SELEKSI BAKTERI DIAZOTROF ISOLAT HUMUS KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SEBAGAI AGEN PENGENDALI
Ganoderma boninense
SKRIPSI
LISTRA SARIMUNGGU 140805062
PROGRAM STUDI BIOLOGI S-1
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SELEKSI BAKTERI DIAZOTROF ISOLAT HUMUS KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SEBAGAI AGEN PENGENDALI
Ganoderma boninense
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
LISTRA SARIMUNGGU 140805062
PROGRAM STUDI BIOLOGI S-1
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
PERNYATAAN ORISINALITAS
SELEKSI BAKTERI DIAZOTROF ISOLAT HUMUS KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SEBAGAI AGEN PENGENDALI
Ganoderma boninense
SKRIPSI
Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Januari 2019
Listra Sarimunggu 140805062
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Seleksi Bakteri Diazotrof Isolat Humus Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) sebagai Agen Pengendali Ganoderma boninense
Kategori : Skripsi
Nama : Listra Sarimunggu
Nomor Induk Mahasiswa : 140805062
Program Studi : Sarjana S-1 Biologi
Fakultas : MIPA- Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, Januari 2019
Pembimbing,
Dr. Yurnaliza, S.Si., M.Si.
NIP. 197107181999032001
ii
SELEKSI BAKTERI DIAZOTROF ISOLAT HUMUS KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SEBAGAI AGEN PENGENDALI
Ganoderma boninense ABSTRAK
Pencarian agen pengendali hayati penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit yang disebabkan oleh Ganoderma boninense masih terus dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatan bakteri diazotrof dari humus kelapa sawit yang berpotensi menghambat Ganoderma boninense, mengetahui mekanisme penghambatan bakteri dan mendukung pertumbuhan tanaman seperti menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan menghasilkan asam indol asetat. Bakteri diazotrof diisolasi dari humus kelapa sawit Universitas Sumatera Utara, kebun rakyat di desa bingkat, Serdang Bedagai dan PT. Perkebunan Nusantara IV Adolina Dusun I Tanjung Putus. Seleksi antagonis dilakukan dengan metode dual culture. Isolat terseleksi dikarakterisasi dan dianalisis kemampuan antijamur, aktivitas kitinolitik, glukanolitik, produksi asam indol asetat, menambat nitrogen dan melarutkan fosfat.
Hasil isolasi diperoleh total koloni bakteri diazotrof terbanyak pada humus kebun rakyat di desa Bingkat. Sebanyak 16 dari 90 isolat bakteri diazotrof terpilih, mampu menghambat Ganoderma boninense pada uji antagonis dengan persentase penghambatan tertinggi. Diantara 16 isolat bakteri, TU 9 memiliki persentase hambatan tertinggi (55,5%). Sebanyak 14 isolat bakteri menghasilkan senyawa antijamur, 7 isolat bakteri menghasilkan glukanase dan tidak ada yang menghasilkan kitinase. Dua bakteri diazotrof dengan kemampuan antagonis tertinggi yaitu TU 9 dan TU 17 (55,5% dan 44,4%) mampu menghasilkan asam indol asetat, menambat nitrogen dan melarutkan fosfat.
Kata kunci : antagonisme, antijamur, bakteri diazotrof, Ganoderma boninense, kelapa sawit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SELECTION OF DIAZOTROPHIC BACTERIA FROM OIL PALM HUMUS (Elaeis guineensis Jacq.) AS AGENT OF BIOCONTROL OF
Ganoderma boninense
ABSTRACT
Search to effort biological agent to control basal stem rot disease in oil palm caused by Ganoderma boninense is still being done. The aim of this research was to obtain diazotrophic bacteria from humus of oil palm that have antagonistic activity against Ganoderma boninense, to evaluate their antagonistic mechanism and plant growth promoting activity such as nitrogen fixation, phosphate solubilization and indole acetic acid production. Diazotrophic bacteria were isolated from humus of oil palm plantation from 3 locations i.e. Universitas Sumatera Utara, community’s plantation in Bingkat village, PT. Perkebunan Nusantara IV Adolina Dusun I Tanjung Putus. Antagonistic activity was evaluated by dual culture method. Selected bacterial isolates were characterized and analyzed for their antifungal, chitinolytic and glucanolytic activity, indole acetic acid production, nitrogen fixation and phosphate solubilization. The results showed that humus of community’s plantation in Bingkat village had the highest population of diazotrophic bacteria. Sixteen of 90 selected diazotrophic bacteria were able to inhibit Ganoderma boninense with the highest inhibition percentage. Among the bacterial isolates, TU 9 was the highest inhibition percentage (55.5%). Fourteen isolates were able to produced antifungal compounds, seven isolates produced glucanase and no isolates produced chitinase.
Two diazotrophic bacteria with the highest inhibitory activity, i.e. isolate TU 9 and TU 17 with inhibitory activity 55.5% and 44.4% consecutively. The isolates were able to produce indole acetic acid, perform nitrogen fixation and solubilize phosphate.
Keywords : antagonism, antifungal, diazotroph bacteria, Ganoderma boninense, oil palm.
iv PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul Seleksi Bakteri Diazotrof Isolat Humus Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) sebagai Agen Pengendali Ganoderma boninense.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Yurnaliza S. Si., M. Si.
selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan nasihat serta semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Kiki Nurtjahja M. Sc. dan Ibu Dr.
Elimasni M. Si. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. Terimakasih kepada Ibu Dr.
Saleha Hannum, S.Si., M.Si. dan Bapak Riyanto Sinaga M. Si. selaku ketua program studi dan sekretaris program studi Biologi FMIPA-USU Medan serta Ibu Dr. Isnaini Nurwahyuni, M. Sc. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
Terimakasih penulis ucapkan kepada orangtua terkasih Bapak Ediyanta Purba dan Ibu Asnawati Maha, kakak Ruth Magdalena serta Hana Atalia yang selama ini selalu memberikan doa, semangat, perhatian dan kasih sayang kepada penulis dalam penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan penulis Meylisa Purba dan Dita Isnaini atas kerja sama dan bantuan dalam masa penelitian serta Gebhy, Nori, Aris, Randi, Irfan, Riko, Natalia, Dina, Indah, Ayu, Nurmetti, Winda, Corry, Santi, Titi, Kak Nisa, Kak Artha, Kak Zulaikha, Bang Syahreza, Bang Aan yang selalu meringankan waktu dan membantu penulis dalam penelitian maupun penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran membangun sangat diharapkan untuk penyusunan skripsi yang lebih baik. Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih atas partisipasi dan perhatian pembaca.
