• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Hasil pengukuran tanaman genjer (L. flava) Besaran Rata-rata (cm) pengukuran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Hasil pengukuran tanaman genjer (L. flava) Besaran Rata-rata (cm) pengukuran"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik dan Morfologi Genjer (L. flava)

Sampel genjer terlebih dahulu dipreparasi, kemudian sampel diukur morfometriknya. Besaran yang digunakan dalam pengukuran tanaman genjer pada penelitian ini adalah panjang daun, diameter daun, panjang batang dan diameter batang. Secara umum hasil pengukuran tanaman genjer disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengukuran tanaman genjer (L. flava) Besaran pengukuran Rata-rata (cm) Ukuran minimal (cm) Ukuran maksimal (cm) Panjang daun 9,63 ± 0,54 9,00 10,70 Diameter daun 7,51 ± 0,12 7,30 7,70 Panjang batang 24,12 ± 0,77 23,00 25,50 Tebal batang 0,67 ± 0,11 0,43 0,97 Keterangan: Data diperoleh dari 30 tangkai tanaman genjer (L. flava)

Hasil pengukuran daun genjer meliputi panjang daun dan diameter daun menunjukkan nilai berkisar pada 9,63± 0,54 cm dan 7,51± 0,12 cm. Panjang daun minimal adalah 9 cm dan maksimal adalah 10,70 cm. Diameter daun minimal sebesar 7,30 cm dan diameter daun maksimal sebesar 7,70 cm. Hasil pengukuran batang genjer meliputi panjang batang dan tebal batang menunjukkan nilai berkisar pada 24,12± 0,77 cm dan 0,67± 0,11 cm. Panjang batang genjer minimal sebesar 23 cm dan maksimal sebesar 25,50 cm. Tebal batang minimal sebesar 0,43 cm dan maksimal sebesar 0,97 cm.

Selubung daun genjer sempit ke arah atas dan helai daun tipis, berwarna hijau muda, bentuk (bulat, bulat telur atau berbentuk bulat panjang yang luas) dan memiliki panjang daun berkisar antara 6 - 20 cm (hampir sama-sama lebar). Puncak daun umumnya apiculate dengan hydathode kecil di ujungnya, dasar daun cuneate, dan margin daun berombak-ombak. Terdapat sekitar 1-4 peduncles (tangkai bunga), yang aksila, tegak, berbentuk segitiga, diratakan di dasar dan memiliki panjang 120 cm (Abhilash et al. 2009).

(2)

4.2 Komposisi Kimia Genjer (L. flava)

Analisis komposisi kimia genjer dilakukan melalui uji proksimat dalam kondisi segar dan setelah pengukusan dengan waktu pengukusan yang berbeda. Bagian tanaman genjer yang yang diteliti yaitu bagian yang dapat dimakan, terdiri dari daun dan batang. Analisis komposisi kimia yang dilakukan terdiri dari analisis kadar air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam, dan serat kasar. Komposisi kimia tanaman genjer dalam basis basah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tanaman genjer dalam berat basah Analisa Proksimat Segar* (%) Segar** (%) Kukus 3

menit (%) Kukus 5 menit (%) Kadar air 93,91±0,13 79,34±0,15 92,49±0,04 91,27±0,04 Protein 2,38±0,00 0,28±0,01 2,81±0.53 2,03±0,31 Lemak 0,20±0,13 1,22±0,01 0,29±0,00 0,39±0,01 Kadar abu 0,89±0,13 0,79±0,03 0,99±0,01 0,70±0,14 Serat kasar 1,31±0,06 3,18±0,04 1,34±0,03 1,53±0,17 Abu tak larut asam 0,10±0,00 - 0,10±0,00 0,10±0,00

(*) Hasil penelitian (**) Saupi et.al. (2009)

Hasil analisis komposisi kimia berdasarkan Tabel 4 menunjukkan perbedaan antara hasil penelitian dengan hasil Saupi el al. (2009). Menurut Miller (1996), komposisi akhir dari bagian tanaman yang dapat dimakan dipengaruhi dan dikontrol oleh kesuburan tanah, genetik tanaman, dan lingkungan pertumbuhan tanaman. Hal inilah yang menyebabkan hasil penelitian berbeda dengan yang dikemukakan oleh Saupi et al. (2009). Hasil analisis komposisi kimia genjer segar menunjukkan perubahan setelah dilakukan pengukusan. Kadar air, protein, dan abu mengalami penurunan, sedangkan kadar lemak, dan serat kasar mengalami peningkatan.

