• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Nonverbal Tarian Serampang Dua Belas (Studi Semiotika Mengenai Komunikasi Nonverbal Dalam Tarian Serampang Dua Belas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Nonverbal Tarian Serampang Dua Belas (Studi Semiotika Mengenai Komunikasi Nonverbal Dalam Tarian Serampang Dua Belas"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kerangka Teori

Dalam suatu penelitan, teori memiliki peran sebagai pendorong pemecahan

masalah. Setiap sosial memerlukan teori, karena salah satu unsur yang paling

besar peranannya dalam penelitian adalah teori (dalam Singarimhum, 1995:37).

Adapun teori yang relevan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1.1 Pardagima

Suatu peneletian akan terjadi suatu perbedaan dan pencaraian pengetahuan

yang menghasilkan sebuah paradigma yang di anut oleh beberapa ilmuan.

Perbedaan dimaksud dapat terlihat terutama pada tiga level peneteorian yaitu

pada; penjernihan epistemologi, level “midle range” teori (dalam Ikbar Yanuar

2012:53) khususnya dalam menguraikan ilmu pengetahuan kedalam kerangka

kerja teoritis, tingkat metode dan teknik.

Paradigma ini pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun, dalam karyanya

berjudul The Structure of Scientific Revolution dalam tahun 1962. Istilah ini

kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Khun, paradigma

adalah suatu cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of

thought atau mode of inquiry (cara berpikir atau model suatu penyeledikan)

tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing (cara megetahui) yang

pesifik. Definisi tersebut ditegaskan oleh Fredichs, sebagai suatu pandangnan

yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan

yang semestinya dipelajari. Thomas khun berpendapat, bahwa ilmu pengetahuan

terjadi secara revolusi dengan model perkembangan sebagai berikut:

Pertama, adanya paradigma I: mendominasi dan mampu beragumentasi

untuk permasalahan.

(2)

Ketiga, Perkembangan anomalies (penyimpangan): tidak mengelak dari

pertentangan dan berbagai penyimpangan, sebab paradigma tidak mampu

beragumentasi untuk segala sesuatu masalah yang timbul.

Keempat, krisis: Selama penyimpangan memuncak, paradigma mulai

disangsikan validistanya.

Kelima, revolusi: krisis yang serius, dan karenanya timbul paradigma II.

Paradigma itu merupakan termilogi kunci dalam model perkembangan ilmu

pengetahuan sebagai suatu keragka, gugus pemikiran yang pokok berupa:

paradigma filsafat, metafisik, sosial, operasional dan bentuk-bentuk

paradigma secara konkret.

Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamorni mengungkapkan tentang

posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuan untuk merumuskan berbagi hal

yang berkatian dengan:

 Apa yang harus dipelajari

 Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab

 Bagaimana metode untuk menjawabnya

 Aturan-aturan apa yang harus di ikuti dalam menginpertasikan informasi

yang diperoleh

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pardigma merupakan

“seperangkat konsep”, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan yang

membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.” Sehubungan dengan

itu, dapat di anggap bahwa metode yang umumnya digunakan dikalangan ilmuan

sosial adalah penelitian kualitatif.

Metode penelitian kualitataif adalah suatu model penelitian humanistik, yang

menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya.

Misalnya karnya Edmund Hussrel (1859-1920) kemudian dikembangkan oleh

Max Weber (1864-1920) kedalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran

(3)

individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang

tampak merupakan konsekuensi-konsekuensi dari sejumlah pandagan atau doktrin

yang hidup dikepala manusia pelakunya (dalam Yanuar Ikbar Metodolgi

Penelitian Sosial Kualitatif 2012. hlm 55)

Adapun beberapa pemahaman dalam suatu paradigma yang biasa digunakan

oleh peneliti untuk membuat suatu karya ilmiah adalah sebagai berikut:

1. Naturalistic : Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological.

Penulis Guba & Lincoln (1982)

2. Inquiry form the inside. Penulis Ever Evered & Louis

3. Interpretative: Berorientasi kedapa proses. Penulis Burrel & Morgan

(1979)

4. Constructivist/fenomolgic. Penulis Guba (1990)

5. Naturalistic-etnographic. Penulis Horsmand (1989)

(Sumber: dalam Yanuar Ikbar Metodolgi Penelitian Sosial Kualitatif 2012.

hlm 57)

Paradigma Contructivist adalah paradigma konstruksionis memandang realitas

kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil

konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah

menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara

apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis

ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia

sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi.

Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang

memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan

konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami

realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan.

Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor

(4)

Ada beberapa teori yang terdapat dalam lingkup paradigma Kontruktivisme

ini, diantaranya yaitu Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses And Grafications

Theory) dan Teori Interaksionisme Simbolik.

