• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penerimaan Diri Perempuan Dewasa Awal yang Mengalami Kekerasan Seksual pada Masa Anak-Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Proses Penerimaan Diri Perempuan Dewasa Awal yang Mengalami Kekerasan Seksual pada Masa Anak-Anak"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Annisa Hayuning Pratitis Wiwin Hendriani

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstract.

This study aimed to look at how self-acceptance process of young adult women who experienced sexual violence in their childhood. The data were obtained from interviews. The procedure of subjects selection used was purposive approach. Subjects who were willing to participate in this study were two young adult women who experienced sexual violence in childhood. The tech- nique of data analysis used in this study was thematic analysis by coding the results of verbatim interview transcripts. This study concluded that both subjects indicate the absence of denial and bargaining, Self-acceptance process after experiencing sexual violence that was shown by each of the subjects in this study was the result of the interaction between personality, expe- riences gained from family since childhood, and their own volition to make a change. There are some factors affect self-acceptance process on subjects, the supporting ones and inhibiting ones. Those factors came from internal side and external side.

Keywords: Sexual violence; Self-acceptance process; Young adult women.

Abstrak.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses penerimaan diri perempuan dewasa awal yang pernah mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak. Data dikumpulkan dengan meng- gunakan metode wawancara. Prosedur pemilihan subjek menggunakan pendekatan purposif.

Subjek yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah dua orang yakni perempuan dewasa awal yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa anak-anak. Teknik analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis tematik dengan melakukan koding terhadap hasil transkrip wawancara yang telah diverbatim. Penelitian ini menghasilkan kesim- pulan bahwa pada kedua subjek tidak menunjukkan tahap denial dan juga bargaining. Proses penerimaan diri setelah mengalami kekerasan seksual yang ditunjukkan oleh masing-masing subjek dalam penelitian ini adalah hasil interaksi antara kepribadian, pengalaman yang didapat dalam keluarga sejak anak-anak, dan kemauan dari diri sendiri untuk melakukan perubahan.

Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri pada subjek adalah faktor penguat dan faktor penghambat yang tentunya berbeda pada subjek satu dan subjek dua. Faktor-faktor tersebut berasal dari dalam dirinya sendiri dan dari luar dirinya.

Kata kunci: Kekerasan seksual; Proses penerimaan diri; Perempuan dewasa awal.

Korespondensi:

Annisa Hayuning Pratitis, e-mail: annisahayuning22@gmail.com Wiwun Henriani, email: wiwin.hendriani@psikologi.unair.ac.id Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

(2)

PENDAHULUAN

Selama beberapa tahun terakhir, di In- donesia banyak terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak termasuk di dalamnya khususnya kekerasan seksual. Menurut surat ka- bar harian Kompas (Kamis, 23 Mei 2002), setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadu- kan oleh korbannya kepada lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40%

sisanya mengalami kekerasan fisik hingga sek- sual. Pada tahun 2007 dari bulan Januari – Juni berdasarkan data yang dikumpulkan Kementeri- an Pemberdayaan Perempuan RI sebanyak 62%

anak-anak perempuan masih sering mendapat perlakuan tak semestinya. Kasus mengenai perkosaan mencapai angka 43%, sementara 24%

lainnya adalah tindakan pencabulan. Kekerasan terhadap anak ini paling banyak dialami oleh anak-anak jalanan, 62 % terjadi pada perempuan sedangkan 24 % terjadi pada laki-laki. Pada ta- hun 2008 dari bulan Januari hingga Juni Komnas maupun di 33 lembaga perlindungan anak me- nerima laporan 21 ribu kasus kekerasan anak, 62,7

% kekerasan seksual atau bisa dikatakan 12 ribu anak mengalami kekerasan seksual (Kasus Ke- kerasan Anak Meningkat, 2011). Pada tahun 2011 sebanyak 4 persen atau 3.753 kasus dari total ka- sus kekerasan terhadap perempuan yaitu seban- yak 105.103 adalah kasus kekerasan seksual (Ke- kerasan Seksual dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2011).