Kadar air rata-rata genjer segar sebesar 93,91%, kadar air pada genjer ini lebih besar daripada bayam (86,9%), daun singkong (77,2%), dan kangkung (89,7%). Tingginya kadar air genjer ini tidak terlepas dari habitatnya yang berupa perairan. Menurut Rusyidi (2010) habitat perairan sebagai tempat hidup genjer menyebabkan kadar air tanaman genjer sangat tinggi. Jaringan penyusun organ menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan membentuk sistem ruang tempat terjadinya difusi ruang secara bebas. Menurut Utama et al. (2007), kandungan air

(3)

pada tumbuhan dapat mencapai 85-98%. Difusi gas ke dalam sel-sel tanaman diduga berawal dari pengangkutan sejumlah air oleh sistem pembuluh, kemudian terjadi penyerapan gas dengan tidak mengikutsertakan air melalui diafragma dari ruang antar selnya. Oleh karena itu semakin banyak gas yang dibutuhkan oleh tanaman air, maka semakin besar pula presentase air yang dikandung tanaman.

Kadar air genjer setelah dilakukan proses pengukusan mengalami penurunan. Menurut Sulistiono (2009), perubahan kadar air pada proses pengukusan semanggi air disebabkan karena transfer panas dan pergerakan aliran air maupun udara, sehingga terjadi proses penguapan dan pengeringan pada bahan makanan yang mengakibatkan perubahan proses dehidrasi seperti penurunan konsentrasi protein pada makanan. Menurunnya kadar air pada sayuran akan mengakibatkan perubahan tekstur pada sayuran tersebut. Sayuran setelah dikukus akan menjadi lunak dan lebih mudah dikonsumsi.

Kadar protein genjer segar hasil penelitian sebesar 2,38% lebih rendah dibandingkan bayam (3,50%), kangkung (3,00%), daun singkong (6,80%), daun pepaya (8,00%). Menurut Nosoetion et al. (1994) ketersediaan unsur nitrogen didalam media tumbuh tanaman tidak kalah penting dalam proses sintesis protein, baik sebagai asam amino, protein, klorofil dan tersedianya basa nitrogen terutama purin dan pirimidin. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kandungan protein dari tiap-tiap jenis sayuran yang berbeda tempat hidupnya. Kadar protein genjer mengalami perubahan setelah dilakukan pengukusan yang menunjukkan adanya pengaruh proses pengukusan terhadap kadar protein genjer.

Kadar lemak genjer segar hasil penelitian sebesar 0,20% lebih rendah dibandingkan bayam (0,50%), kangkung (0,30%), daun singkong (1,20%), dan daun pepaya (20%). Kadar lemak genjer segar hasil penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Saupi et al. (2007). Kadar lemak yang rendah pada sayuran mengakibatkan sayuran tidak mudah mengalami proses oksidasi yang mengakibatkan kerusakan pada bahan pangan. Kandungan lemak pada buah dan sayuran umumnya sedikit, lemak yang terkandung dalam pangan nabati biasanya berupa asam lemak tidak jenuh (Wirakusumah 2007). Kadar lemak genjer mengalami perubahan setelah dilakukan pengukusan. Terjadi

(4)

peningkatan kadar lemak setelah pengukusan, hal ini diduga karena proporsional terhadap penurunan kadar air, protein, dan abu.

Kadar abu genjer segar hasil penelitian sebesar 0,90% berbeda dengan hasil kadar abu genjer segar yang dilakukan oleh Saupi et al. (2009) yaitu sebesar 0,79%. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi habitat dan kandungan mineral di dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu genjer segar mengalami perubahan setelah dilakukan pengukusan.

Kandungan serat kasar genjer segar hasil penelitian sebesar 1,31%. Kandungan serat ini lebih besar apabila dibandingkan dengan kandungan serat pada bayam (0,9%) dan selada (0,8%). Serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayur dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, dan non-karbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan mucilage. Serat pada bahan pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno 2008).

