1
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya seseorang yang melanggar norma hukum lalu dijatuhi
hukuman pidana dan menjalani kesehariannya di sebuah Rumah Tahanan mengalami
keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan di masyarakat. Secara
tidak langsung, kondisi dengan tekanan mental akan mempengaruhi keadaan psikis
narapidana saat berada dalam Rumah Tahanan atau setelah kembali dalam
lingkungan masyarakat. Bartollas (2012) menyatakan bahwa dampak kehidupan di
penjara merusak kondisi psikologis seseorang diantaranya kecemasan. Kecemasan
dapat terjadi pada siapa saja termasuk pada warga binaan menjelang bebas di
Rutan/Lapas. Hal ini terkait stigma negatif sebagai mantan narapidana, karena
mantan narapidana saat ini masih dipandang negatif oleh masyarakat sehingga
menimbulkan kecemasan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh University Of
South Wales menyatakan bahwa sebanyak 36 % masalah kesehatan mental yang
dirasakan oleh penguni Lapas adalah masalah kecemasan (anxietas) dan kecenderungan wanita lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan pria yaitu 61%
: 39% (Butler, dkk. 2004).
Hasil penelitian Tanti (2007) di LAPAS kelas 1 Tangerang sebanyak 345
responden yang ditentukan random oleh peneliti dengan karakteristik, usia diantara
hukuman tidak dibatasi, memaparkan bahwa banyak narapidana mengalami gangguan
fisiologis, psikologis dan kognitif. Secara fisiologis 40% (138 responden) seringkali
sakit kepala, 31.8% (110 responden) selalu mengalami pegal-pegal, dan 28.2% (97
responden) selalu mengalami fatique atau rasa lelah. Adapun gangguan psikologis yang juga mengiringi timbulnya gejala fisiologis yaitu: rasa sedih, marah, kecewa,
khawatir, dan cemas. Lebih lanjut penelitian Tanti (2007) memaparkan bahwa
prevalensi kecemasan merupakan frekuensi tertinggi yaitu dialami oleh 30.4% (105
responden), perasaan sedih dialami 25.2% (87 responden), perasaan takut tanpa
alasan yang jelas dialami 23.2% (80 responden) dan mudah marah dialami 21.2% (73
responden). Adapun pada level kognitif diketahui frekuensi tertinggi ada pada
perasaan bersalah 39.1% (135 responden), kemudian perasaan tidak berharga 36%
(124 responden) dan perasaan putus asa 24.9% (86 responden). Gangguan pada aspek
fisiologis, psikologis dan kognitif tersebut semua termanifestasi dalam perilaku
misalnya sulit tidur ataupun sebaliknya tidur berlebihan, tidak bersemangat,
keinginan untuk selalu menyendiri, agresivitas yang tinggi, bahkan adanya
kecenderungan untuk melukai diri sendiri sampai akhirnya ada yang melakukan
bunuh diri.
Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti dengan Kepala Rumah Tahanan
Kelas I Surakarta pada tanggal 9 November 2015 menyatakan bahwa banyak
masalah-masalah yang terjadi di Rumah Tahanan Kelas I Surakarta ini salah satunya
masalah psikologis narapidana. Adapun masalah psikologis yang terjadi pada
sedih, kecewa, mudah marah, perasaan takut ketika akan masuk dunia dalam penjara
maupun dunia luar ketika sudah bebas dari penjara, putus asa bahkan depresi. Hal ini
sangat berpengaruh pada keadaan narapidana tersebut terlihat dengan beberapa
narapidana yang tidak bersemangat, sering menyendiri tidak mau bergabung dengan
yang lain, mudah tersulut amarah sehingga sering berkelahi dengan narapidana lain
dan masuk ruang isolasi (ruangan khusus dimana narapidana dihukum terpisah
dengan narapidana lain dan tidak dapat keluar dalam waktu yang telah ditentukan
pihak Rutan/Lapas).
