TESIS
AMBANG DENGAR PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS
REGULER DENGAN ADEKUASI HEMODIALISIS
YANG CUKUP LEBIH RENDAH DIBANDINGKAN
DENGAN YANG TIDAK CUKUP
I PUTU SANTHI DEWANTARA
NIM 1114078101
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
AMBANG DENGAR PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS REGULER DENGAN
ADEKUASI HEMODIALISIS YANG CUKUP LEBIH RENDAH DIBANDINGKAN DENGAN YANG TIDAK CUKUP
Tesis ini diajukan sebagai karya akhir untuk memperoleh gelar Magister Biomedik dan keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher
I PUTU SANTHI DEWANTARA NIM 1114078101
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK PPDS I ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA – RSUP SANGLAH
iii
Lembar Pengesahan
USULAN PENELITIAN INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL ……….
Pembimbing I,
dr. Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L (K) NIP. 19610615 198709 1 001
Pembimbing II,
Prof.Dr.dr. I Gde Raka Widiana, SpPD KGH NIP. 19560707 198211 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP. 195805211985031002
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal ………..
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No: ………, Tanggal ………
Ketua : dr. Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L (K)
Anggota:
1. Prof. DR. dr. Gde Raka Widiana, Sp. PD KGH
2. Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.T.H.T.K.L (K)
3. dr. I Gede Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. I Putu Santhi Dewantara
NIM : 1114078101
Program Studi : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok –Bedah
Kepala
dan Leher
Judul :Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisis Reguler Dengan Adekuasi
Hemodialisis yang Cukup Lebih Rendah Dibandingkan
Dengan yang Tidak Cukup
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hariterbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, ……….
vi
dr. I Putu Santhi Dewantara
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karuniaNya maka
tesis untuk memperoleh gelar keahlian di bidang T.H.T.K.L ini dapat diselesaikan
dnegan baik. Tesis ini merupakan suatu karya akhir yang dilaterbelakangi oleh
keinginan dan harapan untuk mengembangkan ilmu T.H.T.K.L.
Tesis ini dapat diselesaikan berkat bimbingan, bantuan, motiasi dan
dorongan oleh berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD
dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu
Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan
Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher.
2. dr. I Wayan Sudana, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar,
atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis
mengikuti pendidikan spesialis.
3. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka
Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk
menjadi mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan
kedokteran klinik (combined degree).
4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp. T.H.T.K.L. (K), sebagai Kepala Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan
pembim-bing I, atas segala dorongan dan bimpembim-bingan selama penulis mengikuti
vii
5. dr. Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp. T.H.T.K.L. sebagai Ketua Program
Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala kesempatan,
bimbingan dan motivasinya.
6. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana
Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).
7. Prof. DR. dr. Gde Raka Widiana, Sp. PD KGH sebagai Pembimbing I dan
Sekretaris Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala
dorongan, kesempatan, bimbingan, dan motivasinya.
8. DR.dr. I Made Muliarta, M.Kes atas bimbingan dan tuntunannya selama
penulisan tesis ini.
9. Kepala-kepala sub bagian dan para konsulen di Bagian/SMF THT-KL FK
Universitas Udayana-RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan
kesempatan dan bimbingan selama saya mengikuti pendidikan.
10.Para senior, rekan residen, dokter muda atas bantuan dan kerjasamanya
selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian berlangsung.
11.DR.dr. I Wayan Sudhana, Sp.PD KGH selaku Kepala Divisi Ginjal
Hipertensi, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas
Udayana-RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan penulis melakukan
penelitian di bidang hemodialisis.
12.Paramedis di poliklinik THT-KL dan Ruang Kamboja atas bantuan dan
kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan spesialis.
13.Kepala ruangan dan perawat-perawat HD RSUP Sanglah yang telah
membantu pelaksanaan penelitian.
14.Ayahanda, Ir. I Nengah Santra, ibunda, Dewa Ayu Ketut Suarthi, S.Pd,
serta adik I Made Sutra Wira Atmaja, S.Farm, Apt. maupun keluarga besar
saya atas segala pengorbanan, dukungan, doa dan motivasinya selama
penulis menempuh pendidikan spesialis.
15.Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa
viii
Diharapkan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
T.H.T.K.L dan bagi orang banyak. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan
lindungan dan karuniaNya bagi kita semua.
ABSTRAK
Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler Dengan Adekuasi Hemodialisis yang Cukup Lebih
Rendah Dibandingkan Dengan yang Tidak Cukup
I Putu Santhi Dewantara
Pasien penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis (HD) reguler dilaporkan lebih sering mengalami gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural yang ditunjukkan dengan peningkatan ambang dengar Fungsi ekskresi ginjal pada pasien PGK yang menjalani HD reguler telah digantikan sebagian oleh mesin dialisis. Namun pasien yang memiliki adekuasi HD yang tidak cukup berada dalam kondisi suburemik akibat tidak adekuatnya ekskresi toksin uremik oleh mesin dialisis. Kondisi ini akan meningkatkan risiko terjadinya neuropati uremikum, yang jika mengenai nervus vestibulokoklear akan menye-babkan gangguan pendengaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pasien PGK yang menjalani HD reguler dengan adekuasi HD yang cukup memiliki ambang dengar yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien PGK yang menjalani HD reguler dengan adekuasi HD yang tidak cukup.
Desain penelitian: Potong lintang analitik observasional dua kelompok tidak berpasangan. Audiometri nada murni dilakukan terhadap 47 subjek PGK yang menjalani HD reguler, yang terdiri dari 22 subjek dengan adekuasi HD yang cukup dan 25 subjek dengan adekuasi HD yang tidak cukup.
Hasil: Rerata ambang dengar seluruh frekuensi telinga kanan sebesar 25,52+5,66 dBHL pada kelompok dengan adekuasi HD yang cukup dan sebesar 30,20+7,94 dBHL (p<0,05) pada kelompok dengan adekuasi HD yang tidak cukup. Rerata ambang dengar seluruh frekuensi telinga kiri sebesar 25,03+6,47 dBHL pada kelompok dengan adekuasi HD yang cukup dan sebesar 30,09+7,03 dBHL pada kelompok dengan adekuasi HD yang tidak cukup (p<0,05). Rerata ambang dengar frekuensi tinggi telinga kanan sebesar 27,35+7,81 dBHL pada kelompok dengan adekuasi HD yang cukup dan sebesar 37,40+13,46 dBHL pada kelompok dengan adekuasi HD yang tidak cukup (p<0,05). Rerata ambang dengar frekuensi tinggi telinga kiri sebesar 26,29+8,88 dBHL pada kelompok dengan adekuasi HD yang cukup dan sebesar 36,67+12,87 dBHL pada kelompok dengan adekuasi HD yang tidak cukup (p<0,05).
ix
Kata kunci: penyakit ginjal kronik, hemodialisis reguler, adekuasi hemodialisis, ambang dengar
ABSTRACT
Hearing Treshold In Chronic Kidney Disease Patients Underwent Regular Hemodialysis With Adequate Hemodialysis Adequacy Was Lower Compared
To Those With Inadequate Hemodialysis Adequacy
I Putu Santhi Dewantara
Chronic kidney disease (CKD) patients with regular hemodialysis (HD) reported have a higher hearing impairment incidence, spesifically sensorineural hearing loss. This impairment showed as increment of hearing thershold. Kidney’s function as excretoric organ in patients with regular HD has been replaced by dialysis machine. But patients with inadequate HD adequacy are in suburemic state due to inadequate uremic toxin clearance. This condition increase the risk of uremic neuropathy, that if affecting vestibulocochlear nerve can cause hearing impairment. Aim of this study is to prove that CKD subjects that underwent regular HD with adequate HD aequacy have a lower hearing treshold compared to CKD subjects that underwent regular HD with inadequate HD aequacy.
