• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kedelai 2.1.1. Klasifikasi Kedelai - BAB II IMAM DARMAWAN BIOLOGI'17

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kedelai 2.1.1. Klasifikasi Kedelai - BAB II IMAM DARMAWAN BIOLOGI'17"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kedelai

2.1.1. Klasifikasi Kedelai

Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan oleh manusia sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi pada awal abad ke-19, menyebabkan tanaman kedelai juga ikut tersebar ke berbagai negara tujuan perdagangan tersebut, yaitu Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia, dan Amerika. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya (Adisarwanto, 2005a).

Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1984 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill. Klasifikasi tanaman kedelai menurut Cronquist (1981) sebagai berikut :

Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Fabales

Familia : Fabaceae Genus : Glycine

(2)

2.1.2. Deskripsi Tanaman Kedelai

Kedelai merupakan tanaman semusim, berupa semak rendah, tumbuh tegak, dan berdaun lebat. Tinggi tanaman berkisar antara 30 – 100 cm. Batangnya beruas-ruas dengan 3-6 cabang (Fachruddin dan Lisdiana, 2000).

Akar tanaman kedelai berupa akar tunggang yang membentuk cabang-cabang akar. Akar utama tumbuh ke arah bawah, sedangkan cabang akar tumbuh menyamping tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembaban tanah turun akar-akar tumbuh lebih kedalam agar dapat menyerap air dan unsur hara. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil akar (Pitojo, 2003)

Menurut Sukmawati (2013) tanaman kedelai memiliki bintil akar yang dapat mengikat nitrogen di atmosfer melalui aktivitas bakteri pengikat nitrogen yaitu Rhizobium japonicum. Nodul atau bintil akar tanaman kedelai umumnya dapat mengikat nitrogen dari udara pada umur 10–12 hari setelah tanam tergantung kondisi lingkungan tanah dan suhu.

(3)

determinate dan indeterminate. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga sedangkan indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Semideterminate dikategorikan gabungan dari determinate dan indeterminate (Somantri, 2014).

Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu pada stadium kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan stadium selanjutnya berupa daun bertangkai tiga. Bentuk daun kedelai ada dua yaitu bulat atau oval dan lancip. Bentuk daun dipengaruhi oleh faktor genetik (Adisarwanto, 2005a).

Bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai alat kelamin jantan dan betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih tertutup sehingga kemungkinan perkawinan silang akan kecil. Tidak semua bunga menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong (Suprapto, 2001)

(4)

2.1.3. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai

2.1.3.1. Tanah

Menurut Rukmi (2011) tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada tanah dengan ketinggian 100-1.200 meter di atas permukaan laut. Pada daerah dataran tinggi umur tanaman kedelai menjadi lebih panjang. Tanaman kedelai merupakan tanaman semusim yang dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah Alluvial, Regosol, Grumosol, Latosol, atau Andosol.

Kedelai tumbuh baik pada tanah bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air dan memiliki pH 6-6,8. Pada tanah dengan pH 5,5 kedelai masih dapat berproduksi, meskipun tidak optimal. Pada pH <5,5 pertumbuhannya sangat terhambat karena keracunan aluminium. Untuk mengatasinya lahan perlu diberi kapur (Danarti dan Najiyati, 1999).

2.1.3.2. Iklim

Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh didaerah yang beriklim tropis dan subtropis. Sebagai barometer iklim yang cocok bagi kedelai adalah jika cocok bagi tanaman jagung. Bahkan daya tahan kedelai lebih baik daripada jagung. Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab (Sugeno, 2008)

(5)

persediaan air sangat terbatas, dapat berpengaruh pada besarnya biji dan jumlah biji tiap polong (Panjaitan, 2009).

Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21o-34o C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 24o-25o C dengan penyinaran penuh minimal 10 jam/hari. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu lingkungan sekitar 30o C dan suhu tanah yang optimal adalah 30o C (Prihatman, 2000).

2.1.4. Varietas Kedelai

Varietas adalah sekumpulan individu tanaman yang dapat dibedakan oleh setiap sifat (morfologi, fisiologi, sitologi, kimia, dll) yang nyata untuk usaha pertanian dan bila diproduksi kembali akan menunjukkkan sifat-sifat yang dapat dibedakan dari yang lainnya (Sutopo, 1998).