Screening awal dilakukan peneliti di Rumah Tahanan Surakarta mulai tanggal 23-26 Februari 2016 dengan menggunakan skala DASS42 pada 72 narapidana yang
terdiri dari 23.6% (17 orang) narapidana dengan kasus narkoba, 38.9% (28 orang)
narapidana dengan kasus pencurian, 22.2% (16 orang) narapidana dengan kasus
perampokan, dan 15.3% (11 orang) narapidana dengan kasus UU Perlindungan Anak
(UU PA). Hasil dari screening awal menunjukkan bahwa terdapat berbagai permasalahan psikologis pada narapidana. Hasil tersebut membenarkan bahwa
adanya permasalahan psikologis yaitu salah satunya kecemasan. Adapun hasil dari
screening terdapat 37.5% (27 orang) mengalami gejala kecemasan, 40.3% (29 orang) mengalami depresi dan 22.2% (16 orang) mengalami stres. Seperti terlihat pada
Ga utama yan kondisi ya tertekan, k debar, ra berkepanja Surakarta menunjuk namun pe penelitian mengarah sedangkan Gambar 1
ambar 1 me
ng dialami
ang dialami
ketakutan ya
asa bersalah
angan. Scre mulai tang
kan bahwa m
eneliti men
ini, karen
pada situa
n depresi
1. Hasil Scre
enunjukkan
oleh para n
i oleh para n
ang berlebih
h, mimpi
eening awa ggal 23-26 F
mayoritas ga
ngambil var
a 1) pene
si sosial m
gejalanya Probl
Ce
D
eening awal di Rutan S
n kecemasan
narapidana,
narapidana,
han, keluar
buruk, me
al yang tela
Februari 20
angguan yan
riabel kece
eliti ingin l
enjelang be terlalu lua 4 2.20% lem Psikolog emas De Stres Depresi
l kondisi ps Surakarta
n, depresi
hal tersebu
, antara lain
keringat din
erasa putu
ah dilakuka
016 dengan
ng dialami o
emasan seb
lebih fokus
ebas (kecem
as dan me 37. 40.30% gi Narapida epresi St Cemas sikologis nar
dan stres a
ut dapat dip
n mereka m
ngin, tegang
us asa dan
an peneliti menggunak oleh narapid agai variab pada geja masan sosia embutuhkan 50% ana: tres rapidana adalah tiga perlihat dari merasa sering
g, jantung b
n rasa sed
intervensi yang lebih mendalam; 2) situasi sosial adalah situasi yang paling penting
dan dapat menentukan berhasil tidaknya narapidana menghadapi situasi sosial di
lingkungannya setelah bebas nantinya sehingga peneliti lebih memilih kecemasan
sosial dibandingkan depresi.
Pengambilan Screening awal menggunakan skala DASS42 yang dilakukan peneliti di Rumah Tahanan Surakarta mulai tanggal 23-26 Februari 2016 bertujuan
untuk mendapatkan gambaran tentang permasalahan-permasalahan yang ada di
Rumah Tahanan Surakarta. Hasil yang diperoleh penelti dapat memisahkan partisipan
yang mengalami kecemasan, depresi dan stres Berikut pesentase tingkat kecemasan
[image:5.595.111.511.411.651.2]yang didapat berdasarkan skala DASS dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Presentase narapidana yang mengalami kecemasan di Rumah Tahanan Surakarta
26%
40.70%
33.30%
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
Presentase Kecemasan Narapidana:
Sangat berat Berat
Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fahruliana
(2011) menyatakan bahwa munculnya kecemasan pada narapidana umumnya saat
menjelang masa pembebasan. Novianto (2008) menyatakan narapidana menjelang
bebas memiliki kecenderungan depresi yang disebabkan oleh kecemasan narapidana
dalam menghadapi masa depan.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan A.R.A (salah satu narapidana Rumah
tahanan Surakarta), pada tanggal 7 Maret 2016 di Rumah Tahanan Surakarta, yang
bertujuan mengetahui kondisi kecemasan narapidana diketahui bahwa semakin dekat
dengan hari bebas, maka semakin besar kecemasan yang dirasakan. Hal ini terungkap
dalam satu kutipan wawancara yang berhasil peneliti lakukan:
“yaa perasaan yang saya alami sekarang bingung mbak.. bingung gimana nanti kalau saya keluar dari penjara ini. Pengenlah mbak.. pengen banget mbak keluar dari sini, bosan juga bertahun-tahun disini. Kalau pulang kan bisa kumpul sama istri, anak, ibu, bapak sama saudara-saudara tapi kalau nanti keluar gimana ya.. takut ga diterima tu lhoo sama keluarga lagi, tetangga-tetangga gitu. Jadi takut ketemu orang luar. Bikin ga bisa tidur, ga nafsu makan. Kadang suka kebawa sampai ke mimpi-mimpi lho mbak. Yaa.. mimpi diusir-usir gitu. Terus ga tau kenapa jadi gampang emosian juga yaa mbak. Kayaknya masalah kecil sama temen sekamar apa sama narapidana lainnya bisa jadi berantem. Pernah tuh karna rebutan rokok.”
