• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNGJAWAB KEJAKSAAN TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNGJAWAB KEJAKSAAN TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNGJAWAB KEJAKSAAN TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

OLEH PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

TEDDY LAZUARDI SYAHPUTRA 167005182 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2019

(2)

TANGGUNGJAWAB KEJAKSAAN TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

OLEH PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

TEDDY LAZUARDI SYAHPUTRA 167005182 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2019

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 17 Januari 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum 2. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum 4. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.

(5)
(6)

ABSTRAK

Pada prinsipnya pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi jauh lebih bermanfaat dari pada menghukum pelaku. Surat Edaran Jampidsus Nomor B- 1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, dan Surat Jampidsus Nomor 765/F/Fd.1/04/2018 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyelidikan merupakan bentuk diskresi kejaksaan yang lebih mengutamakan pengembalian keugian keuangan negara karena dapat bermanfaat untuk pemasukan anggaran penerimaan belanja negara melalui jalur penerimaan negara bukan pajak dari kejaksaaan.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimanakah landasan hukum lembaga Kejaksaan Republik Indonesia dalam membuat kebijakan terkait penangangan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, kewenangan yang di miliki oleh jaksa penyelidik terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang relatif kecil dalam hal pelaku tindak pidana telah mengembalikan kerugian keuangan negara dan tanggung jawab jaksa penyelidik dalam menjalankan diskresi terhadap pelaku tindak pidana korupsi atas pengembalian kerugian keuangan negara yang jumlahnya kecil.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian hukum normatif ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dengan munggunakan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh), serta analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif.

Landasan hukum lembaga Kejaksaan Republik Indonesia dalam membuat kebijakan terkait penangangan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di Indonesia adalah berdasarkan ketentuan Pasal 35 Huruf A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Surat Edaran Jampidsus Nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, dan Surat Jampidsus Nomor 765/F/Fd.1/04/2018 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyelidikan. Kewenangan yang di miliki oleh jaksa penyelidik terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang relatif kecil dalam hal pelaku tindak pidana telah mengembalikan kerugian keuangan negara adalah menerbitkan laporan hasil penyelidikan, dan terhadap tindak pidana korupsi yang jumlah kerugian keuangan negaranya dalam jumlah kecil tidak serta merta semuanya dilakukan penghentian penyelidikan perkara namun harus dengan mekanisme tertentu. Tanggung jawab jaksa penyelidik antara lain melakukan tindakan penyelidikan, kerjasama dan koordinasi dengan lembaga inspektorat dan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan, meminta pendapat kepada pimpinan terkait penentuan jumlah kerugian negara yang jumlahnya kecil dan terkait penghentian penyelidikan perkara tindak pidana korupsi yang jumlah kerugian negaranya kecil, dan selnjutnya jaksa juga bertanggung jawab menyetorkan dana pengembalian kerugian negara dari pelaku tindak pidana korupsi ke kas daerah atau kas kejaksaan melalui jalur penerimaan negara bukan pajak.

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Pengembalian, Kerugian, Keuangan Negara.

(7)

ABSTRACT

In principle, the return of state financial losses by perpetrators of corruption is far more beneficial than punishing the perpetrators. Jampidsus Circular Number B-1113/F/

Fd.1/ 05/2010 concerning Priorities and Achievements in Handling Corruption Crime Cases, and Jampidsus Letter Number 765/F/Fd.1/04/2018 concerning Technical Guidelines for Handling Criminal Cases Corruption The Investigation Stage is a form of prosecutor's discretion which prioritizes the return of state financial losses because it can be useful for the inclusion of a budget for the receipt of state expenditure through non-tax state revenues from prosecutors. The problem raised in this research is how is the legal basis of the Republic of Indonesia's Attorney General's Office in making policies related to handling and settling cases of corruption in Indonesia, the authority possessed by investigating prosecutors towards relatively small perpetrators of corruption in the case of criminal offenders restore the state's financial losses and the responsibility of the investigating prosecutor in carrying out discretion against the perpetrators of corruption in the case of small amounts of state financial losses.

To find answers to these problems, this study uses a type of normative legal research that is descriptive analytical, where normative legal research uses secondary data as the main data by using data collection techniques carried out by means of library research (library reseacrh), and data analysis using methods qualitative data analysis.