Kadar abu tidak larut asam yang diperoleh dalam penelitian adalah sebesar 0,10%, kadar tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan EEC yaitu maksimum sebesar 2%, sedangkan FAO dan FCC menetapkan maksimum 1%. Menurut Basmal et al. (2003), kadar abu tak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan. Tingginya kadar abu tak larut asam pada teh daun murbei kanva mencerminkan tingginya kandungan logam yang terkandung di dalamnya. Abu tak larut asam dicerminkan oleh adanya kontaminasi mineral atau logam yang tidak larut asam dalam tanaman genjer.

Proses pegukusan secara nyata mengakibatkan perubahan komposisi kimia genjer. Hasil analisis menunjukkan penurunan setelah dilakukan pengukusan. Komposisi kimia tanaman bagian genjer (berat kering) setelah pengukusan disajikan pada Tabel 5.

(5)

Tabel 5 Komposisi kimia tanaman genjer (berat kering) setelah pengukusan

Analisa proksimat Segar (%) Kukus 3 menit (%) Kukus 5 menit (%) Kadar air 0 0 0 Protein 39,12±0,86a 37,46±6,84a 23,23±3,46b Lemak 3,29±2,10a 3,92±0,01a 4,52±0,06a Kadar abu 14,73±2,54a 13,24±0,02a,b 8,01±1,58b Serat kasar 21,54±1,41a 17,84±0,47a 17,51±2,02a Abu tak larut asam 1,64±0,04a 1,31±0,00c 1,13±0,01b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan bahwa

perbedaan waktu pengukusan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap komposisi kimia (p<0,05)

Tabel 5 menunjukkan hasil perubahan komposisi kimia genjer setelah pengukusan dalam berat kering. Menurut Rahayu (2010) pemanasan dengan pengukusan kadang-kadang tidak merata karena bahan makanan di bagian tepi biasanya mengalami pengukusan berlebihan, sementara di bagian tengah mengalami pengukusan lebih sedikit. Pengukusan secara nyata dapat menurunkan kadar zat gizi makanan yang besarnya bergantung pada cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus (Harris dan Karmas 1989).

Kadar protein genjer segar (basis kering) sebesar 39,14% menurun menjadi 32,49% setelah pengukusan 3 menit dan 20,73% setelah pengukusan 5 menit. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13d), menunjukkan bahwa perlakuan kukus 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein genjer segar, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein genjer dengan perlakuan kukus 5 menit. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), perlakuan pemanasan pada suatu bahan pangan menyebabkan protein terkoagulasi dan terhidrolisis secara sempurna. Pengaruh pengukusan menyebabkan protein terdenaturasi dan membentuk agregat-agregat (gel, endapan dan sebagainya). Dalam jaringan sel sayuran, protein tersimpan di vakuola dalam bentuk asam amino, di membran sel dalam bentuk lipoprotein dan dalam inti sel sebagai nukleoprotein (Johnson dan Uriu 1990).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak (basis kering) genjer setelah pengukusan mengalami peningkatan, namun berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13c) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak

(6)

genjer. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya kadar lemak secara nominal pada pengujian sebenarnya tidak berpengaruh secara statistik.

Kadar abu pada genjer segar (basis kering) yaitu sebesar 14,80%, menurun setelah mengalami proses pengukusan menjadi 13,31% pada kukus 3 menit dan 8,02% pada kukus 5 menit. Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13e) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu genjer. Hal ini sejalan dengan penelitian Rusydi (2010) yang menyatakan bahwa presentase air yang hilang pada proses pengukusan genjer sedikit, sehingga kehilangan mineral yang larut dalam air juga sangat sedikit.

Kadar serat kasar genjer segar (basis kering) menurun dari 21,55% menjadi 17,84% pada kukus 3 menit dan menjadi 17,53% pada kukus 5 menit. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13g) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar serat kasar genjer. Kadar serat dalam makanan dapat mengalami perubahan akibat pengolahan yang dilakukan terhadap bahan asalnya (Muchtadi 2001). Sebagian besar serat pada tumbuhan berupa selulosa dan terhidrolisis menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti selodekstrin yang terdiri dari satuan glukosa atau lebih sedikit, kemudian selobiosa dan akhirnya glukosa (Robinson 1995).