Varietas-varietas kedelai yang dianjurkan mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Misalnya umur panen, produksi per herktar, daya tahan terhadap hama dan penyakit. Setelah ciri-ciri tanaman kedelai diketahui, akhirnya dapat dihasilkan varietas-varietas yang dianjurkan. Varietas-varietas ini diharapkan sesuai dengan keadaan tempat yang akan ditanami. Dengan ditemukannya varietas-varietas baru (unggul) melalui seleksi galur atau persilangan (crossing), diharapkan sifat-sifat baru yang akan dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan, baik dalam hal produksi, umur produksi, maupun daya tahan terhadap hama dan penyakit (Andrianto & Indarto, 2004)

(6)

kedelai memiliki kelebihan, diantaranya adalah berproduksi tinggi, tahan terhadap penyakit, dan mampu beradaptasi terhadap berbagai keadaan lingkungan tumbuh (Rukmana & Yuniarsih, 1996).

Umur kedelai ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Dalam hal ini umur kedelai diartikan sebagai umur pada saat tanaman kedelai mulai dipanen. Di Indonesia umur kedelai dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu sangat genjah berumur < 70 hari, genjah berumur 70 - 79 hari, sedang berumur 80 - 85 hari, dalam berumur 86 - 90 hari, dan sangat dalam berumur > 90 hari (Wiwit & Adie, 2013).

Beberapa jenis varietas kedelai unggul berumur dalam yang ditanam dalam penelitian ini antara lain:

2.1.4.1. Varietas Wilis

Kedelai Wilis merupakan kedelai hasil seleksi keturunan persilangan varietas Orba dan varietas No. 1682. Dikeluarkan pada tanggal 21 Juli 1983. Potensi hasilnya 1,6 ton/ha biji kering. Varieta ini akan berbunga pada umur ± 39 hari dan dapat dipanen pada umur ± 88 hari. Tinggi tanaman mencapai 40-50 cm. Varietas ini memiliki ketahanan terhadap penyakit karat dan virus. Tipe pertumbuhannya determinate, Ciri tipe determinate adalah pertumbuhan batang akan berhenti setelah tanaman berbunga. Ukuran batang bagian ujung lebih kecil dan berbunga secara bertahap. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2015).

2.1.4.2. Varietas Sinabung

(7)

bertahap. Umur berbunga dan umur polong matang adalah 35 hari dan 88 hari. Varietas ini tahan terhadap penyakit karat daun. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2015).

2.2. Biologi Penyakit Tumbuhan

2.2.1. Klasifikasi Penyakit Karat Daun

Penyakit karat pada tanaman kedelai disebabkan oleh jamur Phakopsora pachyrizi Syd dan merupakan jamur endemik yang tersebar di berbagai wilayah seperti Asia, Australia, Amerika Utara, dan Afrika. Penyakit ini merupakan penyakit yang penting bagi tanaman kedelai karena bisa menyebabkan kehilangan hasil sampai 50% jika kondisi lingkungan sekitarnya mendukung untuk pertumbuhan jamur Phakopsora pachyrizi Syd. (Hartman, 2005)

Jamur ini berdasarkan Agrios (1996) diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio : Mycota

Classis : Basidiomycetes Sub-classis : Heterobasidiomycetes Ordo : Uredinales

Familia : Melampaoraceae Genus : Phakopsora

Species : Phakopsora pachyrizi Syd

2.2.2. Gejala Serangan

(8)

ini dapat mengurangi fotosintesis. Apabila serangannya berat mengakibatkan banyak polong yang tidak terisi penuh (Suprapto, 2001).

Gejala tampak pada daun, tangkai dan kadang-kadang pada batang. Mula-mula disini terjadi bercak-bercak kecil kelabu atau bercak yang sedikit demi sedikit berubah menjadi coklat atau coklat tua. Bercak-bercak karat terlihat sebelum bisul-bisul (pustule) pecah. Bercak tampak bersudut-sudut, karena dibatasi oleh tulang-tulang daun di dekat tempat terjadinya infeksi. Pada perkembangan tanaman berikutnya, setelah tanaman mulai berbunga, bercak-bercak menjadi lebih besar atau kadang-kadang bersatu dan menjadi coklat tua bahkan hitam. Pada umumnya gejala karat mula-mula tampak pada daun-daun bawah, yang lalu berkembang ke daun-daun yang lebih muda. Bercak-bercak meskipun umumnya terdapat pada sisi bawah, dapat juga terbentuk pada sisi atas daun (Semangun, 1993).

