• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. memahami teori yang dimaksud oleh Clifford Geertz. makna dan ide yang terdapat di dalam Perjamuan Kudus.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. memahami teori yang dimaksud oleh Clifford Geertz. makna dan ide yang terdapat di dalam Perjamuan Kudus."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENDAHULUAN

Ada dua segmen yang penulis uraikan dalam bagian ini. Pertama, penulis akan mengelaborasi pandangan Clifford Geertz dan Mircea Eliade tentang defenisi agama dan simbol. Penulis menambahkan teori Mircea Eliade, karena akan sangat membantu memahami teori yang dimaksud oleh Clifford Geertz.

Di segmen yang kedua penulis juga mengelaborasi konsep tentang ritus kurban atau ritual pengurbanan secara umum dalam masyrakat primitive, ritual pengurbanan anak (child sacrifice), ritual pengurbanan di Israel, dan teori kurban kambing hitam.

Kedua segemen di atas menjadi landasan teori bagi penulis untuk mencari makna dan ide yang terdapat di dalam Perjamuan Kudus.

(2)

12 B. AGAMA, KEBUDAYAAN DAN SIMBOL 1. TEORI CLIFFORD GEERTZ

Dalam Buku “The Interpretation of Cultures,” Clifford Geertz1 mengatakan bahwa kunci utama untuk mememahami makna kebudayaan adalah ide tentang makna.

Berhadapan dengan makna, Geertz memulainya dengan sebuah paradigma. Paradigma adalah simbol-simbol sakral yang berfungsi untuk mensintesiskan suatu etos bangsa (nada, ciri, dan kualitas kehidupan mereka, moralnya, estetis dan suasana hati mereka) dengan pandangan dunia (world view) yaitu gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan.2 Dalam kepercayaan dan praktik religius, etos suatu kelompok secara intelektual dan masuk akal akan dijelaskan dengan melukisnya sebagai suatu cara hidup yang secara ideal disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan pandangan dunia itu.

Dengan mengutip pernyataan Max Weber, Geertz mengatakan manusia adalah hewan yang terkurung dalam jaring-jaring makna (significance) yang dipintalnya sendiri. Untuk menjelaskan ini, maka metode yang dipakai adalah metode “Thick Description” (lukisan mendalam) untuk menemukan makna dari setiap peristiwa ataupun perilaku manusia. Oleh karena itu, secara etnografi tugas utama bukan hanya sebatas

1Clifford Geertz lahir di San Fransisco, California, paada tahun 1929. Setelah meyelesaikan pendidikan menengah, dia masuk Antioch College, Ohio dan pada tahun 1950 meraih gelar B.A di bidang filsafat dari Antioch College. Dan kemudian melanjutkan studi di bagian Antropologi di Universitas Harvard. Studi lapangan menjadi pijakan dasar dalam riset-riset antropologi di Inggris dan Amerika pada waktu itu. Geertz dalam menyelesaikan risetnya, Indonesia adalah lokasi yang dia pilih sebagai tempat penelitiannya. Geertz melakukan penelitian di dua lokasi di Indonesia yakni, di Jawa dan Bali. Dari dua daerah penelitannya, Geertz menghasilkan karya-karya besar dalam menyelesaikan gelar doktornya di bidang antropologi. Beberapa karya Geertz dari hasil penelitiannya di Indonesia antara lain, The Religion of Java (1960) yang berisikan bagaimana pengaruh kebudayaan Jawa, Islam, Hindu dan kepercayaan asli lokal masyarakat Jawa dalam membentuk agama dan budaya Jawa. (Tulisan ini sangat popular karena Geertz membagi 3 agama Jawa itu dengan istilah yang ia pakai, (Abangan, Priyai dan Kiyai) , Agricutural Revolution (1963) yang berisikan masalah lingkungan dan ekonomi masyarakat Indonesia serta tantangan dan peluangnya di era pasca-kolonial, Pedllers and Princes (1963) yang berisikan perbandingan kehidupan ekonomi di Jawa dan Bali, The Sosial History of an Indonesia Town (1965) yang berisi kondisi masyarakat Mojokuto di Jawa Timur, Islam Observed (1968) berisikan perbandingan agama Islam di dalam budaya yang berbeda yakni antara Indonesia dan Maroko, The Interpretation of Cultures (1973) dan Local Knowledge (1983). Semua hasil karya ini bersumber dari penelitiannya terhadap agama dan kebudayaan yang ada di Indonesia secara khusus di Bali dan Jawa. Lih.

Daniel L. Pals, Seven Teories of Religion, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), 329-331

2 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 4.

(3)

13

mendeskripsikan atau melukiskan struktur suku-suku primitif atau bagian-bagian ritual (contohnya; Puasa bagi muslim di bulan Ramadhan), akan tetapi menemukan apa yang sesungguhnya berada di balik perbuatan itu, apa makna yang ada di balik seluruh kehidupan, pemikiran ritual, struktur dan kepercayaan manusia itu sendiri.

Kebudayaan itu secara sosial terdiri dari struktur-struktur makna dalam terma-terma berupa sekumpulan simbol yang dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian menghilangkannya. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang fisik, sekalipun memang terdapat hal objektif di dalamnya. Kebudayaan digambarkan sebagai pola makna-makna (a pattern of meanings)atau ide-ide yang termuat di dalam simbol, yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka (kognisi) tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran itu melalui simbol-simbol itu.

Agama sebagai sistem kebudayaan artinya simbol/tindakan simbolik yang mampu menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual dan pada akhirnya perasaan dan motivasi itu akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.3

Berikut ini penjelasan detil defenisi agama menurut Clifford Geertz:

Pertama, simbol atau sistem simbol adalah segala sesuatu yang memberikan seseorang ide-ide. Simbol mengacu pada setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana sebuah konsep dan konsep ini adalah makna simbol. Simbol-simbol ini memiliki kekuatan yang bersumber dari etos dan world view masyarakatnya. Simbol melibatkan emosi individu, gairah keterlibatan dan

3 Geertz, Religion as Cultural,…, 90.

(4)

14

kebersamaan sebab sebuah simbol selalu menyertakan sebuah kenangan. Simbol tersebut teraba, tercerap, umum dan konkret. Simbol-simbol tersebut sangat dihargai ataupun yang dibenci (ditakuti) oleh masyarakat, dilukiskan dalam pandangan dunia mereka, disimbolisasikan dalam agama dan pada gilirannya terungkap dalam keseluruhan kualitas kehidupan mereka. Misalnya, lingkaran doa untuk pemeluk Budhisme, sebuah peristiwa seperti penyaliban, satu ritual seperti palang Mitzvah, perbuatan tanpa kata-kata, perasaan kasihan dan kekhusyukan. Lembaran Taurat yang memberikan ide tentang firman Tuhan kepada orang Yahudi, penampilan pendeta di rumah sakit yang menyebabkan orang sakit ingat pada Tuhan.

Simbol atau sistem simbol memiliki kekuatan dalam menyangga nilai-nilai sosial untuk merumuskan dunia tempat nilai-nilai itu atau sebaliknya kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai-nilai tersebut. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan. Di dalam gambaran tersebut, Geertz mengutip Max Weber yang mengatakan, “peristiwa-peristiwa itu tidak hanya terjadi di sana, melainkan peristiwa-peristiwa tersebut mempunyai sebuah makna dan terjadi karena sebuah makna. Jenis simbol atau sistem simbol yang dipandang masyarakat sebagai sesutu yang sakral sangat bervariasi misalnya, ritus inisiasi di antara orang-orang Australia, cerita-cerita filosofis di antara orang-orang Maori, kisah-kisah heroik di pentas wayang di Jawa, dan ritus-ritus keji kurban manusia di antara orang-orang Aztec. Semua pola-pola ini bagi masyarakat menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang kehidupan.

Sistem simbol adalah media bagi manusia dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Lewat simbol-simbol (bahasa, benda, wacana, gambar, dan peristiwa), kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sangat tergantung dari cara kita mempresentasikannya. Dengan

(5)

15

membedah simbol-simbol yang ada, maka akan terlihat jelas proses pemaknaan, penilaian dan pembelokan tanda yang diberikan pada sesuatu tersebut.”4Karena dalam kebudayaan terdapat bermacam-macam sikap, kesadaran dan juga bentuk-bentuk pengetahuan yang berbeda-beda, maka di sana juga terdapat sistem kebudayaan yang berbeda untuk mewakili semua itu. Melalui simbol, dan adat istiadat, Geertz menemukan pengaruh agama berada di setiap celah dan sudut kehidupan masyarakat.

