• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords: pleading guilty, justice collaborator, plea bargaining

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Keywords: pleading guilty, justice collaborator, plea bargaining"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

131

USU Law Journal, Vol.7. No.6, Desember 2019, 131-139 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Penerapan Pengakuan Bersalah Terdakwa sebagai Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia : Studi Putusan Pengadilan Negeri

Pekanbaru Nomor 683/Pid.Sus/2016/PN Pbr.

Rizky Novia Karolina rizky noviakarolina@gmail.com Ediwarman, Madiasa Ablisar, M. Hamdan

Abstract. Defendant’s testim ony as evidence has been known in the Indonesian criminal justice since HIR was in effect which was regulated in Article 307 HIR. After the KUHAP was promulgated, it was changed to defendant’s testim ony which only states that he has committed a criminal act as it is being sued while in the evidence it has a broader scope which includes his testim ony and denial.The implementation of defendant’s pleading guilty as justice collaborator is fou nd in the Verdict No.683/Pid.Sus/2016/PN.Pbr in which the defendant is legally proven guilty of committing criminal act in drug abuse. On his pleading guilty, he is appointed as a justice collaborator, and the police develop the investigation until the real perpetrator.The reform of the criminal justice sy stem in Indonesia in the RUUKUHAP accomm odates defendant’s pleading guilty through Special Lane of the Plea Bargaining Sy stem which is relevant to Special System in Article 199RUUKUHAP in which a defendant pleads guilty of his illegal act with the sanction of less than 7 year -im prisonment, the public prosecutor can turn over the case to a brief interrogation and can simplify the long process of criminal justice in order to realize the principle of sim ple, quick, and inexpensive Administration of Justice.

Keywords: pleading guilty, justice collaborator, plea bargaining PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengakuan bersalah sebagai alat bukti telah dikenal dalam tatanan peradilan pidana Indonesia sejak berlakunya Het Inlandsch Reglement (HIR), Pengakuan terdakwa diatur dalam pasal 307 HIR. Setelah diundangkannya KUHAP, alat bukti pengakuan terdakwa dalam HIR dirubah menjadi keterangan Terdakwa dalam KUHAP.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP m engenal lima jenis alat bukti yang diakui sebagai alat bukti yang sah guna m enentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa salah satunya adalah keterangan terdakwa. Lima jenis alat bukti yang terdapat dalam KUHAP berbeda dengan alat bukti yang terdapat dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR).1 Perbedaan jenis alat bukti dalam HIR dan KUHAP diantaranya berupa tidak dikenalnya alat bukti keterangan terdakwa, m elainkan pengakuan terdakwa.2

Perubahan alat bukti pengakuan terdakwa dalam HIR m enjadi keterangan Terdakwa dalam KUHAP patut m emperoleh perhatian. HIR m engatur bahwa pengakuan terdakwa adalah salah satu alat bukti yang sah dalam m enentukan salah atau tidaknya terdakwa dan pengakuan

1 Sebelum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disahkan berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregeling, sistem peradilan pidana di Indonesia diatur oleh Herziene Indlansch Reglement (HIR) yang berlaku bagi orang Indonesia di Jawa dan Madura, Reglement Buitengewesten (RBG) yang berlaku bagi orang Indonesia diluar Jawa dan Madura dan Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv ) yang berlaku bagi orang Eropa dan Timur Asing yang berada di Indonesia.

2 Het Herziene Inlandsch Reglement, (Bogor:Politea, 1995), Ps. 295 HIR.

(2)

132 terdakwa itu sendiri dianggap sebagai alat bukti yang sempurna dalam HIR.3 Pengakuan Terdakwa identik dengan paksaan, sehingga akan terdengar lebih manusiawi apabila pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa.4 Perbedaan lainnya antara pengakuan terdakwa dan keterangan terdakwa adalah, pada alat bukti pengakuan terdakwa ruang lingkupnya sangat terbatas yaitu disyaratkan sebatas pengakuan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dan pengakuan bahwa dirinya bersalah m elakukan tindak pidana tersebut, sedangkan pada alat bukti keterangan terdakwa ruang lingkupnya menjadi lebih luas yaitu termasuk didalamnya penyangkalan oleh terdakwa.5

Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti diakom odir dalam Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Acara pidana dengan m engadopsi Plea Bargaining System. Sistem Pengakuan Bersalah (Plea bargaining Sy stem) dipadankan dengan Jalur Khusus dalam RUU KUHAP diatur dalam Pasal 199 RUU KUHAP.6

Kedudukan pengakuan bersalah tidak dapat dilepaskan dari proses pem buktian. Proses pem buktian dalam peradilan pidana adalah bagian penting dalam rangka m emperoleh kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan m emberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut, sehingga hakim dapat mem berikan putusan yang adil.7

Dalam penerapannya, terdapat kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nom or 683/Pid.Sus/2016/PN Pbr dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika. Berdasarkan Pengakuan bersalah Terdakwa yaitu keterangan dari Terdakwa Ridwan Johson Maruli (RJM) m engakui secara terus terang telah m elakukan tindak pidana narkotika sebagai perantara jual beli narkotika sebagaimana dikenakan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam pengem bangan lebih lanjut, maka saksi Karmila dapat ditangkap, sehingga terdakwa dapat dianggap sebagai ”justice collabolator” dalam perkara ini.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini:

1. Bagaimana pengaturan pengakuan bersalah sebagai alat bukti dalam sistem peradilan pidana?

2. Bagaimana Penerapan pengakuan bersalah terdakwa sebagai justice collaborator pada Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nom or 683/Pid.Sus/2016/PN Pbr?

3. Bagaimana kedudukan pengakuan bersalah terdakwa melalui Jalur Khusus dalam pem baharuan sistem peradilan pidana pada RUU KUHAP?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk m engkaji dan m enganalisis pengaturan pengakuan bersalah sebagai alat bukti dalam sistem peradilan pidana.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis Penerapan pengakuan bersalah terdakwa sebagai justice collaborator Pada Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nom or 683 /Pid.Sus/2016/PN Pbr.

3. Untuk m engkaji dan menganalisis kedudukan pengakuan bersalah terdakwa melalui jalur khusus dalam pembaharuan sistem peradilan pidana pada RUU KUHAP.

KERANGKA TEORI Teori Tujuan Hukum

Teori tujuan hukum tersebut terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Teori Keadilan (Teori Etis)

3 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinarta, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Mandar Maju 2009), hlm. 80.

4 M. Yahya Harahap (a), Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. Ke-2, (Jakarta:Sinar Grafika, 2002), hlm. 319.

5 Andi Ham zah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014., hlm 278.

6 Marfuatul Latifah, Pengaturan Jalur Khusus dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Jurnal Negara Hukum, Volume 5 No. 1, Juni 2014, hlm. 33.

7 Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 27.

(3)

133 Menurut teori ini, tujuan hukum hanya ditempatkan pada perwujudan keadilan yang semaksimal mungkin dalam tata tertib masyarakat. Keadilan tidak sama dengan persamaan, tetapi berarti keseimbangan.8

2. Teori Kepastian Hukum

Gustav Radbruch terdapat dua macam pengertian kepastian yaitu, kepastian hukum oleh karena hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil m enjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum, mem beri dua tugas hukum yang lain, yaitu m enjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum, tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang. 9

3. Teori Kemanfaatan Hukum

Menurut teori ini, hukum akan memberikan jaminan kebahagiaan yang sebesar -besarnya (the greatest good of the greatest number).10

Teori Pembuktian

Teori pembuktian, dikelom pokkan menjadi 4 (empat) yaitu:

1. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Belaka (Conviction In Time)

Penentuan seseorang bersalah atau tidaknya terdakwa m enurut teori pem buktian ini semata-mata ditentukan oleh keyakinan hakim. .11

2. Teori Pem buktian Menurut Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis ( Conviction Raisonee)

Kenyakinan hakim dalam teori pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction intime karena keyakinan hakim tersebut harus berdasarkan pada alasan -alasan yang dapat diterima akal dan logis yang dapat diterima oleh akal sehat.12

1. Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk)

Teori pem buktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat -alat bukti yang sah menurut undang-undang, Artinya, seseorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata - mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah m enurut undang-undang. .13

2. Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) Menurut P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang berpendapat:14

“Orang dapat mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk m enjatuhkan pidana bagi seseorang, tetapi dari alat -alat bukti yang sah itu hakim juga perlu mem peroleh keyakinan bahwa terdakwa telah bersalah m elakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, adanya keyakinan hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak ditimbulkan oleh sekurang-kurangnya alat bukti yang sah.”