The legal foundation of the Republic of Indonesia's Prosecutor's Office in making policies related to handling and settling cases of corruption in Indonesia is based on the provisions of Article 35 Letter A of Act Number 16 of 2004 concerning the Prosecutor's Office of the Republic of Indonesia, Jampidsus Circular Number B-1113/F/Fd.1/05/2010 Regarding Priorities and Achievements in the Handling of Corruption Crime Cases, and Jampidsus Letter Number 765/F/Fd.1/04/2018 concerning Technical Guidelines for Investigating Corruption Crime Case Investigation Phase. The authority possessed by the investigating prosecutor against the perpetrators of corruption that is relatively small in the case of a criminal offender has returned the state financial loss is to publish a report on the results of the investigation, and against corruption that has a small amount of state loss case investigations but must be with certain mechanisms. The responsibility of the investigating prosecutor includes conducting investigations, cooperating and coordinating with the institution of the inspectorate and the center for reporting and analyzing financial transactions, requesting opinions from the leadership regarding the determination of the amount of state losses which are small and related to the termination of investigations into corruption cases that have small losses. and furthermore, the prosecutor is also responsible for depositing the state loss refund funds from the perpetrators of criminal acts of corruption to the regional treasury or the attorney's cash through non-tax state revenue channels.

Keywords: Responsible, Returns, Losses, State Finance.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Segala puji syukur bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah memberikan kasih sayang dan cinta kasih kepada kita semua. Shalawat beserta salam senantiasa kita junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya kelak di hari kiamat nanti, dan karena rahmat dan hidayahnya juga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI”

Pada penyusunan tesis ini tentunya banyak sekali kekurangan-kekurangan dan keterbatasan yang terdapat dalam diri penulis, dan karena itu penulis sangat mengharapkan koreksi, kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini menjadi lebih baik lagi, tidak sedikit bantuan dari berbagai pihak yang diberikan kepada penulis baik dari segi moril dan segi materil. Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pemberi motivasi terbesar dalam hidup penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang dan doa yang tidak putus- putusnya yaitu kedua orang tua tercinta, Ayahanda Edward Rismadi Putra, SH.MH, Ibunda Nurlina Lubis, kepada isteri tercinta Fauziah SH., dan ananda tersayang 1. Diva Amalia Muhazirah 2. Fitra Ardiansyah Putra dan 3. Safira Azzahra, yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis.

(9)

Tidak lupa pula dengan segala ketulusan hati penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang selama ini penulis terima sampai selesainya penulisan tesis ini, dan oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M. Hum, Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M. Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H. M. Hum, Selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H. M.S, Selaku Pembimbing I, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H. M.Hum Selaku Dosen Pembimbing II, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Dr. Ekaputra, S.H. M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing III, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Dr. Sunarmi, S.H. M. Hum, Selaku Dosen Penguji I, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Dr. M. Hamdan, S.H. M.H Selaku Dosen Penguji II, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh Dosen Pengajar Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

10. Seluruh Jajaran Staff Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Rekan-rekan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum tindak pidana korupsi pada khususnya dan ilmu hukum pada umumnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis semoga mendapat pahala, serta selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Medan, Januari 2019

Teddy Lazuardi Syahputra

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Teddy Lazuardi Syahputra

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 06 Juni 1982

Alamat : Jl. Marelan Raya Komp. Villa Deli Indah Blok C No. 34 Medan

Pekerjaan : PNS

Agama : Islam

Nama Ayah : Edward Rismadi Putra, SH, MH

Nama Ibu : Nurlina Lubis

Suku / Bangsa : Melayu / Indonesia

II. PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri Kalimantan Barat (1994) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Asahan (1997) 3. Sekolah Menengah Atas Swasta Dharmawangsa (2000) 4. Universitas Islam Sumatera Utara (2004)

(12)

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN BUKAN PLAGIAT ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

1. Jenis Dan Sifat Penelitian ... 21

2. Sumber Bahan Hukum ... 22

3. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data ... 23

4. Analisis Data ... 24

BAB II : LANDASAN HUKUM LEMBAGA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MEMBUAT KEBIJAKAN TERKAIT PENANGANGAN DAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ... 26

A. Konsep Diskresi Dalam Aturan Perundang-Undangan Di Negara Indonesia ... 26

B. Kriteria Pelaksanaan Suatu Konsep Diskresi Oleh Aparat Penegak Hukum di Indonesia ... 33

C. Landasan Hukum Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Membuat Kebijakan Terkait Penangangan Dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia ... 39

(13)

BAB III : KEWENANGAN YANG DI MILIKI OLEH JAKSA PENYELIDIK TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG RELATIF KECIL DALAM HAL PELAKU TINDAK PIDANA TELAH

MENGEMBALIKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA ... 47

A. Dasar Hukum Penghentian Penyelidikan Perkara Oleh Jaksa Penyelidik Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Telah Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara Yang Jumlahnya Relatif Kecil ... 47

B. Kewenangan Yang Di Miliki Oleh Jaksa Penyelidik Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Telah Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara Yang Jumlahnya Relatif Kecil ... 65