Sebuah sistem simbol dapat memberikan ide kepada seseorang. Ide tersebut akan membuat seseorang merasakan atau melakukan sesuatu, termotivasi untuk tujuan tertentu yang dibimbing oleh seperangkat nilaitentang apa yang penting, apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah bagi dirinya. Ide dan makna dari simbol-simbol tersebut bukan murni bersifat privasi, akan tetapi milik umum. Simbol atau unsur-unsur simbolis merupakan rumusan-rumusan yang kelihatan dari pandangan dan abstraksi pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat diindrai, perwujudan konkret dari gagasan, sikap, keputusan, kerinduan ataupun keyakinan. Itulah sebabnya mengapa simbol seringkali melibatkan emosi individu, gairah keterlibatan, kebersamaan, bahkan menyertakan kenangan. Simbol terbuka terhadap berbagai arti, tetapi simbol tidak dapat dimutlakan secara universal. Oleh karena itu, setiap kelompok masyarakat memiliki simbolnya masing-masing.

Simbol keagamaan adalah suci dan bersifat normatif serta mempunyai kekuatan besar. Kekuatan itu bersumber dari etos (ethos) dan pandangan hidup (world view) yang keduanya merupakan unsur paling hakiki bagi eksisitensi manusia. Etos suatu bangsa adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan mereka. Hal ini merupakan sikap mendasar dalam diri manusia terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan.

4Fauzi Fasri,Piere Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol,(Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 21

(6)

16

Pandangan dunia mereka adalah gambaran tentang kenyataan apa adanya, konsep mereka tentang alam, diri, dan masyarakat yang mengandung gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensif mengenai tatanan.

Etos secara intelektual dibuat masuk akal dengan diperlihatkannya sebuah cara hidup yang tersirat oleh masalah-masalah aktual yang dilukiskan dalam pandangan dunia itu. Pandangan dunia yang dibuat secara emosional itu diterima sebagai sebuah gambaran tentang masalah-masalah aktual dari cara hidup, dan cara hidup tersebut adalah suatu ekspresi yang otentik. Pembuktian atas hubungan yang bermakna antara nilai-nilai yang dianut suatu bangsa dan tatanan eksistensi yang di dalamnya bangsa itu menemukan dirinya, adalah unsur yang paling hakiki di dalam sebuah agama.5 Bagaimanapun macamnya agama itu, ia adalah sesuatu yang lebih dirasakan implisit untuk memperbincangkan kumpulan makna umum. Dengan kumpulan makna umum itu, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dengan mengatur tingkah lakunya.

Makna yang tersimpan dalam simbol-simbol religius biasanya dikaitkan dengan mitos, (entah dirasakan oleh mereka yang tergetar dengan simbol tersebut, ringkasan pandangan dunia tentang simbol tersebut, ataupun kualitas kehidupan emosional apa yang ditopangnya). Simbol-simbol sakral tersebut menghubungkan ontologi dengan kosmologi, estetika dengan moralitas. Artinya, simbol-simbol suci ini terjalin dalam simbol-simbol lainnya yang digunakan manusia dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sistem simbol ini merupakan sumber informasi ekstrinsik yang membentuk iklim dunia dengan menarik si penyembah ke seperangkat disposisi-disposisi khusus yang memberi suatu ciri tetap pada arus kualitas pengalamannya.

5 Clifford Geertz, Kebudyaan dan Agama, (Yogyakarta Kanisius, 1992), 51

(7)

17

Simbol dalam tindakan religius manusia adalah salah satu media untuk mendekatkan diri pada yang transenden.6 Manusia menyebut yang Ilahi dengan berbagai nama dan menghampirinya dengan berbagai macam cara. Perilaku religius kemudian berkembang mewujud dalam simbolisme berupa hari ibadah, tata cara ibadah, tempat ibadah. Tiap agama memiliki dan mengembangkan simbolisnya. Perangkat simbol itu makin bertambah dengan perintah dan larangan, pengakuan dan peraturan, dogma dan doktrin. Ada agama yang membakukan hal-hal tersebut menjadi tertulis dan menganggap tulisan ini kitab suci, tetapi ada yang memelihara tradisi lisan, sehingga tidak mempunyai kitab yang dianggap suci.7

Ketergantungan manusia terhadap simbol atau sistim simbol menunjukan kelemahan manusia yang tidak dapat mengatasi salah satu aspek pengalaman di dalam dirinya berupa kecemasan yang paling mengerikan. Simbol memberi ketenangan pada manusia. Manusia merasa lepas dan bebas dari berbagai gangguan terhadap dirinya baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun yang dari luar.

Yang membentuk suatu sistem religius adalah serangkaian simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu. Bagi mereka yang ambil bagian di dalamnya, sistem religius itu tampaknya mengantarai pengetahuan sejati dan pengetahuan tentang kondisi-kondisi hakiki. Semua simbol sakral bagi manusia adalah hidup secara realistis. Akan tetapi, simbol-simbol sakral yang dipentaskan tidak hanya memiliki nilai positif melainkan juga nilai negatif. Simbol-simbol tidak hanya menunjuk ke arah adanya kebaikan, melainkan juga adanya kejahatan atau bahkan ke arah konflik di antara keduanya.

6 Andar Ismail, Agama Bundar dan Agama Lonjong, (Jakarta; BPK-GM, 2000), 108

7 Ibid

(8)

18

Dari penjelasan di atas, jelas yang dimaksud oleh Geertz dengan agama sebagai sistem kebudayaan adalah suatu konsep atau pola makna yang dituliskan secara historis dan diejawentahkan dalam simbol-simbol, dan menjadi sarana bagi manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang sikap- sikap mereka terhadap hidup.8 Jadi minat dan penelitiannya adalah makna yang diejawentahkan dalam simbol dan konsep yang terungkap dalam simbol tersebut.

Menafsir suatu agama adalah menafsir kebudayaannya. Melakukan penafsiran terhadap kebudayaan manusia berarti melakukan penafsiran terhadap sistem simbol dan bentuk simbolnya.

Kedua, simbol tersebut menciptakan perasaan/ suasana hati (moods) dan motivasi yang kuat, meresap, dan tahan lama dalam diri manusia….” Rasa mempunyai dua arti pokok yakni, “perasaan” (feeling) dan makna (meaning). Sebagai perasaan, rasa adalah salah satu dari panca indra yakni melihat, mendengar, berbicara, membaui, dan merasakan. Di dalam diri manusia terdapat tiga segi yang mengandung “perasaan”

sehingga pandangan tentang kelima indra tersebut terpisah-pisah. Pencecapan oleh lidah, sentuhan oleh badan, dan perasaan emosional di dalam “hati” seperti kesedihan dan kebahagiaan.9 Sebagai makna, rasa diterapkan dalam kata-kata di sebuah surat, puisi dan bahkan dalam percakapan biasa. Rasa juga diterapkan pada tingkah laku manusia pada umumnya, untuk menunjukan muatan implisit, “perasaan” konotatif dari gerakan (tari, gerak-gerik tata krama, dsb). Dalam arti semantik, rasa juga berarti “makna terakhir”

yakni makna terdalam yang dicapai orang dengan usaha mistis dan yang kejelasannya menjernihkan dengan ambiguisitas dari kehidupan duniawi. Tidak jarang juga rasa bisa

8 Band. F.W. Dillistonee , The Power of Simbols, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),116

9 Cita rasa sebuah pisang adalah rasanya, suatu firasat adalah rasa, kesakitan adalah suatu rasa dan rasa juga adalah nafsu.

(9)

19

diartikan sama dengan kehidupan. Apa saja yang hidup memiliki rasa dan apa saja yang memiliki rasa itu hidup.10

Agama menyebabkan seseorang merasakan atau melakukan sesuatu dengan motivasi dan tujuan tertentu yang dibimbing oleh seperangkat nilai tentang apa yang penting, apa yang baik dan apa yang buruk. Contoh konkrit yang dijelaskan oleh Geertz misalnya adalah Pendeta Budha tidak akan memakan daging yang disuguhkan di salah satu steak di Amerika, karena hal itu hanya akan memperlemah perjuangannya untuk mencapai kelahiran kembali. Motivasinya di sini adalah moral, memilih yang baik dari pada dosa (hal yang buruk). Sama halnya orang Yahudi yang ingin mengunjungi Yerusalem dan Muslim yang ingin naik haji ke Mekkah. Mereka sama-sama akan mempersiapkan segala sesuatu untuk mewujudkan impian mereka, untuk mendapatkan pengalaman religius mereka di tempat yang sakral itu.

