Latar Belakang
Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi
dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra ordinary crime sehingga harus diberantas.
Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency International menggunakan defenisi korupsi sebagai: “menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi”. Dalam defenisi korupsi tersebut, terdapat tiga unsur: Menyalahgunakan kekuasaan: kekuasaan yang di percayakan (baik di sektor publik maupun swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi dan keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin “corruption” yang berarti perbuatan yang tindak baik, buruk, curang, dapat disuap, tindak normal, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum.
pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-bats hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”. Jadi pandangan tentang korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa tindak dan sebagai perbuatan tercela.2
Masalah penanggulangan tindak pidana korupsi di indonesia sepertinya akhir-akhir ini semakin marak, bahkan dengan mencuatnya pemberitaan beberapa oknum penegak hukum yang diduga melakukan perbuatan tercela terkait dengan tugas dan wewenangnya menambah ramainya pemberitaan di media cetak maupun eletronik.
Tidak berlebihan apabila oleh sebagian kalangan dianggap tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime karena telah dilakukan secara sistematis dan meluas (widespread) serta telah merasuki keseluruh lini kehidupan (deep-rooted). Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana bagi kehidupan perekonomian dan pembangunan nasional. Oleh karena itu pendekatan pemberantasan korupsi kedepan, jangan hanya semata-mata menerapkan instrumen hukum pidana, mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan mengandalkan instrumen hukum pidana akhir-akhir ini oleh masyarakat dipandangan masih belum memenuhi harapan karena belum menujukkan trend menurunnya perilaku yang koruptif tersebut.
Berdasarkan fenomena ini, maka pemberantasan tindak pidana korupsi melalui tindakan hukum berdasarkan instrumen pidana yang merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) harus dilakukan secara integral dan komprehensif, yaitu harus dipadukan dengan upaya yang “non penal”, terutama melalui instrumen pencegahan, yaitu dengan cara menyeimbangkan tindakan represif dengan tindakan yang bersifat preventif, meningkatkan keberhasilan penanggulangan
2
tindak pidana korupsi itu bukan terletak pada banyaknya perkara yang diajukan ke pengadilan, tetapi terletak pada keberhasilan menggugah kesadaran untuk tindak melakukan korupsi.3
Dalam pasal 1 Undang-Undang no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan tentang Pengertian korupsi, bahwa:
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b. Barang siapa dengan tujuan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tindak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
c. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.
d. Barang siapa memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib
f. Barang siapa yang melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.4
3
Kemudian pengertian korupsi dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31
Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi yang mencabut
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 di atas, disebutkan bahwa:
a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara (pasal 2 ayat 1).
b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntukan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (pasal 3).
Unsur korupsi menurut Kurniawan adalah: tindakan melawan hukum,
menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan,
merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung, dilakukan oleh
pejabat publik atau penyelenggaraan negara maupun masyarakat. Berdasarkan
beberapa pengertian tetang korupsi, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi
merupakan suatu perbuatan melawan hukum baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materil
perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai
keadilan masyarakat.5
Berdasarkan dari pengertian maupun penjelasan tentang tindak pidana korupsi,
Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Selain itu Indonesia masih
sangat sulit mengatasi kasus tindak pidana korupsi. Dikarenakan belum berfungsi
secara efektif dan efisiensi dalam memberantas korupsi. Para penegak hukum
khususnya jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenang mereka
4
IGM. Nurdjana, Drs, SH., M.Hum, Korupsi & Illegal Loging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 23
5
sesuai bunyi undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi huruf b.6
Seperti halnya tindak pidana korupsi sekarang di Indonesia beberapa tahun
kebelakang ini sudah mengalami kerusakan atau sistem yang salah dalam penegakkan
hukumnya, dimana sekarang ini para penegak hukum di Indonesia
pencampuradukkan antara hukum dengan dengan politik, dimana sebenarnya kedua
sistem ini sangat berbeda dan tidak bisa di satukan. Apabila kedua sistem ini di
satukan maka hukum pun akhirnya dapat di goyangkan. Tetapi karena adanya para
hakim dan anggotanya maka setiap kasus yang di ajukan olek jaksa ke pengadilan
maka hakimlah yang menimbah dan mengadili seadil-adilnya setiap kasus yang di
jalankan.