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengaturan Pengakuan Bersalah Sebagai Alat Bukti Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Hukum Acara Pidana di Indonesia sem pat m engakui pengakuan sebagai alat bukti yang sah pada masa sebelum berlakunya KUHAP. Pengakuan diatur dalam pasal 295 dan 307 HIR. Pasal 295 HIR m enyebutkan bahwa alat bukti yang diakui ialah sebagai berikut:15

a. Kesaksian-kesaksian;

b. Surat-surat;

c. Pengakuan;

d. Isyarat-isyarat/Petunjuk.

8 Pipin Syafirin, Pengantar Ilmu Hukum , (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.52.

9 Herri Suwantoro, Harmonisasi Keadilan dan Kepastian dalam Peninjauan Kembali, (Depok: Kencana, 2017) hlm. 23.

10 Wasis SP., Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2002).

Hlm. 21.

11 Andi Ham zah, Op. Cit., hlm. 251 .

12 Muhammad Rakhmat, Plea Bargaining & Pengakuan Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Ruas Media, 2018), hlm. 38.

13 Andi Ham zah, Op. Cit., hlm. 251

14 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP (Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 408.

15 Pasal 295 HIR

(4)

134 Pasal 307 HIR yang berisi:16

(1) Satu pengakuan yang diberikan oleh pesakitan di muka hakim bahwa ia m elakukan suatu perbuatan pidana yang dituduhkan padany a disertai dengan keterangan dari keadaan yang tertentu dan yang seksama, maupun juga dari keterangan orang yang m engalam i perbuatan itu, atau yang diketahui dari upaya bukti yang lain, yang sesuai dengan itu, dapat menjadi upaya yang lengkap tentang kesalahannya.

(2) Pengakuan saja dari suatu kesalahan, yang sekali-kali tidak dikuatkan keadaan yang diketahui dalam persidangan, sekali-sekali tidak cukup untuk menjadi bukti.

Pengakuan sebagai bukti yaitu pengakuan keterangan terdakwa, bahwa ia mengaku telah melakukan suatu peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya.17 Supaya pengakuan itu m erupakan akat bukti yang cukup (pasal 307 HIR) haruslah m emenuhi syarat -syarat:18

1) Diberikan atas kehendak sendiri (bebas dari paksaan);

2) Diberikan di muka sidang pengadilan;

3) Disertai dengan pemberitahuan yang tentu dan seksama, tentang sesuatu yang diketahui, baik dari keterangan orang yang menderita peristiwa pidana, maupun dari alat-alat bukti lainnya cocok dengan pengakuan itu.

Setelah diundangkannya KUHAP, pengakuan terdakwa dirubah m enjadi keterangan terdakwa yang berisi: 19

Pasal 189

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri

(2) keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk m embantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya

(3 ) keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri

(4) keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk mem buktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Keterangan terdakwa yaitu, apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.20 Keterangan terdakwa merupakan salah satu dari lima alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1) burie e. Sedangkan HIR m enyebut pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang tercantum dalam Pasal 295 HIR dan 307 HIR. Berbeda dengan pengaturan alat bukti dalam H.I.R, tidak dikenal alat bukti keterangan terdakwa, namun dikenal alat bukti pengakuan terdakwa.

Berdasarkan pergeseran alat bukti pengakuan terdakwa menjadi keterangan terdakwa tersebut, M.Yahya Harahap21 m eninjau pengertian keterangan terdakwa dan pengakuan terdakwa dari segi yuridis serta menyimpulkan bahwa keterangan terdakwa lebih luas pengertiannya dari pada pengakuan terdakwa yaitu :

1. Keterangan terdakwa meliputi pengakuan dan pengingkaran, sedangkan dalam pengakuan terdakwa hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran.

2. Istilah keterangan terdakwa, lebih sim patik dan manusiawi dibandingkan dengan istilah pengakuan terdakwa yang terdapat dalam HIR.