Study design: cross sectional study, observational analytic for two independent groups. Pure tone audiometry performed on 47 subjects with CKD that underwent regular HD, comprised of 22 subjects with adequate HD adequacy and 25 subjects with inadequate HD adequacy.
Results: Mean right hearing treshold for all frequencies was 25.52+5.66 dBHL for group with adequate HD adequacy and 30.20+7.94 dBHL for group with inadequate HD adequacy (p<0,05). Mean left hearing treshold for all frequencies was 25.03+6.47 dBHL for group with adequate HD adequacy and 30.09+7.03 dBHL for group with inadequate HD adequacy (p<0,05). Mean right hearing treshold for high frequencies was 27.35+7.81 dBHL for group with adequate HD adequacy and 37.40+13.46 dBHL for group with inadequate HD adequacy (p<0,05). Mean left hearing treshold for high frequencies was 26.29+8.88 dBHL for group with adequate HD adequacy and 36.67+12.87 dBHL for group with inadequate HD adequacy (p<0,05).
Conclusion: Right and left mean hearing treshold for all frequencies and high frequencies in CKD subjects that underwent regular HD with adequate HD adequacy group were lower compared to CKD subjects that underwent regular HD with adequate HD adequacy group.
x DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... ii
PRASYARAT GELAR ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN... iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR SINGKATAN ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1 Tujuan Umum ... 5
xi
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 5
1.4.2 Manfaat Praktis ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7
2.1 Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran ... 7
2.2 Pemeriksaan Fungsi Pendengaran ... 13
2.2.1 Audiometri Nada Murni ... 13
2.3 Fungsi Ginjal ... 14
2.4 Penyakit Ginjal Kronik ... 15
2.5 Neuropati Uremikum ... 17
2.6 Hemodialisis ... 19
2.6.1 Adekuasi Hemodialisis... 21
2.7 Gangguan Pendengaran pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik ... 23
2.8 Patofisiologi Gangguan Pendengaran pada Penyakit Ginjal Kronik ... 24
2.9
Adekuasi Hemodialisis dan Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisis Reguler ... 29BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 30
xii
3.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 31
3.3 Hipotesis Penelitian ... 32
BAB IV METODE PENELITIAN ... 33
4.1 Rancangan Penelitian ... 33
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 34
4.3.1 Populasi Target dan Populasi Terjangkau ... 34
4.3.2 Sampel Penelitian ... 34
4.3.3 Kriteria Sampel ... 34
4.3.3.1 Kriteria Inklusi ... 34
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi... 35
4.3.4 Besar Sampel ... 35
4.4 Variabel Penelitian ... 36
4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel ... 36
4.5 Definisi Operasional Variabel ... 36
4.6 Bahan dan Alat Penelitian ... 39
4.7 Prosedur Kerja ... 39
4.7.1 Proses pengumpulan data ... 39
4.8 Alur Penelitian ... 41
4.9 Analisis Data ... 41
BAB V HASIL PENELITIAN ... 43
xiii
5.2 Karakteristik Fungsi Pendengaran dan Audiogram Subjek
Penelitian ... 44
5.3 Rerata Ambang Dengar Pasien PGK yang Menjalani
Hemodialisis Reguler ... 46
5.4 Perbedaan Rerata Ambang Dengar Seluruh Frekuensi,
Frekuensi Bicara, Frekuensi Tinggi, dan Frekuensi Rendah
pada Subjek PGK yang Menjalani Hemodialisis Reguler
dengan Adekuasi HD yang Cukup dan Tidak Cukup ... 47
5.5 Pengaruh Variabel Perantara Terhadap Rerata Ambang
Dengar Seluruh Frekuensi dan Rerata Ambang Dengar
Frekuensi Tinggi ... 50
BAB VI PEMBAHASAN ... 53
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 53
6.2 Karakteristik Fungsi Pendengaran dan Audiogram Subjek
Penelitian ... 54
6.3 Rerata Ambang Dengar Pasien PGK yang Menjalani
Hemodialisis Reguler ... 55
6.4 Perbedaan Rerata Ambang Dengar Seluruh Frekuensi,
Frekuensi Bicara, Frekuensi Tinggi, dan Frekuensi Rendah
pada Subjek PGK yang Menjalani Hemodialisis Reguler
xiv
6.5 Pengaruh Variabel Perantara Terhadap Rerata Ambang
Dengar Seluruh Frekuensi dan Rerata Ambang Dengar
Frekuensi Tinggi ... 58
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 59
7.1Simpulan ... 59
7.2Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 61
xv
DAFTAR GAMBAR
2.1 Anatomi telinga ... 7
2.2 Penampang koklea ... 9
2.3 Audiogram pasien PGK yang berbentuk seperti kubah ... 23
2.4 Rerata ambang dengar pasien PGK pada masing-masing frekuensi ... 24
3.1 Kerangka konsep penelitian ... 31
4.1 Kerangka rancangan penelitian ... 33
4.2 Alur penelitian ... 43
5.1 Audiogram subjek PGK yang menjalani HD reguler ... 45
5.2 Rerata ambang dengar pada masing-masing frekuensi subjek PGK yang menjalani HD reguler ... 47
xvi
DAFTAR TABEL
2.1 Tabel Stadium Penyakit Ginjal Kronik ... 15
5.1 Karakteristik subjek penelitian ... 43
5.2 Keluhan gangguan pendengaran subjek PGK yang menjalani hemodialisis
reguler ... 45
5.3 Jenis dan derajat ketulian pada pasien PGK yang menjalani HD reguler
serta uji chi square ... 46
5.4 Hasil uji statistik pada rerata ambang dengar frekuensi rendah, frekuensi
tinggi, frekuensi bicara, dan seluruh frekuensi pasien PGK yang
menjalani HD reguler antara kelompok dengan adekuasi HD yang
cukup dan tidak cukup ... 49
5.5 Analisis multivariat variabel perantara terhadap ambang dengar seluruh
frekuensi pasien PGK yang menjalani HD reguler ... 51
5.6 Analisis multivariat variabel perantara terhadap ambang dengar frekuensi
tinggi pasien PGK yang menjalani HD reguler... 51
5.7 Analisis multivariat variabel perantara lanjutan pada rerata ambang dengar
seluruh frekuensi pasien PGK yang menjalani HD reguler ... 52
5.8 Analisis multivariat variabel perantara terhadap ambang dengar frekuensi
xvii
DAFTAR SINGKATAN
ABR Auditory Brainstem Response
AD Auris dextra
AHD Adekuasi hemodialisis
AS Auris sinistra
ASSR Auditory Steady State Response
ATPase Adenosine triphosphatase
BUN Blood urea nitrogen
dBHL desi Bel Hearing Level
ESRD End stage renal disease
GFR Glomerular filtration rate
HD Hemodialisis
Hz Hertz
K koefisien
Kt/V ukuran adekuasi hemodialisis
OAE Oto Acoustic Emmission
PGK Penyakit ginjal kronik
t time/ waktu
UKM Urea kinetic modeling
V volume
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ethical Clearance ... 65
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 66
Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian ... 67
Lampiran 4. Surat Pernyataan Persetujuan ... 69
Lampiran 5. Lembar Kuisioner ... 70
Lampiran 6. Lembar Pemeriksaan ... 72
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian ... 74
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi pendengaran memainkan peran penting dalam komunikasi sosial
sekaligus sebagai sistem peringatan dan orientasi dari segala arah. Fungsi
pende-ngaran dapat diukur dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan
audiometri nada murni yang akan menghasilkan ambang dengar dalam satuan desi
Bel hearing level atau dBHL. Gangguan pendengaran atau ketulian akan
terdeteksi sebagai peningkatan ambang dengar dengan audiometri (Probst dkk,
2006).