Narapidana lain mengungkapkan pernyataan yang hampir sama, seperti
berikut disampaikan oleh M.J :
S selaku Kepala Staf Pembinaan di Rumah Tahanan Surakarta juga
mengemukakan sering mendapatkan keluhan narapidana yang akan menjelang bebas
adalah khawatir, takut ketika nantinya memasuki dunia luar penjara dan berbaur
bersama lingkungan. Ketakutan yang dirasakan narapidana karena belum siapnya
mental narapidana-narapidana tersebut ketika akan menghadapi dunia luar.
Narapidana cenderung takut lingkungannya tidak bisa menerimanya kembali dan
istilah mantan narapidana sangat melekat dengan kejahatan. Narapidana juga merasa
bingung jika nantinya telah keluar apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, pihak
Rutan membuat suatu kegiatan yang diberikan kepada narapidana menjelang bebas.
Kegiatan ini diberikan kepada narapidana agar dapat mengetahui hal apa yang bisa
dilakukan jika sudah bebas dari Rutan.
Secara umum menurut Nevid, dkk (2008) kecemasan diartikan sebagai suatu
keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang
buruk akan segera terjadi. Adapun kecemasan yang dimaksud pada penelitian ini
adalah lebih khusus kepada situasi sosial atau dalam interaksi sosial, sehingga
didefinisikan sebagai kecemasan sosial. Menurut Butler, dkk (2004) kecemasan sosial
adalah istilah untuk ketakutan, rasa gugup dan cemas yang dirasakan seseorang saat
melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Kecemasan “menyerang” saat
seseorang berpikir melakukan sesuatu, kemudian diberi label negatif oleh orang lain
Prevalensi gangguan kecemasan sosial lebih banyak terjadi pada perempuan
daripada laki-laki. Hal ini sesuai dengan pendapat Durand & Barlow (2006) yaitu
perempuan lebih banyak mengalami gangguan ini lebih dikarenakan adanya tekanan
sosial yang diletakkan di pundak mereka untuk lebih menyenangkan orang lain, dan
hal ini mendapatkan persetujuan mereka. Pada laki-laki lebih sedikit karena laki-laki
lebih sering mencari bantuan, mengingat gangguan ini berkaitan dengan karier
mereka.
Onset gangguan kecemasan sosial adalah pada masa remaja saat kesadaran
sosial dan interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting pada usia ini.
Gangguan kecemasan sosial cenderung lebih menonjol pada pertengahan usia 18-29
tahun. Meskipun demikian Nevid (2008) menjelaskan kemungkinan onset gangguan
ini pada masa anak-anak, tetapi hal ini mungkin masih dapat dikategorikan sebagai
rasa malu secara umum yang dapat hilang seiring bertambahnya usia mereka.