Kadar abu tidak larut asam genjer segar (basis kering) sebesar 1,64%, mengalami penurunan menjadi 1,33% pada kukus 3 menit dan 1,14% pada kukus 5 menit. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13f) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu tidak larut asam genjer. Menurut Basmal et al. (2003), kadar abu tak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan. Abu tak larut asam dicerminkan oleh adanya kontaminasi mineral atau logam yang tidak larut asam dalam tanaman genjer.

4.3 Kandungan Vitamin Genjer (L. flava)

Kandungan vitamin C genjer segar lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan vitamin C genjer setelah proses pengukusan. Kandungan vitamin C genjer segar dalam berat kering adalah sebesar 46,63 mg/100 g. Hal ini berbeda

(7)

dengan yang dikemukakan oleh Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (1992) yang diacu dalam Astawan dan Kasih (2008), kandungan vitamin C genjer segar (Limnocharis flava) adalah sebesar 54 mg/100 g. Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan lokasi tumbuh dan keadaan alam dari tempat hidup genjer. Kandungan vitamin C pada genjer segar ini tergolong sedang. Menurut Somsub et al. (2007) kandungan vitamin C dalam sampel sayur dibagi dalam tiga tingkatan yaitu kategori tinggi (71,8 mg/100 g), sedang (9,6-71,6 mg/100 g), dan rendah (kurang dari 9,6 mg/100 g).

Hasil kandungan vitamin C genjer segar dan genjer kukus menunjukkan penurunan, nilai vitamin C pada genjer segar sebesar 46,63 mg/100 g menurun setelah pengukusan 3 menit menjadi 43,81 mg/100 g dan pada pengukusan 5 menit semakin menurun menjadi 37,34 mg/100 g. Pada pengukusan 3 menit, kadar vitamin C menurun sebesar 6,05% dan pada pengukusan 5 menit menurun sebesar 20,06%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan menyebabkan kandungan vitamin C semakin menurun.

Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 15c) menyatakan bahwa perlakuan kukus 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan vitamin C genjer segar, namum memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kadar vitamin C pada pengukusan 5 menit. Menurut Somsub et al.(2007) kandungan vitamin C secara signifikan menurun pada tiga

metode pemasakan (perebusan, pengukusan, dan penumisan), mulai dari 14,4% hingga 94,6%. Perebusan menghilangkan vitamin C sebesar 23,9% hingga 94%, karena ketidakstabilan terhadap suhu tinggi dan mudah larut dalam air yang menyebabkan vitamin C larut dalam air rebusan yang umumnya dibuang setelah memasak. Sedangkan proses pengukusan menggunakan uap panas dari air, sehingga penurunan kadar vitamin C yang terjadi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan proses perebusan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Oboh (2005) bahwa pengolahan berbagai makanan dengan metode konvensional membawa kerugian terhadap kandungan vitamin C pada sayuran berdaun. Penurunan kandungan vitamin C dapat dikaitkan dengan fakta bahwa vitamin C larut dalam air dan pada saat yang sama tidak tahan terhadap panas.

(8)

Kandungan beta karoten genjer segar dan setelah pengukusan mengalami penurunan. Nilai beta karoten genjer segar dalam berat kering sebesar 69,62 mg/100 g, berubah setelah pengukusan 3 menit menjadi 44,87 mg/100 g, dan pada pengukusan 5 menit menjadi 18,44 mg/100 g. Menurut Subekti (1998) pengukusan menurunkan kandungan beta karoten secara nyata padasawi hijau (59%), bunga kol (14%), dan bayam (17%). Sebagimana menurut Apriyantono (2002) bahwa pada zat gizi lainnya, nilai beta karoten akan menurun akibat adanya proses pemanasan.

Proses pengukusan pada penelitian ini menyebabkan kehilangan kadar beta karoten sebesar 33,55% pada pengukusan 3 menit dan pada pengukusan 5 menit sebesar 73,51%. Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 15d) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar beta karoten genjer. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan menyebabkan kadar beta karoten semakin menurun. Menurut Olemo et al. (2011) kehilangan beta karoten dengan presentase rendah (10%) diamati pada Solanum incanum dapat dikaitkan dengan metode pengolahan yang berbeda. Beta karoten adalah zat gizi mikro aktif sebagai komponen dari karotenoid yang dikenal sebagai pro vitamin A (Almatsier 2004). Walaupun genjer mengandung pro vitamin A tetapi hasil analisis vitamin A pada genjer segar terdeteksi dalam jumlah kecil dibawah limit deteksi alat (0,005 ppm).