Teori interaksionisme simbolik beranggapan bahwa khalayak adalah produk

sosial. Teori ini mempunyai metodologi yang khusus, karena interaksionisme

simbolik melihat makna sebagai bagian fundamental dalam interaksi masyarakat.

Dalam penelitian mengenai interaksi dalam masyarakat tersebut, teori

interaksionisme simbolik cenderung menggunakan metode kualitatif dibanding

metode kuantitatif.

Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa

yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita.

Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA

dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam

status yang formal”. Atau misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO

dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya

sebagai teman atau kawan semata”, serta ‘KAMU dan AKU’ juga yang lainnya.

Paradigma Kritis

Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivisme yang

kurang sensitif pada proses produksi dan reprosuksi makna yang terjadi secara

historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak berpusat pada

kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada

konstruktivisme.

Beberapa teori yang dinaungi oleh Paradigma Kritis diantaranya yakni Teori

Feminis dan Teori Analisis Wacana.

1. Teori Feminis

Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial

yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan.

Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari

alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang

meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme secara garis

(5)

feminisme radikal. Feminisme liberal lebih kepada paham paham demokrasi

liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi

semua individu. Sedangkan feminisme radikal, lebih kepada melihat persoalan

tidak sebatas pada hak yang bersifat publik. Oleh karena itu, jika feminisme

liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak

secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan.

Misalnya, Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena

pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.

2. Analisis Wacana

Teori analisis wacana termasuk dalam proses komunikasi yang menggunakan

simbol-simbol, berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam

sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan

komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat

netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang

menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi

masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain.

Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi,

kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.

Dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana masuk dalam

paradigma kritis, suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai

pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi

dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain. Paradigma kritis

melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru

dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok

yang tidak dominan. Dengan kata lain, teks di dalam media adalah hasil proses

wacana media (media discourse) Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi,

dan kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media

“tidak netral”sewaktu mengkonstruksi realitassosial.

(6)

2.1.2 Komunikasi

Secara epsitemologi istilah kata komunikasi atau dalam bahasa inggris

communication berasal dari bahasa latin yakni communicatio dari sumber kata

communis yang berarti “sama”. Sama dalam arti kata ini bisa di interprestasikan

dengan pemaknaanya adalah sama makna. Jadi secara sederhana dalam proses

komunikasi yang terjadi adalah bermuara pada usaha untuk mendapatkan

kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan komunikasi

tersebut (dalam Purba, dkk, 2010:1).

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi,

manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari –

hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana

saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam

komunikasi (Muhammad, 2009:1).

Menurut Harjana (dalam Harjana 2001, 2013:165) Komunikasi dapat

efektif apabila pesan diterima dan di mengerti sebagaimana dimaksud oleh

pengirim pesan, kemudian pesan di tindak lanjuti dengan sebuah perbuatan oleh

penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal tersebut (dalam

Daryanto,2013:165).

Sedangkan menurut Berelson dan Steiner komunikasi adalah proses

penyampaian informasi, gagasan, emosi keahlian dan lain lain melalui

penggunaan simbol-simbol seperti kata kata, gambar-gambar, angka-angka, dan

lain lain (dalam Purba, dkk, 201:32).

Kesimpulannya komunikasi ialah cara manusia dalam menyampaikan

informasi agar orang lain dapat mengerti dan memahami apa yang

disampaikannya. Dengan demikian definisi komunikasi mendapat penekanan

yang berbeda-beda antara satu sama lain, dan perbedaan tersebut pada umumnya

dilatarbelakangi oleh sudut pandang keilmuan para ahli yang mendefinisikannya.

Tatanan komunikasi meliputi intrapribadi, antarpribadi, kelompok massa,

media. Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, opini, perilaku,

masyarakat, dan lainya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah

(7)

komunikasi informatif, persuasif, koerisif, instruksif dan hubungan manusia

(dalam Maufid, 2014:84).

2.1.3 Komunikasi verbal

Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang disampaikan

komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral).

Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal.

Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk

mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya

dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial

untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat

yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap

bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan

dirangkaikan supaya memberi arti. Tatabahasa meliputi tiga unsur: fonologi,

sintaksis, dan semantik. Fonologi merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi

dalam bahasa. Sintaksis merupakan pengetahuan tentang cara pembentukan

kalimat. Semantik merupakan pengetahuan tentang arti kata atau gabungan

kata-kata.

Menurut Larry L. Barker (dalam Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga

fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.

1. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan

objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat

dirujuk dalam komunikasi.

2. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat

mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.

3. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah

yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai

fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan

masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan

(8)

Cansandra L. Book (1980), dalam Human Communication: Principles,

Contexts, and Skills, mengemukakan agar komunikasi kita berhasil, setidaknya

bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu:

1. Mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa saja

yang menarik minat kita, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada

masa lalu sampai pada kemajuan teknologi saat ini.