Dari data mengenai kasus kekerasan seksual yang telah dipaparkan diatas, dapat di- katakan bahwa setiap tahunnya mengalami pen- ingkatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Erdmans dan Timothy (2008) disebutkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan seksual banyak yang tidak mengaku kalau mereka men- galami kekerasan seksual karena kebanyakan yang melakukan kekerasan seksual adalah orang- orang terdekat mereka seperti paman, ayah tiri, bahkan kakek mereka sendiri. Alasan tersebut yang membuat mereka tidak memiliki keberanian untuk mengakui bahwa mereka telah diperkosa, jika mereka memberitahu anggota keluarga yang lain, tidak ada yang mempercayainya dan berpikir kalau mereka mengada-ada dan pada akhirnya mereka akan menyalahkan diri mereka sendiri.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Feiring, Rosenthal dan Lynn (2000), menye- butkan bahwa anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki rasa malu yang tinggi dan me- nyalahkan diri sendiri sehingga kurang mampu membentuk hubungan yang memuaskan dengan teman sebaya. Seperti pada korban perkosaan, awalnya korban merasa terguncang dan mati rasa, dan seringkali menjadi merasa amat kacau (San- trock, 2002). Beberapa korban menunjukan rasa tertekan mereka melalui kata-kata dan tangisan, sebagian lain menunjukkan kesedihan yang di- pendam. Ketika korban berjuang kembali ke ke- hidupan normalnya, mereka mungkin merasakan depresi, ketakutan, dan kecemasan untuk beber- apa bulan atau beberapa tahun (Santrock, 2002).

Selain itu penelitian lain yang dilakukan oleh Ab- dulrehman dan De Luca (2001) selama masa anak- anak kekerasan seksual ini dapat menyebabkan masalah pada perilaku sosialnya seperti hanya memiliki sedikit teman, perasaan kesepian dan membatasi diri dari lingkungan. Pada saat dewasa dapat menunjukkan kurangnya kepercayaan pada orang lain. Hal ini dapat terjadi karena skema negatif terhadap dirinya sendiri dan orang lain.

Melihat dampak yang ditimbulkan maka kekerasan seksual yang pernah dirasakan pada masa kecil dapat menjadi suatu pengalaman yang traumatik dan seseorang yang mengalami ke- kerasan dapat merasakan pengalaman tersebut hingga sepanjang hidupnya (Parton dan Wattam, 1999). Dampak terbesar pada anak yang mengal- ami kekerasan seksual yang akan terus menerus berlanjut hingga kehidupan dewasanya adalah ketakutan. Dapat menghasilkan orang dewasa yang cemas, depresi, pemarah, tidak percaya pada orang lain meskipun sebagian orang yang men- galami pelecehan seksual menderita gangguan psikologis ketika dewasa, tidak ada gejala spesifik yang muncul dengan pola konsisten pada semua korban pelecehan seksual. Korban yang berbeda umumnya mengalami gejala yang sangat berbeda (Kendall-Tacket, 1993).

Ingatan mengenai peristiwa kekerasan seksual yang pernah terjadi mungkin bagi seba- gian orang sulit untuk dilupakan. Penelitian yang dilakukan oleh Loftus, Polonsky dan Fullilove (1994) mengenai memori seseorang yang men- galami kekerasan seksual pada masa anak-anak 81% diantaranya mampu mengingat seluruh ba- gian dari kekerasan seksual tersebut di sepanjang

(3)

hidupnya. Penelitian lain dilakukan oleh Herman dan Harvey (1997) mengenai studi klinis yang meneliti memori orang dewasa tentang pengala- man traumatik mereka pada masa anak-anak.

Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa mayoritas subjek mampu mengingat kembali tentang peristiwa traumatik yang pernah dialami tersebut, 53% bahkan menyatakan tidak pernah melupakan tentang kejadian yang dimaksud. Hal ini dapat menjadi alasan dampak dari kekerasan seksual terus menerus berlanjut atau dapat dira- sakan hingga sepanjang hidupnya, karena pengal- aman ini secara sadar dialami sendiri oleh korban.

Memori mengenai peristiwa traumatis ini dapat mempengaruhi keadaan diri individu yang men- galami kekerasan seksual tersebut dan hubungan individu terhadap lingkungan sosialnya. Proses penerimaan diri dapat membuat individu ter- bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya tersebut. Proses peneri- maan diri sendiri juga dapat memberikan efek positif kepada korban kekerasan seksual karena dapat memiliki banyak kesempatan untuk ber- adaptasi dengan lingkungannya.