C. Akibat Hukum Diterbitkannya Laporaan Hasil Penyelidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Jumlah Kerugian Keuangan Negaranya Relatif Kecil ... 85

1. Akibat Hukum Terbitnya Laporaan Hasil Penyelidikan Yang Menyatakan Penyelidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dihentikan ... 85

2. Akibat Hukum Terbitnya Laporaan Hasil Penyelidikan Yang Menyatakan Penyelidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dilanjutkan Ke Tahap Penyidikan ... 89

BAB IV : TANGGUNG JAWAB JAKSA PENYELIDIK DALAM MENJALANKAN DISKRESI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI ATAS PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG JUMLAHNYA KECIL ... 91

A. Mekanisme Pelaksanaan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Yang Jumlahnya Kecil Oleh Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... 91

B. Tanggung Jawab Jaksa Penyelidik Dalam Menjalankan Diskresi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Atas Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Yang Jumlahnya Kecil ... 97

C. Hambatan Dalam Pelaksanaan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Yang Jumlahnya Kecil Oleh Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... 102

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN ... 120

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori membahayakan. Korupsi merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa ini dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama. Penegakan hukum terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme saat ini sering menjadi tuntutan masyarakat seiring dengan reformasi mengingat kegagalan dalam pemidanaan para pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme selama ini.1

Korupsi merupakan ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa, korupsi seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara maupun kualitasnya. Perkembangan korupsi akhir- akhir ini nampak semakin sistematis dan terpola. Luas lingkupnya juga telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, oleh sebab itu secara nasional disepakati bahwa korupsi bukan saja sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional yang sangat membahayakan. Tindak pidana korupsi merupakan

1 Mutia Oktaria Mega Nanda, “Analisis Dampak Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tuntutan Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi,” Jurnal, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2016, h. 1

(15)

kejahatan yang dilakukan oleh setiap subyek hukum, baik orang maupun badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara.2 Akibat tindak pidana korupsi berdampak sangat luas, bukan hanya menyangkut keuangan negara, tetapi juga mampu merusak sistem pemerintahan, perekonomian dan pembangunan. Tidak banyak kasus tindak pidana korupsi yang diproses secara hukum dan ternyata hanya sedikit perkara tindak pidana korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh instansi penegak hukum. Korupsi merupakan white collar crime yang terjadi tidak hanya di negara berkembang, namun di negara maju pun kejahatan ini menjadi momok yang sangat membahayakan terutama bagi birokrasi pemerintahan dan keuangan negara.

Praktik korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Ibarat penyakit, korupsi merupakan penyakit yang sudah kronis, sehingga sangat sulit untuk mengobatinya. Korupsi tidak saja akan menggerus struktur kenegaraan secara perlahan, akan tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara.3 Aparat penegak hukum mempunyai peran yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi, tanpa aparat hukum yang kompeten dan bersih maka mustahil pemberantasan korupsi bisa berjalan, dan oleh karena itu para penegak hukum yang tergabung dalam integrated criminal justice system peradilan tindak pidana korupsi harus saling bekerja sama, bersinergi, dan kooperatif dalam

2 Niniek Suparni, Baringin Sianturi, Bunga Rampai Korupsi, Gratifikasi, Dan Suap, Jakarta, Miswar, 2011, h. 8

3 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2013, h. 1

(16)

menjalankan peran dan kedudukannya tersebut sesuai kode etik dan peraturan perundang- undangan.4

Polisi dan jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi bertugas sebagai penyidik yang dalam tugasnya mencari keterangan dari berbagai sumber dan keterangan saksi. Proses pemeriksaan tentang benar tidaknya suatu perbuatan pidana terjadi dapat diketahui melalui proses penyidikan, tetapi sebelum dilakukan penyidikan terlebih dahulu dilakukan proses penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik.5 Perbuatan penyidikan atau mengusut adalah merupakan usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran apakah telah terjadi sesuatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta, siapakah yang terlibat dalam perbuatan itu, dan suatu penyidikan atau pengusutan diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa atas perkara tersebut akan dilakukan penuntutan atau tidak.

Salah satu aspek paling penting dalam penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah pengembalian kerugian keuangan negara, yang mana tingkat pengembalian kerugian uang negara dari tahun ke tahun relatif kecil. Salah satu tujuan diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian negara, dan oleh karena itu penegakan hukum

4 Satya Arinanto, Ninuk Triyanti, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 176

5 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 6

(17)

pidananya lebih mengutamakan pengembalian kerugian uang negara dari pada menghukum para pelaku tindak pidana korupsi.6

Tabel 1. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

No Tahun Jumlah Pengembalian

1. 2014 Rp. 1,491 Triliun.