2. Berhubungan dengan orang lain. Bahasa memungkinkan kita bergaul

dengan orang lain untuk kesenangan kita, dan atau mempengaruhi mereka

untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan

lingkungan kita, termasuk orang-orang di sekitar kita.

3. Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita. Bahasa

memungkinkan kita untuk lebih teratur, saling memahami mengenal diri

kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita.

2.1.4 Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non verbal adalah proses komunikasi dimana pesan

disampaikan tidak menggunakan kata-kata tetapi menggunakan gerak isyarat,

bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata. Para ahli di bidang komunikasi

nonverbal biasanya menggunakan definisi "tidak menggunakan kata" dengan

ketat, dan tidak menyamakan komunikasi non-verbal dengan komunikasi

nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai

komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya

berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal juga

berbeda dengan komunikasi bawah sadar , yang dapat berupa komunikasi verbal

ataupun nonverbal. Adapun jenis-jenis komunikasi nonverbal adalah sebagai

berikut:

1. Komunikasi objek

Komunikasi objek yang paling umum adalah penggunaan pakaian. Orang

sering dinilaidari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini dianggap

(9)

menyukai orang lain yang cara berpakaiannyamenarik. Selain itu, dalam

wawancara pekerjaan seseorang yang berpakaian cenderung lebih mudah

mendapat pekerjaan daripada yang tidak. Contoh lain dari penggunaan

komunikasi objek adalah seragam.

2. Sentuhan (Haptik)

Haptik adalah bidang yang mempelajari sentuhan sebagai komunikasi

nonverbal. Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan,

berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain.

Masing-masing bentuk komunikasi ini menyampaikan pesan tentang

tujuan atau perasaan dari sang penyentuh. Sentuhan juga dapat

menyebabkan suatu perasaan pada sang penerima sentuhan, baik positif

ataupun negatif.

3. Kronemik

Kronemik adalah bidang yang mempelajari penggunaan waktu dalam

komunikasi nonverbal. Penggunaan waktu dalam komunikasi nonverbal

meliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas, banyaknya

aktivitas yang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu tertentu, serta

ketepatan waktu (punctuality).

4. Gerakan Tubuh

Dalam komunikasi nonverbal, kinesik atau gerakan tubuh meliputi kontak

mata, ekspresi wajah, isyarat, dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya

digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frasa, misalnya

mengangguk untuk mengatakan ya; untuk mengilustrasikan atau

menjelaskan sesuatu; menunjukkan perasaan, misalnya memukul meja

untuk menunjukkan kemarahan; untuk mengatur atau menngendalikan

(10)

5. Proxemik

Proxemik atau bahasa ruang, yaitu jarak yang Anda gunakan ketika

berkomunikasi dengan orang lain, termasuk juga tempat atau lokasi posisi

Anda berada. Pengaturan jarak menentukan seberapa jauh atau seberapa

dekat tingkat keakraban Anda dengan orang lain, menunjukkan seberapa

besar penghargaan, suka atau tidak suka dan perhatian Anda terhadap

orang lain, selain itu juga menunjukkan simbol sosial. Dalam ruang

personal, dapat dibedakan menjadi 4 ruang interpersonal :

a) Jarak intim

Jarak dari mulai bersentuhan sampai jarak satu setengah kaki. Biasanya

jarak ini untuk bercinta, melindungi, dan menyenangkan.

b) Jarak personal

Jarak yang menunjukkan perasaan masing - masing pihak yang

berkomunikasi dan juga menunjukkan keakraban dalam suatu

hubungan, jarak ini berkisar antara satu setengah kaki sampai empat

kaki.

c) Jarak sosial

Dalam jarak ini pembicara menyadari betul kehadiran orang lain,

karena itu dalam jarak ini pembicara berusaha tidak mengganggu dan

menekan orang lain, keberadaannya terlihat dari pengaturan jarak antara

empat kaki hingga dua belas kaki.

d) Jarak publik

Jarak publik yakni berkisar antara dua belas kaki sampai tak terhingga.

e) Vokalik

Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam suatu ucapan,

yaitu cara berbicara. Ilmu yang mempelajari hal ini disebut

(11)

lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan

lain-lain. Selain itu, penggunaan suara-suara pengisi seperti "mm", "e", "o",

"um", saat berbicara juga tergolong unsur vokalik, dan dalam

komunikasi yang baik hal-hal seperti ini harus dihindari.

f) Lingkungan

Lingkungan juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan

tertentu. Diantaranya adalah penggunaan ruang, jarak, temperatur,

penerangan, dan warna.

2.1.5 Fungsi Komunikasi Nonverbal

2.1.4.1 Fungsi pertama : Repetisi

Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal. Misalnya, Anda

menganggukkan kepala ketika mengatakan "Ya," atau menggelengkan

kepala ketika mengatakan "Tidak," atau menunjukkan arah (dengan

telunjuk) ke mana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.