Gambar 2.2.2. Gejala karat daun (Phakopsora pachyrizi) (Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

(9)

disekitar tempat infeksi, bercak tersebut tampak bersudut-sudut. Bercak-bercak dapat membesar dan menyatu, terutama setelah tanaman berbunga. Bercak-bercak ini umumnya terdapat pada bagian bawah daun, tetapi dapat juga terbentuk pada bagian atas. Gejala ini mula-mula tampak pada daun-daun yang tua kemudian berkembang ke daun-daun yang lebih muda (Yuswani dan Sumartini, 2001).

2.2.3. Daur Hidup Penyakit

Urediospora masuk kedalam tumbuhan melalui stomata. Setelah mencapai mulut daun (stomata), ujung pembuluh kecambah membesar dan membentuk apresorium. Alat ini membentuk lubang penetrasi yang masuk kedalam lubang stomata lalu membengkak menjadi gelembung sub-stomata di dalam ruang udara. Dari gelembung ini tumbuh hifa infeksi yang berkembang ke semua arah dan membentuk hausterium yang mengisap makanan dari sel-sel tumbuhan inang (Semangun, 1993).

(10)

Urediospora yang pertama dapat dihasilkan sejak 9 hari setelah terjadinya infeksi, dan produksi spora dapat berlanjut sampai 3 minggu kedepan. Uredium dapat berkembang sampai minggu ke 5 setelah inokulasi tunggal, uredium sekunder akan menginfeksi sampai minggu ke 8 sejak awal infeksi. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi kering yang memperluas kapasitas sporulasi yang menghasilkan patogen yang menjadi inokulum tetap. Urediospora yang baru dapat menginfeksi tanaman yang sehat dan tanaman inang lainnya. Urediospora ini disebarkan oleh angin, apabila kondisinya sesuai pathogen ini akan berkecambah (Agrios, 1996). Siklus hidup penyakit karat daun dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini:

Gambar 2.2.3.b Siklus hidup penyakit karat daun (Sumber: Dow Agroscience, 2009).

2.2.4. Faktor Yang Mempengaruhi

(11)

Suhu optimum untuk perkecambahan urediospora adalah 15o-25o C. Pada kedelai infeksi paling banyak terjadi pada suhu 20o-25o C dengan embun selama 10-12 jam, pada suhu 15o-17o C diperlukan embun selama 16-18 jam. Masa berembun terpendek untuk terjadinya infeksi pada suhu 20o-25o C adalah 6 jam, sedangkan pada suhu 15o-17o C adalah 8-10 jam. Infeksi terjadi bila suhu lebih tinggi dari 27,5 oC. Bakal uredium mulai tampak 5-7 hari setelah inokulasi, dan pembentukan spora terjadi 2-4 hari kemudian. Penyakit karat yang lebih berat terjadi pada pertanaman kedelai musim hujan (Semangun, 1993).

2.3. Pengendalian Penyakit

Usaha pengendalian yang dapat dilakukan dalam pengelolaan penyakit ini antara lain dengan penanaman benih bebas patogen, varietas tahan, sanitasi kebun, rotasi tanam, dan pengaplikasian fungisida. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar petani lebih memilih menggunakan fungisida sintetik (Adisarwanto, 2005b).

(12)

2.3.1. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)

PGPR merupakan sekelompok bakteri menguntungkan yang mengkolonisasi rizosfir pada akar tanaman dan meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme seperti peningkatan nutrisi tanaman, produksi dan regulasi fitohormon, dan penekanan organisme penyebab penyakit tanaman (Ngoma, 2012).

Secara umum, fungsi PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dibagi dalam tiga kategori yaitu : (1) sebagai pemacu/perangsang pertumbuhan (biostimulan) dengan mensintesis dan mengatur konsentrasi berbagai zat pengatur tumbuh (fitohormon) seperti IAA, giberelin, sitokinin dan etilen dalam lingkungan akar; (2) sebagai penyedia hara (biofertilizer) dengan menambat N2 dari udara secara simbiosis dan melarutkan hara P yang terikat di dalam tanah; (3) sebagai pengendali pathogen berasal dari tanah (bioprotectans) dengan cara menghasilkan berbagai senyawa atau metabolit anti pathogen seperti siderophore, β -1,3-glukanase, kitinase, antibiotik dan sianida (Mcmillan, 2007).