Sedikit berbeda dengan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, Rind, Bauserman dan Tromovitch (1998) mengadakan penelitian meta-analisis literatur tentang hubungan pelece- han seksual semasa anak-anak di antara para ma- hasiswa. Hasilnya menunjukkan bahwa hubun- gan antara pelecehan seksual pada anak yang dilaporkan sendiri dan 18 bentuk psikopatologi pada orang dewasa termasuk depresi, kegelisah- an, dan gangguan makan sangatlah kecil. Mereka juga menemukan bahwa hubungan antara pelece- han seksual semasa anak-anak dan psikopatologi ketika dewasa tidak lebih besar meskipun pelece- han tersebut lebih parah atau lebih. Kesimpulan dari penelitian Rind dan para rekannya, yaitu banyak orang selamat dari riwayat pelecehan sek- sual semasa anak-anak dengan sedikit atau tanpa menderita psikopatologi jangka panjang. Tidak ada bukti bahwa mereka yang selamat dari pel- ecehan seksual semasa anak-anak menunjukkan kepribadian yang khas.

Dari beberapa hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa reaksi, sikap dalam meng- hadapi kekerasan seksual serta dampak yang dit- imbulkan dari kekerasan seksual dapat berbeda-

beda. Begitu juga ketika individu yang mengalami kekerasan seksual berproses untuk menerimanya dirinya kembali, satu individu dengan individu yang lain dapat berbeda-beda. Salah satu ciri kor- ban kekerasan seksual yang sehat mentalnya dapat dilihat dari penerimaan dirinya. Penerimaan diri dapat dicapai apabila aspek-aspek dalam diri dalam keadaan seimbang dengan keadaan yang sebenarnya dan keadaan yang diinginkan. Mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya (Maslow dalam Hjelle dan Ziegler, 1992).

Hurlock (1978) juga berpendapat bahwa individu yang menerima dirinya, menyenangi dir- inya dan puas akan dirinya sehingga ia akan men- ganggap dirinya berharga, dapat menerima dir- inya secara akurat dan lebih realistis. Efek positif dari individu yang dapat menerima dirinya terse- but akan memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya (Monty dkk, 2003). Penerimaan diri merupakan tolak ukur sejauh mana seseorang menerima karakteristik personalnya dan menggunakannya untuk menjalani kelangsungan hidupnya. Indi- vidu yang menerima dirinya akan mengetahui po- tensinya dan bebas untuk menggunakannya dan mengetahui kekurangan diri tanpa menyalahkan dirinya sendiri, sehingga penerimaan diri yang menjadi fokus dalam penelitian ini (Gunarsa, 1999).

Penerimaan diri ini dapat terjadi pada masa dewasa sebab masa dewasa merupakan masa dimana seseorang memiliki banyak kesem- patan dan perubahan, antara lain dari segi kog- nitif maupun sosial. Seorang dewasa awal sudah dapat berpikir logis dan adaptasi yang pragmatis terhadap kenyataan (Santrock, 2002). Perry (1970 dalam Santrock, 2002) juga mencatat perubahan- perubahan penting tentang cara berpikir orang dewasa awal yang berbeda dengan remaja. Pada saat dewasa awal pemikirannya sudah lebih be- ragam dan sitematis dalam memecahkan suatu masalah. Dalam pengambilan keputusan lebih bijaksana dan toleransi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan lebih meningkat, tidak hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Individu mulai bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan sudah memiliki otonomi terhadap diri send- iri (Papalia, 2004). Lingkungan sosial yang diha-

(4)

dapi juga lebih beragam. Adaptasi pada dewasa awal ini juga dapat terjadi sebagai respon atas tanggung jawab dan tuntutan yang baru terhadap kejadian-kejadian traumatis yang pernah dialami (Santrock, 2002). Pengalaman traumatis ini juga membutuhkan waktu dalam penyembuhannya (Parton dan Wattam, 1999). Proses jangka pan- jang ini juga merupakan salah satu alat yang digu- nakan supaya korban dapat menerima keberadaan dirinya sendiri dan juga masa lalunya (Parton dan Wattam, 1999).