4.4 Kandungan Mineral Genjer ((Limnocharis flava)

Menurut Arifin (2008) unsur mineral adalah salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup. Kandungan mineral yang diuji pada sampel genjer meliputi mineral makro (fosfor, kalium, kalsium, natrium, dan magnesium) dan mineral mikro (besi dan seng). Informasi mengenai kandungan mineral genjer segar disajikan pada Tabel 6.

(9)

Tabel 6 Kandungan mineral genjer segar dan setelah pengukusan dalam berat basah

Komposisi mineral

Nilai (mg/100 g)

Segar Kukus 3 menit Kukus 5 menit Mineral makro Fosfor (P) 234,60±8,48 190,45±2,82 85,80±71,06 Kalsium (Ca) 115,05±0,11 60,97±0,59 38,91±4,70 Kalium (K) 412,64±3,10 386,46±2,07 326,87±3,61 Natrium (Na) 34,92±1,56 12,75±0,32 8,59±0,27 Mineral mikro Besi (Fe) 117,02±5,09 140,17±0,87 104,84±5,03 Seng (Zn) 45,51±1,11 22,70±0,80 22,90±1,08

Tabel 6 menunjukkan kandungan mineral genjer segar dan setelah pengukusan. Kandungan mineral makro tertinggi pada genjer segar adalah kalium dan mineral terendah adalah natrium. Kandungan mineral mikro tertinggi pada genjer segar adalah besi dan terendah adalah seng. Kelima jenis mineral makro yang diteliti menunjukkan bahwa empat mineral mengalami penurunan setelah pengukusan yaitu fosfor, kalsium, kalium, dan natrium. Sedangkan magnesium mengalami peningkatan setelah pengukusan. Kehilangan mineral tertinggi pada pengukusan dengan waktu 3 menit dan 5 menit terdapat pada mineral natrium, sedangkan kehilangan mineral terendah yaitu kalium. Kehilangan mineral ini diakibatkan oleh pengolahan dengan pemanasan suhu dan media uap air. Menurut Palupi et al. (2007), mineral yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya.

Kandungan mineral tanaman genjer hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan kandungan mineral tanaman genjer dari Malaysia dan Thailand pada penelitian Saupi et al. (2007). Menurut Rusydi (2010) perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi habitat dan kandungan mineral di dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Perubahan kandungan mineral genjer setelah pengukusan disajikan pada Tabel 7.

(10)

Tabel 7 Kandungan mineral genjer segar dan setelah pengukusan dalam berat kering

Komposisi mineral

Nilai (mg/100 g)

Segar* Segar** Kukus 3 menit Kukus 5 menit Mineral makro Fosfor (P) 3.858,55±139,21a - 2.535,95±37,59a 982,82±813,94b Kalsium (Ca) 1.892,25± 1,86a 770,87±105,2 811,89 ± 7,88c 445,76± 53,86b Kalium (K) 6.786,18± 50,97a 4.202,50±292,37 5.146,47±27,53c 3.744,55± 41,30b Natrium (Na) 574,34± 25,57a 107,72± 17,15 169,77± 4,28c 98,35± 3,04b Mineral mikro Besi (Fe) 1.924,69± 83,59a - 1.866,48±11,57a 1.200,92±57,61b Seng (Zn) 749,48± 18,19a 0,66± 0,05 302,30±10,63c 262,32±12,33b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan waktu pengukusan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap komposisi kimia (p<0,05)

Tabel 7 menunjukkan hasil kandungan mineral genjer setalah proses pengukusan. Beberapa mineral makro seperti fosfor, kalsium, kalium, dan natrium mengalami penurunan setelah proses pengukusan. Begitu pula yang terjadi pada mineral mikro besi dan seng mengalami penurunan setelah pengukusan. Menurut Rahayu (2010) ketika makanan dimasak, diproses, atau disimpan, mineral dapat bergabung dengan komponen kimia makanan lain atau bahkan larut akibat pemanasan. Sama halnya dengan vitamin, variasi kandungan mineral alamiah makanan mentah dan metode memasak yang berbeda dapat menghasilkan variasi kadar mineral. Mineral pada umumnya tidak peka terhadap panas, tetapi rentan terhadap pencucian atau pengolahan yang melibatkan air seperti perebusan dan pengukusan. Penurunan mineral selama pencucian dapat diperkecil dengan mengurangi jumlah air yang digunakan untuk memasak bahan makanan.