Medan, Januari 2019
Listra Sarimunggu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Halaman
PENGESAHAN SKRIPSI i
ABSTRAK ii
ABSTRACT iii
PENGHARGAAN iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 3
1.3 Hipotesis 3
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.5 Manfaat Penelitian 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa Sawit 5
2.2 Penyakit Busuk Pangkal Batang 5 2.3 Pengendalian Ganoderma boninense 7
2.4 Bakteri Diazotrof 8
2.5 Mekanisme Antagonis Mikroorganisme Agen Hayati terhadap Ganoderma boninense
9
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat 10
3.2 Lokasi Pengambilan Sampel 10
3.3 Prosedur Penelitian 10
3.3.1 Isolasi dan Penghitungan Angka Lempeng Total Bakteri
10 3.3.2 Uji Kemampuan Antagonis Bakteri Diazotrof
terhadap Ganoderma boninense
11 3.3.3 Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Bakteri 11 3.3.4 Mekanisme Antagonis Bakteri Diazotrof
Potensial terhadap Ganoderma boninense
11 3.3.4.1 Produksi Senyawa Antijamur 11 3.3.4.2 Produksi Kitinase 12 3.3.4.3 Produksi Glukanase 13 3.3.5 Potensi Bakteri Diazotrof 13 3.3.5.1 Kemampuan Mengikat Nitrogen 13 3.3.5.2 Kemampuan Menghasilkan IAA
(Indole Acetic Acid)
14 3.3.5.3 Pelarut Fosfat 14
vi BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Total Bakteri Diazotrof 16
4.2 Aktivitas Antagonis Bakteri Diazotrof terhadap Ganoderma boninense
17 4.3 Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Bakteri Diazotrof 19 4.4 Mekanisme Antagonis Bakteri Diazotrof 21
4.5 Potensi Bakteri Diazotrof 24
4.6 Aktivitas Antagonis dan Pemacu Pertumbuhan Tanaman Bakteri Diazotrof Terseleksi
26
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 28
5.2 Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Halaman
4.1 Kondisi Humus dan Total Bakteri yang Diisolasi dari Humus Kelapa Sawit dari Perkebunan Universitas Sumatera Utara, PTPN IV Adolina dan Kebun Rakyat Desa Bingkat Umur 24 Jam setelah Inkubasi pada Suhu 28°C
16
4.2 Persentase Hambatan Koloni (Colony Growth Inhibition / CGI%) Bakteri Diazotrof Humus Kelapa Sawit dari Perkebunan Universitas Sumatera Utara, PTPN IV Adolina dan Kebun Rakyat Desa Bingkat pada Media PDA Umur 5 Hari setelah Inkubasi pada Suhu 28°C
18
4.3 Karakteristik Morfologi dan Fisiologi Bakteri Diazotrof Potensial terhadap Ganoderma boninense
20 4.4 Aktivitas Antijamur, Indeks Kitinolitik dan Glukanolitik
Bakteri Diazotrof
22 4.5 Kemampuan Fiksasi N, Produksi IAA, Indeks Pelarut Fosfat 25 4.6 Aktivitas Antagonis dan Pemacu Pertumbuhan Tanaman 27
viii DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Halaman
2.2 Infeksi Busuk Pangkal Batang pada Kelapa Sawit 6
3.2 Lokasi Pengambilan Sampel 10
4.2 Uji dual culture bakteri diazotrof humus kelapa sawit terhadap Ganoderma boninense pada medium PDA umur inkubasi 5 hari pada suhu 28°C.
19
4.4 Gambaran mekanisme antijamur dan glukanolitik bakteri diazotrof
23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Judul Halaman
1 Komposisi Media dan Reagen 35
2 Kurva Standar 37
3 Dokumentasi Penelitian 39
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas penting di Sumatera Utara sebagai penghasil minyak sawit yang mampu meningkatkan pendapatan Indonesia dalam sektor nonmigas (Masykur, 2013). Berbagai upaya dilakukan petani untuk meningkatkan hasil produksi kelapa sawit seperti perluasan area kebun dan intensifikasi pertanian. Perluasan area kebun kelapa sawit sulit untuk dilakukan karena dapat menghadirkan konflik tanah, ancaman ketahanan pangan dan kerusakan ekosistem. Usaha alternatif untuk meningkatkan produksi minyak sawit adalah dengan memperhatikan pengelolaan budidaya kelapa sawit di perkebunan yang sudah ada misalnya dalam hal pemupukan, menggunakan bibit unggul dan pengendalian penyakit kelapa sawit (Sudradjat et al., 2014).
Penyakit umum dan juga sangat merugikan hasil produksi kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Ganoderma boninense.
Ganoderma boninense tidak saja menginfeksi kelapa sawit yang sudah tumbuh melainkan juga saat penanaman kelapa sawit (Susanti, 2014). Infeksi G.boninense dapat menyebabkan kematian kelapa sawit sehingga berdampak pada penurunan hasil panen buah kelapa sawit. Di samping itu industri kelapa sawit dalam memproduksi minyak sawit untuk kegiatan ekspor juga akan mengalami penurunan akibat dampak infeksi G. boninense (Alexander et al., 2014).
Penyakit busuk pangkal batang hingga saat ini menjadi penyakit penting pada perkebunan kelapa sawit. Ganoderma boninense setelah menginfeksi tanaman, akan terus berada di area perkebunan dan mengontaminasi tanaman sejalan dengan semakin seringnya penanaman kelapa sawit (Susanto et al., 2005). Berbagai usaha pengendalian penyakit kelapa sawit pun juga harus terus dilakukan dan ditingkatkan untuk menjaga kesehatan kelapa sawit. Usaha yang dilakukan untuk mengendalikan G. boninense umumnya adalah menggunakan bahan kimia atau fungisida sintetik.
Penggunaan fungisida sintetik memerlukan biaya yang mahal dan pemakaiannya harus dibatasi karena dapat meningkatkan tingkat resistensi patogen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terhadap fungisida, membunuh mikroorganisme nontarget serta mencemari lingkungan hidup (Tambunan et al., 2014). Pengendalian alternatif lainnya adalah memanfaatkan agen hayati. Pengendalian menggunakan agen hayati telah banyak diteliti karena memberikan dampak positif yaitu ramah lingkungan (Wartono et al., 2012). Penelitian Zainudin et al. (2008) memanfaatkan Trichoderma harzianum FA 1132 didapat mampu menekan infeksi G. boninense pada bibit kelapa sawit dengan nilai indeks keparahan (DSI) sebesar 5%. Bakteri kitinolitik TB41 dan AL11 pada penelitian Nildayanti (2011) yang dikombinasikan dengan jamur mikoriza arbuskular mampu menekan pertumbuhan G. boninense yang relatif tinggi sebesar 95%.
Aplikasi bakteri kitinolitik dan cendawan tidak hanya mampu menekan pertumbuhan G. boninense namun juga meningkatkan tinggi tanaman.
Upaya pencarian agen hayati baru yang efektif untuk mengendalikan G.
boninense terus dilakukan. Salah satu agen hayati yang berpotensi dimanfaatkan untuk mengendalikan G. boninense adalah bakteri diazotrof. Bakteri diazotrof merupakan bakteri yang memiliki kemampuan memfiksasi nitrogen dan merubahnya menjadi amonia sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Perez et al., 2014).
Disamping itu, bakteri ini mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman yaitu dengan menghasilkan asam indol asetat (IAA) (Harca, 2015). Bakteri diazotrof diketahui hidup di tanah dalam bentuk simbiosis dan non-simbiosis di akar tanaman untuk proses fiksasi nitrogen dari atmosfer.
Bakteri diazotrof seperti Bacillus spp. dan Pseudomonas spp. dimanfaatkan untuk mengendalikan jamur patogen seperti Rhizoctonia solani (Margani et al.
2018). Produksi siderofor oleh Azotobacter sp. pada penelitian Muthuselvan dan Balagurunathan (2013) telah diteliti memiliki aktivitas antagonisme terhadap Fusarium sp., Alternaria sp., Phytophtora sp., Rhizoctonia sp., Colletotrichum sp.
dan Culvularia sp.
Bakteri diazotrof dapat diisolasi dari tanah area perkebunan kelapa sawit khususnya pada humus. Humus pada perkebunan kelapa sawit yang terbentuk dari pelapukan daun di lahan tersebut dapat dimanfaatkan bakteri sebagai sumber nutrisi.
Penelitian mengenai kemampuan bakteri diazotrof untuk menghambat G. boninense hingga saat ini masih belum banyak diteliti. Oleh sebab itu pada penelitian ini akan dikaji tentang kemampuan isolat bakteri diazotrof yang diisolasi dari humus kelapa
3
sawit dalam menghambat G. boninense sebagai upaya pengendalian hayati penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit dan potensi diazotrofik bakteri bagi tanaman.
1.2 Permasalahan
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas terbesar penghasil minyak yang diekspor oleh Indonesia. Pembudidayaan kelapa sawit hingga saat ini masih terkendala oleh serangan G. boninense. Metode efektif untuk menghentikan persebaran serangan jamur patogen tersebut hingga saat ini masih belum ditemukan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat jamur patogen tersebut adalah dengan memanfaatkan agen biologi yaitu bakteri diazotrof yang diisolasi dari humus kelapa sawit. Penelitian perlu dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah bakteri diazotrof berpotensi dalam menghambat G. boninense serta potensi bakteri diazotrof dalam menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan memproduksi IAA yang bermanfaat bagi pertumbuhan kelapa sawit.