Perasaan ini agak sulit dijelaskan, didefenisikan dan dikendalikan. Kekuatan perasaan ini tidak datang begitu saja dan bukanlah hal yang sepele. Perasaan tersebut muncul karena agama memiliki peran yang amat penting, membentuk konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi. Agama mencoba memberi “penjelasan hidup-mati”

tentang dunia. Maksud agama bukan ditujukan untuk menyatakan kepada kita tentang persoalan hidup sehari-hari, melainkan terpusat pada makna final (ultimate meaning), suatu tujuan yang pasti bagi dunia. Jika agama kacau, maka yang terjadi adalah chaos dalam seluruh tatanan kehidupan.

Yang dimaksud Geertz dengan chaos adalah situasi/keadaan yang mengancam dan menggoncang eksistensi manusia yang melampaui batas kemampuan analitis, batas kemampuan menanggung derita dan batas titik moralnya. Adapun hal itu

10 Geertz, Kebudyaan dan Agama,…, 61

(10)

20

adalah, kebingungan, ketegasan etis, penderitaan yang keras, dan berlangsung cukup lama.

Semua ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi setiap agama. Dengan tantangan- tantangan ini, setiap agama betapapun “primitifnya”, jika ingin bertahan harus mampu memberikan solusinya. Agama akan memperlihatkan jati dirinya ketika manusia secara intelektual menghadapi masalah yang tidak bisa dimengerti sepenuhnya, atau secara emosional menghadapi penderitaan yang tidak bisa dihindari, atau secara moral menemukan kejahatan di mana-mana yang tidak bisa diterima.

Konsepsi tentang dunia dengan serangkaian motivasi dan dorongan yang diarahkan oleh moral yang ideal inilah yang menjadi inti agama. Agama membentuk sebuah tatanan kehidupan dan sekaligus memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut.

Agama membantu orang menanggung “situasi-situasi tekanan emosional” dengan

“membuka jalan keluar dari situasi yang bersifat empiris dengan ritus dan kepercayaan ke dalam wilayah supranatural. Melampaui karirnya, agama barangkali telah mengganggu manusia sama banyaknya dengan kegembiraan yang diberikannya bagi manusia, mendorong manusia ke dalam konfrontasi terang-terangandengan berhadapan muka terhadap fakta bahwa mereka lahir untuk mengalami kesulitan. Selanjutnya, dalam sekejap agama dapat mencegah manusia dari konfrontasi dengan memproyeksikan mereka ke dalam sejenis “dunia anak-anak”.

Dalam agama, chaos dilihat sebagai sebuah tantangan sekaligus sebagai peluang.Artinya, agama memberi makna bukan soal bagaimana mencegah penderitaan melainkan bagaimana menderita, bagaimana menjadikan kesakitan jasmani, rasa kehilangan, kekalahan, atau perenungan yang menyedihkanatas kesengsaraan orang-orang lain sebagai sesuatu yang dapat dipikul, ditanggung dan diderita.Agama di satu sisi menanamkan kekuatan sumber-sumber simbolis kita untuk merumuskan gagasan-gagasan

(11)

21

analitis dalam sebuah konsep otoritatif tentang bentuk menyeluruh dari kenyataan.

Sementara di sisi yang lain, simbol atau sistem simbol keagamaan menanamkan sumber- sumber kekuatan bagi manusia untuk mengungkapkan emosi-emosi yakni, gerak hati, sentimen-sentimen, nafsu-nafsu, afeksi-afeksi, perasaan, di dalam suatu konsep yang serupa tentang suasana umum, serta sifat yang melekat pada suasana tersebut. Simbol- simbol religius menyediakan sebuah jaminan kosmis tidak hanya bagi kemampuan manusia untuk memahami dunia, melainkan juga memberi presisi pada perasaan mereka, yakni sebuah defenisi bagi emosi-emosi manusia yang memungkinkan manusia menanggung dunia ini dengan muram atau penuh dengan sukacita, dengan murung ataupun dengan keangkuhan.11

Simbolisme menghubungkan manusia dalam ruang lingkup realitas yang lebih luas, yakni meneguhkan dan juga mengingkari. Artinya melalui agama, manusia diteguhkan atau sekurang-kurangnya mengakui bahwa ketidaktahuan, penyakit dan ketidakadilan pada tataran manusia adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari.

Sementara bersamaan dengan itu agama mengingkari bahwa irrasionalitas-irrasionalitas ini adalah cirikhas dunia secara menyeluruh.

Ketiga, simbol menimbulkan perasaan semacam aura faktualitas. Dalam beragama, mau tidak mau manusia akan selalu mempertanyakan, bagaimana sesuatu yang irrasional dapat dipercaya? Bagaimana mungkin sesuatu yang irrasional (sesuatu yang masih sama-samar) tentang kekacauan yang dialami manusia bisa sampai pada tahap menjadi sebuah “kepercayaan” yang sifatnya lebih mantap tentang tatanan yang fundamental? Untuk menjawab hal ini, Geertz memulai sebuah pendekatan dengan sebuah pengakuan bahwa kepercayaan religius tidak semata-mata terdiri dari pengalaman sehari-

11Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…,23

(12)

22

hari manusia, karena kalau hanya demikian, maka manusia menjadi agnostis-agnostis.

Kebingungan, penyakit, dan paradoks moral merupakan salah satu hal yang mendorong manusia ke arah kepercayaan akan ilah-ilah, setan-setan, roh-roh, prinsip-prinsip totemis atau buah rohani dari kanibalisme.

Melihat kenyataan dan pengalaman hidup sehari-hari dari perspektif religius jauh lebih tajam dan dalam daripada melihat, mengenali dan memahaminya dari perspektif rasionalitas (akal sehat, ilmiah atau estetis). Melihat dunia secara rasionalitas (akal sehat) adalah menerima dunia, objek-objeknya dan proses-prosesnya begitu saja sebagaimana adanya. Sebaliknya perspektif religius bergerak melampaui kenyataan kehidupan sehari-hari ke kenyataan yang lebih luas yakni menerima dan mengimaninya.

Perspektif religius mempersoalkan kenyataan-kenyataan hidup sehari-hari tidak keluar dari skeptisme yang terlembaga dengan melenyapkan apa yang diandaikan begitu saja dari dunia ini ke dalam pusaran-pusaran hipotesis-hipotesis yang yang mentak, melainkan mempersoalkannya untuk mengantarnya kepada kebenaran-kebenaran yang lebih luas yang nonhipotesis.

Pengambilan jarak, komitmen, perjumpaan, serta mengimani sesuatu kenyataan hidup sehari-hari, perspektif religius menghasilkan faktualitas. Dengan membuat bayang-bayang dan ilusi, perhatian perspektif religius pada fakta (rasionalitas), semakin mendalam dan berusaha menciptakan sebuah pancaran (aura) faktualitas.

Sehingga dari faktualitas (yang sungguh nyata) inilah perspektif religius bersandar dan kegiatan-kegiatan simbolis dari agama sebagai sistem kultural dibaktikan untuk menghasilkan, mengintensifkan perspektif religius. Oleh karena itu mau tidak mau perspektif religius ini seringkali akan bertentangan dengan pengalaman sekular.

(13)

23

Konsep perasaan semacam aura faktual” yang dimaksud oleh Geertz di sini adalah suatu perasaan yang sulit untuk digambarkan, tetapi orang menyadari akan adanya perasaan tersebut. Bagi Geertz “aura faktual semacam ini, berhubungan dengan psikologis manusia. Yakni sebuah perasaan, situasi hati manusia yang bertemu, bersentuhan dan menyatu dengan sebuah “kekuatan” yang berasal dari luar dirinya sendiri, kekuatan metafisik, kekuatan Ilahi. Kekuatan itu sangat besar dan mampu memengaruhi dirinya sendiri.