Penjelasan diatas merupakan beberapa teori mengenai penerimaan diri. Pada akhirnya peneliti memutuskan menggunakan teori fase respon psikologis dari Kubler-Ross (1969) untuk menjelaskan mengenai proses penerimaan diri pada korban kekerasan seksual. Pada awalnya memang teori Kubler-Ross (1969) diteliti dalam konteks mengetahui reaksi individu terhadap kematian dan saat menjelang kematian. Dalam perkembangannya penggunaan hasil penelitian dari teori Kubler-Ross (1969), juga telah diperluas dalam konteks studi yang lain. Penggunaan teori ini bukan untuk membandingkan jika digunakan dalam proses penerimaan diri pada korban ke- kerasan seksual. Diharapkan dapat memberi war- na baru pada teori Kubler-Ross (1969) tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan tipe pene- litian kualitatif yang bersifat studi kasus. Untuk dapat menggali bagaimana proses penerimaan diri perempuan dewasa awal yang mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak, meng- gunakan studi kasus intrinsik. Kekerasan seksual yang terjadi adalah melibatkan subjek pada akti- vitas seksual dan cenderung dipaksakan atau per- buatan incest. Terjadi kontak fisik antara subjek dengan pelaku berupa sentuhan pada bagian tu- buh pribadi subjek.

Teknik pengumpulan data yang digunak- an dalam penelitian ini yaitu melalui wawancara.

Proses wawancara ini dilengkapi dengan pedo- man wawancara umum yang mencantumkan isu- isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk per- tanyaan eksplisit.

Setelah melakukan penggalian data me- lalui wawancara, peneliti kemudian membuat transkrip dari wawancara yang telah dilakukan.

Teknik analisis data yang digunakan menggu- nakan analisis sistem koding. Koding dimaksud- kan dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetil sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang di- pelajari (Poerwandari, 2007).

HASIL PENELITIAN

Pada subjek I peristiwa kekerasan sek- susal terjadi ketika subjek berusia 6 tahun dan hal itu dilakukan di rumah neneknya. Peristiwa tersebut dilakukan oleh dua orang, yang pertama adalah kakek tirinya dan yang kedua adalah guru ngajinya. Subjek marah dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Subjek hanya dapat menangis dan karena tidak ada orang yang mengetahuinya sehingga subjek tidak dapat menceritakannya ke- pada siapapun. Subjek akhirnya melampiaskan- nya ke hal-hal negatif. Seiring berjalannya waktu dan subjek juga beranjak dewasa perasaan seperti itu tidak hilang tetapi malah semakin bertambah.

Subjek tidak tahu lagi harus berbuat apa, piki- ran subjek sering kosong dan sulit tidur. Subjek merasa depresi, marah terhadap figur laki-laki yang telah membuatnya seperti ini. Figur laki-laki tersebut adalah ayah kandung, kakek tiri, guru ngaji dan mantan pacarnya. Subjek hanya dapat menangis dan menyalahkan dirinya terhadap kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupnya.

Subjek mengakui peristiwa ini adalah takdir dan dirinya dapat memilih jalan hidupnya untuk ti- dak berlarut-larut dalam pengalaman yang tidak mengenakkan ini. Subjek menyadari tidak ada manusia yang sempurna dan semua manusia per- nah melakukan kesalahan. Peristiwa ini sangat membekas sekali di dalam hidupnya walaupun banyak masalah lain yang tak kalah beratnya.

Orang terdekat yang melakukan perbuatan ini dan tempat tinggal saat ini yang juga tempat di- mana peristiwa tersebut terjadi membuat subjek sulit untuk menerima dirinya kembali. Ketidak tahuan orang terdekat atau siapapun terhadap kejadian ini membuat subjek tidak mendapatkan dukungan. Seiring berjalannya waktu dan sub- jek semakin beranjak dewasa, subjek menyadari bahwa dirinya tidak dapat terus menerus seperti ini. Subjek harus dapat merubahnya dan dirinya membutuhkan bantuan agar dapat menerima semua kejadian yang terjadi di dalam hidupnya dan membuat pemahaman baru terhadap diri

(5)

sendiri. Subjek akhirnya memutuskan untuk kon- seling. Lama-kelamaan pikiran subjek menjadi lebih terbuka dan dirinya berusaha untuk meneri- manya dengan segala kemampuan dan kondisinya walaupun belum sepenuhnya.