Psikoanalisa menjelaskan gangguan kecemasan sosial sebagai akibat terlalu
banyaknya seseorang melakukan represi sebagai mekanisme pertahanan dirinya,
sehingga upaya yang tepat untuk mengatasi gangguan ini adalah dengan mengungkap
ke kesadaran konflik-konflik alam bawah sadarnya. Hampir sama dengan
Psikoanalisa, para teoritikus Humanistik melihat gangguan kecemasan ini terjadi
karena adanya represi sosial. Kecemasan terjadi bila terjadi ketidakselarasan antara
inner self seseorang yang sesungguhnya dan tuntutan sosial yang seharusnya ia jalani. Seseorang tersebut merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi tidak
tetapi direpresi ke alam bawah sadarnya. Oleh karena itu, terapis-terapis Humanistik
bertujuan membantu individu untuk memahami dan mengekspresikan bakat-bakat
serta perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya. Akibatnya, klien menjadi bebas
untuk menemukan dan menerima diri mereka yang sesungguhnya dan tidak bereaksi
dengan kecemasan bila perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya dan
kebutuhan-kebutuhan mereka mulai muncul ke permukaan (Nevid, 2008).
Menurut perspektif Kognitif terdapat dua tipe keyakinan (beliefs) yang menimbulkan kecemasan sosial. Pertama adalah keyakinan akan situasi, seperti
“rasanya tidak nyaman dan gugup ketika saya berada di lingkungan baru”. Kedua adalah keyakinan akan kemampuan untuk melakukan koping ketika menghadapi
situasi di atas. Misalnya, “saya akan panik jika berada di lingkungan yang baru”. Kecemasan sosial dibedakan dengan gangguan kecemasan lainnya karena adanya
tampilan kognitif yang difokuskan pada perasaan takut yang berlebihan, merasa malu,
tidak nyaman dan takut dievaluasi negatif oleh orang lain (Rector, Kocovsky, &
Ryder, 2006).
Menurut perspektif Belajar, kecemasan diperoleh melalui proses belajar,
terutama melalui conditioning dan belajar observasional (Nevid, 2008). Semua pesan yang diterima seseorang selama proses tumbuh kembang, idealnya penuh dengan
bantuan untuk membuat mereka merasa diterima dan mendapatkan kasih sayang.
Anak dibantu tentang bagaimana cara menjalin relasi dengan orang lain yang sesuai
dengan harapannya, sehingga beberapa ketidaksesuaian atau masalah sosial yang
suatu hal yang tidak positif dan tidak membantu, tinggal dalam sebuah lingkungan
yang penuh dengan ketidakpastian, yang menyebabkan ketidak yakinan akan
kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain, tidak yakin tentang
penerimaan atau cinta dari orang lain, atau bagaimana orang akan bereaksi terhadap
dirinya, tentu saja membuat kecemasan menjadi berkembang
Penatalaksanaan keperawatan pada kecemasan dapat dilakukan melalui terapi
individu, keluarga, kelompok maupun komunitas. Menurut Hawari (2008)
penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahaan dan terapi memerlukan suatu
metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu mencakup fisik (somatik), psikologik
atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius. Salah satu metode pendekatan psikologi
adalah psikoterapi kelompok yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT). Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah salah satu bentuk psikoterapi yang dapat digunakan terhadap masalah emosional tahanan/narapidana yang bertujuan menghilangkan
tanda, gejala, atau problem emosional dengan cara merubah dan membangun kembali
status kognitif yang positif dan rasional sehingga mempunyai perilaku dan reaksi
somatik yang sehat
Menurut Ellis (2007) teknik CBT dimulai dengan model ABC seperti berikut,
A: antecedent/ activating event yaitu : pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-kesulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil,
dan hal-hal lain yang dianggap sebagai penyebab ketidakbahagiaan; B: beliefs, yaitu keyakinan-keyakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang
berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam, dan amarah
karena depresi yang bersumber dari keyakinan-keyakinan yang keliru. Ellis juga
menekankan pentingnya “kerelaan menerima diri sendiri”. Tidak seorangpun yang
akan disalahkan, dilecehkan, apalagi dihukum atas keyakinan atau tindakan yang
keliru. Individu harus menerima diri apa adanya, menerima sebagaimana apa yang
dicapai dan dihasilkan. Setelah rumus ABC, Ellis menambahkan rumus D dan E yaitu
D: dispute yaitu melawan keyakinan-keyakinan irasional itu dan E: effect, yaitu klien menikmati dampak-dampak psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang
rasional. Ellis (2007) mendeskripsikan beberapa sub tujuan yang sesuai dengan nilai
dasar pendekatan cognitive behavioral therapy . Sub tujuan ini dapat membantu individu mencapai nilai untuk nilai hidup (to survive) dan untuk menikmati hidup (to enjoy). Tujuan tersebut adalah : memiliki minat diri, memiliki minat sosial, memiliki pengarahan diri, toleransi, fleksibel, memiliki penerimaan, dapat menerima
ketidakpastian, dapat menerima diri sendiri, dapat mengambil resiko, memiliki
harapan yang realistis, memiliki toleransi terhadap frustrasi yang tinggi dan memiliki
tanggung jawab pribadi.