Gangguan pendengaran atau ketulian menyebabkan kesulitan berkomunikasi
dengan lingkungan sekitarnya yang kemudian dapat menyebabkan rasa terisolasi
dan frustasi. Individu dengan gangguan pendengaran juga memiliki status
pengang-guran yang lebih tinggi sehingga menurunkan status ekonominya (WHO,
2015).
Berdasarkan penyebabnya, gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi
gangguan pendengaran kongenital dan didapat. Salah satu kondisi yang
dihubung-kan dengan terjadinya gangguan pendengaran yang didapat adalah penyakit ginjal
kronik atau PGK (Vilayur dkk, 2010). Prevalensi gangguan pendengaran
dilapor-kan lebih tinggi pada pasien-pasien PGK dibandingdilapor-kan dengan populasi umum.
Lasisi dkk. (2007) mendapatkan gangguan pendengaran sebesar 67% pada pasien
2
(2010) pada penelitian berbasis populasi mendapatkan gangguan pendengaran
sebesar 54,4% pada kelompok individu dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2,
sedangkan kelompok individu dengan GFR >60 ml/menit/1,73m2 didapatkan
gangguan pendengaran sebesar 28,3%.
Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh PGK dilaporkan bersifat tuli
sensorineural dengan predileksi pada frekuensi rendah dan frekuensi tinggi.
Karakteristik ini memberikan gambaran khas pada audiogram yang berbentuk
seperti kubah atau dome. Derajat ketulian sebagian besar dilaporkan ringan hingga
sedang (Gatland dkk, 1991;Sharma dkk, 2011; Thodi dkk, 2006; Zeigelboim dkk,
2001).
Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih diperdebatkan, namun
beberapa faktor telah diusulkan. Ginjal dan telinga dalam memiliki banyak
kemiri-pan struktural, fungsional, antigen dan farmakologik. Selain itu,
perkembangan ke-dua organ tersebut juga dipengaruhi oleh gen yang sama. Hal
ini terlihat dari ber-bagai sindrom kongenital, seperti sindrom Alport yang
bermanifestasi sebagai ga-gal ginjal dan gangguan pendengaran. Secara umum,
faktor risiko terjadinya gang-guan pendengaran dan penyakit ginjal kronik juga
sama, yaitu usia, hipertensi dan diabetes melitus. Kemiripan-kemiripan ini diduga
menjadi penghubung terjadinya gangguan pendengaran pada pasien PGK (Vilayur
dkk, 2010; Thodi dkk, 2006).
Koklea dan nervus vestibubokoklear atau nervus VIII diduga sebagai lokasi
lesi kerusakan yang menyebabkan gangguan pendengaran. Pemeriksaan
3
berkurangnya sel-sel rambut koklea, demyelinisasi serat-serat saraf preganglionik
koklea, dan hilangnya sel-sel pada ganglion spiralis. Kerusakan-kerusakan ini
didu-ga disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah gangguan
keseimbangan elektrolit, uremia yang menyebabkan neuropati uremikum pada
nervus VIII, efek penyakit komorbid yang menyertai PGK seperti diabetes melitus
dan hipertensi, pemakaian obat-obatan yang bersiat ototoksik, dan efek
hemodialisis (Govender dkk, 2013; Muyassaroh dan Ulfa, 2013; Thodi dkk, 2006;
Vilayur dkk, 2010).
Neuropati uremikum merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pasien
PGK dan terjadi akibat akumulasi toksin uremik dalam darah yang normalnya
diekskresikan oleh ginjal. Toksin-toksin ini akan menyebabkan penurunan enzim
dalam sel saraf yang berperan dalam produksi energi dan menyebabkan disfungsi
perineurium dan endoneurium sehingga toksin uremik dapat menyebabkan
keru-sakan saraf secara langsung. Hal tersebut akan menyebabkan degenerasi sel-sel
saraf dan penurunan konduksi impuls saraf. Jika terjadi pada nervus VIII akan
mengakibatkan gangguan pendengaran (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan
Gomez, 2012).
Hemodialisis atau HD merupakan terapi pengganti ginjal yang diberikan
pada pasien dengan PGK tahap akhir. Pasien PGK yang menjalani HD reguler
berada dalam kondisi yang stabil karena sebagian fungsi ginjal telah digantikan
oleh mesin hemodialisis. Kelebihan cairan dan toksin uremik diekskresikan
melalui HD. Selain itu keseimbangan elektrolit dan asam basa juga dapat
4
progresivitas neuropati uremikum. Abnormalitas eksitabilitas aksonal saraf akan
segera kembali normal, walaupun terdapat abnormalitas minor yang menetap
(Ramirez dan Gomez, 2012).
Tiap pasien memerlukan dosis HD yang berbeda-beda. Pasien PGK
umumnya memerlukan 9-12 jam hemodialisis tiap minggu yang dibagi menjadi
beberapa sesi. Adekuasi hemodialisis merupakan dosis HD yang diperlukan untuk
menjaga pasien tetap hidup dan relatif asimptomatik (Liu dan Chertow, 2015).
Secara spesifik, De Palma seperrti yang dikutip oleh Widiana (2013) dialisis
dianggap cukup bila dapat mencegah terjadinya neuropati.
Urea kinetic modeling atau UKM merupakan metode yang paling umum
digunakan untuk mengukur adekuasi hemodialisis dengan memakai klirens urea
sebagai parameter efektivitas klirens toksin uremik dari darah pasien PGK. Kt/V
merupakan persamaan matematik yang didasarkan atas UKM. Kt/V berupa rasio
tanpa satuan dan nilai yang dianggap mewakili adekuasi hemodialisis yang cukup
adalah >1,8 pada pasien yang menjalani HD dua kali seminggu. Pasien dengan
adekuasi hemodialisis yang tidak cukup berada dalam kondisi suburemik akibat
tidak efektifnya ekskresi toksin-toksin uremik. Kondisi ini meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas. Perburukan neuropati pada pasien PGK merupakan
tanda tidak cukupnya HD yang dierima pasien. Peningkatan mortalitas
diasosia-sikan pada pasien yang memiliki Kt/V di bawah 1,2 (Liu dan Chertow, 2015;
Mehta dan Fenves, 2010; Ramirez dan Gomez, 2012).
Berdasarkan hal tersebut di atas, pasien PGK yang menjalani HD reguler
5
neuropati uremikum, termasuk pada nervus VIII, yang akhirnya akan
menye-babkan gangguan pendengaran. Penelitian mengenai ambang dengar pada pasien
PGK yang menjalani hemodialisis reguler belum pernah dilakukan sebelumnya di
RSUP Sanglah, dan penelitian yang meneliti hubungan antara adekuasi
hemodialisis dengan ambang dengar belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
Hal ini menarik untuk diteliti karena hasilnya dapat digunakan untuk memberi
masukan terhadap pencegahan dan preservasi fungsi pendengaran pasien PGK
yang menjalani hemodialisis reguler.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ambang dengar pasien PGK yang menjalani HD reguler dengan adekuasi
hemodialisis yang cukup lebih rendah dibandingkan dengan pasien PGK yang
menjalani HD reguler dengan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi pendengaran
pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Membuktikan pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah
dengan adekuasi hemodialisis yang cukup memiliki ambang dengar yang
6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Dapat memberikan informasi mengenai fungsi pendengaran pasien PGK
yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah.