Barangkali istilah yang dipakai William James “semacam pengalaman mistik”, dapat menolong kita memahami aura factual ini. Pengalaman mistik menurut William James adalah pengalaman religius pribadi yang berakar dan berpusat pada keadaan kesadaran mistis. Setidaknya ada empat cirikhas yang menggambarkan keadaan misitis. Pertama, pengalaman ini sulit diungkapkan dengan kata-kata, tidak ada uraian manapun yang memadai untuk mengisahkannya dalam kata-kata, alih-alih dianggap intelek, keadaan kesadaran mistis lebih merupakan situasi keadaan perasaan. Kedua, pengalaman ini menghasilkan pengetahuan. Dalam situasi seperti ini seseorang mendapatkan wawasan tentang kebenaran yang dalam yang tidak dapat digali dalam ranah kemampuan intelektual yang bersifat diskursif. Pengalaman ini membawa perasaan tentang adanya sebuah kekuatan yang melampaui waktu dan tempat. Ketiga, tidak ada perpanjangan waktu dalam pengalaman ini dalam arti perasaan ini tidak bertahan lama, dan keempat biasanya mengurangi segala keinginaan dan pada akhirnya ada suatu daya yang luar biasa yang menguasai dirinya.12

12William James, Perjumpaan dengan Tuhan, Ragam Pengalaman Religius Manusia, (Bandung : PT. Mizan Pustaka), 515-516

(14)

24

Dalam desertasi Tony Tampake,13 dengan mengutip pendapat Dorothee Soelle, ia mengubungkan pengalaman mistis itudenganmystical sensibility, yaitu suatu pengalaman seseorang yang dengan sadar dan mengakui bahwa pengalaman sehari- harinya adalah sebuah pengalaman kehadiran dan perjumpaan dengan Tuhan. Ada beberapa situasi kehidupan yang menimbulkan mystical sensibility yang Soelle sebut dengnthe places of mystical experiencesyaitu, alam (nature), penderitaan (suffering), perjamuan suci (holy communion) dan kegembiraan (joy).14Baik William James maupun Dorothee Soelle mengakui bahwa pengalaman mistik selalu berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan secara langsung dan vital dalam pengalaman nyata dari kehidupan hidup sehari-hari. Pengalaman itu terjadi di dalam suasana hati dan perasaan manusia tetapi menjadi sumber pengetahuan yang dianggap benar karena dapat mempengaruhi pola dan tindakan manusia.

Menurut Geertz pengalaman dan perasaan unik inilah yang pada akhirnya mengantar manusia pada ritus. Dalam ritus, tingkah laku dikeramatkan, kepercayaan terhadap konsep-konsep religius dibenarkan dan kepercayaan sebagai tujuan religius terbukti agaknya berhasil. Di dalam semacam bentuk seremonial, suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi yang ditimbulkan oleh simbol-simbol dari resitasi sebuah mitos, ramalan atau dekorasi sebuah makam, dan konsep-konsep umum tentang tata eksistensi yang dirumuskan simbol-simbol itu olehi manusia, bertemu dan saling memperkuat satu dengan yang lain. Dalam ritus dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan melebur dalam pengantara seperangkat simbol, menjadi dunia yang sama dan menghasilkan perubahan yang aneh. Dalam ritus tidak peduli betapa otomatis atau

13Tony Tampake, Redefenisi Sosial dan Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso (desertasi) , (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2014), 79

14Dorothee Soelle, The Silent Cry: Mysticim and Resistance, ( Minneapolis: Fortress Press, 2001), 17-22

(15)

25

kelihatannya sangat konvensional, mencakup perpaduan simbolis dari etos dan pandangan dunia. Di dalam sebuah ritus ada sederetan panjang suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi manusia bertemu dengan konsep-konsep metafisis-metafisis. Ritustidak saja hanya menyimpan makna-makna metafisis religius, tetapi juga makna dan nilai politis.15

Dalam ritus keagamaan kumpulan makna atas mitos, cerita-cerita dan kepercayaan-kepercayaan lain selalu diperhatikan. Dengan melaksanakan sebuah ritus keagamaan, ada penerimaan otoritas yang mendasari perspektif religius tersebut.16 Dengan membangkitkan serangkaian suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi dan mendefenisikan suatu gambaran tentang tatanan dunia dengan seperangkat simbol-simbol ritus, akan membuat model untuk dan model dari segi kepercayaan religius dan perubahan-perubahan satu sama lain.

Jadi yang dimaksud Geertz dengan “aura faktual” adalah suasana hati, perasaan terdalam dari hati, jiwa dan bahkan pikiran orang-orang beragama. Perasaan itu seolah-oleh bertemu, bersentuhaan dan bahkan menyatu dengan sebuah kekuatan metafisik, kekuatan ilahi, kekuatan supernatural. Perasaan ini sangat kuat dan mampu mempengaruhi totalitas eksistensi manusia secara khusus orang-orang beragama.

Pengalaman itulah yang membuat agama mampu membentuk suatu tatanan kehidupan manusia sekaligus memiliki pososi istimewa dalam tatanan tersebut.17

Hal yang membedakan agama dengan sistem kebudayaan adalah simbol- simbol agama yang menyatakan kepada kita bahwa terdapat sesuatu “yang benar-benar

15Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 34

16Yang dimaksud oleh Geertz dengan otoritas adalah sebuah “kekuatan atau kekuasaan”.

Dalam agama primitif, otoritas terdapat dalam kekuatan-kekuatan persuasive dari cerita-cerita tradisional, dalam agama-agama mistis otoitas terdapat dalam perintah apodiktis tentang pengalaman adi-indrawi, dalam agama-agama kharismatis otoritasterdapat dalam daya tarik hipnotis dari seorang pribadi yang luar biasa. Lih. Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 30

17Daniel L Pals, Seven Theories of Religion, (Jogyakarta: IRCiCoD, 2011), 344

(16)

26

real”, yakni sesuatu yang dianggap oleh manusia lebih penting dari apapun. Dalam ritual keagamaan, manusia dimasuki oleh desakan realitas real ini. Perasaan dan motivasi seseorang dalam ritual keagamaan sama persis dengan pandangan hidupnya. Kedua hal ini saling mendukung dan memberi kekuatan.Geertz memberi contoh, misalkan seseorang mengatakan bahwa, “saya harus melakukan ini karena merasakan…” (Perasaan tersebut mengatakan bahwa pandangan hidup saya ini adalah pandangan yang benar dan tidak dapat diragukan lagi). Satu penyatuan simbolis antara pandangan hidup dengan etos akan terlihat dalam ritual. Apapun yang dilakukan oleh seseorang akan selalu selaras dengan gambaran dunia yang teraktualisasi dalam pikirannya. Salah satu contoh penyatuan etos dan pandangan dunia ini bisa dilihat dalam upacara masyarakat Bali, misalnya pertarungan antara Rangda dan Barong.18

Oleh karena simbol keagamaan berfungsi mensintesiskan etos suatu kelompok masyarakat dengan pandangan hidup mereka, maka tidak heran jika cara hidup dan pandangan hidup mereka saling melengkapi. Ada kongruensi (kesesuaian) antara gaya hidup dan tatanan universal yang terungkap dalam simbol, ada “integrasi” dunia sebagaimana dihayati dengan dunia sebagaimana dibayangkan. Sehingga pada akhirnya simbol-simbol keagamaan terus menghasilkan dan memperkuat keyakinan beragama.

18 Rangda dan Barong dua tokoh mitologi yang besar dalam mayarakat Bali. Rangda adalah tokoh yang menggambarkan satanis, sementara Barong adalah suatu gambaran yang jenaka. Perkelahian antara Rangda dan Barong tidak pernah berakhir. Dalam pandangan masyarakat Bali, perkelahian antara Rangda dan Barong adalah simbol perkelahian antara yang jahat dan yang jenaka (baik) yang tidak pernah berakhir dalam dunia ini. Di dalam dunia ini akan selalu ada konfrontasi antara yang baik dan yang jahat, antara yang kejam dan jenaka. Pertunjukan ini bukanlah pertarungan biasa, tapi sebuah ritual yang tetap harus dilaksanakan berulang-ulang. Muatan drama dan emosi yang dilibatkan didalam kerumunan orang yang melakukan upacara tersebut seolah-olah membawa segala sesuatu ke dalam kondisi chaos. Meskipun pertarungan ini diakhiri tanpa kemenangan yang mutlak dari satu pihak, akan tetapi yang terpenting dalam pertunjukan ini adalah dapat menggugah sikap dan perasaan orang Bali bahwa pertarungan antara yang jahat dan yang baik dalam dunia itu akan tetap ada dan terus terjadi. Tidak hanya menggugah, akan tetapi pertarungan ini akan menjadi sebuah kekuatan yang dapat memotitivasi masyarakat Bali sendiri. Lihat Daniel L Pals, Seven Teories,…, 345

(17)

27

Dengan demikian memahami arti dan makna tindakan-tindakan simbolis dari orang-orang yang melakukannya berarti menjelaskan “struktur-struktur konseptual” yang dinyatakan oleh tindakan-tindakan ritual tersebut, tindakan-tindakan mereka, objek-objek atau peristiwa-peristiwa apa yang mereka pandang sebagai “yang suci” atau “keramat”

dan metode yang dipakai untuk melestarikan dan memperkuat rasa atau kesadaran akan kesucian/kekeramatan tersebut.