Menurut Palmer (2011) cognitive behavioral therapy digunakan pada klien (subjek) dengan karakteristik diantaranya: (a) orang dewasa dengan problem-problem
emosional yang relatif langsung, seperti kecemasan atau depresi yang sedang /cukup;
(b) orang dewasa yang mengalami gangguan parah dan tampaknya sulit diubah
yang menderita depresi hingga keinginan bunuh diri; (d) pelaku kekerasan kronis; (e)
remaja yang terisolasi dan memiliki problem perilaku misalnya ledakan amarah yang
berlebihan; (f) anak-anak berumur 7 atau 8 tahun yang mengalami problem, misalnya
kesulitan berteman di sekolah.
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa CBT efektif
menurunkan tingkat kecemasan. Penelitian Haby, dkk (2006) yang telah dilakukan
pada 18 orang dewasa yang mengalami depresi, gangguan panik, dan gangguan
kecemasan umum (dengan atau tanpa agoraphobia), menyimpulkan bahwa cognitive behavioral therapy (CBT) secara keseluruhan, efektif untuk depresi, gangguan panik, dan gangguan kecemasan umum. Faktor lain yang menjadi perhatian penelitian
adalah dampak pengobatan, durasi dan intensitas pengobatan, jenis gangguan, cara
terapi, jenis terapis bekerja, dan pelatihan terapis terhadap efektivitas CBT.
Hasil penelitian Osman (2008) menyatakan CBT efektif menurunkan tingkat
kecemasan tahanan/narapidana penyalahgunaan NAPZA, serta efektif meningkatkan
kualitas hidup tahanan/narapidana penyalahgunaan NAPZA. Subjek penelitian ini
adalah 50 tahanan/narapidana penyalahgunaan NAPZA. Pada penelitian ini perlakuan
bagi para responden, yaitu dengan pemberian CBT sebanyak 10 sesi, dengan durasi
waktu kira- kira 120 menit setiap sesi. Penelitian yang dilakukan Laura, dkk (2009)
pada 454 pasien menyatakan cognitif behavioral therapy mengurangi gangguan panik, kecemasan dan depresi. Penelitian Ehlers (2010) membuktikan CBT efektif
dalam sesi mingguan atau dua mingguan untuk mengatasi gangguan kecemasan, fobia
Subjek pada penelitian ini adalah narapidana yang sudah melewati 2/3
hukumannya atau dianggap sudah menjelang bebas. Narapidana yang menjelang
bebas tentunya memiliki harapan dapat diterima secara baik oleh masyarakat seperti
sebelum melakukan tindak kejahatan. Harapan seperti itu tidak datang begitu saja,
hasil screening awal yang dilakukan peneliti di Rumah Tahanan Surakarta mulai tanggal 23-26 Februari 2016 tentang kecemasan dengan menggunakan skala DASS
seperti yang telah dijelaskan di pada gambar.1 menunjukkan narapidana diliputi oleh
rasa cemas yaitu lebih spesifik kecemasan sosial menjelang bebas. Penyebabnya
antara lain tekanan psikologis, ketakutan-ketakuan karena berpikir bahwa masyarakat
akan mengucilkan dan menjauhinya. Oleh karena itu dalam psikoterapi, yang penting
adalah tindakan yang diberikan agar seseorang terpidana setelah keluar/ bebas dari
Rumah Tahanan kelak memiliki kepercayaan diri untuk dapat hidup normal lagi di
masyarakat, mampu menghilangkan kecemasan dan dapat diterima dilingkungan
masyarakat.