2. Dapat memberikan informasi mengenai perbedaan rerata ambang dengar
pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah dengan adekuasi
hemodialisis yang cukup dan tdak cukup.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai gangguan
pendengaran pada pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP
Sanglah.
2. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan mengenai usaha yang
dapat dilakukan untuk mencegah dan intervensi terhadap gangguan
pendengaran pada pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP
7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran
Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam, seerti yang terlihat pada gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari aurikula atau
pinna dan kanalis auditori eksterna. Telinga luar ini terbentuk dari kartilago
fleksibel dan tulang, yang melekat pada kulit dengan perikondrium dan
perios-teumnya(Probst dkk, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi telinga (Probst dkk, 2006)
Telinga tengah terdiri dari kavitas berisi udara yang dibagi menjadi kavum
timpani dan sel-sel mastoid. Kavitas ini berkomunikasi dengan nasofaring melalui
8
penting berbatasan dengan atau meliputi telinga tengah, diantaranya adalah nervus
fasialis, arteri karotis interna, sinus venosus yang berasal dari kranium, dura, dan
telinga dalam. Kavum timpani dipisahkan dengan telinga luar oleh membran
timpani dan berisi osikel atau tulang-tulang pendengaran. Tulang-tulang
pende-ngaran ini terdiri dari maleus, inkus dan stapes (Probst dkk, 2006).
Telinga dalam terletak di pars petrosus tulang temporal dan terdiri dari
banyak duktus yang saling terhubung yang secara kolektif disebut labirin. Labirin
dibagi dua yaitu labirin membranosa dan labirin oseus. Labirin membranosa
terletak di da-lam labirin oseus yang terdiri dari organ keseimbangan dan
pendengaran. Koklea adalah struktur berbentuk rumah siput yang berisi organ
sensori pendengaran, dan pada manusia memiliki sekitar dua setengah putaran
(Norton dkk, 2010; Probst dkk, 2006).
Koklea dibagi menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala
media terletak di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran
Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala
timpani mengandung perilimfe, suatu cairan ekstraseluler dengan konsentrasi
kalium 4 mEq/L dan konsentrasi natrium 139 mEq/L. Skala media dibatasi oleh
membran Reissner, membran basilar dan lamina spiral osseus, dan dinding lateral.
Skala media berisi endolimfe, yaitu cairan intraseluler dengan konsentrasi kalium
144 mEq/L dan konsentrasi natrium 13 mEq/L.Skala media menyempit ke arah
apeks koklea, berakhir sedikit dari akhir apikal labirin tulang. Bukaan dekat apikal
berakhirnya labirin tulang, disebut helikotrema, memungkinkan hubungan antara
9
Membran basilaris memisahkan suara sesuai dengan frekuensi atau spektrum dan
organ Corti yang terletak di sepanjang membran basilar, mengandung sel-sel
sensorik atau sel rambut yang mengubah getaran membran basilaris menjadi
impuls saraf (Moller, 2006; Probst dkk, 2006).
Gambar 2.2. Penampang koklea (Moller, 2006).
Organ Corti terdiri dari bermacam-macam sel. Salah satunya adalah sel-sel
rambut, yang merupakan sel-sel sensorik dan berbentuk seperti kumpulan rambut
yang terletak dan tersusun berbaris di bagian atas membran basilaris. Sel-sel
rambut memiliki kumpulan stereosilia pada bagian atasnya. Sel-sel rambut terdiri
dari dua jenis utama yaitu sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam. Koklea
manusia memiliki sekitar 12.000 sel rambut luar yang teratur dalam 3-5 baris
sepanjang membran basilar, dan sekitar 3.500 sel-sel rambut dalam yang teratur
10
disusun dalam 3-4 baris berbentuk W atau V sedangkan pada sel-sel rambut
dalam terdapat stereosilia dalam formasi berbentuk U datar (Moller, 2006).
Stria vaskularis merupakan struktur penting yang terletak antara ruang
perilimfatik dan endolimfatik sepanjang dinding koklea. Stria vaskularis memiliki
banyak suplai darah dan sel-sel yang banyak pada mitokondria, menunjukkan
bahwa stria vaskularis terlibat dalam aktivitas metabolik. Membran basilar terdiri
dari jaringan ikat dan membentuk dasar dari skala media. Membran basiler ini
memiliki lebar sekitar 150 µM di dasar koklea dan lebar sekitar 450 µM di apeks.
Jika suara telah memasuki koklea akan terjadi kekakuan yang bergantian mulai
dari dasar menuju ke apeks. Akibat perubahan kekakuan yang bertahap ini, suara
yang sampai ke telinga membuat gelombang pada membran basilar yang bergerak
dari dasar menuju puncak koklea. Gerak gelombang berjalan ini adalah dasar
pemisahan frekuensi sebelum suara mengaktifkan sel sensorik yang terletak di
sepanjang mem-bran basilar. Analisis frekuensi pada koklea sangat kompleks,
melibatkan interaksi antara membran basilar, cairan sekitarnya dan sel sensorik
(Moller, 2006).
Terdapat tiga jenis serat saraf yang mempersarafi koklea, yaitu serat saraf
aferen pendengaran, serat eferen pendengaran atau berkas olivokoklearis dan serat
saraf otonom. Serat aferen saraf pendengaran merupakan sel bipolar, terletak di
ganglion spiralis dalam kanal tulang yang disebut Rosenthal’s canal. Saraf
pendengaran manusia memiliki sekitar 30.000 serabut saraf aferen. Dua jenis serat
aferen telah diidentifikasi, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan serat saraf
11
saraf pendengaran. Serat aferen tipe II merupakan serat saraf tak bermyelin dan
memiliki badan sel yang kecil(Moller, 2006).
Nervus VIII terdiri dari tiga komponen yang berbeda. Ada dua saraf
vestibu-laris yaitu superior dan inferior dan saraf koklearis. Saraf-saraf tersebut
bersama-sama melalui tulang kepala di meatus auditori internal. Kanal ini juga berisi N VII
dan pasokan darah ke telinga bagian dalam yaitu arteri auditori internal. Saraf
melewati meningen menuju ke batang otak. Saraf vestibularis menuju ke nukleus
vestibularis dan saraf koklearis menuju ke nukleus koklearis (Mutton, 2006).
Proses pendengaran akan dimulai saat gelombang suara ditangkap oleh
pinna dan diarahkan oleh KAE untuk menggetarkan membran timpani.
Selanjutnya, gelombang suara akan dikonduksikan dari membran timpani
melewati tulang-tulang pendengaran menuju tingkap lonjong. Perjalanan
gelombang suara dari telinga luar menuju telinga tengah akan melewati perubahan
medium, yaitu dari udara di telinga luar menuju cairan di telinga dalam yang
memiliki perbedaan impedans. Perbedaan impedans ini akan menyebabkan
penurunan energi suara yang melaluinya. Telinga tengah berperan sebagai
impedance-matching device untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan energi
tersebut. Proses ini diperoleh dari efek perbandingan luas membran timpani
terhadap luas footplate stapes, aksi tuas tulang-tulang pendengaran, dan bentuk
membran timpani. Bentuk membran timpani berkontribusi minor terhadap proses
impedance-matching (Lee, 2003).