Keempat, “…suasana hati dan motivasi itu tampak dalam tindakan secara khas realistis.”

Disposisi-disposisi yang disebabkan oleh ritus-ritus religius mempunyai dampak yang penting dari sudut pandang manusia, karena disposisi-disposisi itu memantul kembali dan mewarnai konsep individu tentang dunia sebagai fakta yang murni.

Agama menarik secara sosiologis bukan seperti apa yang diyakini oleh kaum positivisme yang hanya menggambarkan tatanan sosial, lebih daripda itu agama membentuk tatanan sosial, seperti lingkungan, kekuasaan, politis, kesejahteraan, kewajiban hukum, afeksi personal dan rasa keindahan.

Dengan cara sedemikian rupa agama seringkali secara radikal mengganti keseluruhan pandangan yang diberikan oleh akal sehat, sehingga gerak hati dan motivasi yang ditimbulkan oleh praktik religius pada dirinya tampak amat praktis. Sifat prasangka yang diberikan agama kepada kehidupan biasa, bisa saja berbeda-beda menurut agama yang dianutnya, menurut disposisi-disposisi khusus yang ditimbulkan dalam diri orang yang percaya, dengan konsep-konsep tatanan kosmis khusus yang telah ia terima. Pada taraf-taraf agama “besar,” agama kadang-kadang memaksakan sampai pada titik kefanatikan. Akan tetapi pada taraf-taraf kerakyatan dan kesukuan yang paling sederhana, di mana individualistis tradisi-tradisi agama telah melarut dalam tipe-tipe tetap seperti animisme, totemisme, shamanisme, pemujaan kepada leluhur, agama seringkal dianggap aneh karena tidak jelas.

(18)

28

Kekhususan dampak sistem religius atas sistem-sistem sosial memberikan penilaian umum atas nilai agama entah dalam istilah-istilah moral ataupun fungsionalnya.

Jenis suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi yang mencirikan seseorang yang baru datang dari sebuah upacara kurban manusia dari Aztec agak berbeda dengan suasana hati dan motivasi orang yang baru saja membuka topeng Kachina-nya. Bahkan dalam masyarakat yang sama, apa yang dipelajari orang tentang pola hakiki kehidupan dari sebuah upacara sihir dan dari sebuah acara makan bersama akan memiliki efek yang agak bermacam-macam pada fungsi sosial dan psikologisnya.

Pentingnya agama terletak pada seseorang atau kelompok untuk berperilaku dengan jelas terhadap dunia, diri sendiri atau hubungan di antara keduanyaa sebagaimana yang terdapat dalam sumber konsep atau tatanaan sosial pada umumnya. Dan itulah model dari segi agama itu sendiri, sementara pada waktu yang sama, model untuk segi agama itu adalah akar dari disposisi-disposisi mental. Dari fungsi-fungsi kultural inilah pada akhirnya fungsi sosial dan psikologi agama itu mengalir.

Konsep-konsep religius dapat memberi bentuk dan makna yang luas melampaui konteks metafisis bagi serangkaian pengalaman yang bersifat intelektual, emosional dan moral.19 Konsep-konsep tentang tatanan kosmis, seperangkat kepercayaan religius, hubungan-hubungan sosial dan peristiwa-peristiwa psikologi yang duniawi, akan membuat semua ini dapat dipahami. Tetapi lebih dari sekadar keterangan, kepercayan- kepercayaan religius merupakan sebuah mistar lengkung (template), yang tidak hanya

19Misalnya orang Kristen melihat bahwa gerakan Nazi dihadapan latarbelakang dosa (The Fall) yang meskipun dalam arti biasanya gerakan itu tidak menjelaskannya demikian, akan tetapi menempatkan gerakan itu dalam suatu arti oral, kognitif, bahkan afektif. Seorang Azande melihat ambruknya lumbung padi yang menimpa sahabat atau kerabat dihadapan latarbelakang suatu pandangan yang konkret dan agak khusus tentang ilmu sihir dan kemudian akan melakukan pencegahan dilema-dilema filosofis dan psikologi dari inderteminisme tersebut. Seorang Jawa menemukan konsep rasa dan makna dalam melihat fenomena koreografis, cita-rasa, emosional dan politis dalam terang yang baru dalam sebuah pementasan seni wayang. Lihat. Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 47

(19)

29

sekadar menafsir proses sosial dan psikologi dalam arti-arti kosmis yang bersifat filosofis dan tidak religius, akan tetapi kepercayaan-kepercayaan tersebut membentuk semua proses itu.

Agama menjadi wadah untuk menetapkan makna.20 Agama tidak hanya memberi interpretasi atas kenyataan, tetapi pada waktu yang sama mempengaruhi kenyataan itu. Agama sebagai wadah yang berusaha memasukkan pengalaman hidup sehari-hari ke dalam makna-makna yang tersedia. Selanjutnya, makna-makna tersebut mengarahkan dan mempengaruhi kehidupan seseorang dan menghubungkan individu dengan kelompok sosial yang lebih luas.21 Agama sebagai sistem kebudayaan menjadi salah sumber kekuatan dan jalan keluar atas chaos yang seringkali dihadapi oleh setiap manusia. Kekuatan yang diberikan agama terhadap manusia yang terancam oleh chaos yang mengerikan dan menakutkan itu dapat diterima, dijalani dan diderita. Kebuntuan secara intelektual, tekanan emosional yang tidak dapat ditanggung oleh manusia, dengan beragama hal semacam itu mendapatkan jalan keluarnya. Kegembiraan yang diberikan agama kepada manusia berbanding sama dengan chaos yang mengancam eksistensi manusia itu.

Akhirnya Geertz sampai pada satu kesimpulan bahwa studi antropologis- sosiologis tentang agama memiliki dua tahap operasi. Pertama suatu analisa atas sistem makna-makna dalam simbol-simbol. Kedua mengaitkan sistem-sistem ini pada struktur sosial dan proses-proses psikologinya. Mendiskusikan peranan pemujaan leluhur dalam suksesi politis yang ajek, peranan upacara-upacara kurban dalam mendefenisikan kewajiban-kewajiban hubungan kekerabatan, peranan pemujaan roh dalam praktk-praktek pertanian, peranan ilahi dalam mengencangkan kontrol sosial atau peranan ritus-ritus

20 Clifford Geertz, “Religion and as a cultural Sistem” in M Banton (ed), Antopological Approaches to the Study of Religion, (London:Tavistock, 1966), 40

21Bernad Raho, Agama dalam Perspektif,…, 80

(20)

30

inisiasi dalam mendorong kedewasaan pribadidengan sebuah analisa teoritis atas tindakan- tindakkan simbolik tersebut, dan membandingkannya dengan sofistikasi yang ada pada tindakan sosial dan psikologi yang kita miliki sekarang ini, maka secara efektif kita akan menguasai segi-segi kehidupan sosial-psikologi yang di dalamnya agama memainkan sebuah peranan yang penting.

2. TEORI MIRCEA ELIADE: HAKEKAT YANG PROFAN DAN SAKRAL

Dalam buku “The Sacred and The Profane,” Mircea Eliade22 menjelaskan bahwa langkah utama untuk memahami agama terlebih dahulu harus memahami kehidupan/sejarah masyarakat arkais (kuno) yang hidup di zaman pra-sejarah atau masyarakat tribal dengan kebudayaan terbelakang dari kehidupan saat ini, yang sehari- hari mereka mengajarkan pekerjaan secara alami, seperti berburu, memancing dan bercocok tanam.23

Yang ditemukan dari masyarakat ini adalah adanya pemisahan antara wilayah yang sakral dan wilayah yang profan. Yang profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yang dilakukan secara teratur. Sedangkan yang sakral adalah wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan dan teramat penting.