1.3 Hipotesis
Bakteri diazotrof dari humus sekitar kelapa sawit dapat menghambat G.
boninense dengan menghasilkan senyawa antijamur dan enzim hidrolitik serta menghasilkan zat yang mendukung pertumbuhan tanaman seperti menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan menghasilkan IAA.
1.4 Tujuan Penelitian
a. Mendapatkan isolat bakteri diazotrof dari humus kelapa sawit yang berpotensi antagonis terhadap G. boninense.
b. Mengetahui mekanisme penghambatan isolat bakteri diazotrof terhadap G.
boninense.
c. Mengetahui kemampuan isolat bakteri diazotrof dalam menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan menghasilkan IAA.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.5 Manfaat Penelitian
Bakteri diazotrof dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit yang disebabkan oleh G. boninense dan juga sebagai agen plant growth promoting.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan palma dan banyak tumbuh di daerah tropis.
Tanaman ini berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Kelapa sawit adalah komoditas perkebunan paling dominan di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sebagai penghasil minyak sawit (Hartono et al., 2014).
Perkebunan kelapa sawit pertama di Sumatera adalah pada tahun 1911 dengan menggunakan pohon palem Deli (Deli palm). Pohon deli memiliki kandungan minyak sawit yang baik serta memiliki mesokarp besar (Corley and Tinker, 2003).
Varietas kelapa sawit berdasarkan ketebalan tempurung buah dapat dibedakan menjadi dura, pisifera dan tenera. Dura memiliki tempurung buah yang tebal sedangkan pisifera tidak memilki tempurung buah. Tenera memiliki tempurung yang tipis dengan mesokarp yang mengandung minyak sawit tinggi (Murugesan et al., 2008). Varietas bibit kelapa sawit di Indonesia pada umumnya adalah jenis dura baik dalam bentuk persilangan dura atau persilangan pisifera (Tasma dan Arumsari, 2013).
Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak sawit setelah Malaysia. Minyak sawit diekspor ke berbagai negara seperti Jepang, Hongkong, Korea, Singapura dan lain-lain dengan harga pasar dunia per tahun 2015 rata-rata tertinggi sebesar US$ 604 (Dirjenbun, 2016). Upaya perawatan pohon kelapa sawit dalam menghasilkan minyak sawit berkualitas harus dijaga. Salah satunya adalah pencegahan dan pemulihan tanaman akibat serangan patogen. Diagnosa dan pencegahan penyakit pada kelapa sawit hingga saat ini masih sulit ditangani (Corley and Tinker, 2003). Serangan penyakit pada kelapa sawit dapat diakibatkan oleh hama dan jamur patogen.
2.2 Penyakit Busuk Pangkal Batang
Salah satu kendala di perkebunan kelapa sawit adalah serangan G. boninense yang menyebabkan penyakit busuk pangkal batang. Beberapa kurun tahun yang lalu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ganoderma dianggap sebagai patogen yang menginfeksi pohon kelapa sawit tua sehingga tidak berpengaruh terhadap nilai ekonomi karena dapat dilakukan tanam ulang (Corley and Tinker, 2003). Penelitian saat ini menyatakan bahwa serangan G.
boninense dapat cepat menyerang kelapa sawit sejak tahap awal pembibitan hingga tahap produksi (Alviodinasyariet al., 2015) dan hal ini akan menyebabkan kerugian bagi petani perkebunan kelapa sawit.
Kelapa sawit yang terserang penyakit busuk pangkal batang dapat diketahui dari mahkota pohon. Daun pada kelapa sawit banyak yang belum membuka dibandingkan dengan kelapa sawit normal. Di samping itu, daun akan menjadi tua, layu, patah pada pelepah dan menggantung di sekitar batang. Pangkal batang sudah membusuk disaat gejala pada daun mulai tampak dan dapat menyebabkan kelapa sawit mati (Semangun, 2008).
Ganoderma boninense merusak xilem di batang kelapa sawit dengan cara melisiskan lignin dinding sel kelapa sawit yang dimanfaatkan sebagai sumber makanannya. Hal tersebut mengganggu proses distribusi air dan nutrisi yang dibutuhkan oleh kelapa sawit sehingga memunculkan gejala spesifik seperti pada daun yaitu menguning, nekrotik, tidak membukanya daun, kanopi yang kecil, serta mahkota yang melebar (Liaghat et al., 2014).
Gambar 2.2 Infeksi Busuk Pangkal Batang pada Kelapa Sawit. (A) Tubuh buah G.
boninense, (B) Kelapa sawit yang terserang penyakit busuk pangkal batang dan (C) Batang kelapa sawit yang terserang penyakit busuk pangkal batang. Sumber: http://www.apsnet.org
Gejala yang muncul pada tahap lanjut infeksi G. boninense sangat menyulitkan untuk dilakukan deteksi dini serangan patogen pada kelapa sawit.
Kelapa sawit yang terinfeksi oleh G. boninense dapat dideteksi secara visual pada perkebunan kelapa sawit dengan ditemukan adanya lesi dan kehadiran tubuh buah jamur pada batang kelapa sawit (Liaghat et al., 2014).
7
2.3 Pengendalian Ganoderma boninense
Upaya untuk mengatasi infeksi dari G. boninense dilakukan secara fisik, kimia maupun biologis. Pengendalian secara kimia menggunakan pestisida sintetik dilaporkan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, alternatif pengendalian G.
boninense secara fisik dan biologis semakin ditingkatkan. Priwiratama et al. (2014) melakukan teknik pengendalian patogen secara kultur teknis menggunaan sistem hole in hole. Penerapan sistem hole in hole dilakukan di kebun kelapa sawit Teluk Dalam, Sumatera Utara mampu mengurangi tingkat serangan G. boninense dari awal penanaman kelapa sawit hingga 7 tahun setelah penanaman dibandingkan dengan penanaman dengan lubang tanam standar. Jangkauan akar kelapa sawit dengan sistem hole in hole mencapai 3,01 m yang terpusat di dalam lubang tanam sehingga memperkecil peluang adanya kontak dengan inokulum.
Pemanfaatan agen biologis dalam mengendalikan G. boninense juga telah diteliti. Potensi Trichoderma spp. telah diteliti kemampuan antagonis terhadap G.
boninense secara in vitro. Penelitian Afandi et al. (2017) mendapatkan tujuh isolat Trichoderma spp. yang memiliki sifat antagonis terhadap G. boninense pada media Potato Dextrose Agar (PDA) yaitu Trichoderma citrinoviridae (79,21%), T.
harzianum (78,78%), T. virens (77,05%), T. atroviridae (76,18%), T. viridae 2(74,02%), T. harzianum 1 (72,29%) dan T. viridae 1 (64,93%). Mekanisme antagonis Trichoderma spp. adalah dengan dihasilkan metabolit sekunder yang dapat menghambat perkecambahan spora patogen. Beberapa metabolit sekunder dari Trichoderma spp. adalah harzianolide, viridin dan gliotoksin sehingga pemanfaatan Trichoderma spp. dapat dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan penghambatan G. boninense.
Pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai pengendali G. boninense juga telah diteliti dalam laboratorium. Penelitian Wibowo et al. (2017) mengemukakan bahwa bakteri kitinolitik yang diisolasi dari perkebunan kelapa sawit Jambi didapatkan 3 galur bakteri kitinolitik TB04-05, SW01-11 dan SW02-08. Galur TB04-05 berkerabat dekat dengan Bacillus cereus dan galur SW01-11 serta SW02-08 berkerabat dekat dengan B. thuringiensis. Mekanisme penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya zona bening disekitar bakteri. Hal ini diduga terjadi hidrolisis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kitin yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik sehingga miselium G. boninense tidak mendekati koloni bakteri.