2. 2015 Rp. 1,542 Triliun

3. 2016 Rp. 720,269 Miliar

4. 2017 Rp. 276,6 Miliar

Sumber: Laporan Tahunan KPK

Upaya pengembalian kerugian uang negara dari para pelaku korupsi akan berhasil apabila terjadi kerjasama antara aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana korupsi terutama dalam usaha pengembalian kerugian negara. Tanpa adanya kerjasama tersebut akan sulit terjadi suatu pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Sebagai contoh salah satu kewenangan diskresi jaksa penyelidik yang dapat menghentikan penyelidikan perkara pidana bagi seorang pelaku tindak pidana korupsi dengan mekanisme tindak pidana tersebut merupakan perbuatan yang tidak disengaja atau berupa kesalahan administrasi dan bukan merupakan tindak pidana korupsi yang berdampak sistemik langsung ke masyarakat seperti korupsi dana bantuan operasional sekolah atau korupsi penyaluran beras miskin, di mana penghentian penyelidikan tersebut ditemukan

6 Paulus Mujiran, Republik Para Maling, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, h. 2

(18)

kerugian keuangan negara dengan jumlah relatif kecil dan pelaku tindak pidana tersebut wajib mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut.

Adapun aturan hukum yang melegalkan jaksa penyelidik melakukan kewenangan diskresi tersebut dikarenakan alasan lebih mengutamakan pengembalian kerugian uang negara dari pada menghukum para pelaku tindak pidana korupsi, di mana hal ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan diantaranya:

1. Surat Edaran Jampidsus Nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi.

2. Surat Jampidsus Nomor 765/F/Fd.1/04/2018 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyelidikan.

Adapun yang menjadi latar belakang lahirnya SE Jampidsus Nomor B- 1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yaitu nilai kerugian keuangan negara tidak sebanding dengan besarnya biaya penanganan perkara tindak pidana korupsi dalam DIPA Kejaksaan, dan akan lebih baik dikembalikan uang yag dikorupsi oleh pelaku tindak pidana dan tidak perlu ditindaklanjuti tentunya dengan berbagai pertimbangan karena anggaran yang dikeluarkan untuk menangani perkara tersebut jauh lebih besar.

Pada prinsipnya pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi jauh lebih bermanfaat dari pada menghukum pelaku. Surat edaran tersebut merupakan bentuk diskresi kejaksaan yang lebih mengutamakan pengembalian keugian keuangan negara karena dapat bermanfaat untuk pemasukan anggaran penerimaan belanja negara melalui jalur penerimaan negara bukan pajak dari kejaksaaan.

(19)

Kebijakan di atas bersifat dilematis, di satu sisi tujuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat tercapai sehingga meningkatkan pengembalian kerugian uang negara, tetapi di sisi lain menimbulkan masalah dalam penegakan hukum pidana, persoalan ini terjadi karena perumusan pasal dari Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menimbulkan multitafsir dalam penegakan hukumnya, yaitu pada unsur dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.7

Kata dapat diartikan bahwa suatu perbuatan korupsi telah memenuhi unsur tindak pidana setelah perbuatan itu dilakukan, walaupun kemudian pelaku mengembalikan kerugian uang negara, perbuatan pidananya tetap dianggap telah terjadi.8 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tidak pidana, dan telah dijelaskan dalam penjelasan pasal tersebut bahwa apabila telah memenuhi unsur-unsur pasal yang dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak akan menghapuskan ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Selain itu belum seragam dan masih adanya perbedaan pandangan antara sesama jaksa penyelidik dalam melaksanakan ketentuan dalam Surat Edaran Jampidsus Nomor B-

7 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

8 Penjelasan Umum Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(20)

1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, dan Surat Jampidsus Nomor 765/F/Fd.1/04/2018 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyelidikan, membuat pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara tidak berjalan maksimal, sehingga dalam hal ini perlu dibuat sebuah kajian untuk membahas permasalahan hukum terkait pengembalian kerugian negara yang yang jumlahnya kecil. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini diberi judul “Tanggung Jawab Kejaksaan Terhadap Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Oleh Pelaku Tindak Pidana Korupsi.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini akan dirumuskan tiga permasalahan yaitu:

1. Bagaimana landasan hukum lembaga Kejaksaan Republik Indonesia dalam membuat kebijakan terkait penangangan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana kewenangan yang di miliki oleh jaksa penyelidik terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang relatif kecil dalam hal pelaku tindak pidana telah mengembalikan kerugian keuangan negara?