Yang profan itu mudah hilang dan terlupakan, hanya bayangan. Sebaliknya, yang sakral itu abadi, penuh substansi dan realitas. Yang profan adalah tempat di mana manusia

22Mircea Eliade, lahir di Burcharest, Rumania 9 Maret 1907, anak seorang pegawai kemiliteran Rumania. Di usia yang masih belia (18 tahun) Eliade merayakan penerbitan artikelnya yang ke seratus. Ia banyak menulis cerita fiksi yang pada akhirnya cerita-cerita ini banyak mempengaruhi jalan pendidikannya. Di Universitas Burcharest dan Italia, ia banyak mempelajari pikiran mistis Platonis dari tokoh-tokoh renaisans Italia, selanjutnya Ia juga dipengaruhi oleh pikiran-pikiran spiritualitas Hindu. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk belajar Yoga di Himalaya. Tiga tahun menetap di India, kembali ke Rumania untuk menjalani wajib militernya seraya menuliskan novel fiksi yang berjudul Maytryi (1933).

Pada tahun 1936 Eliade menyelesaikan doktoralnya dengan judul Yoga: A Essay on Origins of Indian Mystical Theology. Pada tahun 1940 kembali ia menerbitkan buku yang berjudulPattern in Comparative Religion yang menjelaskan fungsi simbol dalam agama dan The Myth of Eternal Return yang menerangkan konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern. Lihat Daniel L Pals, Seven Teories,…, 227-229

23 Daniel L Pals, Seven Theories,…, 233

(21)

31

berbuat salah, mengalami perubahan dan terkadang dipenuhi chaos. Yang sakral adalah tempat di mana keteraturan dan kesempurnaan berada, tempat di mana berdiamnya roh para leluhur, para ksatria dan dewa-dewi.24

Agama dalam pengertian Eliade adalah terpusat dan berasal dari yang sakral, yang terlihat sebagai sesuatu yang luar biasa, substansial, agung, amat nyata. Agama bukan hanya sekedar hal yang dilihat oleh kacamata sosial,25 akan tetapi jauh mendekati pandangan Taylor dan Frazer yang telah lebih dahulu mendefenisikan agama sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supernatural.26 Agama dalam pandangan Eliade juga membawa kita pada pandangan Rudolf Otto (berkebangsaan Jerman) tentang The Ide of Holy (bhs Jerman: Das Hellege) yang menggunakan konsep yang sakral tetapi bukan dalam konteks sosial dan kebutuhannya. Rudolf Otto dalam penjelasanya tentang yang sakral mengatakan bahwa, ada suatu masa dalam kehidupan manusia pernah merasakan suatu hal yang luar biasa dan sangat kuat. Mereka sangat terpukau oleh suatu realitas yang sama sekali berbeda dengan diri mereka sendiri, hal itu adalah sesuatu yang misterius, mengagumkan, dahsyat, dan teramat indah. Pengalaman itu disebut dengan

“Pengalaman Yang Suci” yaitu, suatu perjumpaan dengan yang sakral.

Dalam istilah Latin, Otto menyebut yang sakral itu dengan mysterium, yang terdiri dari iremendum et fascinans, yaitu sesuatu yang misterius bersamaan dengan yang sangat agung sekaligus menakutkan. Nama lain yang ia berikan adalah perasaan tentang The Numinious (Latin: Numen, artinya spirit atau realitas keilahian). Ketika seseorang

24Ibid,.234

25 Di sinilah salah satu letak perbedan agama menurut Eliade dan Durkheim. Menurut pandangan Durkheim, bahwa agama itu adalahmasalah- masalah dalam konteks sosial masyarakat dan kebutuhannya. Menurut Durkheim Yang Sakral adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu, sedangkan yang profan adalah sebaliknya, hanya yang berkaitan dengan urusanindividu-idividu saja.Yang sakral memang kelihatan sebagai sesuatu yang gaib, namun sebenarnya dia adalah bagian permukaan dari hal yang lebih dalam lagi.

26Daniel L Pals, Seven Teories,…, 234

(22)

32

mengalami perjumpaan dengan The Numinous, ia akan merasakan dirinya bagaikan tidak ada, hanya sekedar kabut dan debu. Pertemuan dengan The Numinious ini sangat menarik dan unik dan oleh karenanya tidak bisa direduksi. Perasaan ini berbeda dengan perasaan ketika berjumpa dengan hal-hal indah dan menakjubkan. Dalam perasaan berjumpa dengan The Numinious ini pada akhirnya membawa kita kepada titik emosi terdalam dalam hati, dan itulah yang disebut agama.

Dari sinilah konsep Eliade tentang yang Sakral dipengaruhi oleh Otto. Eliade mengatakan bahwa, dalam perjumpan dengan yang sakral, seseorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir-duniawi. Ia seolah-olah menyentuh satu realitas yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sebuah dimensi dari eksisitensi yang maha kuat, terasa berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada tandingnya. Yang sakral tersebut sama dengan satu kekuatan, dan ia sama dengan realitas. Kekuatan yang sakral dipenuhi oleh “Yang Ada”. Ia adalah realitas, abadi dan dahsyat. Itulah sebabnya mengapa manusia punya hasrat ingin bersatu dengan Realitas ini untuk meraih kekuatannya.27 Yang sakral itu bukan hanya sekadar Tuhan yang umumnya dipahami oleh orang Kristen-Yahudi ataupun Muslim, akan tetapi bisa berarti kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur atau kekuatan Brahman. Yang sakral itu absolut dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi alam karena akan selalu mempengaruhi jalan hidup mereka.

Tugas utama agama adalah memahami yang sakral itu, agar manusia bisa menemukan dan merasakan serta membawa keluar dari alam dan situasi sejarahnya, lalu menempatkan pada suatu kualitas yang berbeda, dunia yang sama sekali lain, yang sangat transenden dan suci.28 Bagaimanapun tersembunyi dan samarnya yang sakral, isinya

27 Mircea Eliade, The Sacred and The The Profane: he Nature f Religion, (New York:

Harcout, Brace World,1956), 12-13

28 Mircea Eliade, Authobiography, volume II, 1937-1960: Exille’s Odyssey, (Chicago:

Chicago University Press, 1988), 188-189

(23)

33

tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia. Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpanya, ketika mata dibuka untuk melihat keberadaannya, ternyata yang sakral berada dalam segala penjuru.

Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan yang sakral dalam pengalaman yang normal? Menurut Eliade, penyelesaiannya adalah terdapat di dalam “pengalaman tidak langsung” (indirect experience) terhadap bahasa, simbol dan mitos.29 Dalam buku yang berjudul Patterns in Comparative Religions, Eliade mengeksplorasi tentang simbol-simbol religus. Satu hal yang ditekankan bahwa apa saja dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja adalah bagian dari Yang Profan. Dia ada hanya untuk dirinya sendiri. Tapi dalam waktu –waktu tertentu, hal-hal profan dapat ditransformasikan menjadi yang sakral.30

Sebuah benda, seekor binatang, nyala api, bunga yang merekah, sebuah batu bahkan seorang manusia bisa saja menjadi tanda yang sakral asal manusia menemukan dan meyakininya. Jadi seluruh objek simbolik memiliki karakter ganda, sebagai dirinya sendiri dan bisa berubah menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang beda dengan sebelumnya. Sebuah batu di satu sisi ia menjadi dirinya sebagai batu biasa, tetapi pada saat yang bersamaan ia bisa menjadi suci. Misalnya, Ka‟abah bagi orang Muslim, disatu sisi ia hanyalah seonggok batu biasa, tetapi karena hierophani,31 Ka‟abah tersebut menjadi sakral. Ia tidak hanya sekedar batu biasa, tetapi di dalamnya terkandung yang sakral. Ia menjadi berubah menjadi sakral karena yang sakral atau hierophani tersebut telah masuk di dalamnya. Batu yang tadinya adalah biasa-biasa saja (natural) karena

29 Daniel L Pals, Seven Teories,…, 241

30Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion, (New York: Meridian Books, 1963), 11

31Hierophani artinya manifestasi dari yang Kudus atau Yang Sakral. Tipe Hierophany yang lain adalah theophany (dari bahasa Yunani theos artinya Tuhan ) Lih. Daniel L. Pals, Seven Teories,…, 254-255

(24)

34

hierophani yang masuk di dalamnya, berubah menjadi sesuatu yang sakral (supernatural).