Kandungan fosfor pada genjer segar sebesar 3.858,55 mg/100 g. Fosfor yang terdapat dalam tumbuhan berada dalam molekul DNA dan RNA, membran sel, dan molekul ATP yang dapat berupa simpanan energi pada batang, daun, dan buah (Johnson dan Uriu 1990). Kandungan fosfor menurun setelah mengalami proses pengukusan. Kehilangan mineral fosfor pada pengukusan dengan waktu 3 menit adalah sebesar 1.322,60 mg/100 g dan semakin tinggi pada pengukusan 5 menit yaitu sebesar 2.875,73 mg/100 g. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14h) menyatakan bahwa perlakuan kukus 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan fosfor genjer segar, namun memberikan

(11)

pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan kukus 5 menit. Menurut Bourne (1985) sebagian fosfor yang terdapat pada tanaman larut dalam air, seperti berkurangnya fosfor pada jerami yang terendam air hujan dan berkurangnya fosfor pada saat ibu rumah tangga merebus sayuran dan membuang airnya. Hal ini menyebabkan semakin lama waktu pengukusan maka kadar fosfor pada bahan akan semakin banyak hilang.

Kandungan kalsium pada genjer segar sebesar 1.892,25 mg/100 g, berbeda jauh dengan yang dikemukakan oleh Saupi et al. (2009) yaitu kandungan kalsium pada bagian genjer segar yang dapat dimakan yaitu sebesar 770,87 mg/100 g. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi habitat dan kandungan mineral dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Pada saat kalsium terdapat melimpah di dalam tanah, kalsium juga banyak terdapat pada daun yang diambil secara pasif melalui pertumbuhan akar. Daun yang lebih tua biasanya mengandung kalsium yang lebih banyak daripada daun muda. Kalsium sebagian besar terdapat dalam xylem dan dalam konsentrasi lebih kecil terdapat pada floem (Johnson dan Uriu 1990).

Kandungan kalsium genjer menurun setelah mengalami proses pengukusan. Kehilangan mineral kalsium pada waktu pengukusan 3 menit adalah sebesar 1.080,36 mg/100g dan pada pengukusan 5 menit sebesar 1.446,49 mg/100 g. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14c) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan mineral kalsium genjer. Menurut Rahayu (2010) mineral yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan akan menyebabkan kehilangan mineral kalsium semakin besar.

Jumlah kalium pada genjer segar sebesar 6.786,18 mg/100 g lebih tinggi dari hasil penelitian Saupi et al. (2007) yaitu sebesar 4.202,50 mg/100 g. Kalium merupakan mineral yang mobile atau sering berpindah, daun dan organ lain yang lebih tua biasanya akan kehilangan kalium sehingga kali terdapat dalam jumlah besar pada jaringan daun dan buah terutama pada jaringan yang muda (Bourne 1985). Hal tersebut diduga menyebabkan perbedaan kadar kalium genjer.

(12)

Kandungan kalium genjer setelah proses pengukusan mengalami penurunan menjadi 5.146,47 mg/100 g pada pengukusan 3 menit dan 3.744,55 mg/100 g pada pengukusan 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan akan mengakibatkan penurunan kadar kalium pada genjer. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14d) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan kalium genjer. Lewu et al. (2010) menyatakan bahwa terjadi penurunan yang signifikan pada kandungan kalium Colocasia esculenta (L.) Schott setelah

dilakukan proses perebusan. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Bethke et al. (2008) yang menyatakan kentang putih (Solanum tuberosum L.)

merupakan sumber kalium di Amerika Selatan, namun tidak baik dikonsumsi oleh orang yang menderita gagal ginjal. Perebusan pada kentang dapat menurunkan kadar kalium, sehingga dapat dikonsumsi oleh orang yang gagal ginjal.