2.4 Bakteri Diazotrof
Bakteri diazotrof adalah bakteri yang dapat menambat nitrogen dari atmosfer karena bakteri ini memiliki enzim spesifik yaitu nitrogenase (Hartono dan Jumadi, 2014). Bakteri penambat nitrogen hidup bebas yang digunakan sebagai inokulan adalah Azotobacter, Beijerinckia, Azospirillum, dan bakteri endofitik diazotrof lainnya. Bakteri penambat nitrogen dapat diaplikasikan melalui tanah dan dibuat formulasi untuk disemprotkan pada tanaman sehingga pemanfaatan bakteri penambat nitrogen tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen. Upaya mencapai tujuan petani untuk lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam penggunaan pupuk dapat menggunakan bakteri penambat nitrogen sebagai biofertilizer (Antralina et al., 2015).
Bakteri diazotrof dapat diisolasi dari kompos. Emmyrafedziawati dan Stella (2018) mengemukakan bahwa bakteri diazotrof asal kompos yang berhasil diidentifikasi adalah berasal dari kelompok basil yaitu Bacillus, Lysinibacillus dan Klebsiella. Media isolasi bakteri diazotrof adalah media Beijerinckia, Derxia dan Ashby’s. Kepadatan bakteri diazotrof dengan kode NC2, NC4, NC10 dan NC11 pada media tersebut didapat tinggi dalam waktu yang singkat. Pertumbuhan optimal dicapai dalam waktu 48 jam (Stella dan Suhaimi, 2010).
Kemampuan bakteri diazotrof juga telah diteliti mampu mensintensis IAA seperti pada penelitian Tien et al. (1979) telah melaporkan penelitiannya tentang kemampuan Azospirillum dalam mensintesis IAA dapat memodifikasi perkembangan akar dan proses pertumbuhan tanaman inang. IAA merupakan auksin alami pada tumbuhan yang berperan dalam pemanjangan batang, pembentukan akar, berfungsi dalam fototropisme dan lain-lain (Campbell et al., 2012). IAA memegang peranan penting sebagai pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman. Mikroba yang mampu menghasilkan IAA dapat meningkatkan pertumbuhan dan perpanjangan akar sehingga permukaan akar menjadi lebih luas dan akhirnya tanaman mampu menyerap nutrisi dari dalam tanah lebih banyak (Boiero et al.,2007).
9
2.5 Mekanisme Antagonis Mikroorganisme Agen Hayati terhadap Ganoderma boninense
Mekanisme antagonisme dapat meliputi persaingan untuk nutrisi atau ruang, inaktivasi enzim patogen dan parasitisme serta mencakup semua aspek yang menghasilkan perubahan morfologi dan biokimia pada tanaman inang (Viterbo et al., 2002). Terdegradasinya komponen dinding sel jamur patogen berupa kitin dan β-1,3 glukan dapat menyebabkan jamur patogen menjadi lemah dan mati sehingga adanya kitinase dan β-1,3-glukanase pada bakteri antagonis merupakan faktor penting dalam mendegradasi dinding sel jamur patogen. Kitinase yang dihasilkan oleh bakteri jika terdapat senyawa kitin sebagai indusernya. Hasil degradasi kitin berupa senyawa N- asetil-D-glukosamin akan digunakan bakteri sebagai sumber nutrisi sehingga bakteri tumbuh lebih cepat dan pada pengamatan akan menutupi zona bening yang terbentuk (Ferniah et al., 2011).
Aktivitas kitinase antagonis terhadap G. boninense dapat dihasilkan juga oleh tanaman seperti pada penelitian Yurnaliza et al. (2017). Produksi kitinase oleh kelapa sawit diketahui dapat diinduksi dengan adanya kehadiran jamur dan komponen dinding sel jamur. Kelapa sawit yang terinfeksi jamur patogen dapat menurunkan komponen dinding sel sebagai bentuk patogenesis. Planlet kelapa sawit yang diinokulasi dengan jamur dan suspensi dinding sel jamur berhasil menginduksi aktivitas kitinase dibandingkan kontrol (Yurnaliza et al. 2017).
Kemampuan senyawa antijamur yang dihasilkan bakteri endofit asal akar kelapa sawit diteliti mampu menghambat G. boninense (Widiantini et al., 2018).
Ekstraksi senyawa antijamur pada penelitian Widiantini et al. (2018) diuapkan dengan metanol. Penghambatan pertumbuhan koloni G. boninense didapatkan sebesar 22,89% oleh senyawa antijamur yang berasal dari isolat bakteri BEK 6.
Senyawa antijamur dapat menyebabkan perubahan morfologi miselium G. boninense yang diamati secara makroskopis seperti miselium mengkeriting, melengkung dan menipis. Alexander et al. (2017) mengemukakan bahwa senyawa antimikroba yang mampu menghambat G. boninense telah diidentifikasi adalah pyrene-1,6-dione, 12- deoxyal anonic acid, N-methyl-a-aminoisobutyric acid, halstoctacosanolide A, N- acetyl-leu-leu-tyr-amide, Gly-Met-OH dan lovastatin.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada Februari sampai dengan Oktober 2018 di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
3.2 Lokasi Pengambilan Sampel
Humus kelapa sawit sebanyak 250 gram masing-masing diperoleh dari 3 lokasi yaitu lahan Universitas Sumatera Utara, perkebunan kelapa sawit di desa Bingkat, Serdang Bedagai dan PT. Perkebunan Nusantara IV Adolina Dusun 1 Tanjung Putus (Gambar 3.2). Ganoderma boninense diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.
Gambar 3.2 Lokasi Pengambilan Sampel. (A) Universitas Sumatera Utara, (B) PTPN IV Adolina, (C) kebun rakyat desa Bingkat
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Isolasi dan Penghitungan Angka Lempeng Total Bakteri
Sebanyak 10 g humus yang diperoleh dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit, masing-masing dimasukkan ke dalam Erlenmeyer ukuran 250 mL (Pyrex) dan ditambahkan akuades hingga mencapai volume 100 mL dan dihomogenkan dengan orbital shaker (BioSanPSU-20i) selama 1 jam pada kecepatan 120 rpm. Sebanyak 1 mL suspensi humus dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL akuades steril.
Pengenceran dilakukan secara serial hingga pengenceran 10-3 kali. Sebanyak 0,1 mL suspensi hasil pengenceran terakhir masing-masing disebar di cawan
11
yang berisi medium Ashby’s Agar (Lampiran 1) serta pada medium Nutrient Agar (Merck®). Kultur bakteri diinkubasi pada suhu 28°C selama 3-7 hari. Koloni bakteri yang tumbuh pada masing-masing media dihitung dan dimurnikan.
3.3.2 Uji Kemampuan Antagonis Bakteri Diazotrof terhadap Ganoderma boninese
Kemampuan antagonis bakteri diazotrof terhadap G. boninense diujikan pada medium Potato Dextrose Agar (Merck®). Ganoderma boninense yang diperoleh dari koleksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan yang ditumbuhkan di tengah cawan Petri yang berisi medium PDA. Pada bagian sisi kiri dan kanan koloni jamur diinokulasikan bakteri diazotrof dengan masing-masing jarak 3 cm dari titik tengah cawan Petri.
Kontrol adalah bagian sisi pertumbuhan bakteri yang tidak diinokulasi bakteri. Kultur uji bakteri dan jamur diinkubasi pada suhu 28°C selama 5 hari.
Hambatan pertumbuhan miselium jamur yang terbentuk pada sisi yang berhadapan dengan jamur uji terhadap kontrol dihitung persentase hambatan koloni (colony growth inhibition / %CGI) dengan rumus (Yurnaliza et al., 2014):
% Colony Growth Inhibition : R1-R2
R1 x 100%
R1 : jari-jari koloni jamur patogen ke arah kontrol R2 : jari-jari koloni jamur patogen arah bakteri antagonis
3.3.3 Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Bakteri
Karakterisasi secara morfologi meliputi pengamatan bentuk, warna, tepi, elevasi koloni dan bentuk sel, sedangkan secara fisiologi meliputi pewarnaan Gram dan uji biokimia sederhana seperti uji motilitas, uji katalase dan uji sitrat.