2.1.4.2 Fungsi Kedua : Subtitusi

Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi tanpa

berbicara Anda bisa berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, seorang

pengamen mendatangi mobil Anda kemudian tanpa mengucapkan

sepatah katapun Anda menggoyangkan tangan Anda dengan telapak

tangan mengarah ke depan (sebagai kata pengganti "Tidak"). Isyarat

nonverbal yang menggantikan kata atau frasa inilah yang disebut

emblem.

2.1.4.3 Fungsi Ketiga : Kontradiksi

Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan

perilaku verbal dan bisa memberikan makna lain terhadap pesan

verbal . Misalnya, Anda memuji prestasi teman sambil mencibirkan

(12)

2.1.4.4 Fungsi Keempat : Aksentuasi

Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal.

Misalnya, menggunakan gerakan tangan, nada suara yang melambat

ketika berpidato. Isyarat nonverball tersebut disebut affect display.

2.1.4.5 Fungsi Kelima : Komplemen

Perilaku Nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya, saat

kuliah akan berakhir, Anda melihat jam tangan dua-tiga kali sehingga

dosen segera menutup kuliahnya.

Salah satu contoh komunikasi non verbal yaitu kesenian. Kesenian

merupakan salah satu dari 7 unsur kebudayaan universal. Kesenian senantiasa

mempunyai peranan tertentu dalam masyarakat yang menjadi pendukungnya.

Kesenian dapat ditinjau baik dalam aspek kebudayaan maupun masyarakat.

Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di

biasakan dengan belajar dari hasil budi dan karya tersebut. Seni adalah sesuatu

yang indah yang dihasilkan manusia, melalui penglihatan, pendengaran dan

perasaan. Seni dapat dilihat dalam konteks komunikasi yang diartikan dalam jiwa

seseorang yang dapat didengar, maupun dilihat dalam alunan alat musik dan

tarian. Seni termasuk di dalamnya seperti : musik, lukisan, dan tari, untuk

memenuhi kebutuhan tertentu baik dalam kebutuhan umum yang mencangkup

kawasan luas masyarakat yang menikmati seni itu. Namun beberapa seniman

menikmati seni itu hanya untuk kepuasan pribadinya sendiri.  Sumber :

www://staff.uny.ac.id/./KOMUNIKASI-KOMUNIKASI%20NON%20VERBAL.pdf)

2.1.6 Fungsi pesan nonverbal.

Paul Ekman (dalam Mulyana, 2004: 314) menyebut lima fungsi pesan

nonverbal, yaitu;

1. Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki

kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, ”saya

(13)

2. Illustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan kesedihan atau

depresi.

3. Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan

muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.

4. Penyesuai. Kedipan mata yang meningkat ketika orang berada dalam

tekanan. Itu merupakan respon yang tidak disadari yang merupakan upaya

tubuh mengurangi kecemasan.

5. Affect Display. Pembesaran manik-mata menunjukkan peningkatan emosi.

Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.

Sedangkan Mark L. Knapp (dalam Rahmat, 1994), menyebut lima fungsi

pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal:

1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara

verbal. Misalnya setelah mengatakan penolakan saya, saya menggelengkan

kepala.

2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa

sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan persetujuan dengan

mengangguk-anggukkan kepala.

3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain

terhadap pesan verbal. Misalnya anda ’memuji’ prestasi teman dengan

mencibirkan bibir, seraya berkata ”Hebat, kau memang hebat.”

4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal.

Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak

terungkap dengan kata-kata.

5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.

Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul

meja.

Sementara itu, Dale G. Leathers (1976) dalam Nonverbal Communication

Systems, menyebutkan enam alasan mengapa pesan verbal sangat signifikan.

(14)

1. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi

interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatamuka, kita

banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan

nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banya ’membaca’ pikiran

kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal.

2. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan noverbal

ketimbang pesan verbal.

3. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari

penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur

oleh komunikator secara sadar.

4. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat

diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi

metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang

memeperjelas maksud dan makna pesan. Diatas telah kita paparkan pesan

verbal mempunyai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan

aksentuasi.

5. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien

dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat

tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redundansi, repetisi,

ambiguity, dan abtraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk

mengungkapkan pikiran kita secara verbal.

6. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi

komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan dan emosi

secara tidak langsung. Sugesti ini dimaksudkan menyarankan sesuatu

kepada orang lain secara implisit (tersirat).

Bahasa verbal dan nonverbal sebagai bentuk pesan yang digunakan oleh

manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungannya, memiliki

persamaan yaitu :

1. Menggunakan sistem lambang atau simbol.

2. Merupakan sesuatu yang di hasilkan oleh individu manusia.

(15)

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal

mencakup semua rangsangan, kecuali rangsangan verbal dalam suatu setting

komunikasi yang dihasilkan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial

bagi pengirim atau penerima. Jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja

maupun tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara

keseluruhan. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan

kata-kata.