Penelitian ini menggunakan intervensi pelatihan kognitif perilaku untuk
meminimalkan kecemasan sosial pada narapidana karena (1) banyak hasil penelitian
yang melaporkan kemanjuran pelatihan kognitif perilaku dalam membantu mengatasi
masalah terutama untuk kecemasan. (2) pelatihan kognitif perilaku adalah terapi yang
merupakan perpaduan antara perilakuan fisik, psikologis, serta sosial. Secara teoritis
pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara kausal. Oleh karena itu,
pendekatan yang digunakan harus dapat mengatasi kecemasan tersebut. Terapi
agar subjek belajar memahami pikiran-pikirannya yang dapat menimbulkan
kecemasan dan merubah pola-pola pikiran tersebut untuk mengurangi kemungkinan
meningkatnya kecemasan. Terapi perilaku untuk kecemasan juga memfokuskan pada
perubahan tindakan-tindakan tertentu dan menggunakan beberapa teknik untuk
mengurangi atau mencegah tingkah laku yang tidak sesuai.
Terapi kognitif perilaku digunakan karena dari berbagai temuan yang ada
salah satunya terbukti adanya komponen kognitif yang kuat dalam fobia maupun
kecemasan sosial. Umumnya, individu yang menderita fobia maupun kecemasan
sosial mempersepsikan ketidakmampuan diri mereka secara lebih negatif daripada
orang lain (Beidel, Turner, & Dancu; Hartman; Rapee, dalam Feeney, 2004). Dari sisi
behavioral, keberadaan situasi yang ditakuti menjadi suatu reinforcement negatif. Beberapa teknik terapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah restrukturisasi
kognitif, relaksasi, dan exposure. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Antony dan Swinson (2000) yang menyatakan bahwa strategi utama dalam
pemberian terapi kognitif perilaku adalah mengubah pemikiran dan keyakinan
irrasionalnya dengan pemikiran dan keyakinan rasional yang lebih sehat dan positif.
Selanjutnya dihadapkan langsung ada situasi yang membuatnya tidak nyaman
(exposure), dan terakhir menambahkan dengan ketrampilan sosial.
Merujuk pada dasar berpikir di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah: Apakah Pelatihan Kognitif Perilaku efektif mengurangi kecemasan sosial
B. Tujuan Penelitian
Mengetahui efektivitas Pelatihan Kognitif Perilaku terhadap kecemasan sosial
pada narapidana Rutan Kelas I Surakarta.
C. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pimpinan Rumah Tahanan Kelas I Surakarta
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pimpinan LP khususnya
mengenai efektivitas untuk mengurangi kecemasan pada narapidana menjelang
bebas, sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan
atau keputusan yang berkaitan dengan kondisi warga binaan pemasyarakatan.
2. Bagi subjek penelitian
Memberi informasi sejauh mana kecemasan yang dialami subjek penelitian
setelah diberi Pelatihan Kognitif Perilaku sehingga dapat digunakan sebagai salah
satu cara untuk meminimalisir atau menurunkan kecemasan.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau masukan bagi peneliti
berikutnya mengenai efektivitas Pelatihan Kognitif Perilaku untuk mengurangi
kecemasan pada narapidana menjelang bebas sehingga dapat menjadi bahan
D. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian berkaitan dengan Pelatihan Kognitif Perilaku terhadap
kecemasan pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti pada
[image:16.595.109.522.278.710.2]pemaparan di tabel 1:
Tabel 1. Penelitian terdahulu
No Peneliti Latar Belakang Metode Hasil
1. Haby dkk. (2006) Tujuan penelitian yaitu menguji efektivitas CBT terhadap depresi dan gangguan panik, dan gangguan kecemasan umum (dengan atau tanpa agoraphobia)
Penelitian eksperimen pada 18 orang dewasa yang mengalami depresi dan gangguan panik, dan gangguan kecemasan umum (dengan atau tanpa
agoraphobia) alat
ukur menggunakan CBT dan skala depresi
Penelitian menyimpulkan bahwa terapi kognitif perilakuan (CBT) secara keseluruhan, efektif untuk depresi, gangguan panik, dan
gangguan kecemasan umum..