3.3.4 Mekanisme Antagonis Bakteri Diazotrof Potensial terhadap Ganoderma boninense
3.3.4.1 Produksi Senyawa Antijamur
Senyawa antijamur dari bakteri diazotrof diproduksi menggunakan medium PDA dan Potato Dextrose Broth (Himedia). Produksi senyawa antijamur di medium PDA dilakukan dengan menumbuhkan bakteri dengan cara digores dan diinkubasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pada suhu 28°C selama 5 hari. Medium PDA selanjutnya dipotong-potong membentuk dadu menggunakan spatula steril kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer ukuran 100 mL (Pyrex) dan ditambahkan metanol 40 mL dan diguncang menggunakan orbital shaker pada kecepatan 120 rpm selama 1 jam. Larutan ekstraksi dipisahkan dengan padatan agar dengan cara disaring dan selanjutnya disentrifus kecepatan 10.000×g suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan kemudian diuapkan sampai kering dan disimpan di dalam botol vial sebelum digunakan untuk tahap selanjutnya.
Isolasi senyawa antijamur pada medium PDB menggunakan pelarut etil asetat. Produksi senyawa antijamur oleh bakteri dilakukan dengan menumbuhkan bakteri di medium PDB. Medium PDB selanjutnya diinkubasi di orbital shaker pada kecepatan 100 rpm suhu 28°C selama 5 hari. Medium PDB ditambahkan etil asetat 10 mL lalu diguncang hingga terbentuk fraksi bagian atas. Larutan ekstraksi yang terpisah di bagian atas diambil menggunakan mikropipet dan diuapkan sampai kering kemudian disimpan di dalam botol vial sebelum digunakan untuk tahap selanjutnya.
Ekstrak metanol dan etil asetat dilarutkan dengan dimetil sulfoksida (DMSO) sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100%. Ekstrak metanol dan etil asetat sebanyak 30 µL diteteskan pada kertas cakram steril (Oxoid) dan ditempatkan miselium jamur dengan jarak 0,5 cm dari pinggir miselium. Kontrol dibuat dengan kertas cakram yang hanya berisi DMSO. Hambatan miselium dicatat dan dihitung dengan rumus (Yurnaliza et al., 2014):
% Colony Growth Inhibition : R1-R2
R1 x 100%
R1 : jari-jari koloni jamur patogen ke arah kontrol R2 : jari-jari koloni jamur patogen arah bakteri antagonis
3.3.4.2 Produksi Kitinase
Sebanyak 1 ose bakteri diazotrof ditotolkan secara steril pada medium kitin agar (Lampiran 1) dan diinkubasi pada suhu 28°C selama 5 hari. Cawan Petri berisi medium kitin agar dibagi menjadi empat kuadran lalu masing-masing bakteri diinokulasi dengan ose pada masing-masing kuadran. Kemampuan kitinolitik bakteri ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri. Indeks kitinolitik
13
diperoleh dengan membandingkan diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter koloni.
3.3.4.3 Produksi Glukanase
Sebanyak 1 ose bakteri yang akan diuji kemampuan glukanolitik diinokulasi pada medium glukan agar (Lampiran 1) yang mengandung laminarin 1% dan diinkubasi pada suhu 28°C selama 48 jam. Zona bening disekitar koloni dari aktivitas glukanolitik bakteri diamati setelah medium diteteskan pewarna congo red 0,1% dan NaCl 1M. Pewarna congo red 0,1% diteteskan sebanyak 1 tetes dan diinkubasi selama 5 menit di ruang gelap. Warna bening terlihat setelah permukaan medium dibilas dengan NaCl 1M. Indeks glukanolitik dihitung dengan rumus (Dewi, 2015):
Indeks glukanolitik : A-B
B
A : diameter zona bening B : diameter koloni bakteri
3.3.5 Potensi Bakteri Diazotrof
3.3.5.1 Kemampuan Mengikat Nitrogen
Kemampuan bakteri potensial dalam mengikat nitrogen secara kualitatif dilihat dari terbentuknya pelikel pada medium Ashby’s semi padat (Lampiran 1).
Sebanyak 1 ose bakteri diinokulasikan pada 10 mL medium Ashby’s semi padat.
Kultur bakteri diinkubasi pada suhu 28°C selama 10 hari. Tebal pelikel yang terbentuk pada permukaan medium bagian bawah diamati dan diukur.
Secara kuantitatif kemampuan menambat N bakteri diazotrof ditentukan dengan mengukur kadar amonium yang dibebaskan bakteri ke medium pertumbuhan.
Sebanyak 0,5 mL bakteri standar Mc Farland (108 CFU/mL) (Lampiran 1) ditumbuhkan pada 5 mL medium Ashby’s Broth (Lampiran 1). Kultur bakteri diguncang dengan orbital shaker kecepatan 120 rpm pada suhu 28°C selama 48 jam.
Cairan kultur disentrifugasi pada kecepatan 10.000× g pada suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan sebanyak 3 mL ditambahkan reagen Nessler (Merck®) sebanyak 0,13 mL dan diinkubasi pada suhu 28°C selama 30 menit. Absorbansi dari perubahan warna yang terbentuk diukur menggunakan spektrofotometer panjang gelombang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
435 nm. Hasil pengukuran absorbansi dibandingkan dengan kurva standar nitrogen (Hartono et al., 2009).
Konsentrasi amonium sampel diperoleh dari hasil kalibrasi persamaan regresi dari kurva standar amonium. Konsentrasi amonium standar yang digunakan adalah 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. Sebanyak 3 mL larutan NH4Cl pada masing-masing konsentrasi ditambahkan reagen Nessler sebanyak 0,13 mL dan diinkubasi pada suhu 28°C selama 30 menit. Nilai absorbansi dari perubahan warna amonium diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 435 nm (Lampiran 2).
3.3.5.2 Kemampuan Menghasilkan IAA
Kemampuan bakteri potensial dalam menghasilkan IAA dilakukan dengan mengukur kadar IAA yang dihasilkan bakteri ke medium pertumbuhan. Sebanyak 0,5 mL bakteri standar Mc Farland (108 CFU/mL) ditumbuhkan pada 5 mL medium Ashby’s Broth (Lampiran 1) yang diperkaya triptopan 0,1%. Kultur bakteri diguncang dengan orbital shaker kecepatan 120 rpm pada suhu 28°C selama 48 jam.
Cairan kultur disentrifugasi pada kecepatan 10.000× g pada suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan sebanyak 0,5 mL ditambahkan reagen Salkowski (Lampiran 1) sebanyak 2 mL dan diinkubasi di ruang gelap selama 20 menit. Nilai absorbansi IAA diukur menggunakan spektrofotometer panjang gelombang 535 nm. Hasil pengukuran absorbansi dibandingkan dengan kurva standar IAA.
Kadar IAA sampel diperoleh dari hasil kalibrasi dari persamaan regresi kurva standar IAA. Konsentrasi IAA yang digunakan dalam pembuatan kurva standar adalah 0, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 ppm. Sebanyak 0,5 mL larutan IAA dari masing-masing konsentrasi ditambahkan reagen Salkowski sebanyak 2 mL dan diinkubasi di ruang gelap selama 20 menit. Nilai absorbansi dari perubahan warna IAA murni diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 535 nm (Lampiran 2).
3.3.5.3 Pelarut Fosfat
Sebanyak 1 ose bakteri diazotrof diinokulasi pada medium Pikovskaya Agar dan diinkubasi pada suhu 28°C selama 5 hari. Cawan Petri berisi medium Pikovskaya Agar dibagi menjadi empat kuadran lalu masing-masing bakteri
15
diinokulasi dengan ose pada masing-masing kuadran. Kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat ditandai dengan adanya zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri. Indeks pelarutan fosfat dihitung dengan rumus (Alam et al., 2002):
Indeks Pelarutan Fosfat : diameter koloni+diameter zona bening diameter koloni
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Total Bakteri Diazotrof
Total populasi bakteri dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit menunjukkan hasil yang berbeda (Tabel 4.1). Perbedaan ini juga disebabkan karena perbedaan medium isolasi yang digunakan. Bakteri yang tumbuh pada medium NA secara umum jumlahnya lebih banyak daripada yang tumbuh di media Ashby’s Agar (media selektif untuk bakteri diazotrof) (Lampiran 3). Humus dari kebun kelapa sawit USU memiliki total koloni bakteri terbanyak pada media NA, namun paling sedikit pada media Ashby’s Agar. Koloni bakteri diazotrof terbanyak terdapat pada humus kebun rakyat desa Bingkat.