Pada subjek II peristiwa kekerasan sek- sual terjadi ketika subjek kelas 6 SD. Perbuatan tersebut dilakukan oleh om dan kakeknya. Seiring berjalannya waktu dan subjek beranjak remaja, dirinya merasa menyesal karena tidak dapat men- jaga dirinya. Subjek merasa dirinya sudah kotor dan tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari dir- inya. Subjek marah kepada omnya karena tidak menganggap dirinya keponakannya tetapi orang lain yang dapat dipergunakan. Jika mengingat hal tersebut subjek hanya dapat diam saja dan menangis di dalam kamar. Ketika mengingat ke- jadian tersebut subjek marah, ingin melaporkan hal tersebut kepada orang tuanya dan ingin sekali mengadili omnya tersebut di depan keluarganya tetapi hal tersebut sudah terlambat. Akhirnya subjek hanya dapat menyesal dan menyalahkan diri sendiri karena tidak dapat menjaga dirinya dan baru sekarang ingin melawan. Pada akhirnya subjek pasrah dan menerima kalau ini adalah nasib. Subjek menganggap ini adalah cobaan yang harus ia jalani. Memang peristiwa tersebut masih membekas dalam diri subjek karena yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang- orang terdekat subjek dan juga peristiwa tersebut terjadi di tempat dimana subjek tinggal sekarang.

Subjek juga masih sering bertemu dengan pelaku sehingga ketika bertemu selalu ada perasaan marah, benci dan ingin mengadili orang tersebut.

Subjek tidak dapat melakukan apa-apa karena ti- dak ada yang mengetahui peristiwa subjek hanya dapat memendamnya sendiri. Seiring berjala- nannya waktu subjek hanya dapat menguatkan dirinya sendiri. Pada saat kuliah subjek akhirnya berani menceritakan peristiwa ini kepada sahabat laki-lakinya. Melalui saran-saran yang diperoleh dari sahabatnya tersebut subjek akhirnya dapat merubah pandangan terhadap dirinya sendiri dan peristiwa yang terjadi. Hal tersebut semakin men- guatkan diri subjek dan memotivasi subjek untuk lebih menerima dirinya dan peristiwa tersebut.

PEMBAHASAN

Fakta dilapangan memperlihatkan bahwa baik subjek satu (IS) dan subjek dua (EP) tidak memunculkan reaksi denial karena mereka send-

iri yang mengalami peristiwa tersebut dan mereka benar-benar menyadari kalau diri mereka secara sadar mengalami kekerasan seksual tersebut.

Kedua subjek hanya belum dapat menerima dir- inya yang pernah mengalami peristiwa tersebut setelah peristiwa tersebut terjadi. Memang ha- sil ini berbeda dengan teori yang dijelaskan oleh Kubler-Ross (1969) karena tahap awalnya adalah denial tetapi pada kedua subjek tidak mengalami tahap tersebut. Perbedaan ini terjadi dikarena- kan kedua subjek merasakan sendiri pengala- man kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya dan benar-benar memahami apa yang terjadi di dalam dirinya, sehingga tidak menyangkal peris- tiwa tersebut. Sedangkan dalam teori Kubler- Ross (1969) konteks penelitiannya adalah indi- vidu yang sedang menghadapi kematian ataupun menjelang kematian. Pemberitahuan tentang pe- nyakit mematikan tersebut dilakukan oleh orang lain dimana individu yang bersangkutan tidak mengetahuinya sehingga awalnya mengalami keterkejutan dan menyangkal kalau dirinya men- galami penyakit tersebut. Dari awal pengalaman tersebut belum dirasakan sendiri sehingga masih membentuk pertahanan jika individu tersebut ti- dak mengalami penyakit mematikan tersebut