Luas membran timpani sebesar 85-90 mm2 dengan area vibrasi optimal
12
memberikan peningkatan energi suara sebesar 17:1. Saat membran timpani
bervibrasi, tulang-tulang pendengaran akan ikut bergerak. Manubrium maleus
yang panjangnya 1,3 kali dibandingkan prosesus longus inkus akan membuat
tekanan yang diterima oleh footplate stapes lebih besar dibandingkan tekanan
yang diterima oleh maleus sebesar 1,3:1. Jika efek tuas tulang-tulang pendengaran
dan efek luas area membran timpani, telinga tengah menghasilkan peningkatan
energi suara sebesar 22 kali, yaitu kira-kira sebesar 25 dB (Lee, 2003).
Saat gelombang suara mencapai tingkap lonjong, koklea mengubah energi
mekanik suara menjadi energi hidrolik, lalu menjadi energi bioelektrik saat
men-capai sel-sel rambut. Saat footplate stapes bergerak masuk-keluar pada tingkap
lon-jong, suatu gelombang akan terbentuk dan berjalan di dalam koklea dari basal
me-nuju apeks. Gelombang tersebut akan menggerakkan membran basilaris dan
tekto-rial. Kedua membran ini memiliki perbedaan titik-titik perlekatan sehingga
perge-rakannya akan menekuk stereosilia sel-sel rambut, kemudian
mengakibatkan depo-larisasi sel-sel rambut dan menghasilkan impuls elektrik
saraf aferen (Lee, 2003).
Begitu impuls saraf terbentuk, implus ini akan berjalan sepanjang jaras
auditori dari sel ganglion spiralis di dalam koklea menuju modiolus, letak
serat-serat cabang koklearis dari nervus VIII. Serat-serat-serat ini kemudian berjalan menuju
nukleus koklearis di batang otak secara ipsilateral, lalu menuju kompleks olivarius
superior kontralateral. Perjalanan serat-serat ini berlanjut menuju lemniskus
lateralis, kolikulus inferior dan ganglion genikulatum sebelum akhirnya mencapai
13
2.2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran
Pemeriksaan telinga dan fungsi pendengaran dimulai dengan anamnesis
yang meliputi riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat
penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Pemeriksaan
dilanjutkan dengan inspeksi menyeluruh daun telinga dan sekitarnya serta
pemeriksaan otos-kopi untuk memeriksa liang telinga dan membran timpani.
Pemeriksaan hidung dan tenggorok juga dilaksanakan (Probst dkk, 2006).
Evaluasi fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan beberapa cara, mulai
dari pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat
pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan pengukuran
kuantitatif dapat dilakukan dengan audiometri nada murni, Oto Acoustic Emission
atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State
Response atau ASSR (Probst dkk, 2006).
2.2.1. Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni merupakan pengukuran fungsi pendengaran pada
berbagai frekuensi. Pemeriksaan ini dilaksanakan memakai audiometer dalam
ruang kedap suara dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem
auditorius mulai dari telinga luar hingga korteks auditorius (Sweetow dan Bold,
2004).
Ambang dengar diukur pada konduksi udara dan konduksi tulang. Saat
14
ditransmisikan melalui earphone. Ambang konduksi udara menggambarkan
mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pengukuran konduksi tulang,
sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada
prominensia mastoid. Nada murni akan merangsang koklea setelah melewati liang
telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam bentuk
grafik yang menggambarkan am-bang pendengaran dalam berbagai frekuensi
(Bess dan Humes, 2008). Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel hearing
level (dBHL). Rerata ambang de-ngar frekuensi bicara yang umum digunakan
didapatkan dari rerata frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Selanjutnya
berdasarkan ambang dengar ini gangguan pendengaran dapat dikategorikan
menjadi tidak ada gangguan atau normal (<25 dBHL), derajat ringan (26-40
dBHL), derajat sedang (41-60 dBHL), derajat berat (61-80 dBHL), dan profound
(>81 dBHL) (Mathers dkk, 2000).
2.3. Fungsi ginjal
Fungsi ginjal secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi
ekskretorik dan fungsi metabolik. Sebagai organ ekskretorik, ginjal berfungsi
mengekskresikan sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur
anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh melalui aktivitas hormon
anti-diuretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan
tubuh, dan menjaga keseimbangan asam dan basa (Hall, 2015; Pranawa dkk,
15
Sebagai fungsi metabolik ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu berpartisipasi
dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil eritropoetin yang dibutuhkan dalam
pembentukan sel darah merah, ikut mengatur tekanan darah dengan menghasilkan
renin yang merangsang pembentukan angiotensinogen, dan menjaga
keseimbangan kalsium dan fosfor dengan berperan dalam metabolisme vitamin D.
Selain itu, ginjal juga berperan dalam metabolisme beberapa hormon, diantaranya
hormon paratiroid atau PTH (Hall, 2015; Pranawa dkk, 2007).
2.4. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal kronik atau PGK didefinisikan sebagai abnormalitas struktur
atau fungsi ginjal yang muncul lebih dari tiga bulan dan berdampak pada
kesehatan. Berdasarkan penyebabnya, PGK dikelompokkan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu penyakit ginjal diabetik, penyakit ginjal non diabetik dan
penyakit pada transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; KDIGO, 2013).
Kriteria diagnosis PGK adalah jika terdapat penanda kerusakan ginjal dan/
atau penurunan glomerular filtration rate/ GFR (<60 ml/menit/1,73m2) yang telah
berlangsung tiga bulan atau lebih. Penanda-penanda kerusakan ginjal adalah
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, dan abnormalitas lain akibat
gangguan tubulus, abnormalitas struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan
radiologi, abnormalitas yang terdeteksi secara histopatologik, dan riwayat
trans-plantasi ginjal (KDIGO, 2013). Klasifikasi stadium PGK didasarkan atas GFR dan
dibagi menjadi lima stadium seperti yang tercantum pada tabel 2.1.
16
GFR
mL/menit/1,73m2 Deskripsi
>90 Stadium I (kerusakan ginjal dengan GFR normal)
60-89 Stadium II (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan)
30-59 Stadium III (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang)
15-29 Stadium IV (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat)
<15 Stadium V (kerusakan ginjal stadium akhir)
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, namun
secara umum dapat dibagi menjadi penyakit ginjal diabetik, hipertensi, penyakit
vaskular, penyakit glomerular primer maupun sekunder, penyakit ginjal kistik,
penyakit tubulointersisial, disfungsi atau obstruksi saluran kemih, batu ginjal,
kelainan kongenital, dan cidera ginjal akut yang tidak teratasi (Bargman dan
Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).
Penyakit ginjal kronik pada stadium 1 dan 2 umumnya tidak menimbulkan
gejala apapun dari penurunan GFR. Jika GFR telah menurun dan pasien
memasuki stadium 3 dan 4, komplikasi PGK akan terlihat lebih jelas baik secara
klinik maupun laboratorik (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).
End-stage renal disease atau ESRD merupakan tahap akhir PGK yang ditandai
dengan akumulasi toksin, cairan dan elektrolit yang normalnya diekskresikan oleh
ginjal sehingga menimbulkan sindrom uremia. Kondisi ini dapat menyebabkan
kematian kecuali toksin tersebut diekskresikan melalui terapi pengganti ginjal,
baik melalui dialisis maupun transplantasi ginjal (Bargman dan Skorecki, 2015).