3. Bagaimana tanggung jawab jaksa penyelidik dalam menjalankan diskresi terhadap pelaku tindak pidana korupsi atas pengembalian kerugian keuangan negara yang jumlahnya kecil?

(21)

C. Tujuan Penelitian

Tulisan ini dibuat untuk menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian, maka sesuai permasalahan di atas adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai landasan hukum lembaga Kejaksaan Republik Indonesia dalam membuat kebijakan terkait penangangan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai kewenangan yang di miliki oleh jaksa penyelidik terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang relatif kecil dalam hal pelaku tindak pidana telah mengembalikan kerugian keuangan negara.

3. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai tanggung jawab jaksa penyelidik dalam menjalankan diskresi terhadap pelaku tindak pidana korupsi atas pengembalian kerugian keuangan negara yang jumlahnya kecil.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat yang bersifat teoritis yaitu penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kepentingan teoritis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum dengan memakai hasil penelitian ini sebagai kerangka dasar penelitian lebih lanjut terutama untuk menentukan arah perubahan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di masa mendatang. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan

(22)

tentang pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi yang dirasakan masih minim dan kurang mendapat perhatian yang serius dan juga diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik khususnya bagi penelitian dalam bidang hukum tindak pidana korupsi.

2. Manfaat secara praktis, di mana hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang lebih komplit untuk menyempurnakan fungsi, tugas dan wewenang dari aparat penegak hukum baik polisi, jaksa dan hakim dalam pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi dan juga penegakan hukum pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Tanggung Jawab Kejaksaan Terhadap Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Oleh Pelaku Tindak Pidana Korupsi” merupakan hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda, dan dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara moral dan ilmiah. Adapun beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu:

1. Nama : Marni Dalimunthe

NIM : 130511374

Universitas : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

(23)

Judul : Pengembalian Uang Negara Yang Diduga Hasil Korupsi Ketika Terdakwa Meninggal Dunia.

2. Nama : Tiara Ismaretta

NIM : 1212011343

Universitas : Universitas Lampung

Judul : Analisis Dampak Pengembalian Kerugian Negara Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Neuman berpendapat bahwa teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berorientasikan satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia.9 Kerangka secara etimologis bermakna garis besar atau rancangan. Teori adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan.10 M. Solly Lubis memberikan pengertian kerangka teori adalah:

“Pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis, hal mana dapat menjadi pegangan eksternal bagi penulis. Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi.”11

9 Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Ditama, Bandung, 2005, h. 22.

10 Arief Shidarta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 2

11 M.Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80

(24)

Penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum, isu hukum mengenai ketentuan hukum yang didalamnya mengandung pengertian hukum berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi, untuk penelitian pada tataran teori hukum isu hukum harus mengandung konsep hukum. Konsep hukum dapat dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam kerangka berjalannya aktivitas hidup bermasyarakat secara tertib.12 Oleh sebab itu, kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:13

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna untuk mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi yang ada.

c. Teori merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi dimasa yang akan datang.

Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun.14

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenada Media, Jakarta, 2013, h. 112

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, h. 121

14 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 93

(25)

Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya.15 Suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain, sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.16

Bagi seorang peneliti, suatu teori atau kerangka teori mempunyai berbagai kegunaan, di mana kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal, sebagai berikut:17

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak di selidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

c. Teori biasanya merupakan ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang hendak diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan muncul lagi pada masa-masa mendatang.

15 Otje Salman, S, Anton F Susanto, Op. Cit., h. 23

16 M. Solly Lubis, Op. Cit., h. 80

17 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Ind Hill Co, Jakarta, 1990, h. 67

(26)

e. Teori memberi petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami mengenai konsep pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi, di mana konsep keseimbangan dan keadilan diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku pelaku tindak pidana korupsi. Adapun teori yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah teori kewenanganan, teori pertanggungjawaban pidana, dan teori kepastian hukum.

a. Teori Kewenangan

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kewenangan. Teori kewenangan dipandang tepat didalam penelitian ini dengan pertimbangan untuk mengetahui kewenangan jaksa penyelidik dalam pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintahkan dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).18

18 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, h. 35-36

(27)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum disebut sebagai “blote match” sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara.19

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.20 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur- unsur lainnya. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.21

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana

19 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik Dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Surabaya, 1990, h. 30

20 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, Surabaya, 1992, h. 1

21 Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 35

(28)

jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.22 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata yang artinya kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang, yang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid. Jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum nasional istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.23

b. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan asas terpenting dalam tindakan hukum dan penegakan hukum, serta telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum lebih tinggi daripada hukum kebiasaan, hukum adat atau hukum yang berasal dari yurisprudensi. Namun, perlu diketahui bahwa kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan dalam bentuknya yang tertulis.