Reaksi selanjutnya setelah muncul reaksi denial dan anger yang biasanya muncul adalah reaksi bargaining. Dalam tahap bargaining ini, Kubler-Ross (1969) dapat muncul ketika seseorang sudah tidak mampu lagi menghadapi kenyataan dan menjadi marah terhadap orang-orang seki- tar. Seperti halnya untuk menghibur diri sendiri dengan berandai-andai. Pada subjek EP tahap bargaining tidak muncul karena setelah tahap anger munculah tahap depression. Pada subjek IS tahap bargaining juga tidak muncul. Tahap ini juga berbeda dengan teori Kubler-Ross (1969) karena dalam penelitian tahap bargaining tidak muncul pada kedua subjek. Hal ini dikarenakan kedua subjek masih mengingat peristiwa tersebut dan yang dimunculkan adalah perasaan marah sehingga kedua subjek langsung ke tahap depres- sion. Pada konteks penelitian yang dilakukan oleh Kubler-Ross (1969) individu yang dihadapkan pada kematian pada akhirnya berandai-andai dan membuat perjanjian yang mungkin akan menun- da terjadinya hal yang tidak diharapkan ini dan perjanjian ini dibuat seperti dihubungkan den- gan rasa bersalah di masa lalu. Pada kedua subjek mereka tidak membuat perjanjian kepada dirinya

(6)

sendiri ataupun dengan Tuhan agar peristiwa ini dapat ditunda. Mereka tidak memikirkan hal tersebut karena peristiwa tersebut sudah terjadi dan tidak melupakan kejadian tersebut, yang ada di dalam pikiran merekan hanyalah kemarahan.

Setelah muncul reaksi bargaining akan memunculkan tahapan depression. Dua subjek dalam penelitian ini jelas memperlihatkan reaksi depression. Pada IS reaksi depression tersebut nampak pada emosi marah, selalu menyalahkan dirinya, menyalahkan keluarganya, meyalahkan pelaku yang melakukan kekerasan seksual terse- but. Subjek tidak sampai tidak dapat tidur karena merasa cemas dan pikiran subjek tiba-tiba dapat menjadi kosong.

Pada EP, gambaran reaksi depression yang muncul lebih sedikit dibandingkan dengan IS. Subjek lebih menyalahkan dirinya sendiri yang tidak mampu menjaga dirinya sendiri, menyalah- kan ayahnya karena kenapa bukan ayahnya yang menjaga dirinya, kenapa harus dirinya sendiri yang menjaga diri. Subjek juga menyalahkan ke- luarga subjek dan terutama pelaku.

Apabila seseorang dapat melewati taha- pan tersebut, maka tahapan berikutnya adalah tahapan acceptance. Menurut Kubler-Ross (1969) penerimaan diri ini bukan tahap bahagia. Ac- ceptance lebih merupakan kehampaan perasaan.

Seperti halnya kedua subjek dalam penelitian ini.

Subjek EP pada akhirnya pasrah dan menerima kalau ini merupakan nasibnya. Jika dirinya tidak menerimanya akan menimbulkan perasaan tidak nyaman maka dari itu dia berusaha menjalani apa yang ada saat ini.

Pada subjek IS juga begitu subjek akh- irnya menerima kalau ini takdir dari Tuhan dan memahami bahwa tidak ada manusia yang sem- purna di dunia ini, sempurna itu hanya milik Tu- han YME. Subjek lebih bersyukur terhadap apa yang telah terjadi pada dirinya dan selalu berpikir positif terhadap diri sendiri dan pengalaman ini mejadikan dirinya lebih dewasa.

Dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa kedua subjek memperlihatkan proses pe- nerimaan diri yang berbeda karena latar belakang keluarga, kasus dan juga pribadi yang berbeda.

Tidak secara menyeluruh kelima tahapan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross (1969) terdapat pada proses penerimaan diri subjek. Dalam hal ini menunjukkan bahwa tahap denial dan bargaining tidak muncul dalam diri kedua subjek.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang di- peroleh dapat disimpulkan bahwa kedua sub- jek sama-sama tidak menunjukan denial dan bargaining. Terdapat kesamaan pula pada fak- tor yang mempengaruhi proses penerimaan diri subjek. Pada kedua subjek faktor internal yang mempengaruhi proses penerimaan diri mereka yaitu pemahaman dari diri mereka sendiri. Pada kasus pertama, proses konseling yang membantu subjek hingga akhirnya dapat menerima dirinya.