Gejala penyakit ginjal kronik akan ditunjukkan oleh semua organ, namun
yang umum ditemukan adalah kelelahan, mual, muntah, penurunan nafsu makan
17
berupa edema pada tungkai atau seluruh tubuh, perdarahan cenderung sulit
ber-henti, penurunan libido, dan sesak nafas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peningkatan fungsi ginjal, anemia, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, penurunan
estrogen dan testoteron, abnormalitas kalsium, fosfor dan hormon yang mengatur
mineral, serta abnormalitas homeostasis sodium, potasium, air, dan asam-basa
(Pranawa dkk, 2007). Penderita PGK stadium 5 atau end-stage renal disease
(ESRD) mengalami gangguan bermakna dalam aktivitas sehari-hari,
kesehatannya, status nutrisi, dan gangguan keseimbangan air serta elektrolit, yang
menandai terjadinya sindrom uremik (Bargman dan Skorecki, 2015).
Penanganan PGK secara umum bertujuan untuk menghambat aatau
menghentikan progresivitas PGK, mendiagnosis dan menangani manifestasi
pato-logik PGK dan merencanakan terapi pengganti ginjal untuk jangka waktu panjang.
Dalam praktek klinik sehari-hari, penanganan PGK secara umum meliputi
pengo-batan penyakit dasar, pengendalian keseimbangan air dan garam, diet rendah
pro-tein tinggi kalori, pengendalian tekanan darah, keseimbangan elektrolit dan
asam-basa, pencegahan dan pengobatan osteoditrofi ginjal, pengobatan gejala uremia
spe-sifik, deteksi dini dan pengobatan infeksi, penyesuaian dosis obat-obatan,
deteksi dan pengobatan komplikasi, serta persiapan terapi pengganti ginjal, baik
melalui dialisis ataupun transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk,
2007).
18
Neuropati uremikum atau uraemic neuropathy merupakan polineuropati saraf
sensorimotorik yang disebabkan oleh uremia. Kondisi ini lebih sering mengenai
saraf sensorik daripada motorik. Pemeriksaan histopatologik mendapatkan terjadi
retraksi aksonal, yang ditandai dengan berkurangnya diameter akson, reorganisasi
myelin dan degenerasi total akson. Hal ini akan menimbulkan penurunan
kecepatan konduksi saraf (Bargman dan Skorecki, 2015; Ramirez dan Gomez,
2012).
Manifestasi neuropati uremikum umumnya muncul saat GFR <12 ml/menit.
Senyawa uremik yang bersifat neurotoksin menguras suplai energi akson dengan
menghalangi kerja enzim serat saraf yang berfungsi dalam produksi energi
tersebut. Suplai enzim dari soma saraf tidak mencukupi kebutuhan enzim yang
diperlukan oleh akson yang akhirnya menyebabkan berbagai perubahan patologik
dan degenerasi saraf (Ramirez dan Gomez, 2012).
Penurunan kecepatan konduksi saraf diduga diakibatkan oleh disfungsi
membran dan inhibisi aktivasi pompa Na+/K+ ATPase. Disfungsi membran
ditemukan pada perineurium dan dalam endoneurium. Perineurium berfungsi
sebagai sawar difusi antara cairan intersisial dengan saraf, sedangkan
endoneurium berfungsi sebagai sawar antara darah dan saraf. Akibat disfungsi
tersebut, toksin-toksin uremik dapat memasuki ruang endoneural dan dapat
menyebabkan kerusakan saraf secara langsung. Inhibisi aktivasi pompa Na+/K+
ATPase pada aksolemma, membran sel yang menutupi suatu akson, menyebabkan
19
resting potential). Hal ini akan menyebabkan degenerasi aksonal dan
demyelinisasi seg-mental sekunder (Ramirez dan Gomez, 2012).
Neuropati uremikum lebih sering mengenai ekstremitas bawah dibandingkan
ekstremitas atas yang bermanifestasi sebagai defisit sensorik dan motorik. Nervus
kranialis yang dilaporkan paling sering mengalami neuropati uremikum adalah
nervus vestibulokoklear. Hal ini menyebabkan keluhan gangguan pendengaran
dalam berbagai derajat pada pasien PGK (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan
Gomez, 2012).
Penanganan neuropati uremikum meliputi berbagai modalitas, namun hanya
transplantasi ginjal yang efektif. Pasien yang menjalani transplantasi ginjal akan
menunjukkan perbaikan klinik secara umum dalam waktu tiga hingga enam bulan.
Modalitas lainnya adalah hemodialisis, penanganan nyeri dengan antidepresan
trisiklik dan obat antikonvulsi, suplemen vitamin serta restriksi asupan K+
(Ramirez dan Gomez, 2012).
Hemodialisis standar umumnya akan menghentikan progresivitas neuropati,
namun jarang memberikan perbaikan klinik yang bermakna. Sebelum menjalani
HD, berbagai parameter eksitabilitas aksonal saraf menunjukkan berbagai
abnor-malitas. Hemodialisis akan menyebabkan normalisasi parameter-parameter
eksita-bilitas tersebut dengan cepat dan signifikan, walaupun beberapa abnormalitas
minor akan menetap. Sebagian besar pasien PGK menunjukkan HD reguler dapat
mensta-bilkan neuropati yang dialami pasien PGK. Perburukan neuropati
20
ketidakcukupan HD bagi pasien yang telah menjalani dialisis (Ramirez dan
Gomez, 2012).
2.6. Hemodialisis
Hemodialisis atau HD merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal
pada pasien PGK yang telah memasuki ESRD dan hanya menggantikan sebagian
kecil dari fungsi ekskresi ginjal (Daugirdas dkk, 2007). Indikasi pemberian HD
reguler pada pasien PGK adalah adanya sindrom uremik, hiperkalemia yang tidak
merespon terhadap penanganan konservatif, ekspansi volume ekstraseluler
persis-ten walaupun telah mendapat terapi diuretik, asidosis yang refrakter terhadap
terapi medikamentosa, diastesis perdarahan, dan klirens kreatinin atau perkiraan
GFR kurang dari 10 ml/menit/1.73 m2 (Liu dan Chertow, 2015).
Hemodialisis memiliki tiga komponen, yaitu dialiser, diasilat, dan sistem
penghantaran darah. Dialiser merupakan ruang plastik yang mampu
memperfusikan kompartemen darah dan diasilat secara simultan dengan
kecepatan tinggi. Diasilat merupakan cairan yang berfungsi untuk menarik sisa
produk metabolik dari sirkulasi. Sistem penghantaran darah terdiri dari dua
komponen, yaitu sirkuit ekstrakorporeal yang terdapat pada mesin dialisis dan
akses dialisis. Mesin dialisis memiliki pompa darah yang mengalirkan darah dari
lokasi akses dialisis melewati dialiser kemudian kembali ke tubuh pasien. Akses
dialisis merupakan fistula, graft atau kateter tempat darah diperoleh dari pasien
21
Kerja HD didasarkan atas prinsip difusi senyawa terlarut atau solutes
melewati membran semipermeabel. Prosedur hemodialisis berlangsung dengan
memompa darah yang terheparinisasi dengan laju 300-500 ml/menit, sedangkan
diasilat mengalir dari arah yang berlawanan dalam laju 500-800 ml/menit.
Transfer produk sisa metabolik berlangsung mengikuti gradien konsentrasi dari
sirkulasi menuju diasilat. Berdasarkan hukum difusi, molekul yang lebih besar
memiliki laju transfer yang lebih lambat melewati membran. Molekul kecil seperti
urea dengan ukuran 60 Da akan dibersihkan lebih efektif dibandingkan kreatinin
yang memiliki ukuran 113 Da (Liu dan Chertow, 2015).