Dalam beberapa kasus, satu strain PGPR dapat memiliki kemampuan lebih dari satu kategori fungsi, sehingga fungsi perangsang pertumbuhan dan penyedia hara (fungsi langsung) dan fungsi pengendali patogen (fungsi tidak langsung) menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tanaman yang perakarannya berkembang dengan baik akan efisien menyerap unsur hara sehingga tanaman tidak mudah terserang patogen. (Wahyudi, 2009).

(13)

Pseudomonas dan beberapa dari genus Serratia. Selain kedua genus tersebut, dilaporkan antara lain genus Azotobacter, Azospirillum, Acetobacter, Burkholderia, Enterobacter, Rhizobium, Erwinia, Flavobacterium dan Bacillus. Meskipun sebagian besar Bacillus (gram-positif) tidak tergolong pengkoloni akar, beberapa strain tertentu dari genus ini ada yang mampu melakukannya sehingga bisa digolongkan PGPR. (Wahyudi, 2009).

2.3.2. Corynebacterium sp

Corynebacterium sp merupakan agens hayati dari golongan bakteri yang memiliki sifat antagonis terhadap bakteri patogen. Bakteri antagonis ini telah dirintis pengembangannya sebagai bahan pengendali hayati dan ramah lingkungan. Menurut Agrios (1997) bakteri Corynebacterium dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Procaryotae (Bacteria) Divisio : Firmicutes

Classis : Thallobacteria Familia : Streptomytaceae Genus : Corynebacterium Species : Corynebacterium sp

(14)

Bentuk bakteri Corynebacterium adalah berbentuk batang lurus sampai agak sedikit membengkok dengan ukuran 0,5 – 0,9 X 1,5 –4 μm. Kadang – kadang mempunyai segmen berwarna dengan bentuk yang tidak menentu tetapi ada juga yang berbentuk gada yang membengkak. Bakteri ini umumnya tidak bergerak, tetapi beberapa spesiesnya ada yang bergerak dengan rata – rata dua bulu cambuk polar (Agrios, 1997).

Bakteri Corynebacterium termasuk bakteri gram positif karena dengan pewarnaan diferensial dengan larutan ungu kristal, sel bakteri berwarna ungu, tetapi ketika ditambahkan larutan safranin warna merah sel bakteri tidak menyerap larutan safranin sehingga tetap berwarna ungu. Bakteri gram positif pada umumnya bersifat non patogenik (Pelczar dan Chan, 1996).

(15)

2.4. Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Sumartini dan Sulistyo (2016) pada pertanaman kedelai di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang menunjukkan bahwa penggunaan varietas unggul tanaman kedelai mampu menekan atau mengurangi produktivitas kedelai akibat penyakit karat daun. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa varietas kedelai yang tahan terhadap penyakit karat. Sebagai contohnya, pada kondisi terinfeksi penyakit karat, kedelai varietas Wilis dan Dering 1 mampu menghasilkan biji per tanaman tertinggi, masing-masing seberat 7,15 gram dan 5,21 gram.

Hasil penelitian Zainudin dkk. (2014) pada pertanaman jagung Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Brawijaya menyebutkan bahwa penggunaan PGPR (B. subtilis dan P. fluorescense) berpotensi mengendalikan penyakit bulai. PGPR dapat menekan serangan penyakit bulai yang diakibatkan spora Peronosclerospora sp. pada tanaman jagung. Pemberian B. Subtilis ( UB-ABS 4 dan 5) dapat menekan serangan penyakit bulai hingga 50%. Sedangkan P.fluorescense (UB-APF 2 dan 5) masing-masing dapat menekan 40% dan 20% penyakit bulai pada tanaman jagung bila dibandingkan dengan kontrol.

Gambar

Gambar 2.2.2. Gejala karat daun (Phakopsora pachyrizi)  (Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)
Gambar 2.2.3.a. Urediospora Phakopsora pachyrizi, penyebab penyakit  karat daun kedelai (10x)  (Sumber: Semangun, 1996)
Gambar 2.2.3.b Siklus hidup penyakit karat daun  (Sumber: Dow Agroscience, 2009).

Referensi

Dokumen terkait