1
RELASI KIAI DAN SANTRI PADA PESANTREN SALAF (PERSPEKTIF SOSIO-HISTORIS DAN TEKSTUAL-NORMATIF)
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam yang dibimbing oleh Bapak Zainal Abidin, M.Si.
IAIN JEMBER Disusun oleh:
Aida Nur Kumala (T20171013)
Nafisah Amaliah (T20171014)
Indana Azza Faradis (T20171015)
Wahibatul Mukarromah (T20171016)
Nurul Qomariyah (T20171017)
Siti Habibatul Fitria (T20171018)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
2
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang “Relasi Kiai dan Santri pada Pesantren Salaf dalam Lingkup Nahdlatul Ulama (Perspektif Sosio-Historis dan Tekstual-Normatif)”
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini. Kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Kami berharap semoga makalah tentang “Relasi Kiai dan Santri pada Pesantren Salaf
(Perspektif Sosio-Historis dan Tekstual-Normatif) dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
3 DAFTAR ISI
Cover... 1
Kata Pengantar ... 2
Daftar Isi... 3
BAB I PENDAHULUAN... 4
1. Latar Belakang Masalah... 4
2. Rumusan Masalah... 5
3. Tujuan Penulisan... 5
BAB II PEMBAHASAN ... 6
1. Relasi Kiai dan Santri... 6
2. Nilai yang Membentuk Pola Relasi Kiai dan Santri...7
3. Pengaruh Perubahan Gaya Hidup Modern terhadap Relasi Kiai dan Santri...10
BAB III PENUTUP ...15
Kesimpulan...15
4 BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Di kalangan masyarakat santri, figur kiai, secara umum kerap dipersepsikan masyarakat sebagai pribadi yang integratif dan merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan,
‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan mengedepankan penampilan perilaku
berbudi yang patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu’ kiai akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat.
Islam mengajarkan kita untuk menghormati orang tua, dalam firman Allah surat Al Israa’ ayat yang berbunyi
قَت أَف اَ هَاِك َا َا ه َحَا َرَبِ لا َ َ ِع نَغ ل ب َي ا مِإ اناَس حِا ِنيَ ِلا َولاِب َ ا يإ اِا ب عَت آَا َكُبَر يَ َق َ
Yang artinya Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain
Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali kali kamu mengatakan perkatan “ahh” kepada mereka dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Kiai sebagai guru di pondok pesantren adalah orangtua kedua kita, namun perlakuan kita
terhadap keduanya sangatlah berbeda. Kecenderungan sopan santun lebih ditonjolkan kita kepada guru, bukan kepada orang tua. Padahal dalam kedudukannya lebih utama orang tua daripada guru. Sedangkan penerapan kesopanan dari pondok pesantren harus diterapkan pula
5 B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian relasi kiai dan santri ?
2. Apa nilai-nilai yang membentuk pola relasi antara kiai dan santri?
3. Bagaimana pengaruh perubahan gaya hidup modern terhadap relasi kiai dan santri?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian relasi kiai dan santri.
2. Untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang membentuk pola relasi antara kiai dan santri.
6 BAB II PEMBAHAHASAN
1. Relasi Kiai dan Santri
Di kalangan masyarakat santri, figur kiai, secara umum kerap dipersepsikan masyarakat
sebagai pribadi yang integratif dan merupakan cerminan keilmuan dan kepemimpinan, ‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi
yang patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu’ sang kiai akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat.