Ditinjau dari segi pengertian bahasa, memang terdapat perbedaan makna antara pengakuan terdakwa dan keterangan terdakwa. Pada pengakuan terdakwa mengandung peryataan tentang apa yang dilakukan seseorang. Pengertian yang terkandung pada kata keterangan terdakwa lebih bersifat penjelasan akan apa yang dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi sekalipun benar terasa perbedaan pengertian ditinjau dari segi bahasa, namun perbedaan itu pada hakikatnya tidak mengakibatkan kedua istilah itu bertentangan. 22

16 Pasal 307 HIR

17 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasannya, (Bogor: Politea, 2010), hlm. 219.

18 Ibid.

19 Pasal 189 KUHAP

20 Pasal 189 ayat (1) KUHAP

21 M.Yahya Harahap (a), Op.cit., hlm.319

22 Muhammad Rakhmat,Op.Cit. hlm. 43.

(5)

135 Bila ditinjau dari segi yuridis, pengertian keterangan terdakwa sedikit lebih luas dari istilah pengakuan terdakwa. Pada istilah keterangan terdakwa sekaligus meliputi pengakuan dan pengingkaran. Sedangkan dalam istilah pengakuan terdakwa, hanya mencakup pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa m encakup pengertian penyangkalan. Oleh karena itu, keterangan terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus m eliputi penyataan pengakuan dan pengingkaran, dan menyerahkan kepada hakim, yang mana dari keterangan terdakwa sebagai ungkapan pengakuan dan yang mana pula dari keterangan itu bagian yang berisi penyangkalan.23

Di negara-negara penganut sistem Anglo Saxon dikenal suatu praktik hukum yang dinamakan Plea Bargaining. Praktik Plea Bargaining dilakukan dengan mem buat pengakuan bersalah atau dikenal dengan sebutan Plea Guilty yang mem berikan imbalan berupa pengurangan hukuman bagi si terdakwa yang mengaku bersalah.24

Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti diakom odir dalam Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Acara pidana dengan m engadopsi Plea Bargaining System. Sistem Pengakuan Bersalah (Plea bargaining System) dipadankan dengan Jalur Khusus dalam RUU-KUHAP diatur dalam Pasal 199 RUU-KUHAP.

Pengakuan terdakwa saja dinilai tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Bahkan ketika seorang terdakwa mengakui perbuatannya tidak semata -mata m enjadi alasan hakim m enjatuhkan pidana.

Seandainya terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban m embuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain.

Pengakuan bersalah dari terdakwa sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk m enambah dan m enyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 ayat (4) KUHAP. Hal juga ini berkenanan Teori pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah teori pembuktian undang-undang secara negatif. dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP maka pem buktian harus didasarkan kepada undang -undang (KUHAP), yaitu sekurang-kurang dua alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

Analisis Penerapan pengakuan bersalah terdakwa sebagai Justice Collaborator Pada Putusan Nomor 683/Pid.Sus/2016/PN Pbr

Terdakwa Ridwan Jonson Maruli didakwa telah m elakukan tindak pidana yang melanggar Undang-Undang Narkotika yang disusun secara alternatif karena terjadi beberapa tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain yang dilakukan oleh subyek hukum atau terdakwa yang sama.

Terkait pengakuan bersalah terdakwa sebagai alat bukti dapat dilihat dalam pem belaan Terdakwa dan atau Penasihat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut:

1) Bahwa terdakwa m erupakan JUSTICE COLLABORATOR, berdasarkan keterangan Saksi Verbalisant Rudi Gunawan di depan persidangan yang menerangkan bahwa Pihak Polisi Berterima Kasih kepada Terdakwa karena berkat keterangan Terdakwa dan dilakukan pengem bangan oleh Polisi maka tertangkaplah Pelaku sebenarnya yaitu Saksi Karmila dalam berkas terpisah. Bahwa berdasarkan keterangan tersebut pada saat itu Ketua Majelis Hakim mem erintahkan Panitera Perkara a quo untuk dicatat sebagai bahan pertimbangan bahwa Terdakwa Merupakan JUSTICE COLLABORATOR dan keterangan tersebut telah tercatat dalam catatan Panitera Perkara Aquo.

2) Terdakwa mengakui secara terus terang tentang tindak pidana yang dilakukannya dan berjanji tidak akan m engulangi lagi.

3) Terdakwa m enyesalinya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

4) Terdakwa tidak berbelit-belit dan berlaku sopan dipersidangan.