Proses masuknya yang supernatural ke dalam yang natural disebut dengan

“dialektika yang sakral”. Sebuah objekpada dasarnya terbatas, tetapi dengan sifatnya yang lain akan mampu memperlihatkan pada orang beriman kehadiran yang sakral yang dimiliki oleh objek tersebut. Persoalan adalah bagaimana hal yang profan dan sakral ini yang pada satu sisi bertentangan, tetapi pada sisi yang lain mampu bekerja secara bersama? Bagaimana yang profan (natural) sekaligus bisa menjadi yang sakral (supernatural)? Eliade menjawabnya bahwa hal itu bisa terjadi, sebab dalam beberapa hal, rasio manusia tidak bertanggungjawab atas proses pertukaran tersebut. Simbol- simbol yang mewujudkan diri dalam imajinasi-imajinasi manusia biasanya muncul dalam ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan, dan aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Sebagaimana dalam pribadi manusia hasrat- hasrat yang kontradiktif dapat berkumpul, impian dan fantasi yang tidak logis bisa saja terjadi, maka dalam pengalaman religius hal-hal yang berlawanan itu (yang sakral dan yang profan) juga bisa bertemu.32 Dalam perjalanan intuisi dan imajinasi religius, hal-hal yang profan dapat berubah menjadi yang sakral, yang natural menjadi yang supernatural.

Fungsi sebuah simbol adalah mengubah suatu objek atau tindakan menjadi sesuatu yang lain di mata pengalaman profan.33 Aneka ungkapan pengalaman manusia dilukiskan dengan sangat mendalam melalui simbol dan penciptan simbol. Melalui bentuk-bentuk simbol, manusia menanggapi hierophani-hierophani, tidak hanya sekedar dengan berusaha menghasilkan refleksi atau cerminan dari apa yang dilihat dan didengar, akan tetapi dengan menghubungkan dirinya pada apa yang menciptakan manifestasi itu.

32 Daniel L Pals, Seven Teories,…, 243

33 Mircea Eliade, Patterns,…, 445

(25)

35

Dengan kata lain, kegiatan simbolik itu tidak bersifat univok, tetapi bersifat multivalen, dan mengungkapkan segi-segi barang suci yang bervariasi.

Peranan penting yang dimainkan oleh simbolisme dalam pengalaman religius manusia bukan karena perubahan hierophani-hierophani menjadi simbol, atau karena simbol mendukung hierophani dan mengambil tempatnya, tetapi pertama-tema karena simbol mampu meneruskan hierophani dan bahkan kadangkala menjadi hierophani itu sendiri. Saat hierophani masuk dan mendiami sebuah simbol, maka simbol yang profan bisa berubah menjadi sesuatu yang sakral, simbol yang sebelumnya natural bisa berubah menjadi sesuatu yang supernatural.

Selain karena hierophani, sebuah simbol bisa menjadi sesuatu yang sakral disebabkan oleh “mitos” mengenai simbol tersebut. Menurut Eliade, masyarakat Arkhais memandang mitos sebagai sesuatu yang memiliki hubungan “dengan yang di atas” serta mitos-mitos yang lainnya untuk membentuk satu framework sebuah simbol.

Berfungsinya sebuah simbol karena terkait dengan simbol dan mitos-mitos yang lainnya, sehingga dunia berada dalam suatu sistem yang terkait dan bukan sebuah dunia yang chaos. Simbol menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat dinyatakan oleh manifestasi yang lainnya.34

Setiap manusia mula-mula dibenamkan dalam dunia profan, tetapi simbolisme menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan kudus.35 Dengan demikian simbol adalah sebuah bahasa yang menghapus batas-batas manusia di dalam kosmis, sehingga manusia tidak merupakan fragmen saja, tetapi dengan membuat jati dirinya yang terdalam serta status sosialnya jelas dan membuat dirinya menjadi irama alam,

34 Ibid., 446

35 Ibid., 41

(26)

36

mengintegrasikan dirinya ke dalam kesatuan yang lebih besar, masyarakat dan alam semesta.

Dalam buku The History of Religion:Essay in Methodology,36 Eliade menjelaskan ciri-ciri simbol yang mutivalen dan metaempiris, yaitu: menunjuk jauh lebih daripada dirinya sendiri kepada yang kudus, dunia realitas tertinggi, hidup yang lebih mendalam, dan lebih misterius. Sebuah simbol selalu berhubungan dengan pengalaman manusia aktif. Ia selalu tertuju kepada suatu realitas atau situasi yang melibatkan manusia, hanya dengan demikian simbol memberi arti atau makna dalam eksistensi manusia. Melalui simbol keagamaan yang autentik manusia dibebaskan dari isolasinya, subjektifitas dan pamrih dirinya dibawa masuk ke dalam sikap terbuka kepada Roh dan pada akhirnya memiliki kemampuan untuk mendekati yang universal.37

Eliade mengacu pada dua fungsi simbolisme keagamaan, yakni pemaduan dan pendamaian.38 Artinya simbol keagamaan memungkinkan manusia untuk menentukan kesatuan tertentu di dunia dan pada saat yang sama membuka diri kepada tujuan hidup sebagai bagian integral dunia. Salah satu contoh simbolisme keagamaan yang mampu menjawab kebutuhan ini misalnya terdapat dalam agama Kristen. Agama Kristen memberikan simbol-simbol yang hidup, baik mengenai keutuhan, perpaduan berbagai unsur di dalam suatu sintesis yang hidup, maupun mengenai pendamaian, pendobrakan, pertentangan antara dua kekuatan yang berlawanan.39

Pengalaman manusia mengenai dunia organis pertama-tama adalah pengalaman bertemu dengan aneka macam unsur yang membutuhkan suatu pusat integrasi (perpaduan). Misalnya, pengalaman bermasyarakat, hubungan antarpribadi,

36 Mircea Eliade dan J.M Kitagawa (eds), The History of Religion:Essay in Methodology, (Chicago: Chicago University Press, 1959), 103

37 Ibid., 103

38 F.W. Dillistone, The Power Of,…, 144.

39Ibid., 145

(27)

37

bersifat ambigu dan ambivalen, (cita dan benci, persahabatan dan persaingan kepercayaan dan kecurigaan) serta membutuhkan ikatan pendamaian. Melalui simbol Kristus yang menjelma, disalibkan, dan dibangkitkan, kedua kebutuhan ini telah dipenuhi secara memadai.40

Jadi baik yang profan dan yang sakral itu berada satu di dalam dunia yang sama. Yang profanebisa saja dianggap biasa, tetapi pada waktu yang supernatural (hierophani) masuk ke dalamnyaia berubah menjadi sesuatu yang sakral. Demikian halnya yang terjadi dengan simbol-simbol religius. Seseorang yang memasuki dunia yang sakral/supernatural (yangmysterium) merasa disentuh sesuatu yang nir-duniawi, sebuah realitas yang belum pernah dirasakan sebelumnya, berdimensi eksistensi yang kuat, abadi dan tiada tandingnya.

C. TEORI PENGURBANAN 1. Ritual Pengurbanan

Upacara kurban merupakan akta pemberian persembahan berupa makanan, minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural.41 Merupakan suatu proses pertukaran antara manusia dan makhluk adikodrati; manusia pengurban memberikan barang-barangnya dan penerima ilahi bereaksi. Ini adalah bentuk komunikasi nonverbal karena mencakup pertukaran barang dan jasa pada taraf religius, yang meliputi persembahan, persekutuan dan silih. Ketika memberi kurban sebagai persembahan dalam bentuknya yang paling sederhana dewa/dewi diberi suatu hadiah baik sebagai ucapan syukur maupun balas jasa atas semua hal. Persembahan itu berupa hasil ternak pertama, buah-buahan hasil pertama, sebelum seseorang mengambil

40 Ibid

41 Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995),214

(28)

38

keuntungan bagi dirinya. Bagian dari persembahan akan diberikan kepada dewa/dewi dan sebagian akan dimakan oleh manusia (peserta ibadah).

Unsur yang paling biasa dalam upacara kurban adalah membangun komunikasi antara dewa dan manusia.42 Sebagai tindakan religius, upacara kurban harus melalui penyucian, perubahan keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya atau benda-benda tertentu yang dimaksud. Menurut Hubert dan Mauss, setiap upacara kurban selalu mengimplikasikan secara tidak langsung suatu penyucian, karena dengan itulah sesuatu benda berubah dari status profan ke status suci; tindakan dan hadiah berpindah dari wilayah umum menuju wilayah religius.43 Kurban menyebabkan terjadinya komunikasi antara yang kudus dengan yang profan, sementara imam berlaku sebagai pelaksana kurban atau wakil dari para dewa.

Menurut beberapa orang, persembahan meliputi suatu perjanjian (do ut es)”saya memberi supaya engkaupun memberi.” Dalam catatanHarry Sawyer, di masyarakat Afrika tidak menerima persembahan merupakan suatu hal buruk dan lebih buruk lagi kalau tidak sering memberi hadiah yang lebih besar sebagai balasan.

