anomali suhu dan salinitas (Llovel et al., 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh, dimana nilai perubahan muka laut sterik dari data Argo lebih besar daripada nilai perubahan muka laut total yang diperoleh dari data satelit altimetri. Hasil tersebut disebabkan panjang deret waktu data Argo tidak sepanjang deret waktu altimetri. Selain itu sebaran pelampung Argo di area penelitian yang

tidaklah merata jika dibandingkan dengan

pengamatan altimetri.

Selain perubahan muka laut sterik, beberapa hal juga turut berkontribusi terhadap perubahan muka laut di area penelitian. Hal-hal tersebut antara lain (Llovel et al., 2010):

1. Pelelehan massa es di kutub-kutub bumi

(Greenland dan Antartika) 2. Pelelehan gletser

3. Penambahan massa air laut oleh massa air daratan (air tawar)

(6)

Seperti layaknya penelitian lain, penelitian ini juga tidak terlepas dari berbagai kesalahan yang mempengaruhi kualitas hasil yang diperoleh. Beberapa faktor kesalahan tersebut antara lain adalah kesalahan sistematik dan kesalahan acak (random errors). Beberapa kesalahan sistematik yang mempengaruhi ketelitian pengamatan altimetri adalah (Hwang, 1997):

1. ketidak-geosentrisan kerangka acuan orbit satelit

2. kesalahan orbit Cycle per revolution (cpr)

3. kesalahan model pasang surut samudera

(ocean tide)

4. pengaruh Sea Surface Topography (SST)

Kesalahan sistematik maupun acak, seperti bias, drift dan spike, pada data suhu dan salinitas dari pelampung Argo berasal dari kesalahan sensor pengukur tekanan (Willis et al, 2008b). Sama halnya dengan data pengamatan altimetri, prosedur

penghitungan dan metode interpolasi yang

digunakan dalam penentuan tinggi muka laut sterik juga berpengaruh pada ketelitian hasil penelitian. Selain itu, kontribusi lautan dalam yang tidak diketahui besarnya juga turut mempengaruhi kualitas hasil yang diperoleh.

Gambar 6. a) Perubahan SLA dari Tahun 1992-2013, b) Perubahan Tinggi Muka Laut Sterik Tahun 2000-2013.

b

(7)

KESIMPULAN

Perubahan muka laut total di wilayah

Samudera Pasifik bagian barat pada periode tahun 1992 hingga 2012 berdasarkan data satelit altimetri Topex/Poseidon, Jason 1 dan Jason 2 berkisar antara -0,758 hingga 12,936 mm/tahun, dengan nilai rerata adalah 6,982 ± 3,493 mm/tahun. Perubahan muka laut total ini diwakili oleh perubahan SLA yang merupakan tinggi permukaan laut di atas permukaan geofisik, yang dalam penelitian ini adalah global mean sea level surface DTU 10.

Perubahan tinggi muka laut sterik berdasarkan data pelampung Argo pada periode 2000 - 2013 berkisar antara -24 hingga 48 mm/tahun dengan nilai rerata 14,352 ± 13.002 mm/tahun. Tinggi muka laut sterik ini diperoleh dengan menggunakan algoritma TEOS-10 (Thermodynamic Equation of Seawater-2010). Tekanan acuan yang digunakan untuk menentukan tinggi sterik dalam penelitian ini adalah 0 dBar dan 900 dBar. Secara teoritis, tekanan acuan yang sebaiknya digunakan adalah 2000 dBar, yaitu tekanan dimana suhu dan salinitas air laut tidak mengalami perubahan yang signifikan. Tekanan 900 dBar dipilih karena ketersediaan data dengan tekanan lebih besar dari 900 dBar sangat terbatas.

Ekspansi termal lautan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perubahan (kenaikan) muka laut global, namun faktor-faktor lain seperti pelelehan lapisan es di kutub, pelelehan gletser, dan penambahan massa air tawar di berbagai belahan bumi turut mempengaruhi perubahan muka laut global.

Wilayah Pasifik Barat tropis (latitude 10° LU) merupakan wilayah dengan perubahan tinggi muka laut terbesar. Hal ini disebabkan oleh fenomena ENSO. Sedangkan pada area yang terletak lebih ke utara (lintang 20° LU) terjadi penurunan muka laut yang disebabkan oleh fenomena Pacific Decadal Oscillation (PDO).

Pelampung Argo mampu mendeteksi

perubahan tinggi muka laut dengan cukup baik. Namun, sebaran spasial pelampung tersebut dan juga berbagai model koreksi yang belum akurat turut mempengaruhi ketelitian hasil penelitian. Berbagai kesalahan sistematik dan acak yang berasal dari instrumen pengamatan, kondisi alam

maupun metode pengolahan data turut

mempengaruhi kualitas hasil penelitian yang diperoleh.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung berjalannya penelitian ini, yakni staf pengajar Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr. Kosasih Prijatna, Dr. Tech. Dudy D. Wijaya, Sella Nurmaulia, Dr. Rer. Nat Wiwin Windupranata, Dr. Dwi Wisayantono, dan juga para staf Pusat Jaring

Kontrol Geodesi dan Geodinamika Badan Informasi Geospasial.

DAFTAR PUSTAKA

Ablain, M., A. Cazenave, G. Valladeau, & S. Guinehut. (2009). A new assessment of the error budget of global mean sea level rate estimated by satellite altimetry over 2003-2008. Ocean Sciences, 5(2), 193-201.