22 Rusadi Kantaprawira, Hukum Dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998, h. 39

23 Phillipus M. Hadjon, Op. Cit., h. 20

(29)

Bagir Manan menyatakan bahwa untuk benar-benar menjamin kepastian hukum suatu perundang-undangan selain memenuhi syarat formal, harus pula memenuhi syarat- syarat lain yaitu jelas dalam perumusannya, konsisten dalam perumusannya baik secara intern maupun ekstern, penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti oleh orang yang membacanya.24 Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.25 Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, hukum harus dilaksanakan dan setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang berlaku, pada dasarnya tidak boleh menyimpang fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh keberadaan hukum tetap harus ditegakkan) sebab hal itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.

24 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 2000, h. 225

25 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, h.

158

(30)

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang- wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk mengatur ketertiban masyarakat.26 Sudikno menyatakan bahwa “masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.” Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat, tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan, tetapi jika terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, dan ketat menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta akan menimbulkan rasa tidak adil.27

Gustav menyatakn bahwa “kepastian hukum merupakan bagian dari tujuan hukum.”28 Utrecht menyebutkan tujuan hukum adalah “untuk menjamin suatu kepastian di tengah-tengah masyarakat dan hanya keputusan dapat membuat kepastian hukum sepenuhnya, maka hukum bersifat sebagai alat untuk mencapai kepastian hukum.”29 Kepastian hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersifat tetap, yang bisa dijadikan sebagai pedoman di dalam menyelesaikan masalah-masalah.30

26 Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 1

27 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, h. 136

28 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 123

29 Utrecht & Moh. Saleh Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, h.

14

30 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1992, h. 42

(31)

Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:

1. Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

3. Peraturan tersebut tidak berlaku surut.

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh sering diubah-ubah.

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan yang berlaku dengan pelaksanaan sehari-hari.31 Hukum bertugas menjamin adanya suatu kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan manusia, di mana dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum yang berguna, tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting). Fungsi penggunaan teori kepastian hukum disini adalah untuk mengetahui kewenangan jaksa penyelidik dalam pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi dengan memberikan kepastian hukum kepada semua pihak dan juga bagi pelaku tindak pidana.

31 Ahmad Ali, Op. Cit., h. 294

(32)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan.

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal- hal khusus yang disebut defenisi operasional.32 Maka dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian antara satu dengan yang lainnya yakni sebagai berikut:

1. Tanggung jawab adalah kewajiban seseorang (subjek hukum) menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan.

Tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.

2. Kerugian keuanganan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

3. Tindak pidana ialah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang dalam keadaan mampu bertanggung jawab.

32 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, h. 3

(33)

4. Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun suatu golongan.

5. Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat atau umum.

6. Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.33

7. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bernegara.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian.

Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten di mana

33 Hatrik Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, h. 34

(34)

metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan atau berlawanan dengan suatu kerangka pemikiran tertentu.34

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.35 Penelitian hukum normatif juga mengacu kepada aturan-aturan hukum, norma-norma hukum yang terdapat baik di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan.

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriftif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan atas permasalahan-permasalahan yang di teliti.36

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan-bahan hukum yang terdapat dalam penelitian ini diambil dari data- data sekunder, dan adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut:

34 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 42

35 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penelitian Tesis Dan Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 2014, h. 94

36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 35

(35)

a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, SE Jampidsus Nomor B- 1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Surat Jampidsus Nomor 765/F/Fd.1/04/2018 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyelidikan, dan peraturan- peraturan yang terkait dengan penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti. Selain data sekunder penelitian ini juga di dukung oleh data primer berupa penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan di bahas dalam penelitian ini nantinya.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

3. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan

(36)

dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang- undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian.

Untuk menjawab problematika penelitian dalam mencapai tujuan dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian, diperlukan data. Untuk memperoleh data, seorang peneliti biasanya menggunakan instrumen mengumpulkan data. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen dan membuat pedoman wawancara serta melakukan wawancara terhadap informan-informan yang berhubungan langsung dengan objek penelitian ini di mana wawancara dilakukan kepada aparat penegak hukum yang melakukan pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi.

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian- pengertian dari sistem hukum tersebut.37 Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi.

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji di dalam penelitian yang terkait dengan pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaidah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut khususnya

37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 225

(37)

yang terkait dengan pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi.

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas, kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.38

38 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Jakarta, 2008, h. 48

(38)

BAB II

LANDASAN HUKUM LEMBAGA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MEMBUAT KEBIJAKAN TERKAIT PENANGANGAN DAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

D. Konsep Diskresi Dalam Ketentuan Aturan Perundang-Undangan Di Negara Indonesia

Kata diskresi (discretion) memiliki arti kebijaksanaan, penilaian, atau kebebasan untuk menentukan.39 Diskresi dapat juga diartikan sebagai kebijaksanaan, keleluasaan, menurut kehendak, atau kebebasan untuk menentukan atau memilih.