Kasus ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana si terdakwa di politisir oleh
orang-orang yang tidak senang dengannya, dimana jaksa melakukan pentuntutan
kepada terdakwa karena menurut bukti dan kesaksiannya terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi, yang pada dasarnya sebenarnya ia tidak sama sekali
melakukan tindak pidana korupsi, karena tindak terpenuhnya unsur-unsur korupsi.
Salah satu kasus yang terjadi di kota Jantho Kabupaten Aceh Besar dimana
seorang selaku Kepala Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat
Mustaqim Lhoong (PD. BPRM Loong) yang bernama Ismail AF, SE Bin Affan
berumur 41 Tahun yang bertempat tinggal di Desa Mon Mata, Kecamatan Loong,
Kabupaten Aceh Besar mengingat pasal 191 ayat (1) dan pasal 97 KUHAP serta
peraturan hukum lain yang bersangkutan mengadili:7
6
Himpunan peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Fokus Media, tahun 2008., hal 1.
7
- Menyatakan Terdakwa ISMAIL AF, SE BIN AFFAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
- Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut.
- Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum segera membebaskan Terdakwa dari tahanan Kota.
- Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
- Menetapkan barang bukti berupa:
1. Perjanjian kerja sama (Memorandum Of Understanding) antara pemerintah Kabupaten Aceh dengan PD Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong dalam rangka penyaluran Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) Kabupaten Aceh Besar tahun 2004 Nomor 412.5/415/BPM-AB/2004 tanggal 5 Mei 2004. 2. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 61 Tahun 2004 Tanggal 1 april 2004
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaa Kegiatan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) tahun 2004 dalam Kabupaten Aceh Besar.
3. Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor : 50/133/2005 tanggal 31 Mei 2005 tentang pengangkatan/penunjukan Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan (PD. BPR) Mustaqim Provinsi NAD.
4. Surat bupati Aceh Besar Nomor 412.5/9502 tanggal 4 November 2004 tentang Rekomendasi Pencairan DPD/K Tahun 2004.
5. Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Nomor 412.6/956 Tanggal 20 Oktober 2004 tentang Pencairan DPD/K tahun 2004.
6. Laporan Realisasi dana pembangunan Desa/Keluahan (DPD/K) Kabupaten Aceh Besar bulan September 2005 tanggal 6 Oktober 2005.
7. Tanda terima transfer dana pembangunan Desa ke rekening Nomor : 010.02.02.000785-3 pada Bank BPD atas nama ISMAIL. AF.
10. Surat Perintah membayar Nomor : 632/PK/2004 tanggal 2 September 2004.
11. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor : KU.920/193/2004 tentang otorisasi
anggaran belanja daerah.
12. Surat perintah Pembayaran Pengisian Kas tahun anggaran 2004 bulan Mei
2004 tanggal 29 September 2006.
13. Daftar nasabah kredit PD BPR Lhoong Realisasi Bulan September 2004
tanggal 29 September 2006.
Dan seluruh bukti-bukti tambahan,berupa :
1. Surat Pernyataan dari Terdakwa Ismail AF, SE. Tanggal 15 Januari 2006.
2. Surat Camat Kecamatan Lhoong tanggal 31 Mei 2005 tentang pencairan dana
pembangunan Desa tahun 2004.
3. List saldo tabungan di PD BPRM Lhoong, per tanggal 31 Mei 2008.
4. Foto copy buku rekening 28 Kades dan 28 Ketua Tim Penggerak PKK
Desa-desa di Kecamatan Lhoong,per tanggal 31 Mei 2008.
5. Daftar rekap rekening Kades dan PKK Kecamatan Lhoong di PD BPRM Suka
Makmur Cabang Lhoong per 31 Juni 2008.
Tetap terlampir dalam berkas perkara ini.
- Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja Kejaksaan
masi belum bisa di percayai sepenuhnya, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak
pidana korupsi yang belum terungkap. Masih banyak lagi kasus korupsi yang akan
dibahas. Yang khususnya akan di bahas yang terjadi di kota Jantho Kecamatan
Lhoong Aceh Besar. Alasan mengapa saya membahas masalah tindak pidana korupsi
di Kota Jantho adalah ingin memberikan sedikit atau banyaknya gambaran
bahwasannya di Kota Jantho banyak sekali kasus korupsi yang terjadi. Dimana
Kasus tindak pidana korupsi yang ada saat ini di kota Jantho sudah di
campuradukkan dengan politik, tetapi dengan ada pertimbangan hakim maka si
terdakwa bebas dari tuntutan jaksa penutut umum di kota Jantho. Salah satunya
contoh kasus korupsi yang dapat dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang di
lakukan oleh seorang Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat
Mustaqim Lhoong di kota Jantho. Dimana ia sudah dapat di bebsakan dari tuntutan
hukum atau pun jaksa penuntut umum. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
meninjau serta membahas lebih luas lagi mengenai masalah kasus korupsi yang dapat
di bebaskan dari sanksi hukum dalam skripsi yang berjudul “PELAKU TINDAK
PIDANA YANG DAPAT DI BEBASKAN DARI SANKSI HUKUM.”
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakanag diatas Penulisan mengangkat beberapa pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi
2. Bagaimana pelaku tindak pidana korupsi yang dapat dibebaskan dari ancaman
pidana
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan penulisan
Berdasarkan membahasan permasalahan diatas, maka penulis memiliki tujuan
yang antara lain bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku di
Negara Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagimana seorang pelaku yang di dakwa melakukan tindak
2. Manfaat
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat dapat memberikan manfaat berupa
gambaran atau bahan pemikiran yang berguna untuk semua pihak.
1. Diharapkan agar skripsi ini mampu menjadi bahan informasi dan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Dan penulis juga dapat menjadi
bahan bacaan dan menambah ilmu pengetahuan tentang hukum khususnya
hukum pidana tentang tindak pidana korupsi.
2. Diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi
semua pihak, khususnya bagi para penegak hukum yang memiliki cita-cita
luhur dalam memajukan perkembangan hukum di Indonesia.
D. KEASLIAN PENULISAN
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang
Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukum” ini adalah merupakan penulisan yang
berdasarkan pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Judul skripsi ini diambil
atas tinjauan putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH. ini di susun dengan cara
membaca, mempelajari, mengaji data-data yang ada. Penelitian judul ini juga
berdasarkan pada surat pengesahkan dari perpustakaan Hukum Universitas Sumatra
Utara sama sekali belum ada mengangkat judul ini. Dengan kata lain penulisan ini
merupakan hasil karya penulisan sendiri.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pelaku Tindak Pidana
Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan
diuraikan pengertian tentang tindak pidana. Pembentuk undang-undang kita memang
menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi
Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan kata,
yaitu straafbaar dan feit. Perkara feitdalam bahasa Belanda diartikan “sebagain dari
kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat hukum”, sehingga secara harifah
perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang
sudah tentu tidak dapat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat
dihukum adalah manusia sebagian pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan.
Pengertian dari perkataan straafbaarfeit.
1. Simons
Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “ tindakan melawam hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tindakan dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakkannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.
Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas
karena :
a. Untuk adanya suatu straafbaarfeitdisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu
tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang
dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah
dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan
undang-undang;
c. Setiap straafbaarfeit sebagian pelanggaran terhadap suatu larangan atau
kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan
tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.8
Jadi, setiap melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan
manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sehingga pada
8
dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri
seperti halnya dengan unsur lain.
Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa
pidana yang seiring juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen
atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan
yang di timbulkan karena perbuatan atau melalaiktan itu). Peristiwa pidana
merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang
membawa akibat yang diatur hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh
suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya
sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku
manusia yang bertentangan dengan hukum dan adanya seorang pembuat dalam arti
kata bertanggung jawab.9
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung
jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu
mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih
dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal
dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud
mengandung tiga pengertian yaitu:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
9
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.10
2. Korupsi
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:
corruptio= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat,
badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfah dari korupsi dapat berupa:
a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, kamus lengkap
Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit: Hasta, Bandung).
b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Penerbit: Balai Pustaka, 1976).
c) 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok; memakai kekuasaan untuk
kepeningan sendiri dan sebagainya);
a. Korupsi (perbuatan busuk perti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagainya);
b. Koruptor (prang yang korupsi).11
Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu
karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan
dalam instansi atau aparatur pemerintahan, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan
karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau
golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian,
10
www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses tanggal 5 mei 2013
11
secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki
arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2. Korupsi: busuk, rusak. Suka memakai uang yang di percayakan kepadanya,
dapat disogok (melalui kekuasaanya untuk kepentingan pribadi).
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus Hukum, yang
dimaksud curruple adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan
keuangan Negara.12
3. Sanksi Hukum
Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1. Pidana Penjara
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian
Negara. (Pasal 2 ayat 1)
12
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi
setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi
dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35,
dan pasal 36 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja
tidak memberikan keterangan yang tidak benar.(pasal 22)
2. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang
dilakukan dalam keadaan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu
dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak
pidana korupsi, atau pada saat Negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
3. Pidana Tambahan
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut.
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.13
4. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan
maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural
ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat
diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa
ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus
berkantor.14
13
Ibid, hal 12-14 14
F. METODE PENULISAN
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat
dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penulisan, lalu melakukan
penelitian dengan cara-cara yang telah di tentukan.
1. Jenis Penulisan
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian yuridis
normative yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan dan peraturan
atau undang-undang yang ada di lengkapi dengan studi putusan. Dimana metode ini
penulis memokuskan kepada penelitian studi kepustakaan. Dimana penulis
memokuskan kepada undang-undang tindak pidana korupsi.
2 . Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data
a. Sumber
Sumber penelitian ini diambil penulis skripsi melalui data sekunder. Data
sekunder ini adalah bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Terutama dari buku-buku dan
literature yang sudah ada yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan hukum yang mengikat dan mengatur
berdasarkan peraturan perundangan-undangan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku dan literature lainnya yang berkaitan
dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.
3. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang di lakukan oleh penulis ini adalah dengan
pengumpulan data melalui studi pustaka, dimana penulis memperoleh data atau
bahan-bahan yang ada dengan cara mengumpulkan dan membahasnya melalui bahan
hukum primer, sekunder dan tersier.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam suatu karya ilmiah atau pun penulisan skripsi sistematika penulisan
sangat di perlukan. Ini bertujuan untuk mempermudah para membaca dan memahami
isi dari dalam karya ilmiah. Sistematika ini sendiri memberikan gambaran singkat
mengenai karya ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini akan di bagi menjadi 4 (Empat)
BAB I
Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang bagaimana penulis mengambil
topik atau judul yang akan dibahas di bab berikutnya oleh penulis. Bab ini terdiri dari
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan
pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
Dalam bab ini menguraikan tentang pengaturan hukum bagi tindak pidana korupsi
baik dilihat dari segi pasif maupun aktif, rumusan delik dan pertanggungjawaban
tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi tersebut.
BAB III
Dalam bab ini membahas tentang bagaimana pelaku tindak pidana korupsi dapat di
bebaskan dari ancaman pidana dalam putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH.
BAB IV
Ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran atas permasalahan yang
telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skripsi memberikan jawaban terhadap