Terhadap pengakuan bersalah terdakwa tersebut, majelis hakim dalam pertim bangan menyatakan bahwa Terdakwa sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).

Selama persidangan berlangsung bahwa terdakwa berdasarkan keterangan Rudi Gunawan di depan persidangan yang menerangkan bahwa Pihak Polisi Berterima Kasih kepada Ridwan Jonson Maruli karena berkat keterangan Ridwan Jonson Maruli dan dilakukan pengembangan oleh

23 Ibid.

24 Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice third edition, Buttersworth, hlm. 24.

Dikutip dari artikel : Ichsan Zikry, Gagasan Plea Bargaining System Dalam RKUHAP dan Penerapannya di Berbagai Negara, Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta, hlm 2.

(6)

136 Polisi m aka tertangkaplah Pelaku sebenarnya yaitu Saksi Karmila dalam berkas terpisah, dengan dem ikian oleh Majelis dapat dipertim bangkan untuk m emberikan keringanan hukuman bagi Terdakwa, sebagaimana tercantum dalam amar putusan perkara ini.

Dalam kasus ini terlihat bahwa pengakuan bersalah terdakwa Ridwan Jonson Maruli dijadikan sebagai alat bukti Pada Putusan Nom or 683/PID.SUS/2016/PN PBR untuk dilakukan pengembangan oleh Polisi sehingga tertangkaplah Pelaku sebenarnya yaitu Saksi Karmila dalam berkas terpisah.

Suatu keterangan terdakwa yang diberikan pada kasus ini dipergunakan untuk m embantu menemukan bukti di sidang pengadilan. Dari uraian sebelumnya, dapat diketahui pengakuan seorang terdakwa sebagai saksi dalam persidangan terdakwa lain untuk kasus yang sama demi kepentingan pembuktian.

Dem i kepentingan pembuktian pemisahan perkara (splitsing) ini dapat dilakukan penuntut umum semata-mata karena kurangnya alat bukti yang diperoleh untuk m enuntut semua terdakwa, sehingga oleh karenanya para terdakwa dalam hal ikut serta ( medeplegen) perkaranya dipisah dan kemudian menjadi saksi bagi terdakwa yang sesama peserta dalam tindak pidana tersebut secara bergantian. Dengan melakukan pemecahan berkas perkara maka m asing -m asing terdakwa dapat menjadi saksi dalam perkara terdakwa lainnya.

Terdakwa dalam kasus ini dapat dikatakan sebagai Justice Collaborator karena dia berfungsi sebagai seorang informan/orang dalam untuk mengungkap kejahatan tindak pidana narkotika. Terdakwa sebagai seorang Justice Collaborator tidak hanya mengetahui suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa lain, namun lebih jauh dari itu ia juga dapat m enyediakan bukti yang penting mengenai keterlibatan terdakwa lain, bagaimana kejahatan tersebut dilakukan dan dimana biss ditemukan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana tersebut.

Pada saat pem eriksaan terdakwa, apabila terdakwa mengakui perbuatannya, maka pengakuan terdakwa tersebut m enjadi satu alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan hakim untuk m enjatuhkan putusan pengadilan.

Namun demikian, keterangan terdakwa dalam persidangan hanya mengikat pada dirinya sendiri.

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3).

Pengakuan bersalah terdakwa m emudahkan Jaksa Penuntut Umum dalam mem buktikan dakwaannya terhadapa terdakwa. Terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu dakwaan ke satu yaitu Pasal 114 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 dan dakwaan ke dua yaitu Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009.

Terdakwa terus terang m engakui bahwa terdakwa merupakan calo jual beli narkotika.

Untuk itu penuntut umum mudah mem buktikan dakwaan ke satu yaitu Pasal 114 ayat (1) UU No.

35 Tahun 2009 . Penuntut Umum dapat m elakukan pengembangan kasus mengenai jaringan sindikat narkotika, Terdakwa m engakui dari mana Terdakwa membeli narkotika tersebut. Dari hasil pengakuan terdakwa yaitu Terdakwa m embeli narkotika tersebut dari Saksi Kamila. Atas informasi dari terdakwa tertangkaplah gem bong narkotika yaitu Saksi Karmila.