Pada kasus kedua, saran dari sahabatnya yang membantu subjek merubah pandangannya ter- hadap dirinya sendiri dan peristiwa yang terjadi menjadi lebih positif dan memotivasi subjek un- tuk menjadi lebih kuat. Proses penerimaan diri setelah mengalami kekerasan seksual yang ditun- jukkan oleh masing-masing subjek dalam peneli- tian ini adalah hasil interaksi antara kepribadian, pengalaman yang didapat dalam keluarga sejak anak-anak, dan kemauan dari diri sendiri untuk melakukan perubahan.

PUSTAKA ACUAN

_____Harian Kompas, 23 Mei 2002

Abdulrehman, R. Y., dan De Luca, R. V. (2001).

The implications of childhood sexual abuse on adult social behavior. Journal of Family Violence, 16, 193-203.

Bagong .S, dkk. (2000). Tindak kekerasan mengin- tai anak-anak jatim. Surabaya : Lutfansah Mediatama.

Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. , (1990). Psychol- ogy of adhustment and human relation- ship. New York: Mc GrawHill Publishing Company.

Chaplin, J. P. (2005). Kamus lengkap psikologi.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Crosson-Tower, C. (2005). Understanding child abuse and neglect (6th ed). Boston: Alyn and Bacon, Pearson Educational Company.

Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. (1994). Jakarta: Forum Ko- munikasi Ormas/LSM untuk Perempuan.

Emzir. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.

Erdmans, M. P. dan Timothy. B. (2008). What

(7)

they tell you to forget: From child sexual abuse to adolescent motherhood. Journal of Qualitative Health Research 18:77.

Feiring C, Rosenthal. S, dan Lynn T. (2000). Stigmatization and the development of friendship and ro- mantic relationships in adolescent victims of sexual abuse. Journal of Child maltreatment 5: 311.

Gunarsa, S. D., dan Gunarsa, Y. S. D. (1999). Psikologi remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hall, C. S. dan Lindzey, G. (1985). Introduction to theories of personality. Singapore: John Willey and Sons, Inc.

Herman, J.L. dan Harvey, M. R. (1997). Adult memorise of childhood trauma : A naturalistic clinical study. Journal of Traumatic Stress, 10 (4), 557-571.

Hjelle, L. A., dan Ziegler, D. J. (1992). Personality theoris (3rd Edition). Singapore: McGraw-Hill.

Hurlock, E. (1978). Personality development. Tokyo: McGraw-Hill Publishing Company, Ltd

Hurlock, E. (2004). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta:

Erlangga.

Johnson, D. W. (1993). Reaching out interpersonal effectiveness and self actualization 4th. USA: Allyn &

Bacon.

Kasus kekerasan anak meningkat. Yayasan Kesejahteraan Indonesia [on-line]. Diakses pada tanggal 17 April 2011 dari http://ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=275:kasus-ke- kerasan-anak-meningkat-&catid=42:sumatera-selatan&Itemid=67.

Kekerasan Seksual Dalam Catatan Tahunan (2011, 5 Agustus). Komnas Perempuan [on-line]. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2011 dari http://www.komnasperempuan.or.id/2011/08/kekerasan-sek- sual-dalam-catatan-tahunan-komnas-perempuan-tahun-2011/.

Kendall-Tacket, K. A., Williams, L. M., dan Finkelhor, D. (1993). Impact of sexual abuse on children: A review and synthesis of recent empirical studies. Psychological Bulletin, 113, 164-180.

Khotimah, N. (2009). Penerimaan ibu yang memiki anak tuna rungu. Abstrak Penelitian. Universitas Gunadarma.

Konvensi Hak-hak Anak. Unicef [on-line]. Diakses pada tanggal 6 juli 2012 dari http://www.unicef.org/

magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf.

Kubler-Ross, E. (1998). On death and dying (Kematian sebagai bagian kehidupan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Loemata, C. H. (2007). Penerimaan diri penderita systemic lupus erythematosus (SLE) usia dewasa muda. Abstrak Penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Loftus, E. F., Polonsky, S. dan Fullilove, M. T. (1994). Memories of childhood sexual abuse : Remember- ing and repressing. Psychology of Woman Quarterly, 18 (1), 67-64.

Lubis, M. U. (2009). Penyesuaian diri orang tua yang memiliki anak autis. Abstrak Penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Monks, F. J. (2002). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Monty, P., Satiadarma, A. (2003). Hubungan antara penerimaan diri dengan kesepian : Suatu studi pada penderita stroke berat. Abstrak Penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.

Nevid, J. S., Rathus, S. A., Greene, B. (2005). Psikologi abnormal edisi kelima jilid 2. Erlangga: Jakarta.

Olson, D. dan DeFrain, J. (2003). Marriages and families: Intimacy, diversity, and strengths. Fourth Edi- tion. McGraw-Hill: New York.

Papalia, D. E., Olds, S. W., dan Velman, R. D. (2004). Human development (9th ed). New York : McGraw- Hill Companies, Inc.

Parton, N. dan Wattam, C. (1999). Child sexual abuse : Responding to the experiences of children. Lon- don : John Willey dan Sons Ltd.

Poerwandari, K (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3, Uni- versitas Indonesia.

Pravissi, S. (2005). Penerimaan diri pada perempuan yang melakukan abortus provocatus criminalis.

Skripsi Fakultas Psikologi. Surabaya: Universitas Airlangga

Rind, B., Bauserman, R., dan Tromovitch, P. (1998). A meta analytic examination of assumed properties

(8)

of child sexual abuse college samples. Psycological Bulletin, 124, 22-53.

Santrock, J.W. (2002). Life span development, 5th edition: Perkembangan masa hidup (jilid 2). Jakarta:

Erlangga.

Scott, Jacqueline Alice. (2001). The role child sexual abuse can play in girls involvement in prostitution.

UPeTD [on-line]. Diakses pada tanggal 20 Maret 2012 dari http://upetd.up.ac.za/thesis/avail- able/etd-02282006-095511/.

Sugiharto, S. R. (2008). Peran ibu sebagai pendamping dalam meningkatkan kepercayaan diri anak korban kekerasan seksual, Skripsi, Surabaya: Universitas Airlangga.

Taylor, A., Rosegrant T., Meyer, A., dan Samples, B. T. (1983). Communicating (3rd ed). New Jersey:

Pretince Hall Inc.

Tompkins, Laura., dan Collge, Marrieta. (2006). The relationship between childhood sexual abuse and college adjustment in women. [on-line]. Diakses pada tanggal 20 Maret 2012 dari http://etd.ohi- olink.edu/sendpdf.cgi/Tompkins%20Laura.pdf?marietta1162335392.

Undang-undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Komnas Perem- puan [online]. Diakses pada tanggal 25 Maret 2012 dari http://www.komnasperempuan.or.id/

wp-content/uploads/2009/07/UU-PERLINDUNGAN-ANAK.pdf.

Yin, R. K, (2002). Studi Kasus: Desain & Metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil Analisa metode elemen hingga, diperoleh ketebalan plat yang optimal untuk condylar prosthesis dari Groningen TMJ prosthesis adalah ketebalan plat 3 mm..

Jalur kereta api Kunming-Singapura dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi (Djankov, 2016). Negara- negara Asia Tenggara pasalnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang

Dengan adanya dukungan dan peran suami seperti adat dan budaya yang ada di Indonesia bahwa keputusan sebagian besar ada pada suami maka akan berpengaruh terhadap

Penelitian dengan judul Kekerasan Seksual Pada Anak: Telaah Relasi Pelaku Korban dan Kerentanan Pada Anak menyajikan data dari 16 kasus kekerasan seksual terhadap anak

Berdasarkan Indikasi masuk paling banyak pada kasus Post optimal debulking dengan sepsis sebanyak 9 orang (19,15%). Distribusi menurut penggunaan ventilator didapatkan

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka beberapa permasalahan yang dapat diajukan ialah apa makna simbolis yang terdapat pada tameng Suku Dayak koleksi

Melalui penelitian ini penulis berharap mampu menggali dan memahami manajemen peserta didik anak jalanan di Sanggar Alang-alang, sehingga bisa mengimplementasikan manajemen

Setelah itu, peneliti melakukan analisis data, dengan mengidentifikasi adanya ide/ konsep matematis yang ada dalam sistem penanggalan masyarakat Kampung Naga,