Diskresi dapat juga didefinisikan dengan a public official's power or right to act in certain circumstances according to personal judgment and conscience (kekuatan resmi publik atau hak untuk bertindak dalam keadaan-keadaan tertentu menurut pertimbangan dan kesadarann personal).40 Lehman mendefinisan discretion dengan the power or right to make official decicions using reason and judgment to choose from among acceptable alternatives (kekuatan atau hak untuk membuat keputusan- keputusan resmi dengan menggunakan alasan dan pertimbangan untuk memilih di antara alternatif-alternatif yang dapat diterima).41

Pengertian kata diskresi di atas tidak hanya berkenaan dengan aktifitas tertentu, namun diskresi itu berlaku pada semua aktifitas yang melibatkan proses pembuatan

39 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Jakarta, 1986, h. 524

40 Henry Cambell Black, Black Law Dictionary With Pronounciatio, West Publising & Co, USA, 1979, h. 479

41 Jefrey Lehman, West Encyclopedia Of American Law, The Gale Group Inc, Farmington Hils, 2004, h. 449

(39)

kebijakan maupun pengambilan keputusan atau tindakan, dengan terlebih dahulu melalui pertimbangan sepanjang dilakukan secara merdeka, mandiri dan kontekstual.

Kata diskresi juga tidak merujuk secara khusus hanya pada organisasi tertentu, di mana banyak lembaga umum, dalam hal ini lembaga pemerintah, menerapkan diskresi dengan sifat dan ciri-cirinya masing-masing.42

Hukum administrasi negara mengenal diskresi dengan istilah freies ermessen, yang dalam konteks etimologi berasal dari kata frei yang berarti bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas, tidak terikat dan merdeka, ermessen sendiri berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan, maka freies ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini jika aplikasikan dalam bidang pemerintahan diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi para pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.43

Pada dasarnya setiap campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas, yang menjadi sendi utama negara hukum, akan tetapi karena ada keterbatasan dari asas ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, maka kepada pemerintah diberi kebebasan freies ermessen, yaitu

42 Imron Jauhari, Penerapan Diskresi Dalam Dunia Kepenghuluan (Studi Tentang Perilaku Diskrestif Penghulu Dalam Menyelesaikan Masalah Hukum Perkawinan Di Kota Semarang), Tesis, Program Pascasarjana IAIN Walisongo, Semarang, 2007, h. 26

43 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 177

(40)

kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.44 Freies ermessen merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang- undang.

Pada praktiknya, freies ermessen ini membuka peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara. Pemerintah dalam menjalankan aktifitasnya terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara melalui pembangunan, tidak berarti pemerintah dapat bertindak semena-mena, melainkan sikap tindak itu haruslah dipertanggungjawabkan.45 Artinya meskipun intervensi pemerintah dalam kehidupan warga negara merupakan kemestian dalam konsepsi welfare state, tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan pemerintah juga merupakan keharusan dalam negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Nilai-nilai kebenaran dan keadilan inilah yang menjadi dasar bertindak pejabat administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai perwujudan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik.46

Diskresi merupakan suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) dari pada

44 Ibid., h. 241

45 Sjachran Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi, Makalah, Penataran Hukum Administrasi Dan Lingkungan Di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1995, h. 1-2

46 Ibid.

(41)

berpegang teguh kepada ketentuan hukum. Dari definisi di atas, secara praktis kewenangan diskresioner administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan mengandung dua aspek pokok yaitu:

1. Kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya, di mana aspek ini lazim dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat obyektif.

2. Kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki adminstrasi negara itu dilaksanakan, di mana aspek kedua ini dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat subyektif.47

Pada dasarnya diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang- undang. Masalahnya, tidak semua undang-undang mengatur semua tindak tanduk pejabat pemerintah, dan karena itu diperlukan kebebasan atau diskresi bagi pejabat dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.48

Berdasarkan beberapa definisi diskresi di atas terdapat beberapa poin yang bisa diambil yaitu:49

47 Ibid., h. 183-184

48 Abbas Said, Pengawasan Terhadap Penggunaan Diskresi Oleh Polisi Dan Jaksa Dalam Proses Penegakan Hukum Pidana, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013, h. 40

49 Ibid.

(42)

1. Diskresi hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dan pejabat yang tak berwenang tidak bisa melakukan diskresi.