Penolakan terhadap hadiah berarti bahwa orang itu tidak sungguh-sungguh diterima, dan sebagai balasan tuan rumah mesti memberi sang tamu hadiah yang lebih besar, yang dikenal sebagai penerimaan salam itu.44

Secara antropologi sosial upacara kurban persembahan secara tidak langsung mengimplikasikan suatu pertukaran barang dan jasa, yang muncul dari kehendak ataupun kewajiban suatu masyarakat. Persembahan-persembahan dilakukan dengan pengharapan akan ada balasan yang diterima. Jommo Kenyatta mengatakan,”bangsa Kikuyu berdoa kepada Tuhan mereka yang Maha Tinggi-Mwene-Nyaga, dengan mengharapkan bahwa

42H. Hubert dan M. Mauss,Sacrifice: It’s Nature and Function (terj),(London 1964), 13

43ibid

44 Harry Sawyer, Sacrifice, dalam Maria Susai Dhavamony,Fenomenologi, …, 75

(29)

39

doa-doa mereka akan dijawab dengan senang hati sebagai balasan atas hadiah yang telah diberikan dan bahwa doa-doa kepada leluhur diatur juga oleh hukum hutang balas budi.”45

Dalam masyarakat primitif kurban yang paling berharga yang dipersembahkan kepada dewa adalah darah. Mengapa? Karena darah menyatakan kehidupan. Dalam arti yang sepenuhnya darah melambangkan kehidupan seseorang.

Sehingga ada dua signifikansi darah dalam upacara kurban. Pertama, darah menciptakan ikatan baru antara para peserta dalam ibadah tersebut. Kedua, kurban darah yang dibuat untuk para dewa dan roh-roh leluhur, menghidupkan kembali objek untuk siapa persembahan itu dilakukan.46 Darah juga dipercaya memberikan dasar yang memadai untuk menjembatani jurang yang disebabkan oleh karena kesalahan.47

Dalam upacara kurban, manusia harus menyadari bahwa dewa dapat dan boleh melakukan apa saja yang diinginkannyadan si pengurban tidak mempunyai kekuatan. Inilah sikap religius para peserta dalam upacara kurban. Dengan demikian dalam upacara kurban tidak ada pemikiran tentang pertukaran barang dan jasa begitu saja atas dasar mekanisme dan perjanjian.

Ada beberapa konsep pengorbanan berdasarkan disiplin ilmu antropologi, sosiologi, psikology dan teologi. Secara antropology,Nancy Jay mengatakan bahwa,“ritual pengorbanan merupakan simbol kebersamaan dalam sebuah masyarakat.Bagi individu yang memakan kurban dalam ritual pengorbanan tersebut, dinyatakan sebagai bagian dari masyarakat tersebut”.48 Daging yang dimakan bersama

45Ibid., 215

46Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi,..., 217

47Harry Sawyerr,Sacrifice,..., 77

48Nancy Jay, Throughout Your Generations Forever: Sacrifice, Religion, and Paternitydalam Jeffrey CarterUnderstanding,…,370-371.

(30)

40

dalam ritual pengurbanan akan menguatkan identitas keluarga besar yang penting bagi posisi sosial dan tindakan politik.49.

Secara sosiologis ritual pengorbanan adalah sebuah tindakan dalam masyarakat yang dipenuhi dengan simbol-simbol.Viktor Turner mengartikan simbol sebagai sesuatu yang memiliki banyak makna, baik itu makna sosial (ideologi, moral, normatif) maupun individual (emosi, panca indra, dan keinginan).50Pengorbanan yang dilakukan di Afrika misalnya, merupakan sebuah kurban bagi raja dan dewa-dewa.

Kurban yang diberikan selalu berupa hewan. Ritual pengorbanan tersebut dilakukan sebagai jalan untuk manusia dan dewa-dewa bertemu serta berkomunikasi satu dengan yang lain.

Secara psikologi ritual pengurbanan di dalam sebuah komunitas berawal dari keinginan dan kerinduan jiwa masing-masing individu untuk memberikan kurban persembahan kepada dewa demi tercapainya sebuah keharmonisan sosial dalam komunitas, secara khusus bagi setiap individu. Pengorbanan merupakan sebuah proses simbolik dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok untuk mencapai sesuatu yang ideal didalam hidup ini.

Secara teologi, ritual pengorbanan merupakan hal yang penting bagi sebuah agama. Dalam setiap ritual pengorbanan, terjadi proses pembunuhan terhadap hewan yang akan dikurbankan. Hewan yang terbaik dari alam itulah yang dipilih. Menurut Robert J Daly, “pengorbanan dalam tradisi Kristen-Yahudi kuno memilik dua trend, yakni sebuah proses spiritualisasi antara manusia dengan pencipta (Tuhan) yang memiliki status tertinggi dari manusia, dan trend institusional yang menciptakan hubungan sosial di antara masyarakat (gereja) yang dikendalikan oleh seorang imam.

49 Robert B. Coote, Demi Membela Revolusi, (Jakarta: BPKM, 2011), 148

50ViktorTurner,Sacrifice as Quintessential Process: Prophylaxis or Abandonment?dalam Jeffrey Carter Understanding,…,292-294.

(31)

41

Robert J Daly mengemukakan bahwa di kalangan Kristen-Yahudi kuno terdapat perbedaan makna dari setiap pengorbanan yang diberikan. Meskipun demikian, ritual pengorbanan yang dilakukan adalah sebuah bentuk penyerahan diri dan tanda ketaatan cinta.”51

2. Ritual Pengurbanan Anak (Child Sacrifice)

Dalam ritul pengurbanan, tidak hanya binatang yang menjadi kurban persembahan, akan tetapi ada kalanya manusia juga bisa menjadi kurban kepada para dewa ataupun Tuhan. Di daerah Virginia ritual pengorbanan anak oleh suku Indian.

Kurban anak yang mereka berikan akan mendamaikan relasi mereka dengan dewa.

Dengan mengurbankan seorang anak, dewa tidak akan marah sehingga menjauhkan mereka dari penyakit, kelaparan, serta peperangan.52 Menurut Edward A Westermarck, pengorbanan anak merupakan upaya manusia untuk mempengaruhi dewa mencegah munculnya kematian, dengan mempersembahkan sebuah kehidupan yang berbeda.

Pengorbanan dengan mengorbankan manusia secara esensial untuk menggantikan hidup dengan kehidupan. Pengorbanan manusia secara esensialnya adalah salah satu metode asuransi jiwa.53 Hal yang sama dalam penelitian yang dilakukan oleh Valerio Valeri terhadap model pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat di Hawai. Hasil akhir penelitian Valerio menyimpulkan bahwa pengorbanan manusia adalah rangkaian lengkap dari sebuah ritual yang mempersembahkan hewan, tumbuhan, atau komponen-komponen simbol lain yang memiliki nilai.54

51Robert J Daly, The Power of Sarifice in Ancient Judaism and Christianity, dalam Jeffrey Carter, Undersanding,…, 343

52Edward A. Westermarck, The origin and development of Moral Ideas, dalam Jeffrey Carter,Undestanding,…,112

53 Ibid., 101

54 Valerio Valeri, Kingship and Sacrifice In Ancien Hawai dalam Jeffrey, Understanding,…, 317-318

Referensi

Dokumen terkait

PAGnet mempertemukan petugas kesehatan masyarakat di pintu masuk dengan mitra untuk mengkoordinasikan kegiatan kesehatan masyarakat di pelabuhan, bandara dan lintas darat

Berdasarkan hasil dari keseluruhan subjek penelitian sebagian besar subjek yang orang tuanya bercerai tiga dari empat subjek mampu menerima kenyataan yang

Riva Iqbal Dwiza yang memberikan banyak dukungan, perhatian, semangat dan waktu yang membuat penulis semakin kuat dengan canda tawa yang diberikan sehingga

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan di kawasan usaha Peternakan Sapi Perah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor,

Konsumen yang merasa dapat memperoleh manfaat dan informasi terkait dengan produk yang sedang dicari sehingga memperoleh kesenangan, hiburan, dan kenikmatan ketika membaca online

www.rb.lapan.go.id | 10 2011 2014 2019 2025 Seluruh Kementerian dan lembaga (K/L) serta pemda ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses

 bagian dari dari rongga rongga mulut) mulut) dan dan palatum palatum molle molle (merupakan (merupakan bagian bagian dari dari oropharyn'). Palatum memisahkan

Dengan menggunakan dana eksternal, perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhi pembayaran bunga dan pokok pinjaman kepada kreditur sehingga cash flow yang ada dalam