Beban pembuktian Jaksa Penuntut Umum lebih mudah bahkan dapat di kembangkan untuk m encari pelaku utama. Tindak Pidana Narkotika m erupakan salah satu kejahatan yang terorganisir, cara paling ampuh untuk mengungkap suatu kejahatan terorganisir adalah menggunakan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dengan Pengakuan bersalah terdakwa yang terangkum dalam keterangan terdakwa cukup efektif untuk menangkap dan mem bongkar jaringan pengedar narkoba dan dapat menyediakan bukti guna menyeret pelaku utama dan tersangka lainnya.

Dengan perlakuan istimewa seperti pemisahan berkas hingga keringanan hukuman tentunya m embuat pilihan m embantu m embongkar kasus menjadi pilihan menguntungkan bagi seorang terdakwa untuk mengakui kesalahannya dan ditetapkan sebagai Justice Collaborator ketimbang m enutup rapat informasi yang dimilikinya.

Kedudukan Pengakuan Bersalah Terdakwa melalui Jalur Khusus dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Pada RUUKUHAP

Indonesia m enganut sistem hukum Civil Law tidak mengenal sistem Plea Bargaining namun saat ini dalam RUU KUHAP yang sedang dibahas dalam legislatif terdapat pasal khusus yang dikenal dengan nama Jalur Khusus. Pengaturan Jalur Khusus ini memiliki semangat yang sama seperti Plea Bargaining. Pengaturan Jalur Khusus dalam RUU KUHAP, merupakan sebuah upaya melakukan reformasi dalam hukum acara pidana di Indonesia. Ketentuan mengenai jalur khusus ini diatur dalam pasal 199 RUU KUHAP yang menyebutkan bahwa:25

25 Pasal 199 RUU KUHAP

(7)

137 (1) Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa m engakui semua perbuatan yang didakwakan dan m engaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat m elimpahkan perkara ke sidang acara pem eriksaan singkat.

(2) Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum.

(3 ) Hakim wajib:

a. Memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak -hak yang dilepaskannya dengan mem berikan pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

b.Memberitahukan kepada terdakwa mengenai lamanya pidana yang kemungkinan dikenakan;

c. Menanyakan apakah pengakuan sebagaimana dimaksu d pada ayat (2 ) diberikan secara sukarela.

(4) Hakim dapat menolak pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika hakim ragu terhadap kebenaran pengakuan terdakwa.

(5) Dikecualikan dari Pasal 198 ayat (5), penjatuhan pidana terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan.

1. Kelebihan Pengakuan Bersalah Melalui Jalur Khusus dalam RUU KUHAP

Pengaturan pengakuan bersalah melalui jalur khusus dalam pembaharuan RUU KUHAP, mem punyai beberapa kelebihan yaitu sebagai berikut:

a. Pengaturan jalur khusus yang dilakukan secara sukarela, dapat memangkas proses peradilan pidana yang seharusnya dilakukan dengan prosedur yang lengkap tetapi dengan m enggunakan konsep jalur khusus ini dapat mem percepat proses peradilan dan dapat menghemat biaya peradilan dengan adanya pengakuan dari terdakwa.26

b. Pengaturan jalur khusus m ewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, Melalui mekanism e jalur khusus Terdawa m engakui kesalahannya maka Penuntut Umum dapat melim pahkan perkara ke acara pem eriksaan singkat. Percepatan proses peradilan yang diciptakan dapat lebih mem berikan jaminan terhadap HAM khususnya bagi terdakwa. Dengan m enggunakan Jalur Khusus tentunya terdakwa tidak perlu melalui proses panjang .27

c. Pengaturan jalur khusus ini tidak berlaku secara mutlak hanya apabila Hakim setuju, Hakim tetap mengawasi kinerja Penuntut Umum dengan adanya kewenangan m enyidangkan dan memutuskan perkara serta m enguji pengakuan bersalah dan serta m enolak pengakuan bersalah.28 d. Pengaturan jalur khusus juga menutup peluang kesepakatan m engenai hukuman antara Jaksa dan terdakwa Jalur khusus dilakukan pada persidangan terbuka, dipimpin dan diputuskan oleh Hakim dalam m emberikan hukuman kepada terdakwa.29