Kandungan natrium genjer segar sebesar 574,34 mg/100 g berbeda dengan yang dikemukakan Saupi et al.(2009) yaitu kandungan natrium pada bagian genjer segar sebesar 107,72 mg/100 g. Hal ini disebabkan karena tempat hidup yang berbeda. Kandungan natrium tanaman genjer setelah proses pengukusan mengalami penurunan menjadi 169,74 mg/100 g pada pengukusan 3 menit dan 98,35 mg/100 g pada pengukusan 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan akan mengakibatkan semakin tingginya penurunan kadar natrium pada genjer. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14e) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan natrium genjer. Menurut Lewu et al. (2010) sebagian besar mineral dan vitamin larut dalam air. Merendam sayur dalam air sebelum pemasakan atau selama pemasakan akan menyebabkan hilangnya vitamin dan beberapa mineral penting. Dalam pengukusan, air yang keluar dari sayuran hanya dalam jumlah yang sedikit sehingga jumlah penurunan mineral yang terlarut dalam air pun dalam jumlah yang sedikit pula.

Kandungan besi pada genjer segar sebesar 1924,69 mg/100 g. Sesuatu yang terkandung dalam tanaman tergantung pada kandungan tanah dan udara, namun jumlah dan proporsinya tergantung pada banyak faktor yaitu spesies, umur, distribusi akar, keadaan fisik dan kimia tanah, proporsi dan distribusi

(13)

elemen, metode penanaman, serta keadaan iklim (Bethke dan Jansky 2008). Kandungan besi genjer mengalami penurunan setelah dilakukan proses pengukusan. Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14f) menyatakan bahwa perlakuan waktu pengukusan 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan besi genjer segar, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pengukusan 5 menit. Hasil yang diperoleh didukung oleh penelitian Karkle dan Beleia (2009) dari enam varietas soybeans yang diuji kadar besi setelah direbus, semua tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kedelai segar.

Kandungan seng pada genjer segar sebesar 749,48 mg/100 g jauh lebih tinggi bila dibandingkan hasil penelitian Saupi et al. (2007). Berdasarkan uji kandungan seng pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genjer banyak menyerap seng dan besi daripada tembaga yang dideteksi ternyata hasilnya dibawah limit deteksi alat (<0,0005). Seng yang terserap oleh tanaman genjer ini kemungkinan besar juga berasal dari lingkungan perairan sawah yang banyak mengandung logam tersebut.

Kandungan seng genjer setelah pengukusan relatif mengalami penurunan. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14g) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan seng genjer. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengukusan dengan waktu 5 menit lebih banyak menyebabkan kehilangan mineral seng bila dibandingkan dengan pengukusan 3 menit. Penurunan kadar seng pada genjer diduga disebabkan oleh keluarnya ion-ion seng dari dalam daun bersamaan dengan keluarnya air karena pengaruh pemanasan. Hal ini berdasarkan sifat ketersediaan seng pada tanaman yang tersebar hampir di dalam jaringan tubuh dan berfungsi dalam metabolisme tubuh seperti transpor vitamin, dimana vitamin termasuk salah satu zat gizi yang rentan hilang karena suhu tinggi (Gaman dan Sherrington 1992).

Gambar

Tabel 5 Komposisi kimia tanaman genjer (berat kering) setelah pengukusan

Referensi

Dokumen terkait

falciparum di Thailand yang menemukan lebih dari tiga kelas alel, namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Kalimantan dan Sulawesi dimana pada lokus

Pada bab ini akan dibahas tentang konsep dasar teori terkait dengan Sistem Informasi Pelatihan Komputer Berbasis Web di LPK SMILE Group Yogyakarta dalam pembuatan web

Ada beberapa tahapan: (1) tahapan pencanaan, yaitu proses merencanakan aplikasi sistem kearsipan elektronik yang bertujuan untuk mendukung proses pemindahan arsip,

Keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan sekolah perempuan desa Sumberejo terihat dari penerapan setelah melakukan srangkaian kegaiatan dan materi yang berkaitan

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda dengan hasil regresi yang menggambarkan bahwa variable tax, tunnelling incentive,

Untuk mendeteksi suhu dan kelembaban digunakan sensor DHT-22, data dari sensor akan diproses oleh mikrokontroller Arduino dan dikirimkan menggunakan modul Wi-fi ESP8266-01 yang

Penelitian ini dilakukan untuk melihat jumlah rata-rata leukosit, dan rasio heterofil/limfosit pada ayam broiler yang diberi metionina untuk melihat efek metionina dalam

1) Penggunaan metode drill dalam pembelajaran Balāgatul Qur’ān adalah sebagai penguatan dari materi yang disampaikan dengan metode ceramah. Melalui penggunaan