Menurut Frank Ex Dance dan Carl E. Larson, komunikasi nonverbal

adalah stimuli yang tidak tergantung pada isi simbolik untuk memaknainya.

Sedangkan menurut Edwar Sapir, Komunikasi nonverbal adalah suatu

kode yang luas yang ditulis tidak dimana pun juga, diketahui oleh tidak seorang

pun dan di mengerti oleh semua. (www.cai.elearning.gundarma.ac.id)

Berarti di sini terjadi suatu proses yang saling memberikan arti pada

simbol-simbol yang disampaikan antara individu-individu yang berhubungan.

Sarbaugh mencoba mengkaitkan definisinya : Komunikasi merupakan proses

penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol yang mendatangkan makna bagi

orang lain. Dari beberapa pendapat mengenai pengertian komunikasi, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa :

1. Kelangsungan komunikasi tergantung pada macam-macam sistem

tanda dan lambang yang digunakan.

2. Komunikasi dapat terjadi jika makna simbol yang ada dalam diri

seseorang juga mempunyai arti yang sama bagi orang lain dengan

siapa orang tersebut berinteraksi.

3. Salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam komunikasi ialah

apabila terdapat perbedaan pemberian makna terhadap simbol,

(Sarbaugh, 1979:2).

2.1.7 Proses-proses Komunikasi Nonverbal

Dalam merumuskan pengertian “Komunikasi Nonverbal” ada beberapa

(16)

1. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.

2. Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa

menggunakan suara.

3. Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang

yang diberi makna oleh orang lain.

4. Komunikasi nonverbal adalah suatu mengenai ekspresi, wajah, sentuhan,

waktu, gerak, syarat, bau, perilaku mata dan lain-lain. (Samovar, 2010)

Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani oleh seorang individu

atau lebih pada saat menyampaikan isyarat-isyarat nonverbal yang memilki

potensi untuk merangsang makna dalam pikiran individu atau individu-individu

lain. Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan

manusia, walaupun hal ini sering kali tidak kita sadari. Padahal kebanyakan ahli

komunikasi akan sepakat apabila dikatakan bahwa dalam interaksi tutup muka

umumnya, hanya 35 persen dari social context suatu pesan yang disampaikan

dengan kata-kata.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Semiotika

Secara etimologis kata “semiotika” berasal dari bahasa yunani, semion

yang bertarti “tanda” (Sudjiman dan van Zeoest, 1996:vii) atau seme, yang berarti

“penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1994:4) . Semiotika berakar dari studi klasik

dan skolastik atas seni, logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001:49).

Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia

dengan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal

bisa dikomunikasikan di dunia ini. Kajian semiotika sampai sekarang telah

membedakan dua jenis semiotik, yakni semiotika komunikasi dan semiotika

signifikasi. Pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah

satu diantarannya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu

pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan saluran komunikasi. Kedua

(17)

tertentu. Pada jenis kedua tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi,

sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahamannya dalam suatu konteks

tertentu.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari

jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika

atau dalam istilah Bartes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai

(tosinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek

tidak hanya informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,

tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes,1988:179;

Kurniawan, 2001:53).

Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai proses tanda yang dapat

diberikan dalam islitah semiotika sebagai hubungan antara 5 istilah yaitu :

S : adalah tanda untuk semiotic relation (hubungan semiotik)

s : untuk sign (tanda)

i : untuk interpreter (penafsir)

e : untuk effect atau pengaruh (misalnya, suatu disposisi dalam i akan beraksi

dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c karena s)

r : untuk reffrence (rujukan)

c : untuk context (konteks) atau conditions (kondisi)

( Gambar 2.1 )

Sumber: Drs. Alex Sobur dalam Pilliang (2003). Komuniasi Semiotik, Bandung:

hlm.17

(18)

Umberto Eco (1979: 4-5) Mengatakan semiotika adalah :

“Ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat diguanakan untuk medustai, mengelabui, atau mengecoh.”

“Semiotika menaruh perhatian apa pun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu, semiotika pada prinsipnya adalah sebuah displin yang mempelajari apa pun yang bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran…” (Berger, 200a: 11-12).”

Fiske (dalam Bungin, 2005: 76) mengatakan, bahwa semiotika mempunyai

tiga bidang studi yaitu :

a) Tanda itu sendiri. Hal yang terdiri atas studi tentang berbagai tanda

yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara cara tanda itu terikat dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konsturksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini

mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstransmisikannya.

c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya

bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri,

Adapun menurut para ahli semiotika dijelaskan sebagai berikut:

1. C.S Peirce

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang

terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda

adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera

manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di

luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang

(19)

Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda

ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi

referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna

tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan

menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak

seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam

proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda

itu digunakan orang saat berkomunikasi. (dalam Pilliang 2004)

2. Ferdinand De Saussure

Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913).

Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda

(signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik

dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai

makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung

didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara

penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi.

Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda

dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan

sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda

terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan

konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. (dalam Pilliang

2004)

3. Roland Barthes

Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya

tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu

tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang

menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna

eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang

menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna

yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Roland Barthes adalah

(20)

kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik

pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang

berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan

pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman

personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan

konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini

dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya

sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan

personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap

mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga

melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.

“Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah

terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda

baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi,

ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi

makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. (dalam

Pilliang 2004)

2.2.1.1Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika sebagai cabang ke ilmuan memperlihatkan pengaruh pada

bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termaksuk

desain komunikasi visual. Sehingga dalam memahami sebuah karya visual

layaknya harus memilah satu-persatu dalam pemaknaan yang dimana aspek

tersebut mau dipahami sehingga dapat dimengerti.

Menurut Tinarbuko (dalam Piliang, 2012: 339-340) semiotika komunikasi

visual yaitu semiotika sebagai mentode pembacaan karya komunikasi visual.

Dilihat dari sudut pandang semiotika khusus, dengan perbendaharaan kata

(vocabulary) dan sintaks (sintagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem

(21)

Fungsi signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang bersifat konkrit

dimuati dengan konsep-konsep abstar, atau makna, yang secara umum disebut

petanda. Dapat dikatakan di sini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari

bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenarnya masih mempunyai

muatan signifikasi, yaitu muatan makna.

Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual.

Berbagai bentuk desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik, poster,

kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara telivisi, video klip, web design, cd

interaktif adalah di antara bentuk-bentuk komunikasi visual yang melaluinya

pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser,

copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).

Semiotika komunikasi mengkaji tanda kontes komunikasi yang lebih luas,

yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media,

pesan, kode (bahkan juga noise). Semiotika komunikasi menekankan aspek

produksi tanda di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media,

ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika, tanda ditempatkan di dalam rantai

komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan.

2.2.1.2Semiotika Roland Barthes

Roland bathes dikenal sebagai salah seorang pmikir struturalis yang getol

mempraktikkan model lingguistik dan semiologi Sausurrean. Dalam bidang

studinya, barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader).

Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca

agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).

Karakteristik semiotika Barthes adala adanya dua tataran sistem

pemaknaan. Dalam Mythologies, sistem pemaknaan tataran pertama disebut

denotatif, sedangkan sistem pemaknaan tataran kedua disebut konotatif.

Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan

konotasi. ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan, yaitu pertandaan yang

(22)

rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan

pasti. Sementara, ‘konotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan

hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang

tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (yang maksudnya terbuka terhadap

berbagai kemungkinan penafisran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang

lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna yang

berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes adalah

pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif)

sebagai sesuatu yang dianggap alamiah,

1. Signfier

(penanda)

2. Signified

(pertanda)

3. Denotative sign ( tanda denotatif )

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

( PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE

SIGNIFIED ( PETANDA KONOTATIF )

6. CONNOTATIVE SIGN ( TANDA KONOTATIF)

Sumber : Cobley, Paul & Jansz, Lita (1999). Introducing semiotics. New York : Totem Books,

hlm. 51

Gambar 2.2

Peta tanda Roland Barthes

Dari peta tanda Barthes di atas bahwa terlihat bahwa tanda denotatif (3)

terdiri dari penanda (1) dan pertanda (2), namun bersamaan pula dengan tanda

(23)

makna tambahan tapi mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaannya.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya dengan ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu

(Budiman, 2001: 28) di dalam mitos juga terdapat pula tiga dimensi penanda,

pertanda, dan tanda namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh

suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lai, mitos

adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Barthes menempatakan

ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologim hubungan

antara penanda konotatif dan petanda kontatif terjadi secara termotivasi

(Budiman, 2001; 28).

Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan

oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah,

olah raga, pertujukan, iklan lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang

mempunyai modus reprentasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang

belum tentu bisa ditangkap secara langusng (Iswidayanti, 2006).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five

major code) yang didalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang

ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66):

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca

untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.

Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi

tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan

suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian cerita.

2. Kode proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkap

utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat

(24)

Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip selekisi. Kita mengenal

kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

3. Kode simbolik, merupoakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas

bersifat sturktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural.

Hal ini didasrkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa

oposisi biner atau pembedaan- baik dalam taraf bunyi menjadi fonem

dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual

yang memlalui proses. Pemisahaan dunia secara kultural dan primitf

menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis

dapat dikodekan.