2. Kelemahan Pengakuan Bersalah Melalui Jalur Khusus dalam RUU KUHAP

Pengaturan jalur khusus dalam RUU KUHAP saat ini belumlah sem purna, masih terdapat beberapa kekurangan antara lain:30

a. Belum diaturny a mekanism e pengakuan terdakwa dalam Jalur Khu su s;

b. Dalam penjatuhan hukuman, terdapat perbedaan ketentuan antara perkara yang disidangkan menggunakan acara pemeriksaan singkat tanpa jalur khusus dan sidang acara pemeriksaan singkat yang menggunakan jalur khusus, yaitu maksimal 3 tahun untuk acara pemeriksaan singkat tanpa jalur khusus dan maksimal 4 tahun 8 bulan untuk acara pem eriksaan singkat menggunakan jalur khusus;

c. Belum ada ketentuan y ang dengan tegas apakah dapat diajukan u paya hukum baik upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang m enggunakan mekanism e Jalur Khusus;

d. Mekanism e pengakuan bersalah m elalui jalur khu su s dalam RUU KUHAP ma sih berorientasi pada terdakwa;

e. Tidak diaturnya mengenai keabsahan alat bu kti, apakah minimum alat bukti juga harus dipenuhi atau tidak.

26 Marfuatul Latifah, Pengaturan Jalur Khusus dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Jurnal Negara Hukum, Volume 5 No. 1, Juni 2014, hlm. 42

27 Ibid.,hlm. 42.

28 Ibid.,hlm. 40.

29 Choky R. Ramadhan, Peningkatan Efisiensi Peradilan Melalui Jalur Khusus Dalam RUU KUHAP, Jurnal Teropong , Volum e 1, Agustus 2014. Hlm 145

30 Marfuatul Latifah, Pengaturan Jalur Khusus dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Jurnal Negara Hukum, Volume 5 No. 1, Juni 2014, hlm. 43

(8)

138 Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka selayaknya DPR dan pemangku kebijakan perlu m erumuskan kembali ketentuan jalur khusus dalam RUU KUHAP, yaitu:

a. Perlu diaturnya mekanism e jalur khusus yaitu suatu prosedur atau acara pemeriksaan tersendiri bagi terdakwa yang mengakui kesalahannya, bukan hanya melim pahkan perkara pada acara pemeriksaan singkat.

b. Perlu diaturnya kualifikasi yang spesifik m engenai terdakwa yang dapat menggunakan jalur khusus. Ketentuan mengenai keabsahan alat bukti mutlak perlu diberlakukan.

c. Perlu diatur hak-hak apa yang ikut gugur ketika seorang terdakwa ketika terdakwa mengakui perkara pidana yang didakwaan kepadanya.

d. Perlu diaturnya peranan penasehat hukum dalam m endampingi tersangka yang akan melakukan pengakuan bersalah. Perlu diaturnya keterlibatan korban didalam penggunaan mekanism e jalur khusus ini, dimana korban sebagai pihak yang dirugikan harus diikut sertakan . KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Hukum Acara Pidana di Indonesia sempat mengakui pengakuan sebagai alat bukti yang sah pada masa sebelum berlakunya KUHAP. Pengakuan diatur dalam pasal 3 07 HIR. Setelah diundangkannya KUHAP, pengakuan terdakwa dirubah menjadi keterangan terdakwa.

Pengakuan terdakwa ruang lingkupnya sangat terbatas yaitu disyaratkan sebatas pengakuan bahwa terdakwa m elakukan tindak pidana yang didakwakan, sedangkan pada alat bukti keterangan terdakwa ruang lingkupnya menjadi lebih luas yaitu termasuk didalamnya penyangkalan oleh terdakwa

2. Penerapan pengakuan bersalah terdakwa sebagai Justice collaborator Pada Putusan Nom or 683/Pid.Sus/2016/PN Pbr , Terdakwa terbukti secara sah dan m enyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak atau m elawan hukum m enjual dan m embeli Narkotika Golongan I Jenis Ganja sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) UU No. 35 Tahun. Atas pengakuan bersalah terdakwa, terdakwa ditetapkan sebagai Justice Collaborator, dengan pengakuan terdakwa dilakukanlah pengem bangan oleh Polisi maka tertangkaplah Pelaku sebenarnya yaitu Saksi Karmila.