Bindoff, N., J. Willebrand, V. Artale, A. Cazenave, J. Gregory, S. Gulev, & A. Unnikrishnan. (2007).

Observations: oceanic climate and sea level.

Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge.

Carrère, C., & Lyard, L. (2003). Modelling the high frequency response of the global ocean to atmospheric forcing-Comparisons with observations. In EGS-AGU-EUG Joint Assembly (Vol. 1, p. 11181).

Cazenave, A., & Nerem, R. S. (2004). Present‐day sea level change: Observations and causes. Reviews of Geophysics, 42(3).

Cazenave, A. & W. Llovel. (2010). Contemporary sea level rise. Annual Review of Marine Science, 2: 145-173.

Church, J. A., Gregory, J. M., Huybrechts, P., Kuhn, M., Lambeck, K., Nhuan, M. T., ... & Woodworth, P. L. (2001). Changes in sea level. In Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group 1 to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (T. Houghton, Y. Ding, DJ Griggs, M. Noguer, P. van de Linden, X. Dai, K. Maskell and CI Johnson, eds.), 881 pp.

DEOS. Radar Altimeter Data Acquisition from RADS. Cited inhttp://rads.tudelft.nl/rads/data/radsdata1.cgi Glebushko, Y. (2004). The El Niño Phenomenon: From

Understanding to Predicting. CSA.

Hartanto, P. (2012). Identifikasi dan Analisis Karakteristik Fisis Waveform Satelit Altimetri di Indonesia Studi Kasus: Beberapa Wilayah Pesisir Pulau Sulawesi. Skripsi, Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hwang, C. (1997). Analysis of some systematic errors

affecting altimeter-derived sea surface gradient with application to geoid determination over Taiwan.

Jurnal of Geodesy71(2), 113-130.

IOC, SCOR, & IAPSO. (2010). The International Thermodynamic Equation of Seawater-2010. In

Intergovernmental Oceanographic Commision, Manuals and Guides, No. 56 p.196. UNESCO. Llovel, W., S. Guinehut, & A. Cazenave. (2010). Regional

and interannual variability in sea level over 2002-2009 based on satellite altimetry, Argo float data and GRACE ocean mass. Ocean Dynamics, 60(5),

1193-1204.

Leuliette, E. W., & Miller, L. (2009). Closing the sea level rise budget with altimetry, Argo, and GRACE.

Geophysical Research Letters, 36(4).

Passero, M. (2009). ARGO-based sea level analysis in Central Mediterranean. In M. Passero, Sea Level Anomaly-Central Mediterranean.

Ray, R. (1999). A Global Ocean Tide Model From TOPEX/POSEIDON Altimetry: GOT99.2. NASA Tech Memo 209478, Goddard Space Flight Center Greenbelt, Maryland 20771: 58 pages.

(8)

Rohman, A. (2010). Trend Linier Perubahan Kedudukan Muka Laut Berdasarkan Data Satelit Altimetri ERS-2 1995-2003 dan Envisat 2003-2009 Studi kasus: perairan Indonesia. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Tomczak, M. & J.S. Godfrey. (1994). Regional oceanography: An introduction. London: Pergamon. Willis, J.K., D.P. Chambers, & R.S. Nerem. (2008a).

Assessing the globally averaged sea level budget

on seasonal to interannual timescales. Journal of Geophysical Research. 113 (C6), C06015

Willis, J. K., Lyman, J. M., Johnson, G. C., & Gilson, J. (2009). In Situ Data Biases and Recent Ocean Heat Content Variability. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology, 26(4), 846-852.

Wunsch, C., Ponte, R. M., & Heimbach, P. (2007). Decadal trends in sea level patterns: 1993-2004.

Gambar

Gambar  1.  Hubungan  antara  altitude,  jarak
Gambar 3. Wilayah penelitian, ditandai dengan kotak.
Gambar 4. Distribusi titik sampel altimetri.
Gambar 6. a) Perubahan SLA dari Tahun 1992-2013, b) Perubahan Tinggi Muka Laut Sterik Tahun 2000-2013

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu dengan menggunakan pemoddan sederhana kita dapat mengam{ bahwa: perubahan muka air laut pa& selang waktu ini terlihat bahwa untuk daerah perairan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh korelasi antara kejadian perubahan anomali suhu muka laut (SML) wilayah nino-3 terhadap Curah Hujan di Provinsi Bengkulu sehingga

Bertujuan untuk mendapatkan referensi yang berhubungan dengan Analisa kenaikan muka air laut (sea level rise) menggunakan data satelit altimetri di perairan

Hasil korelasi spasial antara δ 18 Okoral dengan data suhu muka laut menunjukkan korelasi yang tinggi dibeberapa wilayah (Gambar 5). Korelasi spasial yang

pengamatan hasil ekstraksi data perlu dilakukan pemilahan sesuai dengan wilayah penelitian. Proses pemilahan ini dilakukan berdasarkan batas lintang dan bujur

Pola angin permukaan pada Musim Timur (Juni, Juli, Agustus) dan Musim Peralihan 2 (September, Oktober, November) di perairan Samudera Hindia bagian Timur Laut sebelah Barat

Selain itu, untuk mengetahui kenaikan muka air laut di perairan PPP Sadeng berdasarkan data multi satelit altimetri maka menggunakan data satelit altimetri yang telah dikelompokan

Hasil pengolahan data diperoleh adalah terjadi adanya perubahan garis pantai di Kabupaten Demak berupa Abrasi di satu wilayah dan Akresi di wilayah lain, dan rata-rata kenaikan muka