SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
NUSA TENGGARA TIMUR
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
NUSA TENGGARA TIMUR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Juli 2017
Penulis
v
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma:
Nama : Heronima Rosalia Ate
NIM : 134114040
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Sapaan Dalam Bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal 31 Juli 2017
Yang menyatakan,
vi
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai
Kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan
rancangan kecelakaan untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan”
(Yer 29: 11)
Semangat yang kuat mematahkan segala keputusasaan
dan rasa kecewa dalam diri, serta yakinlah bahwa segala sesuatu
indah pada waktunya
Skripsi ini saya persembahakan untuk orang-orang terkasih:
Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama Kristina Peda Bulu Kakak Fabianus Ama Kii, Kakak Yosefhina Noviana Milla Ate,
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan
rahmant-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini
dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sastra
Indonesia pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah membantu
penulis dalam menyusun skripsi ini:
1. Bapak Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang
telah sabar dan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, kritik
yang sangat berarti dalam penyempurnaan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang juga ikut mendorong dan menyemangati penulis.
3. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, Bapak Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Bapak Drs. A.
Hery Antono, M.Hum. (alm), Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Bapak
Drs. F.X. Santosa, M.S., Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Ibu Dra.
Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., Bapak Sony Christian Sudarsono,
viii
dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu.
4. Segenap Staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Staf Biro Administrasi
Akademik Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran
urusan kuliah.
5. Segenap Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah
membantu menyediakan buku-buku yang penulis perlukan.
6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama
Kristina Peda Bulu yang tidak pernah lelah berjuang, mendukung, dan
mendoakan selama proses pendidikan hingga saat ini. Terima kasih juga
kepada Nenek Bela Pati, Nenek Lero Kaka, Om Ngongo, Tante Ngalu,
Kakak Yanus, Kakak Evi, Kakak Dion, Kakak Murri, Kakak Pippi, Adik
Marce yang selalu mendukung, menyemangati serta mendokan penulis.
7. Kakak Apolonius Dolu yang selalu mendukung dan mendoakan penulis.
8. Seluruh teman-teman di Prodi Sastra Indonesia, secara khusus angkatan
2013 yang telah berjuang bersama-sama hingga saat ini.
9. Semua pihak yang turut membantu penulis baik secara langsung maupun
tidak langsung membantu penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi
ini.
ix
Meskipun banyak pihak telah terlibat dalam penelitian dan penyusunan
skripsi ini, namun tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan penulis. Oleh
karena itu segala kritik, saran, dan masukan dapat disampaikan kepada penulis.
Yogyakarta, 31 Juli 2017
x ABSTRAK
Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di Kabupaten Sumba Barat Daya” Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini membahas sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan jenis-jenis kata sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dan metode simak. Pada tahap analisis data digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dan metode formal.
xi ABSTRACT
Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di KAbupaten Sumba Barat Daya”. Thesis. Yogyakarta: Department of Indonesian Literature, Faculty of Leterature, Sanata Dharma University.
This thesis discusses about address terms in Weejewa Language at Sumba Barat Daya regency of East Nusa Tenggara Province. The objective is to describe the types of address terms in Weejewa language and factors influencing its choice in Weejewa language.
This is a descriptive study with sociolinguistic approach. The colllection method used in this thesis are cakap and simak. Data analysis method used are padan refensial and padan pragmatis. Presentation of the result of data analysis methods used are informal and formal methods.
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
1.7Metodologi Penelitian ... 13
1.7.1 Pengumpulan Data ... 13
1.7.2 Analisis Data ... 14
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data ... 15
xiii
BAB II JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
2.1 Pengantar ... 17
2.2 Kata Sapaan hubungan Kekerabatan ... 17
2.3 Kata Sapaan Nonkekerabatan ... 36
2.4 Kata Sapaan Dengan Menyebut Nama ... 40
2.5 Kata Sapaan Berdasarkan Kata Ganti ... 43
2.6 Kata Sapaan Berdasarkan Status Sosial ... 45
2.7 Kata Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi ... 48
BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA 3.1 Pengantar ... 51
3.2 Faktor Hubungan Kekerabatan ... 51
3.3 Faktor Perbedaan Jabatan/Profesi ... 62
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya ... . 3
Gambar 2. Bagan Keluarga Inti ... 53
Gambar 3. Bagan Keluarga Luas I Ayah ... 56
Gambar 4. Bagan Keluarga Luas I Ibu... 58
xv DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan ... 35
Tabel 2. Sapaan Nonkekerabatan ... 39
Tabel 3. Sapaan Berdasarkan Nama Diri (mitra tutur) ... 43
Tabel 4 .Sapaan Berdasarkan Kata Ganti. ... 45
Tabel 5. Sapaan Berdasarkan Status sosial ... 47
Tabel 6. Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi……….. 50
Tabel 7. Penggunaan Kata Sapaan Keluarga Inti ... 54
Tabel 8. Keluarga Luas I Ayah ... 57
Tabel 9. Penggunaan Sapaan Keluarga Luas I Ibu ... 59
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Bahasa merupakan bagian penting dari pola tingkah laku dan pola budaya
manusia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman
bahasa. Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan dan suku tentu memiliki
berbagai bahasa yang berbeda-beda. Bahasa-bahasa tersebut cenderung menjadi
ciri khas dan keunikan dari suatu suku atau daerah tertentu. Bahasa tersebut sering
disebut sebagai bahasa daerah misalnya, bahasa Jawa, bahasa Minangkabau,
bahasa Aceh, bahasa Agam, bahasa betawi, dsb. Bahasa Weejewa juga merupakan
salah satu bahasa daerah yang terdapat di wilayah Timur Indonesia tepatnya di
Pulau Sumba Kabupaten Sumba Barat Daya.
Pulau Sumba adalah sebuah pulau kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya adalah Gunung
Wanggameti (1.225 m). Pulau Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah
barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan
tenggara. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di
sebelah selatan dan barat. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten yaitu,
Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba
Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur.
Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan pemekaran dari
Kabupaten Sumba Barat (Induk). Luas wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya
kecamatan terbagi lagi dalam desa dan kelurahan, yaitu ada sebanyak 129 desa
dan 2 kelurahan. Secara geografik wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya terletak
pada 9º,18 – 10º,20 LS (Lintang Selatan) dan 118º,55 – 120º,23 BT (Bujur
Timur). Batas Wilayah administratif Kabupaten Sumba Barat Daya adalah sebelah
Utara berbatasan dengan Laut Sumba, sebelah Selatan berbatasan dengan
Samudra Indonesia dan Kabupaten Sumba Barat, sebelah Barat berbatasan dengan
Samudra Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumba
Barat.
Dataran Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan dataran yang berbukit –
bukit dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar ± 0 hingga 850 MSL (Mean
Sea Level) untuk kemiringan lahan wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya dan
sepanjang pantai relatif datar. Topografi Kabupaten Sumba Barat Daya berbukit
dan mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi.
Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat Daya adalah Tambolaka. Kabupaten
Sumba Barat Daya terdiri dari tujuh Kecamatan yakni, Kecamatan Wewewa
Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan
Wewewa Selatan, Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi
Besar, dan Kecamatan Loura. Untuk lebih jelasnya berikut akan ditampilkan peta
Sumber : http://sbdkab.go.id
Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya.
Bahasa yang digunakan di kabupaten Sumba Barat Daya adalah bahasa
Weejewa dan bahasa Kodi. Bahasa Weejewa digunakan di kecamatan Wewewa
Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan
Wewewa Selatan, dan Kecamatan Loura. Sedangkan bahasa kodi hanya
digunakan di kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, dan Kecamatan Kodi
Besar.
Bahasa Weejewa merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan
berkembang di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
yang paling banyak. Penutur bahasa Weejewa tersebar di seluruh Kabupaten
Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat (induk). Bahasa Weejewa
merupakan bahasa yang mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa kodi
sehingga bahasa Weejewa menjadi media yang digunakan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi.
Sapaan merupakan salah satu fenomena unik yang sering muncul dalam
tuturan. Dikatakan unik karena lawan bicara dapat disapa dengan nama diri, istilah
kekerabatan, gelar atau istilah sapaan lain. Dalam kegiatan komunikasi
sehari-hari, pemakaian kata sapaan untuk sapa menyapa antar anggota masyarakat
senantiasa berlangsung setiap saat. Tujuannya adalah untuk menyampaikan
maksud-maksud tertentu kepada orang yang disapa (Gustia, dkk,2014). Sapaan
dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berfungsi sebagai sarana
dalam menjaga komunikasi yang baik antar masyarakat dan juga berfungsi untuk
menunjukkan rasa saling menghormati antar masyarakat.
Penggunaan kata sapaan dalam suatu komunikasi tentu dipengaruhi oleh
beberapa hal, seperti siapa yang menyapa, siapa yang disapa, dan bagaimana
hubungan antara penyapa dan pesapa. Selain itu, kata sapaan yang digunakan
untuk bertegur sapa tidak selalu sama untuk setiap lawan bicara. Penggunaan
sapaan yang bervariasi ini merupakan alasan untuk menganalisis faktor-faktor
pemakaian sapaan khususnya penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa di
kabupaten Sumba Barat Daya.
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Weejewa memiliki sistem tertentu dalam
orang yang disapa. Berikut beberapa contoh penggunaan kata sapaan dalam
bahasa Weejewa.
(1) Inna, ba loddo igha wai pertemuan orangtua ne skolah jam 7 dukki
jam 9.
„Mama, hari senin akan ada pertemuan orang tua di sekolah dari jam 7 sampai jam 9 pagi.‟
(2) Pa’ina, pirra igha tandan ne kalowo?
„Ibu, pisang satu tandan ini harganya berapa?
(3) Nyora, ge kako nia mu? „Nyonya, mau pergi ke mana?‟
Sapaan pada contoh (1) yaitu Inna yang berarti „mama‟ merupakan sapaan
yang termasuk dalam jenis hubungan kekerabatan. Sapaan Inna digunakan untuk
menyapa ibu kandung. Sapaan Pa’ina pada contoh (2) yang berarti „ibu‟
merupakan sapaan yang termasuk dalam jenis hubungan nonkekerabatan. Sapaan
Pa’ina merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang
sebaya dengan ibu/mama. Sedangkan sapaan Nyora pada contoh (3) merupakan
sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang memiliki status
sosial lebih tinggi daripada penyapa.
Dalam penelitian ini, ada dua hal yang akan dianalisis. Pertama, analisis
mengenai jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat
Daya. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kata sapaan dalam
bahasa Weejewa.
Analisis mengenai jenis sapaan akan menghasilkan klasifikasi
jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referennya. Pemakaian
siapa yang menyapa, siapa yang disapa dan bagaimana hubungan antara penyapa
dan pesapa.
Penggunaan sapaan yang bervariasi dalam bahasa Weejewa merupakan
salah satu alasan utama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa. Analisis pada faktor-faktor pemakaian
sapaan dalam bahasa Weejewa menghasilkan deskripsi mengenai beberapa faktor
yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Faktor-faktor
tersebut adalah adalah faktor hubungan kekerabatan, faktor perbedaan
jabatan/profesi, faktor status sosial, faktor perbedaan usia, faktor keakraban,
faktor perbedaan jenis kelamin, dan faktor asal penutur. Faktor-faktor tersebutlah
yang mempengaruhi seseorang memakai kata sapaan dalam pelaksanaan bahasa.
Berdasarkan ulasan diatas, peneliti melakukan penelitian berkaitan dengan
sapaan khususnya sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat
Daya. Pemilihan topik penelitian ini disebabkan masih belum ditemukan
penelitian berkaitan dengan sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba
Barat Daya sehingga penelitian ini layak dilakukan. Selain itu juga karena
ketertarikan peneliti terhadap bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengenalkan sekaligus melestarikan bahasa
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dalam butiran 1.1, permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.2.1 Apa saja jenis-jenis sapaan yang terdapat dalam bahasa Weejewa
di Kabupaten Sumba Barat Daya?
1.2.2 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam
di bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya?
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa
di Kabupaten Sumba Barat Daya.
1.3.2 Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan
dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis sapaan dalam bahasa
Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan referennya serta
faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan. Penelitian ini memberikan
manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah
memberikan sumbangan atau menambah kajian sosiolinguistik terutama
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi rujukan/referensi untuk
penelitian berkaitan dengan sapaan dan memberikan tambahan pengetahuan dan
informasi kepada pembaca, baik mahasiswa jurusan sastra Indonesia maupun
pembaca lainnya yang tertarik untuk mempelajari dan memahami lebih dalam
mengenai bentuk sapaan. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi dokumentasi
mengenai sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya.
1.5Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka telah ditemukan beberapa pembahasan tentang
sistem sapaan. Suhardi (1985) dalam bukunya Sistem Sapaan Bahasa Jawa
menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa berhubungan erat
dengan sistem kekerabatan, dan berkaitan dengan gelar kebangsawanan serta
pemilihan bentuk-bentuk sapaan di dalam komunikasi ditentukan oleh berbagai
faktor yang berhubungan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi bicara. Selain
itu, Kata-kata sapaan bahasa Jawa tidak jarang mengalami perubahan (perluasan
dan penyempitan) arti sehingga sangat sulit dirunut bentuknya secara etimologis.
Nika, dkk. (2013), mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang menulis sebuah artikel yang berjudul
“Sistem Kata Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Melayu Di Kepenghuluan
Bangko Kiri Provinsi Riau” dalam jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Artikel tersebut menghasilkan bentuk dan pemakaian kata sapaan
kekerabatan berdasarkan garis keturunan dan garis perkawinan.
Ricardo (2012), mahasiswa Universitas Sumatera Utara juga menulis
tersebut dilakukan dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Dari hasil penelitan
tersebut, Ricardo (2012) menyimpulkan bahwa kata sapaan dalam Bahasa Batak
Toba terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan.
Penelitian mengenai kata sapaan juga pernah dilakukan oleh Syafyahya
dkk. (2002) dengan judul penelitiannya “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di
Kabupaten Agam”. Hasna (1995) dalam skripsinya berjudul “Kata Sapaan Bahasa
Minangkabau dalam Hubungan Perkawinan di Kecamatan Koto Kampung Dalam
Periaman”. Gusthia, dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai sapaan yang
berjudul “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kanagarian Lubuk Ulang Aling
Selatan Kecamatan Sangi Batang Hari Kabupaten Solok Selatan”. Jenis penelitian
tersebut adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil
penelitian-penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk kata sapaan kekerabatan
yang ada di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang
Hari Kabupaten Solok Selatan.
Sartika (2013), mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas
Sanata Dharma menulis skripsi berjudul “Sapaan dalam Bahasa Manggarai
Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan
referennya dibedakan atas hubungan kekerabatan, profesi, jabatan, kata ganti dan
sapaan gabungan. Adapun faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan
tersebut, yaitu faktor peran dalam masyarakat, faktor status sosial, faktor jenis
Berdasarkan tinjauan pustaka, dapat dikemukakan dua catatan, yaitu
pertama, telah terdapat berbagai penelitian mengenai kata sapaan dalam bahasa
Minangkabau, bahasa Jawa, dan bahasa melayu. Kedua, kata sapaan dalam bahasa
Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya belum pernah diteliti sehingga penelitian
mengenai kata sapaan dalam bahasa Weejewa layak dilakukan.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Pengertian Sapaan
Sistem sapaan yang digunakan di dalam masyarakat berlainan tergantung
pada pola budaya lokal. Dalam literatur sosiolinguistik, kata sapaan disebut
dengan address terms, yaitu kata atau frasa yang lazim digunakan untuk
memanggil orang (Subagyo, 2010: 236).
Menurut Kridalaksana (1985:14), sistem sapaan adalah sistem yang
mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai
untuk menyebut atau memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata
yang digunakan dalam sistem tersebut disebut kata sapaan. Chaer (1998: 107)
menyatakan bahwa kata sapaan adalah kata-kata yang digunakan untuk menyapa,
mengatur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara.
Wardhaugh (2010: 281) menyatakan bahwa kata sapaan merupakan kata
yang digunakan untuk menyebut orang yang diajak bicara. Orang mungkin
menyapa atau menyebut orang lain dengan gelar (T), dengan nama pertama ( FN),
dengan marga (LN), dengan nama panggilan, atau bahkan oleh beberapa
Istilah menyapa (term of address) merupakan istilah yang dipakai Ego
untuk memanggil seseorang kerabat apabila ia berhadapan langsung dengan
kerabat tadi dalam hubungan pembicaraan langsung. Misalnya, istilah menyapa
ayah adalah Bapak atau Pak (Koentjaraningrat, 1974: 137).
1.6.2. Jenis Sapaan Berdasarkan Referen
Pateda (1986:67) menyatakan referen adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus lambang. Referen yang merupakan acuan
menunjuk kepada hubungan antara elemen-elemen linguistik berupa leksem, kata,
frasa, kalimat dan atau pengalaman. Dalam Wijana (2011:4-5) dikatakan bahwa
referen adalah sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa. Jenis-jenis sapaan dalam
bahasa Weejewa berdasarkan referen dapat diartikan sebagai penggolongan
sapaan berdasarkan hal yang diacu oleh sapaan tersebut.
Dalam skripsi ini, klasifikasi jenis-jenis sapaan diasarkan pada hal yang
diacu (referen) oleh sapaan tersebut. Misalnya, sapaan Inna menunjuk referen
hubungan kekerebatan karena sapaan Inna merupakan kata sapaan yang
digunakan untuk menyapa ibu kandung.
1.6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sapaan
Bahasa bervariasi berdasarkan penggunaanya serta penggunanya, dalam
hal ini bahasa itu bervariasi berdasarkan kapan bahasa itu digunakan dan kepada
siapa, serta siapa penggunanya (Holmes, 2013:223). Lebih lanjut Holmes
“Hubungan pembicara dengan mitra bicara sangat penting dalam menentukan gaya bicara yang sesuai saat terjadi komunikasi. Seberapa besar penutur mengenal atau seberapa dekat penutur dengan mitra tutur (jarak hubungan sosial/solidaritas) merupakan dimensi yang penting dari sebuah hubungan sosial. Ada banyak faktor yang mungkin dapat berkontribusi dalam menentukan hubungan sosial dengan orang lain, misalnya faktor usia, jenis kelamin, peran dalam masyarakat (profesi/jabatan), pekerjaan yang sama, atau bagian/berasal dari keluarga yang sama, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut mungkin juga relevan dengan status sosial di dalam masyarakat” (Holmes, 2013: 240).
Tanner (dikutip Supriyanto dkk, 1986: 9) mengatakan bahwa dalam tindak
bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil keputusan untuk
memilih suatu variasi tertentu yang berupa bentuk-bentuk linguistik. Pengambilan
keputusan ini sebenarnya melalui suatu proses yang banyak ditentukan oleh
berbagai faktor. Faktor-faktor yang menentukan adalah jarak sosial, situasi, dan
topik pembicaraan.
Fishman (dalam Supriyanto, 1986: 9) menyatakan jarak sosial dapat dilihat
dari sudut vertikal maupun horisontal. Dimensi vertikal akan menunjukkan
apakah seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tiggi atau lebih
rendah). Dimensi vertikal ini merupakan sebuah alat untuk menempatkan
seseorang dalam komitmen hormat dan tidak hormat. Dimensi sosial ini misalnya
kelompok umur, kelas, status perkawinan. Adapun dimensi horizontal
menunjukkan komitmen akrab dan tidak akrab. Misalnya derajat persahabatan,
jenis kelmain, latar belakang etnik atau agama, latar belakang pendidikan, jarak
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu salah satu jenis
penelitian yang memerikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada
(Sudaryanto, 1988: 62). Penilitian ini dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan
fakta yang disusul dengan analisis. Penelitian deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan serta menginterpretasikan bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa
Weejewa.
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik ialah
studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai
anggota masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan
membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi)
yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan
(sosial) (Nababan, 1984: 2).
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode simak dan metode cakap. Menurut Sudaryanto (2015: 203) metode simak,
yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.
Pada metode simak, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik sadap
dengan teknik lanjutan yakni teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas
libat cakap. Teknik simak libat cakap, yaitu kegiatan penyadapan data yang
dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang
dapat dilakukan dengan ikut terlibat atau berpartisipasi dengan menyimak, baik
penyadapan data yang dilakukan dengan tidak berpartisipasi ketika menyimak.
Peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi, atau imbal wicara
(Sudaryanto,2015:203-204). Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu
dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan
klasifikasi.
Pada metode cakap, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik
pancing dengan teknik lanjutan, yakni teknik cakap sekemuka. Teknik cakap
sekemuka adalah kegiatan memancing bicara itu dilakukan dengan percakapan
langsung, tatap muka, atau bersemuka; jadi lisan (Sudaryanto, 2015: 209).
1.7.2 Metode Analisis Data
Dalam tahap ini digunakan metode padan referensial dan metode padan
pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari
luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan.
Metode padan referensial adalah metode yang alat penentunya merupakan
kenyataan yang ditunjuk atau diacu oleh bahasa atau referen bahasa. Dalam hal
ini, identitas konstituen kalimat (yang berupa satuan lingual tertentu, dapat kata
dapat frasa), penentunya didasarkan pada unsur kenyataan yang berada di luar
bahasa tetapi memang diacu oleh bahasa yang bersangkutan yang sedang diteliti
itu (Sudaryanto, 2015:15-16). Metode padan referensial digunakan untuk
menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk
Contoh penerapan metode padan refensial sebagai berikut.
(4) Loka, jam pirra kako pancing ikana?
„Paman, jam berapa pergi memancing Ikan?‟
(5) Rini, baba tobba kalambe?
„Rini, apakah kamu sudah selesai mencuci pakaian?‟
Kata sapaan Loka pada contoh (4) dan Rini pada contoh (5) merupakan
contoh kata sapaan dalam bahasa Weejewa. Kata sapaan Loka merupakan kata
sapaan yang menunjuk kekerabatan sedangkan Rini pada contoh (5) menunjuk
nama diri (mitra tutur).
Metode padan pragmatis adalah metode yang alat penentunya mitra wicara
atau mitra tutur. Dalam hal ini, orang yang diajak bicara dengan segala reaksi atau
tanggapannya menjadi penentu identitas satuan lingual-satuan lingual tertentu
(Sudaryanto, 2015:18). Dalam penelitian ini, metode padan pragmatis digunakan
untuk menentukkan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam
bahasa Weejewa.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan
metode penyajian informal dan metode formal. Metode penyajian informal yaitu
perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata biasa, dimana rumus-rumus atau
kaidah-kaidah disampaikan dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca
langsung dapat dipahami. Metode penyajian formal adalah penyajian hasil analisis
gambar (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam skripsi ini, penyajian hasil analisi data
dengan metode formal digunakan tanda/lambang, tabel dan gambar.
1.7.4 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari dalam empat bab. Bab pertama
merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan pnelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi
penelitan, dan sistematika penyajian. Bab kedua berisi uraian mengenai
jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan
referennya.. Bab ketiga berisi pembahasan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaaan sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba
Barat Daya. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan mengenai
17 BAB II
JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA di KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
2.1 Pengantar
Menurut Chaer (1998: 107), kata sapaan tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri
dan kata nama perkerabatan. Subiyakto-Nababan (1992: 153) menyatakan bahwa
sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi
suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan
nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi).
Dalam bab ini dibahas jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di
kabupaten Sumba Barat Daya. Jenis-jenis kata sapaan dalam bahasa Weejewa di
kabupaten Sumba Barat Daya dibedakan berdasarkan referennya, yakni kata
sapaan berdasarkan (a) hubungan kekerabatan, (b) nonkekerabatan, (c) nama diri,
(d) kata ganti, (e) status sosial, (f) jabatan/profesi.
2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan
Sapaan hubungan kekerabatan yang dimaksud adalah penggunaan istilah
kekerabatan dalam komunikasi sehari-hari. Istilah kekerabatan yang digunakan
berdasarkan pengertian Kridalaksana (1985:14). Kridalaksana menggunakan
formulasi istilah kekerabatan kerabat ialah orang „sedarah‟ yang dipanggil
Istilah kekerabatan adalah istilah untuk menyebut atau menyapa orang yang
terikat kepada diri sendiri karena hubungan keturunan, darah, atau perkawinan.
Seseorang disebut berkerabat apabila ada pertalian darah atau pertalian
perkawinan (Syafyahya, dkk, 2000:7). Istilah-istilah kekerabatan dalam suatu
bahasa timbul karena keperluan untuk menyatakan kedudukan diri seseorang
secara komunikatif dalam suatu keluarga.
Kerabat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama, kerabat
yang terbentuk karena hubungan darah, dan kedua kerabat yang terbentuk karena
hubungan tali perkawinan antara penutur dengan mitra tutur. Kata sapaan yang
dipergunakan untuk menyapa kerabat meliputi sapaan yang dipergunakan
untuk menyapa nenek dan kakek, bapak dan ibu, saudara bapak dan ibu,
saudara kandung, saudara sepupu, anak, keponakan, cucu, dan cicit. Kata
sapaan yang dipergunakan untuk menyapa kerabat yang terbentuk karena tali
perkawinan, meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa mertua, sapaan
untuk menyapa besan, suami, istri, dan saudara ipar.
Kata sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam bahasa
Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan jenis sapaan yang paling
banyak ditemui. Jenis sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam
bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya mencakup dua puluh empat kata,
yaitu Ama, Inna, Ana Mane, Ana Mawine, Leiro, Na’a, Wotto, Ama Kaweda, Inna
Kaweda, Umbu, Tamoama, Tamoina, Aiba, Amaangua, Inaangua, Loka, Cama,
Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Olesawa, Wasse, Ippa. Berikut ini akan
2.2.1 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama
Kata sapaan Ama muncul dalam tiga variasi. Tiga variasi yang dimaksud,
yaitu Ama „ayah/bapak‟, Ama Kaweda „kakek‟, Ama + Nama Anak I.
Kata sapaan Ama secara harafiah berarti „ayah atau bapak‟. Sapaan Ama adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita muda
untuk menyapa ayah kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan
dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (6) berikut menunjukkan bagaimana
penyapa berbicara dengan ayah kandung.
(6) Ama, ku dengi ijin kako deku acara na olegu ba yodikia male jam pittu.
„Ayah, saya minta izin untuk pergi ke acaranya teman hari ini jam tujuh malam.‟
Dalam perkembangannya, kata sapaan Ama mengalami perluasan
penggunaan. Sapaan Ama bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa
kakek kandungnya. Selain itu, sapaan Ama dapat digunakan untuk menyapa anak
laki-laki. Dalam penggunaannya, sapaan Ama merupakan sapaan yang sangat
sopan.
Sapaan Ama Kaweda adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria
atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi
tidak
resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (7) berikut ini menunjukkan
bagaimana seorang cucu berbicara dengan kakeknya.
Bentuk sapaan Ama + Nama Anak I digunakan oleh penyapa pria tua dan
wanita tua untuk menyapa pria (tua, sebaya, dan muda) yang sudah mempunyai
anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam
hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (8) berikut menujukkan
bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan
Ama + Nama Anak I.
(8) Ama Ria, bisa pinjam gai gergaji belli?
„Bapak Ria, apakah saya boleh pinjam gergaji?‟
2.2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna
Kata sapaan Inna juga muncul dalam tiga variasi, yaitu Inna „ibu/mama‟,
Inna kaweda „nenek‟, Inna + nama anak I.
Bentuk variasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan penyapa
dengan pesapa atau yang disapa. Kata sapaan Inna secara harafiah berarti „mama‟
atau „ibu‟ adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita
muda untuk menyapa ibu kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan
tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (9) berikut menunjukkan
bagaimana penyapa berbicara dengan ibu kandung.
(9) Inna wo’i gai kalambe baru! „Mama, belikan saya baju baru!‟
Dalam perkembangannya, sapaan Inna juga mengalami perluasan
penggunaan yaitu sapaan Inna bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk
sopan sehingga kebanyakan pria Sumba Barat Daya menyapa seorang wanita
yang mereka hormati dengan sapaan Inna. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(10) Na mimi ba nga’a Inna?
„Nenek, apakah nasinya sudah masak?‟
(11) Inna, ku bei takka gu!
‘Nona, saya benar-benar menyukaimu!’
Contoh (10) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh seorang cucu kepada
neneknya. Adapun contoh (11) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh
seorang pemuda yang mengungkapkan perasaan cinta kepada gadis yang
disukainya.
Sapaan Inna Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa
pria atau wanita untuk menyapa nenek kandung. Sapaan ini digunakan dalam
situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan
penjelasannya.
(12) Inna Kaweda Yaggu ne pamama? „Nenek mau siri dan pinang lagi?‟
Contoh (12) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda. Contoh
tersebut melukiskan mengenai seorang cucu yang menawarkan kepada neneknya
untuk makan siri dan pinang. Kata sapaan Inna Kaweda dalam perkembangannya
mengalami perluasan penggunaan. Sapaan tersebut dapat digunakan oleh penyapa
kepada orang yang tidak memiliki hubungan darah melainkan karena keadaan
Sapaan Inna + Nama Anak I merupakan sapaan yang digunakan oleh
penyapa pria tua dan wanita tua untuk menyapa wanita (tua, sebaya, dan muda)
yang sudah mempunyai anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan
tidak resmi dan dalam hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (13)
berikut menunjukkankan bagaimana penyapa berbicara dengan pesapa
menggunakan sapaan Inna + nama anak I.
(13) Inna Evi, jam pirra latihan koor ba koka? „Mama Evi, besok latihan koor jam berapa?‟
2.2.3 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mane
Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mane secara harafiah berarti
„anak laki-laki‟. Sapaan Ana Mane digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk
menyapa anak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan
tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(14) Ana Mane Ngeta yoddi kako skolah, jam piira ba nebehinna? „Anak, segera berangkat ke sekolah, sudah jam berapa ini?‟
Contoh (14) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mane oleh
seorang Ibu yang memarahi anaknya untuk segera berangkat ke sekolah agar tidak
terlambat.
2.2.4 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mawinne
Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mawine secara harafiah berarti
untuk menyapa anak perempuan kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi
resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan
penjelasannya.
(15) Ana Mawine, pati’i ba bubur ina kawedamu? „Anak, apakah bubur untuk nenek sudah dimasak?‟
Contoh (15) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mawinne oleh
seorang ibu kepada anak gadisnya mengenai makanan untuk sang nenek.
2.2.5 Sapaan Hubungan Kekerabatan Leiro
Kata sapaan hubungan kekerabatan Leiro memiliki arti „Sayang‟. Kata sapaan Leiro merupakan kata sapaan yang sangat lembut dan digunakan oleh
penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak perempuan yang memiliki
hubungan kekerabatan dengan penyapa. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi
dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(16) Leiro, mu nga’a ba? Ne wai ngana’a pangindigu!
„Sayang, kamu sudah makan? Ini mama ada bawakan daging!‟
Contoh (16) menunjukkan penggunaan kata sapaan Leiro. Sapaan tersebut biasa
digunakan oleh seorang Ibu untuk menyapa dengan sangat lembut anak
perempuannya.
2.2.6 Sapaan Hubungan Kekerabatan Na’a
Kata sapaan hubungan kekerabatan Na’asecara harafiah berarti „saudara‟. Kata sapaan Na’a digunakan oleh penyapa wanita untuk menyapa adik maupun
kakak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak
(17) Na’a, pirra budi kako deke ruta na karambo? „Adik, kapan pergi ambil rumput untuk kerbau?‟
Contoh (17) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Na’a yang digunakan
oleh seorang kakak perempuan untuk menyuruh adiknya agar segera mengambil
makanan untuk kerbau.
2.2.7 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wotto
Kata sapaan hubungan kekerabatan Wotto secara harafiah juga berarti
„saudara‟ tetapi dapat juga diartikan „nona‟. Kata sapaan Wotto digunakan oleh
penyapa pria untuk menyapa adik maupun kakak perempuan kandung. Sapaan ini
digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab.
Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(18) Wotto, ge bondala niamu kalambe gu patobamu manna? „Adik, baju yang sudah dicuci di simpan di mana?
Pada contoh (18) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Wotto yang
digunakan oleh seorang kakak laki-laki untuk memanggil saudara perempuannya.
2.2.8 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama Kaweda
Kata sapaan hubungan kekerabatan Ama Kaweda merupakan sapaan yang
digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan
ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab.
Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata sapaan kekerabatan Ama Kaweda.
Contoh (19) menunjukkan penggunaan sapaan Ama Kaweda oleh seorang
cucu kepada kakeknya. Contoh tersebut menunjukkan tentang seorang cucu yang
bertanya kepada sang kakek apakah kakeknya sudah selesai meminum obat dari
dokter.
Sapaan Ama Kaweda tersebut sudah jarang digunakan khususnya di
daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan di Kabupaten Sumba Barat Daya sering
menggunakan kata Sapaan Opa untuk menyapa kakek kandung. Contoh berikut
menunjukkan penggunaan kata sapaan Opa.
(20) Opa, woi gai sepeda baru! Opa, belikan saya sepeda baru!
2.2.9 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna Kaweda
Kata sapaan hubungan kekerbatan Inna Kaweda yang berarti „nenek‟
merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa
nenek kandung. Sapaan Ina Kaweda digunakan dalam situasi resmi dan tidak
resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata
sapaan kekerabatan Inna Kaweda.
(21) Ina Kaweda, omana nga’a pamamadebehinna kana pia belli ne sariawanmu!
„Nenek, jangan makan sirih pinang lagi agar sariawannya
sembuh!‟
Contoh (21) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda oleh seorang
cucu kepada neneknya. Sama halnya dengan sapaan Ama Kaweda, sapaan Inna
Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata
Sapaan Oma untuk menyapa nenek kandung. Contoh berikut menunjukkan
penggunaan kata sapaan Oma.
(22) Oma, ge ne nia ingigu? „Oma, Dimana sarung saya?‟
2.2.10 Sapaan Hubungan Kekerabatan Umbu
Kata sapaan hubungan kekerabatan Umbu memiliki arti „cucu‟. Kata
sapaan ini digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cucu
perempuan dan cucu laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi
dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(23) Umbu, kako eta beli na wawi apana kana kaweka! „Cucu, lihat dulu babi itu kenapa tiba-tiba berteriak!‟
Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Umbu oleh penyapa kepada
cucunya. Contoh tersebut tampak menunjukkan seorang nenek/kakek yang
menyuruh cucunya untuk memeriksa keadaan seekor babi yang tiba-tiba berteriak.
2.2.11 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoama
Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoama merupakan sapaan yang
digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak laki-laki (cucu)
yang memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari
kakek kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama kakek
kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan lembut kepada anak laki-laki.
(24) Tamoama, yawe ne ate na manu mbarana marapu! „Cucu, bawakan hati ayam ini ke Marapu!‟
Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Tamoama. Dalam contoh tersebut
tampak kakek menyuruh cucu laki-lakinya utnuk membawakan sesaji atau
makanan persembahan kepada leluhur.
2.2.12 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoina
Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoina memiliki arti yang sama
dengan sapaan Tamoama, yaitu „cucu‟. Sapaan ini merupakan sapaan digunakan
oeh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak perempuan (cucu) yang
memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari nenek
kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama nenek
kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan yang lembut kepada anak
perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam
hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(25) Tamoina, pati’i beli ne ro’o sambiloto kaku enu beli dana dua ki ne ti’a gu!
‘Cucu, rebus daun sambiloto ini, saya mau minum karena perut saya sedang tidak enak!‟
Contoh (25) menunjukkan penggunaan kata sapaan Tamoina. Contoh tersebut
menggambarkan seorang nenek/kakek menyuruh cucu perempuan untuk memasak
28 2.2.13 Sapaan Hubungan Kekerabatan Aiba
Kata sapaan hubungan kekerabatan Aiba merupakan sapaan yang
digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cicit laki-laki atau cicit
perempuan. Kata sapaan Aiba digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan
dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(26) Aiba, ngindi belli neme ingigu ne’e bali katonga!
„Cicit, bawakan ke sini sarung nenek yang ada di bale-bale!‟
Contoh (26) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Aiba. Dalam contoh
tersebut tampak seorang nenek menyuruh cicitnya untuk mengambil sarung sang
nenek yang tertinggal di bale-bale.
2.2.14 Sapaan Hubungan Kekerabatan Amaangua
Kata sapaan hubungan kekerabat Amaangua merupakan sapaan yang
digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara laki-laki
kandung dari pihak ayah. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak
resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(27) Amaangua, mado’I dapa daku eta kango kareko pongu ge? „Bapak, lama tidak betemu kenapa bapak terlihat kurus?‟
Contoh (27) menunjukkan penggunaan kata sapaan Amaangua. Tampak
dalam contoh tersebut penyapa berbicara kepada saudara laki-laki dari pihak ayah.
Namun, penggunaan kata sapaan Amaangua sudah jarang digunakan. Hal tersebut
sehingga masyarakat Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya terkadang
menyapa saudara laki-laki dari pihak ayah dengan menggunakan kata sapaan Ama
saja. Penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
2.2.15 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inaangua
Kata sapaan hubungan kekerabatan Inaangua merupakan sapaan yang
digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa adik atau kakak
perempuan dari pihak ibu atau mama. Kata sapaan tersebut digunakan dalam
situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan
penjelasannya.
(28) Inaangua, waipo kambe tana lakka yodi? „Mama, masih ada sisa kacang tanah sedikit?‟
Contoh (28) menunjukkan penggunaan kata sapaan Inaangua. Dalam
contoh tersebut penyapa bertanya kepada saudara perempuan dari pihak Ibunya
apakah masih ada sisa kacang tanah. Sama halnya dengan kata sapaan
Amaangua, sapaan Inaangua juga sudah jarang digunakan karena memiliki arti
yang sama dengan kata sapaan Inna sehingga terkadang penyapa menyapa
saudara dari pihak ibu hanya dengan menggunakan sapaan Inna. Penggunaannya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
2.2.16 Sapaan Hubungan Kekerabatan Loka
Kata sapaan hubungan kekerabatan Loka memiliki arti „paman‟. Kata
sapaan Loka merupakan kata sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau
tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan
akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(29) Loka, ba koka sore bisa antargai ne sekolah „Om, Apakah besok bisa antarkan saya ke sekolah?‟
Contoh (29) menunjukkan penggunaan kata sapaan Loka oleh penyapa
kepada saudara laki-laki dari pihak Ibu. Dalam contoh tersebut penyapa bertanya
kesediaan pamannya untuk mengantarkannya ke sekolah.
Kata Sapaan Loka sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan.
Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata
Sapaan Om untuk menyapa paman kandung.
2.2.17 Sapaan Hubungan Kekerabatan Cama
Kata sapaan hubungan kekerabatan Cama memiliki arti „bibi‟. Sapaan ini
digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa kakak atau adik
perempuan dari pihak ayah. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan
tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut contoh dan penjelasannya.
(30) Cama, raigu we’e mutu teh ato kopi? „Tante, mau saya buatkan teh atau kopi?‟
Contoh (30) menunjukkan penggunaan kata sapaan Cama oleh penyapa
kepada saudara perempuan dari pihak ayah. Dalam contoh tersebut tampak
penyapa menawarkan minuman kepada bibinya. Sama halnya dengan kata sapaan
Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan
sapaan tante untuk menyapa paman kandung.
2.2.18 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anakabine
Kata sapaan hubungan kekerabatan Anakabine memiliki arti „keponakan‟.
Sapaan ini digunakan oleh penyapa untuk menyapa keponakan kandung
perempuan maupun laki-laki. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak
resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(31) Anakabine, lodo pirra buddi deimba raport mi? „Ponaan, hari apa kalian akan menerima raport?‟
Contoh (31) menunjukkan penggunaan sapaan Anakabine. Contoh tersebut
menjelaskan bagaimana penyapa bertanya kepada keponakannya (perempuan atau
laki-laki) mengenai hari apa sang keponakan akan menerima raport.
2.2.19 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anguleba
Kata sapaan hubungan kekerabatan Anguleba merupakan sapaan yang
berarti „sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk
menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan ayah. Sapaan ini
digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab.
Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(32) Anguleba, dubula kai ba koka ami todaka watara ne oma!
Contoh (32) menunjukkan penggunaan sapaan Anguleba oleh penyapa
kepada sepupu dari pihak ayah. Contoh tersebut menujukkan tentang penyapa
yang mengingatkan sepupu dari pihak ayahnya untuk datang ikut serta menanam
jagung di kebun.
2.2.20 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olebei
Kata sapaan Olebei memiliki arti yang sama dengan Anguleba, yaitu
„sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk
menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan Ibu. Sapaan ini
digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab.
Berikut Ini contoh dan penjelasannya.
(33) Olebei, gei wali nia mu mana male?
„Sepupu, engkau dari mana kemarin malam?‟
Contoh (33) menunjukkan penggunaan sapaan Olebei. Contoh tersebut
menjelaskan tentang seorang penyapa yang bertanya kepada saudara sepupu dari
pihak ibunya.
2.2.21 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wera
Kata sapaan hubungan kekerabatan Wera memiliki dua arti, yaitu „mertua‟
dan „besan‟. Sapaan istilah kekerabatan Wera yang memiliki arti „mertua‟
digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa bapak atau ibu
mertuanya. Sedangkan Wera yang memiliki arti „besan‟ digunakan oleh penyapa
pria dan wanita untuk menyapa orang tua dari menantu baik menantu pria maupun
serta dalam hubungan akrab. Penggunaan kata sapaan Wera disesuaikan dengan
situasi dan kondisi. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(34) Wera, maiga dengi wasu kaku rai golu wawi. Na kalada lolo ba wawi ne uma.
„Mertua, saya datang meminta kayu untuk membuat kandang babi. Babi dirumah sudah cukup besar.‟
(35) Slamata siang! peina kabar yodi, Wera? ‘Selamat siang! Bagaimana kabarmu, Besan?‟
Contoh (34) menunjukkan penggunaan kata sapaan oleh penyapa terhadap
ibu mertua atau ayah mertua sedangkan contoh (35) menunjukkan penggunaan
kata sapaan oleh penyapa terhadap orang tua dari menantu (besan). Namun,
penggunaan kata sapaan „wera‟ yang memiliki arti „mertua‟ sudah jarang
digunakan oleh masyarakat Sumba Barat Daya untuk menyapa ibu mertua atau
ayah mertua. Sekarang ini cenderung terjadi pergeseran penggunaan kata sapaan
untuk bapa dan ibu mertua menjadi Inna „mama‟ atau Ama „Bapak‟. Pergeseran
penggunaan kata sapaan tersebut menunjukkan terjadinya hubungan yang lebih
erat antara menantu dan mertua.
2.2.22 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wasse
Sapaan hubungan kekerabatan Wasse memilik arti „anak‟. Sapaan Wasse
digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak menantu baik
laki-laki maupun perempuan. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak
resmi dan dalam hubungan akrab berikut ini contoh dan penjelasannya.
Contoh (36) menunjukkan penggunaan kata sapaan Wasse oleh penyapa kepada
anak menantu perempuan. Tampak dalam contoh tersebut bapak atau ibu mertua
bertanya kapan anak menantunya berangkat ke posyandu.
2.2.23 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ippa
Kata sapaan hubungan kekerabatan Ippa memiliki arti „ipar‟. Sapaan Ippa merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa
saudara ipar perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi
dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(37) Ippa, bisa panunga gai belli pei pata pati’i ne kana’a simbi? „Ipar, apakah bisa ajarkan kepada saya bagaimana caranya memasak daging kambing ini?‟
Contoh (37) menunjukkan penggunaan sapaan Ippa oleh penyapa kepada saudara
ipar perempuannya. Contoh tersebut menjelaskan tentang penyapa yang meminta
kepada saudara ipar perempuannya untuk mengajarinya bagaimana cara memasak
daging kambing.
2.2.24 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olesawa
Kata sapaan hubungan kekerabatan Olesawa memiliki arti yang sama
dengan kata sapaan Ippa, yaitu „ipar‟. Sapaan Olesawa merupakan kata sapaan
yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara ipar
laki-laki. Kata sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan
dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.
(38) Dengi belli bu’bumu iya, Olesawa!
Contoh (38) menunjukkan penggunaan kata sapaan Olesawa. Dalam contoh
tersebut tampak penyapa meminta sebatang rokok kepada saudara ipar laki-laki.
Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan
No Hubungan Kekerabatan Kata Sapaan
1 Kakek Kandung Ama Kaweda
8 Kakak/adik Laki-laki kandung Na’a 9 Kakak/adik perempuan kandung Wotto 10 Cucu laki-laki/perempuan Umbu
11 Cucu Laki-laki Tamoama
12 Cucu Perempuan Tamoina
13 Cicit Aiba
14 Kakak/adik laki-laki Ayah Amaangua 15 Kakak/adik perempuan Ibu Inaangua 16 Adik/kakak Laki-laki Ibu Loka 17 Adik/kakak perempuan Ayah Cama
18 Keponakan Anakabine
19 Sepupu dari pihak ayah Anguleba 20 Sepupu dari pihak Ibu Olebei
21 Mertua Wera
22 Ipar (laki-laki) Olesawa
23 Menantu laki-laki/perempuan Wasse
2.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan
Kata sapaan nonkekerabatan merupakan kata sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang tidak memiliki hubungan darah baik karena keturunan
maupun karena hubungan perkawinan. Kata sapaan yang dipergunakan kepada
bukan kerabat (nonkerabat) meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa
orang sebaya dengan kakek dan nenek, sebaya dengan orang tua, lebih tua
dari orang tua, lebih muda dari orang tua, sebaya dengan kakak, sebaya dengan
adik, sebaya dengan penutur. Kata sapaan yang menyatakan hubungan
non-kekerabatan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu
Kaweda, Paiina, Tante, Paama, Om, Ka’a, Alli.
2.3.1 Sapaan Nonkekerabatan Kaweda
Kata sapaan nonkekerabatan Kaweda secara harafiah berarti „tua‟. Sapaan
Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk
menyapa kakek atau nenek bukan kandung. Sapaan ini dapat digunakan dalam
situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab.
Berikut contoh kalimat (39) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan
orang yang disapa menggunakan sapaan kaweda.
(39) Kaweda, gei nia ummamu kako antara gu’ „Tua, rumahnya dimana supaya saya antar?‟
2.3.2 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Painna
Kata sapaan nonkekerabatan Painna secara harafiah berarti „Ibu‟ adalah
bukan kandung yang sudah memilik anak. Sapaan ini digunakan dalam situasi
tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh
kalimat (40) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang
disapa menggunakan sapaan paiinna.
(40) Paiina, pirra ia kobba we ne gaga?
„Ibu, Lombok satu mangkuk ini harganya berapa?
2.3.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Tante
Kata sapaan nonkekerabatan Tante yang berarti „bibi‟ adalah sapaan yang
digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa wanita bukan kandung
yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan
dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak
akrab. Berikut contoh kalimat (41) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara
dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Tante.
(41) Tante, permisi, tua yoddi ge nei ne ummana Bapak Maya „Tante, permisi, saya mau bertanya. Dimana rumah Bapak Maya?
2.3.4 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Pa’ama
Kata sapaan nonkekerabatan Paama secara harafiah berarti „bapak‟.
Sapaan ini merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita
untuk menyapa bapak-bapak bukan kandung yang sudah memiliki anak. Sapaan
ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak
akrab. Berikut contoh kalimat (42) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara
(42) Pa’ama, Garra olemu kadi karambo? „Bapak dengan siapa mengembala kerbau?‟
2.3.5 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Om
Kata sapaan nonkekerabatan Om yang berarti „paman‟ adalah sapaan yang
digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria bukan kandung
yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan
dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak
akrab. Berikut ini contoh kalimat (43) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara
dengan orang yang disapa dengan menggunakan sapaan Om.
(43) Pirra harga ne rowe iga ikat Om?
„Om, sayur ini harganya berapa satu ikat?‟
2.3.6 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Ka’a
Kata sapaan nonkekerabatan ka’a yang berarti „kakak‟ adalah sapaan
yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita
bukan kandung dan usianya lebih tua daripada penyapa. Sapaan ka’a dapat juga
digunakan untuk menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan
dengan penyapa Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan
dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (44)
menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak dikenal
menggunakan sapaan ka’a.
(44) Ka’a, bisa b’ubu ne loura?
2.3.7 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Alli
Kata sapaan Alli yang berarti „adik‟ adalah sapaan yang digunakan oleh
penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita bukan kandung dan
usianya lebih muda daripada penyapa. Sapaan alli dapat juga digunakan untuk
menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa.
Sapaan ini juga dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam
hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut ini contoh kalimat (45)
menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak di kenal
menggunakan sapaan alli.
(45) Alli, klas pirra ba nebe hinna? „Adik, sudah kelas berapa sekarang?
Tabel 2. Sapaan Hubungan Nonkekerabatan
No Nonkekerabatan Kata sapaan
1 Orang yang sebaya kakek/nenek Kaweda
2 Orang sebaya Ibu painna
3 Orang sebaya Ayah pa’ama
4 Orang sebaya kakak
perempuan/laki-laki Ka’a 5 Orang sebaya adik
laki-laki/perempuan Alli
2.4 Sapaan Dengan Menyebut Nama
Sistem sapaan yang dengan menyebut nama dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya dapat dikelompokkan menjadi sistem sapaan
dengan menyebut nama diri dan sistem sapaan dengan menyebut nama anak
pertama atau anak terakhir.
2.4.1 Sapaan dengan Menyebut Nama Panggilan
Nama diri adalah nama yang dipakai dengan menyebutkan nama seseorang
(KBBI, 1995: 681). Sapaan nama diri merupakan nama yang diperoleh seseorang
ketika lahir. Nama diri merupakan bentuk sapaan yang dipakai untuk mengetahui
identitas seseorang, misalnya Gusti, Ratna, Sinta dan lain-lain. Sapaan nama diri
dapat berupa nama diri tanpa diikuti bentuk lain dan nama diri yang yang
dikombinasikan atau disertai sapaan lain. Bentuk sapaan dengan menyebut nama
diri sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara penyapa dengan pesapa.
Pemakaian bentuk sapaan nama diri sering digunakan oleh penutur yang memiliki
usia sebaya dengan mitra tutur dan penutur yang usianya lebih tua dari mitra tutur
atau orang yang disapa. Selain itu, penggunaan kata sapaan nama diri ditemukan
dalam situasi tidak resmi, memiliki hubungan yang akrab dan biasanya sudah
lama saling mengenal.
Dalam peneltian ini, kata sapaan dengan menyebut nama diri terbagi
menjadi dua bagian, yaitu penggunaan sapaan dengan nama panggilan lengkap