3. Pembaharuan KUHAP yang ditujukan guna mem berikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban demi terselenggaranya negara hukum, diadopsinya nilai-nilai hukum acara pidana di negara common law didalam RUU KUHAP yakni plea bargaining system yang dipadankan dengan pengakuan bersalah melalui Jalur khusus diatur dalam 199 RUU KUHAP m erupakan sebuah upaya melakukan reformasi dalam hukum acara pidana di Indonesia.

Saran

1. Kepada aparat penegak hukum, pada saat pemeriksaan tersangka, untuk m emberikan edukasi kepada tersangka terkait dengan hak-hak tersangka seperti peluang mendapatkan hukuman ringan apabila tersangka m engakui perbuatannya yang dapat dimasukkan pada bagian hal -hal yang meringankan. Hal tersebut perlu dilakukan agar proses pengakuan bersalah tersangka dapat dilakukan pada saat pem eriksaan di level kepolisian.

2. Penerapan pengakuan bersalah sebagai alat bukti akan m emudahkan penyidik dalam melakukan pembuktian, Namun penyidik juga harus mencari alat bu kti lain untuk m emperkuat pengakuan bersalah sehingga kebenaran materiil dapat tercapai, dan atas pengakuan terdakwa dapat diperoleh petunjuk untuk mem bongkar tindak pidana lain, terkhusus dalam sendikit jaringan kejahatan narkotika.

3. Kepada Badan Legislatif, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pengaturan jalur khusus dalam Pasal 199 RUU KUHAP, masih terdapat beberapa ketentuan yang kurang jelas.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Bakhri, Syaiful. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Yogyakarta: Total Media, 2009.

Ham zah, Andi . Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014.

M. Yahya Harahap. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. Ke-2, Jakarta:Sinar Grafika, 2002.

(9)

139 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum

Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Rakhmat, Muhammad. Plea Bargaining & Pengakuan Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Ruas Media, 2018.

Soesilo, R. RIB/HIR dengan Penjelasannya, Bogor: Politea, 2010.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinarta. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Mandar Maju 2009.

Suwantoro, Herri. Harmonisasi Keadilan dan Kepastian dalam Peninjauan Kembali, Depok:

Kencana, 2017.

Syafirin, Pipin . Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.

Wasis SP., Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Perundang-Undangan

Het Herziene Inlandsch Reglement

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2017 Jurnal dan Artikel

Choky R. Ramadhan, “Peningkatan Efisiensi Peradilan Melalui Jalur Khusus Dalam RUU KUHAP”, Jurnal Teropong , Volum e 1, Agustus 2014.

Ichsan Zikry, Gagasan Plea Bargaining System Dalam RKUHAP dan Penerapannya di Berbagai Negara, Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta.

Marfuatul Latifah, “Pengaturan Jalur Khusus dalam Rancangan Undang -Undang Tentang Hukum Acara Pidana”, Jurnal Negara Hukum, Volume 5 No. 1, Juni 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Fasmi, Lasnofa dan Fauzan Misra, 2012, “Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Data mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tatanan rumah tangga di Desa Tanjung Pasir masih rendah yaitu kurang dari 25% terutama pada indikator olahraga,

menghasilkan hasil bahwa bangunan panti rehabilitasi untuk orang dengan HIV/AIDS di kabupaten sleman merupakan bangunan yang memiliki lebih dari 1 massa

 Apabila selama masa kontrak performance layanan dari provider sebanyak 3 kali tidak sesuai dengan spesifikasi teknis seperti tertulis di ToR, ICON+ berhak memutus

Untuk memastikan bahwa pelaksanaan tata kelola perusahaan akan meningkatkan nilai XL baik pada saham dan juga kepada para stakeholder, Perusahaan telah membentuk

Hal ini dilakukan karena di lokasi bencana pada umumnya korban menggunakan kartu SIM dari operator yang berbeda, selain itu kondisi korban juga tidak memungkinkan

Anda memperoleh nilai mati jika pada salah satu dari dua bagian soal jawaban benar yang Anda peroleh kurang dari 1/3 jumlah soal pada bagian tersebut.. BAGIAN PERTAMA TES

JUMLAH (Rp.) Pelaksanaan Kegiatan SODIKIN .S VOLUME SATUAN Cimrutu, 25 Juni 2015 HARGA SATUAN (Rp) JUMLAH (Rp) NO URAIAN desacimrutu.blogspot.com..