4. Kode kultural atau gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang

sudah diketahui dan dikofikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme

tradisional diefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui. Rumusan

suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi

yang di atasnya penulis bertumpu.

5. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam

proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa

konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dalam dikelompokkan dengan

kontasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan

kontosi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika semjumlah

kontoasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu

tokoh dengan atribut tertentu.

Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah

dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland

Barthes adalah:

1. Penanda dan Petanda

Menurut sausure, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu

tersusun dari dua bagian yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda

(25)

petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”

atau “coretan yang bermakna”. Jadi , penanda adalah aspek material dari bahasa:

apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah

gambaran mental, pikiran dan konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari

bahasa (Bartens, 2001: 180. Menurut Saussuree, penanda dan petanda merupakan

kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausure menggambarkan tanda yang

terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:

Sign

Composed of

Signfication

Signifier plus Signified

external

Reality of meaning

Sumber: Sobour, Alex. (2004). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Gambar 2.3

Elemen-Elemen Makna Saussure

Pada dasaranya apa yang di sebut signifier dan signified tersebut adalah

produk kultural. Setiap tanda keabsahaan, menurut Saussure, pada dasarnya

menyatukan sebuah konsep (concept) dan suat citra suara (sound image), bukan

menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah nama.

Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda

(signifier) sedangkan konsepnya adalah petanda (signfied). Dua unsur ini tidak

bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’

(26)

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang

“sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau

acuan. Prises signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini

biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa

yang terucap (Sobur, 2004: 70).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada

sebuah kata yang secara bebas memegan peranan penting di dalam ujaran.

Denotasi berisfat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khsusus yang terdapat

dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda.

Sedangkan menurut Kridalaksana denotasi adalah makna kata atau kelompok

kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu.

Makna denotatif suatau kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam

kamus, makna konotatif ialah maknay denotatif ditambah dengan segala

gambara, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi itu

sendiri berasal dari bahasa latin connotare, “menjadi tanda” dan mengarah

kepada makna-makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata (dan

bentuk-bentuk lain dari komunikasi).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dalam

sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.

(Lyons dalam Pateda, 2001: 98). Makna denotasi bersifat khusus yang terdapat

dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah

petanda (Berger,2000b: 55). (Harimurti Kridalaksana 2001: 40) mendefenisikan

denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan

atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan

atasn konvensi tertentu; sifatnya objektif.”

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna

emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994: 29). Makna konotatif adalah suatu

jenis makna di mana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional.

Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan

(27)

dipihak lain, kata yang di pilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga

memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266)

Makna konotatif sebuah kata yang di pengaruhi dan ditentikanm oleh dua

lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkuang budaya (Sumarjdo & Saini,

1994: 126). Yang di maksud dengan lingkungan tekstual adalah semua kata di

dalam paragraf dan karangan menentukan makna konotatif itu. Pengaruh

lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam

lingkungan budaya yang berbeda (Sobur, 2004: 266).

Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi

merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan

tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih disioasikan dengan

ketertutupan makna dan demgan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai

reaksi yang paling esktream melawan keharfian denotasi yang bersifat denotasi

yang opreasif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang

ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan,

namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna

“harfia” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman dalam Sobur, 2004:

71).

3. Paragdimattik dan Sintagmatik

Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara

individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya

di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem kombinasi yang lebih

besar (kalimat, buku, alkitab) melibatkan apa yang disebutkan aturan

pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu cara

pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode

tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam

mesin untuk memproduksi makna. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan

main bahasa (gramar, sintaks) jika kita ingin menghasilkan ekspresi yang

(28)

Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Saussure adalah: bahwa di dalam

bahasa hanya ada prinsip perbedaan. Misalnya, tidak ada hubunga keharusan

antara kata topi dan sebuah benda yang kita pakai: apa yang memungkinkan

terjadinya hubungan adalah perbedaan antara “topi”, “tapi”, “tepi”, “kopi”, dan

seterusnya. Kata-kata mempunyai makna disebabkan mereka berada di dalam

relasi perbedaan. Jadi yang pertama-tama dilihat di dalam strukturalisme bahasa

adalah relasi, bukan hakikat tanda itu sendiri.

Perbedaan dalam bahasa, menurut Saussure, hanya dimungkinkan lewat

beroperasinya dua aksis bahasa yang disebut aksis paradigma dan aksis sintagma.

Paradigma adalah satu perangkat tanda yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat,

dan hanya satu unit dari pilihan tersebut dapat dipilih. Sintagma adalah kombinasi

tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu,

sehingga menghasilkan ungkapan bermakna (Pilliang, 2012: 302-303).

Sitagma

Paradigma

Sumber : Pilliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya

Makna (2012), hlm 3,303

Gambar 2.4

Poros Paradigma dan Sintagma

Menurut semiotika Sausurean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus

mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil

dan pasti (Sobur, 2004:278).