Tabel 4.1 Kondisi Humus dan Total Bakteri yang Diisolasi dari Humus Kelapa Sawit dari Perkebunan Universitas Sumatera Utara, PTPN IV Adolina dan Kebun Rakyat Desa Bingkat Umur 24 jam setelah Inkubasi pada Suhu 28°C.
No. Lokasi Kebun Kelapa Sawit
Kondisi Humus Total Bakteri (CFU/mL) di media
pH Suhu
(˚C)
NA Ashby’s
Agar 1. Universitas Sumatera
Utara
5,6 28 1,345 × 106 9,9 × 103 2. PTPN IV Adolina 6,6 29 6,25× 105 7,6 × 104 3. Kebun rakyat desa
Bingkat
5,3 28 8,15 × 105 1,275 × 106
Kondisi lahan Universitas Sumatera Utara memiliki faktor yang baik untuk keberadaan bakteri tanah dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Lahan USU dimungkinkan belum ada pengaruh aktivitas manusia seperti pemberian pestisida ataupun perawatan yang intensif seperti kedua lokasi lainnya sehingga total koloni bakteri di lahan USU melimpah. Irfan (2014) menyatakan bahwa total koloni bakteri di permukaan tanah memiliki populasi mikroba yang cukup tinggi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan tanah tersebut memenuhi kebutuhan pertumbuhan bakteri.
Total koloni bakteri di lahan Universitas Sumatera Utara masih jauh lebih tinggi
17
dibandingkan penelitian Irfan (2014) mendapatkan total koloni bakteri di permukaan tanah lahan kelapa sawit sebanyak 1,16 x 105 CFU. Perbedaan total koloni bakteri dari setiap lokasi dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu, pH dan ketersediaan bahan organik. pH lingkungan setiap lokasi tanah humus dikategorikan dalam keadaan asam. Asam pada tanah dapat dipengaruhi oleh aktivitas bakteri yang mampu menghasilkan asam sehingga dimungkinkan bakteri yang ada di tanah lokasi pengambilan sampel didominasi jenis bakteri yang tahan di kondisi lingkungan asam.
pH tanah juga berkaitan dengan ketersediaan nutrisi dan sebagai faktor pembatas untuk kelangsungan hidup koloni bakteri (Santoyo et al., 2015).
Faktor lain yang mempengaruhi total bakteri adalah pengelolaan lahan kelapa sawit. Pengelolaan lahan kelapa sawit seperti pemberian pupuk dan pestisida sintetik kemungkinan akan mencemari tanah sehingga mengganggu kehidupan bakteri di tanah. Menurut Marinkovic et al. (2012), pengelolaan tanah seperti pemberian pupuk, jenis dan dosis pupuk yang dipakai serta penggunaan pestisida mempengaruhi populasi bakteri di tanah. Pengelolaan lahan kelapa sawit di lahan desa Bingkat umumnya dilakukan tidak intensif seperti pada lahan komersial PTPN IV Adolina.
Perbedaan jenis pupuk di dua lokasi tersebut diduga dapat mempengaruhi total bakteri diazotrof. Lahan kelapa sawit di kebun rakyat desa Bingkat diketahui ada pemberian pupuk dengan dosis yang tidak menentu. Hasil isolasi diperoleh total koloni bakteri diazotrof di kebun rakyat didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Total koloni bakteri diazotrof di kebun rakyat juga didapatkan jauh lebih tinggi dibandingan total koloni bakteri umum di media NA.
Pemberian pupuk tersebut diduga mampu meningkatkan populasi bakteri diazotrof. Menurut Antralina et al. (2015) pupuk hayati dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bakteri dalam tanah. Penelitian Antralina et al. (2015) mendapat total koloni bakteri diazotrof yang tinggi dengan adanya pemberian pupuk hayati di tanah dengan konsentrasi 8 cc/L air.
4.2 Aktivitas Antagonis Bakteri Diazotrof terhadap Ganoderma boninense Bakteri diazotrof dari tiga lokasi dipilih pada media Ashby’s Agar masing- masing sebanyak 30 isolat berdasarkan perbedaan morfologi koloni untuk uji antagonis. Hasil antagonis dari 90 isolat bakteri diazotrof menunjukkan hanya 16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
isolat yang memiliki kemampuan antagonis terhadap G. boninense (Tabel 4.2). Total dari 16 isolat tersebut, sebanyak 9 isolat berasal dari humus PT. Perkebunan Nusantara IV, 6 isolat berasal dari kebun sawit Universitas Sumatera Utara dan 1 isolat berasal dari kebun sawit rakyat desa Bingkat. Kemampuan penghambatan 16 isolat bakteri tersebut bervariasi dalam kisaran 10,7-55,5%.
Tabel 4.2 Persentase Hambatan Koloni (Colony Growth Inhibition / CGI%) Bakteri Diazotrof Humus Kelapa Sawit dari Perkebunan Universitas Sumatera Utara, PTPN IV Adolina dan Kebun Rakyat Desa Bingkat pada Media PDA Umur 5 Hari setelah Inkubasi pada Suhu 28°C.
No. Kode Isolat CGI (%)
1. TU 1 51,1
2. TU 9 55,5
3. TU 17 44,4
4. TU 22 44,4
5. TU 36 44,4
6. TU 38 46,6
7. TK j 16,0
8. TP 1 32,0
9. TP 6 50,0
10. TP 13 16,6
11. TP 14 16,6
12. TP 16 10,7
13. TP 21 31,4
14. TP 29 43,3
15. TP 30 41,1
16. TP 40 17,2
Keterangan : TU : Tanah USU, TK : Tanah Kebun Rakyat, TP : Tanah PTPN IV.
Isolat TU 9 memiliki kemampuan hambat tertinggi yaitu sebesar 55,5%
sedangkan terendah adalah isolat TP 16 dengan persentasi hambatan sebesar 10,7%.
Kemampuan penghambatan bakteri diazotrof ini cukup tinggi terhadap G. boninense, meskipun Azizah et al. (2015) telah melaporkan bahwa ada bakteri yang mampu menghambat G. bonninense dengan persentasi hambatan lebih besar yaitu 68,19%.
Uji dual culture menunjukkan bahwa koloni jamur yang tumbuh ke arah bakteri diazotrof terlihat berhenti pertumbuhan miselium patogen jika dibandingkan dengan uji tanpa adanya bakteri diazotrof (Gambar 4.2 A dan B).
Respon bakteri diazotrof dalam menghambat G. boninense dimungkinan sebagai bentuk pertahanan ruang dan kompetisi nutrisi. Besar kecilnya hambatan
19
yang terbentuk sangat berhubungan dengan mekanisme bakteri diazotrof misalnya menghasilkan senyawa yang bersifat antijamur. Uji dual culture pada penelitian Palanna et al. (2017) antara B. subtilis dengan isolat Ganoderma menghasilkan hambatan miselium sebesar 59,27%. Bacillus subtilis mampu menghambat Ganoderma dengan memproduksi metabolit sekunder berupa senyawa volatil yang bersifat antijamur. Menurut Zou et al. (2007), sebanyak 328 isolat bakteri yang diisolasi dari tanah mampu menghasilkan senyawa volatil yang dapat menghambat perkembangan spora dan pertumbuhan miselium jamur patogen.
Gambar 4.2 Uji dual culture bakteri diazotrof humus kelapa sawit terhadap Ganoderma boninense pada medium PDA umur inkubasi 5 hari pada suhu 28°C. Isolat bakteri (A) TU 9 dan (B) TP 6.
4.3 Karakteristik Morfologi dan Fisiologi Bakteri Diazotrof
Karakteristik morfologi dan fisiologi terhadap 16 isolat bakteri diazotrof terseleksi menunjukkan hasil yang bervariasi baik morfologi, sifat Gram dan biokimia (Tabel 4.3). Bentuk koloni secara morfologi didominasi oleh bentuk circular dengan tepi entire namun permukaan dan warna koloni bervariasi.