2.6.1. Adekuasi hemodialisis
De Palma pada tahun 1971, seperti yang dikutip oleh Widiana (2013),
menyatakan dialisis dapat dianggap cukup bila pasien mengalami rehabilitasi
penuh, nafsu makan normal, tubuh dapat memproduksi sel darah merah yang
cukup, tekanan darah normal tercapai, dan dapat mencegah terjadinya neuropati.
Definisi tersebut cukup holistik dan valid, namun masih bersifat subjektif
sehingga diperlukan definisi yang lebih objektif memakai parameter laboratorik.
Ureum darah merupakan solut yang dipakai untuk mengukur efektivitas
dialisis karena urea diasumsikan terdistribusi merata dalam darah serta diproduksi
dan dibersihkan dengan kecepatan yang konstan. Untuk itu, pada orang dengan
22
adekuasi hemodialisis. Model ini disebut sebagai urea kinetic modeling atau
UKM (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010).
Setiap pasien yang menjalani HD diberikan resep dosis HD. Persamaan
matematika untuk menghitung dosis HD yang didasarkan atas UKM adalah Kt/V.
Kt/V adalah parameter jumlah plasma yang dibersihkan terhadap urea (K*t)
dibagi dengan volume distribusi urea (V) dalam badan dan merupakan suatu rasio
tanpa satuan. Kt/V dibagi menjadi dua, yaitu Kt/V yang diresepkan atau
prescribed dan Kt/V yang terlaksana atau delivered (Widiana, 2013).
Dosis HD ditentukan dengan menetapkan nilai Kt/V yang diresepkan
terlebih dahulu. Target Kt/V untuk HD yang dilaksanakan dua kali seminggu
adalah 1,8 (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003; Widiana,
2013).
Adekuasi hemodialisis didapatkan dengan menghitung Kt/V yang
terlaksana, yang dinyatakan sebagai nilai Kt/V. Formula yang digunakan untuk
menghitung Kt/V ini adalah formula Daugirdas, yaitu:
ln merupakan log natural (e); R merupakan perbandingan konsentrasi urea
predia-lisis (BUNpre) dan paskadiapredia-lisis (BUNpost), yaitu BUNpost/BUNpre; t adalah
du-rasi satu sesi dialisis; UF/W adalah perbandingan ultrafiltrat dan berat badan
pasien (BB), dihitung memakai rumus: (BB predialisis-BB paskadialisis)/ BB
paskadia-lisis (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003;
23
Nilai Kt/V yang terlaksana tidak selalu sama dengan nilai Kt/V yang
diresepkan. Jika nilai Kt/V yang terlaksana kurang dari nilai Kt/V yang
diresepkan, maka hemodialisisnya dikatakan tidak adekuat atau memiliki adekuasi
hemodialisis yang tidak cukup. Hemodialisis yang tidak adekuat dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bersihan ureum yang tidak optimal,
waktu dialisis yang kurang, dan kesalahan dalam pemeriksaan ureum
darah(Laaksonen dkk, 2000; Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010).
Adekuasi hemodialisis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi
klinik pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler. Kt/V di bawah 1,2
diasosiasikan dengan peningkatan risiko mortalitas pada pasien HD reguler
(Jindal dkk, 2006). Pourfarziani dkk. (2008) berdasarkan pene-litian terhadap 338
pasien HD menyimpulkan bersihan urea yang tidak optimal pada HD yang tidak
adekuat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, menurunkan produktivitas
pasien HD, dan kerugian material akibat penurunan produktivitas tersebut.
2.7. Gangguan Pendengaran pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Prevalensi gangguan pendengaran ditemukan lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Vilayur dkk. (2010) mendapatkan gangguan pendengaran
pada pasien PGK derajat sedang sebesar 54,4%, sedangkan pada populasi individu
dengan GFR >60 ml/menit/1,73m2 dilaporkan sebesar 28,3%. Lasisi dkk. (2007)
mendapatkan gangguan pendengaran sebesar 67% pada pasien PGK, sedangkan
pada kontrol sebesar 32%.
Tipe gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilaporkan sebagian
24
PGK memiliki predileksi pada frekuensi rendah (125-250 Hz) dan frekuensi tinggi
(4.000-8.000 Hz), sedangkan frekuensi 500-2.000 Hz dilaporkan dalam batas
normal atau terjadi sedikit peningkatan. Hal ini membuat gambaran audiometri
pada pasien PGK berbentuk seperti kubah atau dome (Gatland dkk, 1991; Sharma,
2011; Zeigelboim dkk, 2001).
Gambar 2.3. Audiogram pasien PGK yang berbentuk seperti kubah (Gatland dkk,
1991).
Lasisi dkk. (2007) melaporkan rerata ambang dengar pasien PGK sebesar
47,42 dBHL. Sharma dkk. (2011) juga melaporkan hal serupa, di mana derajat
25
Gambar 2.4. Rerata ambang dengar pada pasien PGK pada masing-masing
frekuensi (Sharma dkk, 2011).
2.8. Patofisiologi Gangguan Pendengaran pada Penyakit Ginjal Kronik
Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih kontroversial.
Bebera-pa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya gangguan pendengaran
pada pa-sien PGK adalah kemiripan antara ginjal dan koklea, gangguan elektrolit,
uremia, kondisi komorbid, obat-obat ototoksik, dan hemodialisis (Thodi dkk,
2006).
Nefron pada ginjal dan stria vaskularis pada koklea memiliki kemiripan
fisiologi, ultrastruktur dan antigen yang diduga sebagai kaitan antara gangguan
pendengaran dan penyakit ginjal kronik. Membran basilaris pada endotelium
kapiler kapsul Bowman dan tubular proksimal ginjal serta stria vaskularis koklea
pada pemeriksaan histologi sangat mirip. Sel epitel pada kedua organ ini berperan
dalam transpor aktif cairan dan elektrolit dan mengandung banyak mitokondria,
Na+/K+ ion pump ATP-ase dan karbonik anhidrase. Ginjal dan koklea juga
memiliki kemiripan farmakologik, yaitu beberapa obat yang bersifat nefrotoksisk
juga bersi-fat ototoksik, seperti aminoglikosida. Perkembangan ginjal dan koklea
diduga dipe-ngaruhi oleh gen yang sama, seperti pada sindrom Alport yang
menunjukkan gangguan kongenital pada koklea dan ginjal. Kemiripan-kemiripan
ini menge-sankan faktor yang sama dapat menyebabkan gangguan pada koklea
26
sama, diantaranya usia tua, diabetes dan hipertensi (Muyassaroh dan Ulfa, 2013;
Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).
Gangguan keseimbangan elektrolit dalam darah yang terjadi pada pasien
PGK akan mengganggu keseimbangan elektrolit di dalam koklea. Komposisi
elektrolit cairan telinga dalam berperan untuk mempertahankan elektromotilitas
sel-sel rambut koklea. Rasio konsentrasi Na+/K+ pada endolimfe dan perilimfe
berbeda dan tranduksi sensorik sel-sel rambut koklea terjadi sebagai hasil
pertukaran ion Na+ dan K+. Gangguan pada keseimbangan konsentrasi elektrolit
ini akan meng-ganggu fungsi koklea dan menimbulkan gangguan pendengaran
(Govender dkk, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Pemeriksaan
histopatologik pada tulang temporal pasien PGK mendapatkan sedimentasi pada
stria vaskularis, berku-rangnya sel-sel rambut luar koklea, demyelinisasi
serat-serat preganglionik koklea dan kehilangan sel-sel pada ganglion spiralis (Thodi
dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).