2.2.2 Video

Video sebenarnya berasal dari bahasa latin, video-vidi-visum yang artinya

meluhat (mempunyai daya penglihatan); dapat melihat (K. Prent dkk., 1696: 926).

(29)

1) Bagian yang memancarkan gambar pada pesawat telivisi;

2) Rekaman gambar hidup untuk ditayangkan pada pesawat

televisi;

Senada dengan itu, Peter Salim dalam The Contenporary

English-Indonesian Dictionary (1996: 2230) memaknainya dengan sesuatu yang berkenan

dengan penerimaan dan pemancar gambar. Tidak jauh berbeda dengan dua

definisi penerimaan dan pemancaran gambar. Tidak jauh berbeda dengan dua

definisi tersebut, Smaldino (2008: 374) mengartikan dengan “the storage of

visuals and their display on televisio-type screen”. (penumpanan/perakam gambar

penayangan pada laya televisi (Amien & Lamare, 2010)

Video merupakan hasil dari perkembangan yang diciptakan oleh Thomas

Edison (1847-1931). Pada masa itu Thomas Edison menciptkan sebuah mesin

telegraf yang lebih baik Mesin-mesinnya dapat mencetak pesan-pesan di atas pita

kertas yang panjang. Uang yang dihasilkan dari penemuannya itu cukup untuk

mendirikan perusahaan sendiri. Dalam perkembangannya tersebut dia

menciptakan lampu yang dapat menghiasi rumah kita pada saat ini, Thomas

Edison banyak mengaprisasikan hasil kerjanya di bengkel dalam rumahnya sendiri

seperti Gramfon, proyektor film. Edison dipandang sebagai salah seorang pencipta

paling produktif pada masanya, memegang rekor 1.093 paten atas namanya. Ia

juga banyak membantu dalam bidang pertahanan pemerintahan Amerika Serikat.

Beberapa penelitiannya antara lain : mendeteksi pesawat terbang, menghancurkan

periskop dengan senjata mesin, mendeteksi kapal selam, menghentikan torpedo

dengan jaring, menaikkan kekuatan torpedo, kapal kamuflase, dan masih banyak

lagi. Pada tahun 1877 Edward Muybridge adalah seorang fotografi di ingrris yang

bekerja di California, di masa itu Muybridge mengambil serangkaian gambar kuda

foto berlari, mengatur sedertan kamera dengan benang tersambung pada kamera

shutter,

Dengan demikian lahirlah teknologi dan seni gambar bergera (motion

picture) yang mungkin merupaka bentuk seni paling berpengaruh dalam abad

(30)

dunia tempat citra vsiual membuat gaya hidup dan mengajarkan pelbagai perilaku.

(Danesi, 2010:133)

2.3Model Teoritik

Objek Penelitian

Gerakan Tari Serampang Dua Belas dalam penyampaian

Gerakan komunikasi non verbal yang diproduksi

GNP Music di- Youtube

Semiotika Roland Barthes

-Analisis Leksia 5 Kode Pembacaan

-Denotasi dan Konotasi

-Mitos

Level Analisis

- Teks (Gambar/Scene)

Pemaknaan

dalam

video

Gambar 2.5

Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna dalam Pemakaan Gerakan Tarian

Gambar

Gambar 2.2
Gambar 2.5 Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna dalam Pemakaan Gerakan Tarian

Referensi

Dokumen terkait

Semua jenis nyamuk membutuhkan air untuk kelangsungan hidup karena larva larva (jentik-jentik) nyamuk melanjutkan hidupnya di air dan hanya bentuk dewasa yang hidup di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian gangguan fungsi paru akibat paparan debu, umur, masa kerja, status gizi, lama kerja, kebiasaan merokok,

Dapat disimpulkan bahwa risiko likuiditas, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap CAR pada Bank

Tujuan : tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh latihan plyometric dengan ladder drill dalam meningkatkan agility tendangan pada atlet

Menguruskan dan menyelenggara kemudahan ICT, perisian, perkakasan dan aplikasi yang dibekalkan oleh KPM/JPN/PPD serta menyelesaikan masalah teknikal Subaktiviti

Pada penelitian yang dilakukan oleh Aziz (2010), proses bleaching pada gliserol dari minyak goreng bekas dengan menggunakan karbon aktif dapat menghasilkan warna

Oleh demikian adalah penting untuk memastikan bahawa keusahawanan diserapkan ke dalam pendidikan vokasional dan budaya keusahawanan dipupuk melalui sistem pendidikan teknik

Apabila cahaya infra merah tersebut terputus atau terhalang oleh sesuatu benda maka detektor langsung bekerja dan mengaktifkan alarm, buzzer dan menampilkan pada LCD rumah mana