2. Safaria dan Saputra (2007) Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif Terhadap Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun Penelitian eksperimen dengan 20 subjek. Alat ukur menggunakan CBT dan skala kecemasan. Analisis menggunakan paired dan independent sample
3. Osman (2008)
Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana efektifitas menurunkan tingkat kecemasan tahanan/ narapidana penyalahguna NAPZA Subjek penelitian eksperimen ini adalah
50 tahanan/ narapidana
penyalahgunaan
NAPZA Rumah Tahanan Kelas I di Surakarta. Pada penelitian ini perlakuan bagi para
responden, yaitu dengan pemberian CBT sebanyak 10 sesi, dengan durasi waktu kira- kira 120 menit setiap sesi.
CBT efektif menurunkan tingkat kecemasan tahanan/ narapidana penyalahguna NAPZA
4. Lubis (2008) Tujuan penelitian yaitu ingin mengetahui fenomena pengaruh CBT melalui dukungan sosial terhadap harga diri dan depresi pada penderita kanker
Penelitian kualitatif kepada 8 responden penderita kanker. Penelitian CBT melalui dukungan sosial selama 12 sesi pertemuan efektif untuk menurunkan tingkat depresi pada penderita kanker, dan mampu meningkatkan harga diri responden penelitian.
CBT efektif untuk mengurangi depresi melalui dukungan sosial terhadap harga diri pada penderita kanker. 5. Leahy dan Tirch (2008)
Penelitian ini
berkaitan dengan efektivitas model integratif terapi perilaku kognitif terhadap perilaku cemburu. Penelitian model kualitatif, dengan responden atau subjek penelitian ini adalah pria berusia 37 tahun sebanyak 5 orang.
Hasil dari penelitian ini adalah perilaku kognitif dapat menurunkan perilaku cemburu yang seringkali merupakan masalah dalam hubungan interpersonal
6. Laura dkk. (2009) Meneliti tentang kecemasan komorbid dan depresi. Penelitian metode eksperimen pada 454
pasien yang mengalami gangguan
kecemasan dan gangguan panik
7. Rabi’al (2009) Mengungkap tentang Efektivitas Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behaviour
Therapy) Relaksasi dan Distraksi pada Pasien Kanker dengan Nyeri Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan
Desain penelitian ini kuasi eksperimen, pre test, post test. Sampel penelitian pasien dengan nyeri kronis yang menjalani pengobatan di ruang Rindu B2 RSUP Haji Adam Malik Medan sebanyak 16 orang. Pengumpulan data menggunakan skala Analisis menggunakan uji paired t-test dan independen t-test
Penelitian menyimpulkan terapi CBT melalui relaksasi dan distraksi efektif menurunkan intensitas nyeri pasien Kanker dengan Nyeri Kronis
8. Hanura wan dan Sulistyo rini (2009) Pengaruh Pemberian Terapi Kognitif Terhadap Tingkat Depresi Pada Penderita Kanker Serviks yang Menjalani Perawatan Di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang.
Subjek penelitian pasien kanker serviks yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang, Alat ukur skala dan terapi CBT
Pemberian terapi kognitif pada pasien kanker serviks terbukti memiliki pengaruh dalam menurunkan gejala depresi pasien. Secara keseluruhan ada pengaruh yang signifikan dari pemberian terapi kognitif terhadap gejala depresi pada pasien kanker serviks
9. Ehlers (2010)
Meneliti tentang Cognitive Therapy untuk mengatasi gangguan
kecemasan, fobia dan gangguan obsesif kompulsif
Penelitian eksperimen menggunakan Intensif Cognitive Therapy untuk PTSD (CT-PTSD) pada 14 pasien yang diambil dari arahan berturut-turut. Pasien menerima hingga 18 jam terapi selama 5 sampai 7 hari kerja, diikuti dengan 1
sesi seminggu kemudian dan sampai
3 tindak lanjut sesi.