Karakterisasi bakteri diazotrof penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Liu et al. (2014) yang memperoleh 18 isolat bakteri dari tanah lahan kelapa sawit Lepar Hilir. Sebanyak 2 isolat memiliki bentuk kokus dan warna koloni bervariasi dari putih hingga coklat.
Pewarnaan Gram bakteri diazotrof menentukan kelompok bakteri diazotrof berdasarkan struktur dan komposisi dinding sel. Bakteri diazotrof didominasi oleh kelompok Gram negatif. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Penelitian Liu et al.
(2014) mendapatkan seluruh bakteri tanah lahan kelapa sawit termasuk kelompok bakteri Gram negatif. Menurut Serrato (2014), lipopolisakarida pada dinding sel
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bakteri Gram negatif merupakan salah satu molekul yang dimanfaatkan bakteri diazotrof sebagai komunikasi bakteri diazotrof terhadap inang tanaman.
Tabel 4.3 Karakteristik Morfologi dan Fisiologi Bakteri Diazotrof Potensial terhadap Ganoderma boninense
Keterangan: TU : Tanah USU, TK : Tanah Kebun Rakyat, TP : Tanah PTPN IV.
Pathania et al. (2014) menyatakan bahwa kelimpahan bakteri diazotrof Gram negatif di tanah dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan bakteri. Beberapa genus bakteri diazotrof yang dapat ditemukan di tanah seperti Pseudomonas sp., Azotobacter sp. (Pathania et al., 2014, Prayudyaningsih et al., 2015), Bacillus sp. (Naher et al., 2013), Azospirillum sp.
(Suliasih dan Widawati, 2005) dan Burkholeria sp. (Prakash et al., 2014). Isolat TU 9 memiliki hasil karakterisasi bentuk sel dan pewarnaan Gram serta biokimia yang sama dengan isolat DA pada penelitian Nursyirwani dan Amolle (2007). Sekuen isolat DA telah dibandingkan dengan BLAST Database memiliki kemiripan dengan Burkholderia cepacia. Kemungkinan isolat TU 9 memiliki kemiripan dengan Burkholderia cepacia namun perlu diidentifikasi secara genetik untuk hasil identifikasi yang lebih tepat. Hasil uji katalase beberapa bakteri diazotrof menunjukkan hasil positif. Positif katalase ditandai dengan terbentuknya
No. Kode Isolat
Gram Bentuk Sel
Morfologi Koloni
Katalase Sitrat Motilitas
Bentuk Tepi Elevasi Warna
1. TU 1 - Batang Circular Entire Raised Kuning + + +
2. TU 9 - Batang Circular Entire Flat Putih + + +
3. TU 17 - Batang Circular Entire Raised Kuning + + +
4. TU 22 - Kokus Circular Entire Flat Kuning - - -
5. TU 36 - Kokus Circular Entire Flat Putih - - +
6. TU 38 - Kokus Circular Entire Flat Putih + + +
7. TK j + Kokus Circular Entire Raised Putih
kekuningan
- + -
8. TP 1 + Kokus Irregular Lobate Raised Merah - + +
9. TP 6 + Batang Filamentous Undulate Flat Putih + - +
10. TP 13 - Kokus Circular Entire Raised Putih - - -
11. TP 14 - Kokus Circular Entire Raised Putih - - +
12. TP 16 - Kokus Circular Entire Flat Putih - - -
13. TP 21 - Batang Circular Entire Raised Kuning kecoklatan
+ + +
14. TP 29 - Batang Circular Entire Flat Putih + + +
15. TP 30 + Kokus Rhizoid Entire Flat Putih + - +
16. TP 40 + Kokus Irregular Lobate Raised Putih - + -
21
terbentuknya gelembung gas oksigen setelah diteteskan H2O2 3% (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri mampu menghasilkan katalase yang dapat menguraikan radikal oksigen beracun atau H2O2 menjadi H2O dan O2.
Hasil uji sitrat dari 16 isolat bakteri, sebanyak 9 isolat bakteri diazotrof menunjukkan hasil positif. Hasil uji positif sitrat ditandai dengan perubahan warna medium Simon Citrate Agar dari hijau menjadi biru (Lampiran 3). Bakteri diazotrof diduga mampu memanfaatkan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Menurut Erlindawati et al. (2015), sitrat dimanfaatkan bakteri sebagai sumber karbon jika tidak terdapat sumber karbohidrat di medium. Uji motilitas bakteri diazotrof didominasi bersifat motil. Uji positif ditandai dengan isolat bakteri yang menyebar di sekitar daerah tusukan isolat pada media yang disebabkan oleh adanya flagel (Lampiran 3) (Djamaan et al., 2016). Bakteri diazotrof yang bersifat motil akan memiliki mobilitas yang tinggi di dalam tanah (Pambudi et al., 2016).
4.4 Mekanisme Antagonis Bakteri Diazotrof
Mekanisme antagonis bakteri diazotrof dalam menghambat G. boninense kemungkinan karena senyawa antijamur dan enzim lisis yang dihasilkan bakteri diazotrof (Tabel 4.4). Pada pengujian aktivitas penghambatan oleh senyawa antijamur ekstrak metanol dan etil asetat serta kemampuan bakteri menghasilkan enzim kitinase dan glukanase menunjukkan beberapa bakteri memiliki ketiga atau salah satu mekanisme tersebut. Namun, terdapat 2 isolat bakteri yang tidak menunjukkan salah satu dari ketiga mekanisme antagonis yang diuji yaitu isolat TU 22 dan TP 13. Secara dual culture, kedua bakteri tersebut menunjukkan hambatan pertumbuhan terhadap G. boninense. Kemungkinan kedua isolat bakteri tersebut menghasilkan senyawa atau mekanisme lain dalam menghambat G. boninense seperti menghasilkan siderofor (Chrisnawati et al., 2017) atau enzim lisis lain seperti protease (Illakkiam et al., 2013).
Senyawa antijamur yang terdapat pada ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat bakteri diazotrof menghasilkan tingkat penghambatan yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan G. boninense. Tingkat penghambatan yang berbeda kemungkinan karena perbedaan jenis dan kadar senyawa antijamur yang dihasilkan oleh bakteri diazotrof berbeda. Menurut Dharmawan et al. (2009), setiap bakteri menghasilkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
metabolit sekunder senyawa antijamur akan ada perbedaan dalam hal komposisi dan konsentrasi antijamur.
Pelarut metanol dan etil asetat digunakan untuk mengekstrak senyawa antijamur berdasarkan sifat polaritas. Metanol merupakan pelarut bersifat polar sedangkan etil asetat adalah pelarut yang bersifat semi polar. Hambatan senyawa antijamur tertinggi didapatkan dari ekstrak metanol oleh isolat TU 1 sebesar 36,0%
(Gambar 4.4 A). Isolat TU 1 kemungkinan memiliki senyawa antijamur yang lebih bersifat polar dibandingkan semi polar pada ekstrak etil asetat. Menurut Lestari et al.
(2017), perbedaan efektifitas ekstrak dalam menghambat mikroba uji kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kelarutan senyawa aktif yang terkandung terhadap jenis pelarut. Beberapa jenis senyawa antijamur ekstrak metanol dan etil asetat yang diperoleh dari bakteri diazotrof adalah phenazine dan phenazine-1-carboxylic (Lee et al., 2018), bacitracine, polymyxin, colistin, gatavalin, jolipeptid (Mejdad et al., 2013).