2. Lingkup diskresi itu meliputi peraturan perundang-undangan memang memberikan pilihan atau opsi kepada pejabat berwenang, peraturan perundang- undangan tidak mengatur, peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas dan ada stagnasi pemerintahan sehingga perlu tindakan guna kepentingan yang lebih luas.

Seorang aparatur negara baik dipusat maupun di daerah dapat dengan cepat atas inisiatifnya sendiri bertindak untuk dapat memenuhi keharusan tersebut, landasan hukum suatu diskresi ini tercermin dalam:

1. Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa dalam hal-hal kepentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Pasal ini memuat unsur kebebasan bertindak pemerintah, secara khusus presiden yang nota bene sebagai penanggung jawab atas bangsa dalam hal menciptakan kondisi yang dapat menguntungkan rakyat sehingga presiden diberi suatu kebebasan untuk menetapkan suatu bentuk kebijakan yang dinamakan perpu sebagai antisipasi adanya kondisi yang tiba-tiba timbul tanpa harus menunggu perintah dari badan kenegaraan yang diserahi tugas atau fungsi legislatif.

2. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 secara khusus dalam rangka otonomi daerah sebagai aturan yang juga menjadi kebijakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang kemudian ditindaklanjuti dengan aturan-aturan

(43)

yang lebih konkrit. Pasal ini memberika kebebasan bagi aparat pemerintah daerah dalam pengertian luas dan sempit untuk dapat memberdayakan potensi daerah yang ada menurut prakarsa sendiri dalam rangka mensejahterakan rakyat di daerah sesuai dengan kondisi daerah dalam kerangka negara kesatuan.

3. Pasal 22-32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan di mana diskresi menurut undang-undang ini adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelengggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Diskresi atau freies ermessen muncul dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi tiga kategori sebagai berikut:50

1. Faktor dasar utama, yang terdiri dari ketidakmungkinan dilakukan penegakan setiap hukum yang ada dan perlunya penerjemahan atau penafsiran terhadap hukum tersebut.

2. Faktor dasar pendukung, yaitu terbatasnya sumber daya yang ada pada aparatur negara, terutama sumber daya manusia atau personil, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

50 Imron Jauhari, Op. Cit., h. 34

(44)

3. Faktor dasar tambahan, yang meliputi adanya keberatan dari pihak masyarakat bila penegakan hukum diberlakukan terhadap seluruh hukum yang ada, diberlakukan secara total atau sepenuhnya, dilaksanakan sepanjang waktu, kesadaran bahwa aparatur negara bukan superman yang dapat melaksanakan semua peran dan tugasnya, serta memenuhi tuntutan atau kebutuhan masyarakat.

Rahardjo mengemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi pelaksanaan diskresi yaitu sebagai berikut:51

1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.

2. Adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan terhadap perkembangan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kepastian hukum.

3. Kurangnya biaya untuk menetapkan perundang undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.

4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.

Seorang pejabat yang berwenang bisa melakukan diskresi jika memenuhi syarat dalam undang-undang yang memuat setidaknya enam syarat penting yaitu:52

1. Diskresi itu harus sesuai dengan salah satu atau beberapa tujuan yang dapat dibenarkan, yakni melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi

51 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metodologi Dan Perilaku Masalah, UMS, Surakarta, 2002, h. 74

52 Abbas Said, Op. Cit., h. 41

Gambar

Tabel 1. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menghasilkan indeks penting mengenai presipitasi yang terkait dengan bencana sedimen dan menunjukkan status terkini dari tahap respon daerah drainase

Berdasarkan hasil Uji Tukey pengamatan tinggi tanaman dapat diketahui bahwa limbah lumpur aktif tmemberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap tinggi tanaman

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari nilai rata-rata tekanan intraokular, kedalaman bilik mata depan, dan ketebalan lensa pada pasien preoperasi katarak senilis di RS PHC

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimanakah aspek mikrostruktural yang membangun wacana pada Manusia Istana: Sekumpulan Puisi Politik

Pada siang hari sebaran pengunjung terdapat pada area indoor , sedangkan pada sore dan malam hari penyebaran pengunjung lebih merata mengisi kedua area restoran yang menampilkan

Monsak adalah sebuah seni beladiri yang boleh disajikan dalam dua bentuk yang berbeza. Monsak sebagai sebuah seni beladiri sudah pasti disajikan sebagai sebuah pertarungan.

Data yang diambil adalah data demografik dan profil klinis pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, lateralitas mata yang terkena, mekanisme dan penyebab cedera,

instrumen didesain menggunakan Microsoft Word 2010 yang di dalamnya memuat beberapa komponen yaitu petunjuk praktikum khususnya sistem peredaran darah manusia,