Dibeberapa pesantren dapat dijumpai santri yang berjalan duduk ketika menghadap
kiainya, santri juga berdiri. Santri sebagai elemen dalam tradisi pesantren yang kedudukannya lebih rendah dari kyai. Sebagai pengikut, santri harus senantiasa taat, tawadu dan hormat kepada
gurunya. Santri dalam kehidupan sehari-harinya harus senantiasa mengikuti
Peran Pondok Pesantren Sidogiri memiliki konsep dalam membangun kualitas santrinya agar mampu memahami dan mengamalkan syariat Islam secara kaffah, berprestasi tinggi dalam
bidang ilmu yang ditekuninya dan cakap menghadapi persoalan hidup. Peribadatan dan sikap yang ditekankan tersebut telah menjadi kunci utama santri dalam melaksanakan tugas-tugas
kesehariannya. Bahkan dalam kegiatannya senantiasa dilakukan secara tertib dan bersama-sama. Upaya ini dilakukan karena mengingat pondok pesantren dan kiainya adalah publik figur bagi umat Islam juga menyimpan ukhuwah atau persaudaraan di antara sesama muslim.1
Sebagaimana termaktub dalam Al-Quran, bahwa Allah meciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata mata untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah dalam hal ini adalah
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Konsep ini yang kemudian
1 Sugeng Haryanto, Persepsi Santri Terhadap Perilaku Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren. Kementrian Agama
7
dikenal dengan taqwa. Ketaqwaan merupakan ukuran bagi Allah terhadap derajat
kemanusiaannya, dan hanya manusia yang mau berfikir dan mampu memenuhi segala tanggung jawab dan tugasnya di muka bumi ini untuk mendapatkan derajat yang tertinggi disisi Allah
SWT (QS Al-Mujadilah:11)
2. Nilai yang Membentuk Pola Relasi Kiai dan Santri.
Pola relasi kiai dan santri yang dibentuk dalam pesantren adalah bagaimana cara seorang santri mengikuti apa yang dititahkan oleh seorang kyai. Relasi kiai dan santri sangat berbeda
dengan relasi santri dan ustadz, relasi siswa dan guru disekolah serta relasi mahasiswa dengan dosen. Penghormatan santri kepada kiainya melampaui penghormatan anak kepada orangtuanya.
Dibeberapa pesantren sering dijumpai santri yang berjalan duduk ketika menghadap
kiainya. Santri juga berdiri seketika tatkala kiai lewat didepannya. Santri juga menghentikan langkah kaki dan menundukkan pada saat berpapasan dengan kiai yang sama-sama bejalan
kakim hingga jarak antara keduanya agak jauh. Uniknya, (sebagian) kiai tidak melarang skap santri tersebut, sehingga sikap semacam itu menjadi kultur yang lestari di pesantren, terutama di pesantren-pesantren salaf.2
Mengolaborasi jawaban dari Muhammad Arif Murobby sebagai alumni Pondok Pesantren Sidogiri dia melakukan hal tersebut mulai berjalan duduk saat menghadap kiai
bukanlah suatu keberatan namun ia melakukannya dengan senang hati dan sebagai bentuk rasa hormat serta mengagunkan kiai sebagai ahlul ilmi karena apa yang telah diberikan gurunya
melebihi apa yang diberikan oleh orangtuanya.3
2 Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, Imtiyaz, Surabaya, 2011. Hlm. 84
8
اب ا لص نم لص ام ليق هيريقوت اتساا ميظعت ه ملعلا ميظعتب اا هب عف ي ا ملعلا ا ي ا ملعلا ا بل اب ملعا
ميظعت ةمرحلا رتب اا ط س نم ط س نم ةمرحلا
Artinya "Ketahuilah bahwa pelajar tidak akan dapat meraih ilmu dan memanfaatkan
ilmunya kecuali dengan menghormati ilmu dan ahli ilmu serta menghormati dan mengagungkan gurunya. Diungkapakan "orang yang ingin mencapai sesuatu tidak akan berhasil kecuali dengan menghargai, dan orang tidak akan jatuh dalam kegagalan kecuali dengan meninggalkan aspek
(rasa hormat) dan mengagungkannya. 4
Bahkan dalam hal ini Imam Al-Ghazali lebih menempatkan guru lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan orang tua. Sebab gurulah yang mengantarkan seorang anak (murid) meraih kebahagiaan akhirat, sedangkan orang tua hanya terbatas pada kebahagiaan dunia,
maksudnya hanya mengasuh dan membesarkannya saja. Tentu saja yang dimaksud beliau ini adalah guru yang mengajarkan agama.
Selain itu, masalah bagaimana penghormatan santri pada kiainya itu tergantung tradisi
dari masing-masing pondok pesantren baik pondok salaf maupun pondok modern. Dan rata rata di Indonesia seperti itu, jika kiai lewat didepannya santri berdiri dan santri berjalan duduk bila
menghadap kiai.
Relasi kiai dan santri sangat berbeda dengan relasi santri dan ustadz, relasi siswa dan guru disekolah serta relasi mahasiswa dengan dosen. Penghormatan santri kepada kiainya
melampaui penghormatan anak kepada orangtuanya. Sejauh ini penulis belum menemukan sejauh anak (yang santri) yang berjalan duduk dihadapan bapak-ibunya, sebagaimana dia
berjalan duduk didepan kiainya. Padahal dimata Allah strata kedua orang tua lebih tinggi
9
dibanding strata guru (baca : kiai). Nabi Muhammad menegaskan bahwa ridha Allah berjalan
seirig ridla orang tua. Demikian juga, murka Allah terjadi karena murka orang tua.5
Islam mengajarkan kita untuk menghormati orang tua, tapi mengapa setelah terjun ke
pondok pesantren lebih menghormati kiai dari pada orang tua kita sendiri? Penghormatan yang luar biasa dari santri kepada sang kiai terjadi karena dalam kultur pesantren penyerahan diri kepada kiai merupakan persyaratan mutlak agar memungkinkan seseorang menjadi anak didik
kiai. Santri harus memperoleh kerelaan kiai dengan mengikuti segenap kehendaknya dan juga melayani segenap kepentingannya. Kerelaan kiai yang lazim disebut dengan barokah merupakan
alasan tempat berpijak santri dalam menuntut ilmu di pondok pesantren. Sikap dan perbuatan
“tidak sopan” dalam ukuran pesantren diyakini akan berimplikasi terhadap ketidakbarokahan
ilmu yang diperoleh.
Apapun yang disampaikan oleh kiai selalu benar atau sudah menjadi fatwa. Ketika kiai di pondok Tempurejo mengatakan bahwa surban itu ditempatkan di kepala bukan sebagai sajadah,
sejak saat itu para santri tidak pernah lagi menggunakan surban sebagai sajadah.
Dalam kegiatan belajar juga terdapat kecenderungan bahwa santri sekedar menyimak dan
mencatat apa yang dituturkan kiai. Jarang sekali terjadi dialog apalagi sanggahan dari santri terhadap pandangan-pandangan kiainya. Seakan pandangan-pandangan kiai itu selalu benar adanya. Santri yang berani mendebat kiainya akan dicap sebagai santri yang congkak dan tidak
berakhlakul karimah, yang ujung-ujungnya ilmu yang diperoleh di pesantren tidak akan barokah.6
Posisi guru begitu terhormat sebagai orang yang ‘alim, ke’aliman ini meliputi hampir
seluruh cabang keilmuan dalam islam. Namun demikian ada sepesifikasi yang membuatnya
10
mayshur, seperti ahli hadis bagi Imam Bukhari dengan karyanya Shahih Bukhari, ahli tasawuf
dan fiqih bagi Imam Ghazali dengan karya monumentalnya Ilhya’ Ulum al-Din, Ahli dalam tata bahasa Arab seperti Muhammad bin Malik al-Andalausy dengan karyanya Nadzam al-Fiyah
ibnu malik, dan para ulama pendiri madzhab.7
3. Perubahan Gaya Hidup Modern Terhadap Relasi Kiai dan Santri.
Dunia modern telah mengubah hubungan antara santri dengan kiai dari hubungan
yang bersifat paternalistik menjadi bentuk hubungan yang lebih fungsional. Sebagian kiai di beberapa pesantren kini tidak lagi mengurusi semua hal. Pengelolaan pesantren sering
diserahkan kepada seorang pengurus. Kadang-kadang pengurus tersebut adalah anak sang kiai sendiri atau mantan santri yang dipercaya oleh sang kiai. Selain itu, pesantren juga sering
menjadi yayasan sebagai tindakan pencegahan agar pesantren tersebut tidak lenyap bersama sang kiai jika para ahli warisnya tidak mau melanjutkan fungsi ayah mereka. Para santrinya juga semakin terbuka terhadap dunia luar.
Di pesantren modern di mana referensi kitab kuning tidak lagi menjadi referensi utama, peranan kiai pun menjadi berkurang, sebab dalam penyampaian ilmu agama atau
bahkan ilmu non agama biasanya tidak disampaikan langsung oleh kiai. Hal ini menyebabkan fungsi dan peran kiai sebagai pewaris ilmu di masa keagungan Islam dahulu tidak lagi menjadi tema sentral. Sehingga kharisma kiai menjadi berkurang. Hal ini
menyebabkan kepercayaan santri terhadap kiai terutama di pesantren modern menjadi berkurang pula. Selain itu berkurangnya peranan kiai dalam proses pembelajaran santri di
pesantren menyebabkan menurunnya ketergantungan santri terhadap kiai.
11
Krisis yang pada awalnya berkembang pada umat manusia di Dunia Pertama yang
modern, semisal dunia barat, kini telah menambah hamper seluruh umat manusia di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Kenyataannya menunjukkan : bangsa Indonesia yang sering
disebut religious, dengan segala keramah-tamahannya, sekarang justru berada dalam penjara pop culture yang dekaden, serta hidup dengan berpura-puraan.
Hal semacam itu pula yang mulai terjadi di dunia pesantren. Lembaga yang sejatinya
merupakan sumber kearifan dan memiliki daya resistensi tinggi terhadap segala proses pemudaran nilai-nilai moral lambat tapi pasti mulai terperangkap ke dalam kehidupan yang
dehumanistik yang berlawanan dengan sifat-sifat manusia yang fitri. Gejala yang tampak pada akhir-akhir ini menunjukan bahwa masyarakat pesantren mulai terbiasa dengan sikap dan
perilaku yang pragmatis dan formalistic, serta menjadi pula bagian dari pop culture. Nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi dalam dunia pesantren, seperti keikhlasan, semangat keilmuan yan tinggi, kesederhanaan (lebih mementingkan roh ketimbang bentuk), dan keteladanan yang arif,
kini mulai menghilang, terutama pada tataran pelaksanaan dalam kehidupan komunitas pesantren (siswa, guru, masyarakat sekitar, dan sebagainya).8
Perubahan gaya hidup modern yang identik dengan gaya hidup kebarat baratan (cenderung mengikuti budaya barat) Apakah hal ini memepengaruhi perubahan gaya hidup modern terhadap relasi kiai dan santri? Menurut M Arif Murobby pola relasi kiai dan santri
tetap berjalan sebagaimana warisan terdahulu. Terlebih lagi dipondok salaf seperti Pondok Pesantren Sidogiri yang lebih menekankan pada pembangunan karakter (berakhlakul
karimah) dan mencetak santri yang ibadillahi sholihin. Warisan leluhur dan kultur positif harus tetap dijalankan sehingga sampai ini tidak ada perubahan etika santri terhadap kiai.9
12
Walaupun hidup di zaman modern dia masih menggunakan pola pikir tradisional dan
menjalankan tradisi pesantren dalam hubungan kiai dan santri. Karena tradisi ini baik dan harus dipertahankan, ditengah-tengah pergeseran akhlak oleh masyarakat dan mahasiswa
zaman now.
Pola relasi kiai dan santri di Pondok Pesantren Sidogiri ini masih berjalan dengan baik. Jangankan untuk menghormati kiai, kepada tamu kiai saja para santri menghormati
mereka sebagaimana mereka menghormati sang kiai. Misalnya ketika mobil tamu kiai datang, para santri berdiri sebagai bentuk penghormatan. Selain itu jika tiba waktu
perpulangan saat akan pamit pada kiai, para santri antri menurut wilayah yang sudah ditentukan memasuki area dalem (rumah kiai) mereka berjalan dengan duduk.
Peristiwa seperti itu bukanlah hal yang janggal karena dalam tradisi itu adalah salah satu kewajiban seorang santri untuk menghormati kiainya sebagai ahlul ilmi. Jadi, pandangan orang modern yang tidak pernah menjadi santri dan merasakan kehidupan pesantren itu
adalah hal yang janggal karena tradisi yang mereka lalui di sekolah sangat berbeda dengan tradisi di pesantren.
Pandangan orang modern terhadap guru hanyalah sebagai fasilitator dan sebagai media transfer ilmu. Bila menggunakan pemikiran tradisional, guru adalah sebagai pendidik. Maksudnya, bagaimana guru bisa mengajak muridnya untuk merealisasikan teori yang
diajarkan dalam kehidupan sehari-hari dan pendidikan yang seperti ini hanya bisa diapat dipesantren sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap sikap dan pola pikir juga.
13
menghormati guru (baca:kiai) sampai sedemikian rupa terlalu berlebihan. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al hujurat ayat 13
لا اَ ي آَي س ا اوفر اعتل لئ آبق ابوعش م لعج ىثنا رك نم م لخ ان ا ريِبَخ ميِلَع َه ِا م َ تَا ِه َ ِع م َمَركَا ِا
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu salingmengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”10
Bila dikaji secara detail yang menjadikan kita sebagai orang yang bertaqwa adalah guru.
Yang membuat kita diangkat derajatnya karena ilmu itu semua karena guru. Jadi kewajiban seorang murid bagaimanapun yang terjadi pada dia itu semua karena jasa guru yang memberikan
bekal ilmu. Bagaimana kita dihadapan Allah? Wallahu A’lam. Karena hanya Allah yang mengetahui kadar keimanan seseorang.
Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi luhur yang telah
menjadi karakteristik pesantren pada hampir seluruh perjalanan sejarahnya. Secara potensial, karakteristik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam rangka
menyikapi globalisasi dan persoalan-persoalan lain yang menghadang pesantren, secara khusus, dan masyarakat luas, secara umum. Misalnya, kemandirian, keikhlasan, dan kesederhanaan : ketiganya merupakan nilai-nilai yang dapat melepaskan masyarakat dari dampak negative
globalisasi dalam bentuk ketergantungan dan pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat manusia.
Persoalan adalah bagaimana mengembangkan dan melabuhkan nilai-nilai tersebut dala hidup keseharian santri dan masyarakat, serta merumus ulang nilai-nilai tersebut dalam konteks kekinian. Sebab tanpa adanya upaya ini, nilai-nilai tersebut akan menjadi symbol-simbol
14
formalistic yang tidak menjadi sumber rujukan dalam sikap dan perilaku mereka serta tidak
memiliki gaung nyata dalam kehidupan.
Strategi dasar yang perlu dilakukan untuk mencapai kearah itu adalah pengembalian
pendidikan pada makna hakiki. Dewasa ini, pendidikan telah mengalami pembiasaan arti dengan melihatnya sekedar sebagai wacana pengajaran yang lebih menitik beratkan kepada transfer pengetahuan semata. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, pendidikan telah diidentikkan dengan
sekedar perolehan ijazah, atau atribut-atribut formal yang bersifat artificial lainnya. Pandangan semacam itu perlu didekonstruksi sekaligs direformulasi dengan meletakkkannnya sebagai
proses manusia untuk having dan memantapkannya sebagai being. Dalam pengertian ini, nilai-nilai dan perluasan wawasan serta kemampuan manusia sehingga mereka benar-benar
tercerahkan.11
15 PENUTUP A. KESIMPULAN
Kiai memegang kedudukan ganda yaitu sebagai pemilik dan pengasuh pondok pesantren. Kiai terpandang dalam ilmu agama sehingga seringkali beliau dipandang sebagai ulama’, karena dipandang sebagai ulama’ seringkali dipandang sebagai warotsatul anbiya’.
Nilai-nilai yang membentuk pola relasi kiai dan santri adalah menghormati guru
(baca:kiai) sebagai orang tua kedua. Melestarikan kultur positif dan budaya luhur yang mengarahkan kita untuk selalu menghormati guru sebagai ahlul ilmi. Kiai membiarkan tradisi seperti itu tetap lestari untuk membentuk karakter dan akhlak mulia santri
disamping itu untuk mempertahankan status kewibawaan atau kharisma.
Pengaruh perubahan gaya hidup modern terhadap relasi kiai dan santri berdampak
pada cara berfikir masyarakat yang membuat terjadi pergeseran. Dalam hal ini, pendidikan sangat diperlukan sebagai proses penanaman nilai-nilai dan perluasan wawasan serta kemampuan manusia sehingga mereka benar benar tercerahkan.
16
DAFTAR PUSTAKA
, 2006. Quran Tajwid. Jakarta: Maghfirah Pustaka.
A’la, Abd. 2006. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Asori, Ma’ruf. 2012. Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu.Surabaya: Al-Miftah.
Suharto, Babun. 2011. Dari Pesantren Untuk Umat. Surabaya:Imtiyaz.
Sya’roni.2007. Model Relasi Ideal Guru dan Murid.Yogyakarta: Teras.