10. Dilek (2010) Meneliti bagaimana pengaruh terapi kognitif perilakuan terhadap kemampuan perilaku dan kontrol diri. Penelitian eperimen pada 30 orang yang mengikuti terapi kognitif perilakuan dan 30 orang tidak mengikuti pelatihan menyatakan ada pengaruh terapi kognitif perilakuan terhadap persepsi ego ibu, sikap anak, kemampuan kontrol diri.
Subjek yang mengikuti terapi kognitif perilakuan memiliki kemampuan perilaku dan kontrol diri yang lebih baik daripada yang tidak mengikuti terapi
kognitif perilakuan. Kesimpulannya terapi kognitf perilaku berpengaruh terhadap kemampuan berperilaku dan kontrol diri.
11. Barrowc lough dkk (2011) Penelitian ini menguji efektivitas CBT untuk menurunkan gangguan kecemasan pada subjek orang dewasa lanjut dengan menggunakan CBT dan SC (Supportive Counselin)
Gangguan kecemasan pada orang dewasa lanjut yang berusia antara 55 hingga 72 tahun.). Tritmen CBT yang digunakan adalah latihan relaksasi, desensitisasi sistematis, explosure, flooding, prevensi respon, dan restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CBT
efektif digunakan untuk menangani gangguan kecemasan pada orang dewasa lanjut
12. Boelen dan Bout (2012) Penelitian ini mengetahui apakah terapi kognitif perilaku berkorelasi dengan emosional distress, optimisme, kecemasan dan simpton traumatik Penelitian ekperimen pada 326 responden, model penelitian menggunakan teknik terapi dan pengukuran menggunakan skala.
Terapi kognitif perilaku berkorelasi dengan emosional distress, optimisme, kecemasan dan
simpton traumatik
13. Organista Mufioz dan Gonzdlez (2014) Penelitian ingin mengetahui apakah cognitive behavioral therapy dapat mengurangi tingkat depresi Responden penelitian sebanyak 175 subjek. Pengukuran depresi menggunakan CBT, BDI dan Structured Clinical Interview for DSM-III-R-Patient Edition (SCIDP).
Berdasarkan penelusuran kepustakaan pada tabel.1 cukup banyak penelitian
mengenai pelatihan kognitif perilaku (CBT) dan kecemasan, beberapa hal
menunjukkan kesamaan dengan penelitian peneliti, seperti teori utama yang
digunakan, variabel penelitian secara umum, subjek penelitian, metode yang
digunakan mencakup alat ukur, modul dan analisis data umumnya kuantitatif
eksperimen dan bertujuan mengetahui efektivitas CBT terhadap kecemasan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain diantaranya: penelitian ini
menggunakan variabel yang lebih spesifik yaitu kecemasan sosial, adapun subjek
yang digunakan adalah narapidana sedangkan penelitian lainnya diantaranya pasien,
pegawai, orang dewasa secara umum, dan hanya satu yang sama subjek narapidana
narkoba. Secara umum teori dasar yang digunakan penelitian sebelumnya sama
dengan penelitian penulis yaitu berlandaskan teori Albert Ellis, namun dari teori
sudut pandang lebih khusus ada sedikit perbedaan, pada penelitian lain, misalnya
Osman (2008) teori yang digunakan lebih banyak dari sudut pandang ilmu
kedokteran, sedangkan penelitian penulis lebih menekankan pada teori-teori psikologi
secara umum.
Kebaruan riset pada penelitian ini yaitu variabel yang digunakan peneliti
adalah kecemasan secara khusus yaitu kecemasan sosial menjelang bebas pada
narapidana. Hal ini masih jarang digunakan oleh peneliti-peneliti lain, karena meneliti
tentang kecemasan khusus situasi sosial narapidana di Rumah Tahanan Kelas I
Surakarta dan prosedurnya yang cukup sulit karena harus keluar masuk penjara
Penelitian ini memberikan kontribusi yang positif khususnya bagi dunia
pendidikan secara luas karena akan semakin banyak akademisi, pemerhati bidang
pendidikan, lembaga dan masyarakat umum akan mengenal tentang metode terapi