Uremia dapat menimbulkan neuropati uremikum yang mengenai nervus
vestibulokoklear dan menyebabkan gangguan konduksi impuls saraf (Burn dan
Bates, 1998). Berbagai penelitian elektrofisiologi memakai auditory brainstem
response atau ABR membuktikan adanya perlambatan konduksi saraf. Penelitian
oleh Antonelli dkk. (1990) yang memakai ABR pada pasien PGK dan kontrol
tanpa PGK dengan gangguan pendengaran serupa mendapatkan kelompok PGK
memiliki interpeak latency gelombang I-III yang secara signifikan lebih panjang
dibanding-kan kelompok kontrol. Interpeak latency gelombang I-III mewakili
27
diinterpretasikan seba-gai disfungsi subklinik nervus vestibulokoklear yang
diakibatkan oleh neuropati uremikum. Sharma dkk. (2012) mendapatkan adanya
perbedaan yang signifikan pemanjangan latensi absolut gelombang III dan V
ABR, interpeak latency ge-lombang I-III dan I-V pada pasien PGK tanpa
gangguan pendengaran dengan GFR <10 ml/menit/1,73m2 dibandingkan dengan
pasien PGK tanpa gangguan pende-ngaran dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2
namun lebih dari 10 ml/menit/1,73m2.
Komorbiditas yang sering ditemukan pada pasien PGK adalah hipertensi dan
diabetes melitus. Kedua kondisi ini secara independen dihubungkan dengan
terja-dinya gangguan pendengaran. Pemeriksaan histopatologik koklea pada pasien
diabetes melitus menunjukkan penebalan dinding kapiler pada stria vaskularis,
ber-kurangnya jumlah serat dalam lamina spiralis, degenerasi organ Corti, dan
penurunan fungsi sel-sel rambut luar. Hormon natriuretik yang sering ditemukan
dalam aliran darah pasien hipertensi diduga menghambat aksi Na+/K+ ion pump,
sehingga mengganggu fungsi stria vaskularis koklea (Govender dkk, 2013).
Penanganan PGK meliputi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal
yang lebih agresif memakai dialisis ataupun transpalantasi ginjal. Beberapa jenis
pengobatan dan metode yang digunakan memiliki efek terhadap fungsi
pende-ngaran pasien PGK. Salah satu obat yang paling sering digunakan oleh pasien
PGK adalah furosemide yang merupakan diuretik yang bersifat ototoksik.
Pemakaian furosemide diketahui dapat menimbulkan penurunan potensial
endokoklea dan aksi potensial N.VIII yang cepat namun reversibel, serta
28
furosemide menghambat transport K+ pada stria vaskularis. Antibiotika golongan
aminoglikosida mening-katkan efek ototoksisitas furosemide (Rybak, 1985).
Efek HD terhadap fungsi pendengaran pasien PGK masih diperdebatkan.
Gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilakukan HD diduga terjadi
akibat perubahan cairan dan komposisi elektrolit endolimfe, serta kemungkinan
paparan membran selusosa asetat dari mesin hemodialisis yang digunakan,
sehingga produk degradasi asetat tersebut masuk ke dalam aliran darah
(Muyassaroh dan Ulfa, 2013). Pemeriksaan histopatologik pada tulang temporal
pasien PGK yang menjalani HD dan mengalami gangguan pendengaran
mendapatkan adanya kolaps sistem endolimfatik, edema dan atrofi sebagian
sel-sel di dalam koklea. Perubahan-perubahan ini diduga akibat gangguan osmotik
karena HD (Thodi dkk, 2006).
Mancini dkk. (1996) mendapatkan insiden tuli sensorineural pada pasien
anak-anak PGK yang mendapatkan terapi konservatif sebesar 29% dan HD
sebesar 28%. Angka ini didapatkan tidak signifikan dan mengambil kesimpulan
bahwa onset ketulian telah terjadi pada tahap awal perjalanan PGK dan tidak
disebabkan oleh terapi yang diberikan. Hasil serupa juga didapatkan oleh Ozturan
dan Lam. (1998), yaitu tidak terdapat hubungan bermakna antara tuli
sensorineural dan HD berdasarkan penelitian pada 15 subjek dan 10 kontrol
memakai audiometri nada murni dan DPOAE. Samir dkk. (1998) mendapatkan
insiden disfungsi koklea yang secara signifikan lebih tinggi pada pasien PGK
anak-anak yang menjalani HD dibandingkan dengan yang menjalani terapi
29
dengan pasien yang menjalani terapi konservatif, sehingga hal ini dapat
mengaburkan interpretasi efek fungsi ginjal yang buruk dan efek terapi terhadap
fungsi pendengaran.
Penelitian oleh Aspris dkk. (2008) mendapatkan adanya perbaikan latensi
gelombang I dan V yang signifikan pada pasien PGK setelah HD dibandingkan
dengan sebelum HD. Namun semua latensi gelombang ini tetap mengalami
pemanjangan yang signifikan dibandingkan dengan subjek kontrol normal.
Mereka berkesimpulan HD dapat memperbaiki fungsi jaras auditorik secara
keseluruhan, tetapi tidak dapat mengembalikan fungsinya sampai normal. Gafter
dkk. (1989) mendapatkan perbaikan transien latensi gelombang III setelah HD.
Hal ini menunjukkan HD mungkin memiliki efek positif sementara, namun efek
HD jangka panjang tampaknya tidak mempengaruhi konduksi sepanjang jaras
saraf auditorik.
Jakic dkk. (2010) melaporkan 63,64% dari total 66 pasien yang menjalani
HD kronik mengalami peningkatan ambang dengar di atas 20 dBHL. Pasien HD
yang berusia di bawah 60 tahun memiliki rerata ambang dengar 23,60 dBHL
dengan simpang baku 10,95, sedangkan yang berusia di atas 60 tahun memiliki
rerata ambang dengar sebesar 30,30 dBHL dengan simpang baku 7,95. Rerata
ambang dengar ini didapatkan tidak berkorelasi dengan durasi HD dan hanya
berkorelasi signifikan dengan usia pasien. Etiologi yang diduga berperan dalam
terjadinya gangguan pendengaran ini adalah akibat neuropati uremikum dan
penuaan vaskular prematur, walaupun faktor-faktor lain juga diduga ikut
30
2.9. Adekuasi Hemodialisis dan Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal
Kronik dengan Hemodialisis Reguler
Penelitian yang meneliti mengenai pengaruh adekuasi hemodialisis terhadap
ambang dengar belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun berdasarkan laporan
sebelumnya yang menyatakan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup akan
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK, salah satunya
adalah perburukan neuropati uremikum (Ramirez dan Gomez, 2012).
Laaksonen dkk (2000) meneliti hubungan antara adekuasi hemodialisis dan
fungsi nervus autonomik jantung, yang dinilai dari variabilitas detak jantung, pada
pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Mereka mendapatkan adekuasi HD
merupakan prediktor terhadap fungsi nervus autonomik jantung. Hanya pasien
dengan Kt/V di atas 1,2 menunjukkan perbaikan variabilitas detak jantung,
sedang-kan pasien dengan Kt/V di bawah 1,2 tidak menunjukkan perbaikan,
bahkan beberapa menunjukkan perburukan.
Hasil serupa juga diharapkan terjadi pada nervus vestibulokoklear. Nervus
vestibulokeklear yang berperan dalam proses mendengar dan keseimbangan
meru-pakan nervus kranialis yang paling sering mengalami neuropati uremikum (Burn
dan Bates, 1998; Ramirez dan Gomez, 2012). Pasien dengan adekuasi HD yang
tidak cukup diduga memiliki ambang dengar yang lebih tinggi dibandingkan