Tabel 4.4 Aktivitas Antijamur, Indeks Kitinolitik dan Glukanolitik Bakteri Diazotrof
No. Kode Isolat Aktivitas antijamur (CGI%) Indeks Kitiniolitik
Indeks Glukanolitik Ekstrak
Metanol
Ekstrak Etil Asetat
1. TU 1 36,0 7,1 - 0,4
2. TU 9 - 5,2 - 1,7
3. TU 17 24,0 15,7 - 0,6
4. TU 22 - - - -
5. TU 36 - 23,8 - 1,1
6. TU 38 - 9,5 - 1,4
7. TK j 10,0 - - -
8. TP 1 15,0 5,5 - 0,3
9. TP 6 16,6 10,0 - -
10. TP 13 - - - -
11. TP 14 - 7,1 - -
12. TP 16 - 14,2 - -
13. TP 21 14,2 5,0 - 2,5
14. TP 29 9,5 5,8 - -
15. TP 30 28,5 10,0 - -
16. TP 40 - 10,0 - -
Keterangan : TU : Tanah USU, TK : Tanah Kebun Rakyat, TP : Tanah PTPN IV, - : tidak menghasilkan
23
Kemampuan kitinolitik dan glukanolitik juga merupakan salah satu mekanisme penghambatan bakteri terhadap jamur patogen. Enzim kitinase dan glukanase yang dihasilkan bakteri dapat melisiskan kitin dan glukan yang terdapat pada dinding sel jamur. Dari penelitian ini tidak satu isolat bakteripun dari 16 isolat yang diujikan menghasilkan enzim kitinase. Sebaliknya sebanyak 7 isolat bakteri menghasilkan enzim glukanase dengan indeks glukanolitik 0,3-2,5.
Aktivitas glukanolitik dari 7 bakteri diazotrof diamati dari pembentukan zona bening pada media glukan setelah diinkubasi 2 hari dan pemberian congo red pada media glukan dengan substrat laminarin 1%. Nilai indeks glukanolitik tertinggi dihasilkan oleh isolat TP 21 (Gambar 4.4 B).
Zona bening terbentuk karena enzim glukanase bakteri yang tumbuh pada medium glukan menghidrolisis substrat laminarin yang terdapat dalam medium.
Penelitian Manzila et al. (2015) mendapatkan ukuran zona bening pada waktu inkubasi 48 jam sebesar 1,4 cm oleh Burkholderia cepacia. Indeks glukanolitik pada penelitian ini memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan penelitian Dewi et al.
(2016) isolat SAHA 3.5 sebesar 2,6. Laminarin merupakan substrat yang biasa digunakan untuk uji deteksi bakteri penghasil glukan. Laminarin berasal dari Laminaria digitata yang memiliki glukan dengan ikatan rantai utama β-1,3 glukosidik dan cabang β-1,6 (Fukuda et al., 2008). Ikatan glukan tersebut merupakan komponen penyusun dinding sel jamur.
Gambar 4.4 Gambaran mekanisme antijamur dan glukanolitik bakteri diazotrof. (A) Hambatan pertumbuhan G. boninense terhadap senyawa antijamur isolat TU 1 pada medium PDA umur inkubasi 24 jam pada suhu 28°C.
(B) Aktivitas glukanolitik isolat TU 21 pada media glukan + laminarin
% umur 48 jam pada suhu 28°C.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.5 Potensi Bakteri Diazotrof
Potensi bakteri diazotrof yang memiliki kemampuan antagonis terhadap G.
boninense menunjukkan kemampuan yang bervariasi (Tabel 4.5). Semua bakteri mampu menambat N tetapi tidak semua bakteri menghasilkan IAA dan melarutkan fosfat. Kemampuan menambat N diamati secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif berdasarkan tebal pelikel yang terbentuk di permukaan medium Ashby’s semi padat, menunjukkan bahwa semua isolat menghasilkan pelikel dengan ketebalan berkisar antara 7-12 mm (Lampiran 3). Secara kuantitatif produksi amonium hanya diamati pada 5 isolat dengan kemampuan antagonis tertinggi. Isolat bakteri dengan kemampuan menambat N tertinggi yaitu TU 1 menghasilkan amonium sebanyak 3,1 ppm.
Pelikel yang terbentuk pada media menunjukkan bahawa jumlah nitrogen pada media telah terakumulasi (Susilowati dan Setyowati, 2016). Pelikel menunjukkan aktivitas nitrogenase bakteri pemfiksasi nitrogen dalam kondisi baik karena dalam media tidak ada kelebihan oksigen sehingga laju difusi oksigen sama dengan laju respirasi organisme (Susilowati et al., 2007). Kemampuan bakteri dalam memfiksasi nitrogen diujikan terhadap 5 isolat dengan kemampuan antagonis tertinggi terhadap G. boninense.
Hasil pengukuran konsentrasi amonium menunjukkan lima isolat bakteri diazotrof menghasilkan amonium sebesar 2,3-3,1 ppm. Isolat bakteri yang menghasilkan amonium dengan konsentrasi tertinggi yaitu isolat TU 1 sebesar 3,1 ppm dan terendah yaitu isolat TP 6 sebesar 2,3 ppm. Penelitian Hartono et al. (2014) yang juga mengamati kemampuan bakteri dalam memfiksasi nitrogen dengan mengamati produksi amonium diperoleh konsentrasi amonium dengan kisaran 104 μg/L – 272 μg/L. Vionita et al. (2015) memperoleh akumulasi amonium tertinggi sebesar 15,18 mg/L.
Amonia sebagai produk fiksasi N oleh bakteri diazotrof dihasilkan pada fase log akhir atau awal fase stasioner. Yu et al. (2017) berpendapat bahwa akumulasi amonium oleh bakteri diazotrof dipengaruhi oleh sumber karbon pada medium pertumbuhan. Sumber karbon pada medium pertumbuhan dimanfaatkan bakteri diazotrof untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri diazotrof menghasilkan amonium di dalam sel tetapi tidak diekskresikan ke medium. Saat sumber karbon sudah habis, sel
25
bakteri kehilangan kapasitas untuk menyimpan amonia sehingga amonia akan diekskresikan keluar sel. Aktivitas nitrogenase juga berperan secara tidak langsung saat adanya sumber karbon di medium pertumbuhan.
Kemampuan 5 isolat bakteri diazotrof dalam menghasilkan IAA bervariasi.
Isolat TP 6 menghasilkan IAA dengan konsentrasi tertinggi yaitu 3,7 ppm sedangkan isolat TU 38 tidak menghasilkan IAA. Hal tersebut mungkin dikarenakan isolat TU 38 tidak mampu mensintesis triptopan pada media menjadi IAA. Penelitian Sukmadi (2012) mendapat 14 isolat bakteri asal rizosfer dan endofit tidak mampu menghasilkan IAA. Hal tersebut dikarenakan isolat bakteri tidak memiliki enzim triptopan-mono-oksigenase. Enzim tersebut bekerja untuk mengubah triptopan dalam media menjadi IAA.
Produksi IAA oleh isolat bakteri diukur pada umur 48 jam. Konsentrasi IAA yang diperoleh pada penelitian ini memiliki nilai yang mendekati dengan hasil penelitian Susilowati et al., (2018) dengan konsentrasi tertinggi sebesar 1,0652 ppm dan terendah sebesar 0,0573 ppm. Produksi IAA pada medium oleh bakteri diazotrof dipengaruhi oleh isolat bakteri, komposisi media serta waktu inkubasi isolat bakteri (Sukmadi, 2012).
Tabel 4.5 Kemampuan Fiksasi N, Produksi IAA, Indeks Pelarut Fosfat
No. Kode
Isolat
Kemampuan Fiksasi Nitrogen Produksi IAA (ppm)
Indeks Pelarut Fosfat KonsentrasiAmonium
(ppm)
Tebal pelikel (mm)
1. TU 1 3,1 11,0 2,0 -
2. TU 9 2,4 7,0 0,5 4,7
3. TU 17 2,7 12,0 0,02 4,0
4. TU 22 td 9,0 td -
5. TU 36 td 10,0 td 5,2
6. TU 38 2,5 11,0 0 4,5
7. TK j td 11,0 td -
8. TP 1 td 12,0 td 2,4
9. TP 6 2,3 12,0 3,7 -
10. TP 13 td 10,0 td -
11. TP 14 td 8,0 td -
12. TP 16 td 10,0 td -
13. TP 21 td 8,0 td 4,1
14. TP 29 td 7,0 td -
15. TP 30 td 7,0 td 2,4
16. TP 40 td 11,0 td -
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA