TINJAUAN PUSTAKA
Serangga Hypothenemus hampei Ferr.
Laporan tahunan kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini
diperkirakan lebih dari $ 500 juta setiap tahun. Disebutkan bahwa hama bubuk
buah kopi ini telah ada di negara yang berbeda dimana lebih dari 20 negara,
termasuk Puerto Rico juga telah terdapat hama ini (Vega et al., 2009).
Serangga H. hampei menyukai tanaman kopi yang tumbuh rimbun dengan
naungan yang gelap. Kondisi demikian tampaknya berkaitan dengan daerah asal
dari hama PBKo, yaitu Afrika dimana serangga PBKo menyerang tanaman kopi
liar yang berada di bawah hutan tropis yang lembab (Cruz et al., 2006).
Berdasarkan fenologi pada pembuahan tanaman kopi, pengelolaan PBKo
dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Karena pembuahan
tanaman kopi tersebut sangat bervariasi menurut ketinggian tempat, curah hujan,
suhu, tipe tanah, varietas atau klon kopi dan praktek agronomis
(Samuel et al., 2009). Kondisi pertanaman kopi di daerah Sumatera yang
tergolong daerah basah dan sebagian besar memiliki tipe iklim B dan A (menurut
tipe iklim Schmidt dan Ferguson) akan sulit menerapkan sistem sanitasi untuk
memutuskan siklus hidup hama karena pertanaman kopi berbuah sepanjang tahun.
Pada daerah dataran tinggi (lebih dari 1200 m dpl.) serangga H. hampei
perkembangannya terhambat, sehingga pada daerah-daerah tersebut biasanya
Biologi Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera: Scolytidae)
Serangga betina H. hampei yang telah berkopulasi menggerek buah kopi
yang bijinya telah mengeras dan meletakkan telur didalamnya. Setiap induk
selama hidupnya mampu meletakkan telur sebanyak 74 butir, diletakkan 2-3 butir
setiap hari. Masa inkubasi telur 5-9 hari (Wiryadiputra, 2007). Telur diletakkan
dalam buah kopi yang bijinya mulai mengeras. Larva yang baru menetas berada
dalam gerekan yang dibuat oleh imago dan makan dari biji kopi. Lama stadium
larva berkisar 10-26 hari. Larva menjadi pupa atau kepompong di dalam buah atau
biji kopi. Masa prapupa 2 hari dan lama stadium pupa 4 sampai 9 hari (Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006).
Serangga dewasa jantan berwarna hitam kecoklatan, imago betina
berukuran lebih besar (2,0 mm) dibanding jantan (1,2 mm). Nisbah kelamin betina
dengan serangga jantan rata-rata 10:1 (Pereira et al., 2012). Namun, pada saat
akhir panen, populasi serangga mulai turun karena terbatasnya makanan. Populasi
serangga hampir semuanya betina, karena serangga betina memiliki umur yang
lebih panjang dibanding serangga jantan. Pada kondisi demikian perbandingan
serangga betina dan jantan dapat mencapai 500:1. Serangga jantan H. hampei
tidak bisa terbang, oleh karena itu tetap tinggal pada liang gerekan di dalam biji.
Umur serangga jantan hanya 103 hari, sedang serangga betina dapat mencapai 282
hari dengan rata-rata 156 hari. Serangga betina terbang pada sore hari, yaitu
sekitar pukul 16.00 sampai dengan 18.00 (Balasubramaniyam dan Sundaresan,
Gejala Serangan
Pada umumnya PBKo menyerang buah dengan endosperma yang telah
mengeras. Namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi
yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan pakan dan
selanjutnya ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang, warnanya berubah
menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan pada buah yang bijinya
telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi karena biji berlubang. Biji
kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap susunan senyawa kimianya,
terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji berlubang merupakan salah satu
penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh
kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang terkandung dalam biji
(Tobing et al., 2006).
Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung di dalam biji keras
yang sudah matang. Kopi adalah tempat berkembang biak yang sangat baik untuk
penggerek ini, dalam kopi tersebut dapat ditemukan sampai 75 ekor larva
serangga per biji. Kumbang ini diperkirakan dapat bertahan hidup selama kurang
lebih satu tahun pada biji kopi dalam kontainer tertutup (Armbrecht dan Gallego,
2007).
PBKo mengarahkan serangan pertamanya pada bagian kebun kopi yang
lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak dikendalikan, serangan dapat
menyebar ke seluruh kebun. Dalam buah tua dan kering yang tertinggal setelah
Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang sampai
merah, biasanya membuat lubang dari ujung dan meletakkan telur pada buah.
Kumbang betina terbang dari satu pohon ke pohon yang lain untuk meletakkan
telur. Ketika telur menetas, larva akan memakan isi buah sehingga menyebabkan
menurunnya mutu kopi (USDA Agricultural Research Service, 2006).
PBKo masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat lubang di sekitar
diskus. Serangan pada buah muda menyebabkan gugur buah. Serangan pada buah
yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-lubang dan bermutu
rendah (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006). PBKo diketahui
makan dan berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina
masuk ke dalam buah kopi dengan membuat lubang dari ujung buah dan
berkembang biak dalam buah (Irulandi et al., 2007).
Imago H. hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk
endosperma. Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah
memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Betina membuat lubang
kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk meletakkan telur jika
buah sudah cukup matang (Gauthier, 2010).
Pengendalian
Pengendalian dengan sanitasi sangat efektif untuk menurunkan intensitas
serangan hama PBKo. Tindakan rampasan yang dipraktekkan pada suatu
40-90 % menjadi 0,5-3 %. Di Brazil, tindakan sanitasi dilaporkan juga sangat
efektif untuk mengendalikan hama PBKo (Cruz et al., 2006).
Memutus daur hidup PBKo, meliputi tindakan petik bubuk, yaitu
mengawali panen dengan memetik semua buah masak yang terserang PBKo
maupun tidak 15-30 hari menjelang panen besar. Lelesan, yaitu pemungutan
semua buah kopi yang jatuh di tanah baik terhadap buah terserang maupun buah
tidak terserang. Racutan atau rampasan yaitu memetik seluruh buah yang ada di
pohon pada akhir panen. Semua bahan hasil petik bubuk, lelesan, dan racutan
direndam dalam air panas kurang lebih 5 menit (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 2006).
Pemangkasan merupakan salah satu upaya pengendalian secara kultur
teknis karena dapat memutus siklus hidup hama utama pada pertanaman kopi.
Pemangkasan dilakukan baik pada tanaman kopi maupun terhadap tanaman
penaung. Tindakan pemangkasan pada tanaman kopi ditujukan untuk menghindari
kelembaban yang tinggi, memperlancar aliran udara sehingga proses penyerbukan
dapat berlangsung secara intensif, membuka kanopi agar tanaman mendapat
penyinaran merata guna merangsang pembungaan, dan membuang cabang tua
yang kurang produktif atau terserang hama atau penyakit sehingga hara dapat
didistribusikan ke cabang muda yang lebih produktif (Soundari et al., 2016).
Pengendalian PBKo dapat dilakukan dengan penggunaan tanaman yang
masak serentak seperti pada kopi Arabika varietas USDA 731 dan USDA 762.
288, dan BP 234 (dataran rendah), kombinasi klon BP 42, BP 358, dan BP 409
(dataran tinggi) ( Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006).
Berbagai upaya untuk mengendalikan hama ini di daerah-daerah penghasil
kopi di dunia masih diarahkan pada pengendalian secara kimia terutama dengan
menggunakan endosulfan. Hasil Penelitian di Kaledonia Baru menunjukkan
bahwa hama bubuk buah kopi ini telah mengembangkan ketahanannya pada
endosulfan dan lindane. Hasil penelitian dengan menggunakan insektisida
monokrotofos 150 g/l, metamidofos 200 g/l dan fosfamidon 500 g/l pada tanaman
kopi di kecamatan Modoinding, Sulawesi Utara menunjukkan bahwa jenis-janis
insektisida ini dapat menekan populasi hama bubuk buah kopi (Ritu et al., 2012).
Pengendalian hayati memiliki prospek untuk dikembangkan. Ada dua
agens hayati yang telah tersedia dan prospektif untuk dikembangkan, yaitu jamur
Beauveria bassiana dan serangga parasitoid Cephalonomia stephanoderis
(Khasanah, 2008).
Jamur Beauveria bassiana
Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo
Hypocreales dari famili Clavicipitaceae. Cendawan entomopatogen penyebab
penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce,
Perancis yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian
tersebut bukan saja sebagai penemuan penyakit pertama pada serangga, tetapi juga
yang pertama untuk binatang. Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi,
Jamur B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena
miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval,
dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Qazzaz et al., 2015). Pada konidia
B. bassiana akan tumbuh suatu tabung yang makin lama makin panjang mirip
seuntai benang dan pada suatu waktu benang itu mulai bercabang. Cabang-cabang
yang timbul selalu akan tumbuh menjauhi hifa utama atau hifa yang pertama
(Rahayuningtias dan Julyasih, 2010). Cabang-cabang tersebut akan saling
bersentuhan. Pada titik sentuh akan terjadi lisis dinding sel (anastomosis) sehingga
protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa. Miselium yang terbentuk akan
makin banyak dan membentuk suatu koloni (Rashki dan Shirvani, 2013).
Konidia jamur bersel satu, berbentuk oval agak bulat sampai dengan bulat
telur, berwarna hialin dengan diameter 2-3 μm (Ratissa, 2011). Konidia dihasilkan
dalam bentuk simpodial dari sel-sel induk yang terhenti pada ujungnya.
Pertumbuhan konidia diinisiasi oleh sekumpulan konidia. Setelah itu, spora
tumbuh dengan ukuran yang lebih panjang karena akan berfungsi sebagai titik
tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya dimulai di bawah konidia berikutnya, setiap saat
konidia dihasilkan pada ujung hifa dan dipakai terus, selanjutnya ujungnya akan
terus tumbuh (Sahayaraj dan Borgio, 2010). Dengan cara seperti ini, rangkaian
konidia dihasilkan oleh konidia-konidia muda (rangkaian akropetal), dengan
kepala konidia menjadi lebih hifa utama atau hifa yang pertama. Cabang-cabang
tersebut akan saling bersentuhan. Pada titik sentuh akan terjadi lisis dinding sel
(anastomosis) sehingga protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa. Miselium
menempel pada ujung dan sisi konidiofor atau cabang-cabangnya
(Shophiya et al., 2014).
Hifa berukuran lebar 1-2 μm dan berkelompok dalam sekelompok sel-sel
konidiogen berukuran 3-6 μm x 3 μm. Selanjutnya, hifa bercabang-cabang dan
menghasilkan sel-sel konidiogen kembali dengan bentuk seperti botol, leher kecil,
dan panjang ranting dapat mencapai lebih dari 20 μm dan lebar 1 μm (Herlinda et
al., 2006)
Koloni B. bassiana pada medium PDA yang diinkubasi pada suhu 25˚C
dan berumur 14 hari, membentuk lapisan seperti tepung. Cendawan ini tidak
membentuk klamidospora, namun dapat membentuk blastospora. Koloni pada
bagian tepi mula-mula berwarna putih kemudian menjadi kuning pucat (Ahmad,
2008),
Mekanisme Infeksi Jamur Beauveria bassiana
Mekanisme infeksi dimulai infeksi langsung hifa atau spora B. bassiana ke
dalam kutikula melalui kulit luar serangga. Pertumbuhan hifa akan mengeluarkan
enzim seperti protease, lipolitik, amilase, dan kitinase. Enzim-enzim tersebut
mampu menghidrolisis kompleks protein di dalam integument (Wahyono, 2006)
yang menyerang dan menghancurkan kutikula, sehingga hifa tersebut mampu
menembus dan masuk serta berkembang di dalam tubuh serangga. Mekanisme
infeksi secara mekanik adalah infeksi melalui tekanan yang disebabkan oleh
konidium B. bassiana yang tumbuh. Secara mekanik infeksi jamur B. bassiana
apresorium, kemudian menyerang epidermis dan hipodermis. Hifa kemudian
menyerang jaringan dan hifa berkembang biak di dalam haemolymph
(Indriyati, 2009).
Pada perkembangannya di dalam tubuh serangga B. bassiana akan
mengeluarkan racun yang disebut beauvericin yang menyebabkan terjadinya
paralisis pada anggota tubuh serangga (El-Sinary dan Rizk, 2007). Paralisis
menyebabkan kehilangan koordinasi sistem gerak, sehingga gerakan serangga
tidak teratur dan lama-kelamaan melemah, kemudian berhenti sama sekali.
Setelah lebih-kurang lima hari terjadi kelumpuhan total dan kematian. Toksin juga
menyebabkan kerusakan jaringan, terutama pada saluran pencernaan, otot, sistem
syaraf, dan system pernafasan (Cho et al., 2006).
Serangga kemudian mati dan jamur B. bassiana akan terus melanjutkan
pertumbuhan siklusnya dalam fase saprofitik. Setelah serangga inang mati,
B.bassiana akan mengeluarkan antibiotik, yaitu Oosporein yang menekan
populasi bakteri dalam perut serangga inang (Mandarina, 2008). Dengan
demikian, pada akhirnya seluruh tubuh serangga inang akan penuh oleh propagul
B. bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh serangga inang, jamur ini akan
menembus keluar dan menampakkan pertumbuhan hifa di bagian luar tubuh
serangga inang yang biasa disebut “white bloom”. Pertumbuhan hifa eksternal
akan menghasilkan konidia yang bila telah masak akan disebarkan ke lingkungan
Metode perbanyakan konidium Beauveria bassiana
Rao et al., (2006) menyatakan pertumbuhan B. bassiana juga sangat
ditentukan oleh kelembaban lingkungan. Namun demikian, jamur ini juga
memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi
inang pada kondisi kering. Untuk kebutuhan bioassai, perbanyakan isolate B.
bassiana cukup dilakukan pada medium agar (PDA) di dalam tabung reaksi
(Soetopo dan Indrayani, 2007).
Perbanyakan B. bassiana dalam skala kecil (ditumbuhkan pada 1 tabung
reaksi) dan untuk masa penyimpanan berdurasi singkat kurang dari 1 tahun, cukup
dilakukan dengan menggunakan media Sabouroud Dextrose Agar (SDA)
(Fernandes et al., 2006). Medium ini dapat menjaga viabilitas konidium
Beauveria bassiana hingga 6 minggu sebelum digunakan sebagai sumber
inokulum dalam perbanyakan massal (Meyling dan Eilenberg, 2007). Untuk
mempertahankan virulensi, pemurnian pada medium buatan sebaiknya cukup
dilakukan empat kali selanjutnya dilakukan pemurnian dengan serangga inang
(insect passage) (Nugraha et al., 2010). Suhu optimal untuk perkecambahan
konidium B. bassiana adalah 25- 30°C, dengan suhu minimum 10°C dan
maksimum 32°C. Untuk pH ideal pertumbuhan 7-8 (Ladja, 2010).
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa B. bassiana yang diproduksi di
lingkungan tanpa cahaya (gelap) konidianya cenderung berukuran lebih besar dan
lebih virulen dibanding yang diproduksi pada tempat terang (Khairani, 2007). Hal
apabila biakan cendawan harus dibawa ke luar areal perbanyakan. Selain itu yang
lebih penting dalam perbanyakan B. bassiana untuk skala komersial adalah
kesesuaian produk dengan teknik formulasi dan aplikasinya
(Surtikandi dan Yasin, 2009).
Umumnya produk B. bassiana diformulasi dalam bentuk bubuk (powder)
dan merupakan formulasi paling efektif memicu kontak dengan hama sasaran
karena langsung dapat masuk dan menginfeksi pada saluran pernafasan serangga
sasaran (Zibaee et al., 2013).
Daya Bunuh Jamur Beauveria bassiana
Menurut Posada dan Vega (2006) menyatakan bahwa 37% dari konidia
B. bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api Selenopsis richteri,
dapat berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam,
sedangkan hifanya mampu menembus dinding saluran pencernaan antara 60-72
jam. Kematian serangga dapat terjadi dalam waktu 7 hari setelah aplikasi.
Demikian pula tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering ditemukan secara
berkelompok pada ujung-ujung rerumputan (Vijayavani et al., 2009).
Jamur dapat bereproduksi secara aseksual dan seksual dengan membentuk
spora. Terdapat bermacam-macam spora aseksual yang dibentuk oleh jamur,
antara lain ialah konidium (jamak: konidia), spora, dan klamidospora (spora
berdinding tebal dan terbentuk dari benang sel biasa yang membulat)
(Moorthi et al., 2011). Jamur B. bassiana melakukan reproduksi secara aseksual
dalam kantung (sporangium). Selain itu, beberapa Ascomycota berkembang biak
dengan tunas (blastopora), tunas terbentuk dari percabangan sel. Setelah semua
bagian sel terbentuk, tunas melepaskan diri dari induknya. Reproduksi secara
seksual dilakukan dengan membentuk askokarp. Prosesnya diawali dengan
plasmogami antara elemen jantan (antheridium) dengan gametangium betina
(askogonium). Setelah terjadi fertilisasi akan terbentuk askus yang mengandung
inti diploid. Inti diploid pada askus muda akan mengalami meiosis membentuk 4
inti haploid yang setelahnya dapat mengalami proses mitosis berkali-kali. Inti
tersebut akan diselubungi dinding dan berkembang menjadi askospora matang.
Askus dapat dibentuk dalam suatu wadah yang disebut askokarp. Askospora yang
matang akan keluar dari askus dan askokarp (Swojanya et al., 2008).
Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada
spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadium serangga pada tingkat
kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan suhu
yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang
diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi