• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sapaan dalam Bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sapaan dalam Bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

NUSA TENGGARA TIMUR

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

NUSA TENGGARA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka sebagimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2017

Penulis

(6)

v

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata

Dharma:

Nama : Heronima Rosalia Ate

NIM : 134114040

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Sapaan Dalam Bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal 31 Juli 2017

Yang menyatakan,

(7)

vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai

Kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan

rancangan kecelakaan untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan”

(Yer 29: 11)

Semangat yang kuat mematahkan segala keputusasaan

dan rasa kecewa dalam diri, serta yakinlah bahwa segala sesuatu

indah pada waktunya

Skripsi ini saya persembahakan untuk orang-orang terkasih:

Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama Kristina Peda Bulu Kakak Fabianus Ama Kii, Kakak Yosefhina Noviana Milla Ate,

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan

rahmant-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini

dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sastra

Indonesia pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah membantu

penulis dalam menyusun skripsi ini:

1. Bapak Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang

telah sabar dan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, kritik

yang sangat berarti dalam penyempurnaan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang juga ikut mendorong dan menyemangati penulis.

3. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, Bapak Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Bapak Drs. A.

Hery Antono, M.Hum. (alm), Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Bapak

Drs. F.X. Santosa, M.S., Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Ibu Dra.

Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., Bapak Sony Christian Sudarsono,

(9)

viii

dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu.

4. Segenap Staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Staf Biro Administrasi

Akademik Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran

urusan kuliah.

5. Segenap Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah

membantu menyediakan buku-buku yang penulis perlukan.

6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama

Kristina Peda Bulu yang tidak pernah lelah berjuang, mendukung, dan

mendoakan selama proses pendidikan hingga saat ini. Terima kasih juga

kepada Nenek Bela Pati, Nenek Lero Kaka, Om Ngongo, Tante Ngalu,

Kakak Yanus, Kakak Evi, Kakak Dion, Kakak Murri, Kakak Pippi, Adik

Marce yang selalu mendukung, menyemangati serta mendokan penulis.

7. Kakak Apolonius Dolu yang selalu mendukung dan mendoakan penulis.

8. Seluruh teman-teman di Prodi Sastra Indonesia, secara khusus angkatan

2013 yang telah berjuang bersama-sama hingga saat ini.

9. Semua pihak yang turut membantu penulis baik secara langsung maupun

tidak langsung membantu penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi

ini.

(10)

ix

Meskipun banyak pihak telah terlibat dalam penelitian dan penyusunan

skripsi ini, namun tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan penulis. Oleh

karena itu segala kritik, saran, dan masukan dapat disampaikan kepada penulis.

Yogyakarta, 31 Juli 2017

(11)

x ABSTRAK

Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di Kabupaten Sumba Barat Daya” Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan jenis-jenis kata sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dan metode simak. Pada tahap analisis data digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dan metode formal.

(12)

xi ABSTRACT

Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di KAbupaten Sumba Barat Daya”. Thesis. Yogyakarta: Department of Indonesian Literature, Faculty of Leterature, Sanata Dharma University.

This thesis discusses about address terms in Weejewa Language at Sumba Barat Daya regency of East Nusa Tenggara Province. The objective is to describe the types of address terms in Weejewa language and factors influencing its choice in Weejewa language.

This is a descriptive study with sociolinguistic approach. The colllection method used in this thesis are cakap and simak. Data analysis method used are padan refensial and padan pragmatis. Presentation of the result of data analysis methods used are informal and formal methods.

(13)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

1.7Metodologi Penelitian ... 13

1.7.1 Pengumpulan Data ... 13

1.7.2 Analisis Data ... 14

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data ... 15

(14)

xiii

BAB II JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

2.1 Pengantar ... 17

2.2 Kata Sapaan hubungan Kekerabatan ... 17

2.3 Kata Sapaan Nonkekerabatan ... 36

2.4 Kata Sapaan Dengan Menyebut Nama ... 40

2.5 Kata Sapaan Berdasarkan Kata Ganti ... 43

2.6 Kata Sapaan Berdasarkan Status Sosial ... 45

2.7 Kata Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi ... 48

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA 3.1 Pengantar ... 51

3.2 Faktor Hubungan Kekerabatan ... 51

3.3 Faktor Perbedaan Jabatan/Profesi ... 62

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya ... . 3

Gambar 2. Bagan Keluarga Inti ... 53

Gambar 3. Bagan Keluarga Luas I Ayah ... 56

Gambar 4. Bagan Keluarga Luas I Ibu... 58

(16)

xv DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan ... 35

Tabel 2. Sapaan Nonkekerabatan ... 39

Tabel 3. Sapaan Berdasarkan Nama Diri (mitra tutur) ... 43

Tabel 4 .Sapaan Berdasarkan Kata Ganti. ... 45

Tabel 5. Sapaan Berdasarkan Status sosial ... 47

Tabel 6. Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi……….. 50

Tabel 7. Penggunaan Kata Sapaan Keluarga Inti ... 54

Tabel 8. Keluarga Luas I Ayah ... 57

Tabel 9. Penggunaan Sapaan Keluarga Luas I Ibu ... 59

(17)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Bahasa merupakan bagian penting dari pola tingkah laku dan pola budaya

manusia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman

bahasa. Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan dan suku tentu memiliki

berbagai bahasa yang berbeda-beda. Bahasa-bahasa tersebut cenderung menjadi

ciri khas dan keunikan dari suatu suku atau daerah tertentu. Bahasa tersebut sering

disebut sebagai bahasa daerah misalnya, bahasa Jawa, bahasa Minangkabau,

bahasa Aceh, bahasa Agam, bahasa betawi, dsb. Bahasa Weejewa juga merupakan

salah satu bahasa daerah yang terdapat di wilayah Timur Indonesia tepatnya di

Pulau Sumba Kabupaten Sumba Barat Daya.

Pulau Sumba adalah sebuah pulau kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya adalah Gunung

Wanggameti (1.225 m). Pulau Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah

barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan

tenggara. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di

sebelah selatan dan barat. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten yaitu,

Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba

Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur.

Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan pemekaran dari

Kabupaten Sumba Barat (Induk). Luas wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya

(18)

kecamatan terbagi lagi dalam desa dan kelurahan, yaitu ada sebanyak 129 desa

dan 2 kelurahan. Secara geografik wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya terletak

pada 9º,18 – 10º,20 LS (Lintang Selatan) dan 118º,55 – 120º,23 BT (Bujur

Timur). Batas Wilayah administratif Kabupaten Sumba Barat Daya adalah sebelah

Utara berbatasan dengan Laut Sumba, sebelah Selatan berbatasan dengan

Samudra Indonesia dan Kabupaten Sumba Barat, sebelah Barat berbatasan dengan

Samudra Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumba

Barat.

Dataran Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan dataran yang berbukit –

bukit dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar ± 0 hingga 850 MSL (Mean

Sea Level) untuk kemiringan lahan wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya dan

sepanjang pantai relatif datar. Topografi Kabupaten Sumba Barat Daya berbukit

dan mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi.

Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat Daya adalah Tambolaka. Kabupaten

Sumba Barat Daya terdiri dari tujuh Kecamatan yakni, Kecamatan Wewewa

Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan

Wewewa Selatan, Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi

Besar, dan Kecamatan Loura. Untuk lebih jelasnya berikut akan ditampilkan peta

(19)

Sumber : http://sbdkab.go.id

Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya.

Bahasa yang digunakan di kabupaten Sumba Barat Daya adalah bahasa

Weejewa dan bahasa Kodi. Bahasa Weejewa digunakan di kecamatan Wewewa

Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan

Wewewa Selatan, dan Kecamatan Loura. Sedangkan bahasa kodi hanya

digunakan di kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, dan Kecamatan Kodi

Besar.

Bahasa Weejewa merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan

berkembang di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

(20)

yang paling banyak. Penutur bahasa Weejewa tersebar di seluruh Kabupaten

Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat (induk). Bahasa Weejewa

merupakan bahasa yang mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa kodi

sehingga bahasa Weejewa menjadi media yang digunakan untuk berinteraksi dan

berkomunikasi.

Sapaan merupakan salah satu fenomena unik yang sering muncul dalam

tuturan. Dikatakan unik karena lawan bicara dapat disapa dengan nama diri, istilah

kekerabatan, gelar atau istilah sapaan lain. Dalam kegiatan komunikasi

sehari-hari, pemakaian kata sapaan untuk sapa menyapa antar anggota masyarakat

senantiasa berlangsung setiap saat. Tujuannya adalah untuk menyampaikan

maksud-maksud tertentu kepada orang yang disapa (Gustia, dkk,2014). Sapaan

dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berfungsi sebagai sarana

dalam menjaga komunikasi yang baik antar masyarakat dan juga berfungsi untuk

menunjukkan rasa saling menghormati antar masyarakat.

Penggunaan kata sapaan dalam suatu komunikasi tentu dipengaruhi oleh

beberapa hal, seperti siapa yang menyapa, siapa yang disapa, dan bagaimana

hubungan antara penyapa dan pesapa. Selain itu, kata sapaan yang digunakan

untuk bertegur sapa tidak selalu sama untuk setiap lawan bicara. Penggunaan

sapaan yang bervariasi ini merupakan alasan untuk menganalisis faktor-faktor

pemakaian sapaan khususnya penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa di

kabupaten Sumba Barat Daya.

Sebagai sebuah bahasa, bahasa Weejewa memiliki sistem tertentu dalam

(21)

orang yang disapa. Berikut beberapa contoh penggunaan kata sapaan dalam

bahasa Weejewa.

(1) Inna, ba loddo igha wai pertemuan orangtua ne skolah jam 7 dukki

jam 9.

„Mama, hari senin akan ada pertemuan orang tua di sekolah dari jam 7 sampai jam 9 pagi.‟

(2) Pa’ina, pirra igha tandan ne kalowo?

„Ibu, pisang satu tandan ini harganya berapa?

(3) Nyora, ge kako nia mu? „Nyonya, mau pergi ke mana?‟

Sapaan pada contoh (1) yaitu Inna yang berarti „mama‟ merupakan sapaan

yang termasuk dalam jenis hubungan kekerabatan. Sapaan Inna digunakan untuk

menyapa ibu kandung. Sapaan Pa’ina pada contoh (2) yang berarti „ibu‟

merupakan sapaan yang termasuk dalam jenis hubungan nonkekerabatan. Sapaan

Pa’ina merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang

sebaya dengan ibu/mama. Sedangkan sapaan Nyora pada contoh (3) merupakan

sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang memiliki status

sosial lebih tinggi daripada penyapa.

Dalam penelitian ini, ada dua hal yang akan dianalisis. Pertama, analisis

mengenai jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat

Daya. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kata sapaan dalam

bahasa Weejewa.

Analisis mengenai jenis sapaan akan menghasilkan klasifikasi

jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referennya. Pemakaian

(22)

siapa yang menyapa, siapa yang disapa dan bagaimana hubungan antara penyapa

dan pesapa.

Penggunaan sapaan yang bervariasi dalam bahasa Weejewa merupakan

salah satu alasan utama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa. Analisis pada faktor-faktor pemakaian

sapaan dalam bahasa Weejewa menghasilkan deskripsi mengenai beberapa faktor

yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Faktor-faktor

tersebut adalah adalah faktor hubungan kekerabatan, faktor perbedaan

jabatan/profesi, faktor status sosial, faktor perbedaan usia, faktor keakraban,

faktor perbedaan jenis kelamin, dan faktor asal penutur. Faktor-faktor tersebutlah

yang mempengaruhi seseorang memakai kata sapaan dalam pelaksanaan bahasa.

Berdasarkan ulasan diatas, peneliti melakukan penelitian berkaitan dengan

sapaan khususnya sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat

Daya. Pemilihan topik penelitian ini disebabkan masih belum ditemukan

penelitian berkaitan dengan sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba

Barat Daya sehingga penelitian ini layak dilakukan. Selain itu juga karena

ketertarikan peneliti terhadap bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengenalkan sekaligus melestarikan bahasa

(23)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dalam butiran 1.1, permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.2.1 Apa saja jenis-jenis sapaan yang terdapat dalam bahasa Weejewa

di Kabupaten Sumba Barat Daya?

1.2.2 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam

di bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa

di Kabupaten Sumba Barat Daya.

1.3.2 Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan

dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis sapaan dalam bahasa

Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan referennya serta

faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan. Penelitian ini memberikan

manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah

memberikan sumbangan atau menambah kajian sosiolinguistik terutama

(24)

Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi rujukan/referensi untuk

penelitian berkaitan dengan sapaan dan memberikan tambahan pengetahuan dan

informasi kepada pembaca, baik mahasiswa jurusan sastra Indonesia maupun

pembaca lainnya yang tertarik untuk mempelajari dan memahami lebih dalam

mengenai bentuk sapaan. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi dokumentasi

mengenai sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya.

1.5Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka telah ditemukan beberapa pembahasan tentang

sistem sapaan. Suhardi (1985) dalam bukunya Sistem Sapaan Bahasa Jawa

menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa berhubungan erat

dengan sistem kekerabatan, dan berkaitan dengan gelar kebangsawanan serta

pemilihan bentuk-bentuk sapaan di dalam komunikasi ditentukan oleh berbagai

faktor yang berhubungan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi bicara. Selain

itu, Kata-kata sapaan bahasa Jawa tidak jarang mengalami perubahan (perluasan

dan penyempitan) arti sehingga sangat sulit dirunut bentuknya secara etimologis.

Nika, dkk. (2013), mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang menulis sebuah artikel yang berjudul

“Sistem Kata Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Melayu Di Kepenghuluan

Bangko Kiri Provinsi Riau” dalam jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. Artikel tersebut menghasilkan bentuk dan pemakaian kata sapaan

kekerabatan berdasarkan garis keturunan dan garis perkawinan.

Ricardo (2012), mahasiswa Universitas Sumatera Utara juga menulis

(25)

tersebut dilakukan dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Dari hasil penelitan

tersebut, Ricardo (2012) menyimpulkan bahwa kata sapaan dalam Bahasa Batak

Toba terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan.

Penelitian mengenai kata sapaan juga pernah dilakukan oleh Syafyahya

dkk. (2002) dengan judul penelitiannya “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di

Kabupaten Agam”. Hasna (1995) dalam skripsinya berjudul Kata Sapaan Bahasa

Minangkabau dalam Hubungan Perkawinan di Kecamatan Koto Kampung Dalam

Periaman”. Gusthia, dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai sapaan yang

berjudul “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kanagarian Lubuk Ulang Aling

Selatan Kecamatan Sangi Batang Hari Kabupaten Solok Selatan”. Jenis penelitian

tersebut adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil

penelitian-penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk kata sapaan kekerabatan

yang ada di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang

Hari Kabupaten Solok Selatan.

Sartika (2013), mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas

Sanata Dharma menulis skripsi berjudul “Sapaan dalam Bahasa Manggarai

Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan

referennya dibedakan atas hubungan kekerabatan, profesi, jabatan, kata ganti dan

sapaan gabungan. Adapun faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan

tersebut, yaitu faktor peran dalam masyarakat, faktor status sosial, faktor jenis

(26)

Berdasarkan tinjauan pustaka, dapat dikemukakan dua catatan, yaitu

pertama, telah terdapat berbagai penelitian mengenai kata sapaan dalam bahasa

Minangkabau, bahasa Jawa, dan bahasa melayu. Kedua, kata sapaan dalam bahasa

Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya belum pernah diteliti sehingga penelitian

mengenai kata sapaan dalam bahasa Weejewa layak dilakukan.

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Pengertian Sapaan

Sistem sapaan yang digunakan di dalam masyarakat berlainan tergantung

pada pola budaya lokal. Dalam literatur sosiolinguistik, kata sapaan disebut

dengan address terms, yaitu kata atau frasa yang lazim digunakan untuk

memanggil orang (Subagyo, 2010: 236).

Menurut Kridalaksana (1985:14), sistem sapaan adalah sistem yang

mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai

untuk menyebut atau memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata

yang digunakan dalam sistem tersebut disebut kata sapaan. Chaer (1998: 107)

menyatakan bahwa kata sapaan adalah kata-kata yang digunakan untuk menyapa,

mengatur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara.

Wardhaugh (2010: 281) menyatakan bahwa kata sapaan merupakan kata

yang digunakan untuk menyebut orang yang diajak bicara. Orang mungkin

menyapa atau menyebut orang lain dengan gelar (T), dengan nama pertama ( FN),

dengan marga (LN), dengan nama panggilan, atau bahkan oleh beberapa

(27)

Istilah menyapa (term of address) merupakan istilah yang dipakai Ego

untuk memanggil seseorang kerabat apabila ia berhadapan langsung dengan

kerabat tadi dalam hubungan pembicaraan langsung. Misalnya, istilah menyapa

ayah adalah Bapak atau Pak (Koentjaraningrat, 1974: 137).

1.6.2. Jenis Sapaan Berdasarkan Referen

Pateda (1986:67) menyatakan referen adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus lambang. Referen yang merupakan acuan

menunjuk kepada hubungan antara elemen-elemen linguistik berupa leksem, kata,

frasa, kalimat dan atau pengalaman. Dalam Wijana (2011:4-5) dikatakan bahwa

referen adalah sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa. Jenis-jenis sapaan dalam

bahasa Weejewa berdasarkan referen dapat diartikan sebagai penggolongan

sapaan berdasarkan hal yang diacu oleh sapaan tersebut.

Dalam skripsi ini, klasifikasi jenis-jenis sapaan diasarkan pada hal yang

diacu (referen) oleh sapaan tersebut. Misalnya, sapaan Inna menunjuk referen

hubungan kekerebatan karena sapaan Inna merupakan kata sapaan yang

digunakan untuk menyapa ibu kandung.

1.6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sapaan

Bahasa bervariasi berdasarkan penggunaanya serta penggunanya, dalam

hal ini bahasa itu bervariasi berdasarkan kapan bahasa itu digunakan dan kepada

siapa, serta siapa penggunanya (Holmes, 2013:223). Lebih lanjut Holmes

(28)

“Hubungan pembicara dengan mitra bicara sangat penting dalam menentukan gaya bicara yang sesuai saat terjadi komunikasi. Seberapa besar penutur mengenal atau seberapa dekat penutur dengan mitra tutur (jarak hubungan sosial/solidaritas) merupakan dimensi yang penting dari sebuah hubungan sosial. Ada banyak faktor yang mungkin dapat berkontribusi dalam menentukan hubungan sosial dengan orang lain, misalnya faktor usia, jenis kelamin, peran dalam masyarakat (profesi/jabatan), pekerjaan yang sama, atau bagian/berasal dari keluarga yang sama, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut mungkin juga relevan dengan status sosial di dalam masyarakat” (Holmes, 2013: 240).

Tanner (dikutip Supriyanto dkk, 1986: 9) mengatakan bahwa dalam tindak

bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil keputusan untuk

memilih suatu variasi tertentu yang berupa bentuk-bentuk linguistik. Pengambilan

keputusan ini sebenarnya melalui suatu proses yang banyak ditentukan oleh

berbagai faktor. Faktor-faktor yang menentukan adalah jarak sosial, situasi, dan

topik pembicaraan.

Fishman (dalam Supriyanto, 1986: 9) menyatakan jarak sosial dapat dilihat

dari sudut vertikal maupun horisontal. Dimensi vertikal akan menunjukkan

apakah seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tiggi atau lebih

rendah). Dimensi vertikal ini merupakan sebuah alat untuk menempatkan

seseorang dalam komitmen hormat dan tidak hormat. Dimensi sosial ini misalnya

kelompok umur, kelas, status perkawinan. Adapun dimensi horizontal

menunjukkan komitmen akrab dan tidak akrab. Misalnya derajat persahabatan,

jenis kelmain, latar belakang etnik atau agama, latar belakang pendidikan, jarak

(29)

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu salah satu jenis

penelitian yang memerikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada

(Sudaryanto, 1988: 62). Penilitian ini dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan

fakta yang disusul dengan analisis. Penelitian deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan serta menginterpretasikan bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa

Weejewa.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik ialah

studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai

anggota masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan

membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi)

yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan

(sosial) (Nababan, 1984: 2).

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode simak dan metode cakap. Menurut Sudaryanto (2015: 203) metode simak,

yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.

Pada metode simak, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik sadap

dengan teknik lanjutan yakni teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas

libat cakap. Teknik simak libat cakap, yaitu kegiatan penyadapan data yang

dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang

dapat dilakukan dengan ikut terlibat atau berpartisipasi dengan menyimak, baik

(30)

penyadapan data yang dilakukan dengan tidak berpartisipasi ketika menyimak.

Peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi, atau imbal wicara

(Sudaryanto,2015:203-204). Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu

dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan

klasifikasi.

Pada metode cakap, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik

pancing dengan teknik lanjutan, yakni teknik cakap sekemuka. Teknik cakap

sekemuka adalah kegiatan memancing bicara itu dilakukan dengan percakapan

langsung, tatap muka, atau bersemuka; jadi lisan (Sudaryanto, 2015: 209).

1.7.2 Metode Analisis Data

Dalam tahap ini digunakan metode padan referensial dan metode padan

pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari

luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan.

Metode padan referensial adalah metode yang alat penentunya merupakan

kenyataan yang ditunjuk atau diacu oleh bahasa atau referen bahasa. Dalam hal

ini, identitas konstituen kalimat (yang berupa satuan lingual tertentu, dapat kata

dapat frasa), penentunya didasarkan pada unsur kenyataan yang berada di luar

bahasa tetapi memang diacu oleh bahasa yang bersangkutan yang sedang diteliti

itu (Sudaryanto, 2015:15-16). Metode padan referensial digunakan untuk

menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk

(31)

Contoh penerapan metode padan refensial sebagai berikut.

(4) Loka, jam pirra kako pancing ikana?

„Paman, jam berapa pergi memancing Ikan?‟

(5) Rini, baba tobba kalambe?

„Rini, apakah kamu sudah selesai mencuci pakaian?‟

Kata sapaan Loka pada contoh (4) dan Rini pada contoh (5) merupakan

contoh kata sapaan dalam bahasa Weejewa. Kata sapaan Loka merupakan kata

sapaan yang menunjuk kekerabatan sedangkan Rini pada contoh (5) menunjuk

nama diri (mitra tutur).

Metode padan pragmatis adalah metode yang alat penentunya mitra wicara

atau mitra tutur. Dalam hal ini, orang yang diajak bicara dengan segala reaksi atau

tanggapannya menjadi penentu identitas satuan lingual-satuan lingual tertentu

(Sudaryanto, 2015:18). Dalam penelitian ini, metode padan pragmatis digunakan

untuk menentukkan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam

bahasa Weejewa.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan

metode penyajian informal dan metode formal. Metode penyajian informal yaitu

perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata biasa, dimana rumus-rumus atau

kaidah-kaidah disampaikan dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca

langsung dapat dipahami. Metode penyajian formal adalah penyajian hasil analisis

(32)

gambar (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam skripsi ini, penyajian hasil analisi data

dengan metode formal digunakan tanda/lambang, tabel dan gambar.

1.7.4 Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini terdiri dari dalam empat bab. Bab pertama

merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan pnelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi

penelitan, dan sistematika penyajian. Bab kedua berisi uraian mengenai

jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan

referennya.. Bab ketiga berisi pembahasan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi penggunaaan sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba

Barat Daya. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan mengenai

(33)

17 BAB II

JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA di KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

2.1 Pengantar

Menurut Chaer (1998: 107), kata sapaan tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri

dan kata nama perkerabatan. Subiyakto-Nababan (1992: 153) menyatakan bahwa

sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi

suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan

nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi).

Dalam bab ini dibahas jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di

kabupaten Sumba Barat Daya. Jenis-jenis kata sapaan dalam bahasa Weejewa di

kabupaten Sumba Barat Daya dibedakan berdasarkan referennya, yakni kata

sapaan berdasarkan (a) hubungan kekerabatan, (b) nonkekerabatan, (c) nama diri,

(d) kata ganti, (e) status sosial, (f) jabatan/profesi.

2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan

Sapaan hubungan kekerabatan yang dimaksud adalah penggunaan istilah

kekerabatan dalam komunikasi sehari-hari. Istilah kekerabatan yang digunakan

berdasarkan pengertian Kridalaksana (1985:14). Kridalaksana menggunakan

formulasi istilah kekerabatan kerabat ialah orang „sedarah‟ yang dipanggil

(34)

Istilah kekerabatan adalah istilah untuk menyebut atau menyapa orang yang

terikat kepada diri sendiri karena hubungan keturunan, darah, atau perkawinan.

Seseorang disebut berkerabat apabila ada pertalian darah atau pertalian

perkawinan (Syafyahya, dkk, 2000:7). Istilah-istilah kekerabatan dalam suatu

bahasa timbul karena keperluan untuk menyatakan kedudukan diri seseorang

secara komunikatif dalam suatu keluarga.

Kerabat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama, kerabat

yang terbentuk karena hubungan darah, dan kedua kerabat yang terbentuk karena

hubungan tali perkawinan antara penutur dengan mitra tutur. Kata sapaan yang

dipergunakan untuk menyapa kerabat meliputi sapaan yang dipergunakan

untuk menyapa nenek dan kakek, bapak dan ibu, saudara bapak dan ibu,

saudara kandung, saudara sepupu, anak, keponakan, cucu, dan cicit. Kata

sapaan yang dipergunakan untuk menyapa kerabat yang terbentuk karena tali

perkawinan, meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa mertua, sapaan

untuk menyapa besan, suami, istri, dan saudara ipar.

Kata sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam bahasa

Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan jenis sapaan yang paling

banyak ditemui. Jenis sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam

bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya mencakup dua puluh empat kata,

yaitu Ama, Inna, Ana Mane, Ana Mawine, Leiro, Na’a, Wotto, Ama Kaweda, Inna

Kaweda, Umbu, Tamoama, Tamoina, Aiba, Amaangua, Inaangua, Loka, Cama,

Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Olesawa, Wasse, Ippa. Berikut ini akan

(35)

2.2.1 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama

Kata sapaan Ama muncul dalam tiga variasi. Tiga variasi yang dimaksud,

yaitu Ama „ayah/bapak‟, Ama Kaweda „kakek‟, Ama + Nama Anak I.

Kata sapaan Ama secara harafiah berarti „ayah atau bapak‟. Sapaan Ama adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita muda

untuk menyapa ayah kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan

dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (6) berikut menunjukkan bagaimana

penyapa berbicara dengan ayah kandung.

(6) Ama, ku dengi ijin kako deku acara na olegu ba yodikia male jam pittu.

„Ayah, saya minta izin untuk pergi ke acaranya teman hari ini jam tujuh malam.‟

Dalam perkembangannya, kata sapaan Ama mengalami perluasan

penggunaan. Sapaan Ama bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa

kakek kandungnya. Selain itu, sapaan Ama dapat digunakan untuk menyapa anak

laki-laki. Dalam penggunaannya, sapaan Ama merupakan sapaan yang sangat

sopan.

Sapaan Ama Kaweda adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria

atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi

tidak

resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (7) berikut ini menunjukkan

bagaimana seorang cucu berbicara dengan kakeknya.

(36)

Bentuk sapaan Ama + Nama Anak I digunakan oleh penyapa pria tua dan

wanita tua untuk menyapa pria (tua, sebaya, dan muda) yang sudah mempunyai

anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam

hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (8) berikut menujukkan

bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan

Ama + Nama Anak I.

(8) Ama Ria, bisa pinjam gai gergaji belli?

„Bapak Ria, apakah saya boleh pinjam gergaji?‟

2.2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna

Kata sapaan Inna juga muncul dalam tiga variasi, yaitu Inna „ibu/mama‟,

Inna kaweda „nenek‟, Inna + nama anak I.

Bentuk variasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan penyapa

dengan pesapa atau yang disapa. Kata sapaan Inna secara harafiah berarti „mama‟

atau „ibu‟ adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita

muda untuk menyapa ibu kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan

tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (9) berikut menunjukkan

bagaimana penyapa berbicara dengan ibu kandung.

(9) Inna wo’i gai kalambe baru! „Mama, belikan saya baju baru!‟

Dalam perkembangannya, sapaan Inna juga mengalami perluasan

penggunaan yaitu sapaan Inna bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk

(37)

sopan sehingga kebanyakan pria Sumba Barat Daya menyapa seorang wanita

yang mereka hormati dengan sapaan Inna. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(10) Na mimi ba nga’a Inna?

„Nenek, apakah nasinya sudah masak?‟

(11) Inna, ku bei takka gu!

‘Nona, saya benar-benar menyukaimu!’

Contoh (10) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh seorang cucu kepada

neneknya. Adapun contoh (11) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh

seorang pemuda yang mengungkapkan perasaan cinta kepada gadis yang

disukainya.

Sapaan Inna Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa

pria atau wanita untuk menyapa nenek kandung. Sapaan ini digunakan dalam

situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan

penjelasannya.

(12) Inna Kaweda Yaggu ne pamama? „Nenek mau siri dan pinang lagi?‟

Contoh (12) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda. Contoh

tersebut melukiskan mengenai seorang cucu yang menawarkan kepada neneknya

untuk makan siri dan pinang. Kata sapaan Inna Kaweda dalam perkembangannya

mengalami perluasan penggunaan. Sapaan tersebut dapat digunakan oleh penyapa

kepada orang yang tidak memiliki hubungan darah melainkan karena keadaan

(38)

Sapaan Inna + Nama Anak I merupakan sapaan yang digunakan oleh

penyapa pria tua dan wanita tua untuk menyapa wanita (tua, sebaya, dan muda)

yang sudah mempunyai anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan

tidak resmi dan dalam hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (13)

berikut menunjukkankan bagaimana penyapa berbicara dengan pesapa

menggunakan sapaan Inna + nama anak I.

(13) Inna Evi, jam pirra latihan koor ba koka? „Mama Evi, besok latihan koor jam berapa?‟

2.2.3 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mane

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mane secara harafiah berarti

„anak laki-laki‟. Sapaan Ana Mane digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk

menyapa anak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan

tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(14) Ana Mane Ngeta yoddi kako skolah, jam piira ba nebehinna? „Anak, segera berangkat ke sekolah, sudah jam berapa ini?‟

Contoh (14) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mane oleh

seorang Ibu yang memarahi anaknya untuk segera berangkat ke sekolah agar tidak

terlambat.

2.2.4 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mawinne

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mawine secara harafiah berarti

(39)

untuk menyapa anak perempuan kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi

resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan

penjelasannya.

(15) Ana Mawine, pati’i ba bubur ina kawedamu? „Anak, apakah bubur untuk nenek sudah dimasak?‟

Contoh (15) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mawinne oleh

seorang ibu kepada anak gadisnya mengenai makanan untuk sang nenek.

2.2.5 Sapaan Hubungan Kekerabatan Leiro

Kata sapaan hubungan kekerabatan Leiro memiliki arti „Sayang‟. Kata sapaan Leiro merupakan kata sapaan yang sangat lembut dan digunakan oleh

penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak perempuan yang memiliki

hubungan kekerabatan dengan penyapa. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi

dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(16) Leiro, mu nga’a ba? Ne wai ngana’a pangindigu!

„Sayang, kamu sudah makan? Ini mama ada bawakan daging!‟

Contoh (16) menunjukkan penggunaan kata sapaan Leiro. Sapaan tersebut biasa

digunakan oleh seorang Ibu untuk menyapa dengan sangat lembut anak

perempuannya.

2.2.6 Sapaan Hubungan Kekerabatan Na’a

Kata sapaan hubungan kekerabatan Na’asecara harafiah berarti „saudara‟. Kata sapaan Na’a digunakan oleh penyapa wanita untuk menyapa adik maupun

kakak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak

(40)

(17) Na’a, pirra budi kako deke ruta na karambo? „Adik, kapan pergi ambil rumput untuk kerbau?‟

Contoh (17) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Na’a yang digunakan

oleh seorang kakak perempuan untuk menyuruh adiknya agar segera mengambil

makanan untuk kerbau.

2.2.7 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wotto

Kata sapaan hubungan kekerabatan Wotto secara harafiah juga berarti

„saudara‟ tetapi dapat juga diartikan „nona‟. Kata sapaan Wotto digunakan oleh

penyapa pria untuk menyapa adik maupun kakak perempuan kandung. Sapaan ini

digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab.

Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(18) Wotto, ge bondala niamu kalambe gu patobamu manna? „Adik, baju yang sudah dicuci di simpan di mana?

Pada contoh (18) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Wotto yang

digunakan oleh seorang kakak laki-laki untuk memanggil saudara perempuannya.

2.2.8 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama Kaweda

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ama Kaweda merupakan sapaan yang

digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan

ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab.

Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata sapaan kekerabatan Ama Kaweda.

(41)

Contoh (19) menunjukkan penggunaan sapaan Ama Kaweda oleh seorang

cucu kepada kakeknya. Contoh tersebut menunjukkan tentang seorang cucu yang

bertanya kepada sang kakek apakah kakeknya sudah selesai meminum obat dari

dokter.

Sapaan Ama Kaweda tersebut sudah jarang digunakan khususnya di

daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan di Kabupaten Sumba Barat Daya sering

menggunakan kata Sapaan Opa untuk menyapa kakek kandung. Contoh berikut

menunjukkan penggunaan kata sapaan Opa.

(20) Opa, woi gai sepeda baru! Opa, belikan saya sepeda baru!

2.2.9 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna Kaweda

Kata sapaan hubungan kekerbatan Inna Kaweda yang berarti „nenek‟

merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa

nenek kandung. Sapaan Ina Kaweda digunakan dalam situasi resmi dan tidak

resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata

sapaan kekerabatan Inna Kaweda.

(21) Ina Kaweda, omana nga’a pamamadebehinna kana pia belli ne sariawanmu!

„Nenek, jangan makan sirih pinang lagi agar sariawannya

sembuh!‟

Contoh (21) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda oleh seorang

cucu kepada neneknya. Sama halnya dengan sapaan Ama Kaweda, sapaan Inna

(42)

Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata

Sapaan Oma untuk menyapa nenek kandung. Contoh berikut menunjukkan

penggunaan kata sapaan Oma.

(22) Oma, ge ne nia ingigu? „Oma, Dimana sarung saya?‟

2.2.10 Sapaan Hubungan Kekerabatan Umbu

Kata sapaan hubungan kekerabatan Umbu memiliki arti „cucu‟. Kata

sapaan ini digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cucu

perempuan dan cucu laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi

dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(23) Umbu, kako eta beli na wawi apana kana kaweka! „Cucu, lihat dulu babi itu kenapa tiba-tiba berteriak!‟

Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Umbu oleh penyapa kepada

cucunya. Contoh tersebut tampak menunjukkan seorang nenek/kakek yang

menyuruh cucunya untuk memeriksa keadaan seekor babi yang tiba-tiba berteriak.

2.2.11 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoama

Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoama merupakan sapaan yang

digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak laki-laki (cucu)

yang memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari

kakek kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama kakek

kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan lembut kepada anak laki-laki.

(43)

(24) Tamoama, yawe ne ate na manu mbarana marapu! „Cucu, bawakan hati ayam ini ke Marapu!‟

Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Tamoama. Dalam contoh tersebut

tampak kakek menyuruh cucu laki-lakinya utnuk membawakan sesaji atau

makanan persembahan kepada leluhur.

2.2.12 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoina

Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoina memiliki arti yang sama

dengan sapaan Tamoama, yaitu „cucu‟. Sapaan ini merupakan sapaan digunakan

oeh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak perempuan (cucu) yang

memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari nenek

kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama nenek

kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan yang lembut kepada anak

perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam

hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(25) Tamoina, pati’i beli ne ro’o sambiloto kaku enu beli dana dua ki ne ti’a gu!

Cucu, rebus daun sambiloto ini, saya mau minum karena perut saya sedang tidak enak!‟

Contoh (25) menunjukkan penggunaan kata sapaan Tamoina. Contoh tersebut

menggambarkan seorang nenek/kakek menyuruh cucu perempuan untuk memasak

(44)

28 2.2.13 Sapaan Hubungan Kekerabatan Aiba

Kata sapaan hubungan kekerabatan Aiba merupakan sapaan yang

digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cicit laki-laki atau cicit

perempuan. Kata sapaan Aiba digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan

dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(26) Aiba, ngindi belli neme ingigu ne’e bali katonga!

„Cicit, bawakan ke sini sarung nenek yang ada di bale-bale!‟

Contoh (26) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Aiba. Dalam contoh

tersebut tampak seorang nenek menyuruh cicitnya untuk mengambil sarung sang

nenek yang tertinggal di bale-bale.

2.2.14 Sapaan Hubungan Kekerabatan Amaangua

Kata sapaan hubungan kekerabat Amaangua merupakan sapaan yang

digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara laki-laki

kandung dari pihak ayah. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak

resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(27) Amaangua, mado’I dapa daku eta kango kareko pongu ge? „Bapak, lama tidak betemu kenapa bapak terlihat kurus?‟

Contoh (27) menunjukkan penggunaan kata sapaan Amaangua. Tampak

dalam contoh tersebut penyapa berbicara kepada saudara laki-laki dari pihak ayah.

Namun, penggunaan kata sapaan Amaangua sudah jarang digunakan. Hal tersebut

(45)

sehingga masyarakat Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya terkadang

menyapa saudara laki-laki dari pihak ayah dengan menggunakan kata sapaan Ama

saja. Penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

2.2.15 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inaangua

Kata sapaan hubungan kekerabatan Inaangua merupakan sapaan yang

digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa adik atau kakak

perempuan dari pihak ibu atau mama. Kata sapaan tersebut digunakan dalam

situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan

penjelasannya.

(28) Inaangua, waipo kambe tana lakka yodi? „Mama, masih ada sisa kacang tanah sedikit?‟

Contoh (28) menunjukkan penggunaan kata sapaan Inaangua. Dalam

contoh tersebut penyapa bertanya kepada saudara perempuan dari pihak Ibunya

apakah masih ada sisa kacang tanah. Sama halnya dengan kata sapaan

Amaangua, sapaan Inaangua juga sudah jarang digunakan karena memiliki arti

yang sama dengan kata sapaan Inna sehingga terkadang penyapa menyapa

saudara dari pihak ibu hanya dengan menggunakan sapaan Inna. Penggunaannya

disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

2.2.16 Sapaan Hubungan Kekerabatan Loka

Kata sapaan hubungan kekerabatan Loka memiliki arti „paman‟. Kata

sapaan Loka merupakan kata sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau

(46)

tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan

akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(29) Loka, ba koka sore bisa antargai ne sekolah „Om, Apakah besok bisa antarkan saya ke sekolah?‟

Contoh (29) menunjukkan penggunaan kata sapaan Loka oleh penyapa

kepada saudara laki-laki dari pihak Ibu. Dalam contoh tersebut penyapa bertanya

kesediaan pamannya untuk mengantarkannya ke sekolah.

Kata Sapaan Loka sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan.

Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata

Sapaan Om untuk menyapa paman kandung.

2.2.17 Sapaan Hubungan Kekerabatan Cama

Kata sapaan hubungan kekerabatan Cama memiliki arti „bibi‟. Sapaan ini

digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa kakak atau adik

perempuan dari pihak ayah. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan

tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut contoh dan penjelasannya.

(30) Cama, raigu we’e mutu teh ato kopi? „Tante, mau saya buatkan teh atau kopi?‟

Contoh (30) menunjukkan penggunaan kata sapaan Cama oleh penyapa

kepada saudara perempuan dari pihak ayah. Dalam contoh tersebut tampak

penyapa menawarkan minuman kepada bibinya. Sama halnya dengan kata sapaan

(47)

Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan

sapaan tante untuk menyapa paman kandung.

2.2.18 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anakabine

Kata sapaan hubungan kekerabatan Anakabine memiliki arti „keponakan‟.

Sapaan ini digunakan oleh penyapa untuk menyapa keponakan kandung

perempuan maupun laki-laki. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak

resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(31) Anakabine, lodo pirra buddi deimba raport mi? „Ponaan, hari apa kalian akan menerima raport?‟

Contoh (31) menunjukkan penggunaan sapaan Anakabine. Contoh tersebut

menjelaskan bagaimana penyapa bertanya kepada keponakannya (perempuan atau

laki-laki) mengenai hari apa sang keponakan akan menerima raport.

2.2.19 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anguleba

Kata sapaan hubungan kekerabatan Anguleba merupakan sapaan yang

berarti „sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk

menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan ayah. Sapaan ini

digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab.

Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(32) Anguleba, dubula kai ba koka ami todaka watara ne oma!

(48)

Contoh (32) menunjukkan penggunaan sapaan Anguleba oleh penyapa

kepada sepupu dari pihak ayah. Contoh tersebut menujukkan tentang penyapa

yang mengingatkan sepupu dari pihak ayahnya untuk datang ikut serta menanam

jagung di kebun.

2.2.20 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olebei

Kata sapaan Olebei memiliki arti yang sama dengan Anguleba, yaitu

„sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk

menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan Ibu. Sapaan ini

digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab.

Berikut Ini contoh dan penjelasannya.

(33) Olebei, gei wali nia mu mana male?

„Sepupu, engkau dari mana kemarin malam?‟

Contoh (33) menunjukkan penggunaan sapaan Olebei. Contoh tersebut

menjelaskan tentang seorang penyapa yang bertanya kepada saudara sepupu dari

pihak ibunya.

2.2.21 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wera

Kata sapaan hubungan kekerabatan Wera memiliki dua arti, yaitu „mertua‟

dan „besan‟. Sapaan istilah kekerabatan Wera yang memiliki arti „mertua‟

digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa bapak atau ibu

mertuanya. Sedangkan Wera yang memiliki arti „besan‟ digunakan oleh penyapa

pria dan wanita untuk menyapa orang tua dari menantu baik menantu pria maupun

(49)

serta dalam hubungan akrab. Penggunaan kata sapaan Wera disesuaikan dengan

situasi dan kondisi. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(34) Wera, maiga dengi wasu kaku rai golu wawi. Na kalada lolo ba wawi ne uma.

„Mertua, saya datang meminta kayu untuk membuat kandang babi. Babi dirumah sudah cukup besar.‟

(35) Slamata siang! peina kabar yodi, Wera? Selamat siang! Bagaimana kabarmu, Besan?‟

Contoh (34) menunjukkan penggunaan kata sapaan oleh penyapa terhadap

ibu mertua atau ayah mertua sedangkan contoh (35) menunjukkan penggunaan

kata sapaan oleh penyapa terhadap orang tua dari menantu (besan). Namun,

penggunaan kata sapaan „wera‟ yang memiliki arti „mertua‟ sudah jarang

digunakan oleh masyarakat Sumba Barat Daya untuk menyapa ibu mertua atau

ayah mertua. Sekarang ini cenderung terjadi pergeseran penggunaan kata sapaan

untuk bapa dan ibu mertua menjadi Inna „mama‟ atau Ama „Bapak‟. Pergeseran

penggunaan kata sapaan tersebut menunjukkan terjadinya hubungan yang lebih

erat antara menantu dan mertua.

2.2.22 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wasse

Sapaan hubungan kekerabatan Wasse memilik arti „anak‟. Sapaan Wasse

digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak menantu baik

laki-laki maupun perempuan. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak

resmi dan dalam hubungan akrab berikut ini contoh dan penjelasannya.

(50)

Contoh (36) menunjukkan penggunaan kata sapaan Wasse oleh penyapa kepada

anak menantu perempuan. Tampak dalam contoh tersebut bapak atau ibu mertua

bertanya kapan anak menantunya berangkat ke posyandu.

2.2.23 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ippa

Kata sapaan hubungan kekerabatan Ippa memiliki arti „ipar‟. Sapaan Ippa merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa

saudara ipar perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi

dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(37) Ippa, bisa panunga gai belli pei pata pati’i ne kana’a simbi? „Ipar, apakah bisa ajarkan kepada saya bagaimana caranya memasak daging kambing ini?‟

Contoh (37) menunjukkan penggunaan sapaan Ippa oleh penyapa kepada saudara

ipar perempuannya. Contoh tersebut menjelaskan tentang penyapa yang meminta

kepada saudara ipar perempuannya untuk mengajarinya bagaimana cara memasak

daging kambing.

2.2.24 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olesawa

Kata sapaan hubungan kekerabatan Olesawa memiliki arti yang sama

dengan kata sapaan Ippa, yaitu „ipar‟. Sapaan Olesawa merupakan kata sapaan

yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara ipar

laki-laki. Kata sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan

dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya.

(38) Dengi belli bu’bumu iya, Olesawa!

(51)

Contoh (38) menunjukkan penggunaan kata sapaan Olesawa. Dalam contoh

tersebut tampak penyapa meminta sebatang rokok kepada saudara ipar laki-laki.

Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan

No Hubungan Kekerabatan Kata Sapaan

1 Kakek Kandung Ama Kaweda

8 Kakak/adik Laki-laki kandung Na’a 9 Kakak/adik perempuan kandung Wotto 10 Cucu laki-laki/perempuan Umbu

11 Cucu Laki-laki Tamoama

12 Cucu Perempuan Tamoina

13 Cicit Aiba

14 Kakak/adik laki-laki Ayah Amaangua 15 Kakak/adik perempuan Ibu Inaangua 16 Adik/kakak Laki-laki Ibu Loka 17 Adik/kakak perempuan Ayah Cama

18 Keponakan Anakabine

19 Sepupu dari pihak ayah Anguleba 20 Sepupu dari pihak Ibu Olebei

21 Mertua Wera

22 Ipar (laki-laki) Olesawa

23 Menantu laki-laki/perempuan Wasse

(52)

2.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan

Kata sapaan nonkekerabatan merupakan kata sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang tidak memiliki hubungan darah baik karena keturunan

maupun karena hubungan perkawinan. Kata sapaan yang dipergunakan kepada

bukan kerabat (nonkerabat) meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa

orang sebaya dengan kakek dan nenek, sebaya dengan orang tua, lebih tua

dari orang tua, lebih muda dari orang tua, sebaya dengan kakak, sebaya dengan

adik, sebaya dengan penutur. Kata sapaan yang menyatakan hubungan

non-kekerabatan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu

Kaweda, Paiina, Tante, Paama, Om, Ka’a, Alli.

2.3.1 Sapaan Nonkekerabatan Kaweda

Kata sapaan nonkekerabatan Kaweda secara harafiah berarti „tua‟. Sapaan

Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk

menyapa kakek atau nenek bukan kandung. Sapaan ini dapat digunakan dalam

situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab.

Berikut contoh kalimat (39) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan

orang yang disapa menggunakan sapaan kaweda.

(39) Kaweda, gei nia ummamu kako antara gu’ „Tua, rumahnya dimana supaya saya antar?‟

2.3.2 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Painna

Kata sapaan nonkekerabatan Painna secara harafiah berarti „Ibu‟ adalah

(53)

bukan kandung yang sudah memilik anak. Sapaan ini digunakan dalam situasi

tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh

kalimat (40) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang

disapa menggunakan sapaan paiinna.

(40) Paiina, pirra ia kobba we ne gaga?

„Ibu, Lombok satu mangkuk ini harganya berapa?

2.3.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Tante

Kata sapaan nonkekerabatan Tante yang berarti „bibi‟ adalah sapaan yang

digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa wanita bukan kandung

yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan

dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak

akrab. Berikut contoh kalimat (41) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara

dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Tante.

(41) Tante, permisi, tua yoddi ge nei ne ummana Bapak Maya „Tante, permisi, saya mau bertanya. Dimana rumah Bapak Maya?

2.3.4 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Pa’ama

Kata sapaan nonkekerabatan Paama secara harafiah berarti „bapak‟.

Sapaan ini merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita

untuk menyapa bapak-bapak bukan kandung yang sudah memiliki anak. Sapaan

ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak

akrab. Berikut contoh kalimat (42) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara

(54)

(42) Pa’ama, Garra olemu kadi karambo? „Bapak dengan siapa mengembala kerbau?‟

2.3.5 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Om

Kata sapaan nonkekerabatan Om yang berarti „paman‟ adalah sapaan yang

digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria bukan kandung

yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan

dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak

akrab. Berikut ini contoh kalimat (43) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara

dengan orang yang disapa dengan menggunakan sapaan Om.

(43) Pirra harga ne rowe iga ikat Om?

„Om, sayur ini harganya berapa satu ikat?‟

2.3.6 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Ka’a

Kata sapaan nonkekerabatan ka’a yang berarti „kakak‟ adalah sapaan

yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita

bukan kandung dan usianya lebih tua daripada penyapa. Sapaan ka’a dapat juga

digunakan untuk menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan

dengan penyapa Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan

dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (44)

menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak dikenal

menggunakan sapaan ka’a.

(44) Ka’a, bisa b’ubu ne loura?

(55)

2.3.7 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Alli

Kata sapaan Alli yang berarti „adik‟ adalah sapaan yang digunakan oleh

penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita bukan kandung dan

usianya lebih muda daripada penyapa. Sapaan alli dapat juga digunakan untuk

menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa.

Sapaan ini juga dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam

hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut ini contoh kalimat (45)

menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak di kenal

menggunakan sapaan alli.

(45) Alli, klas pirra ba nebe hinna? „Adik, sudah kelas berapa sekarang?

Tabel 2. Sapaan Hubungan Nonkekerabatan

No Nonkekerabatan Kata sapaan

1 Orang yang sebaya kakek/nenek Kaweda

2 Orang sebaya Ibu painna

3 Orang sebaya Ayah pa’ama

4 Orang sebaya kakak

perempuan/laki-laki Ka’a 5 Orang sebaya adik

laki-laki/perempuan Alli

(56)

2.4 Sapaan Dengan Menyebut Nama

Sistem sapaan yang dengan menyebut nama dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya dapat dikelompokkan menjadi sistem sapaan

dengan menyebut nama diri dan sistem sapaan dengan menyebut nama anak

pertama atau anak terakhir.

2.4.1 Sapaan dengan Menyebut Nama Panggilan

Nama diri adalah nama yang dipakai dengan menyebutkan nama seseorang

(KBBI, 1995: 681). Sapaan nama diri merupakan nama yang diperoleh seseorang

ketika lahir. Nama diri merupakan bentuk sapaan yang dipakai untuk mengetahui

identitas seseorang, misalnya Gusti, Ratna, Sinta dan lain-lain. Sapaan nama diri

dapat berupa nama diri tanpa diikuti bentuk lain dan nama diri yang yang

dikombinasikan atau disertai sapaan lain. Bentuk sapaan dengan menyebut nama

diri sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara penyapa dengan pesapa.

Pemakaian bentuk sapaan nama diri sering digunakan oleh penutur yang memiliki

usia sebaya dengan mitra tutur dan penutur yang usianya lebih tua dari mitra tutur

atau orang yang disapa. Selain itu, penggunaan kata sapaan nama diri ditemukan

dalam situasi tidak resmi, memiliki hubungan yang akrab dan biasanya sudah

lama saling mengenal.

Dalam peneltian ini, kata sapaan dengan menyebut nama diri terbagi

menjadi dua bagian, yaitu penggunaan sapaan dengan nama panggilan lengkap

Gambar

Gambar 1.        Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya ............ . 3
Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat
gambar (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam skripsi ini, penyajian hasil analisi data
Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh setelah data dianalisis adalah: (1) kata sapaan yang mengalami pergeseran dalam BMA yang tertinggi adalah kata sapaan dalam adat menurut kaum, kedua

Bentuk sapaan tua laki dan tua bini merupakan istilah sapaan kekerabatan dalam bahasa Melayu Kutai yang digunakan oleh masyarakat Kutai untuk menyapa saudara

Pada data 1, kata sapaan yang digunakan adalah jenis kata sapaan dengan istilah kekerabatan, yaitu Bu (Ibu) dan panggilan untuk perempuan yang dianggap masih

Kata sapaan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Thailand adalah kata yang digunakan untuk menyapa seseorang yang diajak bicara, dan kedua bahasa tersebut memiliki persamaan dan

Sapaan kekerabatan bahasa Melayu Riau dialek Kubu Kabupaten Rokan Hilir Sapaan kekerabatan adalah sapaaan yang digunakan oleh mayarakat Kubu untuk menyapa orang Kubu yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan pemakaian kata sapaan kekerabatan dan nonkekerabatan di Kenagarian Gunuang Padang Alai Kecamatan V Koto

Penggunaan bentuk kata sapaan ranah Non- Kekerabatan pada masyarakat di Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jember dari analisis yang dapat

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kabupaten Sumba Barat Daya Pada Kepemimpinan Bupati Era Pilkada Langsung